Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH VIROLOGI

‘’SISTEM SARAF POLIO’’

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK II

1. Teresia lisa marissa (1831453453116)

2. Amelia kala’ bua (183145453119)

3. Nitran amruna (183145453120)

4. Nurmiana (183415453118)

PRODI DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


FAKULTAS FARMASI, TEHNIK KESEHATAN DAN ADMINSTRASI RUMAH SAKIT
(FATERSI)
UNIVERSITAS MEGA REZKY
MAKASSAR
A. EPIDEMOLOGI VIRUS

Selama 3 dekade pertama diabad ke 20-80-90% penderita polio adalah anak


balita, kebanyakan anak dibawah umur 2 tahun. Tahun 1995, di Massachusett
Amerika Serikat pernah terjadi wabah polio sebanyak 2.771 kasus dan tahun
1959 menurun menjadi 139 kasus. Hasil penelitian WHO tahun 1972-1982, di
Afrika dan Asia Tenggara terdapat 4.214 dan 17.785 kasus. Dinegara musim
dingin , sering terjadi epidemic dibulan mei-oktober, tetapi kasus sporadic tetap
terjadi setiap saat. Di Indonesia, sebelum perang dunia II, penyakit polio
merupakan penyakit yang sporadic-endemis, epidemic pernah terjadi di berbagai
daerah seperti di bliton sampai ke banda, Balikpapan, bandung,Surabaya,
semarang dan medan epidemic terakhir terjadi pada tahun 1976/1977 di Bali
selatan. Kebanyakan infeksi virus polio tanpa gejala atau timbul panas yang tidak
spesifik.
Terjadinya wabah polio biasanya akibat :
1. Sanitasi yang jelek
2. Padatnya jumlah penduduk
3. Tingginya pencemaran lingkungan oleh tinja
4. Pengadaan air bersih yang kurang
Penularan dapat melalui
1. Inhalasi
2. Makanan dan minuman
3. Bermacam-macam serangga seperti lipas dan lalat

Penyebaran dipercepat bila ada wabah atau pada saat yang bersamaan
dilakukan pula tindakan bedah seperti tonsilektomi,ekstrasi gig dan
penyuntikan. Walaupun penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang harus
segera dilaporkan. Namun data epidemiologi yang sukar didapat. Dalam salah
satu symposium imunisasi dijakarta 1979 dilaporkan :

1. Jumlah anak berumur 0-4 tahun yang tripel negative makin bertambah
10%
2. Insiden polio berkisar 3,5-8/100.000 penduduk
3. Paralitic rate pada golongan 0-14 tahun dan setiap tahun bertambah
dengan 9.000 kasus. Namun 10 tahun terakhir terjadi penurunan draktis
penyakit ini akibat gencarnya program imunisasi diseluru dunia maupun
Indonesia.
Mortalitas tinggi terutama pada poliomyelitis tipe paralitik, disebabkan oleh
komplikasi berupa kegalalan nafas, sedangkan untuk tipe ringan tidak
dilaporkan adanya kematian. Walaupun kebanyakan poliomyelitis tidak
jelas/innaparent (90-95%) hanya 5-10% yang memberikan gejala poliomyelitis.
B. MORFOLOGI
Virus polio adalah virus yang paling kecil dibandingkan dengan virus lainnya.
Virus polio termasuk ke dalam famili Picornaviridae (Pico adalah bahasa Yunani
yang artinyakecil). Kekecilan virus ini tidak hanya dari ukuran partikelnya saja,
tetapi juga dari ukuran panjang genomnya. Virus ini memiliki diameter sekitar 30
nm berbentuk ikosahedral sampul(envelope) dengan genom RNA, single
stranded messenger molecule. Single stranded RNAmembentuk hampir 30%
bagian virion, sisanya terdiri atas 4 protein besar (VP1-4) dan satu protein kecil
(Vpg), memiliki RNA benang positif (positive strand RNA) sebagai
genomnyadengan panjang sekitar 7.5 kilobasa, tidak mempunyai kapsul, virion
polipeptida tersusunsimetri cubical, diameter 27 nm, RNA rantai tunggal,
mengandung 42 kapsomer, terdiri dari 89 galur.
Virus polio terdiri atas tiga strain, yaitu strain 1 (brunhilde), strain 2 (lanzig),
danstrain 3 (leon). Strain 1 seperti paling paralitogenik atau paling ganas dan
seringmenyebabkan kejadian luar biasa (wabah), sedangkan strain 2 paling
jinak.
Sifat penting virus polio :
1. RNA : rantai tunggal,polaritas positif, segmen tunggal, replikasi RNA
melalui pembentukan RNA komplementer yang bertindak sebagai
cetakan sintetis RNA genom.
2. Virion : tak berselubung, bentuk icosahedral, tersusun atas empat jenis
protein utama. Diameter virion 28-30 nm.
3. Replikasi dan morfogenesis virus terjadi disitoplasma
4. Spectrum hospes sempit.

C. ETIOLOGI VIRUS

Etiologi poliomielitis atau polio adalah virus polio, virus RNA yang berasal
dari familiPicornaviridae, genus Enterovirus. Virus ini memiliki inti dari single-
stranded RNA diliputi oleh kapsul protein tanpa sampul lipid, sehingga tahan
terhadap zat yang dapat melarutkan lipid dan stabil pada pH rendah. Virus polio
dapat dinonaktifkan dengan panas, formaldehida, klorin, dan sinar ultraviolet.

Virus polio yang menyebabkan poliomielitis atau paralisis infantil terdiri


dari 3 jenis strain antigen atau serotipe virus polio liar (wild poliovirus / WPV),
yaitu tipe 1, tipe 2, dan tipe 3. Hanya manusia yang diketahui
sebagai reservoir virus polio. Orang dengan defisiensi imun bisa
menjadi carrier asimtomatik dari virus ini.

Virus Polio Tipe 1

Virus polio tipe 1 merupakan penyebab dari 85% kasus polio paralitik.
Virus ini memiliki sifat imunitas heterotipik minimal, yaitu imunitas terhadap satu
tipe, tidak melindungi tubuh terhadap infeksi tipe lainnya. Namun, imunitas yang
timbul dari tiap tipe adalah untuk jangka panjang, atau seumur hidup.

Virus Polio Tipe 2 dan Tipe 3


Virus polio tipe 2 secara resmi dideklarasikan dan disertifikasi pada bulan
September 2015, sebagai tipe yang telah dieradikasi secara global. Virus polio
tipe 3 juga tidak terdeteksi sejak November 2012. Karenanya, diperkirakan
hanya tipe 1 WPV yang masih bersirkulasi saat ini.

Polio adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus polio yang dapat
mengakibatkan terjadinya kelumpuhan yang permanen. Penyakit ini dapat
menyerang pada semua kelompok umur, namun yang peling rentan adalah
kelompok umur kurang dari 3 tahun. Gejala meliputi demam, lemas, sakit kepala,
muntah, sulit buang air besar, nyeri pada kaki, tangan, kadang disertai diare.
Kemudian virus menyerang dan merusakkan jaringan syaraf , sehingga
menimbulkan kelumpuhan yang permanen. Penyakit polio pertama terjadi di
Eropa pada abad ke-18, dan menyebar ke Amerika Serikat beberapa tahun
kemudian. Penyakit polio juga menyebar ke negara maju belahan bumi utara
yang bermusim panas.

Penyakit polio menjadi terus meningkat dan rata-rata orang yang


menderita penyakit polio meninggal, sehingga jumlah kematian meningkat akibat
penyakit ini. Penyakit polio menyebar luas di Amerika Serikat tahun 1952,
dengan penderita 20,000 orang yang terkena penyakit ini ( Miller,N.Z, 2004 ).

Polio adalah penyakit menular yang dikategorikan sebagai penyakit


peradaban. Polio menular melalui kontak antar manusia. Virus masuk ke dalam
tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau minuman yang
terkontaminasi feses.

Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan
amat menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi
dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen
kasus terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Masa inkubasi polio
dari gejala pertama berkisar dari 3 hingga 35 hari.

Nama lain dari polio adalah Poliomieltis. Virus polio yang termasuk genus
enterovirus famili Picornavirus.Virus ini tahan terhadap pengaruh fisik dan bahan
kimia. Selain itu, dapat hidup dalam tinja penderita selama 90-100 hari. Virus ini
juga dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat
sampai berkilo-kilometer dari sumber penularan.

Polio menyebar terutama melalui kontaminasi tinja, terutama di daerah


dengan sanitasi lingkungan buruk. Penularan juga terjadi melalui fekal-oral.
Artinya makanan/minuman yang tercemar virus polio yang berasal dari tinja
penderita masuk ke mulut orang sehat lainnya. Sedangkan oral-oral adalah
penyebaran dari air liur penderita yang masuk ke dalam mulut manusia sehat
lainnya.

Ciri khas dari penderita polio adalah kerusakan saraf. Kerusakan itu
bermula dari virus yang mengalami inkubasi selama 5-35 hari di dalam tubuh.
Selanjutnya virus akan berkembang pertama kali dalam dinding faring (leher
dalam) atau saluran cerna bagian bawah. Dari saluran cerna virus menyebar ke
jaringan getah bening lokal atau regional. Akhirnya virus menyebar masuk ke
dalam aliran darah sebelum menembus dan berkembang biak di jaringan saraf.
Poliomielitis mempunyai tendensi lebih merusak sel saraf motorik pada
medulla spinalis dan batang otak. Seringkali polio menyebabkan kerusakan saraf
tubuh yang membuat pertumbuhan penderita menjadi asimetris. Sehingga
cenderung menimbulkan gangguan bentuk tubuh yang umumnya menetap
bahkan bertambah berat.

D. PATOGENESIS VIRUS

Virus polio menginfeksi tubuh manusia melalui air minum yang


terkontaminasi atau melalui kontak dengan permukaan yang terkontaminasi,
seperti tangan yang terkontaminasi atau melalui kontak dengan permukaan yang
terkontaminasi, seperti tangan yang tidak bersih. Setelah melewati lambung,
virus itu mencapai usus, tempat mereka lalu berkembang biak. Dalam
kebanyakan kasus, infeksi itu berbuah diare sekejap atau hilang dengan
sendirinya, atau seringkali juga tanpa disertai gejala apa pun. Sayangnya, virus
ini tidak selalu ramah. Diperkirakan satu persen dari seluruh infeksi, virus akan
menyebar dari usus ke aliran darah dan sistem saraf, terkadang mencapai
neuron motorik dan menyebabkan kelumpuhan atau dalam kasus yang ekstrem,
kematian. Virus polio dapat diisolasi dari kotoran manusia dan sampah. Oleh
karena itu, dalam kondisi lingkungan tertentu, virus polio dapat ditemukan di
sungai, danau, dan saluran-saluran air.Yang harus dilakukan dan dihindari ketika
polio menginfeksi:

A. Biarkan anak-anak tetap bermain dengan teman sepermainannya.


Jauhkan mereka dari orang-orang baru.

B. Selalu cuci tangan sebersih mungkin sebelum makan dan setelah ke


toilet. jaga makanan agar selalu bersih dan tertutup.

C. Perhatikan dengan baik gejala-gejala, seperti sakit kepala, demam, luka


pada kerongkongan, leher atau punggung yang kaku, kelelahan atau
gugup yang luar biasa, dan kesulitan dalam bernapas dan menelan.

D. Baringkan segera korban yang sakit, jauhkan dari orang lain, dan hubungi
dokter. Respons yang cepat mungkin dapat mengurangi tingkat
kelumpuhan.

E. Jangan beraktivitas terlalu lelah, baik untuk pria, wanita, dan juga anak-
anak.
F. Jangan sampai kedinginan. Hindari mandi atau berenang terlalu lama
dalam cuaca dingin atau duduk diam mengenakan pakaian basah.

G. Jangan melakukan operasi mulut atau kerongkongan selama terinfeksi


virus ini.

H. Jangan menggunakan handuk, peralatan makan, atau yang lainnya milik


orang lain.

E. PATOFISIOLOGI VIRUS

Patofisiologi poliomielitis atau polio akibat masuknya virus polio ke dalam


tubuh terbagi dalam 2 fase, yaitu fase limfatik dan neurologis. Pada beberapa
kasus dapat mengalami sindrom postpolio setelah 15‒40 tahun, terutama bila
terkena polio akut pada usia sangat muda.

a) Fase Limfatik

Fase limfatik dimulai dengan masuknya virus polio ke dalam tubuh


manusia secara oral dan bermultiplikasi pada mukosa orofaring dan
gastrointestinal. Dari fokus primer tersebut, virus kemudian menyebar ke
tonsil, plakat Peyer, dan masuk ke dalam nodus-nodus limfatikus servikal
dan mesenterika.
Pada fase limfatik ini, virus polio bereplikasi secara berlimpah lalu
masuk ke dalam aliran darah, menimbulkan viremia yang bersifat
sementara, menuju organ-organ internal dan nodus-nodus limfatikus
regional. Kebanyakan infeksi virus polio pada manusia berhenti pada fase
viremia ini. Berdasarkan gejala yang muncul pada fase ini, polio
dibedakan menjadi polio nonparalitik, polio abortif, dan meningitis aseptik
non paralitik.

1. Polio Nonparalitik

Hampir 72% infeksi virus polio pada anak-anak merupakan


kasus asimtomatik. Masa inkubasi untuk polio nonparalitik ini berkisar
3‒6 hari. Satu minggu setelah onset gejala, jumlah virus polio pada
orofaring makin berkurang. Namun, virus polio ini akan terus
diekskresikan melalui feses hingga beberapa minggu kemudian,
sekitar 3‒6 minggu.

2. Polio Abortif

Sekitar 24% kasus infeksi virus polio pada anak-anak


bermanifestasi tidak spesifik, seperti demam ringan dan sakit
tenggorokan. Kondisi ini disebut polio abortif. Pada polio abortif
terdapat kemungkinan terjadinya invasi virus ke dalam sistem saraf
pusat tanpa manifestasi klinis atau laboratorium. Ciri khas kasus ini
adalah terjadi kesembuhan total dalam waktu kurang dari satu
minggu.

3. Meningitis Aseptik Nonparalitik

Sekitar 1‒5% infeksi virus polio pada anak-anak menimbulkan


meningitis aseptik nonparalitik setelah beberapa hari gejala prodromal.
Gejala yang dialami penderita berupa kekakuan leher, punggung,
dan/atau tungkai, dengan durasi sekitar 2‒10 hari, kemudian sembuh
total.

b) Fase Neurologis

Bila infeksi ini berlanjut, maka virus akan terus bereplikasi di luar
sistem saraf yang kemudian akan menginvasi ke dalam sistem saraf
pusat. Kondisi ini dikenal sebagai fase neurologis. Pada fase ini, virus
polio akan melanjutkan replikasi pada neuron motorik kornu anterior dan
batang otak, sehingga terjadi kerusakan pada lokasi tersebut. Kerusakan
sel-sel saraf motorik tersebut akan berdampak pada manifestasi tipikal
pada bagian tubuh yang dipersarafinya. Keadaan ini berakibat terjadinya
lumpuh layu akut, dikenal juga sebagai acute flaccid paralysis (AFP)
sehingga polio yang terjadi dikenal sebagai polio paralitik.

Polio paralitik terjadi <1% dari semua kasus infeksi virus polio pada
anak-anak. Gejala paralitik terjadi 1‒18 hari setelah prodromal, kemudian
berlangsung progresif selama 2‒3 hari. Umumnya, progresivitas paralisis
akan berhenti setelah suhu tubuh kembali normal. Tanda dan gejala
prodromal tambahan dapat berupa refleks superfisial menurun hingga
menghilang, refleks tendon dalam meningkat disertai nyeri otot berat dan
kejang pada tungkai atau punggung. Saat fase AFP, refleks tendon dalam
akan berkurang dan biasanya asimetris. Setelah gejala menetap selama
beberapa hari atau minggu, kekuatan kemudian mulai kembali dan pasien
tidak mengalami kehilangan sensorik atau perubahan kognisi (Howard,
2005).

F. IMUNOLOGI VIRUS

Maternal antibodi secara perlahan-lahan menghilang selama 6 bulan


pertama dari kehidupan bayi. Imunitas pasif yang diberikan dengan suntikan
hanya bertahan 3-5 minggu. Imunisasi harus dilakukan sebelum timbul gejala
pertama karena antibodi harus ada dalam darah untuk mencegah adanya
disseminasi virus ke otak, dan imunisasi tidak efektif bila virus sudah sampai ke
otak.

Antibodi netralisasi terbentuk dalam beberapa hari setelah infeksi dengan


virus polio, kadang-kadang sebelum gejala timbul dan antibodi ini bertahan
sampai seumur hidup. Antibodi yang bersirkulasi di darah bukan satu-satunya
sumber proteksi terhadap terhadap infeksi. Imunitas local atau seluler dapat
memberikan proteksi local terhadap adanya infeksi ulang pada usus (intestinal)
setelah sembuh dari infeksi alam atau setelah imunisasi dengan vaksin polio
oral. Antibodi lokal atau sekret ini makin dikenal sebagai sesuatu yang
mempunyai peranan penting dalam pertahanan terhadap infeksi virus polio atau
virus entero yang lain.

Umumnya infeksi virus sangat beresiko bagi orang-orang dengan berbagai


defisiensi imunologis baik humoral maupun “cell mediated immunity”. Pada
kasus tersebut, infeksi virus polio, baik infeksi alam maupun karena vaksinasi,
akan dapat menyebabkan penyakit dalam bentuk yang atipikal dengan masa
inkubasi lebih lama dari 28 hari. Penyebab kematian tertinggi biasanya terjadi
pada penderita penyakit yang lama dan menahun serta lesi yang tidak umum di
saraf pusat.

Ketahanan terhadap infeksi polio dapat menurun karena pengangkatan tonsil


dan adenoid. Hal ini disebabkan adanya penurunan antibody sekretori pada
nasoparing secara drastis, tanpa adanya perubahan pada antibody di darah.

G. GEJALA KLINIK

Sebagian besar penderita polio tidak menyadari bahwa diri mereka telah
terinfeksi polio, sebab virus polio pada awalnya hanya menimbulkan sedikit
gejala atau bahkan tidak menimbulkan gejala sama sekali. Meskipun demikian,
penderita polio tetap dapat menyebarkan virus dan menyebabkan infeksi pada
orang lain.

Berdasarkan gejala yang muncul, polio dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu polio yang tidak menyebabkan kelumpuhan (nonparalisis) dan polio yang
menyebabkan kelumpuhan (paralisis). Berikut adalah gejala kedua jenis polio
tersebut:

a. Polio nonparalisis

Polio nonparalisis adalah jenis polio yang tidak menyebabkan


kelumpuhan. Gejala polio ini muncul 6-20 hari sejak terpapar virus dan
bersifat ringan. Gejala berlangsung selama 1-10 hari, dan akan menghilang
dengan sendirinya. Gejala tersebut meliputi:

• Demam

• Sakit kepala

• Radang tenggorokan

• Muntah

• Otot terasa lemah

• Kaku di bagian leher dan punggung

• Nyeri dan mati rasa di bagian lengan atau tungkai

b. Polio paralisis

Polio paralisis adalah jenis polio yang berbahaya karena dapat


menyebabkan kelumpuhan saraf tulang belakang dan otak secara permanen.
Gejala awal polio paralisis serupa dengan polio nonparalisis. Namun dalam
waktu 1 minggu, akan muncul gejala berupa:

• Hilangnya refleks tubuh

• Ketegangan otot yang terasa nyeri

• Tungkai atau lengan terasa lemah

H. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

a) Pemeriksaan Fisik

Tanda klinis prodromal terjadi bifasik, yaitu terdiri dari tanda klinis
awal (minor) dan lanjutan (mayor).

1. Klinis Awal (Minor)

Tanda klinis awal poliomielitis adalah kehilangan reflek superfisial


dan refleks tendon meningkat pada ekstremitas biasanya asimetris.

2. Tanda Klinis Lanjutan (Mayor)

Tanda klinis lanjutan polio terbagi menjadi tanda klinis meningitis


aseptik nonparalitik dan polio paralitik. Tanda klinis meningitis aseptik
non-paralitik ditemukan leher, punggung, dan/atau tungkai terasa kaku
dan tidak dapat digerakkan sewaktu difleksikan. Sedangkan tanda klinis
polio paralitik meliputi refleks tendon menurun pada satu sisi ekstremitas
saja, tetapi sensasi sensorik baik dan tidak ada perubahan status mental
pada penderita.

b) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus


poliomielitis adalah tes serologi untuk menegakkan diagnosis pasti, dan
genome sequencing untuk menentukan jenis virus.

Pengambilan Sampel, Sampel dapat diambil dari feses, pharynx,


atau cairan serebrospinal. Sebaiknya darah tidak digunakan sebagai
sampel karena jarang ditemukan virus polio. Virus polio yang ditemukan
dari sampel klinis penderita AFP (acute flaccid paralysis), haruslah
diperiksa lebih lanjut untuk menentukan jenisnya.

c) Tes Serologi

Tes serologi berguna untuk menegakkan diagnosis apabila sampel


klinis pertama diambil sedini mungkin pada waktu seseorang diduga
terkena infeksi polio. Sampel kedua diambil tiga minggu kemudian dan
jika terdapat kenaikan 4 kali lipat titer antibodi menandakan terdapatnya
infeksi virus polio. Tes ini tidak dapat dilakukan pada orang dengan
gangguan kekebalan tubuh atau kepada orang yang baru saja divaksinasi
polio.

d) Genomic Sequencing

Genomic sequencing berguna untuk menentukan tipe virus polio,


apakah dari strain liar (wild type) atau berasal dari strain vaksin (vaccine
type). Pemeriksaan dilakukan menggunakan reverse transcriptase-
polymerase chain reaction (RT-PCR) (Racaniello, 2006)

I. PENCEGAHAN

Pencegahan polio dapat dilakukan dengan melakukan imunisasi polio.


Vaksin polio mampu memberikan kekebalan terhadap penyakit polio dan aman
diberikan kepada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah. Ada dua
bentuk vaksin polio, yaitu suntik (IPV) dan obat tetes mulut (OPV).

Polio dalam bentuk obat tetes mulut (OPV-0) diberikan kepada bayi
sesaat setelah lahir. Selanjutnya, vaksin polio akan diberikan sebanyak empat
dosis, baik dalam bentuk suntik (IPV) atau obat tetes mulut (OPV). Berikut
adalah jadwal pemberian keempat dosis vaksin polio tersebut:

• Dosis pertama (polio-1) diberikan saat usia 2 bulan.

• Dosis kedua (polio-2) diberikan saat usia 3 bulan.

• Dosis ketiga (polio-3) diberikan saat usia 4 bulan.

• Dosis terakhir diberikan saat usia 18 bulan, sebagai dosis penguat.

Dalam tiga dosis pertama (polio-1 hingga polio-3), seorang bayi setidaknya
harus mendapat satu dosis vaksin polio dalam bentuk suntik (IPV).

Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya imunisasi


polio, pemerintah menyelenggarakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio di
seluruh wilayah Indonesia. Melalui kegiatan ini, semua bayi dan anak balita (usia
0-59 bulan) akan diberikan vaksinasi polio tambahan tanpa mempertimbangkan
apakah imunisasinya sudah lengkap atau belum.
DAFTAR PUSTAKA

E. Suryawidjaja, J., 2005. Resurgensi poliomyelitis : status terkini dari infeksi poliovirus
di Indonesia. Universa Medicina, 24(2), pp. 92-102.

Gendrowahyuhono, Herna Harianja, Nancy Dian Anggraini, Novilia Syafri Bachtiar.


2010. Eradikasi Polio dan IPV (Inactivated Polio Vaccine). Media Litbang
Kesehatan. Volume XX No.4: Hal 149-158

Ghafoor, S. & Sheikh, N., 2016. Eradication and Current Status of Poliomyelitis in
Pakistan : Ground Realities. Journal of Immunology Research, Volume 2016,
pp. 1-6.

Graves HW, Neil M, Frank W. Walsh and Hoyt's clinical neuro-ophthalmology.


Hagerstown, MD: Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia. 2005. p. 3264–65.

He Y, Mueller S, Chipman PR, Bator CM, Peng X, Bowman VD, et al. Complexes of
Poliovirus Serotypes with Their Common Cellular Receptor, CD 155, J Virol. 2003;
77:4827-35.

Howard, R.S., Poliomyelitis and the post polio syndrome. BMJ : British Medical Journal,
2005. 330(7503): p. 1314-1318.

Journal Neural Neurosurgeon Psychiatry. 2005. Poliomyelitis (Heine-Medin disease).


Page 76:128 doi: 10.1136/jnnp.2003.128548

Racaniello, V.R., One hundred years of poliovirus pathogenesis. Virology, 2006. 344(1):
p. 9-16

Soedarmo SSP, Gama H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Poliomielitis. Dalam: Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008.h.182-94.

Yuwono, Ismoediyanto. Buku rujukan Eradikasi Polio di Indonesia. 2002. Departemen


Kesehatan RI –WHO, 55-63

Bhutta ZA, Orenstein WA. Scientific Declaration on Polio Eradication (on Behalf of
Scientific Experts Against Polio). Vaccine 2013;31:2850-1.
He Y, Mueller S, Chipman PR, Bator CM, Peng X, Bowman VD, et al. Complexes of
Poliovirus Serotypes with Their Common Cellular Receptor, CD155. J Virol.
2003;77:4827–35.
Mueller S, Wimmer E, Cello J. Poliovirus and Poliomyelitis: a tale of guts, brains, and an
accidental event. Virus Res. 2005;111(2):175-93.

Pasaribu S. 2005. Aspek Diagnostik Poliomielitis. Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK USU.

Ryan KJ, Ray CG. Enteroviruses. In: Sherris JC, Ryan KJ, Ray CG, editors. Sherris
Medical Microbiology (4th ed.). New York: McGraw Hill, 2004. p. 535– 7. ISBN 0-
8385-8529-9.

Silverstein A, Silverstein VB, Nunn LS. Polio. Diseases and People. Berkeley Heights.
New York: Enslow Publisher, 2001.

Anda mungkin juga menyukai