Namun, minimnya tenaga farmasi di Puskesmas Kota Tegal menjadi salah satu
faktor yang sangat mempengaruhi mengapa indikator pengelolaan obat di
Puskesmas belum efisien. Indikator keakuratan perencanaan memiliki nilai yang
sangat tinggi karena ketidakakuratan dalam proses seleksi dan pengadaan obat.
Ketidakakuratan proses ini berpotensi menimbulkan overstock dan obat
kedaluwarsa yang berarti akan menimbulkan bahaya baik ke Puskesmas itu
sendiri maupun ke daerah. Ketidakakuratan dalam proses perencanaan obat juga
mengakibatkan proses selanjutnya dalam pengelolaan obat-obatan di Puskesmas.
Tingkat ketersediaan obat di Puskesmas Kota Tegal masih sangat berlebihan,
namun ada beberapa obat juga yang tingkat ketersediaannya justru kurang dan
kosong. Tingginya persentase kelebihan stok obat terkait dengan rendahnya nilai
ITOR (Satibi et al., 2018). Hal ini dikarenakan semakin rendah nilai ITOR, maka
semakin lama perputaran obat di Puskesmas dan akan menyebabkan kelebihan
muatan di gudang penyimpanan obat di Puskesmas.
Namun, rendahnya nilai perputaran obat di Puskesmas tampaknya tidak disadari
dan dipahami oleh pekerja farmasi di Puskesmas sebagai pembuat perencanaan
karena baik Puskesmas yang sudah memiliki apoteker maupun yang belum
memiliki apoteker memiliki hasil yang sama rendahnya. Jumlah ED di Puskesmas
Kota Tegal masih cukup besar untuk beberapa Puskesmas dan obat-obatan
tersebut akan disimpan terlebih dahulu untuk beberapa waktu sebelum akhirnya
dilakukan pemusnahan. Selain Sumber Daya Manusia (SDM) Farmasi penulis
resep SDM juga menjadi salah satu pengaruh mengapa pengelolaan obat di
Puskesmas masih kurang baik. Adanya mutasi resep petugas merupakan faktor
yang mempengaruhi pengeluaran obat di Puskesmas karena obat yang
direncanakan biasanya adalah obat yang sering digunakan di Puskesmas. Faktor
penyebab lainnya adalah perubahan pola penyakit akibat proses perencanaan obat
di Puskesmas menggunakan metode konsumsi sehingga perencanaan hanya
berdasarkan jumlah penggunaan obat tahun sebelumnya dan ini mengakibatkan
kelebihan dan kekurangan obat di Puskesmas. Ketidakcocokan disebabkan oleh
dua hal, yaitu, jumlah penyakit menurun atau dokter resep pindah tugas sehingga
obat jarang diresepkan (Pratiwi et al., 2019). Indikator kesesuaian item
permintaan, kesesuaian barang dan jumlah penerimaan, penyimpanan sesuai
dengan bentuk dosis, penyimpanan sesuai suhu, pengaturan perawatan FEFO,
ketepatan distribusi ke subunit, kesesuaian jumlah fisik obat, dan evaluasi
manajemen obat secara berkala memiliki nilai 100% yang berarti dengan standar.
Indikator penyimpanan narkotika menurut peraturan memiliki nilai 72,92%, un-
contamination storage 98,97%, penyimpanan obat Siaga tinggi dan LASA 68,15%
dan 87,5%, dan penyimpanan obat dari kemasan primer 2,25%. Indikator
penyimpanan obat sebagian besar memiliki nilai kurang dari nilai standar.
Indikator penyimpanan narkotika berikut regulasi yang terdiri dari narkotika,
psikotropika, obat-obatan tertentu, dan prekursor belum tercapai karena SDM
farmasi belum memahami proses pengurusan prekursor dan obat-obatan tertentu
yang rusak dan kedaluwarsa, sehingga rusak dan ED tidak terlepas dari obat biasa,
selain itu beberapa Puskesmas tidak memiliki apoteker. Indikator penyimpanan
obat tanpa kontaminasi tidak cocok karena masih ada kontaminan yang ditemukan
dalam penyimpanan obat berupa makanan dan minuman. SDM farmasi masih
belum memahami dan menyadari pentingnya penyimpanan obat bebas
kontaminan. Indikator penyimpanan obat Siaga Tinggi dan LASA di Puskesmas
Kota Tegal belum memenuhi standar karena masih belum tepat label yang
diberikan untuk obat Siaga Tinggi dan masih ada Puskesmas yang belum
memberikan label untuk obat Siaga Tinggi dan LASA. Minimnya informasi
tentang obat Siaga Tinggi dan obat LASA membuat SDM farmasi di salah satu
Puskesmas tidak menganggap pelabelan ins penting. Pengetahuan dan
pemahaman pejabat kesehatan tentang manajemen obat Siaga Tinggi belum
standar atau tidak baik (Hermanto et al., 2015).
Tabel 2. Nilai Indikator Farmasi Klinis
Dalam tabel 2. persentase untuk indikator penilaian resep adalah 95,83% dan
pelabelan 80,56% cukup tinggi tetapi masih belum memenuhi standar karena
resep dan etiket berasal dari Sistem Informasi Manajemen Perawatan Kesehatan
Primer (SIMPUS) sehingga jika akan ada perubahan dan perbaikan maka akan
membutuhkan sedikit waktu dan dana, sehingga proses perbaikan tidak dapat
segera direalisasikan. Etiket SIMPUS memiliki ukuran yang relatif kecil sehingga
belum dapat mewakili semua kriteria penilaian. nilai indikator pengiriman obat
disertai informasi 60% berarti tidak memenuhi standar karena kurangnya jumlah
SDM farmasi dan banyaknya antrean di Puskesmas sehingga informasi yang
diberikan relatif singkat dan kurang karena lebih memilih kecepatan dalam
pelayanan. Waktu pelayanan resep di Puskesmas Kota Tegal baik resep ramuan
maupun non-ramuan mengikuti standar 5,15 menit untuk resep non-ramuan dan
9,48 menit untuk ramuan resep. Setiap Puskesmas di Kota Tegal memiliki standar
yang berbeda-beda untuk waktu pelayanan resep yaitu 5-15 menit untuk resep
non-ramuan dan 10-15 menit untuk resep ramuan. Indikator persentase
polifarmasi adalah 6,04% dan belum memenuhi standar karena masih ada resep
dengan lebih dari lima obat. Resep polifarmasi sebagian besar berasal dari
meresepkan anak-anak dan meresepkan pasien dengan penyakit degeneratif.
Polifarmasi pada 400 pasien geriatri (64,72%) klinik rawat jalan di rumah sakit.
M. Djamil (Zulkarnain dkk., 2019).
Indikator dokumentasi PIO, jumlah pasien penyuluhan, dokumentasi visite,
dokumentasi MESO dan dokumentasi PTO masih belum dilakukan di Puskesmas
Kota Tegal karena minimnya jumlah SDM farmasi di Puskesmas baik apoteker
maupun tenaga teknis farmasi, selain itu, masih belum ada ruang untuk
penyuluhan. Pasien juga masih belum tahu konseling apa yang banyak pasien
menolak untuk menerima konseling. Sebagian besar pelayanan apoteker klinis
yang belum dilakukan di Puskesmas yang sudah memiliki apoteker adalah
kunjungan di Puskesmas, MESO, PTO, dan evaluasi penggunaan obat (Susyanty
et al., 2020).
Indikator biaya per resep kunjungan di pusat kota Tegal cukup baik karena masih
di bawah kapitasi yang diterima Puskesmas. Seluruh Puskesmas di Kota Tegal
merupakan Puskesmas Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sehingga
perhitungan biaya pengobatan menggunakan sistem kapitasi. Penggunaan obat
generik di Puskesmas Kota Tegal sudah sangat baik karena obat-obatan di
Puskesmas sebagian besar generik. Hanya di Puskesmas yang persentase resep
obat generiknya tinggi (Handayani et al., 2010). Indikator barang obat per resep di
Puskesmas Kota Tegal masih belum memenuhi standar karena hampir setiap resep
yang ada memiliki jumlah barang obat per resep tiga atau empat item sehingga
belum memenuhi standar WHO sebesar 1,8-2,2 item (WHO, 1993). Nilai rata-rata
obat per lembar resep lebih tinggi daripada pada studi WHO 2014 tetapi lebih
rendah jika dilihat dari definisi polifarmasi (Destiani et al., 2016). Penggunaan
antibiotik untuk diare non-spesifik dan ISPA non-pneumonia di Puskesmas Kota
Tegal masih tinggi, bahkan untuk Puskesmas yang terletak di pinggiran Tegal,
jumlahnya sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh pola pikir orang yang salah
terhadap penggunaan antibiotik karena mereka berpikir bahwa setiap penyakit
akan sembuh ketika menggunakan antibiotik. Persentase penggunaan antibiotik
pada diare non-spesifik di Puskesmas melebihi batas toleransi yang ditetapkan
(Pulungan et al., 2019). Penggunaan antibiotik yang tidak rasional sebesar 33,7%
(Muharni et al., 2014). Indikator pemberian Oralit dan seng untuk diare di
Puskesmas Kota Tegal masih rendah terutama untuk penggunaan Oralit
jumlahnya sangat rendah dan masih ada beberapa Puskesmas yang tidak
menggunakan Oralit sama sekali sebagai jalur pertama pengobatan diare, hal ini
tentunya tidak mengikuti standar siapa yang menetapkan Oralit sebagai
penanganan pertama pasien diare (WHO , 2005). Indikator penggunaan injeksi
pada pasien myalgia di Puskesmas adalah 0% dan sesuai standar. Persentase tanpa
menggunakan injeksi dalam mungilgia adalah 100%, yang berarti penggunaan
injeksi dalam malgia adalah 0% (Satibi et al., 2018).
Faktor Dukungan Manajemen di Perawatan Kesehatan Primer
Organisasi
Organisasi Puskesmas berikut Peraturan Menteri Kesehatan 75 tahun 2014 terdiri
dari kepala Puskesmas, kepala sub bagian administrasi, penanggung jawab Upaya
Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Kesehatan Masyarakat, penanggung
jawab Upaya Kesehatan Perorangan, farmasi dan laboratorium serta penanggung
jawab jaringan Puskesmas dan jaringan fasilitas pelayanan kesehatan.
Organisasi berperan penting dalam keberhasilan Puskesmas dalam melaksanakan
kegiatan yang ada. Budaya berorganisasi di Puskesmas harus selalu tumbuh dan
dipupuk dengan baik untuk menciptakan kekompakan dan kebersamaan antar
anggota Puskesmas. Pemimpin di Puskesmas harus mampu menjadi contoh dan
pusat kontrol yang baik bagi seluruh pegawai di Puskesmas Kepala Puskesmas
harus mampu memotivasi seluruh anggotanya untuk dapat mencapai cita-citanya
bersama.
Secara umum, kepala Puskesmas di Kota Tegal telah mampu memberikan contoh
kepemimpinan yang baik, hal ini dibuktikan dengan adanya komunikasi dan
budaya yang baik di Puskesmas. Contoh budaya terorganisir di Puskesmas yang
telah dilakukan adalah Bengkel Mini setiap bulannya di Puskesmas, dengan
adanya Bengkel Mini diharapkan dapat menjadi ruang komunikasi terbuka bagi
anggota Puskesmas untuk menyampaikan saran, keluhan, serta prestasi dan
informasi antar program, sehingga akan ada kerja sama yang lebih baik antar
anggota. Pengembangan organisasi, kepemimpinan, dan pengembangan karier
terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan
Puskesmas (Djestawana I G dkk., 2012).
Administrasi dan Keuangan
Seluruh Puskesmas di Kota Tegal merupakan Puskesmas BLUD agar Puskesmas
dapat mengelola dana yang ada secara mandiri. Puskesmas menggunakan sistem
BLUD mulai tahun 2015 dengan menerapkan BLUD parsial dan kemudian pada
akhir tahun 2019 dievaluasi menjadi BLUD penuh. Puskesmas lebih memilih
sistem BLUD karena dapat mengelola keuangan Puskesmasnya sehingga
penanganan permasalahan yang ada bisa lebih cepat dan tidak harus melalui tahap
yang cukup panjang. Dana yang diperoleh Puskesmas BLUD berasal dari dana
modal dan dana retribusi pasien lembaga penyelenggara non-jaminan sosial yang
jumlahnya telah ditetapkan dengan peraturan Wali Kota sebesar 15.000 rupiah.
Beberapa Puskesmas di Kota Tegal menggunakan dana BLUD tersebut untuk
memenuhi kebutuhan SDM yang masih kurang. Dana BLUD untuk Puskesmas
juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan kekurangan obat dan Bahan Medis
Habis Pakai (BMHP). Dana untuk pembelian BMHP selalu digunakan setiap
tahun dan terserap rata-rata 100%. Hal ini dikarenakan jumlah BMHP yang
diperoleh dari gudang farmasi tidak banyak dan juga proses pengadaan BMHP
relatif lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan pengadaan obat. Kebijakan
BLUD bagi Puskesmas memberikan ke fleksibel bagi Puskesmas untuk
melaksanakan program yang ditargetkan mengikuti kebutuhan (Indrayathi dkk.,
2014).
Sistem Informasi Manajemen (SIM)
Puskesmas di Kota Tegal secara keseluruhan telah menggunakan SIMPUS selama
lima tahun baik di Puskesmas utama maupun pelayanan kesehatan primer
pembantu. Pelaksanaan SIMPUS di seluruh Puskesmas Kota Tegal sangat
membantu dan mempercepat proses pelayanan. Dengan adanya SIMPUS, tenaga
farmasi sangat terbantu dalam pembuatan laporan bulanan karena tidak perlu
dilakukan secara manual namun data yang dibutuhkan sudah ada di SIMPUS.
SIMPUS sangat mudah dan cepat dalam memproses data layanan (Thenu et al.
2016).
SIMPUS di Puskesmas saat ini tidak mampu mewakili semua hal yang
dibutuhkan oleh apotek, namun SIMPUS dinilai sudah cukup baik. Diharapkan
pemerintah daerah dapat melakukan perbaikan SIMPUS yang ada sehingga bisa
lebih baik lagi. SIMPUS harus mudah digunakan, tidak mudah diganggu, dan
harus aman mengingat semua data Puskesmas ada di SIMPUS. Kemudahan
penggunaan SIMPUS menjadi hal terpenting karena tidak semua SDM yang ada
memiliki kemampuan dan pemahaman yang sama terhadap SIMPUS dan usia
pengguna juga relatif bervariasi. Penggunaan SIMPUS terkait dengan koneksi
internet di Puskesmas, kualitas jaringan internet harus baik sehingga akses antar
unit di Puskesmas bisa lebih cepat dan tidak ada gangguan akibat koneksi yang
buruk.
Sumber Daya Manusia
SDM cukup berpengaruh keberhasilan dalam mewujudkan tujuan Puskesmas dan
mempengaruhi kualitas pelayanan di Puskesmas. SDM milik Puskesmas di Kota
Tegal masih sangat terbatas jumlahnya, yaitu 4 (empat) Apoteker, 20 (dua puluh)
Tenaga Teknis Farmasi, dan 1 (satu) Tenaga Teknis non Farmasi dari Pegawai
Negeri Sipil dan pegawai BLUD. Namun, minimnya SDM di Puskesmas,
khususnya apoteker sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian
di Puskesmas. Apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian, mengelola
obat- obatan, dan menyusun LPLPO dengan lengkap lebih baik dari tenaga teknis
farmasi. Demikian pula Tenaga Teknis Farmasi dalam memberikan pelayanan
kefarmasian, mengelola obat, dan menyusun LPLPO dalam setahun lebih baik
dibandingkan tenaga non farmasi (Herman et al., 2011). Hal ini tentunya tidak
sejalan dengan Peraturan Menteri Kesehatan 26 Tahun 2020 yang menyatakan
bahwa Puskesmas tidak memiliki apoteker yang bertugas, pelaksanaan pelayanan
kefarmasian dibatasi oleh tenaga teknis farmasi di bawah bimbingan dan
pengawasan apoteker yang ditunjuk oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
Pekerja farmasi di Puskesmas dalam melakukan kegiatan pelayanan kefarmasian
harus mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah dibuat, namun
pada kenyataannya, banyak pekerja farmasi yang masih melakukan pelayanan
kefarmasian tanpa mengikuti tahapan yang ada dalam SOP. Namun, kurangnya
disiplin dan kepatuhan terhadap SOP menyebabkan kualitas pelayanan
kefarmasian kurang maksimal. SOP yang ada harus ditempatkan di tempat-tempat
yang mudah terlihat, sehingga akan berfungsi sebagai pengingat bagi tenaga
farmasi untuk dapat mematuhi SOP.
Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Pusat Kesehatan
Masyarakat.
Sumber Daya Manusia
Namun, minimnya SDM farmasi di Puskesmas Kota Tegal membuat kualitas
pelayanan kefarmasian di Puskesmas belum maksimal. Inilah faktor yang paling
mempengaruhi kualitas pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kota Tegal. Namun,
minimnya SDM baik apoteker maupun tenaga teknis farmasi membuat pelayanan
apotek klinis di Puskesmas tidak berjalan efisien. Masih minimnya pengetahuan
SDM dalam membuat perencanaan obat Puskesmas membuat kualitas
pengelolaan obat di Puskesmas Kota Tegal belum efisien. Hal ini terlihat dari
besarnya ketersediaan obat, adanya kelebihan stok obat, kekurangan stok obat,
stok obat kosong, dan nilai ITOR yang sangat rendah. Kekurangan SDM juga
mempengaruhi kualitas pelayanan apotek klinis di Puskesmas. Minimnya SDM
sementara antrean pasien yang banyak menyebabkan SDM lebih fokus pada
proses pengiriman obat kepada pasien dengan cepat. Kurangnya disiplin SDM
dalam mematuhi SOP yang ada juga membuat kualitas pelayanan kefarmasian di
Puskesmas berjalan kurang optimal. Jumlah tenaga kerja farmasi mempengaruhi
kualitas pelayanan kefarmasian di Puskesmas (Herman dkk., 2011).
Ketersediaan Dana
Ketersediaan dana di Puskesmas tidak terlalu mempengaruhi kualitas pelayanan
kefarmasian, karena seluruh obat-obatan di Puskesmas disediakan oleh Dinas
Kesehatan Kota Tegal, kecuali BMHP yang sebagian untuk memenuhi
kebutuhannya dana bekas dari BLUD. Puskesmas dengan kondisi keuangan yang
baik akan menyiapkan dana untuk pembelian obat dan BMHP menggunakan dana
instansi pelayanan publik daerah, namun Puskesmas dengan kondisi keuangan
yang tidak stabil akan menggunakan dana alokasi umum untuk pembelian obat
dan bahan medis habis pakai. Beberapa Puskesmas menggunakan dana BLUD
untuk meningkatkan SDM kesehatan yang masih kurang.
Akreditasi
Akreditasi tidak mempengaruhi kualitas pelayanan kefarmasian di Puskesmas.
Seluruh Puskesmas di Kota Tegal yang memiliki akreditasi ulang memiliki tingkat
akreditasi utama dan Puskesmas yang belum melakukan akreditasi ulang memiliki
tingkat akreditasi Madya. Setelah akreditasi SDM farmasi, ada yang tidak lagi
mematuhi SOP yang dibuat, yang berarti tingkat kedisiplinan dan tanggung jawab
petugas masih kurang. Perlunya menanamkan semangat akreditasi setiap saat di
Puskesmas akan mampu menjaga kedisiplinan petugas untuk meningkatkan
kualitas SDM yang ada dan meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di
Puskesmas Kota Tegal.
Jenis Perawatan Kesehatan Primer
Sebagian besar Puskesmas di Kota Tegal adalah Puskesmas perkotaan, untuk
Puskesmas rawat inap di Kota Tegal hanya ada satu Puskesmas rawat inap, namun
seluruh Puskesmas memiliki ER 24 jam. Dengan jenis Puskesmas dan layanan ER
24 jam, jumlah tenaga apotek yang ada tidak mencukupi. Seluruh Puskesmas di
Kota Tegal adalah Blud Puskesmas dengan pembagian dua Puskesmas utama di
setiap kecamatan.
Kesimpulan
Analisis mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas dapat disimpulkan bahwa
pengelolaan obat dan pelayanan apotek klinis di Puskesmas Kota Tegal masih
belum efisien. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan kefarmasian
di Puskesmas, yaitu sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi kualitas pelayanan kefarmasian di Puskesmas; ketersediaan dana
berpengaruh untuk Puskesmas BLUD kecil; akreditasi merupakan faktor yang
mempengaruhi disiplin SDM di Puskesmas; jenis Puskesmas terkait jumlah SDM
yang masih kurang.
Pengakuan
Terima kasih kepada Universitas Setia Budi Surakarta dan Kepala Dinas
Kesehatan Kota Tegal yang telah memberikan izin pendataan tentang Puskesmas.
Terima kasih kepada semua orang yang telah membantu dan memberikan umpan
balik.
Referensi
Destiny dkk (2016). Pola Resep Rawat Jalan: Studi Observasional Menggunakan
WHO Meresepkan Kriteria Indikator di Salah Satu Fasilitas Kesehatan Bandung.
Jurnal Farmasi Klinis Indonesia. Vol. 5 No. 3, pp. 225–23. September 2016.
Kementerian Kesehatan RI (2009). Pekerjaan Farmasi. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Indonesia.
Dinkes Kota Tegal (2016). Profil Kesehatan Kota Tegal 2016. Tegal. Departemen
Kesehatan.
Djestawana I G dkk (2012). Pengaruh Pengembangan Organisasi, Kepemimpinan,
Jalur Karier terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan Pusat Kesehatan
Masyarakat. Jurnal Nasional Kesehatan Masyarakat, Vol. 6, No. 6, Juni 2012.
Handayani dkk (2010). Ketersediaan dan Resep Obat Generik dan Obat-obatan
Esensial di Fasilitas Pelayanan Farmasi di 10 Kabupaten/Kota di Indonesia.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 13 No. 1 Januari 2010: 54–60.
Herman dkk (2011). Hubungan Ketersediaan Tenaga Kerja Farmasi Dengan Ciri-
ciri Pelayanan Kesehatan Primer dan Praktik Kefarmasian Di Pusat Kesehatan
Masyarakat. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
Hermanto dkk (2015). Pengurusan Obat Siaga Tinggi Pada Tahap Distribusi dan
Penyimpanan di RS PKU Muhammadiyah Unit II Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta:
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Indrayani dkk (2014). Kualitas Pusat Pelayanan Pelayanan Pelayanan Kesehatan
Masyarakat yang berstatus Badan Layanan Umum Daerah. Jurnal Nasional
Kesehatan Masyarakat Vol. 9, No. 2, November 2014.
Kementerian Kesehatan RI (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Pusat
Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI (2020). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian pada
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Muharni dkk (2014). Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien ISPA Pada
Salah Satu Perawatan Kesehatan Primer di Kota Pekanbaru. Jurnal Penelitian
Farmasi Indonesia 3(1), September 2014.
Pratiwi dkk (2019). Tinjauan Perencanaan dan Pengadaan Obat di Rawat Jalan
PuskesmasRokan Kabupaten Hulu tahun 2018. Jurnal Penelitian Farmasi
Indonesia 8(2), September 2019.
Pulungan dkk (2019). Evaluasi Penggunaan Obat Rasional di Pusat Kesehatan
Masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai. Jurnal Dunia Farmasi Vol. 3, No. 3.
Agustus 2019: 144-152.
Satibi dkk (2018). Analisis Kinerja Apoteker dan Faktor Mempengaruhi Era
Jaminan Kesehatan Nasional di Pusat Kesehatan Masyarakat. JMPF Vol. 8 No. 1:
32 – 38.
Satibi dkk (2019). Penilaian Mutu Pelayanan Kefarmasian Di Pusat Kesehatan
Masyarakat. Yogyakarta. Pers UGM.
Susyanty dkk (2020). Kesesuaian Pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di Pusat
Kesehatan Masyarakat. R&D Media, Vol. 30 No. 1, Maret 2020, 65 – 74.
Thenu dkk (2016). Evaluasi Pusat Pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan
Masyarakat untuk mendukung pelaksanaan sikda generik menggunakan Metode
Hot Fit di Kabupaten Purworejo. Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia,
Volume 4 No. 02 Agustus 2016.
WHO (1993). Cara Menyelidiki Penggunaan Narkoba di Fasilitas Kesehatan, 12-
68. Organisasi Kesehatan Dunia. Genewa, apa yang terjadi?
WHO (2005). Pedoman Pengobatan Diare untuk Tenaga Kesehatan Berbasis
Klinik. Jenewa: Organisasi Kesehatan Dunia.
Zulkarnaini A, Martini RD. Keterangan Polifarmasi Pasien Geriatri Di Beberapa
Poliklinik RSUP Dr.M Djamil Padang. Jurnal; Kesehatan Andalas. 2019.