Anda di halaman 1dari 19

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan.....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................3
A. Definisi peritonitis..................................................................................................3
B. Patofisilogi peritonitis............................................................................................3
C. Penatalaksanaan peritonitis....................................................................................5
D. Terapi diet pada pasien peritonitis.........................................................................8
E. Definisi gagal ginjal kronis............................................................................... ....11
F. patofisiologi gagal ginjal kronis.............................................................................11
G. Penatalaksanaan gagal ginjal kronis......................................................................12
H..Terapi diet pada pasien gagal ginjal kronis............................................................13
BAB III PENUTUP....................................................................................................16
A. Simpulan................................................................................................................16
B. Saran.......................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................18

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kondisi kritis merupakan suatu kondisi krusial yang memerlukan penyelesaian
atau jalan keluar dalam waktu yang terbatas. Pasien kritis adalah pasien dengan
disfungsi atau gagal pada satu atau lebih sistem tubuh, tergantung pada
penggunaan peralatan monitoring dan terapi. Pasien dalam kondisi gawat
membutuhkan pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif. Suatu
perawatan intensif yang menggabungkan teknologi tinggi dengan keahlian khusus
dalam bidang keperawatan dan kedokteran gawat darurat dibutuhkan untuk
merawat pasien yang sedang kritis (Vicky, 2011).
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri
(instalasi dibawah direktur pelayanan), dengan staf dan perlengkapan yang khusus
yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang
menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang potensial mengancam
nyawa. ICU menyediakan sarana-prasarana serta peralatan khusus untuk
menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan ketrampilan staf medik,
perawat, dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan
tersebut (Kemenkes, 2011).
Pasien kritis dengan perawatan di ruang ICU (Intensive Care Unit) memiliki
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Mengenali ciri-ciri dengan cepat dan
penatalaksanaan dini yang sesuai pada pasien beresiko kritis atau pasien yang
berada dalam keadaan kritis dapat membantu mencegah perburukan lebih lanjut
dan memaksimalkan peluang untuk sembuh (Gwinnutt, 2006 dalam Jevon dan
Ewens, 2009). Comprehensive Critical Care Department of Health-Inggris
merekomendasikan untuk memberikan perawatan kritis sesuai filosofi perawatan
kritis tanpa batas (critical care without wall), yaitu kebutuhan pasien kritis harus
dipenuhi di manapun pasien tersebut secara fisik berada di dalam rumah sakit
(Jevon dan Ewens, 2009). Hal ini dipersepsikan sama oleh tim pelayanan
kesehatan bahwa pasien kritis memerlukan pencatatan medis yang
berkesinambungan dan monitoring penilaian setiap tindakan yang dilakukan.
Dengan demikian pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif oleh

1
karena dengan cepat dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau
terjadinya penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya (Rab, 2007). Pada
makalah ini dibahas mengenai patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada
kasus kritis yang diambil yaitu peritonitis dan gagal ginjal kronis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari peritonitis?
2. Bagaimana patofosiologi peritonitis?
3. Bagaimana penatalaksanaan peritonitis?
4. Bagaimana diet pada pasien peritonitis?
5. Apa definisi dari gagal ginjal kronis?
6. Bagaimana patofosiologi gagal ginjal kronis?
7. Bagaimana penatalaksanaan gagal ginjal kronis?
8. Bagaimana terapi diet pada pasien gagal ginjal kronis?

C. Tujuan
Tujuan dari pebuatan makalah ini antara lain:
a. Mahasiswa mampu memahami bagaimana patofosiologi peritonitis
b. Mahasiswa juga diharapkan mampu memahami bagaiman penatalaksanaan
peritonitis
c. Mahasiswa juga diharapkan untuk memahami bagaimana diet pada pasien
peritonitis
d. Mahasiswa mampu memahami bagaimana patofosiologi gagal ginjal
kronis
e. Mahasiswa juga diharapkan mampu memahami bagaiman penatalaksanaan
gagal ginjal kronis
f. Mahasiswa juga diharapkan untuk memahami bagaimana diet pada pasien
gagal ginjal kronis

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum, lapisan membrane serosa
rongga abdomen dan meliputi visera yang merupakan penyulit berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronik / kumpulan tanda dan
gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular
dan tanda – tanda umum inflamasi. (Santosa, Budi. 2005).
Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( lapisan membran serosa
rongga abdomen) dan organ didalamnya (Muttaqin & Sari, 2011). Menurut
Jitwiyono dan Kristiyanasari (2012) Peritonitis adalah peradangan pada
peritoneum, suatu lapisan pada endothelial tipis yang kaya akan vaskularisasi
dan aliran limpa.
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada
selaput organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih
yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi
peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan
patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan  yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis.
Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus
(secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada
intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis. (Fauci et al,
2008).
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, suatu lapisan endothelial
tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa. (Soeparman, dkk. 2013).

B. Patofisiologi
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen kedalam
rongga abdomen, biasanya diakibatkan dari inflamasi, infeksi, iskemia,
trauma atau perforasi tumor (Dahlan, 2004). Awalnya mikroorganisme masuk

3
kedalam rongga abdomen adalah steril tetapi dalam beberapa jam terjadi
kontaminasi bakteri.akibatnya timbul edema jaringan dan pertambahan
eksudat. Cairan dalam rongga abdomen menjadi keruh dengan bertambahnya
sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak dan darah.Respon
yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotilitas, di ikuti oleh ileus
paralitik dengan penimbunan udara dan cairan didalam usus besar.Timbulnya
peritonitis Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara
cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut
menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera
gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding
abdomen mengalami oedem.Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh
darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.Pengumpulan cairan didalam
rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra
peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia.Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum
peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen,
membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan
perfusi.Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis
umum.Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat terbentuk
antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.Peritonitis

4
adalah komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran
infeksi.Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa.Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara
perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. (Padila, 2012)

C. Penatalaksanaan Peritonitis
1. Konservatif
Indikasi terapi konservatif, yaitu infeksi terlokalisisr, mis: massa
appendiks, penyebab peritonitis tidak memerlukan pembedahan
(pankreatitis akut), penderita tidak cukup baik untuk dilakukan general
anestesi seperti pada orang tua dan komorbid, fasilitas tidak
memungkinkan dilakukannya terapi pembedahan.
a. Cairan intravena
Pada peritonitis terjadi pindahnya CIS ke dalam rongga
peritoneum, jumlah cairan ini harus diganti dengan jumlah yan sesuai.
Jika ditemukan toksisitas sistemik atau pada penderita dengan usia tua
dan keadaan umum yang buruk, CVP (central venous pressure) dan
kateter perlu dilakukan, balans cairan harus diperhatikan, pengukuran
berat badan serial diperlukan untuk memonitoring kebutuhan cairan.
Cairan yang dipakai biasanya Ringer Laktat dan harus diinfuskan
dengan cepat untuk mengoreksi hipovolemia mengembalikan tekanan
darah dan urin output yang memuaskan.
b. Antibiotik
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan
kemudian diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan
antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi
penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
c. Oksigenasi

5
Sangat diperlukan pada penderita dengan syok.Hipoksia dapat
dimonitor dengan pulse oximetry atau dengan pemeriksaan BGA.
d. Pemasangan NGT
Akan mengurangi muntah dan mengurangi resiko terjadinya
pneumonia aspirasi.
e. Nutrisi Parenteral
Pemberian analgetik, biasanya golongan opiat (i.v.) dan juga anti
muntah.
2. Definitif / Pembedahan
a. Tindakan Preoperatif
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus
mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah antara lain:
1) Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
2) Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
3) Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
4) Pemberian terapi cairan melalui I.V
5) Pemberian antibiotic
b. Tindakan Operatif
Terapi bedah pada peritonitis antara lain:
1) Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi.
Tipe dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar
penyakit dan keparahan infeksinya.
2) Pencucian ronga peritoneum dilakukan dengan debridement,
suctioning, kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian
dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang
nekrosis.
3) Debridemen yaitu mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan
fibrin.
4) Irigasi kontinyu pasca operasi.
c. Laparatomi
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan
dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal

6
digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen
dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi
ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat
patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi
peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup,
mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi. Pemberian
antibiotik diteruskan sampai dengan 5 hari post operasi terutama pada
peritonitis generalisata.
d.  Laparoskopi
Laparoskopi terbukti efektif dalam manajemen appendisitis akut
dan perforasi ulkus duodenal. Dan dapat juga dilakukan pada kasus
perforasi kolon, tetapi lebih sering dilakukan laparotomi.
Kontraindikasi pada penderita dengan syok dan ileus.
e. Lavase peritoneum dan Drainase
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu
dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Pemberian antiseptik
maupun antibiotik (tetrasiklin, povidone iodine) tidak dianjurkan
karena akan menyebabkan terjadinya adesi. Antibiotik diberikan
secara parenteral akan mencapai level bakterisidal dalam cairan
peritoneum.  Setelah lavase selsai dilakukan dilakukan aspirasi
seluruh cairan dalam rongga abdomen karena akan menghambat
mekanisme defens lokal. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya
tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat
menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain. Drainase (pengaliran)
pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan
segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna
pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal
fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak
dapat direseksi.
f. Terapi Post-Operatif

7
Tercapainya stabilitas hemodinamik dan perfusi organ yang baik
dalam hal ini perlu diperhatikan pemberian cairan dan suplai darah.
Pemberian antibiotik dilanjutkan 10 – 14 hari post operasi, tergantung
pada tingkat keparahan peritonitis. (LNG) Oral-feeding, diberikan bila
sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada
distensi abdomen.  

D. Terapi Diet Pasien Peritonitis


1. Tujuan diet :
a. Memberikan makanan sesuai kebutuhan
b. Mempertahankan kadar gula darah sampai normal/mendekati normal
c. Mempertahankan berat badan menjadi normal
d. Mencegah terjadinya kadar gula darah terlalu rendah yang dapat
menyebabkan pingsan
e. Mengurangi/ mencegah komplikasi (Depkes, 2013)
2. Terapi Diet
Menurut Axe Josh (2018), berikut adalah langkah-langkah diet untuk
membantu pasien pulih dari peritonitis :
a. Hindari makanan tinggi natrium, yang dapat memperburuk retensi
cairan. Ini termasuk sebagian besar makanan kemasan, makanan cepat
saji, makanan yang digoreng, makanan kaleng atau beku, sup, saus
botol, daging olahan dan bumbu. Biasanya pasien perlu mengurangi
asupan natrium makanan mereka menjadi sekitar 2.000 miligram per
hari atau kurang.
b. Makan berbagai buah dan sayuran untuk mendapatkan banyak
antioksidan. Beberapa makanan tinggi antioksidan termasuk buah-
buahan segar seperti beri, sayuran hijau, wortel, tomat, labu, paprika,
asparagus, sayuran laut, kakao, acai, teh hijau, dan sayuran lainnya.
c. Mengkonsumsi makanan tinggi vitamin B, termasuk protein hewani
berkualitas seperti daging atau ikan, telur, almond, kacang-kacangan
atau polong-polongan, sayuran berdaun hijau, dan biji-bijian.

8
d. Tingkatkan asupan makanan tinggi kalium, seperti pisang, alpukat,
kentang, dan sayuran hijau. Ini dapat membantu mengatur tekanan
darah dan kadar cairan.
e. Mengkonsumsi makanan probiotik seperti susu fermentasi (yogurt
atau kefir) atau sayuran untuk membantu memulihkan "bakteri baik"
di usus. Setelah minum antibiotik, ini dapat membantu pencernaan
dan meningkatkan pemulihan.
f. Batasi asupan makanan pemicu inflamasi seperti gula tambahan,
olahan biji-bijian, olahan minyak nabati, dan makanan kemasan yang
dibuat dengan natrium, zat aditif, dan pengawet.
g. Hindari kafein, alkohol, dan tembakau.
h. Menghilangkan Asupan Cairan Berlebih. Segera setelah peritonitis
didiagnosis, pasien perlu membatasi jumlah air dan cairan yang
dikonsumsi, tetapi saat Anda pulih, pasien harus minum 6-8 gelas air
yang disaring setiap hari untuk mencegah dehidrasi.
Menurut Sherman (2011), pasien peritonitis membutuhkan diet pasca
operasi. Diet pasca operasi adalah makanan yang diberikan kepada pasien
setelah menjalani pembedahan. Tujuan diet pasca operasi adalah untuk
mengupayakan agar status gizi pasien segera kembali normal untuk
mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh
pasien, dengan cara memberikan kebutuhan dasar (cairan, energi, protein),
mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi lain,
memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan, mencegah dan
menghentikan perdarahan. Diet yang disarankan adalah Makanan yang
mengandung cukup energi, protein, lemak, dan zat-zat gizi, bentuk
makanan disesuaikan dengan kemampuan penderita, menghindari
makanan yang merangsang (pedas, asam), suhu makanan lebih baik
bersuhu dingi, pembagian porsi makanan sehari diberikan sesuai dengan
kemampuan dan kebiasaan makan penderita.
Syarat diet pasca operasi adalah memberikan makanan secara
bertahap mulai dari bentuk cair, saring, lunak, dan biasa. Pemberian
makanan dari tahap ke tahap tergantung pada macam pembedahan dan

9
keadaan pasien, seperti pasca operasi kecil makanan diusahakan secepat
mungkin kembali seperti biasa atau normal. Pasca operasi besar makanan
diberikan secara berhati-hati disesuaikan dengan kemampuan pasien untuk
menerimanya.
Jenis diet dan indikasi pemberian diet adalah diet pasca-bedah I (DPB
I) selama enam jam sesudah operasi, makanan yang diberikan berupa air
putih, teh manis, atau cairan lain seperti pada makanan cair jernih.
Makanan ini diberikan dalam waktu sesingkat mungkin, karena kurang
dalam semua zat gizi. Selain itu diberikan makanan parenteral sesuai
kebutuhan. Diet ini diberikan kepada semua pasien pasca bedah pasca
operasi kecil yaitu setelah sadar dan rasa mual hilang dan pasca operasi
besar yaitu setelah sadar dan rasa mual hilang serta ada tanda-tanda usus
mulai bekerja.
Makanan yang diberikan diet pasca-bedah II (DPB II) adalah
makanan bentuk cair kental, berupa kaldu jernih, sirup, sari buah, sup,
susu, dan puding rata-rata delapan sampai 10 kali sehari selama pasien
tidak tidur. Jumlah cairan yang diberikan tergantung keadaan dan kondisi
pasien. Selain itu dapat diberikan makanan parenteral bila diperlukan. Diet
pasca-bedah II diberikan untuk waktu sesingkat mungkin karena zat
gizinya kurang. Makanan yang tidak boleh diberikan pada DPB II adalah
air jeruk dan minuman yang mengandung karbondioksida. Diet pasca-
bedah II diberikan kepada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau
sebagai perpindahan dari DPB I. Makanan yang diberikan diet pasca-
bedah III (DPB III) berupa makanan saring ditambah susu dan biskuit.
Cairan hendaknya tidak melebihi 2000 ml sehari. Selain itu dapat
memberikan makanan parenteral bila diperlukan. Makanan yang tidak
dianjurkan adalah makanan dengan bumbu tajam dan minuman yang
mengandung karbondioksida.
Diet pasca-bedah III diberikan kepada pasien pasca bedah besar
saluran cerna atau sebagai perpindahan dari diet pasca-bedah II. Makanan
yang diberikan pada diet pasca-bedah IV (DPB IV) berupa makanan lunak
yang dibagi dalam tiga kali makanan lengkap dan satu kali makanan

10
selingan. Diet Pasca-Bedah IV diberikan kepada pasien pasca operasi
kecil, setelah diet Pasca-Bedah I dan pasien pasca operasi besar, setelah
DPB III.
E. Definisi Gagal Ginjal Kronis
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan
sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa
penurunan glomerulus filtration rate (GFR) (Nahas & Levin,2010). CKD atau
gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal
mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar
(insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan
metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia
atau azotemia (Smeltzer, 2009)

F. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis


Ginjal mempunyai kemampuan nyata untuk mengkompensasi kehilangan
nefron yang persisten yang terjadi pada gagal ginjal kronik. Jika angka filtrasi
glomerolus menurun menjadi 5-20 ml/menit/1,73 m2, kapasitas ini mulai
gagal. Hal ini menimbulkan berbagai masalah biokimia berhubungan dengan
bahan utama yang ditangani ginjal.
Ketidakseimbangan natrium dan cairan terjadi karena ketidakmampuan
ginjal untuk memekatkan urin. Hiperkalemia terjadi akibat penurunan sekresi
kalium. Asidosis metabolik terjadi karena kerusakan reabsorbsi bikarbonat
dan produksi ammonia. Demineralisasi tulang dan gangguan pertumbuhan
terjadi akibat sekresi hormon paratiroid, peningkatan fosfat plasma
(penurunan kalsium serum, asidosis) menyebabkan pelepasan kalsium dan
fosfor ke dalam aliran darah dan gangguan penyerapan kalsium usus. Anemia
terjadi karena gangguan produksi sel darah merah, penurunan rentang hidup
sel darah merah, peningkatan kecenderungan perdarahan (akibat kerusakan
fungsi trombosit). Perubahan pertumbuhan berhubungan dengan perubahan
nutrisi dan berbagai proses biokimia
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa

11
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang
rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul
gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang
80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long,
1996, 368).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia
membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).

G. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronis


1. Konsumsi cairan, protein, dan fosfat:
a. Penatalaksanaan hiponatremia
Koreksi natrium dengan cairan isotonik, bila hiponatremia berat
dengan Natrium Chlorida 3% hipertonik.
b. Nutrisi
Selain penggantian cairan dan elektrolit, masukan diarahkan pada
pensuplaian pasien dengan kalori dalam bentuk karbohidrat dan
lemak. Pemberian protein 40-60 gram atau asam amino esensial.
Kalori 2000-3000 cal/hari.
2. Dialisis (pencucian darah)
3. Terapi farmakologi
a. Kontrol tekanan darah
1) Penghambat Enzim Konverting Angiotensin (ACE inhibitor) dapat

12
memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal, bila terdapat
peningkatan kreatinin >35% atau timbul hiperkalemia harus
dihentikan.
2) Penghambat kalsium
3) Diuretik
b. Untuk pasien diabetes melitus, kontrol gula darah, hindari
pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja
panjang. Target HbA1C untuk diabetes melitus tipe 1 yaitu 0,2
diatas nilai normal tertinggi, untuk diabetes melitus tipe 2 yaitu 6%.
c. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl dengan pemberian terapi
Epogen (Eritropoetin manusia rekombinan) diberikan untuk
memperoleh nilai hematokrit sebesar 33%-38%. Epogen diberikan
secara intravena atau subkutan 3 x seminggu
d. Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), kalsitrol
e. Koreksi asidosis metabolik dengan target HC03 20-22 mEq/l
f. Koreksi hiperkalemia
g. Kontrol dislipidemia dengan target LDL 100 mg/dl dianjurkan
golongan statin
h. Terapi ginjal pengganti.

H. Terapi Diet Gagal Ginjal Kronis


Diet adalah pengaturan pola makan dan menu makanan. Diet bagi
penderita ginjal bertujuan untuk menyeimbangkan kadar elektrolit, mineral,
dan cairan di dalam tubuh agar meringankan beban kerja ginjal yang telah
mengalami kerusakan dan penurunan fungsi. Diet pada orang dengan
penyakit ginjal kronis (PGK) perlu disesuaikan untuk menghindari malnutrisi
dan progresivitas PGK dengan cara mengatur kebutuhan metabolik dan
cairan. Intervensi diet pada PGK yang dapat dilakukan adalah intervensi
asupan protein, natrium dan cairan, kalium, fosfor, kalsium, vitamin D,
karbohidrat, lemak dan makanan yang mempengaruhi asam dan basa.
Mengutip dari Atmatsier (2006) pemberian diet pada pasien GGK
memiliki syarat:

13
1. Berkecukupan energi, 35 kkal/kg BB
2. Rendah Protein, yaitu 0,6-0,75 gr/kg BB. Sebaiknya mesti memiliki
tinggi biologik
3. Cukup lemak, yaitu 20-30% energi ditotalkan yang diperlukan.
Disasarkan lemak yang tidak memiliki jenuh ganda
4. Karbohidrat yang mencukupi, seperti yang dibutuhkan total energinya
yang didapatkan melalui protein dan lemak dibatasi
5. Natrium dikurangi jika riwayat tekanan, bengka, acites, oliguria, atau
anuria, natrium sebanyak1-3 gram
6. Kalium dibatasi (60-70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah >
5,5 mEq), oliguria, atau anuria
7. Jumalah pemasukan Cairan dibatasi sejumlah urine 24 jam juga
dijumlahkan keliuarnya cairan lewat keringat juga saat bernafas (kira
kira 500ml)
8. Vitamin yang terpenuhi, jika bias beri vitamin piridoksin, asam folat,
vitamin C dan D.

Tabel makanan untuk pasien gagal ginjal kronis


No Bahan Makanan Dibolehkan Tidak dibolehkan
1 Dari karbohidratnya Nasi, bihun, jagung, -
kentang, makaroni,
mie, tepung-tepungan,
singkong, ubi, selai,
madu, permen
2 Dari proteinnya Telur, daging, ikan, Kacangkacangan dan
ayam, susu Hasil olahannya,seperti
tempe dan tahu
3 Dari lemaknya Minyak jagung, Kelapa, santan, minyak
minyak kacang tanah, kelapa, mentega biasa dan
minyak kelapa sawit, lemak hewan
minyak kedelai,
margarim,dan mentega

14
rendah garam
4 Dari vitaminn dan Semua sayuran dan Sayuran dan buah tinggi
mineralnya buah, kecuali pasien kalium pada pasien dengan
dengan hiperkalemia hiperkalemia
dianjurkan yang
mengandung kalium
rendah/sedang

Menurut Nathania (2017) ada beberapa batasan-batasan konsumsi pada


pasien gagal ginjal kronis yaitu sebagai berikut.
1. Batasan asupan protein untuk PGK non-dialisis adalah 0.8
gr/kgBB/hari dan bila dalam dialisis adalah 1.2 – 1.4 gr/kgBB/hari,
dapat dipertimbangkan hingga 1.5 gr/kgBB/hari pada keadaan
hiperkatabolik
2. Batasan asupan protein perlu diperhatikan dan disesuaikan kembali
apabila ada tanda dan gejala dari malnutrisi
3. Batasan asupan natrium adalah < 2 gram per hari atau setara dengan 5
gram garam dapur (NaCl)
4. Batasan asupan kalium adalah 4.7 gram kalium per hari (120 mmol)
pada fungsi ginjal yang normal, risiko PGK ringan – sedang tanpa
adanya hiperkalemia dan < 3 gram kalium per hari pada PGK stadium
lanjut dan/atau hiperkalemia di atas 5.5 mmol/L
5. Batasan asupan fosfor adalah < 1000 mg per hari pada fungsi ginjal
yang normal atau dengan peningkatan risiko PGK, dan < 800 mg per
hari pada pasien PGK mulai dari stadium awal hingga pada perawatan
dengan dialisis
6. Batasan asupan kalsium pada PGK tanpa dialisis adalah 800 – 1000 mg
kalsium elemental per hari, dan bila dengan dialisis adalah < 800 mg
per hari
7. Rekomendasi jumlah kalori adalah 30 – 35 kkal/kgBB/hari dengan
lemak dan karbohidrat memenuhi 90% dari jumlah kalori ini karena
adanya diet rendah protein

15
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan makalah diatas maka dapat disimpulkan bahwa peritonitis
adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen
kedalam rongga abdomen, biasanya diakibatkan dari inflamasi, infeksi,
iskemia, trauma atau perforasi tumor. Penatalaksanaan penyakit peritonitis
adalah dapat melalui konservatif atau pembedahan, untuk farmakologi lebih
terfokus ke antinyeri dan antibiotik untuk menekan penyebaran infeksi.
Terapi diet untuk pasien peritonitis adalah sebelum dan setelah operasi.
Tujuan diet pasca operasi adalah untuk mengupayakan agar status gizi pasien
segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan dan
meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara memberikan kebutuhan
dasar (cairan, energi, protein), mengganti kehilangan protein, glikogen, zat
besi, dan zat gizi lain, memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan,
mencegah dan menghentikan perdarahan. Syarat diet pasca operasi adalah
memberikan makanan secara bertahap mulai dari bentuk cair, saring, lunak,
dan biasa.
Gagal Ginjal kronis (GGK) atau Chronic kidney disease (CKD)
didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi
secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana
kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan
keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (GFR). Gagal
ginjal kronis dimulai dengan adanya ketidakseimbangan natrium dan cairan
karena ketidakmampuan ginjal untuk memekatkan urin. Beban bahan yang
harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat
diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron
yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul
gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang

16
80% - 90%. Penatalaksanaan penyakit GGK adalah dengan konsumsi
cairan,protein fosfat, terapi farmakologi seperti kontrol tekanan darah, kontrol
diuretik, kontrol kalsium, serta dalisis, hingga pengganti ginjal. Diet bagi
penderita ginjal bertujuan untuk menyeimbangkan kadar elektrolit, mineral,
dan cairan di dalam tubuh agar meringankan beban kerja ginjal yang telah
mengalami kerusakan dan penurunan fungsi. Diet pada orang dengan
penyakit ginjal kronis (PGK) perlu disesuaikan untuk menghindari malnutrisi
dan progresivitas PGK dengan cara mengatur kebutuhan metabolik dan
cairan. Intervensi diet pada PGK yang dapat dilakukan adalah intervensi
asupan protein, natrium dan cairan, kalium, fosfor, kalsium, vitamin D,
karbohidrat, lemak dan makanan yang mempengaruhi asam dan basa.

B. Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini masyarakat dapat memahami
tentang patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada kasus kritis peritonitis
dan gagal ginjal kronis serta selain itu mahasiswa keperawatan juga dapat
menjadikan makalah ini sebagai pedoman dalam melakukan tatalaksana pada
pasien peritonitis dan gagal ginjal kronis.

17
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 volume
2. Jakarta: EGC. 2002.
Dahlan. M., Jusi. D., Sjamsuhidajat. R., 2000, Gawat Abdomen dalam Buku Ajar
Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
Gloria M. Bulechek, (et al).2013. Nursing Interventions Classifications (NIC) 6th
Edition. United States of America: Elsevier
Haryono, R. (2012). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Josh Axe. 2018. Peritonitis Causes & Symptoms + How to Get Your Health Back.
https://draxe.com/about-dr-josh-axe/. Diakses tanggal 14 Juni 2021
Kusuma, Hardi & Amin Huda Nurarif. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis
Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai
Kasus. Jogjakarta: Mediaction Jogja.
Mansjoer, Arif, DKK. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius
Molnar JA, Underdown MJ & Clark WA. Nutrition and chronic wounds. Adv
Wound Care (New Rochelle). 2014;1(3): 663-81.
Padila. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika
Sherman AR, Barkley M. Nutrition and wound healing. J Wound Care.
2011;20(8):357-67
Yasirin, M. 2014. Laporan Pendahuluan Peritonitis. Available on:
http://www.academia.edu/11562167/LAPORAN_PENDAHULUAN_PER
ITONITIS. Diakses tanggal 21 juni 2021.

18

Anda mungkin juga menyukai