Anda di halaman 1dari 5

Nama : Erlin Setyowati

Nim : 41819010048
Prodi : Sistem Informasi
Kelas : kamis D-302
Dosen : Hartanto Bisma, ST, M.Pd

Nilai – nilai pancasila yang terkandung dalam Film Pee-Kay (PK)


( Pee-Kay dalam bahasa Hindi diterjemahkan Mabuk) yang meliputi :
1. Pesan pokok yg disampaikan berdasarkan nilai yang terkandung dalam pancasila
2. Gejala2 Sosial yg ada pd film
3. Perspektif teori2 sosiologi agama yg terkait.
4. Relefansi antara teori sosiologi agama dengan gejala sosial yg ada pada film
Adalah sebagai berikut :
Pesan Pokok yang disampaikan.
1. Mencuri atau merampas adalah perbuatan yang dilarang pada agama apapun, dan
termasuk hukum Negara. Karena dengan mencuri da merampas benda orang lain, bisa
menyebabkan hal yang fatal pada pemilik benda itu, seperti yang kita lihat pada film PK
ini. Contohnya seperti dalam PK ini benda yang dicari dari dia, menyebabkan dia tidak bisa
pulang ke planetnya, dan menyebabkan PK terjebak pada sebuah situasi yang membuat dia
menderita.
2. Ketidaktauan tentang sosial , budaya, dan agama dilingkungan yang kita tempati, bisa
menyakitkan menjadikn kita berada pada posisi sakit.
3. Tuhan adalah yang menciptakan alam semesta, tapi sebagian pemuka agama mengatakana
bahwa tuhan ada dua yaitu, tuhan pertama atau tuhan yang menciptakan alam semesta. Tuhan
kedua, adalah tuhan yang diciptakannya rasa takut dan hikmat dari pengikutnya kepada
dirinya.
4. Semua agama, mengajarkan kepada pemeluk agamanya atau pengikutnya tentang
keyakinan dan juga menggunakan akal dalam menjelaskan agama tersebut.
5. Pengalaman adalah guru terbaik bisa dilihat pada film saat PK mengajrkan.kepada teman2
sesama Alien saat kembali ke Bumi dalam rangka penelitian lain.
Diantaranya adalah.
a. Untuk mengamankan alat pemancar (Liontin) agar tidak dirampas dan dicuri orang.
b. Untuk memakai baju dan aturan serta norma2 kehidupan lain di Bumi.
6. Jangan mudah percaya dengan informasi yang kita terima. Perlu Chek and Rechek untuk
memastikan kebenarannya.
7. Tidak ada ajaran agama yang menjelekan / mendeskripsikan agama lain.
8.Apabila kita memberi dan membantu
pada seseorang dengan tulus dan ikhlas, akan melahirkan kepercayaan dan akan membawa
keberkahan
Gejala Sosial yang ada pada Film :
1. Salah satu fenomena sosial terkait dengan motivasi beragama dan mengikuti ritual
keagamaan dapat dilihat dalam sosok ayah Jaggu. Ayah Jaggu adalah seseorang yang taat
menjalankan kewajiban agamanya. Dalam setiap kegiatannya, ia selalu menyertakan dewa-
dewa tertentu. Sayangnya, praktik keagamaan yang dijalani tampak “membutakan” matanya
untuk melihat kebenaran yang objektif. Ia dikungkung oleh ketakutan oleh kewajiban
keagamaan untuk taat pada Maharaj Tapaswi sebagai pemimpin agama. Praksis
keagamaannya tereduksi sampai pada sekadar sebuah kewajiban.
2. Agama yang dijadikan “peluang bisnis”. Dikisahkan dalam film, di dalam salah satu
agama, salah satu syarat agar permohonan seseorang dapat dikabulkan adalah dengan
menyumbang uang kepada Tuhan. Ketika PK berada di halaman Pura, di sana terdapat
sebuah kotak yang mana biasa dipakai oleh umat untuk menyumbang uang kepada Tuhan.
Hal inilah juga yang dirasa menjadi bagian penting dalam film “PK” terkait fenomenologi
agama, bahkan sampai saat ini. Melihat konteks masyarakat sekitar Pura, di sana tampak
banyak pengemis yang sedang meminta belas kasihan dari orang-orang yang mengunjungi
Pura, namun hanya sedikit yang mempedulikan kehadiran mereka. Pemberian uang kepada
Tuhan melalui kotak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang miris, mengingat masih adanya
golongan menengah ke bawah yang
menderita. Agama terkesan tidak mempedulikan keadaan ekonomi masyarakatnya sebab
memberi persembahan kepada Tuhan merupakan salah satu syarat. Hal inilah yang membuat
PK menyadari bahwa memberi uang kepada agama dapat dijadikan peluang bisnis untuk
menghasilkan banyak uang. Ia memberikan contoh dengan mengajak Jaggu dan ayahnya
pergi ke kampus. Di sana ia menempatkan sebuah batu di bawah pohon, lalu memberikan
warna merah pada batu itu agar terkesan bernuansa magis dan kemudian menaruh beberapa
lembar uang disekitar batu itu. Kehadiran batu itu memberikan pandangan yang berbeda bagi
orang yang berada di sekitar tempat itu, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama,
orang-orang datang lalu menyembah batu itu, memanjatkan permohonan mereka, dan
akhirnya memberikan uang di sekitar batu
tersebut. Dari pengalaman ini, tampaklah bahwa Tuhan seakan-akan membutuhkan uang
manusia dan tidak peduli dengan keadaan ekonomi manusia. Tentu saja, hal ini terkesan aneh
karena Tuhan dipercaya sebagai sosok yang memiliki cinta kasih yang sangat besar dan tentu
saja tidak dapat direduksi menjadi uang belaka.
3. Adanya berbagai macam komunitas keagamaan yang menyembah Tuhan. Komunitas-
komunitas ini terdiri dari sekelompok orang yang berkomitmen untuk berkumpul bersama
sebagai satu komunitas, menjalankan praktik keagamaan/ritual bersama, dan taat terhadap
peraturan komunitas. Pertanyaan kritis yang lantas dapat diajukan terkait gejala sosial ini
adalah: Apa sebenarnya motivasi orang untuk berkomitmen mengikuti suatu agama dan
ritual/tradisi keagamaannya?
Jawaban dari pertanyaan di atas tentu tidak dapat di-generalisir atau bersifat sederhana.
Jawabannya sungguh kompleks. Ada berbagai macam motivasi orang untuk beragama dan
mengikuti ritual keagamaannya (meski kadang-kadang ada yang tidak mengerti betul apa
makna yang ada di balik ritual yang diikutinya). Ada orang yang beragama, karena merasa
butuh pegangan dalam hidupnya. Ada orang yang datang ke ritual keagamaan hanya karena
takut dianggap tidak sesuai dengan mainstream, ia takut dianggap “berbeda”. Yang lain lagi
menjalankan ritual keagamaan karena kewajiban dan bahkan mungkin tidak sadar bahwa
kewajiban itu membuatnya “buta” akan hal yang benar.

Perspektif teori2 sosiologi agama yg terkait.


1. Perspektif agama yang berguna sebagai jalan menuju Tuhan/Yang Ilahi yang daya-Nya
jauh melampaui manusia dan sebagai pemberi penjelasan mengenai situasi batas yang
dihadapi oleh manusia di dalam kehidupannya. Ketika berada dalam situasi batas kemampuan
dirinya, manusia membutuhkan sesuatu yang lain di luar dirinya, sesuatu yang lebih besar
dan dapat dijadikan “pegangan”. Dalam hal inilah, agama mengisi kebutuhan manusia untuk
berjumpa dengan sesuatu yang lebih besar itu. Manusia dimampukan untuk menemukan
interpretasi dan penjelasan atas pengalaman-pengalaman ketidakberdayaan mereka.[iii]
Terkait dengan penemuan makna ini, Emile Durkheim menambahkan demikian “Religious
beliefs offer the comforting sense that the vulnerable human condition serves some greater
purpose. Strengthened by such convictions, people are less likely to collapse in despair when
confronted by life’s calamities.”[iv]

2. Praktek/ritual keagamaan memunculkan kesadaran bersama sebagai satu “komunitas


moral”. Hal ini sesuai dengan perspektif teori Emile Durkheim tentang agama, secara khusus
collective consciousness. Kesadaran kolektif muncul di dalam komunitas yang didayai oleh
rasa-perasaan solidaritas religius sosial (religious emotional). Apalagi, rasa-perasaan
solidaritas sebagai satu komunitas itu muncul dalam ritual-ritual yang dijalani bersama.
Terkait dengan “komunitas moral” di atas, dalam teorinya, sebenarnya Emile Durkheim
menggunakan kata gereja (church) dalam suatu arti yang tidak lazim. Kata “gereja” merujuk
pada setiap “komunitas moral” yang
berpusat pada kepercayaan dan praktek terhadap hal yang sakral. Menurut Durkheim,
“gereja” merujuk pada kepercayaan dan praktek terhadap hal yang sakral. Menurut
Durkheim, kata “gereja” merujuk pada orang Buddha yang beribadah di vihara, orang Hindu
yang masuk ke dalam sungai Gangga, dan orang Kong Hu Cu yang mempersembahkan
makanan kepada nenek moyang mereka. Demikian pula, istilah “komunitas moral” tidak
merujuk pada moralitas yang umumnya kita pahami. Suatu komunitas moral adalah orang
yang dipersatukan oleh praktik keagamaan mereka.[v]
3. Penggunaan simbol-simbol dalam ritual keagamaan (meski perlu ditekankan bahwa ritual
itu sendiri juga merupakan simbol keagamaan yang membantu mempersatukan orang ke
dalam suatu komunitas moral).[vi]
Simbol-simbol keagamaan memiliki kemampuan untuk membawa pesan perubahan dalam
komunitas keagamaan. Sebuah simbol merupakan suatu bentuk komunikasi yang padat.[vii]
Pada dasarnya, agama merupakan sebuah pemahaman transendental yang kadang misterius,
maka simbol-simbol dalam agama menjadi sebuah “intermediary” atau “signal” yang dapat
mengkomunikasikan pesan atau visi serta idealisme apa yang harus dilakukan oleh pemeluk-
pemeluk agama tersebut. Edwyn Bevan, dalam karyanya yang berjudul “Symbolism and
Belief”, menerangkan bahwa simbol mempersatukan suatu sistem manusia seperti misalnya
pengalaman manusia. Simbol dapat berupa kata, bahasa, tindakan, benda, dll. Simbol dapat
menghubungkan usaha pencarian manusia dengan realitas yang lebih besar, bahkan yang
tertinggi (terakhir).[viii]
Semua agama menggunakan simbol untuk memberikan identitas dan solidaritas bagi para
anggotanya. Beberapa contoh yang dapat diberikan misalnya orang Muslim menggunakan
simbol bulan sabit dan bintang, orang Yahudi menggunakan simbol Bintang Daud, dan orang
Kristen menggunakan simbol salib. Bagi para anggotanya, ini bukan sekadar simbol biasa,
melainkan sebuah lambang suci yang memunculkan rasa kagum dan hormat.
Pada dasarnya, Durkheim berpendapat bahwa suatu benda atau simbol menjadi suci bukan
karena suatu hal intrinsik yang terdapat dalam benda tersebut. Suatu benda dianggap suci
berdasarkan konvensi dari suatu kelompok tertentu atau dengan kata lain kesuciannya terjadi
ketika komunitas menganggap benda tersebut suci. Lebih lanjut lagi, dalam bukunya yang
berjudul “Agama dalam Perspektif Sosiologi”, Bernard Raho bahkan berpendapat bahwa
memiliki simbol-simbol yang sama merupakan sebuah cara yang efektif dan efisien untuk
menumbuhkan rasa solidaritas dalam sebuah kelompok.[ix]
Relefansi antara teori sosiologi agama dengan gejala sosial yg ada pada film
Adalah sebagai berikut :
1. Tentang agama sebagai jalan menuju Dia yang kekuatan-Nya melampaui kekuatan
manusia. Ketika manusia tidak mampu menggunakan kekuatannya sendiri, ia lantas bergerak
untuk meminta bantuan pada Dia yang kekuatan-Nya jauh lebih besar daripada kekuatan
manusia. Jalan untuk meminta bantuan itulah yang direpresentasikan oleh agama dan praktik-
praktiknya. Di dalam film
“PK”, tokoh utama, PK, kehilangan remote control miliknya. Ia bertanya kepada semua orang
yang dijumpai. Nyatanya, semua orang tidak dapat membantunya. Mereka malah
menunjukkan bahwa Tuhan (Bhagavad)-lah yang dapat menolongnya.
PK lantas berusaha mencari Tuhan melalui berbagai macam agama yang nantinya malah
memunculkan kebingungan tersendiri dalam hatinya. Agama mana yang benar? Meski
demikian, kelompok menemukan kebenaran dalam film bahwa manusia selalu bergerak
menuju daya yang lebih besar ketika menemukan bahwa daya manusiawinya terbatas. Jalan
untuk menemukan Tuhan itulah yang disebut dengan agama. Orang-orang yang
“merekomendasikan” Bhagavad pada PK jelas telah merasakan apa yang disebut Durkheim,
“Religious beliefs offer the comforting sense … people are likely less to
collapse”.
2. Terkait simbol-simbol dan praktik keagamaan. Simbol-simbol keagamaan dalam film PK
ini ditunjukkan hampir di seluruh bagian filmnya. Memang, dalam masyarakat India, simbol-
simbol keagamaan itu tampak kuat, bahkan menjadi ciri khas masyarakat di India. Dalam
film “PK” ini, ada banyak patung-patung dan gambar-gambar serta ritual-ritual yang
digunakan oleh para penganut di masyarakat India. Simbol-simbol tersebut memiliki posisi
terhormat khususnya bagi para penganutnya. Misalnya, ketika ia akan dipukul oleh petugas
dan pendeta agama. Ketika mereka melihat gambar/stiker di pipinya, mereka tidak berani
memukulnya karena gambar tersebut adalah gambar dari Deva Shiva yang mereka sembah.
Sebagai orang asing, ia telah belajar dengan baik tentang makna sebuah simbol. PK
mengatakan demikian,
“Just like you apply the photo of god on the walls, so that no one urinates there… [J]ust like
that I put it on here (on my cheeks), so that no one hits me.”
“Ia sungguh-sungguh “masuk” dalam agama Hindu melalui simbol Deva Shiva. Dalam
pandangan sosiologi, simbol-simbol sungguh merupakan salah satu unsur yang sangat
penting dalam kehidupan beragama.[x] Simbol-simbol merupakan kekuatan yang sangat
mempengaruhi pemeluk agama dan juga sekaligus membangkitkan perasan keterikatan
kesatuan pada anggota-anggota penganut agama yang sama.
Ketiga, tentang menyikapi beragamnya simbol dan praktik keagamaan. Tokoh PK tentu
bingung ketika menemukan fakta
bahwa jalan (simbol dan praktik keagamaan) menuju Tuhan itu beragam. Lantas, apa yang
harus dilakukan? Film “PK” memberikan kesadaran yang sebenarnya tidak baru namun
sangat relevan dengan situasi kehidupan beragama saat ini. Kita semua diajak untuk
menghayati agama dan praktik keagamaan sebagai sebuah jalan menuju pada tujuan yang
satu, yakni Tuhan sendiri. Setiap jalan memiliki lika-likunya masing-masing yang tentunya
berbeda satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, kita semua disatukan oleh satu tujuan yang
sama. Dengan kesadaran demikian, kita diajak untuk melakukan sikap toleransi yang positif
dalam kehidupan beragama.Menurut Magnis Suseno, toleransi positif berarti bukan dalam
arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara lain dalam
kekhasannya,
bahkan dalam kelainannya. Kita tidak beriman sama dan tidak meyakini hal-hal yang khas
diyakini orang lain, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan
jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini.
Secara teoretis kita mengetahui dari Emile Durkheim bahwa tradisi/ritual adalah momentum
terjadinya collective effervescence. Artinya, ada sebuah rasa keterikatan tersendiri yang
dialami orang-orang yang menjalani ritual secara bersama-sama tersebut.
Selain itu, dengan segala cara apapun kita diajak untuk menghindari segala bentuk
fundamentalisme dan radikalisme agama. Fundamentalisme dan radikalisme agama terjadi
ketika orang menganggap agama yang dianutnya lebih superior dibandingkan
dengan agama yang lain. Mereka menganggap rendah agama yang lain. Fenomena ini
menjadi contoh di mana agama dipertahankan tetapi perbuatannya jauh dari ajaran agama.
Kebenaran agama memang diakui dan diaminkan tetapi masyarakat acapkali tidak
mempersoalkan kebenaran tindakannya. Hal ini tentu bertentangan dengan logika bahwa
agama adalah jalan. Jalannya memang berbeda, namun jalan-jalan itu setara sebab memiliki
tujuan yang sama.
Menghayati kebenaran agama yang dianut merupakan hal yang tidak salah. Hal tersebut
merupakan hak asasi setiap manusia, yang tidak mungkin dapat dipaksakan oleh orang lain
atau hukum sekalipun. Penghayatan kebenaran agama tidak dapat dipaksakan, sebab
menyangkut batin dan sisi terdalam kemanusiaan setiap orang. Akan tetapi, suatu
keyakinan tersebut menjadi masalah apabila dipaksakan kepada orang lain atau dipakai
sebagai pembenaran tindakan yang membatasi, merendahkan, dan mencederai orang lain.
Penghayatan pluralisme sungguh merupakan syarat mutlak agar dunia yang begitu majemuk
dapat tetap bersatu. Saling menghormati dan menghargai dalam identitasnya dan juga dalam
perbedaannya harus menjadi pola hidup manusia. Manusia dalam dirinya sendiri pada
dasarnya mempunyai nilai-nilai yang sama. Semua manusia tahu baik, buruk, dan
merindukan kejujuran, keadilan, kebesaran, dan kebaikan hati untuk memaafkan dan berbelas
kasih.[xi] Pemakaian kekerasan untuk menyelesaikan perbedaan berbagama harus ditolak.

4. di dalam film terdapat penyelewengan tradisi keagamaan. Tradisi keagamaan


disalahgunakan oleh seseorang atau sebagian orang untuk meraup keuntungan pribadi atau
kelompok. Agama dan tradisinya dijadikan sebuah komoditas ekonomi. Secara teoretis kita
mengetahui dari Emile Durkheim bahwa tradisi/ritual adalah momentum terjadinya collective
effervescence. Artinya, ada sebuah rasa keterikatan tersendiri yang dialami orang-orang yang
menjalani ritual secara bersama-sama tersebut. Pemimpin agama yang picik akan
memanfaatkan momentum ini demi kepentingannya sendiri. Ia tahu bahwa ritual akan diikuti
oleh orang banyak yang dalam titik tertentu sungguh mengalami collective effervescence.
Persis di sanalah pemimpin agama yang picik membelokkan tujuannya ke arah egoisme
pribadi.

Anda mungkin juga menyukai