Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“Asbabul Nuzul”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Study Qur’an

Dosen Pengampu

Yudi Arianto S.Sy.M.H.I.

Kelompok 05 :

1. Halimatus
2. Siti Aminatur Ro Aiayah
3. Siswoyo

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NADLATUL ULAMA TUBAN

2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya semata, kami dapat menyelesaikan Makalah dengan
judul: ”Asbab al-Nuzul”. Salawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, para keluarga, sahabat-sahabat dan pengikut-pengikutnya sampai hari
penghabisan.

Semoga dengan tersusunnya Makalah ini dapat berguna bagi kami semua dalam
memenuhi tugas dari mata kuliah Ulumul Quran dan semoga segala yang tertuang dalam
Makalah  ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi para pembaca dalam rangka
membangun khasanah keilmuan. Makalah
inidisajikankhususdengantujuanuntukmemberi arahan dan tuntunan agar yang
membacabisamenciptakanhal-hal yang lebihbermakna.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat banyak


kekurangan danbelumsempurna. Untuk itu kami berharap akan kritik dan saran yang bersifat
membangun kepada para pembaca guna perbaikan langkah-langkah selanjutnya.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua, karenakesempurnaanhanyamilik


Allah SWT semata.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Tuban,18 Nov 2020

Penulis
DAFTAR PUSTAKA

Halaman Sampul
Kata Pengantar......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB I (PENDAHULUAN)
A. Latar Belakang.......................................................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................................................

BAB II (PEMBAHASAN)
A. PENGERTIAN ASBABUN NUZUL.......................................................................
B. URGENSI DAN KEGUNAAN ASBAABUN NUZUL...........................................
C. CARA MENGETAHUI RIWAYAT ASBABUL NUZUL.....................................
D. MACAM- MACAM ASBABUN NUZUL................................................................
E. KAIDAH-KAIDAH ASBABUN-NUZUL................................................................
BAB III (PENUTUP)

A. Kesimpulan................................................................................................................
B. Saran...........................................................................................................................
C. DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi seluruh umat manusia yang diwahyukan
secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW. Pengembagan studi keislaman yang
berkaitan dengan al-Qur’an dapat ditempuh di antaranya dengan pendekatan sosio-historis.
Aplikasi pendekatan tersebut memungkinkan penemuan nilai-nilai dan makna substansial
dalam al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an dapat dikategorikan menjadi dua kelompok menurut
sebab turunnya ayat. Pertama, ayat yang turun dengan adanya sebab; kedua, ayat yang turun
tanpa sebab atau peristiwa yang melatarbelakanginya, seperti ayat-ayat yang menceritakan
umat terdahulu, berita-berita alam ghaib, gambaran alam barzakh, persaksian alam
kebagkitan, keadaan hari kiamat dan sebagainya

Pada masa Rasulullah, banyak peristiwa terjadi yang belum diketahui hukumnya me
nurut islam. Beberapa sahabat juga sering bertanya kepada Rasulullah tentang sesuatu yang
belum mereka pahami. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui
hukum Islam mengenai hal itu. Maka al-Qur’an turun untuk menjelaskan atau menunjukkan
hukum atas peristiwa atau pertanyaan yang muncul tersebut. Jawaban dari al-Qur’an
merupakan pedoman hidup bagi umat manusia. Itulah yang kemudian disebut dengan
Asbabun Nuzul, yaitu sebab-sebab turunya ayat-ayat al-Qur’an. Untuk lebih mengetahui atau
memahami maksud al-Qur’an secara utuh maka lebih utama jika mengetahui tentang
Asbabun Nuzul. Pengenmbangan studi keislaaman yang berkaitan dengan al-Qur’an dapat
ditempuh diantaranya dengan pendekatan Sosio-historis.

Pendekatan ini memungkinkan penemuan nilai-nilai dan makna substansial dalam al-
Qur’an yang terangkum dalam Asbabun Nuzul, yakni sesuatu yang disebabkan olehnya
diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung peristiwa, atau menerangkan
hukumnya pada saat terjadinya peristiwa itu. Karena  kita bisa salah menangkap pesan-pesan
Al-Qur’an secara utuh, jika hanya memahami dari bahasanya saja secara tekstual tanpa
memahami konteks Sosio-historisnya.

B. RUMUSAN MASALAH

1.        Apa yang dimaksud dengan Asbabun Nuzul?


2.        Bagaimana Sejarah Perkembangan Ilmu Asbabun Nuzul?

3.        Apa Fungsi Ilmu Asbabun Nuzul Dalam Memahami Al-Qur’an?

4.        Sebutkan Macam- Macam Asbabun Nuzul?

5.        Bagaimana Lafadz Dan Ungkapan-Ungkapan Asbabun Nuzul?

6.        Bagaimana Urgensi Dan Kegunaan Asbaabun Nuzul ?


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ASBABUN NUZUL

Asbabun Nuzul merupakan bentuk Idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”.Secara


etimologi Asbabun Nuzul adalah Sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu.
Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa disebut Asbabun
Nuzul, namaun dalam pemakaiannya, ungkapan Asbabun Nuzul khusus dipergunakan untuk
menyatakan sebab-sebab yang melatar belakangi turunya al-qur’an, seperti halnya asbab al-
wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadist.

Sedangkan secara terminology atau istilah Asbabun Nuzul dapat diartikan sebagai
sebab-sebab yang mengiringi diturunkannya ayat-ayat Al-Quran kepada Nabi Muhammad
SAW karena ada suatu peristiwa yang membutuhkan penjelasan atau pertanyaan yang
membutuhkan jawaban.

Banyak pengertian terminologi yang dirumuskan oleh para ulama’, diantaranya :

1. Menurut Az-Zarqani

“Asbabun Nuzul adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubunganya dengan
turunya ayat Al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.”

2. Ash-Shabuni

Asbabun Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunya satu atau beberapa
ayat mulia yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.

3. Shubhi Shalih

“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat. Al-
qur’an (ayat-ayat)terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respons atasnya. Atau sebagai
penjelas terhadap hukum-hukum disaat peristiwa itu terjadi.”

4. Mana’ al-Qhathan

‫اَوْ سُؤَ الٍ َكحا َ ِدثَ ٍة ُوقُوْ ِع ِه َو ْقتَبِ َشأْنِ ِه قُرْ آنٌماَنُ ِز َل‬.
Artinya:

“Asbabun Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunya Al-Qur’an


berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”

5. Al-Wakidy

Asbabun Nuzul adalah peristiwa sebelum turunya ayat, walaupun “sebelumnya” itu masanya
jauh, seperti adanya peristiwa gajah dengan surat Al-Fiil.

Bentuk-bentuk peristiwa yang melatar belakangi turunnya Al-qur’an itu sangat


beragam, di antaranya berupa:konflik sosial seperti ketegangan yang terjadi amtara suku Aus
dan suku Khazraj; kesalahan besar, seperti kasus salah seorang sahabat yang mengimami
sholat dalam keadaan mabuk: dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang
sahabat kepada Nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat, sedang, atau yang akan
terjadi.

Persoalan apakah seluruh ayat Al-Qur’an memiliki Asbabun Nuzul atau tidak,
ternyata telah menjadi bahan kontroversi diantara para uulama’. Sebagian ulama’
berpendapat bahwa tidak semua ayat Al-Qur’an memiliki Asbabun Nuzul. Sehingga,
diturunkan tanpa ada yang melatar belakanginya (Ibtida’), dan adapula ayat Al-Qur’an itu
diturunkan dengan dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa (ghair ibtida’).

Pendapat tersebut hampir merupakan konsensus para ulama. Akan tetapi, ada yang
menguatkan bahwa kesejarahan Arabia pra-Qur’an pada masa turunnya Al-Qur’an
merupakan latar belakang makro Al-Qur’an; sementara riwayat-riwayat Asbabun Nuzul
merupakan latar belakang mikronya. Pendapat ini berarti menganggap bahwa semua ayat Al-
Qur’an memiliki sebab-sebab yang melatarbelakanginya.

B. URGENSI DAN KEGUNAAN ASBAABUN NUZUL

Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan urgensi Asbab an-
Nuzuldalam memahami al-Quran , sebagai berikut:

1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan


ayat-ayat al-Quran.Diantaranya dalam surat al-baqoroh ayat 115
ِ ‫وال َم ْغ ِربُفَأ َ ْينَ َماتُ َولُّوْ افَثَ َّم َوجْ هُالل ِهإِنَّاللهَ َو‬
‫اس ٌع َعلِيْم‬ ْ ُ‫َولل ِه ْال َم ْش ِرق‬

Artinya:

“  Dan kepunyaan Allah lah Timur dan Barat; maka ke mana juga pun kamu menghadap, di-
sanapun ada wajah Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”

bahwa timur dan barat merupakan kepunyaan Allah. Dalam kasus sholat, dengan
melihat zahir ayat diatas sesorang boleh menghadap kearah mana saja sesuai dengan
kehendak hatinya. Ia seakan-akan tidak menghadap kiblat ketika sholat. Akan tetapi ketika
melihat asbab an-nuzul-nya, tahapan bahwa interpretasi tersebut keliru. Sebab, ayat diatas
berkaitan dengan sesorang yang sedang berada dalam perjalanan dan melakukan sholat diatas
kendaraan, atau berkaitan dengan orang yang berjihad dalam menentukan arah kiblat.

2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.


3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Quran, bagi ulama yang berpendapat
bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus As-sahab) dan
bukan lafadz yang bersifat umum (umum al-lafadz).
4. Apabila lafal yang diturunkan itu lafal yang umum dan terdapat dalil atas pengkhususannya,
maka pengetahuan mengenai asbabun nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap
yang selain sebab. Dan bentuk sebab ini tidak dapat dikeluarkan (dari cakupan lafal yang
umum itu), karena masuknya bentuk sebab ke dalam lafal umum itu bersifat qat’i (pasti).
Maka ia tidak boleh dikeluarkan melalui ijtihad, karena ijtihad itu bersifat zanni (dugaan).
Pendapat ini dijadikan pegangan oleh ulama umumnya.
5. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan ayat tersebut turun.
6. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat Al-Quran, serta untuk memantapkan
wahyu kedalam hati orang yang mendengarkan. Sebab, hubungan sebab-akibat (musabbab),
hukum, peristiwa, dan pelaku, masa dan tempat merupakan satu jalinan yang bias mengikat
hati.
C. CARA MENGETAHUI RIWAYAT ASBABUL NUZUL
Asbab An-Nuzul adalah peristiwa sejarah yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, tidak boleh ada cara lain untuk mengetahuinya, selain berdasarkan
periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql ash-shalih) dari orang-orang yang melihat dan
mendengar langsung tentang turunnya ayat Al-Quran. Dengan demikian, seperti halnya
periwayatan pada umumnya, diperlukan kehati-hatian dalam menerima riwayat yang
berkaitan dengan asbab An-Nuzul. Untuk itu, dalam kitab Asbab An-Nuzul-nya , Al-Wahidy
menyatakan :
Artinya : “ Pembicaraan asbab An-Nuzul, tidak dibenarkan, kecuali dengan berdasarkan
riwayat dan mendengar dari meraka yang secara langsung menyaksikan peristiwa nuzul, dan
bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”
 Para ulama salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima berbagai riwayat yang
berkaitan dengan asbab An-Nuzul. Keketatan mereka itu dititikberatkan pada seleksi pribadi
si pembawa riwayat (para rawi) , sumber riwayat (isnad) dan redaksi berita (matan). Bukti
keketatan itu diperlihatkan oleh Ibn Sirin ketika menceritakan pengalamannya sendiri :
Artinya :  “ Aku pernah bertanya kepada Ubadah tentang sebuah ayat Al-Quran, tetapi ia
menjawab, ‘Hendaklah engkau bertaqwa kepada Allah dan berbicaralah yang benar. Orang-
orang yang mengetahui mengenai apa ayat Al-Quran diturunkan sudah tidak ada lagi.”     
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa sikap kekritisan mereka tidak dikenakan terhadap
materi asbab An-Nuzul yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi. Mereka berasumsi bahwa apa
yang dikatakan sahabat Nabi , yang tidak masuk dalam lapangan penukilan dan
pendenganran , dapat dipastikan ia mendengar ijtihadnya sendiri. Karena itu pula , Ibn Shalah
, Al-Hakim , dan para ulama hadis lainnya menetapkan ,“ Seorang sahabat Nabi yang
mengalami masa turun wahyu, jika ia meriwayatkan suatu berita tentang asbab An-Nuzul ,
riwayatnya itu berstatus marfu’.”
Berkaitan dengan asbab An-Nuzul , ucapan seorang tabi’i tidak dipandang sebagai
hadis marfu’ , kecuali bila diperkuat oleh hadis mursal lainnya, yang diriwayatkan oleh salah
seorang imam tafsir yang dipastikan mendegar hadis itu dari Nabi. Para imam tafsir itu di
antaranya : Ikramah, Mujahid, Sa’ad Ibn Jubair, ‘Atha, Hasan Bishri, Sa’id Ibn Masayyab
dan Adh-Dhahhak.
Banyak sekali hadis asbabun nuzul yang diriwayatkan oleh para ulama , tetapi pelu
diketahui bahwa tidak semua hadis sanadnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. dan
shahih , melainkan ada juga yang mursal (dalam sanadnya nama sahabat yang meriwayatkan
langsung dari Nabi di buang) dan dha’if. Penyelidikan terhadap hadis-hadis ini membuat
orang meragukannya karena beberap alasan :
Pertama , gaya kebanyakan hadis ini menunjukkan bahwa perawi tidak meriwayatkan
asbabun nuzul secara lisan dan tertulis, melainkan dengan meriwayatkan suatu kisah,
kemudian menghubungkan ayat-ayat Al-Quran dengan kisah itu. Pada hakikatnya , asbabun
nuzul yang disebutkannya itu hanyalah didasarkan atas pendapat , bukan atas pengamatan
dan pencatatan.
Kedua , pada masa awal islam, khalifah melarang penulisan hadis. Semua kertas dan
papan yang didapati memuat tulisan hadis dibakar. Larangan ini berlaku sampai akhir abad
pertama Hijrah, atau kurang lebih selama 90 tahun. Larangan ini membuat para perawi
meriwayatkan hadis menurut maknanya saja, sehingga hadis mengalami perubahan-
perubahan setiap kali seorang perawi meriwayatkannya kepada perawi lain. Akibatnya , hadis
yang diriwayatkan tidak menurut aslinya. Hal ini akan sangat jelas bila kita telaah suatu kisah
melalui beberapa jalur sanad, karena boleh jadi terdapat dua hadis saling bertentangan
tentang satu kisah. Kebiasaan meriwayatkan hadis menurut maknanya dengan cara yang
meragukan ini merupakan salah satu penyebab tidak dapat dipertangggungjawabkannya
hadis-hadis tentang asbabbun nuzul.
Adapun jalan mengetahui asbabul nuzul , para ulama mengandalkan kesahihan riwayat
dari rasulullah saw. atau dari sahabat sebab berita sahabat tentang seperti ini adalah hukum
yang di marfu’kan. Ibnu Sholah mengatakan dalam kitabnya , ‘ulumul hadist :
Ada berita bahwa penafsiran seseorang sahabat adalah hadist musnad , hanyasanya
yang demikian dalam tafsir yang berkaitan dengan asbabul nuzul ayat yang diberitakan oleh
seorang sahabat atau semisalnya , seperti ucapan Jabir Radhiyallohu’anhu : orang Yahudi
mengatakan bahwa siapa yang mensenggamai isterinya lewat belakang sekalipun di farjinya
maka akan lahir anak bermata juling , kontan Allah menurunkan ayat yang artinya “ isteri
kalian adalah ladang kalian” . Adapun seluruh penafsiran sahabat yang sama sekali tidak
disandarkan kepada Rasulullah SAW. adalah terhitung mauquf. Wallohu a’lam.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap riwayat tentang “asbab al-Nuzul” yang dikemukakan
oleh para sahabat dapat diterima begitu saja, tanpa pengecekan dan penelitian lebih cermat.
Hal ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” suatu ayat
merupakan pekerjaan yang sulit, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para
ulama tentang beberapa riwayat yang terkait dengannya. Al-Dahlawi mengidentifikasi
sumber kesulitan dalam riwayat “asbab al-Nuzul”, yaitu:
1.      Adakalanya kalangan sahabat atau tabi‘in mengemukakan suatu kisah ketika
menjelaskan suatu ayat. Tapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa kisah itu
merupakan “asbab al-Nuzul”. Padahal, setelah diteliti ternyata kisah itu merupakan sebab
turunnya ayat tersebut;
2.      Adakalanya kalangan sahabat dan tabi‘in mengemukakan hukum suatu kasus
dengan mengemukakan ayat tertentu, kemudian mereka menyatakan dengan kalimat :
 ... ‫ ; كذا في نزل ت‬seolah-olah mereka menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan penyebab
turunnya ayat tersebut. Padahal, boleh jadi pernyataan itu sekedar istinbath hukum dari Nabi
Saw tentang ayat yang dikemukakan tadi.
Oleh karena itu, para ulama seperti Imam al-Hakim al-Naysaburi, Ibn al-Shalah, dan
ulama hadits lainnya menegaskan bahwa hadits yang menjadi sumber dalam riwayat “asbab
al-Nuzul” harus merupakan hadits marfu‘, bersambung sanadnya, dan shahih dari sisi sanad
maupun matan-nya.
Sedangkan susunan atau bentuk redaksi dalam pengungkapan riwayat “asbab al-
Nuzul”, secara garis besar ada tiga macam, yaitu:
1.      Bentuk susunan redaksi yang disepakati oleh ulama menunjukkan kepada “asbab
al-Nuzul” (al-muttafaq ‘ala al-i‘tidad bihi). Bentuk ini mengandung tiga unsur utama, yaitu:
pertama, sahabat yang mengemukakan riwayat harus menyebutkan suatu kisah atau peristiwa
yang yang menyebabkan turunnya ayat; Kedua, sahabat yang mengemukakan riwayat harus
mengemukakan dengan redaksi yang jelas (bi al- lafzhi al-sharih) menunjukkan kepada
pengertian “turunnya ayat”; dan Ketiga, sahabat yang mengemukakan riwayat harus
mengemukakan riwayatnya dengan pola bahasa yang bersifat pasti, seperti ungkapan: “‫كذا آية‬
‫”فنزلت وكذا كذ حدث‬,  atau                    
“ ‫”ك>>>ذا ا هللا ف>>>أنزل وك>>>ذ ك>>>ذا ح>>>دث‬. Redaksi dalam bentuk tegas (sharih) dan pasti dalam
pengungkapan “asbab al-Nuzul” ini dapat berupa : adanya huruf fa’ (‫ )ف‬yang bermakna al-
sababiyah atau ta‘qibiyah yang masuk pada riwayat yang berkaitan dengan turunnya ayat,
seperti: ‫حدث‬... ‫ اآلية فنزلت‬...‫ ; هذا‬adanya keterangan yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw
ditanya tentang sesuatu kemudian diikuti dengan turunnya ayat sebagai jawabannya:  ... ‫اآلية‬
‫ كذا عن هللا رسول سئل‬...‫فنزلت‬
2.      Bentuk susunan redaksi yang masih diperselisihkan dikalangan ulama untuk
menunjukkan kepada “asbab al-Nuzul” (al-mukhtalaf fi al-i‘tidad bihi wa ‘adamihi), karena
redaksi pengungkapannya masih bersifat  muhtamilah (mengandung kemungkinan). Dalam
bentuk ini, perawi tidak menginformasikan dengan gamblang adanya suatu kejadian atau
peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat, namun hanya mengemukakan suatu riwayat
dengan ungkapan “ ayat ini diturunkan tentang masalah demikian” , yang demikian terkadang
maksudnya  asbabul nuzul ayat atau terkadang termasuk makna ayat.
3.      Bentuk susunan redaksi yang disepakati oleh ulama tidak menunjukkan kepada
“asbab al-Nuzul” (al-muttafaq ‘ala ’adami al-i‘tidad bihi). Bentuk susunan redaksi ini ada dua
macam, yaitu: Pertama, adakalanya si Perawi tidak mengungkapkan riwayat dengan redaksi
yang jelas menunjukkan kepada pengertian “turun” (shigat al-Nuzul), namun
mengemukakannya dengan redaksi lain, seperti lafaz qira’ah atau tilawah. Misalnya, si
Perawi mengatakan:                                   
“..‫”كذا وسلم عليه هللا صلى لنبيافتال وأ… وسلم عليه هللا صلى لنبي ا فقرأ كذا حدث‬
Para ulama menilai bahwa pengungkapan “qira’ah” atau “tilawah” setelah penyebutan adanya
suatu kejadian (al-haditsah) jelas menunjukkan bahwa suatu ayat pasti turun mengiringi
kejadian atau peristiwa tersebut. Padahal dalam kenyataan berdasarkan ungkapan redaksi itu
sendiri, jelas menunjukkan ayat yang dibaca oleh Nabi Saw sudah turun sebelum terjadinya
peristiwa dimaksud. Atau bisa jadi pembacaan Nabi Saw akan ayat tersebut sebagai
penjelasan penguat dari ayat yang turun lebih dahulu yang memiliki hubungan yang kuat
dengan ayat yang dibacakan Nabi Saw ketika ada suatu kejadian.
Kedua, adakalanya si Perawi mengungkapkan redaksi riwayatnya dengan pola bahasa
yang tidak secara pasti menunjukkan kepada sebab turunnya ayat, namun mempergunakan
pola bahasa yang mengandung “dugaan” atau “perkiraan” semata. Misalnya, si Perawi
mengatakan:
 ... ‫فيه نزلت ية اآل هذه ن أ فأظن اكذ حدث‬ atau ... ‫فيه نزلت اآلية ن أ فأحسب اكذ حدث‬
atau     ... ‫نزلت اآلية هذه ن أظنأ ما وأ أحسب ما‬ ‫في إال‬  ‫كذا‬
Pola redaksi semacam ini menunjukkan bahwa si Perawi memahami suatu riwayat
yang menunjukkan kepada sebab turunnya ayat hanya berdasarkan indikator berupa situasi
dan kondisi konteks semata (qara’in al-ahwal) yang bersifat sangat spekulatif (dugaan). Dan
hal itu jelas tidak menunjukkan kepada keterlibatan si Perawi dalam menyaksikan langsung
peristiwa turunnya ayat (musyahadah) atau mendengarkan informasinya dari orang yang
menyaksikan secara langsung tersebut (sima’i).
Para ulama memberikan catatan bahwa redaksi seperti ini dapat diterima apabila ada
riwayat lain yang menunjukkan hal yang sama, tapi dengan lafaz redaksi yang bersifat pasti
(bukan dugaan dan persangkaan semata) sebagaimana dalam bentuk yang disepakati oleh
para ulama untuk menunjukkan kepada sebab turunnya ayat.
         Manfaat Mengetahui Asbabun Nuzul
Menurut sebagian ulama ada beberapa manfaat mengetahui dan memahami riwayat
asbabun nuzul. Diantara ulama yang berpendapat seperti itu adalah :
1.      Ibnu Al-Daqiq ( w. 702 H )
Ibnu Al-Daqiq  menyatakan banhwa mengetahui asbabun nuzul ayat merupakan
metode yang utama dalam memahami pesan yang terkandung galam al-quran.
2.      Ibnu Taimiyah ( w. 726 H )
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa mengetahui asbabun nuzul akan akan membantu
dalam memahami ayat Al-Quran , karena mengetahui sebab berarti juga mengatahui
musabab.
3.      Al-Wahidi ( w. 427 H )
Al-Wahidi menyatakan sebagaimana dikutip oleh As-Suyuthi bahwa tidak mungkin
seseorang dapat menafsirkan suatu ayat tanpa mengatahui sejarah turunya dan latar belakang
masalahnya.
D. MACAM- MACAM ASBABUN NUZUL
1. Banyaknya nuzul dengan satu sebab

Terkadang banyak ayat turun, sedangkan sebabnya hanya satu. Dalam hal ini tidak
ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun didalam
berbagai surat berkenaan dengan satu peristiwa. Contohnya ialah apa yang di riwayatkan
oleh Said bin Mansur, ‘Abdurrazaq, Tirmidzi, Ibn jarir, Ibnul Munzir, Ibn Abi Hatim,
tabrani, dan Hakim yang mengatakan shahih, dari Ummu salamah, ia berkata :
“Rasullullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikitpun
mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan : maka tuhan mereka memperkenankan
permohonanya (dengan firman) : “sesungguhny aku tidak menyia-nyiakan amal orang-
orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki ataupun perempuan : (karena) sebagian
kamu adalah turunan dari sebagian yang lain... (Ali ‘Imran [3]:195).

Diriwayatkan pula oleh Ahmad, Nasa’i, Ibn Jarir, Ibnul Munzir, Tabarani, dan Ibn
Mardawih dari Ummu Salamah yang mengatakan ; “Aku telah bertanya : Rasulullah,
mengapa kami tidak disebutkan dalam al-qur’an seperti kaum laki-laki ? maka suatu harti
aku dikejutkan oleh suara Rasulullah diatasa mimbar. Ia membacakan : Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan Muslim.. sampai akhir ayat 35 Surat al-Ahzab [33].”

Diriwayatkan pula oleh Hakim dari Ummu Salamah yang mengatakan: “Kaum laki-
laki berperang sedang kaum perempuan tidak. Disamping itu kami hhanya memperoleh
warisan setengah bagian? Maka Allah menurunkan ayat : Dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan terhadap apa yang dikaruniakan sebagian dari kamu lebih
banyak dari sebagian yang usahakan, dan bagi para wanitapun ada bagian dari apa yang
mereka usahan pula.. (an-Nisa’ [4]:32) dan ayat : sesungguhnya laki-laki dan perempuan
yang muslim..” ketiga ayat tersebut turun ketika satu sebab.

2. Penuruna ayat lebih dahulu daripada sebab

Az-Zarkasyi dalam membahas fi ulumil qur’an karya Manna’ Khalil Al Qattan


mengemukakan satu macam pembahasan yang berhubungan dengan sebab nuzul yang
dinamakan “penurunan ayat lebih dahulu daripada hukum (maksud)nya.” Contoh yang
diberikan dalam hal ini tidaklah menunjukkan bahwa ayat itu turun mengenai hukum
tertentu, kemudian pengalamanya datang sesudahnya. Tetapi hal tersebut menunjukan
bahwa ayat itu diturunkan dengan lafadz mujmal (global), yang mengandung arti lebih
dari satu, kemudian penafsiranya dihubungkan dengan salah satu arti-arti tersebut,
sehingga ayat tadi mengacu pada hukum yang datang kemudian. Misalnya firman Allah :
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) [87]:14).
Ayat tertsebutdijadikan dalil untuk zakat fitrah. Diriwayatkan oleh baihaqi dengan
disanadkan kepada Ibn Umar, bahwa ayat itu turun berkenaan dengan zakat Ramadhon
( Zakat Fitrah), kemudian dengan isnad yang marfu’ Baihaqi meriwayatkan pula
keterangan yang sama. Sebagian dari mereka barkata : aku tidak mengerti maksud
pentakwilan yang seperti ini, sebab surah itu Makki, sedang di Makkah belum ada Idul
fitri dan zakat.”

Didalam ayat tersebut, Bagawi menjawab bahwa nuzul itu boleh saja mendahului
hukumnya, seperti firman Allah : aku benar-benar bersumpah dengan kota ini, dan kaum
(Muhammad) bertempat di kota ini (al-Balad [90]:1-2). Surah ini Makki, dan
bertempatnya di Makkah, sehingga Rasulullah berkata : “Aku mnenempati pada siang
hari).”

3. Beberapa ayat turun mengenai satu orang

Terkadang seorang sahabat mengalami peristiwa lebih datri satu kali, dan al-qur’an
pun turun mengenai setiap peristiwanya. Karena itu, banyak ayat yang turun mengenai
setiap peristiwanya. Karena itu, banyak ayat yang turun mengenai nya sesuai dengan
banyaknya peristiwa yang terjadi. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari tentang
berbakti kepada kedua orang tua. Dari sa’d bin Abi Waqqas yang mengatakan : “ada
empat ayat al-qur’an turun berkenaan denganku. Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa
ia tidak akan makan dan minum sebelum aku mwninggalkan Muhammad, lalu Allah
menurunkan : dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamumengikutio
keduanya dan pergauilah keduanya didunia dengan baik (luqman[31]:15).

Kedua ketika aku mengambil sebilah pedang dan mengaguminya, maka aku berkata
kepada Rasulullah : “Rasulullah, berikanlah kepadaku pedang ini”. Maka turunlah :
mereka bertanya kepadamu tenytang pembagiuan harta rampasan perang (al-anfal [8]:1).

Ketiga, ketika aku sedang sakit Rasulullah datang mengunjungilku kemudian aku
bertanya kepadanya : “Rasulullah, aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku
mewasiatkan separuhnya?” rasulullah diam. maka wasiat dengan sepertiga harta itu
dibolehkan.

Keempat, ketika aku sedang minum minuman keras (khamr) bersama kaum Ansor,
seorang dari mereka memukul hidungku dengan tulang rahang unta. Lalu aku datang
kepada Rasulullah , maka Allah ‘Azza Wajalla menurunkan larangan minum khamr.

E. KAIDAH-KAIDAH ASBABUN-NUZUL

Dalam memahami kaidah disini dibagi menjadi dua yaitu :

1. Kaidah ‫ب‬ ِ ْ‫ْا ِلعب َْرةُ بِ ُع ُموْ ِم اللَّ ْف ِظ اَل بِ ُخصُو‬


ِ َ‫ص ال َّسب‬

Yang berarti : “ungkapan itu didasarkan pada keumuman teksnya, bukan didasarkan atas
kekhususan penyebabnya”.

Pengertiannya adalah jawaban lebih umum dari pertanyaan atau sebab –nya. Dan sebab
lebih khusus dari pada lafadz jawabnya. Ini secara lgis mungkin terjadi, dan kenyataannya
juga benar-benar terjadi. Karena bentuk seperti ini tidak mengandung kekurangan, justru
keumuman lafadz dengan kekhususan sebabnya akan menyampaikan kepada tujuan secara
lebih sempurna dan efektif.

Hanya saja, ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah yang dianggap
keumuman lafadznya atau kekhususan sebabnya? Jumhur ulama berpendapat bahwa
hukumnya mencakup semua unsur dari lafadz tersebut, baik unsur-unsur sebab maupun
unsur-unsur selain sebab. Sebagai contoh, peristiwa tuduhan zina oleh Hilal ibn Umayyah
kepada istrinya, yang berkenaan dengan peristiwa itu, turun firman Allah SWT :

Penetapan makna suatu ayat didasarkan pada bentuk hukumnya lafazh (bunyi lafazh),
bukan sebabnya yang khusus).

Contoh kaidah pertama : Firman Allah, Surat An-Nur ayat 6:

Dan orang-yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-
saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah
dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. [Q.S.
An-Nur:
Hadis yang lain lagi diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari sahl bin Sa’d, ia
berkata: Uwaimir bin Nash datang kepada ‘Ashim bin ‘Uddai, lalu berkata, Tanyakan kepada
Rasulullah SAW. Bila seorang mendapatkan isterinya bermesraan dengan lelaki lain, maka
dibunuh saja atau bagaimana?”. Setelah ‘Ashim bertanya kepada Rasulullah SAW., lalu
bilang kepada Uwaimir, “Demi Allah, aku telah datang dan bertanya kepada Rasulullah dan
beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Al-Qur’an telah diturunkan kepadamu dan temanmu’, lalu
beliau membaca ayat (yang artinya): “Orang-orang yang menuduh isterinya dengan berzinah,
tapi mereka tidak mempunyai saksi-saksi kecuali dirinya sendiri...” ( QS. An-Nur: 6)

Maka cara untuk menyatukan dua riwayat tersebut dapat kita kemukakan bahwa riwayat
yang awal menyangkut orang yang dituju langsung oleh turunnya ayat (Hilal), yang
kebetulan bersamaan dengan datangnya Uwaimir, maka kemudian ayat turun pada
keduannya. Ini sesuai dengan kata Ibnu Hajar: “Tidak mengapa ada banyak sebab”.

2. Kaidah kedua menyatakan sebaliknya :‫ب اَل بِ ُع اللَّ ْف ِظ‬ ِ ْ‫ْال ِع ْب َرةُ بِ ُخصُو‬
ِ َ‫ص ال َّسب‬

(yang menjadi patokan adalah sebab khusus, bukan keumuman lafal).[4]

Kaidah ini berkaitan dengan permasalahan apakah ayat yang diturunkan Allah SWT
berdasarkan sebab khusus yang harus dipahami sesuai dengan lafal keumuman ayat tersebut
atau hanya terbatas pada sebab khusus yang melatar belakangi turunnya ayat itu. Dalam
masalah tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan mufasir dan ahli ushul fiqh, kaidah
yang dipakai adalah kaidah pertama, yaitu memahami ayat sesuai dengan keumuman
lafalnya, bukan karena sebab khususnya.

Sebagian kecil mufasir dan ahli ushul fiqh, khususnya mufasir kontemporer,
berpendapat bahwa ayat itu semestinya dipahami sesuai dengan sebab khususnya, bukan
berdasarkan lafalnya yang umum. Dalam kaitan dengan ini Ridwan as-Sayyid, tokoh
pembaru dari Mesir menjelaskan bahwa dalam suatu peristiwa terdapat unsur-unsur.

Contoh penerapan kaidah kedua: Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 115:

Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situ-
lah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas Rahmat-Nya, lagi Maha Mengetahui. (Al-
Baqarah: 115).
Jika dalam memahami ayat 115 ini kita tetapkan kaidah pertama, maka dapat
disimpulkan, bahwa shalat dapat dilakukan dengan menghadap kearah mana saja, tanpa
dibatasi oleh situasi dan kondisi di mana dan dalam keadaan bagaimana kita shalat.

Kesimpulan demikian ini bertentangan dengan dalil lain(ayat) yang menyatakan, bahwa
dalam melaksanakan shalat harus menghadap ke arah Masjidil-Haram. Sebagaimana
ditegaskan dalam firman Allah: “Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar
sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu
kerjakan. (Al-Baqarah: 149)”

Akan tetapi, jika dalam memahami Surat Al-Baqarah ayat 115 diatas dikaitkan dengan
Asbabun nuzulnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa menghadap ke arah
mana saja dalam shalat adalah sah jika shalatnya dilakukan di atas kendaraan yang sedang
berjalan, atau dalam kondisi tidak mengetahui arah kiblat (Masjidil Haram). Dalam kasus
ayat yang demikian ini pemahamannya harus didasarkan pada sebab turunnya ayat yang
bersifat khusus dan tidak boleh berpatokan pada bunyi lafazh yang bersifat umum.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Asbabun nuzul adalah sebab turunnya al-Qur’an (berupa peristiwa/pertanyaan) yang


melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan dan
menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.

2. Asbabun nuzul terdiri dari kata asbab (jamak dari sababa yang artinya sebab-sebab), dan
nuzul (artinya turun).

3. Macam-macam asbabun nuzul ada 2, yaitu :

a. Dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbabun nuzul meliputi
sharih dan muhtamilah

b. Dari sudut pandang terbilangnya asbab an-nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat
untuk satu asbab an-nuzul meliputi :

- Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat


- Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa ayat

4. Cara mengetahui riwayat asbabun nuzul melalui periwayatan yang benar dari orang-orang
yang melihat dan melihat langsung turunnya ayat

5. Kaidah hukum yang belum jelas dalam al-Qur’an, dapat dipermudah dengan mengetahui
asbab-nuzulnya. Karena dengannya penafsiran ayat lebih jelas untuk dipahami.

B. SARAN
Dengan disusunnya makalah Ulumul Qur’an tentang Asbabun Nuzul ini, penulis
mengharapkan pembaca dapat mengetahui kajian Ulumul Qur’an, untuk mengetahui lebih
jauh, lebih banyak, dan lebih lengkap tentang pembahasan Asbabun Nuzul, pembaca dapat
membaca dan mempelajari buku-buku dari berbagai pengarang, karena penulisanya
membahas garis besarnya saja tentang ulumul quran dan hanya membahas lebih dalam
tentang asbabun nuzul.
Disini penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna, sehingga keritik dan saran yang membangun untuk penulisan makalah-makalah
selanjutnya sangat diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar , Rosihon. 2007. Ulum Al- Quran. Bandung : Pustaka Setia


Thabathaba’i Allamah M.H . 2005 . Mengungkap Rahasia Al-Quran . Bandung :
Mizan.
Hadi Alwadi’i , Syaikh Muqbil . 2006 . Shahih Asbabun Nuzul . Yogyakarta :
Islamic.
Anwar, Abu. 2015 . Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar . Pekanbaru : Amzah.
http://peopleorange.blogspot.co.id/2012/01/cara-cara-mengetahui-asbab-al-
nuzul.html?m=1
Anwar .Rosihon.2013.”Ulum Al- Qur’an”. Bandung:CV Pustaka Setia
Didin saefuddin Buchori,2005. “Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an: Bogor:
Granaada Pustaka
M.Yusuf,Kadar. 2014.”Studi Al-Qur’an” . Jakarta: Amzah
http://www.sarjanaku.com/2009/12/makalah-asbabun-nuzul.html?m=1
Diakses Pada Tanggal 16 Oktober 2019
https://www.google.com/amp/s/www.
kompasiana.com/amp/eganurfadillah5648/5bf5529dab12ae790d67fcf7/asbabun-
nuzulDiakses Pada Tanggal 17 Oktober 2019
http://huseinmuhibbi.blogspot.com/2015/06/makalah-asbabun-nuzul-al-quran.html?
m=0Diakses Pada Tanggal 18 Oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai