Anda di halaman 1dari 6

Berita bohong atau hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah

benar adanya. Hal ini tidak sama dengan rumor, ilmu semu, atau berita palsu, maupun April Mop.
Tujuan dari berita bohong adalah membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan
kebingungan

detikNews

Home

Berita

Daerah

Jawa Timur

Internasional

detikX

Kolom

Blak blakan

Pro Kontra

Infografis

Foto

Video

Hoax Or Not

Suara Pembaca

Jawa Barat

Jawa Tengah & DIY

Makassar

Medan

Indeks

detikNews

Berita
Tangkal Hoax COVID-19, Masyarakat Diminta Saring Sebelum Sebar

Inkana Putri - detikNews

Rabu, 07 Apr 2021 22:05 WIB

hoax yang menyebut pasien jantung harus berhenti minum obat sebelum vaksin corona Foto: viral

Jakarta - Penyebaran berita hoax terkait vaksinasi COVID-19 masih terus beredar. Hingga Selasa (6/4),
tercatat ada 154 hoax beredar di masyarakat mulai dari penularan COVID-19, obat COVID-19, serta chip
pada vaksin COVID-19. Hal ini tentunya juga menimbulkan rasa tidak percaya pada otoritas pemerintah
dan juga program vaksinasi COVID-19.

Merespons hal ini, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan drg.
Widyawati mengatakan bahwa isu kesehatan merupakan isu spesifik. Pasalnya, isu tersebut
membutuhkan keahlian khusus untuk mengidentifikasi sebuah informasi yang beredar itu nyata atau
hoaks.

"Maka dari itu, kami selalu mengimbau masyarakat untuk melakukan saring sebelum sebar (3S),"
ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (7/4/2021). Hal tersebut ia sampaikan dalam Dialog Produktif
bertema Melawan Hoaks dan Misinformasi Vaksinasi COVID-19 yang digelar KPCPEN dan ditayangkan
pada FMB9ID_IKP.

Menurutnya, hoax terkait isu kesehatan juga perlu diklarifikasi. Oleh karena itu, pihaknya terus berupaya
untuk meluruskan hoax yang beredar melalui kanal resmi Kemenkes.

"Hoaks belakangan memang banyak terkait dengan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), atau yang
terkait dengan vaksinasi COVID-19. Hoaks itu nantinya akan kita telusuri dan olah bersama. Karena isu
kesehatan perlu ahli untuk klarifikasi. Apabila informasi tersebut salah maka kami luruskan dengan
mengadakan konferensi pers dan menyebarkannya di kanal-kanal kami," katanya.

Sementara itu, Communication for Development Specialist UNICEF Rizky Ika Syafitri menyampaikan
WHO juga menempatkan hoaks atau kesalahan informasi sebagai salah satu ancaman global untuk
kesehatan masyarakat. Bahkan, beredarnya hoax juga terkadang menghambat target program
kesehatan di Indonesia.

KPCPEN, Satgas Penanganan COVID-19, dan Kementerian Kesehatan sampai membuat task force sendiri
untuk menangani hoaks. Sedikitnya ada 5 hoaks baru yang tersebar setiap hari, sementara untuk
mengklarifikasinya perlu proses," ungkapnya.
"Kalau dilihat secara umum, hoaks vaksinasi sebenarnya berulang. Misalnya tentang KIPI, di tahun 2017-
2018 saat Kemenkes melakukan kampanye besar vaksinasi campak rubella, dengan target vaksinasi
kepada 77 juta anak Indonesia. Salah satu kenapa cakupannya tidak mencapai 95% karena hoaks yang
beredar," imbuhnya

Terkait hal ini, Rizky mengatakan masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan literasi digital yang
cukup. Hal ini dilakukan guna memahami bahwa tidak semua informasi yang bersumber dari internet
benar.

Di samping itu, ia menambahkan masyarakat perlu diberikan informasi dalam mencegah penyebaran
hoaks, khususnya terkait pandemi dan vaksinasi COVID-19. Terlebih informasi soal ada pihak-pihak yang
tidak ingin bangsa Indonesia keluar dari pandemi.

"Sehingga saat masyarakat menerima hoaks mereka sudah tahu jenis jenis dan tidak terpengaruh
dengan hoaks tersebut," pungkasnya.

Baca juga:

Melihat Data Kematian Corona RI yang Melonjak Gegara Input Tertunda

Sebagai informasi, Kemenkes, UNICEF dan KPCPEN telah melatih 92 ribu vaksinator yang dipersiapkan
untuk berhadapan langsung dengan masyarakat. Seluruhnya telah dibekali kemampuan berkomunikasi
interpersonal yang efektif.

Pasalnya, survei UNICEF menunjukkan masyarakat yang tidak mengakses media sosial juga mengetahui
hoax terkait vaksinasi COVID-19. Dengan demikian, masyarakat perlu pendekatan khusus, terutama dari
dokter dan tenaga kesehatan yang masih dipercaya masyarakat.

Untuk informasi valid dan terbaru terkait pandemi COVID-19 dan program vaksinasi nasional dapat
dilihat di kanal resmi Kementerian Kesehatan sehatnegeriku.kemkes.go.id, Facebook Kementerian
Kesehatan RI, Twitter @KemenkesRI, Instagram @kemenkes_ri, dan YouTube @Kementerian Kesehatan
RI.
Fakta

Anjuran berjemur di bawah sinar matahari demi kekebalan tubuh sudah diketahui sejak lama. Namun
kekinian, muncul pesan broadcast di media sosial hingga WhatsApp yang menyebut berjemur bisa
mencegah tertular virus Corona Covid-19 karena virusnya mati. Benarkah?

Dalam pesan broadcast tersebut, disebutkan bahwa Anda diminta tidak pergi ke daerah dingin dan
memperbanyak paparan sinar matahari. Sebab, virus akan hilang sepenuhnya saat terkena sinar
matahari.

Kendati berjemur badan tidak dapat membunuh virus corona atau SARS-CoV-2, tetapi berjemur badan di
bawah sinar matahari yang tepat dapat menghasilkan vitamin D3 yang dibutuhkan oleh tubuh. Vitamin
D3 ini hanya bisa didapatkan dan dihasilkan di dalam tubuh tanpa overdosis dari cahaya matahari pagi
Kita semua tahu bahwa berjemur di bawah sinar matahari pagi baik untuk mendapatkan Vitamin D.

Untuk mendapatkan Vitamin D, kita memerlukan paparan sinar ultraviolet B yang muncul antara Pukul
09.30 - 14.30.

"Jadi yang efektif jam 9-10 pagi atau 2-3 sore," kata Konsultan Alergi dan Imunologi Anak, Prof. DR. Dr.
Budi Setiabudiawan, Sp.A(K), M.Kes dalam IG Live bersama IDAI, Kamis (9/4/2020).

Namun, dalam beberapa waktu terakhir, setelah muncul pandemi Covid-19, jam terbaik berjemur
matahari kembali menjadi perdebatan.

Baca juga: Ini Waktu Berjemur yang Baik di Bawah Sinar Matahari

Apa sebetulnya yang membuat berjemur penting dilakukan di tengah pandemi?

Budi menjelaskan, selain untuk mengoptimalkan pertumbuhan tulang, Vitamim D juga penting untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh seseorang.

Alasan
Kita semua tahu bahwa berjemur di bawah sinar matahari pagi baik untuk mendapatkan Vitamin D.

Untuk mendapatkan Vitamin D, kita memerlukan paparan sinar ultraviolet B yang muncul antara Pukul
09.30 - 14.30.

"Jadi yang efektif jam 9-10 pagi atau 2-3 sore," kata Konsultan Alergi dan Imunologi Anak, Prof. DR. Dr.
Budi Setiabudiawan, Sp.A(K), M.Kes dalam IG Live bersama IDAI, Kamis (9/4/2020).

Namun, dalam beberapa waktu terakhir, setelah muncul pandemi Covid-19, jam terbaik berjemur
matahari kembali menjadi perdebatan.

Baca juga: Ini Waktu Berjemur yang Baik di Bawah Sinar Matahari

Apa sebetulnya yang membuat berjemur penting dilakukan di tengah pandemi?

Budi menjelaskan, selain untuk mengoptimalkan pertumbuhan tulang, Vitamim D juga penting untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh seseorang. Ketika kuman atau virus masuk ke dalam tubuh yang
pertama melawan adalah sel-sel sistem imun. Dengan adanya Vitamin D, fungsi sel imun akan
meningkat, sehingga virus akan ditangkap dan dimatikan," ungkapnya.

Budi menambahkan, bagi orang yang masih sehat, berjemur bisa menjadi salah satu cara mencegah
penularan virus corona.

Sementara bagi yang sudah terkena, konsumsi Vitamin D juga bisa membantu mempercepat pemulihan.

Hanya saja, jika berjemur tidak memungkinkan bagi pasien corona, mereka bisa mengonsumsi Vitamin D
melalui suplemen.
"Tapi selama bisa dengan sinar matahari, lebih bagus sinar matahari karena gratis, tidak usah bayar asal
sesuai kebutuhan. Dan (sinar matahari) bertahan lebih lama daripada suplemen," kata Budi.

Durasi berjemur disesuaikan kembali dengan beberapa faktor, salah satunya jenis kulit. Bagi orang
Indonesia, yang kebanyakan berkulit sawo matang, dianjurkan berjemur selama 15-20 menit.

"Kecuali yang kulitnya cokelat, bisa sampai sekitar 30 menit," tambah dia.

Anda mungkin juga menyukai