Anda di halaman 1dari 28

KEPEMIMPINAN NON ISLAM DALAM PANDANGAN NORMATIVE ISLAM

SERTA TANTANGAN BAGI PARA PEMIMPIN ISLAM


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
KEPEMIMPINAN ISLAM
Dosen pengampu:
Moh. Mundzir , S.E., M.A.

Oleh :
Dina Kamila
Levina Elysia Lazimatul Ainiyah
Siti Sholehatul Hidayah

INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA


(IAINU) TUBAN
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2021

KATA PENGANTAR

1
Assalamualaikum Wr.Wb
Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas izin dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tepat waktu. Dan tak lupa sholawat serta salam kami haturkan
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari
akhir kelaknanti. Makalah yang berjudul tentang pro kontra negara Islam ini disusun untuk
melengkapi tugas kelompok Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Penulisan makalah
ini dimungkinkan oleh adanya bantuan dan bimbingan dari berbagi pihak. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan bimbingan kepada:
1. Dosen pembimbing Mata Kuliah Kepimpinan Islam Pak Mundzir
2. Teman-teman yang sudah membantu kami dalam penyusunan makalah ini
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan karena
masih dalam proses belajar. Oleh karena itu, kami dengan terbuka dan senang hati akan
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini
menjadi lebih baik. Dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila ada kesalahan
penulisan, oleh karena itu, kami dengan terbuka dan senang hati akan menerima kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini menjadi lebih baik, Terima
kasih atas semua pihak yang membantu penyusunan dan membaca makalah ini.

Tuban, 21 Maret 2021

Kelompok 5

DAFTAR ISI

2
Kata Pengantar...........................................................................................................................
Daftar Isi..............................................................................................................................

BAB I (PENDAHULUAN)
a. Latar Belakang...............................................................................................................
b. Rumusan Masalah..........................................................................................................
c. Tujuan Penulisam...........................................................................................................

BAB II (PEMBAHASAN)
a. Pengertian syura...........................................................................................................
b. Pandangan demokrasi menurut islam..........................................................................
c. Problem penerapan syarat Islam di negara islam......................................................

BAB lII (PENUTUP)


a. Kesimpulan ..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

Bab 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Wacana demokrasi dan Islam sering diwarnai pro dan kontra, wacana tersebut selalu menarik
untuk diperbincangkan meskipun umat Islam sebenarnya tidak pernah sepakat dengan

3
maknanya. Hal ini tampak dari panggung politik kontemporer, semakin banyak gerakan-
gerakan Islam melibatkan diri dalam isu demokratisasi dan civil society. Hubungan antara
demokrasi dan Islam saat ini begitu kompleks. Sistem demokrasi Barat dalam
perkembanganya menjadi pilihan negara-negara berkembang karena diyakinisebagaisistem
yang menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi manusia. Gelombang demokrasi Barat telah
meluas keberbagai negara, termasuk negara-negara yang berpenduduk muslim. Sejak tahun
1790 hanya terdapat tiga negara yang menganut sistem demokrasi liberal antara lain negara
Amerika Serikat, Swiss, dan Perancis.
Pada tahun 1848 jumlahnya berkembang menjadi lima negara, tahun 1900 berjumlah tiga
belas negara, tahun 1919 berjumlah dua puluh lima negara, tahun 1940 berkembang
jumlahnya menjadi tiga belas negara, tahun 1960 berjumlah tiga puluh enam negara, tahun
1975 berjumlah tiga puluh negara dan pada tahun 1990 berjumlah enam puluh satu negara.
Survei terhadap demokrasi yang dilakukan pada tahun 1939, negara yang sudah demokratis
sejumlah 12 negara. Antara lain Kanada, Amerika Serikat, Belgia, Denmark, Irlandia,
Prancis, Inggris, Netherland, Norwegia, Swedia, dan Switzerland.
Menurut penelitian yang dilakukan UNESCO pada tahun 1949 menyatakan untuk pertama
kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk
semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukungpendukungnya
yang sangat berpengaruh. Seolah tidak ingin diberi label anti demokrasi, banyak
kalanganMuslim yang kemudian menyatakan bahwa Islam sudah sesuai dengan demokrasi
Barat. Karena demokrasi Barat sudah menjadi tren global, banyak orang yang kemudian
menyuarakan demokrasi sebagai sebuah sistem yang ideal dan tepat bagi suatu negara yang
kemudian harus diikuti oleh setiap manusia. Ada yang berpendapat, dengan demokrasi suatu
bangsa akan menjadi bangsa besar dan kuat. Ada sebagian kalangan yang menjadikan
demokrasi bukan sekedar mekanisme pemilihan kepemimpinan tetapi sebagai jalan hidup.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian syura?
2. Bagaimana pandangan Islam tentang demokrasi?
3. Apa masalah dinegara Islam?
C. Tujuan Masalah
1. Agar mengetahui pengertian syura
2. Agar mengetahui pandangan Islam tentang demokrasi
3. Agar mengetahui masalah yang ada dinegara islam

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. PRINSIP SYURA
1. Definisi Syura
Syura (id : Musyawarah, berasal dari kata syaur = sesuatu yang Nampak jelas).
Secara semantis berarti “menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan
antarkelompok”. Musyawarah dalam bahasa indonesia berarti pembahasan bersama
dengan tujuan mencapai kesepakatan atas penyelesaian masalah
bersama”musyawarah adalah salah satu implikasi dari pengambilan keputusan secara

5
demokratis. Dalam musyawarah keputusan tidak hanya ditentukan oleh
pimpinan/penuasa melainkan melibatkan seluruh rakyat/anggotanya.1
Secara etimologis kata syura berasal dari bahasa arab Sya-wa-ra yang berarti
mengeluarkan madu dari sarang lebah.2 Kata syura berarti mengambil sesuatu dari
tempatnya, dalam hal musyawarah yakni dari seseorang yang memang pantas diambil
pendapatnya. Menurut Taufiq Asy-Syawi Syura diartikan menjadi dua yaitu
masyurah (memberi pendapat) dan istisyarah (meminta pendapat).3 Syura berarti
menjaring ide-ide terbaik dengan mengumpulkan sejumlah orang yang dianggap
memiliki argumentsi yang kuat, dapat dipercaya, serta berorientasi pada maslahat
umat, dan bukan pada kepentingan pribadi. Kata tersebut tidak merujuk kepada
jumlah perolehan mayoritas, syura tetap akan mengambil yang paling berkualitas.
Inilah salah satu yang membedakannya dengan demokrasi, dimana demokrasi hanya
tentang nilai mayoritas/kuantitas banyaknya pemilih, bukan berpacu kepada kualitas.
Secara teologis, musyawarah merupakan konsekuensi logis dari sikap Tauhid
(monoteisme) dalam ajaran Islam yang menempatkan Allah SWT sebagai yang maha
mengetahui, maha sempurna, maha mutlak, dan maha benar. Berbeda dengan manusia
yang hanya bersifat relatif, tidak sempurna dan terbatas. Oleh sebab itu dalam
pencarian kebenaran dan pengambilan keputusan, manusia memerlukan bantuan
saudaranya melalui jalan musyawarah.
Orang yang bersikap anti musyawarah atau otoriter dapat disebut syirik,
karena ia merasa dirinya paling benar, maha mengetahui dan maha mutlak setara
dengan Allah SWT. Syirik merupakan dosa besar (QS.31:13). Salah satu contoh
manusia yang menganggap dirinya paling benar dan sebanding dengan Allah SWT
adalah Fir’aun, seperti yang dikisahkan dalam surah Al-Qashash ayat 4.4
2. Konsepsi Syura’
Konsep Syura’, tentu dalam konteks prinsip kenegaraan Islam sangat terkait
erat dengan upaya penyelenggaraan pemerintahan yang baik, mengayomi kehidupan
umat, dan melayani umat menuju kemaslahatan bersama (al-maslahat al-ammah)5.
Demikian pula yang diungkapkan oleh Syathibi, bahwa unsur utama dari teori hukum
(selain AlQur’an dan As-Sunnah) adalah seperti ijma’ dan kemaslahatan orang
banyak. Hal ini dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip yang universal (Kulliyat).
Prinsip-prinsip yang bersifat umum inilah yang membentuk dasar-dasar syari’ah yang
bersumber dari kumpulan prinsip-prinsip khusus (juziyyat)6.

1
Ensiklopedi Hukum Islam”hlm 1263
2
Muhammad Iqbal, “Fiqh Siyasah”, (jakarta : Prenada Media, 2014)
3
Taufiq Asy-syawi, Syura bukan demokrasi, (Jakarta:Gema Insani, 1997)
4
“Ensiklopedi Hukum Islam”, hlm 1264
5
Said 'Aqiel Siradj, Ahlussunah wa al-Jama'ah dalam Lintas Sejarah, cet-1, LKPSM, Yogyakarta, 1997, hlm. 74.
Lihat Abdul Wahab Khalaf, Ilm Usul al-Fiqhi, Cet-12, Dar alQalam, 1978 M/1398 H, hal. 84
6
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, terj. E. Kusnadiningrat dan Abdul Haris, Cet-1, Raja Grafindo, Jakarta 2000,
hal. 256. Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan hukum dalam menuju kemaslahatan harus mementingkan 5 (lima)
aspek, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, Lihat pula Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum
Islam, jilid 5, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hal. 1144.

6
Sementara itu, Imam as-Subki mengemukakan bahwa hubungan pemimpin
dan rakyat dalam sistem pemerintahan adalah berdasarkan keadilan, persamaan, dan
mendahulukan suatu perkara yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat umum, yang
semuanya itu adalah landasan dari sebuah kemaslahatan 7. Dalam mewujudkan
konsepsi tersebut, tentu dibutuhkan sarana atau cara untuk menjembataninya, yang
dalam Islam dapat diwujudkan dalam bentuk musyawarah (syura). Konsep syurâ
termasuk dalam prinsip-prinsip dasar berkaitan dengan negara dan pemerintahan (as-
siyasah asy-syar’iyah) serta hubungannya dengan kepentingan rakyat8. Konsep ini
meliputi tiga aspek utama9, yaitu: 1) Dusturiyyah (tata negara), yang meliputi aturan
pemerintah, prinsip dasar yang berkaitan pendirian suatu pemerintahan, aturan yang
berkaitan dengan hak-hak pribadi, masyarakat, dan negara; 2) Kharijiyyah (luar
negeri), meliputi hubungan negara dengan Negara lainnya, kaidah yang mendasar
hubungan ini, dan aturan berkenaan dengan perang dan perdamaian; dan 3) Maliyyah
(harta), meliputi sumber-sumber keuangan dan pembelanjaan negara.
Istilah Syura’ atau musyawarah sebenarnya berasal dari bahasa Arab, dari kata
syura’ yang berarti sesuatu yang tampak jelas 10. Di dalam Al-Qur’an, beberapa ayat
yang akar katanya merujuk pada syura atau musyawarah, yaitu surat al-Baqarah (2)
ayat 233, surat an-Nisa (4) ayat 34, surat Ali Imran (3) ayat 159, dan surat asy-Syura
(42) ayat 38. Ayat-ayat yang berhubungan dengan musyawarah ini menunjukkan
suatu perintah bahwa musyawarah merupakan kewajiban hukum bagi kaum muslimin
dan dasar pemerintahan11. Selain itu, kata syura memiliki asal kata kerja syawara-
yusyawiru-musyawaratan, yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan,
dan mengambil sesuatu. Sedangkan tasyawara berarti berunding atau saling bertukar
pendapat12.
Menurut Louis Ma’luf sebagaimana dikutip Hasbi Amiruddin, syura secara
etimologis berarti nasehat, konsultasi, perundingan, pikiran atau konsideran
permufakatan. Secara terminologi berarti majelis yang dibentuk untuk mendengarkan
saran dan ide sebagaimana mestinya dan terorganisir dalam masalah-masalah
kenegaraan. Termasuk juga saran-saran yang diajukan untuk memecahkan suatu
masalah sebelum sampai kepada konklusi bagi keputusan-keputusan konstitusional13.
Muhammad Muslehuddin memberikan argumentasi bahwa Syura’ adalah
prosesi yang wajib dalam sebuah negara, sekalipun pada awalnya perintah Allah
SWT di dalam Q.S asy-Syura (42): 38 dan Ali-Imran (3):159, yang direkomendasikan

7
Imam Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti, al-Asybah wa an-Nazair Fi al- Furu', Dar al-Fikr, Beirut, 1995
M/1415 H, hal. 84-85.
8
As-Siyasah asy-Syar'iyyah (Ilmu Politik Hukum Islam) adalah ilmu yang membahas tentang undang-undang dan sistem
pemerintahan Islam yang sesuai dengan dasar-dasar Islam meskipun tidak ada dalil khusus yang mengaturnya. Abdul
Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam, Terj. Zainuddin Adnan, Cet-1, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994, hal. viii.
9
Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi..., Op.Cit., hal. 1627.
10
Ibid., jilid 4, hal. 1263.
11
Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern Dalam Islam, Penerbit LkIS, Yogyakarta, 2010, hal. 160.
12
Kafrawi Ridwan dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam, jilid 5, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 18.
13
M. Hasbi Amiruddin, Republik Umar Bin Khattab, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2011), hlm. 36.

7
dan di alamatkan kepada Rasulullah SAW, namun hal itu pada dasarnya adalah untuk
umat manusia14
Karena hal demikian menjaga kemaslahatan umum yang berdasarkan keadilan
dan kemanfaatan serta sadd az- zari’ah (mencegah kerusakan)15. Definisi lain tentang
syurâ dijelaskan oleh Tahir Azhary, bahwa syura dapat diartikan sebagai forum tukar
menukar pikiran, gagasan atau ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam
memecahkan sesuatu masalah sebelum pada suatu pengambilan keputusan. Dilihat
dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah suatu prinsip konstitusional dalam
demokrasi Islam yang wajib dilaksanakan dalam suatu pemerintahan dengan tujuan
untuk mencegah lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum atau rakyat16.
Sejalan dengan itu, Syura’ atau musyawarah menurut Facry Ali, adalah sebuah
mekanisme operasional menemukan common platform di antara keberagaman
masyarakat. Musyawarah pada dasarnya juga bukan saja sebuah pengakuan akan
adanya pluralisme, melainkan juga kesadaran dan praktek memperlakukan orang
perorang sederajat yang bermuara pada keadilan. Maka, menjadi sulit dibantahkan
bahwa konsep musyawarah tersebut telah dengan sendirinya memberikan dasar-dasar
bagi perkembangan demokrasi di dalam Islam17. Jika hukum Islam memiliki watak
dinamis yang meletakkan titik berat perhatiannya kepada persoalan duniawi yang
bergumul dengan kehidupan kebangsaan dewasa ini dan memecahkan persoalan
hidup, maka dengan demikian hukum Islam dituntut untuk mengembangkan diri
dalam sebuah proses yang bersifat cair (fluid situation), dan tidak hanya terikat pada
gambaran dunia hayal yang menurut teori telah tercipta dimasa lampau. Sehingga,
pemikiran Islam harus memiliki pendekatan multidimensional dalam segala aspek
kehidupan18.
Mayoritas ahli hukum Islam meletakkan syura’ atau musyawarah sebagai
kewajiban ke-Islam-an dan prinsip konstitusional yang pokok di atas prinsip-
prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah di tetapkan oleh nas-nas Al-Qur’an
dan hadis-hadis Nabi. Oleh karena itu, musyawarah ini lazim dan tidak ada alasan
bagi seorangpun untuk meninggalkannya. Kedudukan konstitusional musyawarah
juga berada dalam sistem kebebasan kontemporer (negara hukum Barat) yang
membedakannya dari sistem diktatorial-sekalipun hanya dinisbatkan kepada sistem
demokrasi dari segi bentuk bukan isi.
Islam dan otoritarian adalah dua hal berlawanan yang tak mungkin bertemu.
Ajaran-ajaran Islam membawa manusia untuk menyembah hanya kepada Tuhan
14
M. Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya di Lihat dari Segi Hukum Islam
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Cet. Ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 83.
15
Nourozzaman Shiddiqie, Fiqih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 68-
69.
16
M. Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya di Lihat dari Segi Hukum Islam
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Cet. Ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 83.
17
Fachry Ali, “Musyawarah dan Demokrasi sebagai Dasar Etika Politik Islami,” Makalah, Disampaikan pada Annual
Conference on Islamic Studies, Dirjen Pendidikan Islam, Kemenag, Palembang, 4 November 2008, hlm. 3.
18
Abdurahman Wahid, "Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan", dalam Jurnal Prisma, No.4, LP3ES,
Agustus 1975, hlm. 56.

8
mereka saja, dan bersikap humanis, sedangkan protokoler diktaktor justru
merupakan wujud pemberhalaan kekuasan dan politik buta19.
Abu Bakar al-Asam (w. 816 M), berargumen bahwa dalam sebuah negara
hukum, ketika menentukan siapa yang menjadi penguasa, maka harus ada syura’ atau
musyawarah, dan dalam proses itu setiap orang harus memberikan persetujuannya
secara perorangan20.
Dalam sisi teknis, menurut Al-Jabiri, prinsip-prinsip yang harus dipegang dan
diamalkan sesuai perkembangan syura’ adalah21:
1. Prinsip kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kebebasan beroposisi,
2. Prinsip akuntabilitas dan integrasi serta peninjauan ulang terhadap konsep
kekebalan hukum
3. Prinsip pergantian kekuasaan dan penentuan ketentuan kewenangan masing-
masing
4. Menghindari pemilihan berdasarkan kelompok, mazhab dan agama dalam
jabatan-jabatan pemerintahan dan tugas-tugasnya, serta berpegang teguh pada
prinsip
Beberapa pemikir abad pertengahan semisal Al-Baqillani, Ibn Taimiyyah, dan
Ibn Khaldun menyatakan bahwa syura melalui ahlul hall wa al-aqd merupakan
mekanisme wajib dalam pengangkatan pemimpin. Karena pemimpin hanya dapat
diangkat melalui pemilihan langsung oleh rakyat (al-ikhtiyar).
Pendapat ini dipertegas Mawardi, bahwa untuk melaksanakan musyawarah
dalam memilih pemimpin diperlukan dua hal, Pertama, Ahl al-Ikhtiar untuk sebutan
mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat (legislatif), dan Kedua, Ahl
al-Imamah, atau mereka yang berhak mengisi jabatan imam (eksekutif). Konsensus
(ijma’) secara integral berkaitan dengan prinsip syura’. Demikian pula dengan ulil
amr yang juga mengacu pada ahlul hall wa al-aqd yang berarti ulama, penguasa,
kaum cerdik pandai, arif, dan yang menguasai urusan kemasyarakatan. Sehingga
kepatuhan kepada ahlul hall wa al-aqd atau ahl asy-syura merupakan kewajiban
kepada penguasa dan rakyat.
Khaled Abou El Fadl, memberikan argumen yang sangat progresif, bahwa
meskipun dalam sejarah umat islam konsep Syura’ tidak dijelaskan secara eksplisit, ia
menjadi sangat urgen sebagai upaya dalam mencegah terjadinya pemerintahan yang
otoriter dan zalim. Hal ini selaras dengan penentangan hukum terhadap kezaliman
(al-istibdad) dan pemerintahan yang didasarkan pada hawa nafsu dan kesewenang-
wenangan (al-hukm bi’l hawa wa al-tasallut). Suatu musyawarah dapat diakhiri
dengan kebulatan pendapat atau kesepakatan bersama (konsensus) yang lazim disebut
sebagai ijma’.

19
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2004),
hlm. 310-316.
20
Khaled Abou El Fadl, Islam dan Tantangan Demokrasi, (Jakarta: Ufuk Press, 2004), hlm. 20.
21
Abdurrahim, “Konsep Syura’ Menurut Pemikiran Abd Al-Jabiri,” Makalah, Disampaikan Pada Diskusi Pusat Studi dan
Konsultasi Hukum (PSKH) Fak. Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Mei 2008, hlm. 6.

9
Pasca Nabi wafat, syura’ memang telah menjadi sebuah symbol yang
menandai pentingnya politik dan legitimasi partisipatif. Namun, dinamika
pelaksanaan syura’ di era khulafaur rasyidin (khalifah empat), yang berakhir pada
periode pemerintahan dengan pembunuhan atau pemberontahan menjadi sebuah
catatan kritis para ahli hukum Islam bahwa syura’ ternyata tidak efektif tanpa
pelembagaan.
3. Pelembagaan Syura’
Dalam tatanan masyarakat Muslim modern, adalah sebuah keniscayaan ketika
menjalankan sebagian hukum ajaran agama (syari’ah) mengalami persinggungan
dengan hukum positif negara22. Demikian pula dengan prinsip musyawarah (syura)
dalam implementasinya pada tatanan negara hukum modern yang mengalami
fleksibilitasnya. Perubahan pengalaman umat manusia, khususnya umat Islam, dalam
skala universal disertai pula dengan menguatnya tuntutan terhadap partisipasi rakyat
dan mengentalnya identitas komunal. Kedua fenomena tersebut Saling berkaitan satu
sama lain, dan ini menunjukkan upaya individu dan kelompok untuk melakukan
kontrol atas kekuasaan pemerintahan23.
Perkembangan implementasi syura’ sejak Nabi hingga era dinasti Islam
memang tidak memiliki pola yang baku. Demikian pula dalam konteks pelembagaan
syura’ yang memiliki format beragam. Prinsip Syura masuk dalam bentuk
kelembagaan yang konkrit terjadi pada kurun abad ke-9 Masehi. Dimasa itu Syura
menjadi sebuah forum formal untuk meminta pendapat para ahli syura (orang-orang
yang diminta mengemukakan pendapat), yang menurut literatur hukum kelompok
yang juga membentuk ahl al-‘aqd (orang-orang yang memilih penguasa). Hasil dari
proses konsultasi ini memiliki dua subtansi kekuatan hukum, yang dalam terminologi
sunni disebut kekuatan hukum mengikat (syura mulzimah) dan tidak mengikat
(ghairu mulzimah24).
Menurut Ibnu Khaldun bahwa adanya organisasi kemasyarakatan (ijtima’i wal
insani) merupakan suatu keharusan. Para ahli hukum juga telah melegitimasi
kenyataan ini dengan perkataan mereka: ”Manusia adalah bersifat politis menurut
tabiatnya“ (al-insanu madaniyyun’biththab’i). Ini berarti, ia memerlukan satu
organisasi kemasyarakatan, yang menurut para filosof Yunani dinamakan “negara
kota”, dan itulah yang dimaksud dengan peradaban. Jadi di dalam pandangan ahli
agamapun pembentukan suatu organisasi kemasyarakatan untuk mengatur masyarakat
menjadi suatu keharusan.
Pada prinsipnya, ketika etika syura dikembangkan menjadi sebuah konsep
yang lebih luas tentang pemerintahan partisipatif, ia memiliki kesesuaian dengan
konsep negara hukum modern. Tapi, sekalipun syura diubah menjadi sebuah lembaga
parlemen partisipatif, ia sendiri harus dibatasi oleh sebuah skema hak pribadi dan

22
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara Kritik Atas Hukum Islam di Indonesia, LKiS, Yogyakarta, 2001, hlm.
2.
23
John L. Esposito & John O. Voll, Demokrasi Di Negara-negara Muslim, (Bandung:Penerbit Mizan, 1999), hlm. 13.
24
Khaled Abou El-Fadl, Op. Cit., hlm. 28.

10
individual yang berperan sebagai tujuan moral tertinggi, semisal keadilan. Dengan
kata lain, syura harus dinilai bukan atas dasar apa yang dihasilkan, tapi atas dasar nilai
moral yang diwakilinya25.
Memang harus diakui bahwa hadirnya majelis syura dalam konteks Negara
Madinah pada masa sahabat, belum bisa disamakan dengan lembaga-lembaga
perwakilan di negara-negara modern dewasa ini, baik dalam hal mekanisme
pemilihan, pengesahan keanggotaan, maupun tugas dan fungsinya. Namun disana
telah memuat substansi demokrasi modern dalam hal jaminan hak memilih dan dipilih
antara laki-laki dan perempuan. Kemudian, di zaman pemerintahan bani Abbasiyyah,
majelis syura mengalami perkembangan sehingga disebut dewan syura, sebagaimana
didicatat oleh abdul Malik al-Sayed. Anggota-anggota dewan syura ini adalah pilihan
rakyat dan dewan ini pula yang memilih kepala pemerintahan propinsi26.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa, orang-orang yang
berhak melakukan syura (musyawarah) dalam urusan yang menyangkut kepentingan
umum atau masyarakat, mereka dikenal dengan sebut ahl hall wa al-aqd atau majelis
syura, yakni pakar dalam mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah atas
nama umat (warga negara). Dengan kata lain, ahlul hall wal aqd adalah orangorang
yang Berwenang merumuskan dan menetapkan suatu kebijakan dalam pemerintahan
yang didasarkan pada prinsip musyawarah”.
Dalam Islam, terdapat penyebutan lembaga ahlul hall wal aqd yang beragam.
Ada yang menyebut ahlul ikhtiyar, sebagian lainnya menyebutnya dengan “ahlus
syura” atau “ahlul ijtima” dan ada juga yang menyebutnya sebagai “ahlul ijtihad”.
Namun semuanya mengacu pada pengertian ahlul hall wal aqd sebagai sekelompok
anggota masyarakat yang mewakili wewenang (syawkah) dalam menentukan arah dan
kebijakan pemerintah demi terciptanya kemaslahatan hidup rakyat banyak.
Sedang pada masa Nabi SAW, kelompok ini disebut majelis shahabat yang
anggota-anggotanya terdiri dari para pemuka sahabat, para pemuka rakyat di ibukota
Madinah, dan para kepala kabilah atau kepala suku.
Paradigma pemikiran ulama fikih merumuskan istilah ahl hall wa al-aqd
didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh
tokoh-tokoh sahabat yang mewakili dua golongan, yaitu kaum Anshar dan kaum
Muhajirin dalam sebuah forum syura’. Mereka inilah yang kemudian dijadikan
paradigma terbentuknya ahl hall wa al-aqd. Menurut Manzooruddin, lembaga ini
merupakan lembaga perwakilan umat yang representatif untuk mengangkat untuk
mengangkat pimpinan negara dan merumuskan undang-undang.
Tentang pelembagaan syura ini, Abu A’la al-Maududi berpendapat bahwa
kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga, yakni legislative (majelis syura),
eksekutif (khalifah), dan yudikatif (qadhi). Dalam pelaksanaan tugas khalifah, ia
harus berkonsultasi dengan majelis syura yang anggotanya dipilih melalui pemilihan.
Kemudian, keputusan pada majelis syura atas suatu perkara umumnya diambil atas
25
Khaled Abou El-Fadl, Op. Cit., hlm. 29
26
Dikutip kembali dalam M. Tahir Azhary, Op. Cit.,hlm. 85.

11
suara terbanyak. Dan untuk keanggotaan majelis syura tidak diperkenankan dipilih
oleh orang-orang yang mencalonkan.
Pendapat lebih maju dikemukakan oleh Rasyid Ridha, bahwa lembaga syura
sudah selayaknya disebut Ahlul hall wa al-aqd/ parlemen modern. Mereka tidak
hanya terdiri dari ulama dan ahli agama yang sudah mencapai mujtahid saja, tetapi
juga dilengkapi dengan pemuka-pemuka masyarakat diberbagai bidang, termasuk
bidang perdagangan, perindustrian dan sebagainya. Sedangkan peranan dan tanggung
jawab Ahl al-hall wa al-aqd, menurut Ridha tidak selesai dengan urusan pemilihan
atau pengangkatan khalifah, tetapi mereka terus berperan sebagai pengawas terhadap
jalannya pemerintahan dan harus menghalanginya dari berbuat penyelewengan.
Pelembagaan musyawarah melalui lembaga Ahlul hall wa al-’aqd oleh
beberapa pemikir muslim modern disamakan dengan lembaga perwakilan rakyat
(parlemen/legislatif) di dalam pemerintahan yang menganut sistem negara hukum
Barat modern. Dalam konteks Indonesia, pelembagaan syura sejak kemerdekaan
diwujudkan dalam majelis permusyawaratan atau badan legislatif. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa prinsip negara demokratis yang diperkenalkan Islam sejak
awal melalui musyawarah adalah prinsip demokrasi modern yang terdiri atas
kebebasan berpendapat, kesederajatan di muka hukum dan pemerintahan,
perlindungan hak asasi manusia, dan hak ekonomi untuk semua27.
Maka sebagai upaya reaktualisasi prinsip negara hukum, dimasa kini syura
atau musyawarah dapat dilaksanakan melalui lembaga perwakilan yang
penyebutannya dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara, apakah itu
Dewan Perwakilan Rakyat, House of Representatif, ataukah parlemen, tetapi sejatinya
memiliki substansi sama yang mendasar, yakni wilayah ruang lingkup ijtihad manusia
dalam mengupayakan kemasalahatan rakyat banyak (maslahat al ‘ammah).
Sebagaimana dikatakan Benazir Bhutto, bahwa Islam adalah agama yang dibangun
berdasarkan prinsip-prinsip musyawarah (syura); diwujudkan dengan konsensus
(ijma’); yang akhirnya memiliki arah pada upaya konkrit (ijtihad), yang
memungkinkan rakyat untuk menyuarakan pendapatnya menuju pemerintahan yang
demokratis. Dengan demikian, musyawarah sebagai prinsip konstitusional yang
digariskan dalam Al-Qur’an dan diteladankan melalui tradisi Nabi dan para sahabat
menjadi sebuah prinsip yang niscaya. Namun, aplikasi dan kelembagaannya selalu
dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Sejauh tidak bertentangan atau menyimpang dari jiwa Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Karena institusi-institusi politik dan negara dalam sejarah manusia juga selalu
mengalami perkembangan dan perubahan.
Tentang hal ini Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip Zainal Abidin
Ahmad menegaskan bahwa pelembagaan prinsip musyawarah dalam Islam tidak
diberikan batasan tertentu dan akan mengikuti perkembangan peradaban manusia.
Maka patut kiranya ketika rakyat memilih para wakilnya dalam lembaga musyawarah
yang akan merundingkan persoalan negara bersama kepala negara. Sedangkan dalam
27
Muhammad Alim, Op. Cit., hlm. 161-162.

12
hal teknis pembentukannya dapat ditetapkan berdasarkan aturan yang berlalu, asalkan
tidak bertentangan dengan prinsip musyawarah dan dasar hukum Islam yang umum.
Sehingga, secara prinsipil dalam hukum Islam, manusia dibenarkan melaksanakan
musyawarah ketika untuk kepentingan kebaikan (ma’ruf). Sebagaimana ditegaskan
Quraisy Shihab, bahwa pada dasarnya syura hanya untuk hal-hal baik.
Inti yang melandasi pemikiran tentang konsepsi lembaga perwakilan di dalam
Islam ini adalah satu kenyataan bahwa di dalam Islam tidak semua umatnya
memerintah secara langsung. Hal ini membawa makna bahwa di dalam islam dikenal
mekanisme perwakilan kendatipun dengan nilai dan isi yang berlainan dengan
konsepsi dari Barat. Sehingga secara filosofis dapat dipahami bahwa Islam sebagai
sebuah ajaran tidak hanya semata-mata mengatur persoalan akhirat tetapi juga
persoalan dunia.
Dan inilah yang diteladani oleh para pendiri bangsa (funding fathers)
Indonesia, dengan mentradisikan syura dalam perumusan konstitusi Indonesia melalui
panitia sembilan dan melembagakan syura (musyawarah) untuk mengakomidir
aspirasi dan kehendak rakyat. Rumusan tersebut dapat kita cermati pada sila keempat
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Realitas ini juga dapat kita telaah dalam
sejarah dan kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau badan
musyawarah (Bamus) yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Esensi dari lembaga syura adalah pemberian kesempatan kepada anggota
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mengikat melalui
wakil-wakilnya baik dalam aturan hukum maupun kebijakan publik. Artinya, para
wakil rakyat tersebut sebagai pribadi-pribadi pilihan harus bersikap amanah dan
benarbenar menjalankan komitmen yang dibuat bersama rakyat yang diwakilinya.
Kendatipun demikian, menurut mayoritas pemikir Islam, termasuk Al-Maududi, Al-
Mawardi dan Fazlur Rahman, mekanisme pemilihan tersebut tidak melalui institusi
partai. Inilah salah satu aspek ketidaksamaan konsep Islam dan Barat.

4. Diskursus Aktualisasi Syura Di Indonesia


Prinsip Syura dalam perkembangannya tidak hanya memberikan kontribusi
bagi pengkayaan metodologi dalam proses pengambilan keputusan secara mufakat
dalam politik Islam. Tetapi juga telah memberi kontribusi besar bagi dialog antara
politik Islam dengan demokrasi dari Barat, terutama terkait dengan pelembagaan
syura (legislatif) itu sendiri.
Banyak ulama abad pertengahan yang telah menganut unsur unsur Inti yang
dipraktikkan dalam sistem demokrasi modern. Nilai demokrasi tersebut terutama
terkait dengan gagasan bahwa warga negara sebuah bangsa adalah pemilik kedulatan,
dan warga negara dapat mewujudkan kehendaknya yang tertinggi dengan memilih
orang-orang yang mewakili mereka. Para wakil tersebut kemudian memiliki
kewenangan (syawkah) yang lebih besar dari pada individu lainnya. Sehingga
kewenangan tersebut diimplementasikan sebagai bentuk tanggungjawab terhadap

13
semua orang dan dengan demikian menentang tirani penguasa. Pertanggungjawaban
ini selaras dengan perintah untuk menegakkan keadilan dalam Islam28.
Lembaga legislatif sebagai implementasi syura ketika diselaras dengan
demokrasi di zaman modern,khususnya di Indonesia, sejatinya masih menjadi
perdepatan para pemikir Islam. Perdebatan ini terutama terkait dengan beberapa
aspek, (terutama terkait apakah demokrasi Barat itu cocok dengan Islam, apakah
majelis syura sama dengan parlemen dalam demokrasi Barat, dan apakah anggota
majelis syura dipilih melalui partai ataukah langsung oleh rakyat). Perdebatan ini
timbul karena memang dalam Al-Qur’an tidak terdapat penjabaran yang konkret
tentang majelis syura (legislatif) tersebut, bagaimana proses pembentukannya, dan apa
fungsi dan tugasnya. Meskipun pada masa pemerintahan khulafaur rasyidin, mereka
telah meneladankan bentuk pemeritahan Republik yang demokratis29.
Kontradiksi ini dikalangan pemikir Muslim modern, dapat dikategorikan ke
dalam tiga varian utama arus pemikiran kenegaraan, yaitu; arus formalistik, arus
simbiotik, dan arus sekularistik. Atau dalam terminologi Munawir Sjadzali disebut,
tradisional, moderat (subtantif), dan sekuler.
Kelompok pertama merupakan kelompok yang mendukung sistem syura dan
menolak menyamakannya dengan demokrasi, kelompok kedua merupakan kelompok
yang mendukung sistem syura dan menyelaraskannya dengan demokrasi di masa
modern, serta kelompok ketiga merupakan kelompok yang sama sekali menolak
sistem syura dan bahkan menyatakan bahwa Islam tidak menetapkan sistem politik
tertentu. Terlepas dari itu, banyak pemikir muslim kontemporer saat ini yang
mengatakan, bahwa sejatinya syura dan demokrasi tidak hanya kompatibel, tetapi juga
selaras. Keduanya memiliki kesamaan karena keduanya anti individulisme dan
kediktatoran. Sebagaimana dalam kedua system tersebut terdapat wakil rakyat.
Sebagaimana penjelasan Muhammad Assad yang dikutip Wahidin, bahwa
demokrasi merupakan pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat
dan harus diterima keberadaannya di dalam kehidupan masyarakat. Sehingga dalam
menetapkan peraturan harus ada sejumlah orang tertentu yang kepadanya masyarakat
menyerahkan kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), yang keputusannya
mengikat seluruh umat.
Dalam konteks ini kemudian, yang perlu ditekankan bukan sebatas sistem trias
politiknya, yang membagi pemerintahan kedalam tiga lembaga (eksekutif, yudikatif
dan legislatif), melainkan mekanisme pengawasan atau kontrol (checks and balances)
yang berlangsung dalam pemerintahan itu.
Menurut Salim Ali al-Bahnasawi, demokrasi mengandung dua sisi, yakni
memuat sisi baik dan memuat sisi negatif. Sisi baik demokrasi adalah adanya
kedaulatan rakyat. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara
bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan mengharamkan

28
Sukirno, “Sejarah dan Pemikiran Politik Islam,” Jurnal Dinamika Vol VI/ No. 2/ Tahun 2008, hlm. 392.
29
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002),
hlm. 449.

14
yang halal. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut;
pertama, menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah SWT. Kedua,
wakil rakyat harus berakhlak mulia dan Islami dalam bermusyawarah dan tugas-tugas
lainnya. Ketiga, mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Keempat, komitmen terhadap Islam terkait
dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Dengan begitu, syura dalam Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek-aspek
definisi atau gambaran demokrasi tersebut, utamanya dalam Implementasinya di
Indonesia, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi
umat Islam di Indonesia. Oleh sebab itu prinsip ini memerlukan aktualisasi dalam
kehidupan kongkret di masyarakat dan bernegara. Memang harus diakui, dalam
sejarah ketatanegaraan Islam pasca khulafaurrasyidin para penguasa Islam yang
mendasarkan kekuasaannya pada kedaulatan raja (dinasti) yang mengatas namakan
demokrasi Islam, yang dalam pelaksanaannya pun banyak terjadi penyimpangan
prinsip-prinsip Islam yang demokratis.
Kenyataan tersebut terjadi karena kepentingan untuk melanggengkan status
quo para penguasa Islam saat itu, dan hal itu di beberapa bagian negara Arab saat ini
masih berlangsung, semisal di Suriah, Libia, dan beberapa negara arab lain, yang
menunjukkan bahwa pemerintahan penguasa dan raja-raja Islam itu korup dan
otoriter.
Padahal kalau kita mau melihat lebih jernih, terutama dari sumber hukum
Islam dan eksperimen demokratisasi pada masa Nabi dan empat Khalifah sesudahnya
(Khulafa al-Rasyidin) tentu akan sangat bertolak belakang. Ini dapat menjadi
cerminan dalam konteks Indonesia, bahwa lembaga legislatif, dan lembaga-lembaga
kenegaraan lainnya, yang sejak awal dibentuk oleh para pendiri bangsa, dibangun
dengan fondasi syura’, harus tetap menjaga konsepsi itu, agar carut-marut para wakil
rakyat yang saat ini berada di gedung dewan segera teratasi.
Hal itu terjadi tidak lain karena, para wakil rakyat telah mengalami dis-
orientasi dari konsep syura yang mengedepankan kepentingan rakyat dan bergeser
pada demokrasi liberal yang lebih hedonis yang individualis-kapitalis. Maka, dari
realitas itu, dalam perspektif penulis, terdapat beberapa aspek krusial yang dewasa ini
penting untuk diaktualisasikan dalam konsep permusyawaratan di Indonesia,teruatam
di lembaga legislatif.
Pertama, aspek konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan
sebuah pemerintahan yang `’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan
rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang
ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Al-Qur’an, Sunnah,
dan derivasinya yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan secara
hierarkhis.
Kedua, aspek partisipatoris. Prinsip syura adalah wujud partisipatoris. Dari
pembentukan struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya,
sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan

15
dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan
populer. Umat Islam Indonesia dapat memanfaatkan kreativitas mereka dengan
berdasarkan petunjuk Islam dan preseden sebelumnya untuk melembagakan dan
memperbaiki proses-proses itu.
Ketiga, akuntabilitas. Aspek ini merupakan dampak ikutan dari adanya dua
aspek sebelumnya, yakni konstitusional atau partisipatoris. Kepemimpinan dan
pemegang otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka
Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab
pada Allah dan wahyuNya. Sementara Dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan
dengan rakyat. Artinya Presiden Indonesia bertanggung jawab terhadap amanat dan
kepentingan rakyat. Oleh karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung
jawab pada dan berfungsi sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah
al-Muslimin (representative umat Islam) sekaligus.
Dengan demikian, pemerintahan nomokrasi Islam tidak dapat berbentuk
pemerintahan otokratik, monarki atau militer. Sistem pemerintahan Islam adalah
pemerintahan yang egalitarian sekaligus demokratis, dan egalitarianisme merupakan
salah satu ciri tipikal Islam sekaligus demokrasi. Sebagaimana diwujudkan dalam
pemerintahan awal Islam di Madinah yang berdasarkan kerangka fondasi
konstitusional dan kemajemukan. Tentu, ketika diimplementasikan pada konteks
kekinian, di Indonesia khususnya menjadi sangat ideal secara subtansi tetapi fleksibel
secara bentuk, sehingga dapat mewujudkan negara hukum modern yang
mensejahterakan rakyat banyak (la volonté générale).
Dalam Islam, syura diletakkan sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan
masalah-masalah sosial, politik dan pemerintahan. Syura merupakan suatu sarana dan
cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan
untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang sifatnya mengikat, baik dalam
bentuk peraturan hukum maupun kebijakan politik. Setiap orang yang ikut
bermusyawarah akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga diperoleh
pendapat yang dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Namun demikian ihwal
pelaksanaan Syura maupun pelembagaan syura, tidak ada nash Al-Qur’an yang
memberikan paparan detail tentangnya. Nabi Muhammad SAW yang telah
melembagakan dan membudayakansyura karena ia gemar bermusyawarah dengan
para sahabatnya—tidak meninggalkan pola dan bentuk tertentu, karena itu, umat
Islam dalam hal bentuk pelaksanaannya dalam berikhtiar untuk disesuaikan dengan
kondisi dan realitas.
Sedangkan terkait dengan syura dan demokrasi, sejatinya tidak ada kontradiksi
antara demokrasi dan sistem kenegaraan Islam, kecuali bahwa dalam sistem
kenegaraan Islam orang tidak dapat mengklaim dirinya Islami apabila dalam
pelaksanaanya otoriter dan korup sehingga bertentangan dengan Islam. Itulah
mengapa umat Islam hendaknya tidak menganggap demokrasi dalam artian umum
bertentangan dengan Islam; sebaliknya, umat Islam harus menyambut sistem
demokrasi selama itu tidak berdampak pada kerusakan. Seperti yang dikatakan oleh

16
Dr Fathi Osman, bahwa “demokrasi merupakan aplikasi terbaik dari Syura”. Artinya,
bahwa prinsip dan konsep demokrasi dapat sejalan dengan Islam atau juga tidak.
Sejalan ketika demokrasi menghendaki keikutsertaan rakyat dalam mengontrol,
mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah
kebijakan lewat wakilnya untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat banyak. Adapun
tidak sejalan ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa
mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu
hukum ilahi, sunah rasul dan keadilan masyarakat.

B. ISLAM DAN DEMOKRASI


1. Pengertian Demokrasi
Secara normatif, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Sedangkan pengertian dari system politik demokrasi
dinyatakan oleh Hendry B. Mayo “a democratic political system is on in which public
policies are made on a majority basis, by representative subject to effective popular
control at periodic elections which are conducted on the principle of political
equality and under conditions of political freedom”30 (sistem politik demokrasi adalah
suatu sistem yang menjamin bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas
oleh wakil-wakil yang diawasi oleh rakyat secara efektif dalam pemilihan-pemilihan
berkala yang didasarkan atas dasar prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan
dalam suasana terjaminnya kebebasan politik).
2. Hubungan Agama dan Demokrasi
Memperbincangkan hubungan agama dan demokrasi, dalam hal ini terdapat
tiga pandangan atau model yaitu31:
1. Model paradoksal atau model negatif yang menyatakan bahwa antara agama
dan demokrasi tidak dapat dipertemukan bahkan berlawanan (agama versus
demokrasi). Adapun tokoh penganut pandangan ini ini adalah Karl Marx, Max
Weber, Nietzche dan Satre. Paling tidak ada tiga argumen tentang tidak
sejalannya antara agama dan demokratisasi.
Pertama, argumen historis-sosiologis yang menjelaskan bahwa sejarah agama
memberikan gambaran peran agama tidak jarang hanya digunakan oleh
penguasa politik dan pimpinan organisasi keagamaan untuk mendukung
kepentingan kelompok. Kedua, argument filosofis yang menyatakan bahwa
keterikatan pada doktrin agama akan menggeser otonomi dan kemerdekaan
manuasia yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip demokrasi. Ketiga,
Argument teologis yang menegaskan bahwa agama bersifat deduktif, metafisis
dan menjadikan rujukannya pada Tuhan, padahal Tuhan tidak hadir secara
30
Hendry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory (New York: Oxford University Press, 1960), 70.
Suatu pemerintahan menganut sistem politik demokrasi pada dasarnya didasari oleh dua alas an, pertama,
hamper semua negara di dunia ini menjadikan demokrasi sebagai asas fundamental. Kedua, demokrasi sebagai
asas kenegaraan yang secara essensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk
menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertinggi. Lihat: Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar
Demokrasi (Yogyakarta: Gema Media, 1999), 5-6.
31
Lihat: A. Ubaidillah, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, 194-196.

17
empiris, sementara demokrasi adalah persoalan empiris, konkret dan dinamis.
Maka agama tidak mempunyai kompetensi menyelesaikan persoalan
demokrasi.
2. Model sekuler atau model netral menyatakan bahwa hubungan agama dengan
demokrasi bersifat netral, di mana urusan agama dan politik termasuk
demokrasi berjalan sendiri-sendiri. Persoalan agama menyangkut persoalan
pribadi dengan Tuhannya, dalam artian ajaran agama tidak masuk dalam
wilayah publik atau negara, begitu pula Negara tidak mengurus agama.
3. Model teodemokrasi atau model positif menyatakan bahwa agama dan
demokrasi mempunyai kesejajaran dan kesesuaian.
3. Islam dan Demokrasi
Memperbincangkan hubungan Islam dengan demokrasi pada dasarnya sangat
aksiomatis. Sebab Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas
yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia. Sedangkan demokrasi
hanyalah sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja antar anggota masyarakat
serta simbol yang diyakini banyak membawa nilai-nilai positif. Polemik hubungan
demokrasi dengan Islam berakar pada sebuah ketegangan teologis antara rasa
kehausan memahami doktrin yang telah mapan oleh sejarah dinasti-dinasti muslim
dengan tuntutan untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut sebagai
respon atas timbulnya fenomena sosial yang terus berkembang 32. Secara garis besar
wacana Islam dan demokrasi terdapat tiga pemikiran yaitu33:
1. Islam dan demokrasi adalah dua sistem yang berbeda, Kelompok ini sering
disebut sebagai kelompok islamis atau islam ideologis, yang memandang islam
sebagai sistem alternative demokrasi, sehingga demokrasi sebagaimana konsep
barat tidak tepat dijadikan acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Logika yang dipakai mereka adalah pemerintahan demokrasi berasal dari barat
dan barat bukanlah islam sehingga barat adalah kafir. Segala sesuatu yang kafir
tentunya berdosa sehingga mengikuti demokrasi bagi muslim sejati adalah
berdosa. Pendek kata, menurut kelompok ini demokrasi merupakan sistem kafir
karena telah meletakkan kedaulatan negara di tangan rakyat bukan Tuhan.
Kelompok ini diwakili oleh Taqiyuddin an-Nabhani dengan partainya Hizbut
Tahrir yang sangat menentang ide-ide demokrasi dan berpendapat bahwa
sebagian besar dari aktifitas demokrasi tertolak secara syar’i. Mereka
memandang bahwa prinsip pemilu secara jelas melanggar asas wakalah, yaitu
materi yang diwakilkan didasarkan atas asas demokrasi, yang menurut
pandangan Hizbut Tahrir adalah batil.
2. Islam berbeda dengan demokrasi, Kelompok ini menyetujui adanya prinsip
demokrasi dalam islam tetapi tetap mengakui adanya perbedaan antara islam
dan demokrasi apabila demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang
dipahami dan dipraktikkan di negara-negara barat. Sebaliknya jika demokrasi
dimaknai secara substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat islam merupakan
sistem politik yang demokratis. Demokrasi adalah konsep yang sejalan dengan
islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu
32
Haryanto Al-Fandi, Desain Pembelajaran yang Demokratis dan Humanis (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2011), 50.
33
Ibid., 52-56

18
sendiri. Di antara tokoh muslim yang mendukung pandangan ini adalah Abul
A’la al Maududi yang menyatakan bahwa demokrasi sekuler barat,
pemerintahan dibentuk dan diubah dengan pelaksanaan pemilihan umum.
Demokrasi dalam islam juga memiliki wawasan yang mirip, tetapi
perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa jika di dalam system barat suatu
negara demokratis menikmati hak kedaulatan mutlak. Dalam demokrasi islam
kekhalifahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang digariskan hukum
ilahi.
3. Islam membenarkan dan mendukung demokrasi, Kelompok ini sering disebut
dengan kelompok moderat atau liberal. Menurut kelompok ini islam
merupakan sistem nilai yang membenarkan demokrasi seperti yang sekarang
dipraktikkan di negara-negara maju. Penerimaan Ini disebabkan apa yang
dianggap prinsip prinsip demokrasi sesungguhnya juga terkandung dalam
ajaran islam seperti keadilan, persamaan, musyawaran dan lain sebagainya.
Jika demokrasi sebagai sebuah gagasan yang mendasarkan prinsip kebebasan,
kesetaraan, dan kedaulatan manusia untuk menentukan hal-hal yang berkaitan
dengan urusan publik, maka secara mendasar sejalan dengan islam. Hal ini
paling tidak akan tampak dalam dua hal. Pertama, pada ajaran islam tentang
nilai-nilai kehidupan yang harus dijadikan acuan, yaitu:
a. Al-musawah atau persamaan derajat kemanusiaan di hadapan Allah swt.
Dalam konsepsi islam, semua manusia sama dalam martabat dan
kedudukannya, tidak ada perbedaan di hadapan Allah kecuali dalam hal
ketakwaanya. Allah berfirman dalam Surat al-Hujurat (49) ayat 13.
b. Al-hurriyah, kemerdekaan atau kebebasan berdasarkan pertanggungjawaban
moral dan hukum, baik di dunia maupun di akhirat. Prinsip ini didasari oleh
konsep yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang memandang bahwa
manusia adalah makhluk terhormat yang diberikan kemudahan oleh Allah
untuk mempunyai kebebesan memilih. Dalam islam, prinsip ini adalah ayat
perjanjian ketika manusia membenarkan ke-rububiyah-an Allah. Allah
berfirman dalam Surat al-A’raf (7) ayat 172
c. Al-ukhuwwah, persaudaraan sesama manusia sebagai satu species yang
diciptakan dari bahan baku yang sama. Allah berfirman dalam Surat al-Baqarah
(2) ayat 213
d. Al-„Adalah, keadilan yang berintikan kepada pemenuhan hak-hak manusia
sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat. Allah berfirman dalam
Surat al-Ma’idah (5) ayat 8
e. Al-syura, musyawarah, dimana setiap warga masyarakat berhak atas partisipasi
dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama. Dalam Hal ini
mengutamakan prinsip musyawarah sebagaimana firman Allah Dalam Surat al-
Syura (42) Ayat 38. Menurut Muhammad Alim, negara demokrasi: Syura
(musyawarah sebagai demokrasi Islam), ditandai dengan kebebasan berbicara
dan mengeluarkan pendapat, kebebasan dari ketakutan, kebebasan
berkomunikasi dan memperoleh informasi, kebebasan memilih tempat tinggal,
persamaan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, hak atas suaka politik, hak dan
kewajiban membela negara, dan hak atas perlindungan kebebasan pribadi.
f. Al-Mas‟uliyyah/responsibility, prinsip pertanggungjawaban yang dipikul oleh
setiap pemegang kekuasaan. Perlu dipahami bahwa kekuasaan merupakan
amanah yang harus diwaspadai dan bukan nikmat yang harus disyukuri.

19
Khusus bagi penguasa, pengertian amanah berarti fungsi ganda yakni amanat
Allah dan amanat rakyat.

Kedua, ajaran islam tentang hak-hak yang harus diusahakan pemenuhannya oleh
diri sendiri maupun masyarakat/negara yang meliputi:
1. Hifdz al-nafsi, hak hidup
2. Hifdz al-din, hak beragama
3. Hifdz al-`aqli, hak untuk berpikir
4. Hifdz al-mal, hak milik individu/property right
5. Hifdz al-`irdh, hak mempertahankan nama baik
6. Hifdz al-nasl, hak untuk memiliki dan melindungi keturunan

C.PROBLEM PENERAPAN SYARAT ISLAM DI NEGARA ISLAM34


Perdebatan soal pemberlakuan Syariat Islam sampai saat ini masih
menyisakan pro dan kontra, terutama di negara-negara yang secara resmi bukan
sebagai negara Islam. Jika dicermati dalam konteks sosio politisnya, isu formalisasi
Syariat Islam sebagai hukum publik dewasa ini, paling tidak merupakan fenomena
yang didorong oleh kebangkitan Islam (al-sahwah al-Islamiyah /Islamic awakening)
pasca kolonial, terutama setelah perang dunia ke II.
Pada umunya kebangkitan Islam ini merupakan respon yang wajar atas
beragam krisis multidimensi berlarut larut, terutama bagi mereka yang cenderung
berpikir praktis dan jarang berpikir kritis, pemecahan melalui jalur Syariat ini diyakini
merupakan satu-satunya jalan keluar dalam mengatasi beragam krisis multidimensi
tersebut. Dengan kata lain, formalisasi syariat ke ruang publik diamini sebagai
solusikomplet nan mujarab dalam menuntaskan beragam kompleksitas persoalan di
dalam masyarakat.
Sedikitnya ada tiga arus besar yang mengemuka dalam menyikapi Syariat
Islam. Pertama, arus formalisasi Syariat. Kelompok ini menghendaki agar Syariat
dijadikan landasan riil berbangsa dan benegara, implikasinya ia getol menyuarakan
perlunya mendirikan negara Islam atau dengan berupaya memasukan Syariat Islam
secara formal dalam Undang undang negara. Kedua, arus deformalisasi Syariat.
Kelompok ini lebih memilih pemaknaaan Syariat secara substantif. Pemaknaan
Syariat tidak serta merta dihegemoni oleh negara, karena wataknya yang represif.
Syariat secara individu sudah diterapkan, sehingga formalisasi dalam undang undang
tidak mempunyai alasan yang kuat. Ketiga, arus moderat. Kelompok ini dikesankan
mengambil jalan tengah, menolak sekularisasi dan Islamisasi. Pemandangan tersebut
menjadi bukti kuat, bahwa penerapan Syariat Islam merupakan arena perdebatan yang
subur, dan tak jarang mengalami tarik ulur.
Syariat sebagai elemen tertinggi dalam agama mempunyai legitimasi paling
kuat untuk menjustifikasi kebenaran agama. Keislaman yang semestinya dapat
dipahami kepasrahan diri, pembebasan dari penindasan, pemihakan pada kaum lemah,

https://acehinstitut.org/pojok-publik/agama/syariat-islam-dalam-negara-kontenporer.html/amp. Di akses pada


34

Minggu, 21 Maret 2021.

20
kemudian direduksi dalam syariat rigid dan kaku. Syariah dimaknai sebagai keakuan
yang tidak terjamah dan mesti dibela hingga titik darah penghabisan. Syariat menjadi
alat untuk mempersempit ruang agama, sehingga pada taraf tertentu syariat
bermetamorfosa menjadi agama tersendiri. Bagi kalangan yang berpijak pada arus
formalisasi Syariat, penafsiran tunggal terhadap Syariat menjadi solusi tepat untuk
mengiring kearah sentral. Hingga akhirnya kemunculan agama syariat tidak bisa
dihindarkan. Pemikiran serius diatas, akhirnya mendapatkan perlawanan yang serius.
An-Naim dalam tulisannya menegaskan bahwa Syariat tidak dapat diundangkan
sebagai hukum positif karena memang bertentangan dengan asas kesukarelaan umat
Islam, dan akan tetap menjadi sumber dari sistem sanksi agama yang bersifat
normatif. Maraknya klaim untuk mendirikan negara Islam dengan formalisasi Syariat
sebagai hukum positif (sebagaimana terjadi di Iran, Sudan dan Aceh tentunya) adalah
sebuah kontradiksi istilah dan sebuah kenaifan. Sebagaimana yang ia contohkan,
bahwa kebanyakan pelanggaran HAM di Sudan sekarang secara langsung disebakan
oleh aplikasi Syariah (Hukum Islam), walaupun sangat terkait dengan sifat dasar yang
melekat pada rezim militer Sudan yang cenderung tidak toleran terhadap segala
gerakan oposisi politik, dan cenderung mengambil kebijakan-kebijakan keras, tanpa
memperdulikan akibatnya bagi masyarakat. Ia menegaskan bahwa hubungan antara
aplikasi syariah dan pelanggaran standar-standar HAM yang diakui secara
internasional, dipandang mempunyai kompleksitas permasalahan yang menjadi
penyebabnya. Sebagaimana diketahui, saat ini Sudan sedang mengalami konflik
perang saudara yang bermuara dari pertentangan antar mahzab agama . Ekses dari
pada konfilk ini dapat menimbulkan pelanggaran HAM berat, terutama terhadap
kaum rentan semacam perempuan dan anak-anak.
Demikian juga Muhammad Abid Al-Jabiri mengatakan bahwa sebagian
Fenomena kebangkitan Islam menuntut penerapan sistem Islam dalam semua aspek
kehidupan. Namun perlu disadari bahwa tidak ada sistem Islam yang siap
pakai,terperinci dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Al-Quran sebagaimana yang
ia pahami, sama sekali tidak memberikan ungkapan yang jelas bahwa dakwah Islam
bertujuan untuk mendirikan suatu negara, kerajaan atau imperium. Islam hanya
mengatur dalam prinsip umum yang membuat ketetapan dengan berbagai ilustrasi
etika Islam sehingga sistem Islam dalam berbagai bidang terbuka untuk ijtihad.
Hukum Islam dalam pandangan Profesor Coulson, dipahami sebagai ulasan-
ulasan spekulatif untuk memahami Istilah istilah yang tepat mengenai hukum-hukum
Allah. Dan apa yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan Islam sebagai Syariat,
pada kenyataannya merupakan produk dari proses gradual dan spontan dari penafsiran
Al-Quran, pengumpulan verifikasi dan penafsiran sunnah selama tiga abad pertama
Islam. Ini berarti hukum Islam yang kita pahami sekarang merupakan produk hukum
yang mempunyai tingkat kebenaran relatif dan memungkinkan sekali dilakukan
ijtihad sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman yang melingkupinya. Hal ini
menurut An-Naim, menunjukan bahwa umat Islam betul-betul mempunyai hak untuk
menentukan nasib sendiri. Termasuk hak untuk mengartikan dan mengungkapkan

21
identitas keislaman mereka yang dianggap baik atau pantas. Tetapi hal tersebut tidak
dapat didasarkan pada perundang-undangan dan formalisasi syariat semacam itu,
karena apapun peraturan-peraturan yang diberlakukan sebagai hukum positif adalah
keinginan politis negara yang bersangkutan dan tidak akan pernah menjadi syariat
yang secara umum dapat dipahami oleh umat Islam untuk tujuan menjalankan firman
Tuhan. Karena, penerapan Syariat melalui Undang-undang positif (sebagaimana yang
diklaim oleh pemerintah Iran, Afganistan, Pakistan, Saudi Arabia dan Sudan atau
didukung oleh aktifis politik Islam di beberapa negara lain) adalah kenaifan yang
berbahaya.
Pengalaman formalisasi Syariat Islam di negara kontemporer
Jika menengok negara-negara yang sudah menerapkan syariah seperti Arab
Saudi, Iran, Sudan, Afghanistan, Pakistan, Nigeria, dan lain-lain, maka penerapan
syariah Islam –lebih tepatnya penerapan fikih– sebenarnya sama sekali tidak
menjanjikan. Puluhan ribu orang mati di Sudan Selatan karena perang sipil ketika
sistem syariah diperkenalkan pada tahun 1983. Di beberapa provinsi Nigeria, dimana
hukum syariah dalam bentuk hudud diberlakukan, orang-orang dicambuk dan
dipotong tangannya, untuk menunjukkan bahwa rezim penguasa adalah orang-orang
yang konsisten melaksanakan hukum Allah. Di Pakistan dan Afghanistan hampir
setiap saat bom meledak karena pemahaman yang kaku terhadap syariah. Bahkan di
Mesir yang cenderung sekuler, seorang penulis wanita (Farah Fauda) mati dibunuh
didepan apartemennya oleh seseorang yang tengah melaksanakan fatwa ulama yang
menyebut bahwa sang penulis telah murtad. Seorang ulama Mesir yang membela si
pembunuh menyatakan bahwa jika pemerintah gagal melaksanakan syariah (termasuk
membunuh yang murtad tadi) maka setiap muslim berhak melaksanakan pembunuhan
itu. Penerapan syariah dengan otoritas wilyatul faqih di Iran sejak 1979, telah
menyebabkan banyak umat Islam Syiah menjadi risih dengan kemunafikan ulama dan
kemudian menolak formalisasi Syariat tersebut. Iran juga tercatat sebagai salah satu
negara dengan presentase tertinggi kecanduan narkoba didunia. Sementara penerapan
fiqh Wahabi di Arab Saudi bisa terlihat dalam kasus seperti belasan gadis sekolah
yang terbakar hidup-hidup setelah ditolak menyelamatkan diri dari gedung
sekolahnya yang terbakar oleh polisi agama semata karena mereka tidak memakai
cadar.
Perang sipil dan pertumpahan darah di Sudan Selatan terjadi karena penerapan
syariah. Menurut analisis Esposito, kebijakan Islamisasi Sudan itu sangat menganggu
banyaknya orang di Sudan dan juga kepentingan Internasional. Sehingga sejumlah
pihak banyak yang menuduh bahwa program islamisasi yang dilakukan lebih
memecah belah ketimbang menyatukan Sudan. Konflik berdarah di Nigeria utara juga
terjadi karena kelompok-kelompok garis keras yang diinspirasi Wahabi ingin
memberlakukan syariah, sementara Nigeria adalah negara plural dengan konstitusi
non agama seperti Indonesia. Menurut laporan, ketika syariah Islam pertama kali
diterapkan di Nigeria utara, lebih dari 6000 orang mati akibat konflik agama antara
1999-2002. Di wilayah Kaduna, sekitar 2000 orang meregang nyawa akibat

22
kerusuhan agama yang dipicu oleh penerapan syariah pada tahun 2000. Kerusuhan
agama yang dipicu oleh penerapan syariah juga terjadi di daerah-daerah Bauchi, Jos,
dan Aba, yang menelan korban nyawa ratusan orang.
Pengundangan negara atas teori syariat sebagaimana yang dipaparkan diatas,
menjadi bukti bahwa syariat hampir mustahil untuk dapat berjalan dengan baik dalam
konteks nasional dan internasional saat ini. kesulitan yang dihadapi dalam model ini
termasuk ambivelensi yang besar bagi pendiri hukum syariat terhadap otoritas politik.
Mereka tampaknya tidak mengontrol atau mengetahui, bagaimana membuat orang-
orang yang melaksanakannya bertanggung jawab terhadap syariat itu sendiri.
Penerapan hukuman bersifat fisik bagi beberapa kejahatan khusus (hudud) misalnya,
menghadapi masalah prosedural dan keberatan-keberatan yang tak terselesaikan.
Apalagi jika dikaitkan dengan concern Hak-Hak asasi Manusia mengenai kekejaman,
tindakan tidak manusiawi dan hukuman-hukuman yang merendahkan martabat.
Demikian juga pengabaian hak kewarganeraan bagi perempuan dan komunitas non-
muslim akan memperoleh tantangan yang serius baik oleh kelompok yang
bersangkutan maupun komunitas internasional secara luas.
Aceh dan ‘Syariat Syahwat’
Aceh ialah daerah yang banyak diberikan keistimewaan oleh Republik
Indonesia. Salah satunya ialah keistimewaan untuk menerapkan formalisasi Syariat
Islam. Status ini juga telah dilegalisasi oleh Undang-undang tersendiri (baca: UUPA) .
Artinya meskipun Indonesia bukanlah negara agama, akan tetapi khusus Aceh,
diberikan pengecualian untuk itu. Meskipun formalisasi tersebut tentunya tidak
terlepas dari konteks sosio-politis yang melatar belakanginya.
Formalisasi Syariat di Aceh berbeda dengan negara-negara lain yang
menerapkan syariat sebagai konstitusi, dikarenakan Aceh merupakan satu-satunya
negara di dunia yang bereksperimen menerapkan Syariat Islam dalam iklim negara
demokrasi. Perpaduan unik antara syariat dengan demokrasi ini kemudian melahirkan
sebuah syariat bercorak modern, yaitu dengan keterlibatan partisipasi masyarakat
didalamnya dalam rangka merancang konsep Syariat yang cocok untuk diterapkan
dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Diharapkan dengan adanya keterlibatan
bersama antara rakyat dengan pemerintah ini dapat melahirkan berbagai produk
kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi rakyat, terutama umat muslim dalam hal
ini. Ini berbeda dengan Iran misalnya, dimana otoritas syariat hanya dipegang oleh
ulama-ulama yang tergabung dalam wilyatul faqih. Rakyat tidak punya hak sama
sekali turut campur dalam persoalan agama.
Akan tetapi Formalisasi Syariat Islam yang sudah berlangsung di Aceh selama
lebih kurang tujuh tahun ini, kenyataannya hingga detik ini masih belum menunjukan
perubahan signifikan terhadap kemajuan dan kesejahteraan umat Islam khususnya dan
masyarakat Aceh pada umumnya. Timbul beragam kendala ketika syariat mulai
dijalankan oleh instrumen negara. Demokrasi atau dikenal dengan istilah syura
(musyawarah) dalam Islam, yang merupakan elemen penting dari syariat itu sendiri
ternyata belum berjalan sebagaimana mestinya. Demokrasi dalam hal ini masih

23
dijalankan setengah hati. Tidak setiap pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan
syariat Islam, rakyat turut terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Terutama
kebijakan populis semacam qanun jinayat dan celana ketat yang menggema pada
tahun lalu. Problem untuk mengakurkan antara demokrasi dan syariat ini sendiri
terjadi karena persepsi keliru pengambil kebijakan, yang menempatkan masyarakat
sebagai objek hukum bukan subjek hukum. Dengan kata lain, masyarakat dianggap
objek dari sebuah penerapan hukum, yang tidak punya wewenang dan hak dalam
merumuskan hukum. Sedang pemerintah disisi lain ialah subjek hukum pendukung
hak dan kewajiban yang dapat merekayasa dan merekonstruksi hukum. Persepsi
demikian sama dengan menganggap masyarakat Aceh jahiliah serta masih berada
dalam alam kegelapan. Sedangkan pemerintah sendiri menganggap diri suci dan
berada dalam alam terang benderang. Maka wajar disini apabila pemerintah yang
menganggap diri bersih ini kemudian menerapkan sapu bersih bagi rakyatnya yang
dianggap kotor.
Formalisasi Syariat Islam yang diterapkan di Aceh dalam prakteknya hampir
tidak jauh berbeda dengan negara-negara lain yang telah gagal mengelola negara
dengan menjadikan syariat sebagai andalan. Semata terlihat dari formalisasi syariat
Islam di Aceh yang (persis dengan negara-negara gagal tersebut) terjebak dalam
problem-problem parsial seputar syahwat, belum melangkah keluar menyelesaikan
problem yang lebih kompleks dalam rangka menuju kemaslahatan umat secara
holistik (kaffah). Formulasi Syariat di Aceh telah diramu sedemikian rupa menjadi
seperangkat syariat syahwat yang sibuk mengurusi syahwat manusia belaka bukannya
syariat hajat yang mampu mengurus persoalan hajat hidup masyarakat. Syariat model
ini terbukti miskin solusi dalam menjawab beragam problem mendasar umat. Misi
Islam yang amat mulia yaitu membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan
dan penderitaan, justru diturunkan derajatnya dengan hanya mengurus masalah
syahwat manusia semata. Seolah-olah kehadiran Islam di muka bumi memang
bertujuan untuk menggunting celana-celana semi ketat atau memotong tangan dan
kaki manusia belaka, tidak lebih daripada itu. Walhasil bila demikian dangkalnya
pemahaman akan syariat Islam, umat lain akan sulit membedakan antara umat muslim
yang dikenal beradab dengan suku-suku primitif di jaman baheula yang terkenal
biadab.
Anehnya, disatu sisi pemerintah beserta segenap pendukung syariat syahwat
tampak sangat bernafsu untuk menobatkan umat, misalnya dengan gerakan
menggunting celana-celana ketat (Karena diyakini celanacelana itu merupakan
permasalahan utama masyarakat). Akan tetapi disisi lain hak-hak dasar umat justru
dikangkangi oleh pemerintah. Contohnya, persoalan rumah bagi korban Tsunami di
Aceh Barat yang hingga saat ini belum juga terealisir. Disatu sisi Pemkab Aceh barat
mampu untuk menyediakan ribuan celana-celana yang dianggap islami untuk
dikenakan oleh umat. Namun disisi lain untuk kebutuhan primer semacam rumah
misalnya, pemkab Aceh Barat tidak mampu untuk menyediakan satupun rumah
sangat sederhana kepada umatnya yang berhak. Alhasil, masyarakat akhirnya harus

24
mengumpulkan koin untuk disumbang pada pemkab Aceh Barat, dalam rangka
penyediaan tempat berteduh bagi kaum dhuafa tersebut. Umat kecewa pemkab hanya
mampu mengumbar celana-celana longgar, sedangkan rumah sebagai langgar bagi
umat untuk beribadah di malam hari justru tidak mampu disediakan oleh pemerintah.
Rakyat heran mengapa untuk kebutuhan sandang pemkab mampu menyediakannya
tanpa menggunakan dana APBD, sedangkan kebutuhan papan yang merupakan
kebutuhan primer tidak sanggup disediakan pemerintah daerah melalui dana APBD.
Konon lagi tanpa anggaran negara tersebut. Masyarakat bingung kenapa ibadah
sunnah (menyediakan celana bagi rakyat) yang bukan kewajiban negara justru
dilakukan oleh pemerintah, sedangkan ibadah wajib (menyediakan rumah bagi yang
berhak) malah tidak dikerjakan oleh pemerintah. Apakah pemkab Aceh Barat dalam
hal ini bermaksud supaya masyarakat hidup secara islami, dengan cara mengenakan
pakaian islami sembari tinggal di gua sebagaimana rasul ketika menerima wahyu
dahulu? Kalau demikian halnya tak heran daerah ini dijuluki negeri Tauhid Tasawuf,
sebab negeri ini memang banyak sufi yang bergelandang kesana kemari tidak
memiliki rumah alias tunawisma.
Ada lagi polemik qanun jinayat, dimana hukum rajam dan potong tangan yang
hingga kini masih dalam arena debatable di kalangan jumhur ulama, seperti
dipaksakan kemunculannya oleh pihak-pihak yang tidak sensitif terhadap kondisi
masyarakat Aceh yang hingga kini masih hidup dalam keprihatinan. Tidak ada
penelitian dari pemerintah maupun dari pihak pro qanun jinayat untuk mengukur
sejauh mana kesiapan dan efektifitas pelaksanaan hukuman kontroversial ini ketika
kelak diberlakukan dalam konteks masyarakat melarat seperti Aceh. Semuanya
disandarkan pada taklid buta akan teks-teks religius. Benarkah rakyat dan pemerintah
sudah siap dalam menjalankan hukuman yang banyak menimbulkan masalah di
sejumlah negara ini? Syariat syahwat ini pun ternyata banyak ditemukan kejanggalan
dalam prakteknya. Aplikasi syariat syahwat ini di lapangan ternyata hanya berani
mengumbar syahwat kecil dari orang-orang kecil. Namun menghadapi syahwat besar
dari pejabat macam syahwat mengkorup harta anak yatim dan fakir miskin atau
syahwat menebang hutan sehingga umat sengsara misalnya, syariat syahwat terlihat
pengecut dan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi syahwat elite-elite tersebut.
syariat syahwat seolah diam seribu bahasa dalam menghadapi syahwat besar. Sedang
kepada syahwat kecil, syariat syahwat berbunyi nyaring dengan seribu satu macam
suara. Secara tidak sadar, Aceh saat ini sebenarnya sedang mengkampanyekan sebuah
model Syariat yang senantiasa haus berperang dengan syahwat-syahwat kecil, namun
senantiasa berdamai dengan syahwat-syahwat besar. Sebuah model syariat yang
agaknya khusus didesain bagi wong cilik yang tidak punya apa-apa, sedangkan wong
licik yang memiliki segalanya, syariat disulap tidak berkutik sama sekali.
Disisi lain, perilaku dari sejumlah aparatur negara yang diamanahkan untuk
mengawasi moral umat muslim, dalam hal ini Wilayatul Hisbah (WH), justru
dipertanyakan kembali moralnya oleh masyarakat. Saat ini Aceh digemparkan oleh
ulah sejumlah oknum WH yang dengan tega telah memperkosa seorang gadis dalam

25
tahanan. Sebagaimana di beritakan harian Serambi Indonesia (edisi 12 Januari 2010)
seorang gadis berusia 20 tahun disebuah perguruan tinggi dilaporkan menjadi korban
pemerkosaan yang diakui dilakukan oleh tiga oknum anggota WH kota langsa. Kasus
itu terjadi Jumat (8/1) dini hari ketika korban sedang diamankan diruang tahanan WH
setelah tertangkap bersama teman prianya di jalan Lingkar PTPN-I langsa, Kamis
(7/1) siang. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana hancurnya perasaan si gadis
dan orangtuanya, ketika mengalami musibah berat seperti ini. Masa depan gadis
tersebut hancur akibat nafsu biadab dari polisi yang seharusnya menjaga moral
masyarakat. Tak pelak aksi bejat oknum WH tersebut membuat masyarakat kian hari
kian was-was. Masyarakat semakin cemas dengan polisi moral ini setiap kali mereka
beraksi. Sebab bukan sekali ini saja WH melampiaskan syahwat terpendamnya
kepada masyarakat kecil. Alih-alih menjaga moral ribuan umat muslim, diam-diam
mereka sendiri justru berbuat amoral dibelakang jutaan umat Islam. Mungkinkah
berharap kepada mereka untuk membina umat agar beradab, sedangkan mereka
sendiri tak segan-segan melakukan perbuatan biadab kepada umat? dapatkah kita
percayakan mereka menjaga kesusilaan, sedang mereka sendiri gemar berbuat
asusila?
Patut dipertanyakan kembali sejauh mana proses rekruitmen dari polisi
penegak syariat ini. Kuat dugaan ada masalah dalam penjaringan aparat penegak
hukum Islam di Serambi Mekkah. Seandainya tidak ada problem tentu tidak mungkin
kejadiannya seperti ini. Kita khawatir akibat proses seleksi yang tidak tepat tersebut,
telah menyebabkan lolosnya segerombolan polisi syahwat di dalam institusi penegak
syariat, yang sewaktu waktu dapat melampiaskan syahwatnya pada umat dengan dalih
dalam rangka menegakkan syariat. Kedepan selain proses seleksi terhadap WH
diperbaiki, dinas terkait juga harus merancang aturan untuk mempertegas sanksi
hukum terhadap oknum aparatur penegak syariat yang melakukan tindakan
kontraproduktif terhadap tujuan syariat itu sendiri. Hukuman tersebut harus berat,
sebab selain mereka memang sudah sewajarnya memberikan suri tauladan baik dalam
menjaga moral masyarakat, perbuatan asusila yang dilakukan oknum aparatur syariat
ini sendiri telah mencoreng marwah institusi syariat sekaligus kesucian agama Islam.
Diharapkan dengan adanya sanksi tegas bagi setiap aparat penegak syariat yang
mencoreng wajah Islam, perbuatan-perbuatan terkutuk seperti saat ini tidak akan
terulang lagi di kemudian hari. Jangan sampai institusi penegak syariat Islam kelak
menjadi sarang penjahat syahwat berseragam syariat.
Kemudian pernyataan pemerintah bahwa formalisasi Syariat Islam di Aceh
adalah syariat multidimensi alias kaffah, agaknya tidak jauh berbeda dengan janji
politikus ketika berkampanye. Bila tak elok dikatakan cuma dongeng pengantar tidur
bagi rakyat yang sedang susah tidur akibat dihimpit berbagai kesulitan hidup. Hingga
detik ini belum tampak adanya langkah maju dari pemerintah Aceh dalam
mewujudkan Syariat multidimensi tersebut, terutama dalam hal ini Dinas Syariat
Islam provinsi untuk melakukan berbagai terobosan progresif di bidang penegakan
Syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Rakyat Aceh belum

26
melihat adanya upaya cerdas dari dinas Syariat Islam untuk mengatasi berbagai
persoalan mendasar umat sebagaimana misi Islam sejatinya. Masyarakat belum
melihat adanya kerjasama secara terstruktur dan sistematis antara Dinas Syariat Islam
dengan SKPA di lingkungan pemerintah provinsi beserta SKPD di lingkup
pemerintah kabupaten/kota di Aceh terkait penerapan Syariat Islam secara kaffah.
Minimal seharusnya ada semacam rekomendasi dari Dinas Syariat Islam kepada
pemerintah Aceh dan kabupaten/kota terkait penanganan masalah ekonomi
kerakyatan berbasis Islam. Sehingga diharapkan Syariat
Islam tidak hanya fokus dalam menangani persoalan organ kelamin semata, akan
tetapi selayaknya Syariat Islam juga dapat memberi solusi konkrit terhadap berbagai
permasalahan organ vital manusia lainnya, seperti organ perut misalnya . Karena
apabila organ vital untuk hidup ini tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah, kita
ragu umat memiliki cukup energi untuk bermunajat kepada yang maha Kuasa.
Tentunya solusi konkrit tersebut harus diwujudkan dilapangan. Tidak hanya sekadar
beretorika bahwa Syariat memberikan jawaban terhadap masalah ini itu, tapi
realitanya nol besar. Umat lelah mendengar bualan pemerintah beserta segenap
pendukung syariat syahwat.
Berkaitan dengan hal tersebut, entah apakah ada hubungannya atau tidak
dengan formalisasi Syariat, yang jelas kondisi kesejahteraan rakyat Aceh hari ini tidak
dapat dikatakan menggembirakan. Bila tak ingin disebut menyedihkan dibanding
daerah-daerah lainnya di Indonesia yang tidak menerapkan formalisasi agama ke
ruang publik. Mulai dari inflasi sampai sempitnya lapangan pekerjaan, semua itu
bagaikan mimpi buruk bagi masyarakat Aceh yang hingga kini mayoritas masih hidup
dibawah garis kemiskinan. Adalah sebuah kebohongan publik apabila mengatakan
mayoritas rakyat Aceh saat ini sudah bebas dari kemiskinan dan hidup makmur
sejahtera. Sebab kenyataan menunjukan sebaliknya. Bagaimana mungkin dapat
dikatakan sejahtera sedangkan kaum dhuafa saja masih banyak menderita karena tidak
punya rumah dan pekerjaan? Bagaimana bisa disebut makmur sedangkan harga
kebutuhan pokok di Aceh semakin lama semakin melambung, menambah beban
rakyat yang kian hari kian menggunung? Alhasil bila kondisi ini terus menerus
dibiarkan bukan tidak mungkin daerah yang bangga dengan klaim sebagai satu-
satunya daerah di Indonesia yang berstatus Syariat ini, kelak akan kolap
perekonomiannya diiringi dengan ledakan pengangguran dan orang miskin. Bila
demikian yang terjadi status Aceh sebagai daerah syariat Islam terasa hampa sebab
tak ada artinya bagi kemajuan dan kesejahteraan umat muslim khususnya dan rakyat
Aceh pada umumnya.

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam Islam, syura diletakkan sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masalah-
masalah sosial, politik dan pemerintahan. Syura merupakan suatu sarana dan cara
memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan
untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang sifatnya mengikat, baik dalam
bentuk peraturan hukum maupun kebijakan politik. Setiap orang yang ikut
bermusyawarah akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga diperoleh
pendapat yang dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Namun demikian ihwal
pelaksanaan Syuramaupun pelembagaan syura, tidak ada nash Alquran yang
memberikan paparan detail tentangnya. Nabi Muhammad SAW yang telah
melembagakan dan membudayakan syura, karena ia gemar bermusyawarah dengan
para sahabatnya—tidak meninggalkan pola dan bentuk tertentu, karena itu, umat
Islam dalam hal bentuk pelaksanaannya dalam berikhtiar untuk disesuaikan dengan
kondisi dan realitas.
Sedangkan terkait dengan syura dan demokrasi, sejatinya tidak ada kontradiksi antara
demokrasi dan sistem kenegaraan Islam, kecuali bahwa dalam sistem kenegaraan
Islam orang tidak dapat mengklaim dirinya Islami apabila dalam pelaksanaanya
otoriter dan korup,sehingga bertentangan dengan Islam. Itulah mengapa umat Islam
hendaknya tidak menganggap demokrasi dalam artian umum bertentangan dengan
Islam; sebaliknya, umat Islam harus menyambut sistem demokrasi selama itu tidak
berdampak pada kerusakan.

B. Saran

28

Anda mungkin juga menyukai