Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
iv
A. Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan

anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa (Hidayati dan Farid, 2016).

Remaja menjadi masa yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam

memahami perkembangannya. Banyak fenomena muncul di lingkungan

masyarakat mengenai perilaku remaja yang meresahkan, misalnya keluhan

para orang tua mengenai kurangnya sopan santun remaja terhadap orang

tua, tindakan agresi baik verbal maupun nonverbal (Hermansati, 2009).

Banyakdimedia cetak memberitakan kasus yang melibatkan remaja yang

bertindak kasar atau menganiaya orang lain, melakukan kritikan dengan

bahasa yang menyakitkan, sehingga berakhir pada perkelahian bahkan

kematian (Hermasanti, 2009).

Hurlock (1980) membagi dua tahapan perkembangan remaja yaitu

remaja awal pada rentang usia 12-16 tahun dan remaja akhir pada usia 16-

20 tahun. Pada usia awal remaja telah mampu mengevaluasi apa yang baik

dan buruk serta dapat menjalin hubungan yang menyenangkan dan penuh

kasih sayang (Stein dan Book, 2004), Tetapi kenyataannya berbeda, fakta

menunjukkan bahwa angka tertinggi tindak kenakalan remaja ada pada

usia 16-20 tahun (Ismayanti dan Dwi 2017). Selain itu, ada kasus tawuran

rata-rata dilakukan saat usia 16-19 tahun (Goleman, 2002). Perilaku

1
2

tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya kecerdasan emosi berada pada

usia remaja akhir. Penelitian yang dilakukan oleh

Aprilia,danIndrijati(2014) menyatakanbahwa prilaku

menyimpangsalahsatunyatawurandapat terjadi karenarendahnya

kecerdasanemosi.Senada dengan

penelitianyangdilakukanolehMilojevi,Dimitrijevi,Marjanovidan

Dimitrijevi (2016) menunjukkanbahwakenakalanremaja

terjadikarenarendahnyakecerdasan emosi seseorang.Oleh sebab itu, remaja

sebaiknya memiliki kemampuan mengendalikan emosi yang disebut

kecerdasan emosi.

Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa remaja yang memiliki

kecerdasan emosi dapat memotivasi diri sendiri untuk mengatasi atau

menangani tekanan dan kecemasan, sehingga apabila remaja sedang

mengalami masalah tidak akan mengalami kehancuran, tetapi mampu

bangkit kembali dan dapat mencari jalan keluar. Lanjut dikatakan bahwa

hal tersebut menjadikan remaja tidak mudah mengeluh dan putus asa

karena dapat mencari solusi tepat untuk menyelesaikan permasalahan.

Pernyataan tersebut didukung penelitian Gottman dan De Claire (2003)

yang menyebutkan bahwa individu yang belajar mengenali dan menguasai

emosinya menjadi lebih percaya diri. Individu tersebut juga lebih baik

dalam prestasi dan menjadi orang dewasa yang sehat secara emosional.

Individu yang memiliki kecerdasan emosi akan lebih terampil dalam


3

menenangkan diri bila marah, dibandingkan individu yang tidak dilatih

emosinya.

Menurut Nur dan Ekasari (2008) manfaat kecerdasan emosi bagi

remaja dapat terlihat dari bagaimana remaja mampu memberi kesan yang

baik tentang dirinya, mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri,

berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan

perasaan, menanggapi orang lain dengan tepat, serta mengungkapkan

reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada, sehingga interaksi

dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.

Salah satu faktor pembentukan emosional remaja yang sangat

mempengaruhi adalah lingkungan keluarga terutama orang tua. Hasildari

penelitianyangdilakukanolehHamarta,Deniz,Saltali(2009),

menunjukkanbahwakelekatanyangamanakanmemberikanefekyangpositifte

rhadapkecerdasan emosiseseorang.Dalam hal ini orang tua mempunyai

pengaruh besar kematangan emosi remaja. Orang tua menunjang

pertumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi anaknya dengan

memenuhi kebutuhan emosional khususnya anak remaja. Lanjut

diakatakan bahwa hubungan anak dan orang tua merupakan sumber

emosional dan kognitif bagi anak. Kecerdasan

emosidapatterbentukkarenakelekatanatau

attachmentyangdiberikanorangtuakepadaanak,yangdapatmembantuanakm

elewati masa transisnyamenujumasadewasa.


4

Keterkaitan antara emosional remaja dengan keluarga khususnya

orang tua dapat terlihat dari kelekatan yang terjalin di antara keduanya.

Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang

dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai

arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua. Dengan kata lain

kelekatan dapat berarti afeksi yang kuat antara anak dan figur lekatnya

(orang tua). Remaja yang memiliki hubungan kelekatan yang sehat dan

aman dengan orang tuanya dapat membantu remaja dari kecemasan dan

kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan

dengan transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa (Santrock, 2003).

Kelekatan yang aman juga antara anakdengan orangtua ditandai

dengan adanyarasa saling percaya dan komunikasi yanghangat antara anak

dengan orangtua. Menurut Bee (2000) kelekatan merupakan bentuk dari

suatu ikatan kasih sayang yang berhubungan dengan timbulnya rasa aman

dalam hubungan tersebut. Kelekatan bukanlah ikatan yang terjadi secara

alamiah. Ada serangkaian proses yang harus dilalui untuk membentuk

kelekatan tersebut. Anak yang merasa yakin terhadap penerimaan

lingkungan akan mengembangkan kelekatan yang aman dengan figur

lekatnya (secure attachment) dan mengembangkan rasa percaya tidak saja

pada ibu juga pada lingkungan.

Menurut hasil penelitian Yessy (2003) remaja yang memiliki pola

secure attachment(kelekatan aman) memiliki karakteristik yang

mendukung terbangunnya kecerdasan emosi seperti kemampuan menjalin


5

relasi, memperhatikan kepentingan orang lain, dan mengembangkan

hubungan pertemanan yang positif, mengutarakan pikiran yang jujur dan

jelas tanpa merugikan orang lain, sehingga membuat remaja menjadi

teman yang diinginkan. Kelekatan yang tepat antara orang tua dengan

remaja akan memberikan kesempatan kepada remaja mengalami

perkembangan emosi yang optimal, sehingga remaja dapat menyesuaikan

diri dalam berbagai situasi yang kompleks.

Hasil penelitan lain yang dilakukan Eliasa dalam Purnama dan

Wahyuni (2017) bahwa ibu menduduki peringkat pertama sebagai figur

kelekatan pada anak, ibu biasanya lebih banyak berinteraksi dengan anak

dan berfungsi sebagai orang yang memenuhi kebutuhannya serta

memberikan rasa nyaman. Lanjut dikatakan selain ibu, peranan ayah juga

sangat penting untuk kehidupan anaknya. Ayah juga mempunyai peranan

penting dalam penentuan status kelekatan anak, apakah anak akan

membentuk kelekatan aman atau sebaliknya. Memasuki usia remaja,

kelekatan yang terbentuk tidak lagi berwujud kelekatan (fisik) melainkan

lebih kepada ikatan emosional (Greenberg et, al dalam O’koon, 1997).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Kimmely dan Schafer,

Asyafa 2011) secure attachment dan insecure attachment yang dibutuhkan

anak dari ibu dan ayah memiliki presentase yang seimbang yaitu, 65%

secure attachment dan 35% insecure attachment. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa ayah juga memberikan kelekatan yang sama penting

dibandingkan ibu. Ayah akan mempengaruhi remaja secara berbeda


6

dengan para ibu, terutama di bidang-bidang seperti hubungan remaja

dengan teman sebaya dan prestasi akademis (Gottman & DeClaire, dalam

Maharani & Andayani, 2003).

Orang tua merupakan figur yang memberi bekal pengalaman

kepada remaja berupa tingkah laku, sikap, dan cara-cara dalam mengenali

emosi diri serta orang lain, mengendalikan emosi, menanggapi orang lain

sesuai porsinya, dan bersosialisasi dengan masyarakat melalui

pengalaman-pengalaman emosi yang didapatkan remaja ketika

berinteraksi dengan keluarga terutama orang tua. Bentuk hubungan yang

terjalin antara orang tua dan remaja akan menentukan kecerdasan emosi

pada remaja terbentuk. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Lestari

(1997), bahwa keluarga terutama orang tua yang merupakan figur sentral

mempunyai peranan penting dalam perkembangan remaja, karena dasar

hubungan pribadi remaja diperoleh pertama kali dalam hubungannya

dengan orang tua.

Lestari (1997) juga menyebutkan bahwa kelekatan pada orang tua

menjadi suatu langkah awal dalam proses perkembangan kecerdasan

emosi remaja, karena orang tua menjadi orang terdekat remaja untuk

berinteraksi dan memiliki jalinan emosi sebelum remaja menjalin interaksi

dengan orang lain.Munculnya bentuk-bentuk perilaku yang negatif pada

remaja seperti hal yang dikatakan Goleman (2000) bahwa gambaran

adanya emosi yang tidak terkendalikan, mencerminkan semakin

meningkatnya ketidakseimbangan emosi. Fenomena tersebut menunjukkan


7

bahwa individu gagal dalam memahami, mengelola, dan mengendalikan

emosinya.

Menurut (Anapratiwi, D., Handayani, S.L.D., dan Kurniawati,

2013) bahwa kelekatan aman memiliki hubungan yang positif pada

kemampuan sosialisasi anak. Sebaliknya kelekatan yang rendah akan

berdampak buruk pada diri anak, Wahyuni dan Asra (2014) menyatakan

bahwa anak yang memiliki kelekatan yang rendah dengan ibunya yang

bekerja memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku atau korban

bullying dibandingkan dengan anak yang memiliki kelekatan yang tinggi

(Wahyuni, Sri dan Asra, 2014).

Stenberg dan Salovey (1997) mengatakan bahwa kecerdasan emosi

adalah kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri

sewaktu perasaan atau emosi itu muncul dan individu tersebut memiliki

kepekaan yang tinggi atas perasaan yang sesungguhnya sehingga mampu

mengenali emosinya sendiri dan kemudian mengambil keputuan-

keputusan secara mantap. Goleman (2000) juga menyebutkan bahwa

koordinasi suasana hati adalah inti hubungan sosial yang baik. Apabila

seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang

lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat

emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri

dalam pergaulan sosial serta lingkungannya.

Mu’tadin (2002) mengatakan dengan memiliki kecerdasan emosi

yang baik diharapkan remaja akan mampu mengembangkan aspek


8

kecerdasan yang lain di tengah lingkungannya, sebab aspek kecerdasan

emosi memegang peranan penting dalam membangun hubungan

interpersonal. Kecerdasan emosi pada remaja tidak timbul dengan

sendirinya. Kemampuan ini diperoleh remaja dari proses interaksi sosial

dengan lingkungannya. Lingkungan keluarga merupakan tempat pertama

kali remaja melakukan interaksi sosial yang paling mendalam dan

mendasar. Seperti halnya penelitian yang dilakukan Damara dan Aviani

(2020) bahwa terdapat hubungan antara kelekatan orangtua dengan

kecerdasan emosi pada siswa SMA. Senada dengan hasil penelitian yang

dilakukan Winarti, Cholilawati dan Istiany (2012) menunjukkan terdapat

hubungan yang signifikan antara kelekatan orangtua dengan kecerdasan

emosi remaja dengan nilai 21,20%.

Fenomena yang terjadi pada lingkungan sekitar Sekolah Menengah

Atas di SMA IBA Palembang berada pada lingkungan yang di kelilingi

dengan sekolah - sekolah yang lain sehingga sering terjadi aduh mulut

antar sekolah . Kondisi emosional remaja pada lingkungan ini sedikit

kurang baik, hal tersebut ditunjukan dengan adanya perkelahian antar

kelompok maupun individu yang di picu oleh ejekan terjadi di lingkungan

tersebut. Menurut warga sekitar, perkelahian tersebut terjadi diawali dari

kesalahpahaman dari anggota kelompok masing- masing.

Selanjutnya, siswa yang mengalami masalah di luar lingkungan

sekolah seperti masalah yang ada di rumah dan masalah yang ada di

hadapinya, mereka sering melampiaskan pada saat mereka berada di


9

sekolah yang mengakibatkan menganggu proses pembelajaran, pemikiran

dan emosi mereka sehingga sering melakukan hal-hal yang tidak baik

seperti bolos pada saat jam pelajaran, bolos pada jam sekolah, melontarkan

kata – kata kasar sering terjadi kehilangan harta benda seperti uang dan

barang yang berharga yang lain biasanya siswa yang melakukan hal

seperti karena mereka belum melakukan pelunasan bayaran sekolah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

kelekatan dengan orang tua memberikan kesempatan kepada remaja untuk

belajar mengenai pengalaman-pengalaman emosi yang didapat ketika

berinteraksi sosial dengan orang tua di lingkungan keluarga, dan hal ini

akan berpengaruh terhadap terbentuknya kecerdasan emosi pada remaja.

Jadi dapat dikatakan bahwa pola kelekatan dimungkinkan mempunyai

kontribusi terhadap kecerdasan emosi remaja. Penelitian ini ingin

membuktikan apakah pola kelekatan berhubungan dengan kecerdasan

emosi pada remaja, yang pada akhirnya membuat penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul ”Hubungan Antara Kelekatan Orang

Tua terhadap Kecerdasan Emosi pada Remaja”.

B. Identifikasi Masalah

1. Remaja mengalami kesulitan emosi seperti perilaku agresif.

2. Adanya bentuk-bentuk perilaku yang negatif pada remaja

3. Remaja kurang dalam memahami dan mengendalikan emosinya.

4. Remaja kurang dalam kelekatan dengan orangtuanya.

C. Rumusan Masalah
10

Dari permasalahan diatas apakah ada hubungan antara kelekatan

orangtua terhadapkecerdasan emosi pada remaja?

D. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara kelekatan orangtua

terhadap kecerdasan emosi pada remaja.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat

teoritis maupun manfaat praktis, sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis :

Sebagai bahan untuk melakukan kajian dan diskusi mengenai pola

kelekatan remaja pada orang tua dalam kaitannya dengan kecerdasan

emosi.

2. Manfaat praktis :

a. Dapat memberikan informasi kepada orang tua tentang pola

kelekatan remaja pada orang tua yang dapat membantu

mengembangkan kecerdasan emosi.

b. Manfaat penelitian bagi sekolah, diharapkan mampu memberikan

pengetahuan dan masukan kepada pihak sekolah tentang fungsi

kecerdasan emosi dan bahwa sekolah mempunyai kontribusi untuk

membantu mengembangkannya melalui perlakuan-perlakuan pada anak

didik.
11
BAB II

TINJAUAN PUSAKA

A. Kecerdasan Emosi

1. Definisi Kecerdasan Emosi

Menurut Goleman (2000) kecerdasan emosi adalah kemampuan yang

dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi

kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur

keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosi tersebut seseorang dapat

menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilih kepuasan, dan

mengatur suasana hati.

Howes dan Herald (dalam Mu’tadin, 2002) mengemukakan kecerdasan

emosi sebagai komponen yang membuat seseorang menjadi pintar

menggunakan emosi, lebih lanjut dikatakan bahwa emosi manusia berada di

wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi

yang apabila diakui dan dihormati, akan menghadirkan pemahaman yang lebih

mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.

Menurut Hapsariyanti (2006), kecerdasan emosi adalah kemampuan

seseorang dalam memahami, merasakan dan mengenali perasaan dirinya dan

orang lain sehingga individu tersebut dapat mengendalikan perasaan yang ada

dalam dirinya dan dapat memahami serta menjaga perasaan orang lain.

Individu tersebut juga dapat memotivasi diri sendiri untuk menjadi pribadi

yang lebih baik dalam kehidupan yang dijalani.

11
13

Mayer and Salovey (Arbadiati, 2007) mendefinisikan kecerdasan emosi

sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan

perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, serta

mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan

emosi dan intelektual. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang

untuk dapat mengenali perasaan diri sendiri atau orang lain dengan tepat,

kemampuan mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri dan kemampuan

untuk menggunakan informasi dengan tepat untuk bertindak (Chen, Peng, &

Fang, 2016). Kecerdasan emosional ini merupakan dasar yang menunjukkan

kemampuan seseorang untuk berfikir secara logis dan kemampuan dalam

memecahkan masalah serta kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang

lain (Esnaola, Revuelta, Ros, & Sarasa, 2017).

Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan

bahwakecerdasan emosi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang

dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapai kegagalan,

mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa.

Dengan kecerdasan emosi tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya

pada porsi yang tepat, memilih kepuasan, dan mengatur suasana hati.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kecerdasan Emosi

Menurut Hurlock (1980) faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangan kecerdasan emosi seseorang adalah faktor kematangan dan

faktor belajar.

a. Faktor kematangan
14

Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk

memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan

satu rangsangan dalam jangka yang lebih lama dan memutuskan

ketegangan emosi pada satu objek. Kemampuan mengingat dan menduga

mempengaruhi emosi, sehingga seseorang menjadi reaktif terhadap

rangsangan yang semula tidak mempengaruhi dirinya. Perkembangan

kelenjar endokrin penting untuk mematangkan perilaku emosional, dan

kelenjar adrenalin memainkan peran utama pada emosi. Faktor ini dapat

dikendalikan dengan memelihara kesehatan fisik dan keseimbangan

tubuh.

b. Faktor belajar

Faktor ini lebih penting karena merupakan faktor yang mudah

dikendalikan. Cara mengendalikan lingkungan untuk menjamin

pembinaan pola emosi yang diinginkan dan menghasilkan pola reaksi

emosional yang tidak diinginkan merupakan pola belajar yang positif

sekaligus tindakan preventif. Makin bertambahnya usia makin sulit

mengubah pola reaksi. Ada lima jenis belajar yang turut menunjang pola

perkembangan emosi yaitu belajar coba ralat, belajar dengan cara

meniru, belajar dengan cara identifikasi, belajar melalui pengkodisian,

dan pelatihan.

Walgito (1993) membagi faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi

menjadi dua yaitu :


15

a) Faktor internal Faktor internal adalah apa yang ada dalam diri individu

yang mempengaruhi kecerdasan emosinya. Faktor internal ini memiliki dua

sumber yaitu segi jasmani dan segi psikologis. Segi jasmani adalah faktor

fisik dan kesehatan individu, apabila fisik dan kesehatan seseorang

terganggu dapat dimungkinkan mempengaruhi kecerdasan emosinya. Segi

psikologis mencakup didalamnya pengalaman, perasaan, kemampuan

berpikir dan motivasi.

b) Faktor Eksternal. Faktor eksternal adalah stimulus dan lingkungan

dimana kecerdasan emosi berlangsung. Faktor eksternal meliputi: stimulus

dan lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi proses

terbentuknya kecerdasan emosi

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi menurut Goleman

(2000) adalah:

a. Lingkungan keluarga

Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dalam mempelajari

emosi, dan orang tualah yang sangat berperan. Anak mengidentifikasi

perilaku orang tua kemudian diinternalisasikan akhirnya menjadi bagian

dalam kepribadian anak. Kehidupan emosi yang dibangun di dalam

keluarga sangat berguna bagi anak kelak, bagaimana anak dapat cerdas

secara emosional.

b. Lingkungan non keluarga

Lingkungan yang dimaksud dalam hal ini adalah lingkungan

masyarakat dan lingkungan pendidikan yang dianggap bertanggung jawab


16

terhadap perkembangan kecerdasan emosi. Pergaulan dengan teman

sebaya, guru, dan masyarakat luas.

c. Otak

Otak adalah organ yang penting dalam tubuh manusia, otaklah yang

mempengaruhi dan mengontrol seluruh kerja tubuh, struktur otak

manusia.

Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan faktor yang

mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi yaitu faktor kematangan

yang mempengaruhi perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan

untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan

satu rangsangan dalam jangka yang lebih lama dan memutuskan ketegangan

emosi pada satu objek. faktor lingkungan atau situasi khususnya yang

melatarbelakangi proses terbentuknya kecerdasan emosi

3. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi

Menurut Goleman (2009), aspek kecerdasan emosional terdiri dari lima,

yaitu:

a. Pengenalan diri (self-awareness).

Mengenali perasaan sebagaimana yang terjadi adalah kunci dari

kecerdasan emosi. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang

sesungguhnya membuat individu berada dalam kekuasaan perasaan.

Orang-orang yang memiliki keyakinan lebih tentang perasaannya dapat

mengarahkan kehidupannya dengan lebih baik. Individu tersebut


17

memiliki pengertian dan merasa mantap dalam mengambil keputusan

terhadap kehidupan pribadinya, seperti dengan siapa akan menikah

sampai ke pekerjaan apa yang akan dilakukan.

b. Mengelola emosi atau pengendalian diri (self regulations)

Mengelola perasaan secara tepat merupakan kemampuan yang

diperlukan untuk mengendalikan diri. Orang-orang yang kurang dalam

kemampuan ini terus menerus berada dalam perasaan menderita,

sedangkan mereka yang dapat mengatasinya dapat merasa segarkembali

jauh dari kemunduran dan ganggguan dalam kehidupan.

c. Memotivasi diri sendiri (motivating ownself).

Mengatur emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang

mendasar untuk dapat memberikan perhatian, memotivasi diri

danmenguasai diri, serta mengembangkan kreativitas. Orang-orang yang

memiliki ketrampilan ini cenderung lebih produktif dan efektif dalam

melakukan berbagai aktivitas.

d. Mengenali emosi orang lain atau empati (Empathy).

Empati adalah dasar dari ketrampilan pribadi. Orang-orang yang

empatik lebih peka dalam menangkap isyarat-isyarat sosial yang

mengindikasikan apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh orang lain.

e. Membina hubungan atau ketrampilan sosial (social skills).

Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan ketrampilan

mengelola emosi orang lain. Orang-orang yang unggul dalam ketrampilan

ini dapat melakukan segala sesuatu dengan baik. Mereka dapat


18

melakukan interaksi dengan orang lain dengan lancar dalam pergaulan

sosial.

Agustin (2014: 92) menyatakan bahwa kecerdasan emosional

mempunyai aspek-aspek sebagai berikut: Pertama, rasa aman tersebut

memiliki keyakinan penuh bahwa yang memiliki kemuliaan dan yang

menghendaki kegagalan adalah Tuhan. Rasa aman tersebut diwujudkan

seseorang dalam bentuk bersyukur ketika mendapat nikmat dan akan

bersabar ketika mendapat ujian. Kedua, kepercayaan diri yaitu

kemampuan untuk mengendalikan serta menjaga keyakinan diri untuk

membuat perubahan. Ketiga, integritas yaitu bekerja secara total, sepenuh

hati, dan dengan semangat yang tinggi. Keempat, kebijaksanaan yaitu

mampu mengambil keputusan dengan akurat dan tidak gegabah. Kelima,

mempunyai motivasi tinggi yaitu seseorang mempunyai semangat yang

tinggi untuk berjuang dan meraih masa depan.

Dari beberapa hasil penelitian diatas, peneliti mengacu pada teori

menurut Goleman (2009) yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi

atau pengendalian diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang

lain atau empati, dan membina hubungan dengan orang.

B. Kelekatan

1. Definisi Kelekatan

Menurut Bowlby (dalam Santrock, 2002) kelekatan adalah adanya

suatu relasi atau hubungan antara figur sosial tertentu dengan suatu fenomena

tertentu yang dianggap mencerminkan karakteristik relasi yang unik.


19

Kelekatan akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang

diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu.

Selanjutnya Santrock (2002) mendefinisikan kelekatan adalah ikatan

emosional yang terbentuk antara dua orang yang selalu memiliki kedekatan

dan menawarkan keamanan fisik serta psikologis. Kelekatan merupakan suatu

ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya

dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya

orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002).

Menurut Berk (dalam maya, 2015) kelekatan sebagai ikatan kuat kasih

sayang antara anak dengan orang tua atau orang-orang khusus dalam hidup

anak, yang menuntun anak untuk merasakan kesenangan ketika anak

berinteraksi dengan mereka. Dalam pembentukan kelekatan, orang tua

diharuskan mampu untuk menimbulkan rasa kepercayaan pada anak sejak

bayi. Selanjutnya menurut Hewe, Saleh dan Wahyuni (2020) kelekatan adalah

ikatan emosional bahwa anak yang berkembang dengan orangtua mereka dan

pengasuh utama lainnyasangatpenting untuk anak-anak kesejahteraan dan

untuk mereka emosional dan pembangunan sosial

Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa

kelekatan adalah suatu ikatan emosional antara anak dengan orang tua atau

orang-orang yang khusus.dalam hidup anak, yang bertahan cukup lama dalam

rentang kehidupan manusia yang menuntun anak untuk merasakan kesenangan

ketika anak berinteraksi dengan mereka


20

2. Pola Kelekatan

Menurut Bowlby (Yessy, 2003) terdapat tiga pola kelekatan, yaitu

pola secure attachment (aman), anxious resistant attachment (cemas

ambivalen), dan anxious avoidant attachment (cemas menghindar).

a. Pola secure attachment

Pola secure attachment adalah pola yang terbentuk dari interaksi

orang tua dengan remaja, remaja merasa percaya terhadap orang tua

sebagai figur yang selalu mendampingi, sensitif, dan responsif, penuh

cinta serta kasih sayang saat mereka mencari perlindungan dan

kenyamanan, dan selalu membantu atau menolongnya dalam menghadapi

situasi yang menakutkan dan mengancam. Remaja yang mempunyai pola

ini percaya adanyaresponsivitas dan kesediaan orang tua bagi dirinya.

b. Pola anxious resistant attachment (cemas ambivalen)

Pola anxious resistant attachment adalah pola yang terbentuk dari

interaksi orang tua dengan remaja, remaja merasa tidak pasti bahwa orang

tuanya selalu ada dan responsif atau cepat membantu serta datang

kepadanya pada saat remaja membutuhkan mereka.Akibatnya, remaja

mudah mengalami kecemasan untuk berpisah, cenderung bergantung,

menuntut perhatian, dan cemas ketika bereksplorasi dalam

lingkungan.Pada pola ini, remaja mengalami ketidakpastian sebagai akibat

dariorang tua yang tidak selalu membantu pada setiap kesempatan dan

juga adanya keterpisahan.

c. Pola anxious avoidant attachment (cemas menghindar)


21

Pola anxious avoidant attachment adalah pola yang terbentuk dari

orang tua dengan remaja, remaja tidak memiliki kepercayaan diri karena

saat mencari kasih sayang, remaja tidak direspons atau bahkan

ditolak.Pada pola ini, konflik lebih tersembunyi sebagai hasil dari perilaku

orang tua yang secara konstan menolaknya ketika remaja mendekat untuk

mencari kenyamanan atau perlindungan. Berdasarkan uraian diatas

disimpulkan terdapat tiga pola kelekatan Menurut Bowlby (dalam Yessy,

2003) yaitu, pola secure attachment (aman), anxious resistant attachment

(cemas ambivalen), dan anxious avoidant attachment (cemas menghindar).

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kelekatan

Menurut Erik Erikson, seorang bapak psikologi perkembangan

(dalam Efendy, 2012), faktor-faktor penyebab gangguan kelekatan adalah:

a. Perpisahan yang tiba-tiba antara anak dengan pengasuh atau orang tua

Perpisahan traumatik bagi anak bisa berupa: kematian orang tua, orang

tua dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu lama, atau anak yang harus

hidup tanpa orang tua karena sebab-sebab lain.

b. Penyiksaan emosional atau penyiksaan fisik

Sistem pendidikan yang tradisional yang seringkali menggunakan cara

hukuman (baik fisik maupun emosional) untuk mendidik dan

mendisiplinkan anak,orang tua sering bersikap menjaga jarak dan bahkan

ada yang membangun image menakutkan agar anak hormat dan patuh pada

mereka. Padahal cara ini justru membuat anak tumbuh menjadi pribadi
22

yang penakut, mudah berkecil hati dan tidak percaya diri. Anak akan

merasa bukan siapa-siapa atau tidak bisa berbuat apa-apa tanpa orang tua.

c. Pengasuhan yang tidak stabil

Pengasuhan yang melibatkan terlalu banyak orang, bergantian, tidak

menetap oleh satu atau dua orang tua menyebabkan ketidakstabilan yang

dirasakan anak, baik dalam hal ukuran cinta kasih, perhatian, dan kepekaan

respon terhadap kebutuhan anak. Anak akan menjadi sulit membangun

kelekatan emosional yang stabil karena pengasuhnya selalu berganti-ganti

tiap waktu. Situasi ini kelak mempengaruhi kemampuannya menyesuaikan

diri karena anak cenderung mudah cemas dan kurang percaya diri (merasa

kurang ada dukungan emosional).

d. Sering berpindah tempat atau domisili

Seringnya berpindah tempat membuat proses penyesuaian diri anak

menjadi sulit, terutama bagi seorang balita. Situasi ini akan menjadi lebih

berat baginya jika orang tua tidak memberikan rasa aman dengan

mendampingi mereka dan mau mengerti atas sikap atau perilaku anak yang

mungkin saja aneh akibat dari rasa tidak nyaman saat harus menghadapi

orang baru. Tanpa kelekatan yang stabil, reaksi negatif anak akhirnya

menjadi bagian dari pola tingkah laku yang sulit diatasi.

e. Ketidak konsistenan cara pengasuhan

Banyak orang tua yang tidak konsisten dalam mendidik anak,

ketidakpastian sikap orang tua membuat anak sulit membangun kelekatan

tidak hanya secaraemosional tetapi juga secara fisik. Sikap orang tua yang
23

tidak dapat diprediksi membuat anak bingung, tidak yakin, sulit

mempercayai dan patuh pada orang tua.

f. Problem psikologis yang dialami orang tua atau pengasuh utama

Orang tua yang mengalami problem emosional atau psikologis sudah

tentu membawa pengaruh yang kurang menguntungkan bagi anak.

Hambatan psikologis, misalnya gangguan jiwa, depresi atau problem stress

yang sedang dialami orang tua tidak hanya membuat anak tidak bisa

berkomunikasi yang baik dengan orang tua, tetapi membuat orang tua

kurang peka terhadap kebutuhan dan masalah anak.

g. Problem neurologis/syaraf

Adakalanya gangguan syaraf yang dialami anak bisa mempengaruhi

proses persepsi atau pemrosesan informasi anak tersebut, sehingga ia tidak

dapat merasakan adanya perhatian yang diarahkan padanya.

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan terdapat 7 faktor-faktor yang

mempengaruhi kelekatan yaitu: perpisahan yang tiba-tiba antara anak

dengan pengasuh atau orang tua, penyiksaan emosional atau penyiksaan

fisik, pengasuhan yang tidak stabil, sering berpindah tempat atau domisili,

ketidak konsistenan cara pengasuhan, problem psikologis yang dialami

orang tua atau pengasuh utama, dan problem neuorologis/syaraf

3. Aspek-aspek Kelekatan

Menurut Guarnieri, Ponti, dan Tani (2010) dan Farliani (2012).

Adapun indikator yang diukur dalam aspek dari Inventory Parent and Peer

Attachment (IPPA) (Armsden dan Greenberg, 2009) yaitu:


24

a. Kepercayaan (Trust) yaitu kepercayaan antara anak terhadap orangtua

yang mengacu pada rasa saling memahami dan menghormati kebutuhan

dan keinginan anak.

b. Komunikasi (Communication) yaitu komunikasi antara anak terhadap

orangtua yang mengacu pada komunikasi verbal dan keterlibatan anak

dengan orangtua.

c. Keterasingan (Alieanation) yaitu pengasingan dari orangtua yang

mengacu pada perasaan anak yang terisolasi, kemarahan, dan pengalaman

ketidakdekatan dengan orangtua. Jadi, terdapat tiga aspek-aspek dalam

kelekatan yaitu kepercayaan, komunikasi, dan keterasingan.


25

C. Kerangka Konseptual

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka kerangka dalam

penelitian ini adalah, seperti tabel :

Tabel 2.1

Kerangka Konseptual

Kelekatan Orang Tua


Kecerdasan Emosi
Menurut Armsden dan Greenberg,
Menurut Goleman (2009)
(2009)
a. Pengenalan diri (self-
a. Kepercayaan (Trust)
awareness).

b. Mengelola emosi atau


b. Komunikasi
pengendalian diri (self
(Communication)
regulations)

c. Memotivasi diri sendiri


c. Keterasingan (Alieanation)
(motivating ownself).

d. Membina hubungan atau

ketrampilan sosial (social skills).

e. Mengenali emosi orang lain atau

empati (Empathy).
Variabel kelekatan berdasarkan aspek – aspek

dari Armsden dan Greenberg, (2009) ada 3 yaitu :

a. Kepercayaan (Trust)

b. Komunikasi (Communication)
26

c. Keterasingan (Alieanation)

Variabel kecerdasan emosi berdasrkan aspek – aspek dari Golmen ( 2009 )

ada 5 yaitu :

a. Pengenalan diri (self-awareness).

b. Mengelola emosi atau pengendalian diri (self regulations)

c. Memotivasi diri sendiri (motivating ownself).

d. Membina hubungan atau ketrampilan sosial (social skills).

e. Mengenali emosi orang lain atau empati (Empathy).

Untuk melihat adakah hubungan antara kelekatan orang tua terhadap

kecerdasan emosi di Sma Iba Palembang

D. Hipotesis

Berdasrkan teori telah dikemukakan dalam tulisan ini, ini dapat diberikan

hipotesis sebagai berikut “Adanya hubungan antara kelekataan orang tua

terhadap kecerdasan emosi “.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif korelasional.

Penelitian kuantitatif ini menekankan analisisnya pada data-data

numerical (angka) yang diolah dengan metode statistika menurut

Suryabrata (2012:82). Penelitian korelasional ini bertujuan untuk

mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan

variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien

korelasi. Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian

korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua

variabel, yaitu :

1. Variabel (X) : Kelekatan orang tua

2. Variabel (Y) : Kecerdasan Emosi

Variabel merupakan sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapat

diamati (diobservasi). Konsep dapat diamati atau diobservasi ini penting,

karena hal yang yang dapat diamati itu membuka kemungkinan bagi orang

lain selain peneliti untuk melakukan hal yang serupa, sehingga apa yang

dilakukan oleh peneliti terbuka untuk diuji kembali oleh orang lain. Dalam

penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel independen atau variabel

(bebas) dan variabel dependen (tergantung). Variabel independen atau

variabel bebas adalah suatu variabel yang variasinya dapat mempengaruhi

26
28

variabel yang lain pada suatu penelitian, sedangkan variabel dependen atau

variabel tergantung merupakan variabel penelitian yang diukur untuk

mengetahui besarnya efek ataupun pengaruh variabel lain (Suryabrata,

2012: 29).

B. Definisi Operasional

Suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan

karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati. Proses

pengubahan definisi konseptual yang lebih menekankan kriteria hipotetik

menjadi definisi operasional disebut dengan operasionalisasi variabel

penelitian menurut Azwar (2015;74).

1. Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang

dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapai kegagalan,

mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan

jiwa. Dengan kecerdasan emosi tersebut seseorang dapat menempatkan

emosinya pada porsi yang tepat, memilih kepuasan, dan mengatur

suasana hati. Adapun aspek-aspek yang digunakan menurut Goleman

(2009) yaitu :

a. Pengenalan diri (self-awareness).

b. Mengelola emosi atau pengendalian diri (self regulations)

c. Memotivasi diri sendiri (motivating ownself).

d. Membina hubungan atau ketrampilan sosial (social skills).


29

e. Mengenali emosi orang lain atau empati (Empathy).

2. Kelekatan

Kelekatan adalah suatu ikatan emosional antara anak dengan orang tua

atau orang-orang yang khusus.dalam hidup anak, yang bertahan cukup

lama dalam rentang kehidupan manusia yang menuntun anak untuk

merasakan kesenangan ketika anak berinteraksi dengan mereka. Adapun

aspek-aspek yang digunakan menurut Armsden dan Greenberg (2009)

yaitu:

a. Kepercayaan (Trust)

b. Komunikasi (Communication)

c. Keterasingan (Alieanation)

C. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sekolah SMA IBA Jl. Mayor Ruslan

30114 Palembang.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini akan dilakukan selama bulan Maret sampai

Mei 2021. Dengan urutan rencana kegiatan mulai dari observasi,

wawancara, dokumentasi data serta pembagian angket pada siswa

SMA SMA IBA Palembang yang bertujuan untuk mencari informasi


30

tentang hubungan kelekatan dengan kecerdasan emosi siswa SMA IBA

Palembang.

D. Teknik Pengambilan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan disimpulkan (Sugiono,2014:80). Jadi populasi

bukan hanya orang tetapi juga objek dan benda-benda alam yang lain.

Populasi juga bukan hanya sekedar jumlah yang ada pada objek/subjek

yang dipelajari tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh

subjek atau objek itu.

Populasi pada penelitian ini adalah pelajar remaja kelas 10 dan 11

SMA IBA Palembang yang berjumlah 130

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2015;118). Bila populasi besar dan

peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi,

misalnya keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka penelitian dapat

menggunakan sampel yang diambil dari populasi. Apa yang dipelajari dari

sampel, kesimpulannya akan dapat diperlakukan untuk populasi. Untuk itu

sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representative

(mewakili).
31

Sampel yang diambil dalam penelitian ini dengan menggunakan

tabel Krecjie dan Morgan. Jika populasi 130 maka sampel yang ditarik

dari tabel Krecjie dan Morgan yaitu 90 responden. Adapun metode

pengambilan sampel yang dipakai pada penelitian ini adalah

menggunankan teknik random sampling.

Menurut Sugiyono (2015;120) merupakan pengambilan anggota

sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata

yang ada dalam populasi itu. Teknik random samplingyang digunakan

adalah dengan cara memilih langsung anak. Langkah pertama yaitu

memilih kriteria yang telah ditetapkan peneliti yaitu pertama mendapatkan

data siswa dari guru BK, mencari siswa yang sering dipanggil oleh guru

BK. Dari kelas.Xsampai XI baik laki-laki maupun perempuan, maka

terdapatlah siswa berjumlah 90 orang secara acak dari seluruh siswa kelas

X. Siswa yang dipilih dipergunakan sebagai sampel penelitian

E. Teknik Pengambilan Data

Pada penelitian ini metode pengumpulan data terdiri dari skala

psikologi, berupa daftar pertanyaan yang akan dikenakan pada subjek

penelitian. Aitem-aitem dalam skala berupa pernyataan favourable dan

unfavourable. Aitem favourable merupakan pernyataan yang mendukung,

memihak, atau menunjukkan ciri adanya atribut yang diukur. Sebaliknya,

aitem tak favourable berupa pernyataan tidak mendukung atau tidak

menggambarkan ciri atribut yang diukur. Metode perskalaan yang


32

digunakan sebagai dasar penelitian nilai skala adalah metode summated

rating, yang dikenal dengan skala likert (Hartomo,2008:47).

Skala yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah skala

likert. Jawaban setiap item pernyataan yang menggunakan skala likert

mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif

(Sugiono,2014:93). Respon yang diharapkan dari pada subjek adalah taraf

persetujuan atau tidak setuju yang telah dimodifikasi dari bentuk aslinya,

yang pada awalnya terdiri dari lima katagori pilihan jawaban. Namun

setelah dimodifikasi dengan menghilangkan kategori pilihan jawaban yang

berada ditengah “ragu-ragu” maka pada setiap butir pernyataan ataupun

pertanyaan yang akan diberikan kepada responden akanada empat

alternative pilihan jawaban saja yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S),

Tidak Sesuai ( TS), Sangat Tidak Sesuai (STS).

Menurut pernyataan diatas maka peneliti menyajikannya kedalam

bentuk table yang terdiri dari kalimat favourable (pernyataan yang

mendukung) dan unfavourable (pernyataan yang tidak mendukung).

Seluruh respon dari item ini diskoring dengan bobot nilai SS=4, S=3,

TS=2, STS=1, skor ini digunakan untuk pernyataan favourable sedangkan

untuk pernyataan unfavourable ialah sebaliknya. Hal tersebut dapat dilihat

dalam bentuk tabel dibawah ini:


33

1. Skala Kecerdasan Emosi

Tabel 3.1

Skala Likert Kecerdasan Emosi

Jawaban Favourable Unfavourable

SS: Sangat Setuju 4 1

S: Setuju 3 2

Ts: Tidak Setuju 2 3

Sts: Sangat Tidak Setuju 1 4

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari satu

alat ukur. Adapun skala yang peneliti maksud adalah sebagai berikut:

Skala ini digunakan untuk mengungkap kecerdasan emosi pada remaja SMA

Tabel 3.2
Butir-Butir Pernyataan Skala Kecerdasan Emosi
Nomor Butir
Indikator Jumlah Butir
Favourable Unfavourable

Pengenalan diri (self-awareness).


Mengelola emosi atau pengendalian diri

(self regulations)
Memotivasi diri sendiri (motivating

ownself).
Membina hubungan atau ketrampilan

sosial (social skills).


Mengenali emosi orang lain atau empati

(Empathy).

Skala Kecerdasan Emosi terdiri dari penyataan yang dijawabnya

mengikuti metode rating yang dijumlahkan atau dikenal dengan dengan


34

metode likert, butir skala yang dibuat dengan pilihan yang setiap butirnya

berisi pernyataan dengan empat alternatif jawaban.

2. Skala Kelekatan
Tabel 3.3
Skala Likert Kelekatan
Jawaban Favourable Unfavourable

SS: Sangat Setuju 4 1

S: Setuju 3 2

Ts: Tidak Setuju 2 3

Sts: Sangat Tidak Setuju 1 4

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari satu alat

ukur. Adapun skala yang peneliti maksud adalah sebagai berikut:

Tabel 3.4
Butir-Butir Pernyataan Skala Kelekatan
Nomor Butir
Indikator Jumlah Butir
Favourable Unfavourable

Kepercayaan (trust)
Komunikasi (Comunication)

Keterasingan(Alieanation)

Skala Kelekatan terdiri dari penyataan yang dijawabnya mengikuti

metode rating yang dijumlahkan atau dikenal dengan dengan metode

likert, butir skala yang dibuat dengan pilihan yang setiap butirnya berisi

pernyataan dengan empat alternatif jawaban.

3. Validitas dan Reliabilitas alat ukur

1) Uji Validitas
35

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana

ketepatan dan kecermatan dari suatu alat pengumpulan data dapat

melakukan fungsi ukurnya. Suatuyang valid berarti alat ukur yang

digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti

instrument tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang

seharusnya diukur (Sugiyono, 2015;173). Validitas yang digunakan

dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity ) untuk

instrument yang berbentuk test, pengujian validitas isi dapat dilakukan

dengan membandingkan antara isi instrument dengan materi yang telah

diajarkan . Dalam kisi-kisi itu terdapat variabel yang diteliti sebagai

tolak ukur dan nomor butir (item) pertanyaan dan pernyataan yang telah

dijabarkan dari indikator. Dengan kisi-kisi instrument itu maka

pengujian validitas dapat dilakukan dengan mudah dan sistematik

(Sugiyono, 2015;182). Sedangkan menurut Arikunto (2012; 79) bahwa

hasilnya harus sesuai dengan keadaan yang dievaluasi.Teknik yang

digunakan adalah pearson product moment dari karl pearson dengan

bantuan program SPSS versi 16.00

r N ( ∑ XY ) −(∑ X ∑ Y )
xy= 2 2
¿
√{N ∑X −( ∑ X ¿¿¿2} {N ∑Y −¿¿

Keterangan :

rxy : Korelasi Product Momentantara skor butir dengan skor total


N : Jumlah subyek
∑X : Jumlah skor butir
∑Y : Jumlah skor total
∑XY : Jumlah perkalian skor butir dengan skor total
36

X2 : Jumlah kuadrat skor butir


Y2 : Jumlah kuadrat skor total

2). Uji Reliabiltas

Reliabilitas merupakan terjemahan kata dari reability yang mempunyai

asal kata rely dan ability. Walaupun reabilitas memiliki berbagai nama lain

seperti kepercayaan, keajegan, kestabilan, konsistensi, dan sebagainya

namun ide pokok yang terkandung dalam konsep ereabilitas adalah sejauh

mana hasil pengukuran dapat di percaya (Arikunto, 2015; 221).

Reliabilitas merupakan bahwa dipercaya jika memberikan hasil yang tetap

apabila diteskan berkali-kali (Arikunto, 2012;74).. Pengukuran yang

memiliki reabilitas yang tinggi disebut sebagai pengukuran yang

reliable.Secara empiric, tinggi rendahnya reliabilitas.Semakin tinggi

koefisien korelasi berarti konsistensi antara hasil pengenaan dua tes

tersebut semakin baik, dan hasil ukur kedua tes itu dikatakan semakin

reliable. Besar koefisien reabilitas berkisar antara 0,00 sampai dengan 1,00

dan tidak ada patokan yang pasti. Bila koefisien reabilitas semakin

mendekati nilai 1,00 berarti terdapat konsistensi hasil ukur yang semakin

sempurna (Arikunto, 2015). Uji reabilitas pada penelitian ini

menggunakan alpha cronbach, karena pembelahan tes tidak hanya terbatas

pada aitem-aitem tes kedalam dua belahan saja, cara-cara pembelahan

dapat diperluas pemakaiannya untuk membagi tes menjadi bebrapa

belahan apabila diperlukan.


37

∝=2 ¿ ]
Keterangan :

α : Koefisien realiabilitas

S 12 : Varians skor berlahan 1

S 22 : Varians skor berlahan 2

Sx2 : Varians skor skala

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup

padda uji distribusi normal yang bertujuan untuk mengetahui normal

tidaknya sebaran yang akan di analisis. Kemudian dilakukan uji hipotesa

dengan menggunakan korelasi Product Moment dari Pearson yang

bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara Kelekatan Orang

Tua terhadap Keceerdasan Emosi pada Siswa SMA IBA Palembang.

Anda mungkin juga menyukai