Anda di halaman 1dari 15

RESUME JURNAL

Pemeriksan Prostate Specific Antigen pada Kasus Kejahatan Seksual

Oleh:

Jawaharlal Akbar L. 200070200011015

Syahidah Salsabiila 200070200011014

PERIODE:

26 April – 9 Mei 2021

Pembimbing: dr. Reyhan Andika F., Sp. F

LABORATORIUM/SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2021

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejahatan seksual yang dialami perempuan seluruh dunia telah terjadi

pada 52% dari mereka, Di Indonesia, menurut Komisi Nasional Anti

Kekerasan pada Perempuan telah mencatat dalam 13 tahun (1998-2011)

terjadi 93.960 kasus kejahatan seksual pada perempuan, dimana dalam rata-

rata terjadi pada 20 perempuan per hari. 1 Kejahatan seksual merupakan

suatu tindakan kriminal yang dimana deteksi cairan tubuh dari pelaku pada

genitalia korban merupakan bukti pengadilan yang penting. 3 Hal tersebut bisa

dideteksi dengan PSA, DNA atau RNA marker dan Semenogelin.

Prostate Specific Antigen (PSA) adalah suaatu serine protease yang

diproduksi oleh kelenjar prostat matur pada laki-laki dan sel-sel sekitar dari

epitelium uretra. PSA juga dikenal dengan nama lain ɣ-seminoprotein, E1

protein, P30 dan PA. PSA telah digunakan untuk seminal biomarkers dalam

deteksi semen lebih dari 30 tahun. 3 Kadar PSA normal pada semen manusia

berkisar antara 0,24-5,5 mg/ml.2 Maka apabila terdapat PSA pada genitalia

perempuan, kemungkinan besar terjadi koitus. 1

Pemeriksaan PSA dapat menghindari ada atau tidaknya sel sperma

dalam sampel semen dan gangguan yang disebabkan cairan dan saliva

vagina. PSA juga dapat membedakan sampel semen dari manusia atau
hewan. PSA utamanya terdeteksi dengan gold-labeled test strip, dimana

prinsipnya yaitu mendeteksi PSA dengan metode immunologikal dan teknik

kromatografi.2 PSA juga menjadi komponen paling spesifik dalam cairan

semen.1 Dalam praktik forensik, hasil false-positive dan false negative sering

terjadi karena adanya efek hysteresis yang disebabkan oleh konsentrasi

sampel yang berlebihan atau sensitifitas dari strip reagen yang rendah

dikarenakan perbedaan dalam pembuatan. 2 Kebanyakan kasus kejahatan

seksual terutama perkosaan membutuhkan deteksi adanya semen pada

pemeriksaan forensik.1

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi kejahatan seksual?

2. Bagaimana metode PSA mendeteksi terjadinya kejahatan seksual?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui definisi dari kejahatan seksual

2. Mengetahui metode PSA untuk mendeteksi terjadinya kejahatan

seksual

1.4 Manfaat Penulisan

Penulisan dari resume jurnal ini diharapkan dapat meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman dokter muda mengenai metode PSA dapat

mendeteksi terjadinya kejahatan seksual.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Pemeriksaan telah terjadinya koitus dapat dilakukan dengan berbagai

cara. Dapat menggunakan sinar ultraviolet dimana cairan seminalis akan

berfluorosensi berwana bluish-silver, namun dapat false positive dikarenakan

cairan biological lain maupun jus dari sayuran. Pilihan lain yaitu dengan

reaksi enzim. Enzim yang dimaksud adalah acid phosphatase yang berasal

dari sekresi prostat. Tingginya kadar aktifitas asam fosfat dapat

mengindikasikan adanya cairan semen, namun tidak dapat menjadi bukti kuat

dikarenakan cairan vagina juga menghasilkan asam fosfat 4. Pemeriksaan

immunologikal juga dapat dilakukan dengan Prostate Specific Antigen (PSA)

yang merupakan suatu glikoprotein yang diproduksi oleh sel epithel prostate

dan sering digunakan sebagai penanda adanya cairan semen pada kasus

forensik 3. PSA dapat ditemukan pada plasma seminal, urine laki-laki, bahkan

pada serum darah namun tidak dapat ditemukan sedikitpun pada jaringan

maupun cairan pada tubuh perempuan 4. Penanda lain yang digunakan untuk

mengetahui cairan semen adalah semenogelin (Sg) yang merupakan

komponen protein utama pada semen dan diproduksi pada vesikula

seminalis 3. Pemeriksaan gen SRY juga dapat dilakukan sebagai alternatif.

Gen SRY adalah salah satu tes molecular yang dapat mendeteksi komponen

laki-laki pada swab vagina yang meyakinkan telah terjadinya koitus 1.


Pada berbagai kasus kejahatan seksual dibutuhkan pembuktian

adanya cairan semen pada pemeriksaan forensik. Namun pemeriksaan

cairan semen yang digunakan adalah pemeriksaan spermatozoa.

Pemeriksaan spermatozoa dapat memberikan hasil false negative pada

perempuan yang telah membersihkan vaginanya dan juga jika pelaku

merupakan azoospermia maka dapat dipastikan tidak akan ditemukan


1
spermatozoa . Maka dari itu diperlukan pemeriksaan yang memiliki

sensitivitas lebih tinggi.

Pemeriksaan PSA dapat menjadi alternatif sebagai pembuktian

adanya kejahatan seksual yang telah dilakukan. Penemuaan PSA dapat

ditemukan pada cairan semen yang didalamnya tidak terdapat sperma

(azoospermia), dapat dideteksi pada laki-laki yang telah dilakukan vasektomi


2
dan dapat dideteksi meskipun terdapat cairan vagina maupun saliva .

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah Fluorescent in situ

hybridization (FISH) dengan cara mendeteksi sel epithelial laki-laki post-

koitus vagina sampai dengan 1 minggu. Pemeriksaan ini dapat

mengidentifikasi Y-kromosom pada swab vagina meskipun tanpa adanya

ejakulasi 4.

2.2 Metode

Ketiga jurnal yang didapatkan diambil dari Google Scholar dengan

kata kunci “PSA in sexual assault” dan diseleksi melalui abstrak dan metode
yang digunakan untuk memilih jurnal yang sesuai. Pengumpulan data diambil

dari rekomendasi Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and

Meta-Analyses (PRISMA). Terdapat tiga jurnal, masing-masing

menggunakan uji cross srectional dan experimental dengan subjek

perempuan yang mengalami kejahatan seksual dan datang ke Rumah Sakit

setempat.

Metode penilaian dari kandunga PSA pada ketiga jurnal ini adalah

dengan PSA Rapid test, PSA dan DNA test, dan Semenogilin test. Kriteria

inklusi yang digunakan adalah jurnal dari 10 tahun terakhir, perempuan yang

mengalami kekerasan sexual, dan penelitian yang melihat kadar PSA dengan

berbagai metode. Kriteria ekslusi adalah jurnal yang bukan case report dan

jurnal lebih dari 10 tahun.

2.3 Hasil
2.3.1 PSA Rapid Test dan SRY Gene Analysis

Berdasarkan dari 43,75% responden anak-anak dibawah 18

tahun dan sebanyak 87,5% dari mereka terdapat sobekan dari himen

yang lama (tabel 1 dan 2). Dengan menggunakan metode diagnostik

kadar spermatozoa pada cairan semen dengan swab vagina

didapatkan sensitivitasnya 23,08% dan spesifisitasnya 100%.

Sedangkan dengan metode PSA rapid test pada korban kekerasan

seksual didapatkan sensitivitasnya 84,62% dan spesifitasnya 100%

(tabel 3).1
Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua metode tersebut

memiliki spesifisitas 100% dimana dapat secara spesifik mendeteksi

semen pada genitalia perempuan. Namun, berdasarkan

sensitivitasnya menunjukkan kemungkinan hasil false negative pada

pemeriksaan spermatozoa lebih tinggi daripada PSA Rapid Test

karena kemungkinan korban sudah mencuci daerah genitalianya.

Metode PSA Rapid Test sangat akurat dan dapat menggantikan

pemeriksaan spermatozoa.1

Pada studi ini memiliki kekurangan dimana subjek penelitian

yang dipilih telah berhubungan seksual kurang dari 3 hari dan data-

data tersebut didapatkan dari hasil anamnesis yang bersifat subjektif.

Dimana waktu saat berhubungan seksual merupakan salah satu

variable kritis yang harus dikontrol karena PSA akan menghilang ± 3

hari setalah tindakan seksual namun dengan SRY gene analysis

ditemukan pada 7-15 hari setelah koitus. Bila pada kasus kejahatan

seksual tanpa ejakulasi seperti pelaku hanya memasukkan jarinya ke

dalam genitalia korban yang dapat meninggalkan jejak leukosit dan

epitel sehingga dapat terdeteksi pada analisis DNA yang menunjukkan

hasil SRY Gene Analysis positif sedangkan PSA negatif.1

2.3.2 PSA dan DNA test

Pada jurnal ini, hasil yang didapatkan dengan membandingkan

PSA conventional strip dan rapid quantitative immunofluorescence test


pada 48 sampel dimana terdapat 39 sampel yang diukur memiliki PSA

>2 ng/ml dengan quantitative PSA assay dan komponen laki-laki

ditemukan juga. Namun pada sampel dengan PSA <2 ng/ml tidak

ditemukan komponen laki-laki, maka hasil dari PSA quantitative

sejalan dengan hasil DNA. Satu dari 9 sampel memiliki PSA 20-50

ng/ml, 5 sampel ditemukan profil DNA tunggal laki-laki, 4 sampel

lainnya ditemukan profil DNA campur (Tabel 4). Maka pada sampel

dengan kadar PSA dalam jangkauan mengandung cairan bilogis

namun kurang adekuat dalam deteksi single DNA laki-laki dibanding

DNA perempuan.2

Pada sampel dengan PSA 20-50 ng/ml, dapat ditemukan mixed

DNA profile, maka selanjutnya direkomendasikan untuk two cycle

digestion method dan column-based sperm enrichment untuk

mengurangi efek dari sel epitel perempuan dan meningkatkan

komponen laki-laki agar didapatkan single male DNA profile. Pada

sampel dengan PSA 2-20 ng/ml dengan uji PSA strip konvensional

didapatkan 2 positif lemah dan negatif pada 3 sampel lainnya, namun

kelima sampel tersebut terdeteksi profil DNA autosom campuran.

Berdasarkan hal tersebut, ketiga sampel negatif PSA strip

konvensional kemungkinan false negative. Dengan DNA typing laki-

laki pada ketujuh sampel tersebut gagal karena didapatkan hasil

negatif dengan uji DNA strip konvensional dan PSA <2 ng/ml dari uji

kuantitatif. Dua sampel terdeteksi positif pada uji PSA strip, namun uji
fluorensensi kuantitatif terdeteksi PSA <2 ng/ml dan tidak ada DNA

laki-laki terdeteksi yang mungkin hasil deteksi tersebut false-positive

dengan uji strip.2

Selain itu, sampel air mani pada laki-laki dengan azoospermia /

telah vasektomi mengandung PSA tapi tidak ada sperma. Dengan

demikian, uji PSA strip konvensional akan menunjukkan hasil positif ,

untuk tes DNA mungkin menunjukkan hasil negatif untuk DNA typing

laki-laki. Pada kasus ini, inspektur akan mempertimbangkan hasil uji

PSA strip nonkuantitatif false-positive dan akan menyelidiki lebih

lanjut, sehingga kehilangan kesempatan untuk mengungkapkan fakta

bahwa air mani tersangka tidak mengandung sperma. 2

2.3.3 Sperm Test, Semenogelin Test, PSA Test

Pada bulan Januari 2010 – April 2015, didapatkan 1.764 kasus

kejahatan seksual di Departemen Kedokteran Forensik, Rumah Sakit

Siriraj. Hanya 114 kasus yang memenuhi kriteria dan 89 kasus yang

positif pada tes sperma, tes Semenogelin atau tes PSA. Sperma

terdeteksi pada 76 dari 89 kasus, Semenogelin terdeteksi pada 51 dari

89 kasus dan PSA terdeteksi pada 33 kasus. Tingkat deteksi pada tes

Sperma dan PSA tinggi dalam 24 jam pertama, namun tingkat deteksi

pada PSA menurun signifikan bila lebih dari 24 jam sedangkan tingkat

deteksi pada tes Sperma dan Semenogelin tidak memberikan efek

signifikan dengan meningkatkan waktu interval. Dengan analisis


Pearson Chi-Square Test dan Bonferroni’s multiple comparison

menunjukkan bahwa hanya pada penurunan tingkat deteksi PSA

signifikan pada interval 24,1-48 jam.3

Tingkat deteksi PSA menurun seiring waktu walaupun sperma

terdeteksi atau tidak sedangkan tingkat deteksi tes Semenogelin lebih

baik dari tes PSA. Dengan Mc Nemar’s Test, didapatkan tingkat

deteksi tes sperma lebih baik dari kedua tes tersebut dan lebih baik

dari tes PSA dalam segala waktu. Tes Semenogelin dan tes Sperma

secara signifikan lebih baik pada 24 jam pertama. Dilakukan uji kinerja

pada tes Semenogelin dan PSA pada masing-masing 4 interval waktu

serta secara keseluruhan dan didapatkan bahwa tes Semenogelin

lebih baik dari tes PSA kecuali pada 24 jam pertama sperma

terdeteksi, sehingga sampel lebih positif terdeteksi oleh tes PSA.

Berdasarkan Cochran’s Q test menunjukkan bahwa tingkat deteksi tes

Sperma lebih baik dari tes Semenogelin dan tes Semenogelin lebih

baik dari tes PSA.3

2.4 Kesimpulan

Identifikasi dari adanya PSA pada perempuan yang mengalami

kekerasan seksual sangat krusial pada kasus forensik. Terutama bila laki-laki

yang merupakan pelaku tidak memiliki kandungan sperma dalam cairan

semen atau azoospermia. Kadar dari PSA sendiri akan semakin menurun

setelah beberapa waktu yang mengindikasikan telah terjadi kekerasan


seksual dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal ini, PSA dapat menggantikan

uji spermatozoa pada perempuan yang mengalami kekerasan seksual karena

uji spermatozoa sendiri mudah hilang jika dibilas dan sperma hidup hanya

akan bertahan dalam beberapa jam saja.

Dari berbagai metode untuk uji PSA sebagai pengganti uji

spermatozoa, PSA mampu dideteksi dengan baik melalui metode PSA Rapid

Test dengan syarat koitus telah dilakukan kurang dari tiga hari. Namun jika

melebihi dari 3 hari dan pelaku hanya memasukkan jari saja maka lebih baik

digunakan uji lain seperti SRY Gene Analysis atau DNA test.
BAB III

KESIMPULAN

Kejahatan seksual merupakan tindakan criminal yang masih banyak

terjadi diseluruh dunia terutama pada perempuan. Di Indonesia sendiri rata-

rata terjadi kejahatan seksual pada 20 perempuan setiap harinya. Dalam

kasus kejahatan seksual tidak bisa hanya mengandalkan anamnesis dari

korban karena bersifat subjektif dan belum tentu dapat dipercaya. Oleh

karena itu diperlukan pemeriksaan objektif untuk mendeteksi siapa pelaku

dari kejahatan seksual tersebut.

Dalam identifikasi forensik, dibutuhkan suatu bukti yang sah dari

pemeriksaan terhadap korban yang akan dibawa dalam persidangan. Salah

satunya menggunakan tes PSA, dimana memiliki sensitivitas dan spesifisitas

yang tinggi untuk mencegah adanya hasil false-negative. Tes PSA memiliki

tingkat deteksi paling baik untuk sampel dalam 24 jam pertama dan dapat

terdeteksi positif pada ejakulasi.


LAMPIRAN

Age (years) 25 (13-39)


≤18 7 (43,75%)

> 18 9 (56,25%)

Natonality
Indonesian 15 (93,75%)

Foreigners 1 (6,25%)

Hymen
Recent tear 2 (12,50%)

Old tear 14 (87,50%)

Table 1. Participants Characteristics

Table 2. Spermatozoa Examination Results in Vaginal Swabs

Table 3. PSA Rapid Test Results in Vaginal Swabs


Table 4. PSA and DNA Test Results of 48 Samples

Table 4. PSA and DNA Test Results of 48 Samples


DAFTAR PUSTAKA

1. Arijana, I. G. (2012). Postate-Specific Antigen (PSA) Rapid Diagnostic

Tests Compared with SRY Gene for Detecting Male Component in Vaginal

Swabs. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences (IJLFS), 2.

2. Liu, Z., Yang, Y., Pan, Z., Zhu, X., Feng, S., & Zhao, D. (2015).

Potential Application of Quantitative Prostate-specific Antigen Analysis in

Forensic Examination of Seminal Stains. Journal of Forensic Science and

Medicine, 1(2), 159.

3. Suttipasit, P., & Wongwittayapanich, S. (2018). Detection of prostate

specific antigen and semenogelin in specimens from female rape

victims. Journal of forensic and legal medicine, 54, 102-108.

4. Saukko P. and Knight B. 2016. Knight’s Forensic Pathology Fourth

Edition.

Anda mungkin juga menyukai