Anda di halaman 1dari 13
Pemaknaan Identitas Tionghoa tet jpuan Tionghoa Kota Bengkulu Rg Uo Sat} MES MeCN Mem NEU Sy CCT Bay eL Ua) aed MOe nr Mee MBER Ole Moar) CONT aL Tite Ono Strategi Peningkatan Kepedulian Mahasiswa Se DR CE emote DSS Rr Ue ccm ae Potret Ritual Tabot Dalam Foto Berita; SLCHI uleaLd MAS AGUS FIRMANSYAH | Jurusan limu Komunikasi FISIP UNIB Tul glee oe eel eT eee kloan) POU aC an OM aS GaN) US Reet Ig LeU) dalam Pemberitaan Kenaikan BBM di Surat Kabar Media Indonesia Edisi Mei 2009 DWI AJI BUDIMAN | Jurusan imu Komunikasi FISIP UNIB DAFTAR ISI Pemaknaan Identitas Tionghoa Pada Remaja Perempuan Tionghoa Kota Bengkulu ALFARABY | Jurusan lImu Komunikasi FISIP UNIB 7 Analisis Terpaan Pesan Tentang HIV/AIDS dan Lingkungan Sosial Odha Pada Remaja Kota Bengkulu GUSHEVINALTI | Jurusan llmu Komunikasi FISIP UNIB ......000snnnennnennnmnnnnnee OL Strategi Peningkatan Kepedulian Mahasiswa Terhadap Fasilitas Belajar Mengajar WAHYU WIDIASTUTI | Jurusan Iimu Komunikasi FISIP UNIB ........cssee 1031 Potret Ritual Tabot Dalam Foto Berita; Suatu Kajian Semiotik MAS AGUS FIRMANSYAH | Jurusan llmu Komunikasi FISIP UNIB .......10.0000ssnnsesnnee U4 Pemberitaan Media Cetak Dalam Kampanye Pemilu Presiden Tabun 2009 DHANURSETO HP | Jurusan llmu Komunikasi FISIP UNIB ...... eles Konstruksi Politik Pemeritahan SBY dalam Pemberitaan Kenaikan BBM di Surat Kabar Media Indonesia Edisi Mei 2009 DWI AJI BUDIMAN | Jurusan lImu Komunikasi FISIP UNIB .......scsesteneensee, ww 140 STRATEGI PENINGKATAN KEPEDULIAN MAHASISWA. TERHADAP FASILITAS BELAJAR MENGAJAR Oleh ‘Wahyu Widiastuti ‘Staf pengajar jurusan Timu Komunikasi FISIP UNIB ABSTRACT The main objective of this research is to obtain a strategy to curb vandalism and increase students’ sense of belonging. The data gathered using Focuse Group Discussion with students, male and female, from all years and all faculties. Research findings show that posters and banners that are used to utlized as media for anti-vandalism campaign apparently only effective as a reminder, but not preventing student from damaging facilities. Students suggest that each faculty or departement level establish a kind of security team that responsible to inform and educate other students on how to treath facilities properly. Primarilly, University should set up a regulation to govern such manner. Key words : strategy, anti-vandalism campaign PENDAHULUAN Penelitian tersebut berangkat dari Keprihatinan terhadap data yang menunjukkan bahwa dalam satu tahun rata-rata 600 kursi di ruang kuliah Universitas Bengkulu rusak. Hal tersebut juga dikuatkan oleh temuan Kabag Tata Usaha salah satu fakultas bahwa jumlah kursi yang didata tiap semester pasti berkurang sekitar 25% pada awal perkuliahan semester berikutnya ‘Temuan penelitian ‘Vandalisme mahasiswa terhadap fasilitas belajar - mengajar’ (Akses edisi Feb,2010) menunujukkan bahwa meskipun hampir semua mahasiswa menyatakan bahwa fasilitas umum, termasuk diantaranya fasilitas perkuliahan harus dipelihara, namun sebagian besar malah menjadikannya sebagai sasaran perusakan. Sebagian besar mahasiswa pemah melakukan tindakan perusakan terhadap fasilitas perkuliahan. Perusakan ini mulai dari mencoret-coret sampai melempar meja dan kursi. Kebanyakan pelaku perusakan menyatakan bahwa mereka merusak hanya untuk iseng saja; dan dorongan untuk melakukan perusakan ini muncul saat sedang ngumpul rame-rame sebelum dan sesudah jam kuliah serta saat sedang bosan di kampus. Ketika melihat rekannya melakukan perusakan, hanya sebagian mahasiswa yang menegur rekan tersebut karena khawatir merusak pertemanan antar mereka, jadi mereka tidak enak hati kalau harus menegur. 103 Perusakan yang dilakukan oleh mahasiswa tidak dilatarbelakangi oleh pengalaman mereka saat Kecil. Meskipun dinyatakan oleh Sampson dalam Rakhmad (1994) bahwa pengalaman bisa mempengaruhi seseorang untuk berbuat sesuatu, namun hal tersebut tidak terbukti dalam penelitian ini, Hal ini disebabkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara mereka yang pada masa kanak-kanak sering dipukul dengan yang tidak maupun jarang dipukul saat kecil. Kebiasaan anggota keluarga dirumah yang sering merusak saat sedang ‘marah-marah juga tidak menimbulkan adanya perbedaan yang berarti, karena mahasiswa dengan latar belakang lingkungan keluarga yang berbeda sama-sama pemah melakukan perusakan di kampus. Perusakan juga tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, suku dan tingkatan dalam kuliah (semester). Dari hasil penelitian diketahui bahwa antara mereka yang berjenis kelamin laki- Jaki maupun perempuan sama-sama melakukan tindakan vandalisme. Demikian juga mereka yang duduk di semester rendah maupun tinggi, maupun mereka yang dikategorikan sebagai penduduk asli maupun pendatang di Universitas Bengkulu ini. Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata mahasiswa Kurang memiliki “sense of belonging” tethadap fasilitas umum, dalam hal ini fasilitas belajar mengajar. Jadi penelitian Janjutan ini diupayakan untuk mendapatken suatu formula penyadaran akan pentingnya memelihara fasilitas umum. Untuk mendapatkan hasil yang optimal .mengingat jumlah mahasiswa yang tidak sedikit, maka salah satu upaya untuk meningkatkan kepedulian para mahasiswa tersebut bisa dibuat suatu kampanye penyadaran melalui media. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan landasan bagi .pelaksanaan peningkatan kesadaran dan kepedulian civitas akademik, terutama mahasiswa tethadap fasilitas belajar mengajar. Kerangka pemikiran Menurut Goldstein (1996) vandalisme adalah tindakan yang bertujuan untuk merusak benda-benda milik orang lain. Di sini ditegaskan bahwa perilaku vandalisme setidaknya memiliki tiga konsep : bertujuan, perusakan dan kepemilikan. Goldstein dan Stanley Cohen (1973), membedakan vandalisme dalam beberapa kategori. 1. Acquisitive vandalism berkaitan dengan perilaku untuk mendapatkan barang atau uang, misalnya merusak mesin ATM dan telepon umum untuk mengambil uang di dalamnya. (Lincoln). 2. Tactical vandalism. Meliputi perilaku yang bertujuan untuk mencapai suatu tujuan selain uang, seperti mencoret-coret tembok (graffiti) atau merusak sesuatu agar tidak bisa digunakan oleh orang lain, 3. Ideological vandalism, perilaku yang didasari oleh usaha untuk mempromosikan kelompok sosial atau politik atau yang lainnya, misalnya berupa aksi menempelkan stiker sekte tertentu. Vandalisme jenis ini sering kali bisa diidentifikasi melalui objek yang telah ditentukan, 4. Vindictive vandalism, ‘Merupakan perilaku yang bertujuan untuk membalas dendam. 5. Play vandalism. Meliputi perilaku merusak hanya untuk keisengan belaka, Vandalisme jenis ini banyak dilakukan oleh remaja 6. Malicious vandalism. Perilaku untuk mengekspresikan kemarahan atau frustrasi. Meskipun kategori-kategori di atas belum diuji secara Iuas untuk membuktikan tingkat komprehensif dan realibilitasnya, namun setidaknya Kategori tersebut bermanfaat untuk merancang kegiatan pencegahan vandalisme. Pelaku vandalisme umumnya tidak memberitahukan perbuatannya sehingga hal ini ‘menyulitkan untuk mengetahui sebelum dan sesudah perusakan dilakukan. Pedersen (1990) dalam sebuah studinya menemukan siswa yang mengakui melakukan perusakan umumnya meyakini bahwa siswa lain juga melakukan vandalisme. Kebanyakan siswa, terlepas apakah mereka pelaku atau bukan, juga meyakini bahwa material yang menjadi object perusakan bisa dan mudah digantikan. Sebanyak 60% responden menyatakan mereka tidak akan melakukan apapun bila melihat orang yang melakukan tindakan perusakan, sedangkan hanya 30% yang melaporkan kejadin tersebut, Pedersen mengakui bahwa siswa bukanlah pelaku potensial. Hal ini disetujui Goldstein (1990) yang meyakini bahwa pelaku vandalisme sulit untuk diidentifikasi; meskipun riset yang telah dilakukannya menunjukkan pelaku vandalisme Kebanyakan adalah laki-laki dan dari ras kaukasian. Goldstein juga mencatat perilaku vandalisme terjadi sebelum dan sesudah jam sekolah, di akhir pekan, selama musim liburan serta di tahun-tahun terakhir masa sekolah. Kerugian yang diakibatkan oleh perilaku vandalisme mencakup aspek ekonomi dan sosial. Aspek ekonomi mencakup sejumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk mengganti 108 atau memperbaiki barang-barang yang telah dirusak, Tenaga Kebersihan juga perlu meluangkan waktu untuk melakukan penyidikan sampai dengan pembersihan sampah- sampah. Aspek sosial meliputi konsekuensi yang ditimbulkan oleh vandalisme seperti stress akibat tindakan perusakan itu sendiri serta akibat yang ditimbulkan, perasaan tidak aman, serta menurunnya reputasi objek vandalisme. Strategi Tindakan Pencegahan Dengan memahami Kategori vandalisme maka strategi pencegahannya bisa dibuat sesuai dengan permasalahan yang ada. Upaya pencegahan tindakan vandalisme, diperlukan pemahaman mengenai perilaku-perilaku yang membentukya. Pendekatan pencegahan yang efektif dirancang dengan menggabungkan beberapa strategi secara menyeluruh, tegas namun tetap apresiatif, Strategi ini perlu diterapkan dengan tetap memperhatikan integritas,intensitas dan intervensi yang menyeluruh. Goldstein menawarkan beberapa strategi pencegahan vandalisme, yaitu sebagai berikut: 1, Target Hardening Meliputi penggunaan alat-alat atau materi pembatas yang dirancang untuk ‘menghambat perusakan, misalnya memasang kaca anti pecah dan teralis jendela. 2. Access Control Yaitu startegi dengan memanfaatkan elemen arsitektural dan alat-alat mekanis- elektronis sebagai upaya mengontrol arus masuk ruangan misalnya dengan menambahkan key control systems, closed- circuit televisions (CCTV), metal detector dan motion detectors. 3. Deflecting Offenders Merujuk pada usaha yang terencana untuk mengubah tindakan perusakan menjadi kegiatan yang positif dengan cara mengubah lingkungan secara fisik, misalnya dengan memanfaatkan papan graffiti, program seni mural, peletakan papan tulis di dinding kamar mandi. 4. Controlling Facilitators Mengendalikan tindakan vandalisme melalui perubahan lingkungan dengan cara mengurangi akses terhadap sasaran perusakan seperti dengan memberi papan petunjuk, alarm kebakaran dan pengukur suhu ruangan. 5. Surveillance Goldstein (1990) membedakan dua jenis surveillance atau pengawasan; yang pertama secara tradisional yaitu dengan menempatkan polisi atau pengawas bayaran dan yang ‘kedua secara alamaiah melalui tenaga pegawai atau penjaga ketika mereka melakukan pekerjaannya, Menurut Lincoln (1989), pengawasan hendaknya tidak dilakukan dengan interval yang teratur schingga pelaku perusakan tidak bisa memprediksi kapan suatu tempat tidak dipantau atau dijaga. 6, Target Removal Yaitu menyingkirkan dan mengurangi akses terhadap target vandalisme seperti papan tanda dan telepon umum, 7. Removing Inducements meryjuk pada upaya mengganti atau memperbaiki target vandalisme dengan segera atau membersihkan tempat-tempat yang telah dicoret-coret. 8. Rule Setting Dengan cara mengumumkan pernyataan mengenai perilaku yang bisa dan tidak bisa diterima beserta konsekuensinya. Pelanggaran tethadap perilaku bisa dikenai_sanksi berupa denda, hukuman fisik dan sebagainya. 9. Counselling Caranya adalah dengan melakukan publisitas. Publisitas bisa digunakan untuk ‘menginformasikan mengenai suatu masalah publik seperti vadalisme melalui iklan anti vandalisme, rilis berita, kontes slogan anti vandalisme, poster, flyer, pin dan kaos bertuliskan anti vandalisme dan sebagainya. Goldstein menambahkan strategi pencegahan yang melibatkan interaksi antara (calon) pelaku, target sasaran dan pengawas sarana publik. 1. Involvement yaitu meningkatkan keterlibatan (calon) pelaku perusakan dan meningkatkan rasa ‘memiliki akan sarana publik melalui pelibatan dalam pengambilan Keputusan, Menurut Hauge, mereka yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan cenderung memiliki rasa kepemilikan terhadap fasilitas yang ada. Selain itu mereka perlu dilibatkan dalam kampanye anti vadalisme. 2, Organizational Climate ‘menciptakan suasana lingkungan melalui peningkatan kualitas interaksi sosial dan pendidikan dalam kehidupan sehari-hari seperti misalnya lebih menghargai petugas publik. 3. Educational Campaign kampanye anti vandalisme melalui poster dan penulisan artikel di surat kabar. 4. Restricted Access membatasi akses terhadap suatu objek, misalnya di perpustakaan terdapat koleksi khusus yang membutuhkan ijin apabila ada yang memerlukan Anwar Arifin dalam Effendy, 1993 menyatakan bahwa : Sesungguhnya suatu strategi adalah Keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan, guna mencapai tujuan. Jadi merumuskan strategi Komunikasi, berarti memperhitungkan kondisi dan situasi (ruang dan waktu) yang dihadapi dan yang akan mungkin dihadapi di masa depan, guna mencapai efektivitas. Strategi komunikasi merupakan paduan dari perencanaan komunikasi (communication planning) dan manajemen komunikasi (communication management) untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut strategi Komunikasi harus dapat menunjukkan bagaimana operasionalnya secara taktis harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda-beda tergantung dari situasi dan kondisi. Dengan strategi komunikasi ini, berarti dapat ditempuh beberapa cara memakai komunikasi secara sadar untuk menciptakan perubahan pada diri khalayak dengan mudah dan cepat. (Effendy 1984). Selanjutnya menurut Effendi bahwa strategi komunikasi terdiri dari dua aspek, yaitu ‘Secara makro (Planned multi-media strategy) dan Secara mikro (single communication medium strategy). Kedua aspek tersebut mempunyai fungsi ganda, yaitu : Menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif dan instruktif secara sistematis kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kuantitatif — eksploratif yaitu menggali dan ‘menjelaskan bagaimanakah Strategi Komunikasi yang tepat bagi Kampanye Peningkatan Kepedulian mahasiswa terhadap fasilitas belajar mengajar. Instrumen penelitian ini adalah mahasiswa. Sasaran merupakan perwakilan mahasiswa Universitas Bengkulu yang diambil dengan menggunakan teknik random sampling. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu data primer dan sekunder. Sumber data primer didapat dengan menggunakan wawancara kepada mahasiswa. Data sekunder diperoleh dari hasil penelitian Analisis Vandalisme Mahasiswa Terhadap Fasilitas Belajar Mengajar yang telah dilakukan sebelumnya. Pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara terstruktur seputar isu dan Diskusi kelompok terfokus. Analisa data menggunakan metode analisa 108 diskriptive yang berusaha menjelaskan strategi yang tepat bagi kampanye peningkatan kepedulian mahasiswa terhadap fasilitas belajar mengajar. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Focus Group Discussion (FGD) dilakukan dengan mahasiswa sebagai anggota kelompok diskusi untuk memperoleh informasi dari sumber yang terkait langsung dengan permasalahan, Diskusi kelompok terfokus dilakukan sebanyak tiga kali dengan kelompok mahasiswa yang berbeda. Diskusi pertama dilakukan dengan melibatkan 12 mahasiswa dari Fekultas ISIP. Diskusi kedua dilakukan peserta diskusi 15 mahasiswa fakultas Pertanian, MIPA dan Hukum. Diskusi ketiga melibatkan 13 mahasiswa yang aktif di BEM Universitas Bengkulu. Pemilihan kelompok mahasiswa diatas berdasarkan dari hasil penelitian sebelumnya yaitu Vandalisme Mahasiswa Terhadap Fasilitas Belajar Mengajar yang menunjukkan bahwa pelaku vandalisme tidak spesifik. Pelaku berasal dari jenis Kelamin laki-loki maupun perempuan; semester yang beragam, baik semester awal maupun semester akhir; mahasiswa pendatang maupun asli Bengkulu; aktifis maupun bukan, Oleh karenanya pada dasarnya setiap mahasiswa dianggap memiliki kesempatan yang sama untuk menyumbangkan saran, pemikiran dan ide dalam diskusi. Berdasarkan diskusi kelompok terfokus yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa mereka pemah melakukan vandalisme terhadap fasilitas belajar mengajar. Perilaku perusakan dikelompokkan dalam beberapa Kategori yaitu perusakan kecil, besar dan tidak sengaja. Perusakan dikategorikan kecil apabila objek yang dirusak masih bisa dipakai dan dimanfaatkan oleh orang lain. Aksi mencoret-coret meja, kursi dan dinding dengan spidol atau pena masuk dalam kategori ini, Perusakan besar adalah apabila secara fisik terjadi kerusakan pada objek yang mengakibatkan objek tersebut tidak bisa dimanfaatkan lagi. Membanting dan menendang kursi hingga rusak dan tidak bisa diduduki lagi termasuk dalam perusakan berat. Sedangkan perusakan tidak sengaja contohnya adalah ketika sebuah kursi lipat patah diduduki tiga orang mahasiswa, Bangku yang terbuat dari besi kebanyakan tidak kuat menahan beban tiga orang, apalagi bila tempat untuk menulisnya diduduki. Semua mahasiswa peserta diskusi menyatakan bahwa mereka pernah melakukan perusakan kecil denga mencoret-coret meja dan kursi. Aksi coret-coret meja yang dilakukan kebanyakan terjadi saat berkumpul rame-rame sambil menunggu kedatangan dosen serta saat kuliah berlangsung (terutama bila materi dan cara mengajar dosen dianggap membosankan). 109 ‘Mereka juga mengaku melakukan perusakan kecil dengan menduduki tempat menulis yang melekat di kursi. Beberapa dosen juga melakukan hal ini ketika sedang melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Sementara itu hanya beberapa mahasiswa saja yang mengaku pemah melakukan perusakan berat dengan membanting meja kursi, namun beberapa mahasiswa pernah menyaksikan petugas kebersihan yang membanting meja dan kursi di ruang kelas pada sore hari. Meski di setiap lokal gedung kuliah terdapat minimal satu orang petugas kebersihan atau penjaga lokal / gedung kuliah, mahasiswa tidak merasa takut saat melakukan perusakan, bahkan bila disaksikan oleh si petugas. Hal ini disebabkan karena petugas dianggap “dekat” dengan mahasiswa sehingga dianggap kurang berwibawa, Sebagian mahasiswa malah merasa petugas memiliki level dibawah mahasiswa, Petugas atau penjaga yang dianggap hanya merupakan orang yang scharusnya melayani mahasiswa terkait dengan masalah kenyamanan kuliah. Sementara itu petugas kebersihan gedung selama ini hanya bisa menegur apabila menyaksikan mahasiswa yang melakukan tindakan perusakan besar. Untuk perusakan kecil mereka hanya mendiamkan saja, Petugas selama ini cenderung membiarkan saja setiap bentuk vandalisme yang dilakukan oleh mahasiswa. Hal ini disebabkan karena mereka tidak diberi wewenang untuk memberi hukuman pada pelaku. Terlebih kadang-kadang memang tidak mudah menimpakan kesalahan pada seorang mahasiswa saja karena bisa saja, misalnya kursi yang dipatahkan memang sudah dalam kondisi yang tidak baik. Mahasiswa menganggap bahwa universitas seharusnya memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada mereka termasuk di dalamnya penyediaan sarana belajar mengajar yang memadai karena mahasiswa sudah membayar sejumlah uang kepada universitas dalam bentuk uang SPP dsb, Soal kebersihan, kenyamanan serta perawatan fasilitas perkuliahan dianggap merupakan tanggung jawab universitas. Meskipun seluruh peserta diskusi menyetujui bahwa scharusnya fasilitas publik harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, tetapi ironisnya mereka semua pemah melakukan perusakan terhadap fasilitas perkuliahan, Namun begitu, yang sedikit menggembirakan, mereka masih memiliki keinginan untuk ‘menjaga fasilitas milik bersama, karena suasana kelas yang nyaman dengan sarana dan prasarana yang memadai mampu meningkatkan semangat belajar. lo Kampanye Peningkatan Kepedulian Mahasiswa Mahasiswa menganggap komunikasi melalui media poster yang ditempelkan di papan pengumuman gedung kuliah atau spanduk yang direntangkan di seputar kampus Kurang efektif bila digunakan untuk mengkampanyekan peningkatan kepedulian mahasiswa terhadap fasilitas belajar mengajar. Himbauan, ajakan atau larangan terbukti tidak mampu menahan mereka melakukan vandalisme, Tulisan “Jagalah Kebersihan”, “Sayangilah milik bersama” dsb selama ini hanya dianggap angin lalu saja oleh mahasiswa Meskipun demikian, sebagian mahasiswa merasa tulisan yang berisi ajakan atau larangan untuk melakukan sesuatu dalam bentuk poster, leaflet atau pamflet tetap perlu dipakai sebagai pengingat mahasiswa tentang perlunya memelihara fasilitas milik bersama. Poster dsb tersebut bisa dipasang di seluruh area kampus, misalnya di ruang kuliah, kamar mandi serta perpustakaan. Sebagai altematif, mahasiswa menyarankan dibentuk sebuah tim penyadaran dan peningkatan kepedulian mahasiswa terhadap fasilitas perkuliahan di setiap jurusan atau program studi. Anggota tim terdiri dari beberapa mahasiswa yang bertugas mensosialisasikan perlunya menjaga fasilitas publik serta membuat program kerja terkait usaha meningkatkan rasa ikut memiliki (sense of belonging) terhadap fasilitas milik bersama. Guna menggairahkan para anggota tim ini, mereka perlu digaji oleh universitas. Koordinator mahasiswa untuk tiap matakuliah juga bisa diperlu ditambahi tugas untuk memastikan selama jam kuliah berlangsung,ada maupun tidak ada dosen, mahasiswa peserta kuliah tidak melakukan perusakan di dalam ruang kuliah. Namun menurut peserta diskusi hal ini tidak praktis karena ruang kuliah mahasiswa berpindah-pindah, tidak seperti ruang belajar anak sekolahan. Bisa jadi mahasiswa peserta suatu kuliah harus menanggung kerusakan yang, dilakukan oleh mahasiswa yang menggunakan kelas sebelumaya. Terlebih tugas koordinator ‘mahasiswa akan berat karena harus menegur rekannya senditr. Mahasiswa mengharapkan dosen yang mengajar di tiap kelas turut serta mengawasi mahasiswa agar tidak melakukan vandalisme. Misalnya ada mahasiswa yang mencoret-coret bangku pada saat kuliah berlangsung, dosen diharapkan menegur mahasiswa tersebut pada saat itu juga agar mahasiswa yang bersangkutan merasa malu, Semetara itu dosen yang terbiasa memberikan kuliah sambil duduk di tempat menulis yang ada di bangku juga perlu ditegur oleh koordinator mahasiswa atau petugas. Hal ini menjadi jaminan bagi mahasiswa bahwa setiap pelaku vandalisme akan mendapatkan perlakuan yang sama. Selama ini Universitas Bengkulu belum memiliki aturan baku yang secara tegas mengatur tentang fasilitas perkuliahan, dalam hal ini berkaitan dengan sanksi yang akan diterima oleh ut pelaku tindakan vandalisme. Oleh karenanya perlu dibuat aturan yang menjadi landasan bagi pihak yang berwenang untuk memberi punishment bagi siapapun yang merusak fasilitas milik bersama termasuk di juga para dosen yang duduk di meja ketika sedang mengajar. Sementara itu untuk mem-back up peraturan yang dibuat, petugas yang ada di setiap gedung diberi wewenang untuk memberikan penghukuman (punishment) bagi mahasiswa yang tertangkap melakukan vandalisme. Konsekuensinya petugas harus selalu siap berada di gedung untuk melakukan kontrol secara reguler. Mulai semester ganjil tahun ajaran 2005/2006, di setiap gedung kuliah ada petugas yang bertanggung jawab atas kebersihan gedung. Tidak seperti petugas sebelumnya yang dibayar oleh universitas, petugas saat ini merupakan karyawan perusahaan yang memenangi tender proyek kebersihan gedung kuliah. Petugas yang kini bekerja di gedung-gedung kuliah lebih rajin dan lebih sering terlihat membersihkan lokal dibandingkan petugas sebelumnya. Hal ini cukup menggembirakan karena ruang kuliah terlihat lebih bersih schingga menambah suasana nyaman bagi pemakainya. Dengan adanya petugas kebersihan yang bekerja secara reguler memang memiliki dampak positif diantaranya suasana bersih dan nyaman senantiasa diusahakan, Namun persoalan vandalisme bukan berarti sampai disini saja Karena petugas tersebut hanya membuat suasana nyaman tanpa mampu menghentikan kebiasaan merusak fasilitas perkuliahan, Pada dasarnya semua pihak perlu bekerjasama untuk menciptakan civitas akademik yang mempunyai sense of belonging yang tinggi tethadap fasilitas belajar_mengajar, ‘Mabasiswa perlu dikembangkan pemahaman akan pentingnya menjaga milik bersama; dosen, petugas Kebersihan dan penjaga gedung membantu mengawasi, jajaran universitas mendukung lewat peraturan yang dijalankan secara konsekuen. KESIMPULAN DAN SARAN Menurut mahasiswa peningkatan kepedulian mahasiswa terhadap fasilitas belajar mengajar lebih efektif dilakukan secara tatap muka dibandingkan dengan menggunakan media, Penggunaan poster yang ditempel di papan pengumuman atau spanduk yang dipasang di dalam kampus yang berisi ajakan menjaga fasilitas belajar mengajar dianggap tidak mampu menyadarkan mahasiswa untuk memperlakukan fasilitas perkuliahan dengan sebaik-baiknya. Mahasiswa mengusulkan dibentuknya semacam satgas yang terdiri dari beberapa mahasiswa tiap-tiap program studi atau jurusan yang bertugas mensosialisasikan sckaligus mempersuasi mahasiswa lain untuk mengurangi vandalisme serta meningkatkan kepedulian terhadap fasilitas perkuliahan, Untuk memulai kampanye ini perlu dibuat suatu peraturan khusus yang dikeluarkan oleh pihak rektorat untuk mengatur sanksi bagi mahasiswa yang melakukan perusakan, serta adanya personel yang diberi kewenangan khusus untuk memberikan sanksi bagi pelaku vandalisme, Selain itu peran serta semua pihak, terutama dosen, sangat diharapkan untuk terciptanya sense of belonging mahasiswa terhadap fasilitas perkuliahan. DAFTAR PUSTAKA Cohen, Stanley. Property Destruction: Motives and Meanings. Vandalism. Ed. Colin Ward. London: H.E. Warne, 1973 Effendy, Onong Uchjana, IImu Komunikasi Teori dan Praktek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993 Effendy, Onong Uchjana,lIimu Teori dan Filsafat Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1989 Goldstein, Amold P. The Psychology of Vandalism. New York: Plenum Press, 1996. Lincoln, Alan Jay. Vandalism: Causes, Consequence and Prevention. Library and Archival Security. 1989 Pedersen, Terti L. Theft and Mutilation of Library Materials. College and Research Libraries 1990 Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung,1989 "3

Anda mungkin juga menyukai