1
Seusai sekolah, Ellen bertemu dengan Leah. Dia penuh dengan pertanyaan. “Bagaimana cara
Anda mengajari siswa mengerjakan semua tulisan tersebut? Bagaimana cara Anda mengelola
semua hiruk-pikuk dan kegiatan tersebut? Bagaimana Anda belajar melakukan ini?”
”Saya mengikuti beberapa kali lokakarya tentang mengajarkan penulisan,” kata Leah. ”Tetapi
kalau Anda pikir, apa yang saya lakukan hanyalah psikologi pendidikan dasar”.
Ellen heran. ”Psikologi pendidikan? Saya memeroleh nilai A dalam mata kuliah tersebut di
universitas, tetapi saya tidak melihat apa kaitannya dengan program penulisan Anda”.
”Baik, marilah kita lihat”, kata Leah. ”Untuk memulainya, saya menggunakan banyak
strategi motivasi yang saya pelajari dalam psikologi pendidikan. Misalnya, ketika saya
memulai pelajaran menulis saya tahun ini, saya membacakan kcpada siswa beberapa cerita
yang lucu dan membangkitkan minat, yang ditulis oleh siswa dari kelas lain, untuk
menggugah keingintahuan mereka. Saya mengupayakan mereka termotivasi dengan
membiarkan mereka menulis tentang apa pun yang mereka inginkan, dan juga dengan
menyelenggarakan ”perayaan menulis” di mana siswa membacakan tulisan mereka yang
sudah selesai kepada teman-teman kelas untuk memperoleh tepuk tangan dan komentar.
Dosen psikologi pendidikan saya selalu berbicara tentang penyesuaian dengan kebutuhan
siswa. Saya melakukan ini dengan berbicara dengan siswa dan membantu mereka dalam
masalah spesifik yang mereka hadapi. Pertama-tama saya belajar tentang pembelajaran
kooperatif (pembelajaran kerja sama) dalam psikologi pendidikan, dan kemudian saya
mengambil beberapa lokakarya tentang hal itu. Saya menggunakan kelompok belajar
kooperatif untuk memungkinkan siswa memberikan umpan balik langsung satu sama lain
tentang tulisan mereka, untuk memungkinkan mereka saling memberikan contoh penulisan
yang efektif, dan untuk meminta mereka saling mendorong untuk menulis. Kelompok-
kelompok tersebut juga menyelesaikan banyak masalah manajemen saya dengan tetap
mengerjakan tugas satu sama lain dan mengatasi banyak rutinitas ruang kelas. Saya ingat
kami belajar tentang evaluasi dalam psikologi pendidikan. Saya menggunakan bentuk
evaluasi yang fleksibel. Setiap orang akhirnya memeroleh nilai A untuk mata pelajaran
mengarang, tetapi hanya kalau hal itu memenuhi standar yang tinggi, yang dapat saja
membutuhkan penulisan ulang berkali-kali. Saya benar-benar menerapkan apa yang kita
pelajari tentang perkembangan anak hampir setiap hari. Misalnya, saya melakukan
penyesuaian dengan tingkat perkembangan dan gaya budaya siswa dengan mendorong
mereka menulis tentang hal-hal yang mereka anggap penting: Apabila dinosaurus atau video
game dianggap penting untuk sekarang ini, atau apabila siswa merasa tidak nyaman dengan
suatu tindakan orang lain, mereka harus menulis tentang hal itu!”
Ellen terkesan. Dia dan Leah berencana saling mengunjungi kelas masing-masing beberapa
kali lagi untuk saling bertukar gagasan dan pengamatan, dan pada waktunya siswa Ellen
mulai menulis hampir sebagus siswa Ellen. Tetapi sesuatu yang sangat penting baginya ialah
gagasan bahwa psikologi pendidikan benar-benar dapat bermanfaat dalam pengajarannya
sehari-hari. Dia mengambil buku teksnya yang lama dan menemukan bahwa konsep yang
tampak teoretis dan abstrak dalam mata kuliah psikologi pendidikannya benar-benar
membantunya memikirkan masalah-masalah pengajaran.
Penggunaan Pengalaman Anda
2
Pemikiran Kreatif Berdasarkan penjelasan Leah tentang pengajaran penulisannya, bekerja
samalah dengan satu atau dua teman untuk bertukar pikiran tentang apa arti psikologi
pendidikan dan apa yang akan Anda pelajari semester ini. Panduan: (1) makin banyak
gagasan Anda hasilkan, makin baik; (2) manfaatkanlah gagasan orang lain dan juga
gabungkanlah gagasan tersebut; dan (3) jangan lakukan evaluasi tentang gagasan tersebut
pada saat ini. Bawalah daftar ini beberapa kali selama semester ini dan Iakukanlah
penambahan dan juga evaluasi.
Lelucon ini mengandung maksud yang jelas bahwa hal pertama yang harus dimiliki
guru ialah pengetahuan atau keterampilan yang tidak dimiliki siswa; guru harus mengetahui
pokok mata pelajaran yang mereka harap akan diajarkan. Tetapi, apabila Anda berpikir
3
tentang mengajar kuda (atau siswa), Anda akan segera menyadari bahwa, walaupun
diperlukan pengetahuan tentang pokok mata pelajaran, itu tidak cukup. Pemilik peternakan
mungkin sangat paham tentang bagaimana tindakan kuda yang diharapkan dan apa yang
diharapkan tersebut dapat dilakukan kuda tetapi, apabila dia tidak mempunyai kemampuan
mengubah hewan yang tidak terlatih, takut dan tidak ramah menjadi kuda tunggangan yang
baik, akhirnya dia tidak akan menghasilkan apa-apa selain tulang rusuk dan gigi yang patah
karena dia mencari gara-gara. Siswa jauh lebih cerdas dan sedikit lebih suka memaafkan
daripada kuda, tetapi upaya mengajar mereka mempunyai persamaan dengan mengajar kuda
berikut: Pengetahuan tentang bagaimana memindahkan informasi dan kemampuan setidaknya
sama pentingnya dengan pengetahuan tentang informati dan kemampuan itu sendiri. Kita
semua mempunyai guru (sayangnya paling sering dosen perguruan tinggi) yang cerdas dan
berpengetahuan mendalam tentang bidang mereka tetapi tidak dapat mengajar. Ellen Mathis
mungkin mempunyai pengetahuan yang sama dengan Leah Washington tentang seperti apa
tulisan yang baik, tetapi dia masih perlu belajar banyak hal tentang bagaimana mengajari
siswa kelas tiga menulis dengan baik.
Untuk mengajar dengan efektif, pengetahuan tentang pokok mata pelajaran bukanlah
persoalan seseorang yang menjadi ensiklopedia berjalan. Guru yang efektif bukan hanya
mengetahui pokok mata pelajaran mereka, tetapi juga dapat menyampaikan pengetahuan
mereka kepada siswa. Guru matematika sekolah menengah atas yang terkenal Jaime
Escalante mengajarkan konsep angka positif dan negatif kepada siswa di pemukiman
keturunan Spanyol di Los Angeles dengan menjelaskan bahwa, apabila Anda menggali
lubang, Anda dapat menyebut gundukan tanah tersebut sebagai +1 dan lubang tersebut
sebagai -1. Apa yang Anda peroleh ketika Anda memasukkan tanah tersebut kembali ke
lubangnya? NOL. Kemampuan Escalante megnghubungkah konsep angka positif dan negatif
yang abstrak tersebut dengan pengalaman siswanya adalah salah satu contoh bagaimana
kemampuan menyampaikan pengetahuan jauh melampaui sekadar Pengetahuan tentang fakta.
4
tertentu ini. Paula harus memastikan siswa tertarik dengan pelajaran tersebut dan termotivasi
untuk memelajari statistik. Untuk melihat apakah siswa memelajari apa yang diajarkan, dia
dapat mengajukan pertanyaan atau menggunakan ujian atau meminta siswa menunjukkan
pemahaman mereka dengan menciptakan dan menginterpretasikan eksperimen, dan dia harus
menanggapi dengan tepat apakah semua penilaian ini memperlihatkan bahwa siswa
menghadapi kesulitan. Setelah berakhir serangkaian pelajaran tentang statistik, Paula
seharushya membahas kembali topik ini dari waktu ke waktu untuk memastikan hal itu
diingat.
Semua tugas ini memotivasi siswa, mengelola ruang kelas, menilai pengetahuan
sebelumnya, menyampaikan gagasan dengan efektif, memperhitungkan karakteristik pelajar,
menilai hasil pembelajaran dan membahas kembali informasi harus mendapat perhatian pada
semua tingkat pendidikan, di dalam atau di luar sekolah. Semua ini sama-sama berlaku bagi
pelatihan astronaut maupun bagi pelajaran membaca. Namun, cara pengerjaan tugas ini
adalah berbeda-beda sesuai dengan usia siswa, tujuan pengajaran, dan faktor-faktor lain.
Apa yang membuat seseorang menjadi guru yang baik adalah kemampuan
mengerjakan semua tugas yang terdapat dalam pengajaran yang efektif (Burden & Byrd,
2003; Kennedy, 2006). Kehangatan, antusiasme, dan kepedulian sangat berperan panting
(Comelius-White, 2007; Eisner, 2006), demikian pula pengetahuan tentang pokok mata
pelajaran dan pengetahuan tentang cara siswa belajar (Wiggins & McTighe, 2006). Tetapi
keberhasilan penyelesaian semua tugas mengajar itulah yang menghasilkan keefektifan-
pengajaran (Shulman, 2000).
5
yang perlu diketahui guru, yang kemudian dapat diterapkan di ruang kelas. Komponen utama
pengajaran yang efektif diringkas ke dalam Gambar 1.1.
6
Apakah masing-masing kegiatan atau penugasan terkait jelas dengan hasil yang mempunyai
nilai? Apakah setiap menit pengajaran digunakan dengan bijaksana dan baik? Guru yang
intensional yang berupaya membangun kemampuan sinonim siswa pada pertemuan
selanjutnya mungkin akan meminta mereka bekerja berpasangan untuk menguasai beberapa
sinonim sebagai persiapan ujian sendiri-sendiri. Guru yang intensional mungkin akan
meminta semua siswa mengerjakan soal tertentu sementara seseorang bekerja di papan tulis,
sehingga semua dapat membandingkan jawaban dan strategi secara bersama-sama. Guru
yang intensional mungkin dengan cepat memberikan jawaban pekerjaan rumah kepada siswa
untuk diperiksa sendiri, meminta tunjuk tangan bagi jawaban yang benar, dan kemudian
hanya membahas dan mengajarkan kembali latihan yang dijawab dengan salah oleh banyak
siswa. Guru yang intensional menggunakan berbagai metode pengajaran, pengalaman,
penugasan, dan bahan ajar untuk memastikan bahwa siswa mencapai semua jenis tujuan
kognitif, mulai dari pengetahuan, penerapan hingga kreativitas, dan bahwa pada saat yang
sama siswa memelajari tujuan afektif yang penting, seperti kecintaan belajar, rasa hormat
terhadap orang lain dan tanggung jawab pribadi. Guru yang intensional terus-menerus
merenungkan praktik dan hasil yang dia peroleh.
Riset menemukan bahwa salah satu alat prediksi paling ampuh tentang dampak guru
pada siswa ialah keyakinan bahwa apa yang dia kerjakan menghasilkan sesuatu yang
berbeda. Keyakinan ini, yang disebut daya hasil guru (teacher aficacy) (Henson, 2002;
Tscharmen-Moran & Woolfolk Hoy, 2001), adalah inti dari makna menjadi guru yang
intensional. Guru yang yakin bahwa keberhasilan di sekolah hampir seluruhnya terjadi akibat
kecerdasan bawaan anak, lingkungan rumahnya, atau faktor lain yang tidak dapat dipengaruhi
guru, tidak mungkin mengajar sama seperti guru yang yakin bahwa upaya mereka sendirilah
kunci pembelajaran siswa. Guru yang intensional, yaitu yang mempunyai keyakinan kuat
akan daya hasilnya, lebih mungkin mengerahkan upaya yang konsisten, untuk bertahan
menghadapi rintangan dan untuk terus berupaya tanpa lelah hingga setiap siswa berhasil
(Bandura, 1997). Guru yang intensional mencapai rasa daya-hasil dengan terus-menerus
menilai hasil pengajarannya (Schmoker, 1999); terus-menerus mencoba strategi baru jika
pengajaran pertamanya tidak berhasil; dan terus-menerus mencari gagasan dari rekan kerja,
buku, majalah, lokakarya, dan sumber lain untuk memperkaya dan memperkokoh
kemampuan mengajarnya (Corbet, Wilson & Williams, 2005). Kelompok-kelompok guru,
seperti semua guru di sekolah dasar atau semua dosen di fakultas universitas tertentu, dapat
memeroleh daya hasil kolektif melalui kerja sama untuk menguji praktik dan hasil mereka,
mencari pengembangan profesional, dan saling membantu agar berhasil (lihat Borko, 2004;
Sachs, 2000). Daya hasil kolektif dapat mempunyai dampak yang sangat kuat pada
pencapaian siswa (Goddard, Hoy & Hoy, 2000). Tujuan terpenting buku ini ialah memberi
kepada guru pada masa mendatang landasan intelektual di bidang riset, teori, dan kearifan
praktis yang mereka butuhkan guna menjadi guru yang intensional dan efektif. Untuk
merencanakan dan melaksanakan pelajaran, diskusi, proyek, dan pengalaman belajar yang
efektif lain, guru perlu mengetahui banyak hal. Di samping mengetahui mata pelajarannya,
mereka perlu memahami tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa mereka. Mereka perlu
memahami bagaimana pembelajaran, daya ingat, kemampuan memecahkan masalah dan
kreativitas diperoleh dan bagaimana meningkatkan cara mereka memperolehnya. Mereka
perlu mengetahui cara menentukan tujuan, mengorganisasikan kegiatan yang dirancang untuk
membantu siswa memeroleh tujuan tersebut, dan menilai kemajuan siswa ke arah tujuan itu.
Mereka perlu tahu cara memotivasi siswa, cara menggunakan waktu di kelas dengan efektif
7
dan cara menanggapi perdalam cerita singkat yang membuka bab ini, guru yang intensional
terus menerus menggabungkan pengetahuan mereka tentang prinsip psikologi pendidikan,
pengalaman mereka, dan kreativitas mereka untuk mengambil keputusan pengajaran dan
membantu siswa menjadi pelajar yang antusias dan efektif. Mereka terus-menerus melakukan
eksperimen mengenai strategi untuk memecahkan masalah pengajaran dan kemudian
mengamati hasil tindakan mereka untuk melihat apakah hal itu berjalan efektif (Duck, 2000)
Mereka memberikan perhatian pada riset tentang pengajaran yang efektif dan
menggabungkan temuan riset itu ke dalam pengajaran mereka sehari-hari (Fleischman, 2006).
Buku ini menyoroti gagasan yang menjadi inti psikologi pendidikan dan riset terkait.
Buku ini juga menyodorkan banyak contoh tentang cara penerapan gagasan ini ke dalam
praktik, dengan menekankan praktik pengajaran, bukan hanya teori atau usulan, yang telah
dievaluasi dan terbukti efektif. Buku ini dirancang untuk membantu Anda mengembangkan
kemampuan berpikir kritis di bidang pengajaran: pendekatan logis dan sistematis terhadap
banyak dilema yang ditemukan dalam praktik dan riset. Tidak satu pun buku dapat
memberikan semua jawaban yang benar atas pengajaran, tetapi buku yang satu ini berusaha
mengajukan pertanyaan yang benar dan melibatkan Anda dengan menyodorkan alternatif
yang realistis serta konsep dan riset di belakangnya.
Banyak studi telah memelajari perbedaan antara guru yang sudah ahli dan masih baru
dan antara guru yang lebih dan kurang efektif. Satu tema muncul dalam seluruh studi ini:
Guru yang ahli adalah pemikir kritis (Hogan, Rabinowitz & Craven, 2003; Mosenthal et a1.,
2004; Shulman, 2000). Guru yang intensional terus-menerus meningkatkan dan menguji
praktik pengajarannya sendiri, membaca, dan menghadiri konferensi untuk memelajari
gagasan baru, dan menggunakan tanggapan siswanya sendiri untuk menjadi pedoman
keputusan pengajarannya. Ada pepatah lama yang mengatakan bahwa ada guru yang
mempunyai 20 tahun pengalaman dan ada guru yang mempunyai 1 tahun pengalaman
sebanyak dua puluh kali. Guru yang tampil makin baik setiap tahun adalah guru yang terbuka
terhadap gagasan baru dan yang memandang pengajarannya dengan kritis. Barangkali tujuan
terpenting buku ini ialah mambawa Anda ke dalam kebiasaan menggunakan refleksi
(perenungan mendalam) yang dilandasi pengetahuan untuk menjadi guru yang ahli pada masa
mendatang.
8
di kelas sesuai dengan kemampuan mereka, rentang kemampuan yang lebih sempit sebagai
akibatnya dalam suatu kelas akan memungkinkan guru menyesuaikan pengajaran dengan
kebutuhan khusus siswa dan dengan demikian meningkatkan pencapaian siswa. Anggapan ini
ternyata keliru. Banyak guru percaya bahwa memarahi siswa karena perilaku yang salah akan
memperbaiki perilakunya. Banyak siswa tentu saja akan menanggapi kemarahan dengan
berperilaku baik tetapi, bagi siswa lain, kemarahan mungkin adalah imbalan positif atas
perilaku yang salah dan dia benar-benar akan mengulanginya lebih banyak lagi. Beberapa
kebenaran yang sudah ”jelas” bahkan bertentangan satu sama lain. Misalnya, kebanyakan
orang mungkin setuju bahwa siswa belajar lebih baik dengan pengajaran guru daripada
dengan bekerja sendiri. Keyakinan ini mendukung strategi pengajaran langsung yang
berpusat pada guru, di mana guru secara aktif bekerja sama dengan siswa secara keseluruhan.
Namun, kebanyakan orang mungkin juga setuju bahwa siswa sering membutuhkan
pengajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu mereka masing-masing. Keyakinan
ini, yang juga benar, akan menuntut guru membagi waktunya ke individu-individu, atau
setidaknya ke kelompok-kelompok siswa yang mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda,
yang akan menyebabkan beberapa siswa bekerja sendiri sementara yang lain mendapatkan
perhatian guru. Apabila sekolah dapat menyediakan guru pribadi untuk setiap siswa, tidak
akan ada konflik; pengajaran langsung dan individualisasi dapat berjalan berdampingan.
Namun, dalam praktik, biasanya ruang kelas diisi 20 siswa atau lebih; pengajaran langsung
yang makin banyak (tujuan pertama) hamper selalu berarti individualisasi yang makin sedikit
(tujuan kedua). Tugas guru yang intensional ialah menyeimbangkan tujuan-tujuan yang
saling bertentangan ini menurut kebutuhan siswa dan situasi tertentu.
9
mengambil ratusan keputusan setiap hari, dan tiap-tiap keputusan mempunyai satu teori di
belakangnya, tidak peduli apakah guru tersebut menyadarinya atau tidak. Kualitas, ketepatan,
dan kemanfaatan teori itu pada akhirnya adalah sesuatu yang menentukan keberhasilan guru
tersebut. Misalnya, seorang guru mungkin menawarkan hadiah bagi siswa yang mempunyai
kehadiran terbaik, berdasarkan teori bahwa pemberian imbalan atas kehadiran akan
meningkatkan kinerja siswa. Guru lain mungkin memberi imbalan bagi siswa yang
kehadirannya paling membaik (dari tidak baik), berdasarkan teori bahwa siswa yang
kehadirannya jeleklah yang paling membutuhkan insentif agar datang ke kelas. Guru ketiga
mungkin tidak memberi imbalan kepada siapa pun karena kehadiran tetapi mungkin berusaha
meningkatkan kehadiran dengan memberikan pelajaran yang lebih menarik. Rencana guru
mana yang paling mungkin berhasil? lni bergantung sebagian besar pada kemampuan
masing-masing guru memahami gabungan unik faktor-faktor yang membentuk karakter
ruang kelasnya dan karena itu menerapkan teori yang paling sesuai.
Mengajar sebagai Pengambilan Keputusan
Maksud riset di bidang psikologi pendidikan adalah menguji berbagai teori yang menuntun
tindakan guru dan orang lain yang terlibat dalam pendidikan. Berikut ini adalah cotoh lain
cara guru menggunakan psikologi pendidikan.
Pak Harris mengajar mata pelajaran ilmu sosial kelas delapan. Dia mengalami
kesulitan dengan Tom, yang sering berperilaku tidak pantas. Hari ini, Tom membuat pesawat
udara dari kertas dan menerbangkannya di mana ketika Pak Harris membalikkan badannya
dan seluruh siswa bergembira.
Apa yang harus dilakukan Pak Harris?
Sebagai guru yang intensional, Pak Harris mempertimbangkan berbagai pilihan untuk
memecahkan masalah ini, yang masing-masing berasal dari teori tentang mengapa Tom
berperilaku tidak pantas dan apa yang akan memotivasinya untuk berperilaku dengan lebih
pantas.
No Tindakan No Teori
1 Menegur Tom 1 Teguran adalah bentuk hukuman. Tom
akan berperilaku baik untuk
menghindari hukuman.
2 Mengabaikan Tom 2 Perhatian mungkin merupakan imbalan
yang baik bagi Tom. Tindakan
mengabaikannya akan menghilangkan
imbalan ini darinya.
3 Menyuruh Tom ke kantor 3 Perintah untuk pergi ke kantor adalah
hukuman. Ini juga akan
menghilangkan dukungan (yang
tampak jelas) dari teman-teman
kelasnnya pada Tom.
4 Memberitahukan siswa di kelas 4 Tom berperilaku tidak pantas untuk
tersebut bahwa tanggung jawab setiap memperoleh perhatian teman-teman
oranglah memelihara lingkungan kelasnya, kalau seluruh anggota
belajar yang baik dan bahwa, apabila kelasnnya tersebut dirugikan ketika dia
siswa manapun berperilaku tidak berperilaku tidak pantas, kelas tersebut
10
pantas, 5 menit akan dikurangi dari akan mendisiplinkannya.
waktu istirahat.
5 Menjelaskan kepada siswa di kelas 5 Anggota-anggota kelas tersebut
tersebut perilaku Tom mengganggu memegang standar perilaku yang
pelajaran yang perlu diketahui semua bertentangan dengan perilaku Tom
siswa dan bahwa perilakunya dikelas maupun reaksi anggota-
bertentangan dengan aturan yang anggota kelas tersebut terhadapnnya.
ditetapkan sendiri oleh kelas tersebut Dengan mengingatkan kelas tersebut
pada awal tahun. tentang kebutuhannya sendiri
(memeroleh pelajaran) dan aturannya
sendiri ditetapkan pada awal tahun,
guru tersebut mungkin akan membuat
Tom melihat bahwa kelas tersebut
sesungguhnya tidak mendukung
perilakunya.
Tiap-tiap tindakan ini adalah tanggapan umum terhadap perilaku yang tidak pantas.
Tetapi teori mana (dan karena itu tindakan mana) yang benar?
Kuncinya mungkin terdapat dalam fakta bahwa teman kelasnya tertawa ketika Tom
berperilaku tidak pantas. Tanggapan ini adalah petunjuk bahwa Tom mencari perhatian
mereka. Apabila Pak Harris memarahj Tom, mungkin ini akan menaikkan status Tom di mata
teman kelasnya dan mungkin akan menjadi imbalan bagi perilakunya. Tindakan mengabaikan
perilaku yang tidak pantas mungkin merupakan gagasan yang baik jika seorang siswa
berlagak untuk memeroleh perhatian guru, tetapi dalam kasus ini tampaknya perhatian
anggota kelas itulah yang dicari Tom. Menyuruh Tom ke kantor memang mengakibatkan
Tom kehilangan perhatian teman kelasnya dan karena itu mungkin akan efektif. Tetapi
bagaimana jika ternyata Tom mencari cara keluar dari kelas untuk menghindari tugas?
Bagaimana jika dia membusungkan dada untuk menantang kekuasaan yang ada, dan hal itu
jelas disetujui teman kelasnya? Meminta seluruh siswa bertanggung jawab atas perilaku
masing-masing siswa mungkin akan menghilangkan dukungan teman kelasnya kepada Tom
dan memperbaiki perilakunya; tetapi beberapa siswa mungkin mengira bahwa tidak adil
menghukum mereka karena perilaku siswa lain yang tidak pantas. Akhirnya, mengingatkan
anggota-anggota kelas tersebut (dan Tom) tentang kepentingan mereka sendiri dalam belajar
dan standar perilaku mereka yang biasa mungkin akan ampuh jika anggota-anggota kelas itu
pada kenyatannya benar-benar menghargai tinggi keberhasilan akademis dan perilaku yang
pantas.
Riset di bidang pendidikan dan psikologi terkait langsung dengan keputusan yang
harus diambil Pak Harris. Riset perkembangan menunjukkan bahwa, ketika siswa memasuki
usia remaja, kelompok sebaya menjadi yang terpenting bagi mereka, dan mereka mencoba
membangun kebebasan mereka dari kendali orang dewasa, sering dengan mencemoohkan
atau mengabaikan aturan. Riset dasar tentang teori pembelajaran perilaku memperlihatkan
bahwa, ketika suatu perilaku diulangi berkali-kali, suatu imbalan yang pasti telah mendorong
perilaku itu dan bahwa, apabila perilaku tersebut ingin dihilangkan, imbalan tadi harus lebih
dahulu diidentifikasi dan disingkirkan. Riset ini juga mengatakan bahwa Pak Harris
mempertimbangkan persoalan dengan penggunaan hukuman (seperti omelan) untuk
menghentikan perilaku yang tidak diinginkan. Riset tentang strategi pengelolaan ruang kelas
11
tertentu telah mengidentifikasi metode yang efektif untuk digunakan guna mencegah siswa
seperti Tom berperilaku tidak pantas sejak awal maupun mengatasi perilakunya yang tidak
pantas apabila hal itu benar-benar terjadi. Akhirnya, riset tentang penetapan aturan dan
standar ruang kelas menunjukkan bahwa peran serta siswa dalam menetapkan aturan dapat
membantu meyakinkan masing-masing siswa bahwa kelas tersebut secara keseluruhan
mengharapkan tinggi keberhasilan akademis dan perilaku yang pantas, dan bahwa keyakinan
ini dapat membantu untuk tetap mendisiplinkan masing-masing siswa.
Dengan diperlengkapi oleh informasi ini, Pak Harris dapat memilih tanggapan
terhadap perilaku Tom yang didasarkan pada pemahaman tentang mengapa Tom melakukan
apa yang dia lakukan dan strategi apa saja yang tersedia untuk menghadapi situasi ini. Dia
mungkin ya atau mungkin juga tidak mengambil pilihan yang tepat tetapi, karena dia
mengetahui beberapa teori yang dapat menjelaskan perilaku Tom, dia akan mampu
mengamati hasil strateginya dan, jika hal itu tidak efektif, dia belajar darinya dan mencoba
hal lain yang akan ampuh. Riset tidak memberi Pak Harris solusi spesifik; hal itu
memerlukan pengalaman dan penilaiannya sendiri. Tetapi riset benar-benar memberi konsep
dasar tentang perilaku manusia kepada Pak Harris untuk membantunya memahami motivasi
Tom dan berbagai metode yang sudah terbukti kebenarannya yang dapat menyelesaikan
persoalan tersebut. Dan penggunaan riset untuk membantunya mengambil keputusan
pengajaran adalah salah satu cara yang dapat digunakan Pak Harris untuk mencapai rasa-daya
hasilnya sendiri sebagai guru.
Teori ke Praktik
Pengajaran sebagai pengambilan keputusan
Jika tidak ada persoalan pendidikan untuk dipecahkan, maka guru tidak perlu
berfungsi sebagai professional. Professional membedakan diri dari non professional sebagian
melalui fakta bahwa mereka harus mengambil keputusan yang memengaruhi perjalanan
pekerjaan mereka.
Pendidikan harus memutuskan (1) bagaimana mengenali persoalan dan permasalahan
(2) bagaimana mempertimbangkan situasi dari berbagai surdut pandang. (3) bagaimana
mengeluarkan pengetahuan professional yang relevan untuk merumuskan tindakan, (4)
bagaimana mengambil tindakan yang paling tepat, dan (5) bagaimana menilai
konsekuensinya.
Ibu O’Hara mempunyai seorang siswa yang bernama Shanika dalam mata pelajaran
ilmu sosialnnya. Shanika kebanyakan agak diam dan menyendiri. Catatan dirinya terus
menerus menunjukan kemampuan akademis yang lumayan, tetapi pengamat biasa tidak akan
pernah mengetahui. Ibu O’Hara mengajukan kepada diri sendiri pertanyaan berikut ini:
1. Persoalan apa saja yang saya rasakan dalam situasi ini? Apakah Shanika bosan, lelah,
tidak tertarik, atau malu, atau mungkinkah partisipasinya terhambat oleh sesuatu yang
dilakukan atau tidak dilakukan oleh saya atau orang lain ? Teori Psikologi pendidikan
apa saja dapat saya pertimbangkan ?
2. Saya ingin tahu apa yang dipikirkan Shanika dengan berada di kelas ini? Apakah dia
merasa dikucilkan ? Apakah dia suka dengan mata pelajaran tersebut? Apakah dia
peduli dengan apa yang dipikirkan oleh saya dan orang lain tentang partisipasinya yng
kurang tersebut? Mengapa ya atau mengapa tidak? Teori motivasi apa saja akan
membantu saya mengambil keputusan?
12
3. Apa yang saya ketahui dari teori, riset, dan atau praktik yang didapat menuntut
tindakan saya untuk melibatkan Shanika lebih langsung ke dalam kegiatan kelas?
4. Apa sesungguhnya dapat saya lakukan dalam situasi ini untuk meningkatkan
keterlibatan Shanika?
5. Bagaimana cara saya mengetahui apakah saya berhasil dengan Shanika?
Apabila ibi O’Hara mengajukan dan mencoba menjawab pertanyaan ini bukan hanya
dalam kasus Shanika tentu saja, tetapi juga pada saat lain dia akan memperbesar kesempatan
belajar tentang pekerjaannya dengan melakukan tugas itu. Filsuf John Dewey mengajarkan
bahwa persoalan yang dihadapi guru menjadi stimulus alami untuk melakukan penyelidikan
melalui refleksi . Guru yang intensional menerima persoalan itu dan memikirkan secara
produktif solusi atas persoalan itu.
13
pengembangan profesional untuk memelajari metode yang sudah terkenal menghasilkan
perbedaan bagi siswa.
14
1. Cobalah menjadi konsumen riset yang relevan jelas anda tidak dapat menerapkan
sesuatu yang tidak anda ketahui. Sebagai professional, anda mempunyai tanggung
jawab mempertahankan pengertian tentang riset yang relevan yang dapat digunakan.
Selain buku teks mata kuliah anda, yang akan menjadi sumber daya yang sangat baik
bagi anda pada masa mendatang, anda seharusnya terbiasa dengan jurnal professional
dibidang anda. Mungkin anda ingin membaca sekilas jurnal berikut, yang biasanya
menyodorkan riset yang mempunyai penerapan langsung untuk praktek di ruang
kelas: Educational Psychology, Journal of Education Psychology. Dan American
Educational Research Journal. Selain itu periksalah Annual Editions: Educational
Psychology terbitan tahunan yang mencetak ulang artikel dari berbagai
jurnalprofesional. Juga jangan abaikan manfaat jaringan dengan guru lain, lewat
tatapan muka atau internet. Contoh Ellen Mathis dan Leah Washington tersebut
adalah ilustrasi yang sangat baik tentang cara kerja sama memperluas basis riset anda.
2. Cobalah menjadi guru yang intensional. Walaupun tidak ada resep tentang bahan-
bahan yang menghasilkan pendekatan pengajaran berdasarkan akal sehat, perilaku
yang sesuai dengan guru yang intensional menjadi cara terdekat yang dapat kita
jangkau. Guru yang intensional adalah bijaksana. Sama seperti Pak Haris, mereka
mempertimbangkan banyak sudut pandang tentang situasi di ruang kelas. Ketika
mereka mengambil tindakan, mereka mempunyai maksud dan memikirkan alasan
mereka melakukan sesuatu. Guru yang intensional mengikuti tindakan mereka dengan
perenungan yang seksama, dengan mengevaluasi tindakan mereka guna menentukan
apakah hal itu telah membuahkan hasil yang diinginkan. Barangkali anda belajar
tentang “Metode Ilmiah” pada suatu ketika selama sekolah menengah atas. Guru yang
intensional menggunakan metode seperti itu dalam pengajaran mereka. Maksudnya
mereka merumuskan hipotesis kerja berdasarkan pengamatan dan pengetahuan latar
belakang mereka, mengumpulkan data mereka untuk menguji hipotesis mereka,
menata dan menganalisis data tersebut dengan efektif, menarik kesimpulan yang
masuk akal berdasarkan data tersebut, dan mengambil serangkaian tindakan
berdarsarkan kesimpulan mereka. Bagi banyak guru yang berpengalaman, siklus ini
menjadi sesuat yang otoatis dan mendarah daging. Apabila diterapkan dengan
sistematis, praktik ini dapat berperan mendukung riset dan teori dan sebagai
akibatnya, meningkatkan pertumbuhan basis pengetahuan professional guru.
3. Bagikanlah Pengalaman Anda . ketika anda menggabungkan pengetahuan riset anda
dengan akal sehat professional, akan anda temukan diri sendiri terlibat ke dalam
praktik yang lebih efektif. Ketika anda dan siswa anda mengalami keberhasilan,
bagikan temuan anda. Ruang penyebarannya tidak terhingga. Selain menerbitkan
artikel ke dalam sumber tradisional seperti jurnal professional dan warga organisasi,
jangan abaikan peranan penting menyiapkan presentasi penugasan untuk seluruh
sekolah, makalah untuk konfrensi professional Negara bagian dan nasional, dan
presentasi kepada dewan sekolah. Selainitu internet menawarkan berbagai newsgroup
yang disitu guru terlibat kedalam diskusi terus menerus tentang pekerjaan mereka.
15
kadang-kadang mereka menciptakan program khusus, atau perlakuan (treatment), dan
memelajari pengaruhnya terhadap satu atau lebih variabel (segala sesuatu yang dapat
mempunyai lebih dari satu nilai, seperti usia, jenis kelamin, tingkat pencapaian, atau sikap).
Tidak ada hanya satu pendekatan terbaik atau yang paling bermanfaat terhadap riset; setiap
metode dapat bermanfaat jika diterapkan pada beberapa pertanyaan yang benar. Metode
utama yang digunakan peneliti pendidikan untuk memelajari sekolah, guru, siswa, dan
pengajaran adalah eksperimen, studi korelasi, dan riset deskripsi. Bagian-bagian berikut
membahas ketiga metode ini (lihat Metler & Charles, 2005; Slavin, 2007).
Eksperimen
Dalam eksperimen, peneliti dapat menciptakan perlakuan khusus dan menganalisis
dampaknya. Dalam salah satu studi klasik, Lepper, Greene, dan Nisbétt (1973) menciptakan
situasi eksperimen yang di situ siswa menggunakan spidol untuk menggambar. Siswa dalam
kelompok eksperimen tersebut (kelompok yang menerima perlakuan) diberi hadiah
(”penghargaan pemain terbaik”) karena telah menggambar. Siswa dalam kelompok kontrol
tidak menerima hadiah. Pada akhir eksperimen itu, semua siswa dibolehkan memilih di antara
berbagai kegiatan, termasuk menggambar dengan spidol. Siswa yang telah menerima hadiah
lebih sering kira-kira setengahnya memilih melanjutkan menggambar dengan spidol jika
dibandingkan dengan Siswa yang belum menerima hadiah. Hasil ini ditafsirkan sebagai
sesuatu yang memperlihatkan bahwa pemberian imbalan kepada seseorang karena
mengerjakan tugas yang telah mereka sukai dapat mengurangi minatnya mengerjakan tugas
tersebut jika dia tidak lagi diberi imbalan.
Studi Lepper tersebut mengilustrasikan beberapa aspek penting eksperimen. Pertama,
siswa tersebut secara acak ditentukan untuk menerima hadiah atau tidak. Misalnya, nama
siswa mungkin sudah dimasukkan ke dalam lipatan kertas yang dijatuhkan ke dalam topi dan
kemudian diambil secara acak untuk ditempatkan ke dalam kelompok ”hadiah” atau ”tanpa
hadiah”. Penempatan acak (random assignment) memastikan kedua kelompok tersebut pada
dasarnya adalah sama sebelum eksperimen dimulai. Kesamaan ini dianggap sangat penting
karena, jika kita tidak yakin bahwa kedua kelompok tersebut adalah sama sebelum
eksperimen, kita tidak akan sanggup mengatakan apakah hadiah itu yang menghasilkan
perbedaan perilaku mereka berikutnya.
Ciri kedua studi yang menjadi karakteristik eksperimen ini ialah bahwa segala sesuatu
di luar perlakuan itu sendiri (hadiahnya) dipertahankan sama untuk kelompok hadiah dan
tanpa hadiah. Siswa tersebut bermain di ruang yang sama dengan bahan yang sama dan
dengan kehadiran orang dewasa yang sama. Peneliti yang memberi hadiah menghabiskan
jumlah waktu yang sama dalam mengamati siswa tanpa hadiah menggambar. Hanya hadiah
itu sendiri yang berbeda untuk kedua kelompok tersebut. Tujuannya ialah memastikan
perlakuan itu sendirilah, bukan faktor lain, yang menjelaskan perbedaan antara kedua
kelompok tersebut.
Eksperimen Laboratorium Studi Lepper dan rekan-rekan (1973) tersebut adalah contoh
eksperimen laboratorium. Walaupun eksperirnen itu berlangsung di gedung sekolah,
penelitinya menciptakan keadaan yang sangat semu (artifisial) dan terstruktur yang ada untuk
jangka waktu yang sangat singkat. Keunggulan eksperimen laboratorium ialah bahwa
16
eksperimen itu memungkinkan peneliti melakukan tingkat kontrol yang sangat tinggi
terhadap semua faktor yang terlibat dalam studi tersebut. Studi semacam itu mempunyai
tingkat validitas internal yang tinggi, yang berarti bahwa kita dengan yakin dapat
menghubungkan setiap perbedaan yang mereka temukan dengan perlakuan itu sendiri
(bukannya dengan faktor lain). Keterbatasan utama eksperimen laboratorium ialah bahwa hal
itu lazimnya begitu semu dan begitu singkat sehingga hasilnya mungkin saja mempunyai
sedikit relevansi dengan situasi dalam kehidupan nyata. Misalnya, studi Lepper dan rekan-
rekan tersebut, yang kemudian diulangi beberapa kali, digunakan untuk mendukung teori
bahwa imbalan dapat menghilangkan minat seseorang atas kegiatan itu jika imbalan tersebut
ditarik. Teori ini berperan sebagai dasar bagi serangan terhadap penggunaan imbalan di ruang
kelas, seperti nilai dan bintang. Namun, riset kemudian hari di ruang kelas yang
sesungguhnya dengan menggunakan imbalan dan menemukan dampak yang sesungguhnya
pada umumnya tidak berhasil menemukan dampak semacam itu (lihat Cameron & Pierce,
1994). Temuan ini tidak menyangkal studi Lepper dan rekan-rekannya; hal itu hanya
memperlihatkan bahwa teori yang didasarkan pada eksperimen laboratorium semu tidak
dapat diasumsikan berlaku untuk semua situasi dalam kehidupan nyata melainkan harus diuji
dalam keadaan yang sesungguhnya.
17
lain, fakta bahwa studi Pinnell dan rekan-rekan berlangsung dalam kurun waktu yang lama di
ruang kelas yang sesungguhnya berarti bahwa validitas eksternal-nya (validitas kehidupan
nyata) jauh lebih besar dan pada validitas eksternal Lepper dan rekan-rekan pada studi itu.
Maksudnya, hasil studi Pinnell dan rekan-rekan mempunyai relevansi langsung dengan
pengajaran membaca untuk siswa kelas satu yang berisiko.
Eksperimen laboratoriurn dan eksperimen lapangan acak memberikan sumbangan
penting bagi ilmu psikologi pendidikan. Eksperimen laboratorium sangat berperan penting
dalam upaya peneliti membangun dan menguji teori, sedangkan eksperimen lapangan acak
adalah batu ujian untuk mengevaluasi program pengajaran praktis atau perbaikan. Misalnya,
metode proses menulis yang digunakan Leah Washington telah dievaluasi berulang kali
sebagai pembanding atas metode tradisional dan terbukti sangat efektif (Hillock, 1984).
Temuan ini bukanlah jaminan bahwa metode ini akan berlaku dalam setiap situasi, tetapi hal
itu memang memberi arah yang baik untuk diikuti pendidik guna meningkatkan kemampuan
menulis.
Belum lama ini, Departemen Pendidikan AS. mulai sangat menekankan riset sebagai
dasar praktik pendidikan. Misalnya, dalam No Child Left Behind Act (Undang-undang Jangan
Ada Anak yang Tertinggal) tahun 2001, frase ”berdasarkan riset berbasis ilmiah” muncul 110
kali untuk menyebut program yang diharapkan akan digunakan dengan dana federal. Yang
dimaksudkan dengan “riset berbasis ilmiah” terutama ialah studi di mana kelompok
eksperimen dan kontrol ditempatkan secara acak (lihat Departemen Pendidikan AS, 2003),
walaupun studi yang dirancang dengan baik yang membandingkan kelompok-kelompok yang
sepadan juga dihargai tinggi. Kebijakan ini, dan pendanaan baru untuk mendukung
eksperimen acak, sangat meningkatkan minat terhadap jenis riset ini. Anda dapat berharap
melihat lebih banyak lagi studi acak pada tahun-tahun mendatang, dan studi ini akan sangat
berperan penting bagi kebijakan dan praktik (lihat Mosteller & Boruch, 2002; Slavin, 2003).
Eksperimen lapangan acak sangat sulit dilakukan dalam pendidikan, karena guru
jarang bersedia ditempatkan secara kebetulan ke satu kelompok atau kelompok lain. Karena
alasan ini, eksperimen lapangan lebih sering menggunakan pembandingan (matching), di
mana guru atau sekolah yang menggunakan salah satu metode akan dibandingkan dengan
guru atau sekolah yang menggunakan metode yang berbeda, atau kelompok kontrol.
Misalnya, Calderén, Hertz-Lazarowitz, dan Slavin (1998) mengevaluasi program yang
disebut Bilingual Cooperative Integrated Reading and Composition (BCIRC) di sejumlah
sekolah dasar El Paso, Texas. Siswa yang belajar bahasa Inggris di tiga sekolah dengan
menggunakan BCIRC dibandingkan dengan siswa dalam kelompok kontrol, berdasarkan
tingkat pencapaian sebelumnya, status sosioekonomi, dan faktor lain. Setelah mengikuti pra-
tes, kedua kelompok sekolah tersebut dikaji selama dua tahun. Siswa di sekolah BCIRC
memeroleh nilai yang lebih tinggi untuk ukuran membaca daripada siswa di sekolah kontrol.
Pembandingan jauh lebih praktis daripada penempatan acak, tetapi hasilnya harus
ditafsirkan dengan hati-hati, karena mungkin ada alasan sekelompok pendidik menggunakan
satu metode sedangkan kelompok lain tidak. Apakah guru dalam kelompok perlakuan lebih
termotivasi? Apakah mereka mempunyai sumber daya yang lebih besar? Di pihak lain,
apakah mereka lebih kesulitan mencoba sesuatu yang baru? Dalam studi pembandingan,
kemungkinan ini perlu dipertimbangkan dan sebanyak mungkin dikesampingkan agar tidak
terjadi (Mertler & Charles, 2005).
Eksperimen Kasus Tunggal
18
Salah satu jenis ekperimen yang kadang-kadang digunakan dalam riset pendidikan
adalah eksperimen kasus tunggal (single~case experiment) (lihat Franklin, Allison &
German, 1997; Neuman & McCormick, 1995). Dalam salah satu bentuk khas jenis
eksperimen ini, perilaku satu siswa diamati selama beberapa hari. Kemudian program khusus
dimulai, dan perilaku siswa dalam program baru tersebut diamati. Akhimya, program baru itu
ditarik. Jika perilaku siswa tadi membaik dalam program khusus tersebut tetapi perbaikan itu
hilang ketika program itu ditarik, implikasinya ialah bahwa program tersebut telah
memengaru perilaku siswa tersebut. Kadang-kadang ”kasus tunggal” dapat berupa beberapa
siswa, seluruh kelas, atau satu sekolah yang diberi perlakuan yang sama.
Contoh eksperimen kasus tunggal ialah studi klasik Barrish, Saunders, dan Wolf
(1969). Dalam studi ini, siswa kelas empat adalah kasus tunggalnya. Pengamat tersebut
mencatat persentase berapa kali setidaknya seorang siswa di kelas tersebut mengobrol selama
jam pelajaran membaca dan matematika. Setelah 10 hari, program khusus diperkenalkan.
Siswa kelas tersebut dibagi menjadi 2 tim besar dan, kapan pun setiap siswa dalam satu tim
berperilaku tidak baik, tim itu diberi tanda contreng. Pada akhir setiap hari, tim dengan tanda
contreng yang lebih sedikit (atau kedua tim jika keduanya menerima di bawah 5 tanda
contreng) dapat ikut ke dalam masa bebas selama 30 menit.
Sebelum Permainan Perilaku yang Baik (Good Behavior Game) dimulai (garis dasar),
setidaknya seorang siswa dalam pelajaran matematika mengobrol 96 persen waktunya, dan
setidaknya seorang siswa bangkit dari tempat duduk tanpa permisi 82 persen dari waktunya.
Ketika permainan itu bermulai dengan matematika, perilaku kelas menjadi membaik dengan
drastis. Ketika permainan itu ditiadakan, perilaku siswa-siswa tersebut memburuk lagi, tetapi
membaik sekali lagi ketika permainan itu diberikan lagi. Perhatikanlah bahwa, ketika
permainan itu diberikan dalam mata pelajaran membaca, perilaku siswa juga membaik. Fakta
bahwa program tadi menghasilkan perbedaan dalam mata pelajaran matematika maupun
membaca memberi kita keyakinan yang bahkan lebih besar bahwa Permainan Perilaku yang
Baik adalah efektif.
Salah satu keterbatasan penting eksperimen kasus tunggal ialah bahwa hal itu hanya
dapat digunakan untuk memelajari hasil yang sering dapat diukur. Karena alasan ini,
kebanyakan studi kasus tunggal melibatkan perilaku yang dapat diamati, seperti berbicara dan
bangkit dari tempat duduk tanpa permisi, yang dapat diukur setiap hari atau berkali-kali per
hari.
Studi Korelasi
Barangkali metode riset yang paling sering digunakan dalam psikologi pendidikan
adalah studi korelasi (correlational study). Berbeda dari eksperimen, di mana peneliti sengaja
mengubah salah satu variabel untuk melihat bagaimana perubahan ini akan memengaruhi
variabel lain, dalam riset korelasi, peneliti memelajari variabel-variabel sebagaimana adanya
untuk melihat apakah semuanya berkaitan. Variabel dapat berkorelasi positif, berkorelasi
negatif, atau tidak berkorelasi. Contoh korelasi positif ialah hubungan antara pencapaian
membaca dan pencapaian matematika. Pada umumnya, orang yang melebihi rata-rata dalam
membaca juga akan melebihi rata-rata dalam matematika. Tentu saja, beberapa siswa yang
pandai membaca tidak berkinerja baik dalam matematika, dan sebaliknya; tetapi rata-rata,
kemampuan dalam salah satu bidang akademis berkorelasi positif dengan kemampuan dalam
bidang akademis lain: Apabila salah satu variabel ternyata tinggi, yang lain juga akan
cenderung tinggi. Contoh korelasi negatif ialah jumlah hari absen dan nilai. Makin banyak
19
jumlah hari ketika siswa absen, kemungkinan akan makin rendah nilainya; ketika satu
variabel tinggi, yang lain cenderung rendah. Sebaliknya, pada variabel yang tidak berkorelasi,
tidak ada keterkaitan di antara variabelnya. Misalnya, pencapaian siswa di Poughkeepsie,
New York, barangkali sama sekali tidak berkorelasi dengan tingkat motivasi siswa di
Portland, Oregon.
Salah satu contoh klasik riset korelasi adalah studi Lahademe (1968), yang meneliti
hubungan antara perhatian siswa di kelas dan pencapaian serta IQ mereka. Dia mengamati
125 siswa kelas enam dalam empat ruangan untuk melihat seberapa banyak waktu yang
digunakan siswa memberikan perhatian (misalnya, mendengarkan guru dan menyelesaikan
pekerjaan yang ditugaskan). Kemudian, dia menghubungkan perhatian dengan pencapaian
dalam membaca, aritmetika, dan bahasa dengan IQ dan sikap siswa terhadap sekolah.
Keunggulan studi korelasi ialah bahwa hal itu memungkinkan peneliti memelajari variabel-
variabel sebagaimana adanya, tanpa menciptakan situasi semu. Banyak persoalan riset
penting dapat dipelajari hanya dalam studi korelasi. Misalnya, apabila kita ingin memelajari
hubungan antara jenis kelamin dan pencapaian matematika kita hampir tidak dapat dengan
acak menempatkan siswa sebagai anak, laki-laki atau anak perempuan! juga, studi korelasi
memungkinkan peneliti memelajari banyak variabel satu sama lain pada saat yang sama.
Kekurangan utama metode korelasi ialah bahwa, walaupun metode tersebut dapat
memberitahukan kepada kita bahwa dua variabel berkaitan, kita tidak diberitahu apa
menyebabkan apa. Studi Lahademe tentang perhatian, pencapaian, dan IQ melahirkan
pertanyaan: Apakah perhatian siswa mengakibatkan pencapaian yang tinggi, atau apakah
siswa yang berkemampuan tinggi dan berpencapaian tinggi memang lebih penuh perhatian
daripada siswa lain? Studi korelasi tidak dapat menjawab pertanyaan ini sama sekali. Namun,
peneliti korelasi biasanya justru menggunakan metode statistik untuk mencoba menentukan
apa menyebabkan apa. Dalam studi Lahademe, tentu saja mungkin diketahui apakah, di
antara siswa yang mempunyai IQ yang sama, perhatian mempunyai kaitan dengan
pencapaian. Misalnya, pada dua siswa yang mempunyai kecerdasan rata-rata, apakah siswa
yang lebih penuh perhatian akan cenderung mempunyai pencapaian yang lebih tinggi. Kalau
tidak, kita dapat menyimpulkan bahwa hubungan antara perhatian dan pencapaian hanyalah
akibat dari siswa ber-IQ tinggi yang lebih penuh perhatian dan berpencapaian lebih tinggi
daripada siswa lain, bukan akibat dari setiap dampak perhatian pada pencapaian.
Gambar 1.3 mengilustrasikan dua kemungkinan penjelasan atas korelasi antara
perhatian, pencapaian, dan IQ. Dalam Penjelasan A, perhatian menyebabkan pencapaian.
Dalam Penjelasan B, perhatian dan pencapaian diasumsikan sebagai akibat dari Variabel
ketiga, IQ. Mana yang benar? Bukti dari riset lain tentang hubungan ini menyatakan bahwa
kedua penjelasan tersebut sebagian benar-bahwa sekalipun dampak IQ dihilangkan, perhatian
siswa berkaitan dengan pencapaian.
Ilustrasi lain tentang riset korelasi adalah studi oleh Lubienski dan Lubienski (2006).
Studi tersebut menggunakan data dari National Assessment of Education Progress (NAEP)
untuk menanyakan apakah sekolah negeri atau swasta menghasilkan kinerja membaca dan
matematika yang lebih baik.
GAMBAR 1.3
Kemungkinan penjelasan atas Korelasi antara Perhatian, Pencapaian, dan IQ. Studi korelasi
dapat memperlihatkan bahwa variabel-variabel itu berkaitan, tetapi studi seperti itu tidak
dapat membuktikan apa menyebabkan apa. Misalnya, dalam studi Lahaderne (1968), apakah
20
perhatian siswa menyebabkan nilai pencapaian yang lebih tinggi (Penjelasan A), atau apakah
faktor ketiga—kecerdasan—menentukan perhatian maupun kinerja dalam tes pencapaian
(seperti yang diperlihatkan diagram dalam Penjelasan B)? kedua penjelasan itu sebagian
benar.
Penjelasan A
Perhatian Pencapaian
Penjelasan B
Perhatian
IQ Pencapaian
Tentu saja, siswa di sekolah swasta mempunyai nilai pencapaian yang lebih tinggi. Tetapi
dengan mengontrol secara statistik suku bangsa, kekayaan, dan faktor latar belakang lain
siswa, peneliti tersebut menemukan bahwa siswa sekolah negeri mempunyai nilai setidaknya
sama dengan siswa serupa di sekolah swasta.
Riset Deskriptif
Riset eksperimen dan korelasi mencari hubungan di antara variabel-variabel. Namun,
riset di bidang psikologi pendidikan hanya berupaya menjelaskan sesuatu yang menarik.
Misalnya, NICHD Early Child Care Research Network (2005) melakukan studi pengamatan
nasional di 780 ruang kelas tiga untuk menjelaskan berbagai jenis lingkungan ruang kelas
yang dialami siswa. Di antara yang lain, studi tersebut menemukan bahwa kebanyakan waktu
di kelas tiga difokuskan pada kemampuan dasar, dengan sedikit waktu untuk kemampuan
yang Iebih tinggi, tetapi terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam contoh lain, Mosenthal
dan rekan-rekan (2004) mengamati dan menjelaskan enam sekolah di Vermont yang terus-
menerus memeroléh nilai membaca yang luar biasa, dan menemukan bahwa sekolah seperti
itu mempunyai guru yang sangat terfokus yang senantiasa mengevaluasi pengajaran mereka
sendiri. Salah satu tipe riset deskriptif (descriptive research) ialah survei atau wawancara.
Tipe lain, yang disebut etnografi, melibatkan pengamatan terhadap lingkungan sosial (seperti
ruang kelas atau sekolah) dalam jangka waktu yang lama. Sebagai contoh etnografi
Anagnostopoulos (2006) menghabiskan setahun di suatu sekolah menengah atas di Chicago
untuk mengamati dan mewawancarai guru dan siswa guna memahami tanggapan mereka
terhadap kebijakan baru yang mengharuskan siswa lulus ujian agar naik kelas. Dia
menemukan bahwa siswa maupun " guru secara mental membagi siswa yang tinggal kelas
menjadi dua kategom ”siswa bodoh” dan” siswa sejati” di mana ”siswa bodoh" adalah’
’anak-anak
21
yang buruk” yang pantas tinggal kelas dan ”siswa sejati” adalah siswa yang, menurut
pendapat mereka, sebetulnya tidak pantas untuk tinggal kelas. Studi deskripsi memberikan
cerita yang jauh lebih lengkap tentang apa yang terjadi di sekolah dan ruang kelas daripada
yang dapat diberikan studi yang meringkaskan temuan menjadi angka-angka yang tidak
menarik dan sulit. Riset deskriptif biasanya tidak mempunyai objektivitas ilmiah seperti
dalam riset korelasi atau eksperimen, tetapi mengimbangi kekurangan ini berupa kekayaan
uraian rinci dan penafsiran (Creswell, 2002; Norcutt & McCoy, 2004; Rossman & Rallis,
2003).
Ahli psikologi perkembangan menggunakan banyak riset deskriptif untuk
mengidentifikasi karakteristik anak-anak pada usia yang berbeda. Riset terpenting dalam
psikologi perkembangan dilakukan Jean Piaget (baca: zong piazee, 1952b), ahli psikologi
Swiss, yang memulainya dengan secara saksama mengamati anak-anaknya sendiri. Sebagai
hasil pengamatannya, dia mengembangkan teori yang menggambarkan perkembangan
kognisi anak-anak mulai dari masa bayi hingga masa remaja (Wadsworth, 2004).
Riset Tindakan
Riset tindakan (action research) adalah bentuk khusus riset deskriptif yang
dilangsungkan oleh pendidik di ruang kelas atau sekolahnya sendiri (Mills, 2000; Reason &
Bradbury, 2001). Di Indonesia, riset ini dikenal sebagai Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Dalam riset tindakan, guru atau kepala sekolah dapat mencoba metode pengajaran atau
strategi organisasi sekolah yang baru, mengumpulkan informasi tentang cara kerja metode
atau strategi itu, dan menyampaikan informasi ini kepada orang lain. Karena orang yang
terlibat dalam eksperimen tersebut adalah pendidik itu sendiri, riset tindakan kurang
mempunyai objektivitas seperti yang ditemukan dalam bentuk riset lain, tetapi dapat lebih
mudah dipahami secara lebih mendalam oleh guru atau pengurus di garis depan daripada
yang mungkin diperoleh dalam riset yang dilakukan orang luar.
Refleksi Pribadi
Menggunakan Riset untuk memperkaya pengajaran
Sebagai mahasiswa Pascasarjana, saya melakukan studi di suatu sekolah berasrama
bagi siswa yang mengalami gangguan emosi dan perilaku. Studi tersebut melibatkan
pengamatan perilaku sekelompok siswa yang berusia 9 hingga 11 tahun. Sekolah itu
mempunyai programberupa siswa memeroleh poin berdasarkan perilaku mereka dan dapat
menukarkan poin tersebut dengan berbagai perlakuan istimewa atau barang,
Walaupun saya sedapat mungkin berupaya tidak menyolok, saya membuat catatan
pada buku catatan, dan siswa ingin tahu tentang apa yang sedang saya tuliskan. Pada suatu
hari, seorang anak perempuan di kelas tersebut memanfaatkan poinnya untuk memeroleh
buku catatan. Dia menaruh beberapa lembar kertas pada buku catatannya dan kemudian
22
menghasilkan beberapa hari itu dengan mondar-mandir ke sana-sini sambil menuliskan
semua hal buruk yang dilakukan teman kelasnya. Misalnya, dia berkata, “james, saya
memberi lagi anda nilai jelek karena tidak membantumembersihkan kelas”.
Tentu saja, siswa lain tidak sanggup menolerir ini dalam waktu lama, dan tidak lama
kemudia mereka juga memanfaatkan poin mereka untuk memeroleh buku catatan. Mereka
semua kemudian menghabiskan setiap waktu kosong menuliskan perilaku buruk satu sama
lain, apakah itu nyata atau khayalan. Yang paling buruk diantaranya, mereka mulai
menuliskan hal-hal jelek tentang saya!
Studi saya dirusak, tetapi saya memelajari dari tangan pertama tentang sesuatu
kadang-kadang disebut Prinsip Ketidakpastian Heisenberg memelajari sesuatu dapat
mengubah apa yang sedang dipelajari. Riset dibidang pendidikan selalu melibatkan orang dan
orang bertindak berbeda-beda ketika mereka sedang dipelajari. Kaena alasan ini dan banyak
lagi alasan lain, bahkan temuan risetdengan data yang begitu banyak pun, hendaknya jangan
diterima seluruhnya begitu saja.
Refleksikan ini. Mengapa studi saya di rusak? Pelajaran apa yang dapat anda peroleh dari
contoh tentang penggunaan riset ini untuk menjadi guru yang efektif?
Sertifikasi Guru
Sebelum Anda dapat menjadi guru yang intensional (guru yang bertujuan), Anda harus
menjadi guru yang bersertifikat. Masing-masing negara bagian, provinsi, dan negara
mempunyai persyaratannya sendiri. Tetapi, di kebanyakan tempat, Anda setidaknya harus
lulus dari perguruan tinggi selama empat tahun dengan pembagian mata kuliah yang sudah
ditentukan. Berbagai program sertifikasi alternatif juga ada. Anda juga perlu mempunyai
pengalaman mengajar siswa yang memuaskan. Namun, di kebanyakan negara bagian,
kelulusan tidak cukup. Anda juga harus lulus dari tes sertifikasi guru atau tes perizinan untuk
menjadi guru. Banyak negara bagian mendasarkan persyaratan mereka pada 10 prinsip
pengajaran efektif yang dikembangkan oleh Konsorsium Penilaian dan Dukungan Guru Baru
Antar-negara Bagian (INTASC-In terstate New Teacher Assessment and Support
Consortium), seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 1.4. Prinsip-prinsip tersebut menjadi
dasar bagi kebanyakan ujian sertifikasi guru, apakah itu ujian yang disusun oleh INTASC,
Education Training Service, atau. departemen pendidikan masing-masing negara bagian.
INTASC telah menyusun Ujian Pengetahuan Pengajaran (Teaching for Teaching
Knowledge) nya sendiri. Ini adalah ujian yang menilai pengetahuan guru baru tentang
perkembangan anak; teori pengajaran dan pembelajaran, penilaian, dan kemahiran berbahasa;
peran latar belakang siswa dalam proses belajar; dan pengetahuan dan kemampuan dasar lain
yang penting untuk mengajar. Beberapa negara bagian mulai menggunakan ujian ini. Untuk
membaca lebih banyak tentang TTK, kunjungilah situs intemet Council of Chief State School
Officer (CCSSO) di www. ccsso. org/iritasc.
The Praxis Series: Professional Assessment for Beginning Teachers, yang disusun
oleh Educational Training Service ada1ah ujian paling umum yang digunakan negara-negara
bagian untuk melakukan sertifikasi guru. The Praxis Series meliputi tiga kategori penilaian
yang berkaitan dengan tahap-tahap penting perkembangan guru: Praxis I: Penilaian
Kemampuan Akademis untuk memasuki program pelatihan guru, Praxis II: Penilaian Mata
Pelajaran untuk memeroleh izin guna memasuki profesi tersebut, dan Praxis III: Pehilaian
Kinerja Ruang Kelas setelah tahun pertama mengajar. Praxis II menjadi ujian yang akan
23
Anda tempuh untuk menyelesaikan program persiapan guru Anda. Tahap tersebut
menawarkan tiga prinsip ujian pembelajaran dan pengajaran (PLT-principles of learning and
teaching) yang terkait dengan isi psikologi pendidikan satu untuk kelas TK hingga 6, satu
untuk kelas 5 hingga 9, dan satu untukkelas 7 hingga 12. Ketiga ujian ini meliputi isi empat
bidang: siswa sebagai pelajar, pengajaran dan penilaian, teknik komunikasi, dan
profesionalisme guru.
Masing-masing ujian PLT mempunyai empat skenario yang diikuti oleh tiga
pertanyaan bersama jawaban singkat yang terkait dengan skenario tersebut. Juga ada 24
pertanyaan pilihan ganda, dengan tota1 36 pertanyaan. Informasi rinci tentang seri ujian
Praxis dalam ditemukan di www.ets.org/ praxis. Dari situs internet ini,Anda dapat mengakses
halaman ujian sekilas, yang meliputi garis besar ujian, contoh pertanyaan bersama penjelasan
atas jawaban terbaik, dan strategi mengikuti ujian. Juga ada daftar persyaratan negara bagian
demi negara bagian untuk menentukan ujian Praxis mana yang digunakan masing-masing
negara bagian jika memang ada. Perhatikanlah ,bahwa masing-masing universitas mungkin
juga menggunakan Praxis, walaupun negara bagian tidak mengharuskannya.
Masing-masing negara bagian, provinsi, atau lembaga yang menggunakan ujian
Praxis tersebut menetapkan persyaratan kelulusannya sendiri. Nilai kelulusan untuk masing-
masing ujian di masing-masing negara bagian disebutkan dalam situs dan dalam buku kecil
yang Anda terima bersama rapor nilai Anda. Banyak negara bagian, termasuk California,
Texas, Florida dan New York, telah menyusun atau sedang menyusun ujian sertifikasi
gurunya sendiri. Ujian ini biasanya meliputi bagian-bagian yang sangat mirip dengan Praxis
Principles of Learning and Teaching tersebut.
Sepanjang buku ini, Anda akan menemukan petunjuk tentang topik yang
kemungkinan muncul dalam ujian sertifikasi guru. Catatan pinggir ini, yang disebut Petunjuk
Sertifikasi (Certification Pointers), menyoroti pengetahuan yang sering dituntut dalam ujian
izin guru negara bagian, termasuk The Praxis Principles of Learning and Teaching.
GAMBAR 1.4
Standar Konsorsium Penilaian dan Dukungan Guru Baru antar Negara Bagian
(INTASC- Interstate New Teacher Assessment and Support Consortium) untuk
pemberian izin mengajar dan pengembangan guru pemula
1. Pengetahuan tentang Pokok Mata Pelajaran: Guru memahami konsep inti, sarana
penyelidikan, dan struktur mata pelajaran yang sedang diajarkan dan dapat
menciptakan pengalaman belajar yang menjadikan aspek-aspek mata pelajaran ini
bermakna bagi siswa.
2. Pengetahuan tentang perkembangan dan pembelajaran Manusia: Guru memahami
cara siswa belajar dan berkembang, dan dapat menyediakan peluang belajar yang
mendukung perkembangan intelektual sosial dan pribadi mereka.
3. Penyesuaian Pengajaran dengan Kebutuhan Individu: Guru memahami bagaimana
siswa berbeda pendekatannya terhadap pembelajaran dan menciptakan peluan
pengajaran yang disesuaikan dengan pelajar yang bermacam-macam.
4. Berbagai Strategi Pengajaran: Guru menggunakan berbagai strategi pengajaran untuk
mendorong perkembangan pemikiran kritis, pemecahan masalah, dan kemampuan
kinerja siswa.
24
5. Motivasi dan Pengelolaan Ruang Kelas: Guru menggunakan pemahaman tentang
motivasi dan perilaku individudan kelompok untuk menciptakan lingkungan belajar
yang mendorong interaksi sosial positif, keterlibatan aktif dalam belajar, dan motivasi
diri.
6. Kemampuan Komunikasi: Guru menggunakan pengetahuan tentang teknik
komunikasi verbal, non verbal, dan media yang efektif untuk menumbuhkan
penyelidikan aktif, kerjasama dan interaksi yang mendukung di ruang kelas.
7. Kemampuan Perencanaan Pengajaran: Guru merencanakan Pengajaran berdasarkan
pengetahuan tentang mata pelajaran, siswa komunikasi, dan tujuan kurikulum.
8. Penilaian Pembelajaran Siswa: Guru memahami dan menggunakan strategi penilaian
resmi dan tidak resmi untuk mengevaluasi dan memastikan perkembangan intelektual,
sosial, dan fisik pelajar terus menerus.
9. Komitmen dan Tanggung jawab Profesional: Guru adalah praktisi yang terus menerus
mengevaluasi dampak pilihan dan tindakannya pada orang lain (siswa, orang tua, dan
professional lain dalam masyarakat pembelajaran) dan yang aktif mencari peluang
untuktumbuh secara professional
10. Kemitraan: Guru menumbuhkan hubungan dengan rekan kerja di sekolah, orang tua
dan lembaga masyarakat yang lebih besar untuk mendukung pembelajaran dan
kesejahteraan siswa.
Carilah Mentor
Guru berpengalaman yang juga merupakan guru yang intensional adalah sumber daya
terbaik Anda. Dia tidak hanya sangat efektif, tetapi juga memahami dan dapat menjelaskan
apa yang sedang dia kerjakan (dan diharapkan dapat membantu Anda belajar melakukan hal
tersebut). Bicaralah dengan guru yang berpengalaman di sekolah Anda, minta kesempatan
mengamatinya ketika sedang mengajar, dan minta kesediannya mengamati Anda dan
memberikan gagasannya, seperti yang dilakukan Ellen Mathis dalam cerita singkat pada awaI
bab ini. Banyak sistem menyediakan program pengenalan bagi guru baru untuk membuatnya
berkembang pada tahun-tahun pertama yang sangat penting itu. Tetapi, sekalipun sistem
sekolah Anda tidak menyediakan program sejenis itu, Anda dapat menciptakannya bagi diri
sendiri dengan mencari mentor yang berpengalaman dan bersedia membantu.
25
sekolah Anda berpartisipasi bersama, dan yang kemudian Anda mempunyai kesempatan
mendiskusikan keberhasilan dan tantangan, juga dapat sangat efektif (lihat Calderén, 1999).
RINGKASAN BAB 1
Faktor yang Membuat Seseorang Menjadi Guru yang Baik
Guru yang baik mengatahui pokok mata pelajarannya dan menguasai kemampuan pedagogi.
Dia menyelesaikan semua tugas yang terdapat dalam pengajaran yang efektif dengan
kehangatan, antusiasme, dan kepedulian. Dia adalah guru yang intensional dan dia
menggunakan prinsip psikologi pendidikan dalam pengambilan keputusan dan
pengajarannya. Dia menggabungkan riset dan akal sehat.
26
Peran Riset di bidang psikologi pendidikan
Psikologi pendidikan adalah studi sistematis tentang pelajar, pembelajaran, dan pengajaran.
Riset di bidang psikologi pendidikan terpusat pada proses yang digunakan untuk
menyampaikan informasi, kemampuan, nilai, dan sikap antara guru dan siswa di ruang kelas
dan penerapan prinsip psikologi ke dalam praktik pengajaran. Riset semacam itu membentuk
kebijakan pendidikan, program pengembangan profesi, dan bahan ajar.
27