Menurut WHO, di kawasan Asia Tenggara 8% populasi adalah Lanjut usia (Lansia) atau
sekitar 142 juta jiwa. Perkiraan di dunia terjadi peningkatan dari tahun 2013 sekitar 13,4%, tahun
2050 sekitar 25,3% dan tahun 2100 sekitar 35,1%. Indonesia sendiri penduduk lanjut usia pada
tahun 2013 sekitar 8,9%, diperkirakan terjadi peningkatan tahun 2050 sekitar 21,5% dan pada
tahun 2100 sekitar 41%. Dari data tersebut populasi lansia di Indonesia di prediksi meningkat
lebih tinggi dari pada populasi lansia di dunia setelah tahun 2100[1]
Relaksasi otot progresif (progressive muscle relaxation), yaitu suatu teknik relaksasi yang
menggunakan serangkaian gerakan tubuh yang bertujuan untuk melemaskan dan memberi efek
nyaman pada seluruh tubuh (Corey, 2005). Rasa nyaman inilah yang dibutuhkan lansia guna
meningkatkan kualitas tidurnya. Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti tertarik untuk
menerapkan latihan relaksasi otot progresif dalam meningkatkan kualitas tidur lansia[3]
Metode pelaksanaan yang bertuuan meningkatkan kuaitas tidur pada lansia umumnya
terbagi atas terapi farmakologi dan nn farmakologis. Terapi farmakologis memiliki efek yang
cepat. Namun, penggunaan obat obatan ini menimbulkan dampak jangka panjang yang
berbahaya bagi kesehatan lansia. Hal ini ditunjukan dari hasil penilitian bahwa terjadi
peningkatan angka mortilitas pada lansia yang menggunakan obat tidur. Penggunaan obat tidur
terus menerus pada lansia menimbulkan efek toksisitas yang tinggi. Toksisitas ini meningkat
karena adamya penurunan aliran darah dan motilitas gastroinstestinal. Penurunan fungsi ginjal
pada lansia yang diperburuk dengan konsumsi obat oobatan seccara terus menerus akan
menyebabkan gagal ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan mortilitas pada
lansia. Dengan demikian diperlukan terapi non farmakologis yang efekti dan aman untuk
mningktkan kualitas tidur lansia.[4]
Metode non farmakologi lainnya yang dapat meningkatkan kualitas tidur ialah teknik
merendam kaki pada air hangat. Menurut Utami dengan merendam kaki pada air hangat bersuhu
37°C-39ºC dapat meningkatkan kualitas tidur lansia. Berdasarkan penelitian yang telah
dijelaskan diatas terbukti bahwa terapi relaksasi otot progresif dan rendam kaki pada air hangat
efektif dalam menurunkan insomnia pada lansia, tetapi diantara keduanya belum diketahui mana
yang lebih efektif dalam menurunkan insomnia[5]
DAFTAR PUSTAKA
[1] Herdiana, “済無 No Title No Title,” J. Chem. Inf. Model., vol. 53, no. 9, pp. 1689–1699,
2013, doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.
[2] D. Dari, H. Diri, and P. Korban, “Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Insomnia
Pada Lansia,” vol. 03, no. 01, pp. 18–31, 2015.
[3] S. Sulidah, A. Yamin, and R. Diah Susanti, “Pengaruh Latihan Relaksasi Otot Progresif
terhadap Kualitas Tidur Lansia,” J. Keperawatan Padjadjaran, vol. v4, no. n1, pp. 11–20,
2016, doi: 10.24198/jkp.v4n1.2.
[4] A. Rahman, “Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kualitas Tidur Pada
Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Pakem Sleman Yogyakarta,”
E.Journal, pp. 1–16, 2014.
Menarche ialah haid pertama, merupakan ciri khas kedewasaan seorang wanita sehat dan
tidak hamil (BKKBN, 2004). Menstruasi pertama dialami wanita rentang usia 10-16 tahun,
umumnya menstruasi pertama terjadi diusia 12-13 tahun (Fundation, 2004). Menarche pada
remaja putri dapat menimbulkan kecemasan, disebabkan karena kurangnya kesiapan mental,
sikap yang kurang baik tentang perubahan-perubahan fisik, psikologis terkait menache,
kurangnya pengetahuan tentang perawatan diri saat menstruasi[1]
Perasaan bingung, gelisah, tidak nyaman selalu menyelimuti perasaan seorang wanita
yang mengalami menstruasi untuk pertama kali (menarche). Menstruasi pertama atau menarche
adalah hal yang wajar karena dialami oleh setiap wanita normal yang tidak perlu cemaskan.
Namun hal ini akan semakin parah apabila pengetahuan remaja mengenai menstruasi ini kurang
dan pendidikan dari orang tua yang kurang. Adanya anggapan orang tua yang salah bahwa hal ini
merupakan hal yang tabu untuk diperbincangkan dan menganggap anak akan tahu dengan
sendirinya. Tidak perlu malu atau cemas dengan adanya menstruasi. Hal ini justru menunjukkan
bahwa tubuh sudah beranjak dewasa[2]
Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi khususnya menstruasi pada remaja
putri disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya tidak adanya informasi dari orangtua, teman
sebaya, guru, kakak atau saudara perempuan. Menurut Notoatmodjo orangtua sering tidak tahu
tentang informasi apa yang harus diberikan kepada anak menjelang akil baligh[3]
Perubahan sikap premenstruasi pertama (premenarche) yang terjadi sebelum
berlangsungnya masa menstruasi pertama (menarche) diantaranya stres, cemas, ketegangan dan
kegugupan, cepat marah, berat badan bertambah, oedema pada ekstremitas, payudara sakit,
abdomen terasa penuh, nafsu makan, ingin makan yang manis, depresi, cepat lupa, cepat
menangis dan bingung[4]
Kecemasan dalam menghadapi menarche dapat terjadi karena kurangnya informasi
tentang menstruasi dan pendidikan dari orang tua yang kurang. Orang tua menganggap bahwa
hal ini merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan dan berfikir bahwa anak akan tahu dengan
sendirinya, kondisi ini akan menimbulkan kecemasan pada anak tersebut. Hal yang harus
dilakukan untuk mengurangi kecemasan tersebut salah satunya adalah dengan meningkatkan
pengetahuan remaja putri tentang menstruasi sejak dini dengan cara pemberian informasi
kesehatan reproduksi remaja melalui pendidikan kesehatan khususnya tentang menstruasi[5]
DAFTAR PUSTAKA
[1] P. Siswikelas and D. A. N. Sdn, “Metode Audio Visual Dengan Ceramah,” 2015.
[4] M. Pertama, M. Di, and S. D. N. Gegerkalong, “merupakan peristiwa paling penting pada
remaja putri sebagai pertanda siklus masa subur sudah di mulai . Datangnya menstruasi
pertama justru membuat sebagian remaja , takut dan gelisah karena beranggapan bahwa
darah haid adalah suatu penyakit . Namun bebe,” vol. 1, no. 2, pp. 125–130, 2015.
Kejadian karies gigi di tingkat dunia pada tahun 2011, organisasi kesehatan dunia WHO
sudah menyatakan angka kejadian karies pada anak mencapai 75-90%. Data tersebut diperkuat
lagi dengan disertai doctor Muhammad fahlevi rizal yang menybutkan 85% anak balita(bawah
lima tahun) diindonesia mengalami karies. Karies bukan masalah anak Indonesia semata riset
membuktikan paien penderita caries berjenis kelamin perempuan sebanyak24,5% dan laki laki
hanya 22,5%[1]
Karies merupakan suatu penyakit pada jaringan keras gigi, yaitu email, dentin, dan
sementum yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat
difermentasikan. Karies yang terjadi tiba-tiba dan menyebar secara cepat pada anak-anak disebut
rampan karies. Rampan karies seringkali terlihat pada anak-anak di bawah usia enam tahun yang
mempunyai kebiasaan minum susu formula menggunakan media botol susu.[2]
Jenis karies gigi sulung yang umum terjadi yaitu karies rampan. Karies ini sering
ditemukan pada anak usia di bawah lima tahun (balita), dengan penyebaran tertinggi pada anak
usia tiga tahun. Kurangnya perhatian dan kesadaran orang tua akan pentingnya menjaga dan
menanamkan kesehatan gigi dan mulut usia dini dapat berakibat pada masalah karies rampan
yang dapat memengaruhi kualitas hidup bahkan pertumbuhan dan perkembangan gigi anak.[3]
Susu formula merupakan suatu produk makanan yang mengandung nilai gizi cukup
tinggi, karena sebagian besar zat gizi esensial seperti protein, kalsium, fosfor, vitamin A, dan
vitamin B1 ada di dalam susu ormula, Pola konsumsi susu formula yang kurang tepat seperti cara
penyajian yang menggunakan botol yang dihubungkan dengan lama pemberian, frekuensi, dan
waktu pemberian dapat menyebabkan terjadinya karies pada anak[4]
Penggunaan dot dan botol menghalangi akses saliva ke gigi insisivus atas sedangkan gigi
insisivus bawah yang dekat dengan glandula saliva terlindungi oleh lidah dari kandungan cairan
dari botol susu. Penurunan aliran saliva dan kapasitas netralisasi saliva menyebabkan
berkumpulnya makanan pada gigi dan terjadinya fermentasi karbohidrat[5]
DAFTAR PUSTAKA
[3] D. I. Desa, P. Ii, and P. Gunawan, “Jurnal e-GiGi (eG), Volume 3, Nomor 1, Januari-Juni
2015,” vol. 3, 2015.
[4] P. Ani, S. Agus, and W. Arif, “Pengaruh Pemberian Susu Formula menggunakan botol
susu (DOT) terhadap kejadian rampan karies pada anak prasekolah di kelurahan pabelan,”
J. Kesehat. AIPTINAKES, vol. 1, no. 1, pp. 12–21, 2016.