Anda di halaman 1dari 20

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................3
A. Sosiokultural Dalam Konteks Asuhan Keperawatan Jiwa.................................3
B. Hasil Telaah Jurnal Sosiokultural Dalam Asuhan Keperawatan Jiwa...............6
BAB III SIMPULAN DAN SARAN..........................................................................16
A. Simpulan...........................................................................................................16
B. Saran.................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................17

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tugas keperawatan sering dipahami sebgai meraat manusia biopsikososial

yang cenderung kurang diapahami sebagai merawat tubuh, jiwa, dan roh (spirit).

Perawat meyakini manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-kultural berespon

terhadap suatu peruabahan yang terjadi antara lain karena gangguan kesehatan

dan penyimpangan pemenuhan kebutuhan kebutuhan. Perawat sebagai tenaga

kesehatan yang professional mempunyai kesempatan yang paling besar untuk

memberikan pelayan kesehatan khususnya pelayanan atau asuhan keperawatan

yang komperehensif dengan membantu klien memenuhi kebutuhan dasar yang

holistic. Perawat memandang klien sebagai makhluk bio-psiko-sosio-kultural

berespon secaar holistic dan unik terhadap perubahan kesehatan atau pada

keadaan krisis.

Dampak perkembangan jaman dan pengembangan dewasa ini juga menjadi

faktor peningkatan permasalahan kesehatan yang ada, menjadikan banyaknya

masalah kesehatan fisik juga masalah kesehatan mental/spiritual. Dengan

semakin berkembangnya kehidupan modernisasi disemua bidang kehidupan,

menimbulkan gejolak sosial yang cukup terasa dalam kehidupan manusia.

Terjadinya perang, konflik dan lilitan ekonomi berkepanjangan salah satu pemicu

yang menimbulkan stress, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa. Stresor

1
atau tekanan, kecemasan, perasaan jengkel, harus dihadapi oleh seseorang,

tekanan dapat menimbulkan kecemasan, perasaan tidak nyaman, perasaan ini

bisa diungkapkan baik secara adaptif (konstruktif) atau maladaptive.

Sosiokultural meruapakn salah satu penyebab stressor yang sering terjadi.

Pengaruh lingkungan yang tidak bagus menyebabkan sseseorang mengalami

stress. Apabila stress tersebut tidak diatasi dengan baik dengan mekanisme

koping yang baik pula maka akan depresi. Salah satu pengkajian yang dapat

dilakukan perawat jiwa yaitu menanyakan factor predisposisi sosiokultural

pasien dengan wawancara kepada klien mauoun pihak keluarga.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaiamanakah sosiokultural dalam konteks asuhan keperawatan jiwa?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui sosiokultural dalam konteks asuhan keperawatan jiwa.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Sosiokultural Dalam Konteks Asuhan Keperawatan Jiwa

Dalam setiap interaksi dengan pasien, perawat psikiatris harus menyadari

kehidupan pasien dan menyadari persepsinya mengenai sehat dan sakit. Perilaku

mencari bantuan, dan kepatuhan pada pengobatan. Perawat yang peka pada kultural

memahami pentingnya kekuatan social dan kultural bagi individu, mengenal

keunikan, dan mengabungkan informasi sosiokultural ke dalama suhan keperawatan.

Sosiokultural merupakan kebudayaan yang secara teknik ide atau tingkah laku yang

dapat dilihat maupun yang tidak terlihat. Disamping mempengaruhi pertubuhan dan

perkembangan kepribadian seseorang misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang

berlaku dalam kebudayaan tersebut. Yang termasuk dalam sosiokultural yaitu usia,

gender, pendidikan, pendapatan, okupasi, posisi social, latar belakang budaya,

keyakinan, politik, pengalaman social, dan tingkatan social.

Sosiokultural mempengaruhi faktor resiko dan faktor predisposisi yang

meyebabkan terjadinya stress pada individu dan juga mempengaruhi tipe dan sumber

individu untuk menghadapi stress. Perawat perlu tahu mengenai sosiokultural pasien

dikarenakan memberikan gambaran yang penting untuk asuhan keperawatan psikiatri

yang bermutu. Lingkungan social sangat mempegaruhi sikap individu dalam

mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung individu untuk berespon

asertif atau agresif. Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung melalui

proses sosialisasi.
1. Pengkajian yang harus diperhatikan dalam sosiokultural

Pengkajian dalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi

masalah kesehatan jiwa pasien sesuai dengan latar belakang budaya pasien. Yang

perlu diperhatikan dalam pengkajian sosiokultural yaitu:

a. Factor teknologi

Teknologi kesehatan memungkinkan individu memilih atau pendapat penawaran

menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat merlu mengkaji:

persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan

mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternative dan persepsi

klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalah

kesehatan saat ini.

b. Faktor agama dan falsafah hidup

Factor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah agama yang dianut, status

pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan

kebiasaan agama berdampak positif terhadap kesehatan.

c. Factor social dan keterikatan keluarga

Pada tahap ini perawat perlu mengkaji nama lengkap, nama panggilan, umur dan

tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan

dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga.

d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup

Nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh oenganut

budaya yang dianggap baik atau buruk. Yang perlu dikaji pada factor ini adalah:

posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan,
kebiasaan makanan, makan yang dipantang dlaam kondisi sakit, persepsi sakit

berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.

e. Factor ekonomi

Yang perlu dikaji pada tahap ini yaitu pekerjaan klien, pendapatan dan

pengeluaran klien.

f. Factor Pendidikan yaitu tingkat Pendidikan pasien.

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya

yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. (Giger

and Davidhizar, 1995).

Daftar beberapa diagnose keperawatan yang muncul pada pasien dengan

gangguan sosiokultural yaitu:

a. Resiko perilaku kekerasan berhubungan dengan lingkungan tidak teratur.

b. Gangguan interaksi social berhubungan dengan ketidakaturan atau kekacauan

lingkungan.

c. Ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai

yang diyakini

d. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur

3. Intervensi dan Implementasi

Perencanaan dan pelaksanaan dalam sosiokultural adalah suatu proses

keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu proses memilih
strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai

dengan latar belakang budaya klien.

Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan sosiokultural yaitu :

mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan

dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien

kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya

yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan.

a. Cultural care preservation/maintenance

1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang

proses melahirkan dan perawatan bayi

2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien

3) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat

b. Cultural care accomodation/negotiation

1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien

2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan

3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana

kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien

dan standar etik.

c. Cultual care repartening/reconstruction

1) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang

diberikan dan melaksanakannya


2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya

kelompok

3) Gunakan pihak ketiga bila perlu

4) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan

yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua

5) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan

Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masingmasing

melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan

budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat tidak

memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak percaya sehingga hubungan

terapeutik antara perawat dengan klien akan terganggu. Pemahaman budaya klien

amat mendasari efektifitas keberhasilan menciptakan hubungan perawat dan klien

yang bersifat terapeutik.

4. Evaluasi

Evaluasi asuhan keperawatan sosiokultural dilakukan terhadap keberhasilan

klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi

budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya

baru yang mungkin sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui

evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang

budaya klien.
Beberapa stressor sosiokultural yang juga bisa mempengaruhi mutu asuhan yaitu:

1. Keadaan yang merugikan

Kekurangan sumber sosioekonomi yang merugikan dasar untuk adaptasi

biopsikososial.

2. Steroetipe

Konsepsi depersonalisasi dari individu di dalam suatu kelompok.

3. Itolerans

Ketidaksediaan untuk menerima perbedaan pendapat untuk keyakinan orang lain

yang berasal dari latar belakang yang berbeda.

4. Stigma

Suatu atribut atau sifat yang melekat pada lngkungan social individu sebagai

sesuatu yang berbeda dan rendah.

5. Prasangka

Keyakinan yang tidak menyenangkan tentang individua tau kelompok dengan

tidak memperlihatkan pengethauan, pikiran, atau alas an.

6. Diskriminasi

Perlakuan yang berbeda dari individua tau kelompok yang tidak berdasarkan atas

kebaikan yang sebenarnya.

7. Rasisme

Keyakinan tentang perbedaan yang terdapat antar ras yang menentukan

pencapaian indivu dan Bahasa ras yang satu lebih tinggi.


B. Hasil Telaah Jurnal Sosiokultural Dalam Asuhan Keperawatan Jiwa

1. Jurnal “Hubungan Sosial Budaya Dengan Kejadian Stress pada Lansia


di PSanti Sosial TresnaWerdha Nirwana Puri Samarinda”

a. Hasil :

Berdasarkan telaah jurnal (Muhammad Zihad Ramadhani & Amalia, 2019)

mengenai hubungan sosial budaya dengan kejadian stress pada lansia di panti sosial

tresnawerdha nirwana puri samarinda, didapatkan hasil yaitu sosial budaya pada

lansia di Panti Sosial Werdha Tresna Nirawana Puri menunjukkan bahwa pada

variable sosial budaya dengan pembagian pada lansia yaitu baik sebanyak 17 orang

(35,4%), dan tidak baik sebanyak 31 orang (64,6%). Kejadian Stress pada lansia di

Panti Sosial Werdha Tresna Nirawana Puri menunjukkan bahwa pada variable stress

pada lansia adalah ringan 6 lansia (12,5%), sedang sebanyak 29 lansia (60,4%), dan

berat sebanyak 13 lansia (27,1%).

b. Pembahasan

Dari uji statistik hubungan sosial budaya dengan kejadian strespada lansia di

panti sosial tresna werdha nirwana puri samarinda menggunakan uji alternative,

sehingga di dapat p value sebesar 0,179 nilai ini lebih besar nilai taraf signifikan yaitu

0,05. Sehingga dapat di simpulkan bahwa tidak ada hubungan antara sosial budaya

dengan kejadian stres pada lansia.

Sosial budaya memiliki makna yang sangat luas, akan tetapi dalam bagaimana

seseorang seharusnya melakukan sesuatu. Hubungan budaya dengan kesehatan

mental yang meliputi tiga hal yaitu : kebudayaan yang mendukung dan menghambat
kesehatan mental, kebudayaan memberikan peran tertentu terhadap penderita

gangguan mental, dan berbagai bentuk gangguan mental karena faktor kultural

(Wallace, R.A. and K Selman, 1981). Ini adalah psikosis yang di tandai oleh tindakan

yang secara tiba-tiba mengamuk, berteriak, merusak, bahkan sampai membunuh

(Danial, 2010).

Di antaranya stres sosial budaya ialah stres akulturtatif dan stress status sosial

ekonomi. Akulturasi sendiri mengacu pada perubahan kebudayaan yang merupakan

akibat dari kontak langsung yang bersifat terus menerus, antara dua kelompok

kebudayaan yang berbeda. Stress akulturtatif adalah konsekuensi negative dari

akulturasi. Sementara status sosial ekonomi seringkali menyebabkan stress yang amat

berat bagi remaja dan keluarga. Kemiskinan juga berhubungan dengan kejadian yang

mengancam dan tidak dapat dikembalikan.

2. Jurnal “Hubungan Antara Faktor Somatik, Psikososial, Dan Sosiokultur

Dengan Kejadian Skizofrenia Di Instalasi Rawat Jalan RSJD Surakarta”

a. Hasil

Berdasarkan telaah jurnal (Utomo, 2013) didapatkan hasil distribusi faktor

somatic menurut pendapat keluarga pasien (responden) dalam menjawab kategori ya

yaitu sebanyak 42 responden (45,7%), distribusi faktor psikososial menurut pendapat

keluarga pasien (responden) menunjukkan sebagian besar keluarga pasien

(responden) dalam menjawab kategori ya yaitu sebanyak 76 responden (82,6%), dan

Distribusi faktor sosio-kultur menurut pendapat keluarga pasien (responden) dalam

menjawab kategori ya yaitu sebanyak 39 responden (42,4%).


b. Pembahasan

Hasil uji Chi Square hubungan faktor somatik dengan kejadian skizofrenia

diperoleh nilai (p- value) sebesar 0,004. Karena nilai p-value lebih kecil dari 0,05

(0,004 < 0,05) maka keputusan uji adalah H0 ditolak, sehingga disimpulkan terdapat

hubungan antara faktor somatik dengan kejadian skizofrenia di IRJ RSJD Surakarta,

yaitu semakin tinggi faktor somatik maka kejadian skizofrenia semakin meningkat.

Responden yang mempunyai riwayat keluarga skizofrenia karena faktor somatik,

beresiko 6 kali terkena skizofrenia daripada yang bukan karena faktor somatik.

Hasil uji Chi Square hubungan faktor psikososial dengan kejadian skizofrenia

diperoleh nilai (p-value) sebesar 0,000. Karena nilai p-value lebih kecil dari 0,05

(0,000 < 0,05) maka keputusan uji adalah H0 ditolak, sehingga disimpulkan terdapat

hubungan antara faktor psikososial dengan kejadian skizofrenia di IRJ RSJD

Surakarta, yaitu semakin tinggi faktor psikososial maka kejadian skizofrenia semakin

meningkat.

Hasil uji Chi Square hubungan faktor sosiokultural dengan kejadian

skizofrenia diperoleh nilai (p-value) sebesar 0,040. Karena nilai p-value lebih kecil

dari 0,05 (0,040 < 0,05) maka keputusan uji adalah H0 ditolak, sehingga disimpulkan

terdapat hubungan antara Faktor sosiokultural dengan kejadian skizofrenia di IRJ

RSJD Surakarta. Responden yang mempunyai riwayat keluarga skizofrenia karena

faktor kultur- sosial, beresiko 3 kali terkena skizofrenia daripada yang bukan karena

faktor kultur-sosial.
Faktor somatik tidak banyak berperan karena banyaknya pendapat responden

menjawab tidak, itu juga dikuatkan dalam jawaban pendapat keluarga klien, faktor

somatik terutama disebabkan pada bagian genetik/keturunan yang mendapatkan

jawaban terbanyak yaitu 42 responden, untuk kerusakan neurotransmitter atau

kerusakan otak dan cacat tubuh sejak lahir tidak banyak berperan atau banyak

menjawab tidak. Faktor somatik adalah unsur dari dalam diri pasien yang

menyebabkan timbulnya skizofrenia seperti gangguan neroanatomi, nerofisiologi,

nerokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organik, faktor – faktor pre dan

peri – natal (Fattyawan, 2008).

Faktor psikososial merupakan Interaksi ibu – anak yang abnormal

berdasarkan kekurangan, distorsi, dan keadaan yang terputus (perasaan tak percaya

dan kebimbangan), peranan ayah, persaingan antara saudara kandung, intelegensi,

hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan, dan masyarakat, kehilangan yang

mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa salah, konsep diri (pengertian

identitas diri sendiri lawan peranan yang tidak menentu), keterampilan, bakat, dan

kreativitas, pola adaptasi dan pembelaan reaksi terhadap bahaya, tingkat

perkembangan emosi.

Beberapa faktor dari gangguan psikososial antara lain pola perilaku keluarga

terhadap pasien misalnya membeda-bedakan pasien dengan anggota keluarga lainnya,

keluarga mengabaikan pasien, keluarga kurang berperan dalam pemecahan masalah

pasien.

Ada kemungkinan faktor sosio-kultural yaitu cara mendidik anak dan

mengajarkan norma agama sudah baik banyak yang menjawab sudah di berikan
pendidikan norma agama maupun nilai moral yang baik dalam masa pertumbuhan

sehingga faktor sosio kultur tidak banyak berperan dalam terjadinya skizofrenia.

3. Jurnal
“Faktor Presdisposisi Penderita Skizofrenia di Poli Klinik Rumah

Sakit Jiwa Aceh”

a. Hasil :

Berdasarkan telaah jurnal (Sari & Sirna, 2015) mengenai faktor presdisposisi

penderita skizofrenia di Poli Klinik Rumah Sakit Jiwa Aceh, didapatkan hasil yaitu

faktor predisposisi yang diduga berperan dalam insiden skizofrenia diantaranya faktor

biologi (genetik, neurobiologi, neurotransmiter dan virus), faktor psikologi, faktor

sosiokultural dan lingkungan. Faktor predisposisi pada penderita skizofrenia tidak

hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja, namun ada beberapa faktor yang turut

terlibat. Faktor trauma (sesuatu yang mengganggu atau mengejutkan yang terjadi

dalam hidup responden) sebanyak 73 orang responden (71,6%) berada pada frekuensi

dan persentase tertinggi. Hal tersebut diakibatkan oleh ketidakmampuan responden

dalam menyelesaikan konflik yang dialaminya sehingga mengalami stress sebanyak

67 orang (65,7%). Selanjutnya responden akan menarik diri, melamun, hidup dalam

dunianya sendiri yang lama- kelamaan timbullah gejala-gejala berupa kelainan jiwa.

Semakin banyak responden mengalami suatu kejadian yang mengganggu dan

mengejutkan sehingga tidak mampu mengatasinya, maka risiko perkembangan

skizofrenia semakin besar. Responden juga merasa bahwa dirinya memiliki nasib

yang buruk sebanyak 57 orang (55,9%) yang akan mengarah kepada depresi.
b. Pembahasan :

Faktor sosiokultural dan lingkungan yang tertinggi di Poliklinik BLUD RSJ

Aceh Tahun 2014 yang memicu terjadinya skizofrenia adalah diintimidasi di

sekolah/lingkungan sosial dan sulit mendapatkan pekerjaan sebanyak 24 orang

responden (23,5%). faktor lingkungan juga diyakini berkontribusi pada

perkembangan skizofrenia. Sulitnya mendapatkan pekerjaan dan kurangnya

kemampuan untuk mempertahankan aktivitas yang diarahkan oleh diri sendiri juga

membuat klien sulit membina hubungan interpersonal. Perbedaan budaya dan

tingkatan ekonomi serta kecenderungan untuk mengikuti trend yang ada di daerah

mereka juga berperan pada perkembangan skizofrenia. Ketika mereka tidak mampu

untuk mengikuti arus budaya yang ada, maka mereka cenderung akan menarik diri

dari lingkungan sosial dan mengalami hambatan dalam mengelola kemampuan

emosionalnya.

4. Jurnal “Faktor yang Berhubungan dengan Skizofrenia”

a. Hasil :

Berdasarkan telaah jurnal (Hermiati & Harahap, 2018) mengenai faktor yang

berhubungan dengan skizofrenia, didapatkan hasil yaitu dari 32 orang yang ada faktor

psikososial terdapat sebagian besar responden yaitu 24 orang (75,0%) yang

mengalami skizofrenia dan sebagian kecil responden yaitu 8 orang (25,0%) yang

tidak mengalami skizofrenia , sedangkan dari 35 orang yang tidak ada faktor

psikososial terdapat hampir sebagian responden yaitu 15 orang (42,9%) yang


mengalami skizofrenia dan sebagian besar responden yaitu 20 orang (57,1%) yang

tidak mengalami skizofrenia .

b. Pembahasan :

Dari hasil uji continuity correction diperoleh nilai p = 0,016 < 0,05, jadi

signifikan, sehingga bisa dikatakan Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada

hubungan yang signifikan antara psikososial dengan skizofrenia pada pasien di ruang

rawat inap Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu. Sehingga dari 39

yang mengalami skizofrenia, sebagian dari responden yaitu 24 orang yang terdapat

faktor psikososial. Hubungan antara psikososial dengan skizofrenia terlihat dari

kecenderungan pasien yang terdapat faktor psikososial lebih banyak yang mengalami

skizofrenia, sedangkan yang tidak ada faktor psikososial cenderung tidak mengalami

skizofrenia.

5. Jurnal “Gambaran Faktor Sosio Budaya Pada Pasien Gangguan

Jiwa Skizofrenia Di Poli Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem

Medan Tahun 2019”

a. Hasil :

Berdasarkan telaah jurnal (Hermiati & Harahap, 2018) mengenai gambaran

faktor sosio budaya pada pasien gangguan jiwa skizofrenia di Poli Rumah Sakit Jiwa

Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan Tahun 2019, didapatkan hasil penelitian bahwa

karakteristik umur 26-35 Tahun sebanyak 20 orang (45,5%), jenis kelamin laki – laki

sebanyak 25 orang (56,8%), pendidikan menengah sebanyak 36 orang (81,8%),

tingkat ekonomi <1.800.000 sebanyak 38 orang (86,4%), suku jawa dan batak
sebanyak 17 orang (38,6%), kestabilan keluarga tidak baik sebanyak 34 orang

(77,3%), pola mengasuh anak demokratis sebanyak 42 orang (95,5%).

b. Pembahasan :

Pada pembahasan ini akan dibahas mengenai variabel-variabel diantarannya

faktor sosio budaya pada pasien gangguan jiwa skizofrenia Dirumah Sakit Jiwa Prof.

Dr. Muhammad Ildrem Medan tahun 2019 antara lain :

1) Kestabilan Keluarga

2) Asumsi peneliti kestabilan keluarga yang tidak banyak ditemukan pada pasien

dengan latar belakang etnis Batak, Jawa, karo, Simalungun, dan Nias dimana

kebiasaan komunikasi keras, begitu juga terjadi konflik suami / istri anak

terkadang mendengar perselisihan sehingga psikologisnya terganggu dan hal ini

akan menjadi faktor pencetus terjadinya gangguan jiwa.

3) Pola Asuh Anak

4) Faktor psikososial meliputi interaksi pasien dengan keluarga dan masyarakat.

Timbulnya tekanan dalam interaksi pasien dengan keluarga misalnya pola asuh

orang tua yang terlalu menekan pasien, kurangnya dukungan terhadap pemecahan

masalah yang dihadapai pasien, pasien kurang diperhatikan oleh keluarga

ditambah dengan pasien tidak mampu berinteraksi dengan baik dimasyarakat

menjadi faktor stressor yang menekan kehidupan pasien.

5) Tingkat Ekonomi

a) Tingkat ekonomi merupakan gambaran tentang keadaan atau kondisi individu,

keluarga dan suatu masyarakat yang dilihat dari segi tingkat pendidikan,

pekerjaan, penghasilan dan pengeluaran dimana tempat komponen tersebut dapat


menjadi tolak ukur suatu individu, keluara atau masyarakat dikatakan tinggi atau

rendah.

b) Umumnya tingkat ekonomi keluarga dengan gangguan jiwa adalah rendah,

dengan kondisi ini mereka punya keterbatasan waktu dalam merawat pasien

karena masih fokus dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga

beresiko terjadinya kambuh kembali. pada sehingga beresiko terjadinya kambuh

kembali.

Menurut pendapat kami, pada jurnal ketiga dan keempat, hanya meneliti

mengenai faktor socialkutural secara umum saja berbeda dengan jurnal pertama,

kedua, dan kelima lebih menekankan pada faktor social budaya dimana banyak

variable yang diteliti yaitu dari kestabilan keluarga, pola asuh anak, tingkat ekonomi,

pendidikan, umur, jenis kelamin, dan suku. Memiliki sosiokultural yang baik sangat

berpengaruh terhadap psikolog seseorang, dimana sosikultural yang bagus dapat

menumbuhkan mekanisme koping yang baik dalam menangani stressor yang

diterima.
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Sosiokultural mempengaruhi faktor resiko dan faktor predisposisi yang

meyebabkan terjadinya stress pada individu dan juga mempengaruhi tipe dan sumber

individu untuk menghadapi stress. Perawat yang peka pada kultural memahami

pentingnya kekuatan social dan kultural bagi individu, menegnal keunikan, dan

mengabungkan informasi sosiokultural ke dalama suhan keperawatan. Beberapa

stressor sosiokultural yang juga bisa mempengaruhi mutu asuhan yaitu keadaan yang

merugikan, steroetipe, itolerans, stigma, prasangka, diskriminasi, rasisme.

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak

kekurangan dan masih jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran

dari pembaca sangatlah kami perlukan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya

akan lebih baik dari sekarang dan kami juga berharap pengetahuan tentang

sosiokultural dalamkonteks asuhan keperawatan jiwa.


DAFTAR PUSTAKA

Hermiati, D., & Harahap, R. M. (2018). Faktor Yang Berhubungan Dengan


Skizofrenia. 1, 78–92.
Laksono Utomo, Tajung. 2013. Hubungan Antara Faktor Somatik, Psikososial, Dan
Sosio-Kultur Dengan Kejadian Skizofrenia Di Instalasi rawat Jalan RSJD
Surakarta. http://eprints.ums.ac.id/25973/. Diakses pada tanggal 29 Juni
2020.

Muhammad Zihad Ramadhani & Amalia, N., 2019. Hubungan Sosial Budaya Dengan
Kejadian Stress pada Lansia di Panti Sosial TresnaWerdha Nirwana Puri
Samarinda. , pp.120–125.

Nurhalimah. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa.


http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/08/Keperawatan-Jiwa-Komprehensif.pdf. Diakses
pada tanggal 29 Juni 2020.
Sari, H., & Sirna, W. (2015). Faktor Predisposisi Penderita Skizofrenia Di Poli
Klinik Rumah Sakit Jiwa Aceh. Vi(2), 14–18.

Utomo, T.L., 2013. Hubungan Antara Faktor Somatik, Psikososial, Dan Sosiokultur
Dengan Kejadian Skizofrenia Di Instalasi Rawat Jalan RSJD Surakarta. , 01(02),
pp.2–17.

Yusuf Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. 2020. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai