Anda di halaman 1dari 5

RABIES

I. Latar Belakang
Pada materi kuliah pagi ini membahas tentang penyakit Rabies. Rabies yang
dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut, merupakan suatu
penyakit infeksi akut susunan syaraf pusat yang dapat menyerang mamalia
termasuk manusia. Kejadian rabies pertama kali di Indonesia ditemukan oleh
Schoorl tahun 1884 pada seekor kuda, disusul oleh Esser tahun 1889 pada seekor
kerbau di Bekasi dan tahun 1890 oleh Penning pada anjing di Jakarta. Kemudian
tahun 1909, Lier menemukan 2 kasus rabies pada kucing di daerah Bondowoso
dan Jember, tetapi pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 1907. Kasus
rabies pada manusia di Indonesia 95% ditularkan oleh anjing dan sisanya (5%)
oleh kucing, kera dan sebagainya (Naipospos, 2004).
II. Isi
Definisi
Rabies atau penyakit anjing gila merupakan penyakit menular akut yang
menyerang susunan saraf pusat mamalia, disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan
melalui gigitan hewan pembawa virus.
Etiologi
Virus rabies merupakan genus Lyssa-virus dari famili Rhabdoviridae. Virus
ini berbentuk peluru dengan ukuran 180 x 75 nm dan kode genetik RNA rantai
tunggal. Virus rabies inaktif pada pemanasan dan akan mati dengan deterjen, sabun,
etanol 45%, dan larutan natrium.
Epidemiologi
Lebih dari 15 juta orang di dunia terpajan virus rabies melalui gigitan hewan
dan 40% diantaranya adalah anak dibawah 15 tahun. sekitar 55 ribu orang meninggal
setiap tahunnya akibat rabies yang ditularkan melalui gigitan hewan. Hanya 9 provinsi
di Indonesia yang bebas rabies, yaitu Bangka Belitung, Riau, DKI Jakarta, Jawa
Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Papua Barat, dan papua. Di
Indonesia terdapat 168 kasus baru per tahun dan 98% ditularkan melalui gigitan
anjing terinfeksi.
Manifestasi klinis
Gejala klinis rabies pada manusia terdiri dari beberapa stadium, yakni:
1. Stadium prodromal nonspesifik
Gejala awal berlangsung 1-4 hari berupa demam, menggigil, malaise, mual,
muntah, diare, nyeri tenggorokan, nyeri perut, sakit kepala, dan myalgia.
2. Stadium sensoris
Rasa panas, nyeri, kesemutan dirasakan pada bekas Iuka. Kemudian disusul
dengan gejala cemas dan reaksi berlebihan terhadap rangsang sensorik.
3. Stadium neurologik akut
Stadium ini dapat bersifat eksitasi atau paralitik dan berkisar antara 2-7 hari.
 Eksitasi
Tonus otot dan aktivitas simpatik meninggi dengan tampilan hiperhidrosis,
hiperlakrimasi, hipersalivasi, dan dilatasi pupil. Penderita menjadi sangat
peka terhadap rangsangan suara, cahaya, air, dan angin yang menimbulkan
berbagai fobia terutama hidrofobia akibat spasme faring setelah minum air.
Gejala lain adalah hiperaktif, disorientasi, halusinasi, agitasi, kejang,
disfagia, afasia, inkoordinasi, hiperventilasi, hipoksia, hingga gagal napas
akibat kontraksi otot pernapasan dan gagal jantung akibat stimulasi vagus.
 Paralisis
Apabila fase eksitasi terlewati pasien akan memasukin stadium paralitik
dengan demam, sakit kepala, paralisis ekstremitas yang digigit, dapat difus
atau menyebar asenden, dan kaku kuduk. Kesadaran dapat terganggu
sehingga pasien mengalami disorientasi, paraplegia, gangguan menelan,
kelumpuhan pernapasan, hingga meninggal.
4. Stadium koma (disfungsi batang otak).
Patofisiologi
Penularan rabies dari hewan ke manusia sebagian besar melalui gigitan dan
sebagian kecil melalui kontak virus dengan kulit Iuka atau mukosa. Hewan pembawa
virus rabies biasanya adalah binatang liar seperti anjing, serigala, rubah, sigung,
monyet, dan kelelawar. Namun, tak tertutup kemungkinan hewan peliharaan dapat
membawa virus apabila kontak dengan binatang liar. Virus masuk melalui Iuka
gigitan dan kemudian selama beberapa minggu tinggal di tempat tersebut sebelum
akhirnya menuju ujung-ujung serabut saraf perifer(tanpa perubahan fungsi). Masa
inkubasi virus rabies bervariasi sampai dua tahun tetapi paling sering 3-8 minggu.
Dari saraf perifer penyebaran terjadi secara sentripetal melalui aliran aksoplasma dan
sel Schwan menuju ganglion dorsalis. Selanjutnya penyebaran terjadi ke saraf pusat
melalui cairan serebrospinal. Saat virus mencapai otak terjadi proses memperbanyak
diri dan menyebar luas ke semua bagian neuron terutama sistem limbik, hipotalamus,
dan batang otak. Virus kemudian menuju ke arah perifer dan menyerang saraf
otonom, otot lurik, otot jantung. kelenjar adrenal, ginjal, mata, pankreas, serta
akhirnya kelenjar ludah, lakrimalis, dan sistem respirasi.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan ldentifikasi Iuka gigitan, tanda
komplikasi.
Pemeriksaan Penunjang
 PCR saliva. pemeriksaan PCR mendeteksi RNA virus dengan sensitifitas tinggi
titik namun, virus lebih mungkin terdeteksi pada awal penyakit.
 Analisis cairan serebrospinal. Leukositosis limfositik terdeteksi pada 60% pasien
di minggu pertama penyakit dan 85% di minggu kedua penyakit. protein dapat
meningkat kurang dari >50 mg/dl, glukosa Normal atau menurun, laktat
meningkat secara progresif. pemeriksaan antibodi anti rabies menunjukkan hasil
positif.
 Serologi. IgM atau IgG terdeteksi setelah minggu ke-2. Pemeriksaan ini tidak
valid pada pasien yang sudah mendapatkan imunisasi rabies.
 Fluorescent antibodies test (FAT): menunjukkan antigen virus dijaringan otak,
cairan serebrospinal, urin kulit. dan hapusan kornea. Hasil akan negatif apabila
antibodi telah terbentuk. Biasanya, antibody tidak akan terbentuk sampai hari ke·
l 0 pada orang yang tidak divaksinasi.
 Pemeriksaan mikroskopis (Seller): ditemukan badan Negri yang bersifat
asidofilik, bulat dengan butir-butir basofilik di dalamnya. Badan Negri
merupakan benda intrasitoplasmik yang terdiri dari komponen virus. seperti
protein ribonuklear. dan fragmen organel seluler
Tatalaksana
Tidak ada terapi khusus untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala
rabies. Tata laksana hanya diberikan untuk menangani komplikasi. Oleh karena itu,
hal yang penting adalah pencegahan dan tata laksana segera setelah gigitan.
Penanganan Luka
Tindakan awal setelah digigit hewan adalah mencuci Iuka secepatnya dengan
air mengalir dan sabun selama I 0-15 menit. Luka diberi antiseptic atau alkohol 70%
atau tinktura yodium, atau larutan ephiran 0, l %. Luka sebaiknya tidak dijahit dan
dapat diberikan profilaksis tetanus dan antibiotik bila ada tanda infeksi.
Vaksinasi setelah paparan
Dasarnya adalah antibodi penetralisir dapat segera terbentuk dalam serum dan
bertahan hingga setahun dalam titer tinggi. Jenis imunisasi dapat pasif dengan
pemberian vaksin anti rabies (VAR) maupun aktif dengan serum anti rabies (SAR).
Luka risiko rendah ijilatan pada kulit Iuka. garukan atau lecet, Iuka kecil di sekitar
tangan, badan, dan kaki) diberikan VAR. Luka risiko tinggi jilatan atau luka pada
mukosa, Iuka di atas daerah bahu, Iuka di jari tangan atau kaki, genitalia, Iuka lebar
atau dalam, Iuka banyak) diberikan VAR dan SAR.
Pemberian VAR dilakukan secara intramuskular pada otot deltoid atau paha
anterolateral. Adapun regimen yang digunakan adalah :
 Regimen Essen (rekomendasi WHO): dosis 0,5 ml, pada hari 0,3,7.14,28
 Regimen Zagreb (rekomendasi Kemenkes RI): dosis 0.5 ml pada hari 0,7,21.

Pada orang yang pernah mendapat vaksin rabies dalam 5 tahun terakhir, apabila
tergigit hewan tersangka rabies dengan Iuka risiko rendah, hanya perlu diberikan 2
dosis pada hari 0 dan 3. Pemberian SAR dilakukan dengan dosis 20 IU/ KgBB dosis
tunggal dengan pemberian setengah dosis infiltrasi pada daerah sekitar Iuka dan
setengah dosis sisanya secara intramuskular pada tempat lain dan diberikan pada hari
yang sama.

Komplikasi

 Neurologi: hiperaktif, kejang, hidrofobia, aerofobia, edema serebri


 Pulmonal: hipoksemia, hiperventilasi, atelektasis, apnea, pneumotoraks
 Kardiovaskular: aritmia, hipotensi, trombosis arteri vena, gagal jantung, henti
jantung
 Hipofisis: sindrom abnormalitas ho rm on antidiuretik (SAHAD). diabetes
insipidus.
 Lain-lain: anemia. perdarahan gastrointestinal. hiper/ hipotermia, hipovolemia,
ileus paralitik, retensi urin, gagal ginjal akut;
III. Refrensi
Harijanto PN. Gunawan CA. Rabies. Dalam: Setiati S. Alwi I. Sudoyo AW.
Simadibrata M. Setiyohadi B, Syam AF. penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing: 201 4
KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN Jilid 2 Edisi.IV
Departemen Kesehatan. Petunjuk perencanaan dan penatalaksanaan kasus gigitan
hewan tersangka atau rabies di Indonesia. Depertemen Kesehatan RI: 2000.
Novita, R. (2019). Peran Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam Menghadapi Tantangan
Rabies di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan,
94-105
Sari T, Seçer M, Aydin E, Yilmaz M, Alkan P, Ayirkan Y, et al. A Case
Report of Rabies with Long Incubation: Importance in terms of Public Health.
Mediterr J Infect Microbes Antimicrob. 2018;(July):31–3

Anda mungkin juga menyukai