Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Paru Obstrukti Kronis (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan
diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas
yang beracun/ berbahaya.1,2,8

Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka
1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama
tahun 2000. Berdasarkan penelitian Global Burden of Disease, PPOK menempati
urutan ke-6 penyebab kematian pada tahun 1990, dan akan menjadi peringkat ke-3
penyebab kematian d seluruh dunia pada tahun 2020. 2,3 Berdasarkan survey kesehatan
rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial menduduki
peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Penderita PPOK
umumnya penduduk usia pertengahan keatas. Jumlah penderita laki-laki lebih banyak
dari pada wanita, golongan sosial ekonomi rendah lebih tinggi dari pada golongan
sosial ekonomi tinggi. 1,4,9

Faktor-faktor yang berperan dalam peningkatan insiden dari PPOK adalah yaitu
pertambahan penduduk, kebiasaan merokok yang masih tinggi ( kurang dari 60% pada
laki-laki di atas 15 tahun ), industrialisasi, dan polusi udara terutama di kota-kota besar
dan lokasi industri dan pertambangan.1

Hal yang ingin dicapai pada penatalaksanaan PPOK terutama yang mengalami
eksaserbasi akut antara lain adalah mencegah perburukan penyakit, mengatasi keluhan
yang timbul, memperbaiki toleransi saat latihan, memperbaiki status kesehatan,
mencegah komplikasi, dan yang terakhir tentu menurunkan kematian.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran pernafasan yang
progresif dan ireversibel yang terjadi bersamaan dengan bronkitis kronik, emfisema
atau kedua-duanya (Snider, 2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah
penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respon
inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun atau berbahaya, disertai efek ekstra-
paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.1,2

2.2 Epidemiologi

Beberapa waktu ini jumlah pasien PPOK terus meningkat seiring dengan peningkatan
usia harapan hidup, meningkatnya prevalensi merokok, pesatnya industrialisasi dan
polusi udara terutama di kota-kota besar dan lokasi industri serta pertambangan.
Sekitar seperempat populasi dewasa di dunia yang berusia 40 tahun ke atas diketahui
menderita penyakit obstruksi saluran pernafasan. Pasien PPOK biasanya penduduk usia
pertengahan ke atas. Pasien PPOK laki-laki lebih banyak dari pada pasien perempuan.
Sosial ekonomi yang rendah dan pemukiman yang padat memudahkan terkena PPOK.1

2.3 Faktor Risiko

Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam pencegahan dan


penatalaksanaan PPOK. Meskipun saat ini pemahaman faktor risiko PPOK dalam
banyak hal masih belum lengkap, diperlukan pemahaman interaksi dan hubungan
antara faktor-faktor risiko sehingga memerlukan investigasi lebih lanjut. Beberapa hal
yang berkaitan dengan risiko timbulnya PPOK antara lain dapat dilihat pada tabel di
bawah ini: 1,4

2
Tabel 2. 1. Faktor Risiko COPD1
1. Gen
2. Paparan terhadap partikel
- Asap rokok
- Polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun
- Polusi di dalam ruangan dari asap kompor, pemanas ruangan dan
ventilasi rumah yang kurang baik
- Populasi di luar ruangan
3. Tumbuh kembang paru
4. Stress oksidatif
5. Gender
6. Umur
7. Infeksi saluran nafas
8. Riwayat tuberculosis dan asma
9. Status sosioekonomi
10. Nutrisi

Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang menyebabkan
terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut
meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor lingkungan. Faktor pejamu
meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang
utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor.
Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi.
Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa
anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan
dengan risiko mendapatkan PPOK.2,3,4

Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi


terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia
mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan
angka kematian. Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini mungkin
berhubungan juga dengan faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil
juga merupakan faktor risiko PPOK. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1
tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok. Hubungan
antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose response, artinya lebih
banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok

3
tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose
response tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang
rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10
bungkus tahun artinya jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan
menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok.3,4

Penelitian eksperimental menunjukan bahwa merokok menyebabkan gangguan


mucociliary defence, gangguan pergerakan silia epitel bronkus, gangguan aktivitas
makrofag alveoli, spasme saluran nafas, dan hipertropi dan hiperplasia kelenjar mukus.
Terhadap makrofag alveoli asap rokok menyebabkan meningginya sekresi enzim
elastase yang dapat merusak jaringan elastik dari alveoli sehingga terjadi emfisema.
Sedangkan pada saluran bronkus asap rokok dapat menyebabkan hypertropi dan
hiperplasia kelenjar mukus sehingga terjadi hipersekresi mukosa dan muncul batuk
yang berdahak sesuai dengan manifestasi klinis dari bronkitis kronis.4

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap
kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas
buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi
di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain.
Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK.
Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil
dibandingkan asap rokok. Polusi dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan
oleh bahan bakar biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan
faktor risiko lainnya. Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya
PPOK, kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada
tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosialekonomi. 2,5

2.4 Patofisiologi1

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil

4
metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi.
Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah
peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi
adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari
gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi
berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk
melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan
abstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP I) dan rasio
volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP I/ KVP).4,6

Keterbasan aliran udara dan air trapping

Luasnya inflamasi, fibrosis dan eksudat pada lumen saluran nafas kecil berkorelasi
dengan reduksi VEP1 dan VEP1/KVP. Selama ekspirasi udara terperangkap akibat
adanya obstruksi saluran nafas perifer secara progresif sehingga mengakibatkan
hiperinflasi. Pada parenkim paru, penghancuran elemen struktural yang dimediasi
protease menyebabkan emfisema. Meskipun emfisema lebih terkait dengan gangguan
pertukaran udara dibanding dengan penurunanVEP1, tetapi itu juga berpengaruh
terhadap terperangkapnya udara selama fase ekspirasi. Hal ini khususya diakibatkan
oleh rusaknya alveolar attachment. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan
berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara akibat
rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago. Akibatnya terjadi jebakan
udara (air trapping) di alveoli bagian distal menyebabkan distensi sakus alveoli
sehingga mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengakibatkan penurunan kapasitas
inspirasi sehingga mengakibatkan kapasitas residual fungsional meningkat, khususnya
selama berkativitas, sehingga mengakibatkan dyspnea dan limitasi dari kemampuan
beraktivitas.

Abnormalitas pertukaran gas

Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK. Inhalasi asap rokok
atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel epitel untuk melepaskan

5
faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan neutrofil. Kemudian,
makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang merusak elemen struktur pada
paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun
tidak berimbangnya antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang pada
akhirnya akan menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK. Gangguan
pertukaran gas akan mengakibatkan hipoksemia dan hiperkapnia dan beberapa
mekanisme lainnya pada PPOK. Secara umum pertukaran gas memburuk sejalan
dengan progresifitas dari penyakit.

Hipersekresi Mukus

Hipersekresi mucus mengakibatkan batuk kronis yang produktif yang merupakan


manifestasi dari brokitis kronis. Hal ini diakibatkan oleh penigkatan jumlah sel goblet
dan pembesaran kelenjar mukosal sebagai respon terhadap iritasi saluran nafas kronis
oleh asap rokok dan zat berbahaya lainnya Terdapat pula disfungsi silier pada epitel,

Gambar 2.1 Patogenesis PPOK7

6
menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus yang berlebihan. Beberapa
mediator dan protease merangsang hipersekresi mucus melalui aktivasi reseptor faktor
EGFR

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil
Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga
terjadi kerusakan jaringan. Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas
dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan
dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi
mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.3,5,6

Eksaserbasi

Eksaserbasi dapat disebabkan oleh infeksi atau faktor – faktor lain seperti polusi udara,
kelelahan atau timbulnya komplikasi dan sepertiga dari eksersebasi akut penyebabnya
tidak dapat diidentifikasi. Infeksi dapat berperan sebagai faktor pencetus karena
dengan adanya infeksi maka inflamasi yang sudah ada semakin memberat sehingga
penyempitan saluran nafas makin meningkat, dan gejala sesakpun akan meningkat

2.5 Diagnosis

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fizik dan pemeriksaan


penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat
menentukan PPOK klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan
dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.

7
2.5.1 Anamnesis

I. Ada faktor resiko


Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya
riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja.
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok
perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif,
atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman
(IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang
(200-600), dan berat ( >600).4,8,9

II. Gejalai Klinis1,4


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga
berat. Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus
diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi
pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang
tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan
hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas yang
progresif, bertambah berat dengan aktivitas, dan persisten. merupakan gejala yang
sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien
sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat
sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap
kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak menurut British
Medical Research Council (MRC) (Tabel 2.1).3,4,6,7

8
Tabel 2.2. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau
naik tangga 1 tingkat
3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau
setelah beberapa menit
5 Sesak bila mandi atau berpakaian

Sesak nafas dan pola nafas yang tidak selaras menyebabkan penderita PPOK sering
kali menjadi panik, cemas dan akhirnya frustasi. Gejala ini merupakan penyebab
utama pasien PPOK mengurangi aktivitas fisis untk menghindari sesak nafas
sehingga menjadi tidak aktif. Begitu juga yang dialami pasien pada kasus ini,
dimana pasien merasa sesaknya sangat mengganggu aktivitas sehari-harinya

Manifestasi lain seperti demam, nyeri saat menelan, hidung tersumbat serta adanya
cairan kental kekuningan yang keluar dari hidung, menggambarkan adanya suatu
infeksi akut pada saluran nafas atas. Hal ini kemungkinan yang mencetuskan
terjadinya eksaserbasi pada pasien.

2.5.2 Pemeriksaan Fisis1,4

Pemeriksaan fisik jarang digunakan untuk mendiagnosis pasien PPOK. Tanda-tanda


fisik adanya hambatan aliran udara biasanya tidak tampak sampai terjadi adanya
gangguan yang signifikan dari fungsi paru, dan deteksi dari tanda-tanda tersebut
memiliki spesifitas dan sensitivitas yang rendah. Beberapa tanda-tanda fisik yang
mungkin dapat timbul pada penderita PPOK antara lain adalah

I. Inspeksi
a. Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
b. Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
c. Penggunaan otot bantu napas
d. Hipertropi otot bantu napas

9
e. Pelebaran sela iga
f. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan
edema tungkai
g. Penampilan pink puffer atau blue bloater

II. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

III. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah

IV. Auskultasi
a. Suara napas vesikuler normal, atau melemah
b. Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar jauh

Ciri khas yang mungkin ditemui pada penderita PPOK :


- Pink puffer. Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing
- Blue bloater. Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
- Pursed - lips breathing adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut
mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

Pada PPOK terjadi gangguan otot pernapasan yang dipengaruhi kontraksi otot dan
kekuatan otot pernapasan. Hilangnnya daya elastisitas paru pada PPOK menyebabkan
hiperinflasi dan obstruksi jalan nafas kronis yang mengganggu pada proses ekspirasi
sehingga volume udara yang masuk dan keluar tidak seimbang dan terdapat udara yang
terjebak (air trapping). Air trapping dalam keadaan lama menyebabkan kontraksi otot
kurang efektif dan fungsinya sebagai otot utama pernafasan berkurang terhadap

10
ventilasi paru. Berbagai kompensasi otot interkosta dan otot inspirasi tambahan yang
biasa dipakai pada kegiatan tambahan akan dipakai terus menerus sehingga peran
diafragma akan menurun sampai 65%.

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

a) Darah Lengkap
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan WBC dalam batas normal atas dan
penurunan jumlah sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit yang sangat
sedikit. Nilai WBC yang berada dalam batas normal belum dapat menyingkirkan
adanya infeksi pada pasien karena fungsi sistem imunitas tubuh
(immunocompetence) menurun sesuai umur. Aging (penuaan) dihubungkan
dengan sejumlah perubahan pada fungsi imun tubuh, khususnya penurunan
imunitas mediated sel. Aging juga mempengaruhi aktivitas leukosit termasuk
makrofag, monosit, neutrofil, dan eosinofil. Namun hanya sedikit data yang
tersedia menjelaskan efek penuaan terhadap sel-sel tersebut. Pada pasien PPOK
dengan eksaserbasi akut yang diakibatkan oleh adanya infeksi, akan didapat
gambaran terjadinya peningkatan kadar sel darah putih. Namun terkadang hal ini
tidak terjadi pada pasien usia lanjut.10

Polisitemia dapat terjadi pada keadaan hypoxemia arterial, khususnya pada


perokok aktif, dan dapat diidentifikasi dengan jumlah hematokrit > 55%.
Hematokrit yang rendah menggambarkan prognosis yang buruk pada pasien
PPOK yang menerima terapi oksigen jangka panjang.1

b) Analisis Gas Darah (AGD)


Adanya proses destruktif pada paru mengakibatkan hilangnya sebagian besar
dinding alveolus sehingga mengakibatkan penurunan kemampuan paru untuk
mengoksigenasi darah dan mengeluarkan karbon dioksida dari darah. Proses
obstruktif seringkali jauh lebih buruk pada beberapa bagian paru daripada bagian

11
lainnya, sehingga beberapa bagian paru ventilasinya baik, sementara bagian lain
ventilasinnya buruk. Keadaan ini seringkali menghasilkan rasio ventilasi perfusi
yang abnormal, dengan Va/Q yang sangat rendah pada beberapa bagian
mengakibatkan aerasi darah yang buruk, dan Va/Q yang sangat tinggi pada
beberapa bagian lain yang mengakibatkan ventilasi percuma. Adanya
hipoventilasi pada banyak alveoli dan kerusakan dinding alveolus mengakibatkan
terjadinya peningkatan kadar pCO2 dalam darah dan penurunan kadar pO2
dalam darah.

2. Chest X-Ray
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa gambaran
hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, peningkatan corakan
bronkovaskuler, jantung pendulum dan ruang retrosternal melebar. Meskipun
kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan.
Hasil foto thorax yang abnormal jarang digunakan sebagai diagnostik PPOK, tetapi
sangat berguna dalam mengeksklusi diagnosis penyakit paru lainnya atau
menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien dan menegakkan adanya
komorbditas seperti gagal jantung.

3. Elektrokardiografi
Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) diperlukan pada pasien PPOK untuk
mengetahui adanya komplikasi pada jantung yang ditandai dengan adanya
gambaran P pulmonal dan hipertropi ventrikel kanan.

4. Spirometri1,5
Spirometri harus dilakukan pada semua pasien yang dicurigai menderita PPOK. Ini
diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti dari PPOK dan mengeksklusi
diagnosis lain yang memiliki gejala yang serupa. Meskipun spirometri sendiri tidak
berdampak langsung terhadap kesehatan pasien, tetapi spirometri masih tetap
menjadi gold standard dalam mendiagnosis penyakit dan mengawasi progesi
penyakit tersebut. Hal yang harus diukur dalam spirometri antara lain adalah

12
kapasitas vital ekspirasi paksa (KVP) yaitu volume udara yang dikeluarkan secara
paksa dari titik inspirasi maksimal, volume ekspirasi paksa pada detik pertama
(VEP1) yaitu volume udara yang diekspirasi pada detik pertama dari maneuver ini,
dan rasio dari keduanya (VEP1/ KVP). Pada pasien dengan PPOK biasanya
menunjukkan penurunan nilai FEV1 dan KVP. Tingkat abnormalitas dari nilai
spirometri dapat menunjukkan derajat keparahan dari PPOK.

Tabel 2.3 Klasifikasi PPOK12


Derajat Klinis Faal paru
Derajat I: Gejala batuk kronik dan produksi sputum -VEP1/KVP < 70%
PPOK Ringan ada tapi tidak sering. -VEP1 ≥ 80% prediksi
Derajat II: Gejala sesak mulai dirasakan saat -VEP1/KVP < 70%
PPOK Sedang aktivitas dan kadang ditemukan gejala -50 < VEP1 < 80% prediksi
batuk dan produksi sputum.
Derajat III: Gejala sesak lebih berat, penurunan - VEP1/KVP < 70%
PPOK Berat aktivitas, rasa lelah dan serangan -30 < VEP1 < 50% prediksi
eksaserbasi makin sering
Derajat IV: Gejala di atas ditambah tanda-tanda - VEP1/KVP < 70%
PPOK Sangat gagal napas atau gagal jantung kanan dan - VEP1<30% prediksi atau
Berat ketergantungan oksigen. VEP1 < 50% disertai gagal
napas kronik.

Adanya hambatan aliran nafas dapat diketahui dari nilai FEV1/ FVC< 0,70
postbronkdilator. Spirometri harus dilakukan setelah administrasi short acting
inhaled bronchodilator dengan dosis yang tepat untuk meminimalisasi adanya
variabilitas.

Nilai yang didapat harus dibandingkan sesuai umur untuk menghindari adanya
overdiagnosis PPOK pada lanjut usia. Tes spirometri ini dapat dilakukan pada
pederita PPOK yang dalam keadaan stabil.

13
5. Bakteriologi

Pemeriksaan bakeriologi sputum pewarnaan gram dan kultur resistensi diperlukan


untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran nafas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada pasien
PPOK di Indonesia..1

2.6 Diagnosis Banding

Adapun diagnosis banding dari PPOK antara lain dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.4 Diagnosis Banding PPOK1,4


Diagnosis Gambaran Klinis
Asma 1. Onset usia dini
2. Gejala bervariasi dari hari ke hari
3. Gejala pada waktu malam/dini hari lebih menonjol
4. Ditemukan riwayat alergi, rinitis, atau eczema
5. Ada riwayat asma dalam keluarga
6. Hambatan aliran udara umumnya reversibel
Gagal jantung 1. Adanya riwayat hipertensi
kongestif 2. Ditemukan ronkhi basah pada basal paru
3. Gambaran foto thoraks berupa pembesaran jantung dan
edema paru
4. Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan obstruksi
Bronkiektasis 1. Sputum purulen dalam jumlah yang banyak
2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
3. Ronkhi basah kasar
4. Gambaran foto thoraks tampak honeycomb appearance
dengan penebalan dinding bronkus.
Tuberkulosis 1. Onset semua usia
2. Gambaran foto thoraks berupa infiltrat
3. Ditemukan BTA pada pemeriksaan mikrobiologi
Bronkiolitis 1. Usia muda
obliterasi 2. Tidak merokok
3. Dapat ditemukan riwayat adanya artritis reumatoid
4. CT paru ekspirasi terlihat gambaran hipodens
Diffuse 1. Sering pada perempuan tidak merokok
panbronchiolitis 2. Seringkali berhubungan dengan sinusitis
3. Pada foto rontgen dan CT paru resolusi tinggi
memperlihatkan bayangan diffuse nodul opak sentrilobular
dan hiperinflasi.

14
PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru,
namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik.
Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik dapat dilihat pada
Tabel 2.3.7,9

Tabel 2.5 Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, Asma
Bronkial dan Gagal Jantung Kronik
PPOK Asma Bronkial Gagal Jantung
Kronik
Onset usia > 45 tahun Segala usia Segala usia
Riwayat keluarga Tidak ada Ada Tidak ada
Pola sesak napas Terus menerus, Hilang timbul Timbul pada
bertambah berat waktu aktivitas
dengan aktivitas
Ronki Kadang-kadang + ++
Mengi Kadang-kadang ++ +
Vesikular Melemah Normal Meningkat
Spirometri Obstruksi ++ Obstruksi ++ Obstruksi +
Restriksi + Restriksi ++
Reversibilitas < ++ +
Pencetus Partikel toksik Partikel sensitif Penyakit jantung
kongestif

2.7 Assesment Eksaserbasi Akut Pada PPOK

Eksaserbasi dari PPOK merupakan peristiwa akut yang dikarakterisasi dengan


perburukan gejala pernafasan yang berbeda dengan variasi normalnya sehari-hari dan
mengakibatkan perubahan dalam pengobatan. Angka dimana eksaserbasi itu terjadi
bervariasi antara setiap pasien. Perburukan dari limitasi aliran udara memiliki
keterkaitan dengan peningkatan prevalensi dari eksaserbasi dan risiko kematian.
Eksaserbasi dapat menurunkan fungsi paru, perburukan status kesehatan dan risiko
kematian. Penilaian risiko eksaserbasi dapat juga dilihat sebagai penilaian dari faktor
prognostik yang buruk.

15
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian akut dalam
perjalanan alami penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal sesak napas,
batuk, dan/atau sputum yang diluar batas normal dalam variasi hari ke hari. Penyebab
eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus), atau
sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru, pneumotoraks
spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-obatan (obat
antidepresan, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (diabetes melitus,
gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkungan memburuk atau polusi udara, aspirasi
berulang, serta pada stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi).6,8

Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien sering menjalani
rawat inap akibat eksaserbasi. Menurut penelitian Kessler dkk. (1999) terdapat faktor
prediktif eksaserbasi yang menyebabkan pasien dirawat inap. Faktor risiko yang
signifikan adalah Indeks Massa Tubuh yang rendah (IMT<20 kg/m2) dan pada pasien
dengan jarak tempuh berjalan enam menit yang terbatas (kurang dari 367 meter).
Faktor risiko lainnya adalah adanya gangguan pertukaran gas dan perburukan
hemodinamik paru, yaitu PaO2≤65 mmHg, PaCO2>44 mmHg, dan tekanan arteri
pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18 mmHg. Lamanya rawat inap setiap
pasien bervariasi. Iglesia dkk. (2002) mendapatkan faktor prediktif pasien dirawat inap
lebih dari 3 hari, yaitu rawat inap pada saat akhir minggu, adanya kor pulmonale, dan
laju pernapasan yang tinggi. 4,6,9

Gejala eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum meningkat, dan
adanya perubahan konsistensi atau warna sputum. Menurut Anthonisen dkk. (1987),
eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi berat) apabila
memiliki 3 gejala utama, tipe II (eksaserbasi sedang) apabila hanya memiliki 2 gejala
utama, dan tipe III (eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1 gejala utama ditambah
adanya infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.4,5,7

16
2.8 Penatalaksanaan1,4,14

Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah meminimalisasi dampak dari


eksaserbasi dan untuk mencegah terjadinya eksaserbasi selanjutnya mencegah
terjadinya kematian. Risiko kematian dari eksaserbasi sangat berhubungan dengan
terjadinya asidosis respiratorik, adanya komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi
(GOLD, 2009). Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat).
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan
atau rawat inap dan dilakukan di poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat
darurat atau ruang ICU.3,7
2.8.1. Bronkodilator
Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK adalah short-
acting inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini belum tercapai,
direkomendasikan menambahkan antikolinergik, walaupun bukti ilmiah
efektivitas kombinasi ini masih kontroversial. Walaupun penggunaan klinisnya
yang luas, peranan metilxantin dalam terapi eksaserbasi masih kontroversial.
Sekarang metilxantin (teofilin, aminofilin) dipertimbangkan sebagai terapi lini
kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari penggunaan short-acting
inhaled B2-agonists. Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi penggunaan
long-acting inhaled B2-agonists dengan/tanpa inhalasi glukokortikosteroid
selama eksaserbasi.5,10

Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan


peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang
tepat, nebulizer dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati
dengan penggunaan nebulizer yang memakai oksigen sebagai kompresor, karena
penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan
retensi CO2. Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama dengan
bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma.
Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan

17
nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya
palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.7,9

II.8.2. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan terapi pada
penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti yang direkomendasikan tidak
diketahui, tetapi dosis tinggi berhubungan dengan risiko efek samping yang
bermakna. Dosis prednisolon oral sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari adalah
efektif dan aman (GOLD, 2009). Menurut PDPI (2003), kortikosteroid tidak
selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat
sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat
berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek
samping.9,10

II.8.3. Antibiotik
Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada:8,9,10
a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan
volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesak

b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan


purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut

c. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi


kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit
sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi
sedang sebaiknya diberikan kombinasi dengan makrolid, dan bila ringan dapat
diberikan tunggal. Antibiotik yang dapat diberikan di Puskesmas yaitu lini I:
Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II: Ampisilin kombinasi
Kloramfenikol, Eritromisin, kombinasi Kloramfenikol dengan Kotrimaksasol
ditambah dengan Eritromisin sebagai Makrolid (PDPI, 2003).

18
II.8.4. Terapi Oksigen
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di
ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau
SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi
retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang
sedikit sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan
kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan
apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan
PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat,
harus digunakan ventilasi mekanik. 7,9,10

II.8.5. Ventilasi Mekanik


Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat
adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala.
Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang
menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik
invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. 7,9

2.9 Komplikasi4

Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif dan
tidak sepenuhnya reversible seperti:
1. Gagal nafas
- Gagal nafas kronik
Pada gagal nafas kronik, hasil analisa gas darah, PO2<50mmHg dan
PCO2>50mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :
a. jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
b. bronkodilator kuat
c. terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas dan tidur

19
d. antioksidan
e. latihan pernafasan dengan pursed lips breathing
- Gagal nafas akut
Pada gagal nafas kronik, yang ditandai oleh :
Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen,
demam, dan kesadaran menurun.

2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuknya
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi kronik
ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit
darah.

3. Cor Pulmonale (Gagal jantung Kanan)


Pertukaran udara yang jelek pada penderita PPOK menyebabkan menurunnya
jumlah oksigen di darah sehingga timbul refleks spasme percabangan-percabangan
kecil arteri pulmonalis (hypoxic vasoconstriction). Kesemuanya ini akan lebih
meningkatkan tahanan perifer dalam paru. Maka ventrikel kanan harus bekerja lebih
keras, sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan. Bila sudah tidak mampu lagi
mengkompensasi meningkatnya tahanan perifer intrapulmonal, maka akan terjadi
kegagalan jantung kanan. Tanda dan gejala gagal jantung kanan antara lain
pembengkakan ekstemitas bawah yaitu kaki, dispneu, tidak mampu mentoleransi
latihan, sianosis, meningkatnya vena leher dan P pulmonal pada EKG,
hematokrit>50 %. 8,10

20

Anda mungkin juga menyukai