Anda di halaman 1dari 19

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR KARET

MATA KULIAH PERANCANGAN SISTEM PENGOLAHAN LIMBAH

Dosen Pengampu : Dr. Joni Agustian, S.T. M.SC

Disusun oleh :
Kelompok 7
Nico Afriano 1915041017
Tika Siti Junariah 1915041051
Audhea Yolandha Kania 1955041001

JURUSAN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya makalah
yang tentang “Pengolahan limbah cair karet”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas
yang diberikan dalam mata kuliah pengolahan sistem perencangan limbah .

Dalam penulisan makalah ini kami merasa banyak kekurangan baik pada teknik penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari
semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas ini

Bandar Lampung, 20 Juni 2021

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

BAB 1................................................................................................................................1

PENDAHULUAN............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................2

BAB 2................................................................................................................................3

PEMBAHASAAN............................................................................................................3

2.1 Industri Karet........................................................................................................3

2.2 Produksi Industri Lateks......................................................................................4

2.3 Sumber Limbah Industri karet.......................................................................6

2.3.1 Baku Mutu Limbah cair Industri Karet.................................................7

2.3.2 Parameter Baku Mutu Limbah Cair Industri Karet.............................8

2.4 Pengolahan Limbah Cair Indsutri Karet.......................................................9

2.5 Karateristik Dan Dampak Limbah Ciar Industri Karet.................................13

BAB III...........................................................................................................................15

KESIMPULAN..............................................................................................................15

3.1 Kesimpulan...........................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................16

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karet alam (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu komoditas yang memiliki
kontribusi besar terhadap peningkatan devisa Negara. Indonesia memiliki lahan
penanaman karet terbesar di dunia dengan luas 3.616.694 Ha (Direktorat Jendral
Perkebunan, 2014). Menurut data International Rubber Study Group (2012)
konsumsi karet alam dunia terus mengalami peningkatan rata-rata 9% per tahun
yang disebabkan semakin berkembangnya industri berbahan baku karet alam
khususnya industri ban di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman
dan Jepang. Salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki perkembangan pesat
dalam produksi industri karet yaitu Sumatera Selatan. Meningkatnya produksi
karet tentu akan menyebabkan jumlah effluent yang dihasilkan ikut meningkat.
Limbah cair merupakan limbah terbesar yang dihasikan dari proses industri
karet. Adapun kandungan pada limbah cair industri karet yaitu padatan
tersuspensi yang tinggi, kandungan organik yang tinggi (protein, lipid dalam
lateks yang tersisa), nitrogen yang mengandung polutan (Norganik, NH3-N),
tingkat keasaman yang tinggi dan bau yang kuat (Nguyen dkk., 2012). Selain itu,
limbah cair karet juga mengandung sulfat, logam berat seperti besi dan seng.
Adapun baku mutu limbah cair industri karet di Sumatera Selatan diatur oleh
Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No. 8 Tahun 2012 yang mengatur tentang
standar baku mutu limbah cair industri karet untuk parameter pH, TSS, BOD,
COD, NH3-N dan Nitrogen Total. Proses pengolahan limbah cair industri karet
kebanyakan menggunakan proses secara biologi dengan pemanfaatan lumpur
aktif. Namun, keberhasilan dengan menggunakan proses biologi sangat
bergantung pada kemampuan bakteri untuk membentuk flok, sehingga
memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Karet semakin banyak

1
digunakan dalam kehidupan manusia, dalam rumah tangga, perusahaan dan
sebagainya. Hal ini yang mendorong kegiatan industri karet semakin tinggi pula
limbah yang akan dihasilkan dari produksi tersebut. Baik itu limbah padat
maupun limbah cairnya. Pengelolaan limbah karet ini harus ditangani dengan
sebaik-baiknya, karena sangat berdampak pada lingkungan sekitar. Limbah dari
hasil produksi karet ada yang dapat di manfaatkan kembali dan ada pula yang
mana harus benar-benar di buang agar tidak mengganggu kualitas lingkungan

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan industri karet
2. Apa saja produksi dari industri karet
3. Apa saja sumber limbah industri karet
4. Bagaimana dampak dan karakteristik limbah
5. Bagaimana cara mengolaha limbah industri karet

1.3

2
BAB 2

PEMBAHASAAN

2.1 Industri Karet


Karet adalah polimer hidrokarbon yang terkandung pada lateks beberapa jenis
tumbuhan. Sumber utama produksi karet dalam perdagangan internasional adalah
para atau Hevea brasiliensis (suku Euphorbiaceae). Beberapa tumbuhan lain juga
menghasilkan getah lateks dengan sifat yang sedikit berbeda dari karet, seperti
anggota suku ara-araan (misalnya beringin), sawo-sawoan (misalnya getah perca
dan sawo manila), Euphorbiaceae lainnya, serta dandelion. Pada masa Perang
Dunia II, sumber-sumber ini dipakai untuk mengisi kekosongan pasokan karet dari
para. Sekarang, getah perca dipakai dalam kedokteran (guttapercha), sedangkan
lateks sawo manila biasa dipakai untuk permen karet (chicle). Karet industri
sekarang dapat diproduksi secara sintetis dan menjadi saingan dalam industri
perkaretan.

Banyak sifat-sifat karet alam ini yang dapat memberikan keuntungan atau
kemudahan dalam proses pengerjaan dan pemakaiannya, baik dalam bentuk karet
atau kompon maupun dalam bentuk vulkanisat. Dalam bentuk bahan mentah, karet
alam sangat disukai karena mudah menggulung pada roll sewaktu diproses dengan
open mill/penggiling terbuka dan dapat mudah bercampur dengan berbagai bahan-
bahan yang diperlukan di dalam pembuatan kompon. Dalam bentuk kompon, karet
alam sangat mudah dilengketkan satu sama lain sehingga sangat disukai dalam
pembuatan barang-barang yang perlu dilapis-lapiskan sebelum vulkanisasi
dilakukan.

Keunggulan daya lengket inilah yang menyebabkan karet alam sulit disaingi oleh
karet sintetik dalam pembuatan karkas untuk ban radial ataupun dalam pembuatan
sol karet yang sepatunya diproduksi dengan cara vulkanisasi langsung. Karet alam

3
mengandung beberapa bahan antara lain: karet hidrokarbon, protein, lipid netral,
lipid polar, karbohidrat, garam anorganik, dll.

Protein dalam karet alam dapat mempercepat vulkanisasi atau menarik air dalam
vulkanisat. Beberapa lipid ada yang merupakan bahan pencepat atau antioksidan.
Protein juga dapat meningkatkan heat build up tetapi dapat juga meningkatkan
ketahanan sobek.

Karet alam lama kelamaan dapat meningkat viskositasnya atau menjadi keras. Ada
jenis karet alam yang sudah ditambah bahan garam hidroksilamin sehingga tidak
bisa mengeras dan disebut karet CV (contant viscosity). Karet alam bisa
mengkristal pada suhu rendah (misalkan -26°C) dan bila ini terjadi, diperlukan
pemanasan karet sebelum diolah pabrik barang jadi karet.

2.2 Produksi Industri Lateks


1. Lateks
Lateks karet alam didapat dari pohon Hevea Brasiliensis yang berasal dari famili
Euphorbiaceae ditemukan dikawasan tropikal Amazon, Amerika Selatan
sebelum di bawa ke benua lain. Lateks yang berasal dari pohon Hevea
Brasiliensis ini dalam kimia disebut dengan poliisoprena (Ciesielki, 1999).

Lateks diperoleh dari proses penorehan batang pohon karet. Cairan ini terdiri
dari 30-40% partikel hidrokarbon yang terkandung di dalam serum juga
mengandung protein, karbohidrat dan komposisi-komposisi organik serta bukan
organik (De Boer, 1952). Lateks karet alam mengandung karet dan partikel
bukan karet yang terdapat dalam serum. Agar lateks karet alam tetap dalam
bentuk emulsi sebelum dicetak dan dipekatkan, maka ditambahkan bahan
pengemulsi dimana biasanya proses pengawetan dilakukan di kebun untuk
sementara waktu, dengan menambahkan amonia 0,2%.

2. Ribbed Smoke Sheet (RSS)

4
Karet Lembaran Asap atau biasa disebut dengan Ribbed Smoke Sheet (RSS)
merupakan salah satu jenis produk karet olahan dari lateks yang telah dipekatkan
dan memiliki kadar kandungan air <10%. Produk olahan tanaman karet ini
memiliki banyak kegunaan dalam pasar industri sebagai bahan baku pembuatan
industri otomotif dan ban. Di tingkat dunia, Thailand, Indonesia dan Malaysia
merupakan pengekspor karet terbesar di dunia. Indonesia memiliki
kecenderungan pengeksporan karet ke negara Amerika Serikat.

Karet Ribbed Smoked Sheet (RSS) diolah secara mekanis dan kimiawi melalui
beberapa proses pengolahan yaitu penerimaan lateks kebun, pengenceran,
pembekuan, penggilingan, pengasapan dan sortasi. Karet Ribbed Smoked Sheet
ini banyak digunakan dalam pembuatan ban kendaraan bermotor.

Proses pengolahan karet Ribbed Smoked Sheet (RSS) antara lain :


1) Penerimaan Lateks dari pohon karet yang disadap dan dikumpulkan dalam
wadah untuk selanjutnya disaring guna memisahkan kotoran dan bagian lateks
yang mengalami prakoagulasi.
2) Lateks dialirkan ke bak koagulasi untuk diencerkan guna memudahkan
penyaringan kotoran dan menyeragamkan kadar karet kering agar mutu tetap
dapat dijaga.
3) Dilakukan pembekuan lateks di dalam bak koagulasi dengan menambah zat
koagulan yang bersifat asam berupa asam semut (HCOOH) atau asam asetat
(CH3COOH) dengan konsentrasi 1-2% dengan takaran 4 ml/kg. Tujuan
penambahan zat koagulan adalah untuk menurunkan pH lateks sehingga lateks
akan beku. Penambahan koagulan harus disertai pengadukan yang dilakukan
sebanyak 6-10 kali maju dan mundur guna mencegah terbentuknya gelembung
udara yang akan mempengaruhi lembaran yang dihasilkan.
4) Setelah proses pembekuan, maka akan dilakukan poses penggilingan untuk
mengeluarkan air, mengeluarkan serum, dan membentuk garis pada lembaran
dan menipiskan lembaran.

5
5) Dilakukan pengasapan di dalam kamar asap untuk mengeringkan lembaran,
memberi warna coklat dan menghambat pertumbuhan jamur pada permukaan.
6) Lembaran yang telah matang dari kamar asap akan ditimbang dan dicatat dalam
arsip produksi dan dilakukan proses sortasi. Proses sortasi dilakukan secara
manual untuk melihat warna, kotoran, gelembung udara, jamur dan kehalusan
gilingan yang telah disesuaikan pada standar SNI 06-0001-1987

2.3 Sumber Limbah Industri karet


Industri pengolahan karet alam akan menghasilkan banyak limbah cair karena
penggunaan air yang cukup besar dalam proses produksinya. Limbah cair yang
dihasilkan dari industri karet alam berkisar 40 m3/ton produk kering.
Karakteristik limbah cair yang dihasilkan dari industri karet adalah keruh dan
berbau, mengandung sisa bahan kimia pengenceran dan pembekuan lateks,
komponen lateks (protein, lipid, karotenoid, dan garam anorganik), serta lateks
yang tidak terkoagulasi.

Apabila dilihat dari tahapan poduksi baik dari bahan baku berasal dari lateks
dan bahan olahan karet rakyat (bokar), maka limbah yang terbentuk pada
industri karet dapat berupa limbah padat, limbah cair, dan limbah gas
(Setyamidjaja, 1993).

Limbah cair merupakan gabungan atau campuran dari air dan bahan-bahan
pencemar yang terbawa oleh air, baik dalam keadaan terlarut maupun
tersuspensi yang terbuang dari sumber domestik (perkantoran, perumahan, dan
perdagangan), sumber industri, dan pada saat tertentu tercampur dengan air
tanah, air permukaan, atau air hujan. Limbah cair bersumber dari aktivitas
manusia (human sources) dan aktivitas alam (natural sources) (Sihaloho,
2009).

Proses pengolahan karet tergolong proses basah, banyaknya kebutuhan air


untuk keperluan pengolahan akan menentukan banyaknya limbah cair yang
dihasilkan, sekaligus menetukan rancangan ukuran sarana pengolah limbah.

6
Jumlah air yang digunakan dalam proses produksi, hampir seluruhnya menjadi
limbah, karena karet baik berupa bahan baku maupun setengah jadi tidak
menyerap air. Pengaruh kebutuhan air adalah tingkat kotoran yang ada dalam
bahan baku, serta efesiensi kinerja sarana pengolahan.

Kualitas bahan baku berpengaruh terhadap tingkat kuantitas dan kualitas


limbah yang akan terjadi dengan rincian sebagai berikut:

1) Makin kotor bahan karet olahan akan makin banyak air yang
diperlukan untuk proses pembersihannya, sehingga debit limbah
cairpun meningkat.
2) Makin kotor dan makin tinggi kadar air dari bahan baku karet olahan,
akan makin mudah terjadinya pembusukan, sehingga kuantitas
limbah gas/bau pun meningkat.
3) Bahan baku karet olahan yang kotor menyebabkan kuantitas lumpur,
tatal dan pasir relatif tinggi.

2.3.1 Baku Mutu Limbah cair Industri Karet


Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014 tentang baku mutu air limbah telah menetapkan baku mutu air limbah
bagi usaha dan/atau kegiatan industri. Untuk nilai baku mutu limbah cair
industri karet pengolahan limbah cairnya memiliki beberapa parameter
yang perlu diperhatikan yaitu: BOD, COD, TSS, Ammonia total, Nitrogen
total serta pH.

7
2.3.2 Parameter Baku Mutu Limbah Cair Industri Karet
a) BOD (Biochemical Oxygen Demand )
BOD adalah jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk
menguraikan bahan organik yang terdapat dalam air pada keadaan aerobik yang
diinkubasi pada suhu 20oC selama 5 hari, sehingga sering disebut BOD5. Nilai
BOD5 perairan dapat dipengaruhi oleh suhu, densitas plankton, keberadaan
mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik. Nilai BOD5 ini juga
digunakan untuk menduga jumlah bahan organik di dalam air limbah yang dapat
dioksidasi dan akan diuraikan oleh mikroorganisme melalui proses biologi.

b) COD (Chemical Oxygen Demand)


COD menyatakan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
semua bahan organik yang terdapat di perairan, menjadi CO 2 dan H2O. Bila
BOD memberikan gambaran jumlah bahan organik yang dapat terurai secara
biologis (bahan organik mudah urai, biodegradable organic matter), maka COD
memberikan gambaran jumlah total bahan organik yang mudah diurai maupun
yang sulit terurai (non biodegradable).

c) TSS (Total Solid Suspense)


Padatan tersuspensi adalah padatan yang membentuk suspensi atau koloid.
Secara kasat mata padatan ini terlihat mengapung atau mengambang serta
mengeruhkan air karena berat jenisnya relatif rendah.

d) Amonia Total
Amonia pada perairan dihasilkan oleh proses dekomposisi, reduksi nitrat oleh
bakteri, kegiatan pemupukan dan ekskresi organisme yang ada di dalamnya
(Boyd, 1982). Amonia (NH3) yang disebut juga nitrogen amonia dihasilkan dari
pembusukan zat-zat organik oleh bakteri. Setiap amonia yang dibebaskan
kesuatu lingkungan akan membentuk reaksi keseimbangan dengan ion amonium
(NH4+). Amonium ini yang kemudian mengalami proses nitrifikasi membentuk

8
nitrit dan nitrat. Amonia dalam keadaan tidak terdisosiasi akan lebih

berbahaya untuk ikan daripada dalam bentuk amonium (Pescod, 1973).


Nilai amonia memiliki hubungan dengan nilai pH perairan, yaitu makin tinggi
pH air maka makin besar kandungan amonia dalam bentuk tidak terdisosiasi.
Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan
organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan pupuk
pertanian.

e) Nitrogen Total (sebagai N)


N-Total kjeldahl adalah gambaran nitrogen dalam bentuk organik dan ammonia
pada air limbah. Dalam analisis limbah cair, N-Total terdiri dari campuran N-
organik, N-amonia, nitrat dan nitrit. Nitrogen organik dan nitrogen amonia dapat
ditentukan secara analitik menggunakan metode Kjeldahl, sehingga lebih lanjut
konsentrasi total keduanya dapat dinyatakan sebagai Total Kjeldahl Nitrogen
(TKN). Senyawan-senyawa N-Total adalah senyawa-senyawa yang mudah
terkonversi menjadi amonium (NH4+) melalui aksi mikroorganisme dalam
lingkungan air atau tanah.

f) pH
Pescod (1973) mengatakan bahwa nilai pH menunjukkan tinggi rendahnya
konsentrasi ion hidrogen dalam air. Kemampuan air untuk mengikat atau
melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan apakah perairan tersebut
bersifat asam atau basa. Selanjutnya nilai pH perairan dapat berfluktuasi karena
dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis, respirasi organisme akuatik, suhu dan
keberadaan ion-ion di perairan tersebut.

2.4 Pengolahan Limbah Cair Indsutri Karet


Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam merancang pengolahan limbah

9
cair industri karet antara lain: jenis dan nilai parameter-parameter baku mutu
yang
diatur dalam PPLH No. 5 tahun 2014, jumlah limbah cair yang dihasilkan,
ketersediaan lahan serta biaya yang diperlukan. Oleh sebab itu
tahapanpengolahan
limbah cair industri karet yang ditawarkan adalah sebagai berikut:
1) Penyaringan dan Pengendapan
Limbah cair dari setiap proses produksi RSS akan dilewatkan pada parit
yang didalamnya telah disiapkan beberapa saringan dengan urutan diameter
saringan dari besar ke kecil dan bertujuan untuk memisahkan bagian padatan
seperti ranting, daun yang mungkin saja masih terbawa dalam lateks.
Kemudian limbah cair dari parit-parit tersebut mengalir menuju bak
penampungan utama. Bak penampung utama dibuat besar untuk menampung
debit limbah cair yang biasanya berjumlah besar dan mengatur debit limbah
yang akan dialirkan ke proses berikutnya. Selain itu dalam bak penampung
utama juga terjadi proses pengendapan secara fisika, dimana partikel padat
yang masih lolos dari proses penyaringan seperti pasir, tanah dapat
mengendap karena gaya gravitasi dan proses pengendapan ini secara
langsung dapat menurunkan nilai TSS limbah cair.

2) Netralisasi dan Koagulasi


Langkah selanjutnya adalah mengalirkan limbah cair dari bak penampung
utama dalam jumlah tertentu kedalam bak penampung kedua dan dilakukan
proses netralisasi dan koagulasi. Dalam proses netralisasi dapat digunakan
NaOH 30% untuk menetralkan limbah cair yang bersifat basa akibat
penambahan asam sebagai koagulan pada proses pembekuan lateks. Proses
netralisasi selain berguna untuk menetralkan asam pada limbah cair yang
secara langsung dapat berbahaya bagi biota perairan, juga untuk
mengoptimalkan kerja koagulan pada proses selanjutnya yaitu koagulasi.

10
Proses koagulasi dilakukan dalam bak yang sama dengan netralisasi dan
dalam proses koagulasi digunakan Aluminium Sulfat/Al2(SO4)3.18H2O.
Koagulasi adalah proses penambahan bahan koagulan untuk
mendestabilisasi partikel koloid yang bermuatan negatif dan lolos dari proses
penyaringan menjadi partikel yang berukuran lebih besar sehingga dapat
disaring atau mengendap dengan sendirinya. Aluminium Sulfat jika
ditambahkan dalam air akan bereaksi dengan NaOH (pada proses penetralan)
menghasilkan Aluminium Hidroksida yang bermuatan positif dan akan
menarik partikel koloid bermuatan negatif sehingga terbentuk gumpalan
partikel yang makin lama makin besar dan berat serta akan mengendap
dengan sendirinya. Tujuan dari proses koagulasi ini adalah untuk semakin
menurunkan nilai TSS limbah cair.

3) Proses Pengolahan Secara Anaerob


Limbah cair dari bak penampung kedua (netralisasi dan koagulasi) kemudian
dialirkan ke bak penampung ketiga dan dilakukan proses pengolahan
anaerob. Proses ini bertujuan untuk menurunkan kadar bahan-bahan organik
yang banyak terdapat dalam limbah cair industri karet yang berpengaruh
pada tingginya nilai COD dan BOD.
Secara garis besar pengolahan anaerob adalah konversi bahan organik
menjadi gas methan dan karbondioksida melalui 3 tahap yaitu:
a. Tahap Hidrolisis dan Fermentasi
Adalah penguraian polimer-polimer organik tak larut dalam bentuk
karbohidrat, lemak dan protein menjadi senyawa organik terlarut:
1) Lemak dihidrolisis menjadi asam lemak dan selanjutnya menjadi
asam propionat
2) Protein dihidrolisis menjadi asam amino yang selanjutnya
menjadi asam keto
3) Karbohidrat dihidrolisis menjadi asam keto dan alkohol. Asam
keto hasil hidrolisis protein dan karbohidrat selanjutnya menjadi

11
asam piruvat, yang selanjutnya menjadi asam laktat, asam
propionat dan asam butirat
Proses hidrolisis dan fermentasi ini dibantu oleh aktivitas bakteri
fakultatif

b. Tahap Asetogenesis
Merupakan tahap pembentukan asam asetat yang sebagian besar berasal
dari asam propionat dan asam butirat. Pada tahap ini dihasilkan asam
asetat, hidrogen dan karbon dioksida:
1. Asam propionat menjadi asam asetat
CH3CH2COOH + 2H2O  CH3COOH + CO2 + 3H2
2. Asam butirat menjadi asam asetat
CH3CH2CH2COOH + 2H2O  2CH3COOH + 2H2

c. Tahap Metanogenesis
Merupakan tahap akhir dari proses anaerob, dimana akan dibentuk gas
methan baik dari asam asetat maupun hidrogen
1. Gas methan dari asam asetat
CH3COOH  CH4 + CO2
2. Gas methan dari hidrogen
3H2 + CO2  CH4 + H2O

4) Pengolahan Aerob Lagoon + Lumpur Aktif + Aerasi + Fitoremediasi


menggunakan Azolla microphylla Kaulf (paku air).
Limbah cair dari bak pengolahan anaerob kemudian dialirkan dalam lagoon
dan mengalami pengolahan aerob, penambahan lumpur aktif (active sludge),
aerasi dan fitoremediasi menggunakan Azolla microphylla Kaulf. Sama
seperti pengolahan anaerob, pengolahan aerob dengan lagoon, lumpur aktif
dan aerasi bertujuan untuk mengurai materi organik dimana lumpur aktif
yang mengandung banyak mikroorganisme akan mengurai materi organic

12
dalam limbah. Aplikasi aerasi dengan aerator memiliki beberapa manfaat
antara lain membuat lumpur aktif jadi tersuspensi secara stabil dalam lagoon
sehingga kontak mikroorganisme dengan limbah untuk mengurai materi
organic terus terjaga, selain itu proses aerasi juga meningkatkan jumlah
oksigen terlarut dalam lagoon sebagai factor pertumbuhan mikroorganisme.
Jadi kombinasi Lagoon + lumpur aktif dan aerasi dapat menurunkan nilai
COD dan BOD air limbah. Aplikasi fitoremidiasi menggunakan Azolla
microphylla Kaulf telah diteliti oleh Dwi Yulianti dkk, 2005 yang
menyatakan fitoremediasi limbah karet dengan Azolla microphylla Kaulf
selama 12 hari dapat meningkatkan nilai DO, menurunkan nilai BOD,
menurunkan nilai COD, menurunkan TSS dan menurunkan kadar amoniak
dan N total.

2.5 Karateristik Dan Dampak Limbah Ciar Industri Karet


Karakteristik dan jumlah limbah yang dihasilkan dari proses produksi karet
dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan
1. Perkiraan Debit Limbah Cair
Proses pengolahan karet tergolong proses basah, banyaknya kebutuhan air untuk
keperluan pngolahan akan menentukan banyaknaya limbah cair yang dihasilkan,
sekaligus menetukan rancangan ukuran sarana pengolah limbah. Jumlah air yang
digunakan dalam proses produksi, hampir seluruhnya menjadi limbah, karena
karet baik berupa bahan baku maupun setengah jadi tidak menyerap air.
Pengaruh kebutuhan air adalah tingkat kotoran yang ada dalam bahan baku, serta
efesiensi kinerja sarana pengolahan. Nilai parameter limbah pada setiap bagian
proses pengolahan berbeda-beda. Nilai parameter BOD atau COD yang sangat
besar dari air buangan menunjukkan tingginya kadar bahan organiknya,
peningkatan kadar bahan organik akan makin mengganggu ekosistem
lingkungan yang menerima air buangan karena oksigen banyak digunakan oleh
bakteri pengurai untuk menghancurkan bahan organik tersebut. Total padatan
merupakan bahan yang berasal dari emecahan komponen organik, sedangkan

13
padatan tersuspendi merupakan bahan yang tidak larut d dalam air dan
cenderung mengalami pembusukan jika suhu air meningkat (musim panas).
Dampak negatif juga timbul jika air limbah langsung dibuang ke sungai atau
perairan umum. Bagi pabrik yang berlokasi di areal perkebunan, penanganan
limbah cair relatif mudah, bahkan dapat dimanfaatkan menjadi pupuk tanaman
karetnya.

2. Karakteristik dan Dampak Limbah Padat


Secara umum limbah padat yang terbentuk pada pengolahan karet tidak
tergolong limbah beracun. Limbah biasanya hanya berupa tatal, lumpur, pasir
rotan, kayu, daun, dan plastik bekas kemasan. Bokar yang kotor merupakan
sumber utama pembawa limbah padat. Beberapa jenis padatan dalam jumlah
yang sudah sedemikian besar akan mengganggu keseimbangan ekosistem.
Limbah tersebut jika dibuang ke sungai, dalam jangka waktu tertentu akan
menyebabkan pendangkalan badan air. Limbah padat akan dikirim ke TPA
dalam keadaan sudah cukup kering, lebih baik lagi jika sudah bersifat kompos,
sehingga di TPA tinggal proses pelapukan akhir.

14
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Dalam penulisan makalah ini dapat disimpulkan :

1) Pengolahan limbah cair industri karet sudah diatur oleh No. 8 Tahun 2012 yang
mengatur tentang standar baku mutu limbah cair industri karet untuk parameter pH,
TSS, BOD, COD, NH3-N dan Nitrogen Total.
2) Proses pengolahan limbah cair industri karet kebanyakan menggunakan proses secara
biologi dengan pemanfaatan lumpur aktif.
3) Kualitas bahan baku berpengaruh terhadap tingkat kuantitas dan kualitas limbah
4) Teknik pengelolaan air limbah secara efektif dan efisien serta berkesinambungan harus
dilaksanakan dalam melakukan pengkajian dan inovasi penerapan teknologi produksi
bersih, untuk mendukung terwujudnya industri karet yang berdaya saing tinggi dan
berwawasan lingkungan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Octavianus Chris. 2017. “Pengolahan Limbah Industri Karet”. Makalah.


Universitas Tanjungpura

Prastiwi Nadiya. 2010. “ Pengolahan Limbah Cair Industri Karet”. Makalah.


Universitas Lambung Mangkrut

Elsa Rama Lumban Gaol. 2019. “Pengolahan Limbah Cair Industri Karet
Menggunakan Sand Filter Dan Bentonit Dengan Proses Hybrid Membran
(UF-RO)”. Tesis. Universitas Sriwijaya

16

Anda mungkin juga menyukai