Anda di halaman 1dari 46

Laporan Kasus

SKABIES

Oleh :

Mohammad Virgo Alqausar, S. Ked

712020034

Pembimbing :

dr. Lucile Annisa Suardin, Sp.KK, FINSDV

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI


FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul:

SKABIES

Oleh:

Mohammad Virgo Alqausar, S. Ked

712019022

Telah dilaksanakan pada bulan juni 2021 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI

Palembang, Juni 2021

Pembimbing

dr. Lucile Annisa Suardin, Sp.KK, FINSDV

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
Judul: “Skabies” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir
zaman.

Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,


bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :

1. dr. Lucile Annisa Suardin, Sp.KK, FINSDV selaku pembimbing yang telah
memberikan masukan serta bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini,
2. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.

Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.

Palembang, Juni 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................... 1

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... 2

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 3

DAFTAR ISI.................................................................................................................. 4

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 6


1.1. Latar Belakang .........................................................................................6

1.2. Maksud dan Tujuan .................................................................................7

1.3. Manfaat ....................................................................................................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. .................................................................... 8


2.1 Skabies ..................................................................................................8
2.1.1 Definisi .........................................................................................8
2.1.2 Epidemiologi ................................................................................8
2.1.3 Etiologi.........................................................................................9
2.1.4 Patogenesis .................................................................................. 10
2.1.5 Manifestasi Klinis ........................................................................10
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang ...............................................................12
2.1.8 Tatalaksana ..................................................................................12
2.1.9 Prognosis ......................................................................................13
2.2 Dermatitis Atopi....................................................................................14
2.2.1 Definisi .........................................................................................14
2.2.2 Epidemiologi ................................................................................14
2.2.3 Etiologi.........................................................................................14
2.2.4 Manifestasi Klinis ........................................................................18
2.2.5 Pemeriksaan Penunjang ...............................................................20

4
2.2.6 Tatalaksana ..................................................................................21
2.2.7 Prognosis .....................................................................................23
2.2.8 Komplikasi ..................................................................................23
2.3 Pediculosis Humanus Corporis .............................................................24
2.3.1 Definisi .........................................................................................24
2.3.2 Epidemiologi ................................................................................24
2.3.3 Etiologi.........................................................................................24
2.3.4 Manifestasi Klinis ........................................................................25
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang ...............................................................25
2.3.6 Tatalaksana ..................................................................................25

BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................26


BAB IV ANALISIS KASUS .............................................................................34
BAB V KESIMPULAN.....................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 45

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Skabies adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh infeksi
dan sensitisasi oleh tungau sarcoptes scabiel var, hominis, dan produknya.
Ditandai gatal malam hari, mengenai sekelompok orang, dengan tempat
predileksi di lipatan kulit yang tipis, hangat, dan lembab.1
Skabies sering diabaikan karena tidak mengancam jiwa sehingga
prioritas penanganannya rendah, namun sebenarnya skabies kronik dan berat
dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Skabies menimbulkan
ketidaknyamanan karena menimbulkan lesi yang sangat gatal. Akibatnya,
penderita sering menggaruk dan mengakibatkan infeksi sekunder terutama oleh
bakteri Group A Streptococci (GAS) serta Staphylococcus aureus. Komplikasi
akibat infestasi sekunder GAS dan S. Aureus sering terdapat pada anak-anak
di Negara Berkembang.2
World Health Organization (WHO) menyatakan angka kejadian skabies
pada tahun 2014 sebanyak 130 juta orang didunia. Tahun 2014 menurut
Internasional Alliance for the Control Of Skabies (IACS) kejadian skabies
bervariasi mulai dari 0,3% menjadi 46%. Kejadian skabies pada tahun 2015
berprevalensi tinggi di beberapa Negara di antaranya Mesir diperoleh (4,4%),
Nigeria (10,5%), Mali (4%), Malawi (0,7%), dan Kenya (8,3%). Skabies
ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Beberapa negara
yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6% -27% populasi umum,
menyerang semua ras dan kelompaok umur serta cenderung tinggi pada anak-
anak dan remaja yang berjenis kelamin laki-laki. Paling sering disebabkan
karena faktor pencetus yaitu personal hygien yang buruk. Dimana hygien
perorangan adalah perawatan diri sendiri untuk mempertahankan kesehatan,
pemeliharaan personal hygien sangat menentukan status kesehatan, dimana
individu secara sadar dan atas inisiatif pribadi menjaga kesehatan dan
mencegah terjadinya penyakit menular seperti skabies tersebut.2
Menurut data Depkes RI prevalensi penyakit kulit diseluruh Indonesia
ditahun 2012 adalah 8,46%, kemudian meningkat ditahun 2013 sebesar 9% dan

6
skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit yang tersering.
Sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi penyakit kulit diatas prevalensi
nasional, yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka
Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah,
dan Gorontalo.3

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan kasus ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat memahami kasus
Skabies
2. Diharapkan kemudian hari dokter muda mampu mengenali dan
memberikan tatalaksana secara benar tentang penyakit Skabies

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi institusi, diharapkan laporan kasus ini dapat menambah bahan
referensi dan studi kepustakaan dalam bidang ilmu penyakit dalam
terutama tentang Skabies
b. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan laporan ini dapat dijadikan
landasan untuk penulisan laporan kasus selanjutnya.

1.3.2 Manfaat Praktis


Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh dari laporan ini dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior
(KKS) dan diterapkan di kemudian hari dalam praktik klinik.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skabies
2.1.1 Definisi Skabies
Skabies adalah penyakit kulit menular akibat infestasi dan
sansitisasi tungau sarcoptes scabiei var hominis dan produknya.
Menurut WHO (World Health Organization) terdapat sekitar 300 juta
kasus skabies di dunia setiap tahunnya.4

2.1.2 Epidemiologi
Penyakit skabies diperkirakan mencapai sekitar 300 juta kasus per
tahunnya di seluruh dunia dan menyerang semua umur, jenis kelamin,
ras, dan tingkat sosioekonomi. Tingkat kejadian skabies dalam literatur
terbaru mencapai sekitar dari 0,3% sampai 46%, namun anak-anak
paling rentan terjangkit skabies. masyarakat dengan sumber daya yang
rendah sangat rentan terjangkit penyakit skabies. Faktor yang berperan
pada tingginya angka kejadian skabies di negara-negara berkembang
terkait dengan kemiskinan yang berhubungan dengan rendahnya tingkat
kebersihan diri (personal hygiene), akses air yang sulit, dan kepadatan
penduduk.5
Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies.
Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain
social ekonomi rendah, hygiene yang buruk, hubungan seksual bersifat
promiskuitas, kesalahan diagnosis dan perkembangan dermografik
serta ekologik. 6
Menurut World Health Organization (WHO) angka kejadian
skabies pada tahun 2014 sebanyak 130 juta orang didunia. Menurut
Internasional Alliance for the control of Skabies (IACS) kejadian
skabies bervariasi mulai dari 0,3% menjadi 46%. Skabies ditemukan
disemua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Beberapa negara
yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6% -27% populasi

8
umum, menyerang semua ras dan kelompaok umur serta cenderung
tinggi pada anak-anak dan remaja.
Frekuensi yang sama pada pria dan wanita. Menurut World
Health Organization (WHO) angka kejadian skabies pada tahun 2014
sebanyak 130 juta orang didunia. Menurut Internasional Alliance for
the control of Skabies (IACS) kejadian skabies bervariasi mulai dari
0,3% menjadi 46%. Skabies ditemukan disemua negara dengan
prevalensi yang bervariasi. 7

2.1.3 Etiologi
Skabies atau penyakit kudis merupakan penyakit kulit yang
disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei
var.hominis. Nama Sarcoptes scabiei adalah turunan dari kata Yunani
yaitu sarx yang berarti kulit dan koptein yang berarti potongan dan kata
latin scabere yang berarti untuk menggaruk. Secara harfiah skabies
berarti gatal pada kulit sehingga muncul aktivitas menggaruk kulit yang
gatal tersebut. Saat ini istilah skabies berarti lesi kulit yang muncul oleh
aktivitas tungau.8
Ciri morfologi tungau skabies antara lain berukuran 0.2-0.5mm,
berbentuk oval, cembung dan datar pada sisi perut.9 Tungau dewasa
mempunyai empat pasang tungkai yang terletak pada toraks. Toraks
dan abdomen menyatu membentuk idiosoma, segmen abdomen tidak
ada atau tidak jelas, terdapat 15 varietas atau strain tungau yang telah
diidentifikasi dan dideskripsikan secara morfologi maupun dengan
pendekatan molekuler.

Gambar 1. Morfologi Sarcoptes Scabiei (Siregar, 2005)

9
2.1.4 Patogenesis
Siklus hidup tungau ini sebagai berikut: setelah kopulasi yang
terjadi di atas kulit tungau jantan akan mati, tungau betina akan mengali
terowongan kedalam stratum korneum dengan kecepatan 2-3 milimeter
sehari sambal meletakan telurnya 2 hingga 50, telur akan menetas dan
menjadi larva dalam waktu 3 sampai 10 hari dan menjadi larva yang
mempunyai 3 pasang kaki, larva ini dapat tinggal di dalam terowongan
tetapi juga dapat keluar, setelah 2-3 hari larva akan berubah bentuk
menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk jantan dan betina, dengan 4
pasang kaki.6
Aktifitas S.scabiei di dalam kulit menyebabkan rasa gatal dan
menimbulkan respon imunitas seluler dengan humoral serta mampu
meningkatkan IgE baik di serum maupun di kulit. Masa inkubasi
berlangsung lama 4-6 minggu. Skabies sangat menular, transmisi
melalui kontak langsung dari kulit ke kulit, dan tidak langsung melalui
berbagai benda yang terkontaminasi(sprei, sarung bantal, handuk, dsb).
Tungau skabies dapat hidup diluar tubuh manusia selama 24 sampai 36
jam. Tungau dapat di transmisi melalui kontak seksual, walaupun
mengunakan kondom karena kontak melalui kulit diluar kondom.6
Kelainan kulit dapat tidak hanya disebabkan oleh tungau skabies,
tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi
disebabkan sensitisasi terhadap sekreta dan eksreta tungau yang
memerlukan waktu kira sebulan setelah infestasi pada saat itu kelainan
kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel,
urtika, dan lain lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi,
krusta dan infeksi sekunder.6

2.1.5 Manifestasi Klinis


Diagnosa dapat ditegakkan dengan menentukan 2 dari 4 tanda
dibawah ini :
1. Pruritus noktural yaitu gatal pada malam hari karena aktifitas
tungau yang lebih tinggi pada suhu yang lembab dan panas.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok misalnya dalam

10
keluarga, biasanya seluruh anggota keluarga, begitu pula dalam
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar
tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut.
Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya
terkena.
3. Adanya kunikulus (terowongan)pada tempat-tempat yang dicurigai
berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau
berkelok, rata-rata 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan papula
(tonjolan padat) atau vesikel (kantung cairan). Jika ada infeksi
sekunder, timbul polimorf (gelembung lekosit).

Gambar 2. Skabies di sela tangan tampak kanalikuli.17

4. Menemukan tungau merupakan diagnosis pasti dapat ditemukan


satu atau lebih stadium hidup tungau ini. Gatal yang hebat terutama
pada malam sebelum tidur. Adanya tanda : papula (bintil), pustula
(bintil bernanah), dan ekskoriasi (bekas garukan). Gejala yang
ditunjukkan adalah warna merah, iritasi, dan rasa gatal pada kulit
yang umumnya timbul di sela-sela jari, selangkangan, dan lipat
paha, dan terjadi gelembung berair pada kulit. 6

11
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
a. Tes tinta terowongan.
Tes tersebut diawali dengan meneteskan tinta cina pada papula
skabies yang merupakan massa padat menonjol di permukaan kulit
bagian stratum korneum dan berwarna merah yang selanjutnya segera d
ihapus menggunakan alkohol. Tinta cina yang telah dihapus tersebut
akan membentuk terowongan yang merupakan jejak dari S. scabiei.
Jejak terowongan akan terlihat sebagai garis yang berkelok-kelok atau
zig-zag.6
a. Uji tetrasiklin
Tetrasiklin topikal. Larutan tetrasiklin dioleskanpada terowongan
yang dicurigai, setelah 5 menit dikeringkan dengan menggunakan
isopropil alkohol. Tetrasiklin akan berpenetrasi ke dalam kulit melalui
kerusakan stratum korneum sehingga terowongan akan tampak dengan
penyinaran lampu Wood sebagai garis lurus berwarnakuning kehijauan.

2.1.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan secara umum, menjaga kebersihan dengan
mandi secara teratur setiap hari. Semua pakaian, seprei, dan handuk
yang telah digunakan harus dicuci secara teratur dan bila perlu
direndam dengan air panas. Demikian pula halnya dengan anggota
keluarga yang berisiko tinggi untuk tertular, terutama bayi dan anak-
anak, juga harus dijaga kebersihannya dan untuk sementara waktu
menghindari terjadinya kontak langsung. Selain itu juga ditekankan
untuk mengobati semua anggota keluarga secara serentak.
Penatalaksanaan khusus dengan memberi obat antiskabies. Pemilihan
obat berdasarkan efektivitas dan potensi toksisitas obat serta cara
penggunaan yang tepat. Ada beberap amacam obat antiskabies, yaitu:
Permetrin. Tersedia dalam bentuk krim 5%, merupakan obat
antiskabies yang relatif baru. Sifat skabisidnya sangat baik, merupakan
sintesapiretroid, aman karena efek toksisitasnya terhadap mamalia
sangat rendah, dan kemungkinan keracunan karena salah penggunaan
sangat kecil. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit obat yang

12
diabsorbsi dan obat dimetabolisme secara cepat. Belum pernah
dilaporkan resistensi terhadap permetrin. Carapemakaian dengan
dioleskan ke seluruh tubuh, didiamkan 8-12 jam, kemudian dicuci
bersih dan dapat diulangi 1 minggu kemudian apabila belum sembuh.
Permetrin merupakan obat pilihan utama untuk semua usia, tetapi
beberapa kepustakaan menganjurkan untuk tidak diberikan pada bayi
kurang dari 2 bulan, wanita hamil,dan ibu menyusui. Efek samping
berupa rasaterbakar, perih, dan gatal jarang ditemukan.10
Lindane (gamma benzena hexachioride = GBHC). Merupakan obat
pilihan untuk skabies oleh karena dapat membunuh tungau S. Scabiei
(bersifat skabisid) dan nimfa serta mencegah menetasnya telur.
Tersedia dalam bentuk krim, lotion, dan gel yang tidak berbau dan tidak
berwarna dengan konsentrasi 1%. Cara pemakaiannya dengan
mengoleskan ke seluruh tubuh, di diam kan selama 12-24 jam, lalu
dicuci bersih. Penggunaan hanya satu kali dan dapat diulang seminggu
kemudian dengan maksimum pengobatan 2 kali (interval 1 minggu).
Pemberian ulangan dimaksudkan untuk memusnahkan larva yang
menetas dan tidak mati oleh pengobatan sebelumnya. Penggunaan yang
berlebihan dapat memberikan efek toksik terhadap susunan saraf pusat
(neurotoksik), maka penggunaannya hanya dianjurkan pada anak-anak
berusia lebih dan 2 tahun dengan pemakaian pada kulit hanya selama 6
jam.11
Benzil benzoat Tersedia dalam bentuk emulsi atau lotion dengan
konsentrasi 25 - 3o%. Pada anak-anak dilakukan pengenceran dengan
2 atau 3 bagian air. Cara pemakaian dengan dioleskan dan dibiarkan
pada kulit selama 24 jam, setiap 2 - 3 hari berturut-turut dengan interval
1minggu. Obat ini efektif dan secara kosmetik dapat diterima, walaupun
dapat menimbulkan gatal dan iritasi.11

2.1.8. Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta
syarat pengobatan dapat menghilangkan faktor predisposisi (antara lain
hiegene), maka penyakit ini memberikan prognosis yang baik.6

13
2.2 Dermatitis Atopi
2.2.1 Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit kronis residif
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak,
sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan
riwayat atopi pada penderita atau keluarganya.12
Sinonim: Istilah lain adalah ekzema atopik, ekzema konstitusional,
ekzema fleksural, neurodermatitis diseminata, prurigo Besnier.12

2.2.2 Epidemiologi
Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi DA makin
meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika
Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan Negara industri lain, prevalensi DA
pada anak mencapai 10-20%, sedangkan pada kira-kira 1-3 %. Di negara
agraris, misalnya Cina,Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi DA jauh
lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita DA daripada pria dengan
rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi
DA misalnya jumlah keluarga kecil,pendidikan ibu makin tinggi,
penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya
penggunakan antibiotik, berpotensi menaikan jumlah penderita DA. DA
cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang
menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bula
pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari
seperuhjumlah anak akna mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun,
dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi. Resiko
mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan
dengan ayah. Tetapi, bila DA yang dialami berlanjut hingga masa
dewasa, maka resiko untuk mewariskan untuk anaknya sama saja yaitu
kira-kira 50%.

2.2.3 Etiopatogenesis
Penyakit ini dipengaruhi multifaktorial, seperti faktor
genetik, imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik.

14
Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi imunologik yang
diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang. Kadar IgE
serum serta eosinofil pada darah perifer penderita umunya meningkat.
Terbukti bahwa ada hubungan antara DA dengan alergi saluran napas
yaitu 80% pasien dengan DA mengalami asma atau rinitis alergi.12
1. Respons imun pada kulit
Salah satu faktor yang berperan pada DA adalah faktor
imunologik. Di dalam kompartemen dermo-epidermal dapat
berlangsung respon imun yang melibatkan sel Langerhans (SL)
epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mas. Bila suatu antigen (bisa
berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen ataupun super
antigen) terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka
antigen tersebut akan mengalami proses : ditangkap IgE yang ada pada
permukaan sel mas atau IgE yang ada di membran SL epidermis. Bila
antigen ditangkap IgE sel mas (melalui reseptor FcεRI), IgE akan
mengadakan cross linking dengan FcεRI, menyebabkan degranulasi sel
mas dan akan keluar histamin dan faktor kemotaktik lainnya. Reaksi ini
disebut reaksi hipersensitif tipe cepat (immediate type
hypersensitivity). Pada pemeriksaan histopatologi akan nampak
sebukan sel eosinofil,.11
Selanjutnya antigen juga ditangkap IgE, sel Langerhans (melalui
reseptor FcεRI, FcεRII dan IgE-binding protein), kemudian diproses
untuk selanjutnya dengan bekerjasama dengan MHC II akan
dipresentasikan kenodus limfa perifer (sel Tnaive) yang
mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit, akan
terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan
perkembangan sel T ke arah TH1 atau TH2. Sel TH1 akan mengeluarkan
sitokin IFN-γ, TNF, IL-2 dan IL-17, sedangkan sel TH2 memproduksi
IL-4, IL-5 dan IL-13. Meskipun infiltrasi fase akut DA didominasi oleh
sel TH2 namun kemudian sel TH1 ikut berpartisipasi. Jejas yang terjadi
mirip dengan respons alergi tipe IV tetapi dengan perantara IgE
sehingga respons ini disebut IgE mediated- delayed type
hypersensitivity. Pada pemeriksaan histopatologi nampak sebukan sel

15
netrofil.
Selain dengan SL dan sel mas, IgE juga berafinitas tinggi dengan F cεRI
yang terdapat pada sel basofil dan terjadi pengeluaran histamin secara
spontan oleh sel basofil. Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya
TNF α dan sitokin pro inflamasi epidermis lainnya yang akan mempercepat
timbulnya peradangan kulit DA. Kadang-kadang terjadi aktivasi penyakit
tanpa rangsangan dari luar sehingga timbul dugaan adanya autoimunitas
pada DA. Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin. IFN-γ yang
merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar IL-
5 dan IL-13 masih tetap tinggi. Lesi kronik berhubungan dengan
hiperplasia epidermis. IFN dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal
untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis.
Perkembangan sel T menjadi sel TH2 dipacu oleh IL-10 dan prostaglandin
(P6) E2. IL-4 dan IL-13 akan menginduksi peningkatan kadar IgE yang
diproduksi olehselB.12

2. Faktor Genetik
DA adalah penyakit dalam keluarga dimana pengaruh maternal sangat
besar. Walaupun banyak gen yang nampaknya terkait dengan penyakit
alergi, tetapi yang paling menarik adalah peran Kromosom 5 q31 – 33
karena mengandung gen penyandi IL3, IL4, IL13 dan GM – CSF
(granulocyte macrophage colony stimulating factor) yang diproduksi oleh
sel Th2. Pada ekspresi DA, ekspresi gen IL-4 juga memainkan peranan
penting. Predisposisi DA dipengaruhi perbedaan genetik aktifitas.12

3. Respon sistemik
Perubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut :
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat.
- Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu
- Eosinofilia
- Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat

16
- Sekresi IFN-γ oleh sel TH1 menurun
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai
peningkatan IL-13 dan PGE2.12

4. Sawar kulit
Umumnya penderita DA mengalami kekeringan kulit. Hal ini
diduga terjadi akibat kadar lipid epidermis yang menurun, trans
epidermal water loss meningkat, skin capacitance (kemampuan
stratum korneum meningkat air) menurun. Kekeringan kulit ini
mengakibatkan ambang rangsang gatal menjadi relatif rendah dan
menimbulkan sensasi untuk menggaruk. Garukan ini menyebabkan
kerusakan sawar kulit sehingga memudahkan mikroorganisme dan
bahan iritan/alergen lain untuk melalui kulit dengan segala akibat-
akibatnya.12

5. Faktor lingkungan
Peran lingkungan terhadap tercetusnya DA tidak dapat dianggap
remeh. Alergi makanan lebih sering terjadi pada anak usia <5 tahun.
Jenis makanan yang menyebabkan alergi pada bayi dan anak kecil
umumnya susu dan telur, sedangkan pada dewasa sea food dan kacang-
kacangan. Tungau debu rumah (TDR) serta serbuk sari merupakan
alergen hirup yang berkaitan erat dengan asma bronkiale pada atopi
dapat menjadi faktor pencetus DA. 95% penderita DA mempunyai IgE
spesifik terhadap TDR. Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen
berhubungan langsung dengan tingkat keparahan DA. Suhu dan
kelembaban udara juga merupakan faktor pencetus DA, suhu udara
yang terlampau panas/dingin, keringat dan perubahan udara tiba-tiba
dapat menjadi masalah bagi penderita DA. Hubungan psikis dan
penyakit DA dapat timbal balik. Penyakit yang kronik residif dapat
mengakibatkan gangguan emosi. Sebaliknya stres akan merangsang
pengeluaran substansi tertentu melalui jalur imunoendokrinologi yang
menimbulkan rasa gatal. Kerusakan sawar kulit akan mengakibatkan

17
lebih mudahnya mikroorganisme dan bahan iritan (seperti sabun,
detergen, antiseptik, pemutih, pengawet) memasuki kulit transkripsi
gen IL-4. Dilaporkan adanya keterkaitan antara polimorfisme spesifik
gen kimase sel mas dengan DA tetapi tidak dengan asma bronchial
ataupun rinitif alergik. Serine protease yang diproduksi sel mas kulit
mempunyai efek terhadap organ spesifik dan berkontribusi pada resiko
genetik DA.12

2.2.4 Manifestasi Klinis


Gejala utama DA ialah gatal, dapat hilang timbul sepanjang hari
dan biasanya lebih hebat pada malam hari. Penderita akan menggaruk
sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit berupa papul,
likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi dan krusta. Ada 3 fase
klinis DA yaitu:
DA infantil (2 bulan – 2 tahun)
DA paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan yaitu
pada bulan kedua. Lesi mula-mula tampak didaerah muka (dahi-pipi)
berupa eritema, papul-vesikel pecah karena garukan sehingga lesi
menjadi eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi bisa meluas ke
kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai. Bila anak mulai
merangkak, lesi bisa ditemukan didaerah ekstensor ekstremitas.
Sebagian besar penderita sembuh setelah 2 tahun dan sebagian lagi
berlanjut ke fase anak. 12
DA anak (2 – 10 tahun)
Dapat merupakan lanjutan bentuk DA infantil ataupun timbul
sendiri (de novo). Lokasi lesi di lipatan siku/lutut, bagian fleksor
pergelangan tangan, kelopak mata dan leher. Ruam berupa papul
likenifikasi, sedikit skuama, erosi, hiperkeratosis dan mungkin infeksi
sekunder. DA berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat
mengganggu pertumbuhan.12
DA pada remaja dan dewasa
Lokasi lesi pada remaja adalah di lipatan siku/lutut, samping leher,
dahi, sekitar mata. Pada dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik,

18
sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula berlokasi
setempat misalnya pada bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting
susu atau skalp. Kadang-kadang lesi meluas dan paling parah di daerah
lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul
datar cenderung berkonfluens menjadi plak likenifikasi dan sedikit
skuama. Bisa didapati ekskoriasi dan eksudasi akibat garukan dan
akhirnya menjadi hiperpigmentasi.
Pruritus adalah gejala subjektif yang paling dominan dan terutama
dirasakan pada malam hari. Bagaimana mekanisme timbulnya pruritus
masih belum jelas. Histamin yang keluar akibat degranulasi sel mas
bukanlah satu-satunya penyebab pruritus. Disangkakan sel
peradangan, ambang rasa gatal yang rendah akibat kekeringan kulit,
perubahan kelembaban udara, keringat berlebihan, bahan iritan
konsentrasi rendah serta stres juga terkait dengan timbulnya pruritus.
Umumnya DA remaja dan dewasa berlangsung lama kemudian
cenderung membaik setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia
pertengahan dan sebagian kecil sampai tua. Berbagai kelainan kulit
dapat menyertai DA (termasuk dalam kriteria minor).
Diagnosis
Berbagai kriteria diagnosis DA disusun oleh berbagai ahli ; Hanifin dan Rajka
telah menyusun kriteria dan kemudian diperbaharui oleh kelompok kerja Inggris
di koordinasi oleh William (1994). Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai
minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor.
Kriteria Mayor
- Pruritus
- Dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak
- Dermatitis di fleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganyaKriteria Minor
- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks)
- Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki
- Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris

19
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mame
- White dermatografism dan delayed blanched response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie – Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat dan eritema
- Gatal bila berkeringat
- Intolerans perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi
- Tes alergi kulit tipe dadakan positif
- Kadar IgE dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat
dipergunakan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Hasil
yang dapat ditemukan pada dermatitis atopik, misalnya kenaikkan
kadar IgE dalam serum, mengurangnya jumlah sel-T ( terutama
T-supresor) dan imunitas seluler, jumlah eosinofil dalah darah
relatif meningkat11.
2. Dermatografisme putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon
yakni berturut-turut akan terlihat: Garis merah ditempat
penggoresan selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama
beberapa detik, edema timbul setelah beberapa menit. Penggoresan
pada penderita yang atopi akan bereaksi belainan. Garis merah
tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik

20
sampai 5 menit, sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini
disebut dermatografisme putih.12

2.2.6 Tatalaksana5
Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap
individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor tersebut.
- Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen,
- pemutih, dll)
- Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi.
- Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.
- Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan DA.
- Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi,
seperti
- menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu.
- Menghindarkan stres emosi.
- Mengobati rasa gatal. Pengobatan topikal
- Hidrasi kulit
Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih baik dan
penderita tidak menggaruk dan lebih impermeabel terhadap
mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai jenis pelembab dapat
dipakaiantara lain krim hidrofilik urea 10%, pelembab yang mengandung
asam laktat dengan konsentrasi kurang dari 5%. Pemakaian pelembab
beberapa kali sehari, setelah mandi.
- Kortikosteroid topical
Walau steroid topikal sering diberi pada pengobatan DA, tetapi harus
berhati-hati karena efek sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid
potensi rendah diberi pada bayi, daerah intertriginosa dan daerah genitalia.
Kortikosteroid potensi menengah dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila
aktifitas penyakit telah terkontrol. Kortikosteroid diaplikasikan intermiten,
umumnya dua kali seminggu.
- Imunomodulator topikal
a. Takrolimus
Bekerja sebagai penghambat calcineurin, sediaan dalam bentuk salap

21
0,03% untuk anak usia 2 – 15 tahun dan dewasa 0,03% dan 0,1%. Pada
pengobatan jangka panjang tidak ditemukan efek samping kecuali rasa
terbakar setempat.
b. Pimekrolimus
Yaitu suatu senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator golongan
makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan takrolimus.
Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%, aman pada anak dan
dapat dipakai pada kulit sensitif 2 kali sehari.
Pengobatan sistemik
- Kortikosteroid
Hanya dipakai untuk mengendalikan DA eksaserbasi akut. Digunakan
dalam waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis
diturunkan secara tapering. Pemakaian jangka panjang akan
menimbulkan efek samping dan bila tiba-tiba dihentikan akan timbul
rebound phenomen.
- Antihistamin
Diberi untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti histamin harus
diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik, aktifitas
penderita dll. Anti histamin yang mempunyai efek sedatif
sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan aktifitas disiang hari
(seperti supir) . Pada kasus sulit dapat diberi doxepin hidroklorid 10-
75 mg/oral/2 x sehari yang mempunyai efek anti depresan dan
blokade reseptor histamine H1 dan H2.
- Anti infeksi
Pemberian anti biotika berkaitan dengan ditemukannya peningkatan
koloni S. aureus pada kulit penderita DA. Dapat diberi eritromisin,
asitromisin atau kaltromisin jika telah resisten dapat diberi
dikloksasilin, oksasilin, atau ggenerasi pertama sefalosporin. Bila
ada infeksi virus dapat diberi asiklovir 3 x 400 mg/hari selama 10
hari atau 4 x 200 mg/hari untuk 10 hari.
- Kompres
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan
steroid, misalnya dengan larutan burowi atau dengan larutan

22
permanganas kalikus 1:5000.12

2.2.7 Prognosis
Sulit menentukan prognosis pada DA karena adanya peran
multifaktorial. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang
baik, adalah :
- DA yang luas pada anak.
- Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale.
- Riwayat DA pada orang tua atau saudaranya.
- Awitan (onset) DA pada usia muda.
- Anak tunggal.
- Kadar IgE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 – 35% penderita DA infantil akan berkembang
menjadi asma bronkiale atau hay fever. Penderita DA mempunyai
resiko tinggi untuk mendapat dermatitis kontak iritan akibat kerja di
tangan.11

2.2.8 Komplikasi
Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi
lain di kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan
untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo,
folikulitis, abses, vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).
Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau
vaksinia dan disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum.
Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada
pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita.
lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah seorang
anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah
pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke
daerah kulit normal. Penderita DA, mempunyai kecenderungan
meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus aureus.12

23
2.3 Pediculosis Humanus Corporis
2.3.1 Definisi
Infeksi kulit disebabkan oleh Pediculus humanus var. corporis.
Pediculosis corporis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh kutu
tubuh (Pediculus humanus corporis) yang memakan darah manusia.
Kutu ini bertelur di lapisan pakaian dan tempat tidur sambil berpindah
ke kulit manusia untuk mencari makan.13

2.3.2 Epidemiologi
Karena kutu tubuh tidak dapat melompat atau terbang, mereka
menyebar terutama melalui kontak langsung, meskipun penularan
juga dapat terjadi melalui pakaian, seprai, dan handuk. Infestasi
berkorelasi kuat dengan kebersihan tubuh yang buruk, kurangnya
akses ke pakaian bersih, dan kondisi keramaian, yang memudahkan
penyebaran kutu melalui kontak fisik langsung. Wabah paling sering
terjadi dalam situasi di mana sekelompok besar orang hidup dalam
kondisi yang tidak sehat seperti penjara atau kamp kelompok besar
pengungsi dari perang, kelaparan atau bencana alam.
Penyakit ini biasanya menyerang orang dewasa terutama pada
orang dengan hygiene yang buruk, misalnya pengembara,
disebabkan mereka jarang mandi atau jarang menganti dan mencuci
pakaian. Oleh karena itu penyakit ini sering disebut penyakit
vagabond. Hal ini disebabkan kutu tidak melekat pada kulit, tetapi
pada serat kapas di sela sela lipatan pakaian dan hanya transien ke
kulit untuk menghisap darah. Penyebaran penyakit ini bersifat
kosmopolit, lebih sering daerah beriklim dingin karena memakai baju
tebal dan jarang dicuci.14

2.3.3 Etiologi
Pediculus humanus var. corporis mempunyai 2 jenis kelamin
yakni jantan dan betina, yang betina berukuran Panjang 1,2 – 4,2 mm
dan lebar kira kira setengah Panjangnya, sedangkan yang jantan lebih

24
kecil. Siklus hidupnya melalui stadium telur, larva, nimfa dan dewasa
Telur (nits).

2.3.4 Manifestasi Klinis


Gejala utama infestasi kutu tubuh adalah pruritus parah.
Temuan dermatologis pada infestasi kutu tubuh bervariasi tetapi
mencakup area pioderma, makula eritematosa, bintik, dan hemoragik.
Pruritus parah yang terkait dengan gigitan dapat menyebabkan garukan
intens yang menyebabkan ekskoriasi dan perkembangan infeksi
sekunder. Dalam pengaturan infestasi kutu tubuh kronis, area kulit
yang sering digigit dapat mengembangkan penebalan dan perubahan
warna yang mencolok, suatu kondisi yang dikenal sebagai "penyakit
gelandangan”. Temuan dermatologis cenderung paling menonjol di
area di mana jahitan pakaian bersentuhan dengan kulit, seperti
pinggang, selangkangan, paha, dan lipatan aksila. Temuan
pemeriksaan fisik tambahan termasuk limfadenopati serviks dan
konjungtivitis sering ditemukan.15

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang Sementara kutu tubuh kadang-kadang dapat
ditemukan merangkak di kulit pasien, infestasi biasanya didiagnosis
dengan menemukan telur dan kutu di jahitan pakaian. Sebuah uji PCR
telah dikembangkan untuk membedakan antara kutu kepala dan tubuh
tetapi terutama digunakan untuk tujuan penelitian daripada untuk
mendukung pengambilan keputusan klinis

2.3.6 Tatalaksana
Terapi ialah dengan krim gameksan 1% yang di oleskan tipis di seluruh
tubuh dan didiamkan 24 jam, setelah itu penderita mandi. Jika masih
belum sembuh diulangi 4 hari kemudian. Obat lain ialah emulsi benzil
benzoate 25% dan bubuk malathion 2%. Pakaian agar dicuci dengan air
panas atau disetrika untuk membunuh telur dan kutu. Jika terdapat
infeksi sekunder diobati dengan antibiotik secara sistemik dan topical.6

25
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : An. A
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 8 tahun
Tempat Tanggal Lahir : Palembang, 22 Mei 2013
Alamat : Jl. Panca, Palembang, Sumatera Selatan.
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 15 Juni 2021, Pukul 09.00 WIB

3.2 Anamnesis
Autoanamnesis (15 Juni 2021, Pukul 09.00 WIB)

3.2.1 Keluhan Utama


Timbul bintil bintil dan bercak merah dibadan sejak 2 minggu
yang lalu.

3.2.2 Keluhan Tambahan


Gatal

26
3.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit

Sejak 14 hari yang lalu ibu pasien mengatakan anaknya timbul bintil
bintil dan bercak kemerahan. Bintil muncul pertama kali pada pergelangan
tangan sebesar jerawat, sebesar biji jarum pentul, lalu bintil menyebar ke
sela sela jari tangan. Lalu pasien mengatakan keluhan disertai rasa gatal,
gatal terasa meningkat pada saat malam hari dan gatal terasa berkurang
apabila digaruk, pasien mengatakan setelah di garuk muncul cairan
berwarna bening dari bintil yang pecah tersebut, pasien mengaku belum
pernah berobat sebelumnya.
2 hari yang lalu berubah dari warna kulit hingga menjadi kemerahan
dan bintil semakin menyebar seluruh badan pasien, kemudain timbul
koreng dari bintil yang pecah berwarna seperti madu, pasien juga
mengatakan teraba sisik pada bagian gatal. Sisik berwarna putih seperti
lilin. Pasien mengatakan keluhan baru pertama kali dirasakan dan tidak
memiliki Riwayat alergi seperti asma dan juga rhinits lalu pasien juga
menyangkal pernah mengkonsumsi obat jangka panjang. Pasien juga tidak
memelihara kucing atau anjing dirumahnya. Kemudian pasien tinggal di
asrama pondok pesantren dan memiliki teman yang mempunyai keluhan
yang sama dalam satu kamar, pasien memiliki kebiasaan saling meminjam
pakaian dengan teman yang menderita dengan keluhan yang sama, pasien
mengaku sering melakukan aktivitas seperti berolahraga dengan teman
yang mempunyai keluhan yang sama. Pasien mencuci pakaian di tempat
yang telah di sediakan di pesantren dengan teman temanya, sprei di cuci
dalam satu kali seminggu dan Kasur dijemur dalam satu kali seminggu.
Pasien mengatakan di keluarga tidak ada yang memilik keluhan yang
sama, pasien sering main diluar tanpa menggunakan sandal, pasien sering
berkeringat dan tidak pernah mengelap keringatnya, pasien tidak langsung
mandi setelah berkeringat, pasien mengatakan bahwa ia sering
menggunakan pakaian yang tidak menyerap keringat, pasien juga tidak
pernah mencuci tangan setelah bermain di luar. Pasien mengatakan
sebelumnya belum pernah berobat ke dokter, keluarga pasien juga tidak
memiliki Riwayat alergi seperti asma dan juga rhinits lalu pasien juga
menyangkal pernah mengkonsumsi obat jangka panjang. Pasien
27
mengatakan sebelumnya belum pernah berobat ke dokter 4.6

3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat menderita keluhan serupa sebelumnya disangkal. Riwayat
memiliki penyakit endokrin seperti diabetes mellitus sebelumnya
disangkal. Riwayat memiliki penyakit autoimun, HIV AIDS sebelumnya
disangkal. Pasien tidak mengkonsumsi obat kortikosteroid jangka panjang.
Keluhan baru pertama kali dirasakan.

3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat anggota keluarga memiliki keluhan yang sama disangkal.
Riwayat anggota keluarga memiliki penyakit autoimun disangkal. Riwayat
memiliki penyakit diabetes mellitus sebelumnya disangkal.

3.2.6 Riwayat Sosioekonomi dan Personal Higine


Pasien mandi dua kali dalam sehari. Saat pasien sedang beraktivitas
seperti berolahraga, lalu mengeluarkan keringat pasien tidak langsung
menggantikan mengelap keringat dan mandi. Pasien mengaku saling
menggunakan barang pribadi secara bersama-sama dengan orang lain (mis.
Pakaian, celana dalam, handuk). Pasien tinggal di lingkungan asrama
pesantren.

3.3. Pemeriksaan Fisik

3.3.1 Status Generalisata


Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Berat Badan : 26 kg
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Suhu : 36,5 C
Pernapasan : 21x/menit

28
Keadaan Spesifik
Kepala : Normochepalli
Wajah : Simetris, tidak terdapat kelainan
Mulut : Tidak terdapat kelainan
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thoraks : Simetris, vesikuler (+/+) BJ I, II Normal
Punggung : Tidak terdapat kelainan

Abdomen : Tidak terdapat kelainan


Ekstremitas : Tidak terdapat kelainan

3.4 Status Dermatologikus

Pustul 1

Pustul 2

Erosi

Gambar 1. Regio carpalis dextra


Pada regio carpalis dextra terdapat pustul eritematosa, batas tegas, multiple, irregular,
0,2x 0,3-0,4, diskret hingga konfluens disertai erosi eritematosa dan kanalikuli miliar,
batas tegas, soliter, irregular, 0,2 x 0,4, diskret.

29
Papul 1

Papul 2

Erosi

Gambar 2. Regio antebrachii posterior


Pada regio antebrachii posterior dextra et sinistra terdapat papul eritematosa, batas
tegas, multiple, irregular, ukuran 0,5 dan 0,3 x 0,5, diskret hingga konfluens disertai
erosi eritematosa, batas tegas, soliter, irregular, ukuran 0,2 x 0,4, diskret.

Makula 2

Makula 1

Gambar 3. Regio inter digiti I-II dextra et sinistra

Pada regio inter digiti I-II dextra et sinistra: makula eritem, batas tegas, multiple,
irregular, miliar, diskret.

30
Papul

Erosi

Makula

Gambar 4. Regio palmaris dextra et sinistra

Pada regio palmaris dextra et sinistra terdapat macula eritem, papul, berbatas tegas,
multiple, irregular, polisiklik, diskret, sebagian ditutupi oleh skuama berwarna putih
disertai erosi eritem, batas tegas, soliter, irregular, lentikular, diskret.

Krusta

Papul

Gambar 5. Regio dorsum manus dextra et sinistra

Pada regio dorsum manus dextra et sinistra terdapat papul, multiple, irregular, miliar,
diskret, sebagian ditutupi oleh skuama berwarna putih disertai krusta, multiple,
irregular, polisiklik, miliar hingga lentikular, diskret.

31
Makula

Papul

Gambar 6. Regio femoralis dextra et sinistra


Pada regio femoralis dextra et sinistra, regio genus dextra et sinistra terdapat makula
eritem, papul, multiple, bulat hingga irregular, miliar hingga lentikular, polisiklik,
diskret.

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Tes yang dapat dilakukan berupa:

1. Tes kerokan kulit


2. Mengambil tungau dengan jarum
3. Uji tetrasiklin
4. Pemeriksaan IgE
5. Temuan kutu dan telur pada serat kapas pakaian

3.6 Diagnosis Banding


1. Skabies
2. Dermatitis Atopi
3. Pediculosis Humanus Corporis

3.7 Diagnosis Kerja


Skabies

3.8 Penatalaksanaan
A. Non-medikamentosa
a) Menjelaskan kepada pasien terkait penyakitnya.
b) Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.
c) Pengobatan yang diberikan dioleskan di kulit dan sebaiknya dilakukan
32
pada malam hari sebelum tidur.
d) Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan. Ganti pakaian,
handuk, sprei, yang digunakan, selalu cuci dengan teratur dan bila
perlu direndam dengan air panas
e) Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan
yang sama dan ikut menjaga kebersihan.6

B. Farmakologis
a) Sistemik:
Cetrizine 5 mg 1 kali sehari sebelum tidur

b) Topikal:
Permetrin krim 5 % 1 kali didiamkan selama 8-12 jam dalam 1 minggu

3.9 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad cosmetika : dubia ad bonam

33
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada laporan kasus membahas An. A, berusia 8 tahun pekerjaan pelajar


dan beragama Islam. Dalam menegakkan suatu diagnosis klinis dapat diperoleh
dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta status
dermatologikus pasien tersebut.
Pasien seorang laki-laki dengan usia 8 tahun. Menurut teori anak-anak
lebih rentan terkena skabies. Frekuensi yang sama pada pria dan wanita. Dan
lingkungan yang hangat, serta iklim yang lembab. Banyak faktor yang
menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain social ekonomi rendah,
hygiene yang buruk, hubungan seksual bersifat promiskuitas, kesalahan
diagnosis dan perkembangan dermografik serta ekologik.
Dari anamnesis didapatkan keluhan pasien yaitu sejak 14 hari yang lalu
timbul bintil bintil dan bercak kemerahan pada pergelangan tangan bercak
pertama kali muncul seukuran jerawat. Lalu bintil menyebar dan disertai gatal.
Gatal terasa berkurang bila digaruk. Menurut teori gatal pada skabies di
sebakan oleh aktivitas oleh S.Scabei dan akan menyebabkan lesi kulit akibat
garukan. Gatal terasa bertambah berat pada malam hari. Gatal berkurang
apabila digaruk hingga mengeluarkan cairan berwarna bening, keluhan gatal
sampai mengganggu tidur pasien. Menurut teori skabies akan terasa bertambah
gatal pada malam hari akibat yang disebabkan oleh aktivitas tungau yang lebih
tinggi pada saat suhu lebih lembab. Manifestasi klinis skabies adalah pruritus
nokturna adalah rasa gatal yang meningkat saat malam hari, adanya kunikulus
(terowongan) pada tempat predileksi.6
Sejak 2 hari yang terjadi perubahan warna bintil dari warna kulit hingga
lesi kemerahan dan semakin membesar dan disertai dengan rasa gatal yang dan
keinginan untuk menggaruk meningkat vesikel yang di garuk lalu pecah dan
menjadi krusta berwarna seperti madu, pasien mengatakan teraba sisik halus
seperti lilin pada bagian gatal. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk
yang primer dan skunder (polimofik).4
Keluhan baru pertama kali dirasakan. Riwayat menderita keluhan serupa
sebelumnya disangkal. Riwayat memiliki penyakit diabetes mellitus
34
sebelumnya disangkal. Riwayat memiliki penyakit autoimun disangkal. Pasien
tidak mengkonsumsi obat kortikosteroid dan antibiotik.
Riwayat anggota keluarga memiliki keluhan yang sama disangkal.
Riwayat anggota keluarga memiliki penyakit autoimun disangkal. Riwayat
memiliki penyakit endokrin seperti diabetes mellitus sebelumnya disangkal.
Pasien memiliki riwayat kontak dengan temannya yang menderita keluhan
yang sama, pasien juga memiliki kebiasaan saling meminjam pakaian dan
handuk dengan temannya tersebut. Skabies menyebar melalui kontak langsung
ataupun kontak dengan peralatan yang terkontaminasi, dan dapat mengalami
eksaserbasi karena adanya oklusi.
Pada saat melakukan aktivitas seperti bermain diluar pasien jarang
menggunakan sandal. Bahan pakaian yang digunakan pasien yaitu bahan katun
dan tidak menyerap keringat. Disamping itu pasien juga memiliki kebiasaan
apabila berkeringat pasien tidak langsung mengelap keringatnya dan tidak
langsung mandi, pasien memiliki kebiasaan saling meminjam pakaian dan
handuk dengan temannya yang memiliki keluhan yang sama, pasien juga
sering melakukan kontak fisik dengan temannya tersebut. Pasien mencuci
pakaian di tempat yang telah di sediakan di pesantren dan sprei dicuci dalam
satu kali seminggu dan Kasur dijemur dalam satu kali seminggu, pasien juga
tidak pernah mencuci tangan setelah bermain dan belum pernah berobat ke
dokter
Terjadinya penularan melalui 2 cara yaitu kontak langsung (kontak kulit
dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur Bersama dan hubungan seksual.
Kontak tak langsung (melalui benda) misalnya pakaian, handuk, sprei,
bantal dan lain lain.
Faktor predisposisi Skabies dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko
seperti rendahnya tingkat ekonomi, higienitas yang buruk, hunian padat,
promiskuitas seksual, tingkat pengetahuan, usia dan kontak dengan penderita
baik langsung maupun tidak langsung.6
Dilihat dari pemeriksaan fisik dari keadaan umum dan keadaan spesifik
semua dalam batas normal. Pada status dermatologikus - Pada regio carpalis
dextra terdapat pustul eritematosa, batas tegas, multiple, irregular. Pada regio
antebrachii posterior dextra et sinistra terdapat papul eritematosa, batas tegas,
multiple, irregular, disertai erosi eritematosa, batas tegas, soliter, irregular. Pada
35
regio inter digiti I-II dextra et sinistra: makula eritem, batas tegas, multiple,
irregular, miliar, diskret. Pada regio palmaris dextra et sinistra terdapat macula
eritem, papul, berbatas tegas, multiple, irregular, polisiklik, diskret, sebagian
ditutupi oleh skuama berwarna putih disertai erosi eritem, batas tegas, soliter,
irregular, lentikular, diskret. Pada regio dorsum manus dextra et sinistra
terdapat papul, multiple, irregular, miliar, diskret, sebagian ditutupi oleh
skuama berwarna putih disertai krusta, multiple, irregular, polisiklik, miliar
hingga lentikular, diskret dan pada regio femoralis dextra et sinistra, regio genus
dextra et sinistra terdapat makula eritem, papul, multiple, bulat hingga irregular,
miliar hingga lentikular, polisiklik, diskret.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu tes tinta terowongan. Tes tersebut
diawali dengan meneteskan tinta cina pada papula skabies yang merupakan
massa padat menonjol di permukaan kulit bagian stratum korneum dan
berwarna merah yang selanjutnya segera dihapus menggunakan alkohol. Tinta
cina yang telah dihapus tersebut akan membentuk terowongan yang merupakan
jejak dari S. scabiei. Jejak terowongan akan terlihat sebagai garis yang
berkelok-kelok atau zig-zag.6

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan


statu dermatologikus maka diagnosis kerja kasus ini dapat lebih mengarah
ke diagnosis skabies, dermatitis atopi dan pediculosis humanus corporis.
Diagnosis banding dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

36
Tabel 1. Perbandingan teori dan kasus

Teori Kasus
Epidemiologi Skabies lebih sering pada anak anak Pasien adalah anak
dibandingkan dengan orang dewasa. Laki laki berusia 8 tahun
Frekuensi yang sama pada pria dan
wanita

Faktor Faktor predisposisi Skabies dapat Pada saat melakukan


Prediposisi dipengaruhi oleh beberapa faktor aktivitas fisik seperti

risiko seperti rendahnya tingkat bermain di luar pasien tidak


ekonomi, higienisitas yang buruk, pernah menggunakan sandal
pada saat berkeringat
hunian padat, promiskuitas seksual,
pasien juga tidak langsung
tingkat pengetahuan, usia dan
mengelap keringat dan
kontak dengan penderita baik
tidak langsung mandi.
langsung maupun tidak langsung Bahan pakaian pasien
bahan yang tidak menyerap
keringat pasien sering
saling meminjam pakaian
dengan teman yang
menderita keluhan yang
sama dan sering melakukan
kontak fisik dengan teman
yang memiliki keluhan
yang sama

37
Gambaran Manifestasi Klinis Skabies adalah Timbul bintil bintil disertai
klinis pruritus nokturna yaitu gatal yang bercak kemerahan di
meningkat saat malam hari lalu pergelangan tangan kanan
penyakit ini menyerang sekelomnpok disertai rasa gatal yang
manusia seperti di dalam pondok lalu meningkat pada malam hari
terdapat kunikulus (terowongan) pada lalu bintil menyebar ke sela
tempat predileksi yang berwarna putih sela jari tangan dan kaki .
atau keabuabuan dengan rata rata Terjadi perubahan warna
Panjang 1cm berbentuk zigzag bintil yang awalnya
berwarna kulit berubah
menjadi lesi kemerahaan
dan bintil yang pecah
menjadi krusta berwarna
seperti madu

Tabel 2. Perbandingan diagnosis banding pada kasus

Skabies Dermatitis Atopi Pediculosis


Humanus Corporis

Definisi Skabies adalah Dermatitis Infeksi kulit


atopik
penyakit kulit (DA) yang disebabkan
adalah
menular akibat peradangan oleh pediculus
kulit
humanus var
infestasi dan kronis residif
corporis
sansitisasi tungau disertai gatal yang
sarcoptes scabiei var umumnya sering

hominis dan terjadi selama masa


bayi dan anak,
produknya.
sering berhubungan
dengan peningkatan
kadar IgE dalam
serum dan riwayat
atopi pada penderita
atau keluarganya

38
Etiologi Skabies atau penyakit -Disfungsi sawar Pediculus humanus
kudis merupakan kulit var corporis 2 jenis
penyakit kulit yang -Immunopatologi kelamin jantan dan
disebabkan oleh -Alergen dan betina Panjang 1,2
infestasi dan sensitisasi superantigen – 4,2 mm den lebar
terhadap Sarcoptes -predisposisi genetik setengah dari
scabiei var.hominis. -faktor psikologis panjangnya

Epidemiologi laki-laki : perempuan Pada semua usia, Penyakit ini


(1:1) Selama masa bayi biasanya menyerang
Usia: Anak-Anak dan anak hingga orang dewasa
dewasa Tidak ada
Iklim : daerah tropis terutama pada orang
perbedaan
antara laki-laki dan dengan hygiene
perempuan yang buruk,
misalnya
pengembara,
disebabkan mereka
jarang mandi atau
jarang menganti dan
mencuci pakaian.
Oleh karena itu
penyakit ini sering
disebut penyakit
vagabond

39
Gambaran Manifestasi Klinis Manifestasi Klinis Manifestasi Klinis
klinis Skabies adalah pruritus
DA
Pediculus
nokturna yaitu gatal ialah gatal, dapat
Humanus var
yang meningkat saat hilang timbul
corporis adalah
malam hari lalu sepanjang hari
pruritus
penyakit ini menyerang dan biasanya
parah.Temuan
sekelomnpok manusia lebih hebat pada
dermatologis pada
seperti di dalam malam hari.
infestasi kutu
pondok lalu terdapat
Penderita akan
kunikulus tubuh bervariasi
menggaruk
(terowongan) pada tetapi mencakup
sehingga timbul
tempat predileksi yang area pioderma,
bermacam-
berwarna putih atau makula
macam kelainan
keabuabuan dengan eritematosa,
rata rata Panjang 1cm kulit
bintik, dan
berbentuk zigzag berupa papul
hemoragik.
likenifikasi,
eritema, erosi,
ekskoriasi,
eksudasi,krusta.
Gatal hebat saat
beristirahat udara
panas, berkeringat

40
Pemeriksaan Lokasi: pada DA infantil Lokalisasi: daerah
Kulit pergelangan tangan, (2 bulan – 2 badan ditemukan
punggung tangan, tahun) di wajah kelainan berupa
telapak tangan sela sela bekas bekas
dan kedua pipi
jari dan tungkai bawah garukan dengan
DA anak, fosa
Efloresensi: macula garukan yang lebih
cubiti, poplitea
eritematosa, berbatas intensif terkadang
pergelangan
tegas, papul terjadi infeksi
tangan, Kelopak
eritematosa berbatas sekunder dan
tegas millier ireguller mata, leher. terjadi pembesaran
diskret hingga DA remaja dan kelenjar getah
konfluens disertai erosi dewasa tangan, bening regional
, terdapat vesikel jari, pergelangan
eritematosa batas tangan, bibir,
tegas, iregguler, leher, kulit
diskret Jika kronik
vesikel pecah menjadi
krusta

Pemeriksaan Tes tinta cina yang Menemukan kutu


Pemeriksaan kadar dan telur pada serat
Penunjang telah di hapuskan akan
IgE dan uji Kulit pakaian
membentuk
terowongan dengan
jejak dari S.Scabiei
berbentuk zigzag

41
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan
status dermatologikus, maka pada kasus ini dapat ditegakkan diagnosis kerja
Skabies
Penatalaksanaan non-medikamentosa pertama yaitu menjelaskan kepada
pasien bahwa penyakit ini disebabkan oleh tungau yang menular melalui
kontak langsung dan tak langsung, meminta pasien untuk menjaga kebersihan
dengan mandi secara teratur setiap hari. Semua pakaian, seprei, dan handuk
yang telah digunakan harus dicuci secara teratur dan bila perlu direndam
dengan air panas. Dan untuk tidak lagi saling meminjam pakaian dengan temen
Demikian pula halnya dengan teman satu pondok yang berisiko tinggi untuk
tertular, juga harus dijaga kebersihannya dan untuk sementara waktu
menghindari terjadinya kontak langsung. Selain itu juga ditekankan untuk
mengobati semua pondok secara serentak. Penatalaksanaan khusus dengan
memberi obat antiskabies. Pemilihan obat berdasarkan efektivitas dan potensi
toksisitas obat serta cara penggunaan yang tepat.6
Untuk pengobatan medikamentosa yang sesuai dengan teori yaitu
diberikan berupa obat topika untuk membasmi skabies, yaitu belerang endap
atau sulfur presitatum dengan kadar 4-20%, emulsi benzil benzoat 20-25%,
gama benzena heksa klorida atau gameksan 1%, krotamiton 10% dan permetrin
5% dalam krim.
Dari kelima obat tersebut, dipilih obat yang sesuai dengan syarat obat
skabies yaitu efektif terhadap semua stadium tungau, tidak menimbulkan iritasi
dan tidak toksik, tidak berbau atau kotor serta tidak merusak pakaian dan
mudah diperoleh serta harganya yang murah. Obat tersebut adalah permetrin
5% dalam krim, dosis tunggal yaitu oleskan dikulit dari leher hingga kelseluruh
tubuh pada malam hari karena obat ini kurang toksik jika dibandingkan
gameksan dan obat lainnya, efektifitasnya sama. Aplikasi hanya sekali dan
dihapus setelah 8-12jam dioleskan sebelum tidur kemudian dibilas keesokan
harinya lalu oleskan satu kali seminggu. Pengobatan skabies dilakukan pada
malam hari karena aktivitas tungau penyebab skabies ini meningkat pada suhu
yang lembab dan panas yaitu pada malam hari.Permetrin. Tersedia dalam
bentuk krim 5%, merupakan obat antiskabies yang relatif baru. Sifat

42
skabisidnya sangat baik, merupakan sintesapiretroid, aman karena efek
toksisitasnya terhadap mamalia sangat rendah, dan kemungkinan keracunan
karena salah penggunaan sangat kecil. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit
obat yang diabsorbsi dan obat dimetabolisme secara cepat. Belum pernah
dilaporkan resistensi terhadap permetrin. Cara pemakaian dengan dioleskan ke
seluruh tubuh, didiamkan 8-12 jam, kemudian dicuci bersih dan dapat diulangi
1 minggu kemudian apabila belum sembuh. Permetrin merupakan obat pilihan
utama untuk semua usia, tetapi beberapa kepustakaaen menganjurkan untuk
tidak diberikan pada bayi kurang dari 2 bulan, wanita hamil,dan ibu
menyusui.11
Cetrizine, obat ini tidak mengalami metabolisme, mulai kerjanya lebih cepat
dari pada obat yang sejenis. Efeknya antara lain menghambat fungsi eosinofil,
menghambat pelepasan histamin dan prostaglandin Cetirizin tidak
menyebabkan aritmia jantung, namun mempunyai sedikit efek sedasi sehingga
bila dibandingkan dengan terfenadin, astemizol dan loratadin obat ini lebih
rendah. Dosis cetrizine untuk dewasa adalah 5- 10 mg. Pemberian 1 x1 hari
dikarnekan masa kerja cetrizine 12-24 jam. Ceitrizine merupakan obat
antihistamin generasi keduia yang memiliki efek sedatif lebih rendah dari
generasi pertama. Pemilihan citrazine dibandingkan obat lain pada generasi
kedua seperti loratadine, karena estimasi efek kerja setelah menggunakan
cetrizine lebih cepat dibandingkan lotradine. Sementara tidak menggunakan
asetamizo atau loratadine karena kedua efek kerja obat tersebut lebih lambat.
Cetrizine juga tidak menyebabkan efek aritmia jantung.
Prognosis pada penyakit skabies ini baik jika diterapi adekuat, terapi
meliputi nonmedika mentosa dan medika mentosa. Pasien juga perlu untuk
menghindari faktor predesposisi, berupa menjaga higenitas individu dan
lingkungan, mencuci pakaian, handuk, sprei yang digunakan dengan air panas
atau direndam kemudian dijemur dibawah sinar matahari, Prognosisnya adalah
baik berikut ini adalah penjabaran prognosisnya quo ad vitam dan quo ad
fungsional adalah bonam karena predeleksi penyakit skabies tidak mengancam
jiwa dan untuk quo ad sanationam adalah bonam karena berdasarkan kepatuhan
pasien dalam pengobatan, serta diperlukan juga pengibatan kepada keluarga
pasien bila mengalami keluhan yang sama.17

43
BAB V
KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis banding pada


kasus ini yaitu Skabies, Dermatitis Atopi, Pediculus Humanus Corporis dan
diagnosis kerja pada kasus adalah Skabies.
2. Penyebab Skabies adalah infestasi Sarcoptes Scabiel var hominis
3. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada skabies adalah tes tinta
terowongan.
4. Pada terapi non medikamentosa yang terpenting adalah menjelaskan kepada
pasien bahwa penyakit scabies ini adalah penyakit yang menular, kemudian
menerangkan pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat
tinggal.edukasi pasien berkaitan tentang penyakitnya, pemberian Cetirizine
per oral 1x5 mg/ hari sebelum tidur selama 1 minggu dan diberikan terapi
topikal permethrin 5% 1x1 selama 1 minggu

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Burkhart CG, Burkhart CN, Lehmann PF. Acne: A review of immunologic and
microbiologic factors. Postgrad Med J. 1999;75(884):328–31.

2. Ratnasari AF, Sungkar S. Prevalensi Skabies dan Faktor-faktor yang


Berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur. eJournal Kedokt Indones. 2014;2(1).

3. RISKESDAS 2013, B. P. dan P.K. K. K. R. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Republik Indonesia.(2013).

4. Boediardja SA, Handoko RP. Skabies.In: Menaldi Sr L, Bramono Ku,


IndriatmiWr, editors. IlmuPenyakitKulit dan Kelamin.Edisiketujuh.Jakarta: FK
UI,2015: 137-140.

5. Naftassa Z, Putri TR. Hubungan Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan Dan


Pengetahuan Terhadap Kejadian Skabies Pada Santri Pondok Pesantren Qotrun
Nada Kota Depok. Biomedika. 2018;10(2):115–9.

6. Adhi, Djuanda,2017. IlmuPenyakitKulit dan Kelamin, Edisi 7 Bagian


IlmuPenyakitKulitdanKelamin. Fakultaskedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta

7. Ridwan AR, Sahrudin S, Ibrahim K. Hubungan Pengetahuan, Personal Hygiene,


Dan Kepadatan Hunian Dengan Gejala Penyakit Skabies Pada Santri Di Pondok
Pesantren Darul Muklisin Kota Kendari 2017. J Ilm Mhs Kesehat Masy Unsyiah
[Internet]. 2017;2(6):1–8. Tersedia pada:
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JIMKESMAS/article/view/2914

8. Cordoro K.M., &Iston D.M. Skabies. In: Hogan D et 1. al., eds.eMedicine World
Medical Library[online]. 2012 (http:www.emedicine.com/derm/topic 382.htm,
accessed 13 April 2013).

9. Chosidow O. Skabies. N Engl J Med2006; 354: 1718–1727.

10. Ronny PH. Skabies. Dalam: Adhi D, Mochtar H, Siti A, Editor.


IlmuPenyakitKulit dan KelaminEdisiKeenam. Jakarta: BalaiPenerbit
FKUI;2010. hlm. 122-125.

45
11. Centers for Disease Control Prevention; 2010 [diaksestanggal 30 Oktober 2015].
Tersediadari:http://www.cdc.gov/parasites/skabies/health_professionals/meds.ht
ml.

12. Boediardja, Aisah S.2016. Dermatitis Atopik. dalam Menaldi S.L, et al.2016. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi Keenam. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.Hal167-179

13. Bonilla DL, Durden LA, Eremeeva ME, Dasch GA. The biology and taxonomy
of head and body lice--implications for louse-borne disease prevention. PLoS
Pathog. 2013;9(11):e1003724.

14. Sangaré AK, Doumbo OK, Raoult D. Management and Treatment of Human
Lice. Biomed Res Int. 2016;2016:8962685.

15. Ko CJ, Elston DM. Pediculosis. J Am Acad Dermatol. 2004 Jan;50(1):1-12; quiz
13-4.

16. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.2008.Farmakologi dan Terapi


Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

46

Anda mungkin juga menyukai