Anda di halaman 1dari 5

Kajian Kurikulum

DI BALIK AKHLAK PARA ULAMA

Setelah Imam Ibnul Jama’ah –rahimahullah- dalam kitabnya mengucapkan basmallah pada
pembukaan kitabnya, beliau melanjutkan dengan bershalawat dan salam kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. 

Kenapa para Ulama Bershalawat?

Karena ini adalah metode para ulama dalam membuka buku dan risalah mereka. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Imam As Sakhowi –rahimahullah.  (Alqoulul Badii'; 413)

Karena mereka ingin meraih keutamaan dan tulisan mereka diberkahi ALLAH Subhanahu wa Ta’ala. 

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang bershalawat kepada diriku satu kali saja ikhlas dari lubuk hatinya, maka Allah
ta’ala akan bershalawat kepada dirinya 10 shalawat, lalu Allah akan tinggikan kedudukannya 10
derajat, lalu Allah memberikan 10 kebaikan buatnya, lalu Allah akan hapuskan 10 dosanya.” (HR. An-
Nasai fi 'Amalil Yaum; No.64).

Demikian sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa
diucapkannya shalawat harus dari lubuk hati, harus mengerti dan harus mentadabburinya.

Lalu apa Makna Shalawat?

Para ulama membahas apa arti shalawat dan ada beberapa pendapat tentang masalah ini, wallahu
a’lam bishshowab:

Shalawat adalah rahmat (Abdullah bin Abbas -radhiAllahu’anhu; Imam Ad Dohhak -rahimahullah). 

Maghfiroh, ampunan dari Allah (Al Imam Ad Dohhak dan Al Imam Muqootil – rahimakumullah )
Arti shalawat adalah: “Pujian Allah kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di hadapan malaikat-
Nya sebagai bentuk pengagungan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, memperlihatkan
kedudukan, ketinggian, kehormatan Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Al Imam Abul ‘Aaliyah, Al
Imam Ar Robi bin Anas, Al Imam Al Kholil bin Ahmad, dikuatkan Al Imam Ibnu Hajar & Al Imam Ibnul
Qoyyim –rahimakumullah).

(Ref: Fathul baari, 11/155-156; Fadhlus Shalati 'alan Nabi, 41; Shahih Al-Bukhari & Fathul Baari,
8/532; Alqoul Badii',19; Huququn Nabi, 2/508).

Dan ketika kita mengatakan pandangan yang ketiga yang paling kuat, maka ini mencakup pandangan
pertama dan kedua . Demikiannya secara otomatis ALLAH Ta’ala merahmati Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam. Karena bagaimana mungkin ALLAH Ta’ala memuji dan memuliakan seseorang sedangkan
ALLAH Ta’ala membenci orang tersebut?

Puji Menunjukkan Sayang, Simpati & Cinta

Ketika kita bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kita sedang meminta agar
ALLAH Ta’ala memuji Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di hadapan para malaikat sebagai simbol
kasih sayang ALLAH Ta’ala kepada Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Jalaaul Afham; 78)

Adapun salam, kita mendoakan agar ALLAH Ta’ala memberikan keselamatan kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Lalu pertanyaannya;

“Akankah Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam butuh shalawat dari kita?”

Jawabnya, Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak butuh, namun kita diperintahkan oleh Allah
Ta’ala untuk beradab kepada sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bershalawat sebagaimana
dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS:
Al Ahzab: 56)

Shalawat adalah adab. Kita sudah diberikan berbagai macam kebaikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam agar diselamatkan ALLAH Ta’ala di dunia dan akhirat.  Tunaikanlah hak Beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan salah satu hak Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bershalawat dan
mengucapkan salam kepada Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Itulah makna shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun untuk kita, makna shalawat
untuk kita adalah rahmat. (Fathul Baari; 11/156).

Para ulama mengatakan bahwa akan disebutkan juga di hadapan malaikat. Inilah alasannya kenapa
Imam Ibnu Jama’ah –rahimahullah dan ulama yang lain semangat untuk bershalawat karena mereka
ingin agar mereka dirahmati oleh ALLAH Ta’ala.

Setelah Bersholawat, Memuji Allah Ta’ala

Setelah bersholawat untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Imam ibnu Jama'ah –rahimahullah
kemudian melanjutkan tulisannya dengan memuji Allah Ta’ala dengan mengatakan:

“Segala puji bagi Allah Yang Maha Baik, Maha Penyayang, Maha Luas Ilmu.”

Ini konsep para ulama, yaitu bersyukur kepada ALLAH.

Al Imam Abu Hanifah –rahimahullah- pernah menjelaskan apa kunci beliau mendapatkan ilmu yang
luas:

“Sesungguhnya aku mendapatkan ilmu seperti ini kuncinya itu adalah memuji Allah dan bersyukur
kepada Allah ta’ala. Setiap aku memahami sebuah perkara, sebuah ayat, aku mengerti fiqih dari
masalah tersebut, maka aku selalu mengucapkan Alhamdulillah, ternyata ilmuku bertambah.”
(Ta'limul Muta'allim; 107)

Dan ini bukanlah hal yang mengherankan, ALLAH Ta’ala yang menjanjikan:

“… Jika kalian bersyukur, maka aku akan tambah...” (QS: Ibrahim: 7) 

Sudahkah kita bersyukur kepada ALLAH Subhanahu wa Ta’ala ketika mendapatkan ilmu? Allah Ta’ala
yang menyuruh kita untuk bersyukur, bergembira, berbahagia ketika mendapatkan ilmu. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Yunus ayat 58:


“Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya (Al Quran) hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".
(QS: Yunus: 58)

Prioritas untuk Adab

Lalu Imam Ibnul Jama’ah –rahimahullah- melanjutkan tulisannya pada kitabnya dengan menjelaskan
bahwa diantara hal yang harus di prioritaskan oleh para pemilik akal sehat khususnya di waktu muda
dan sangat layak untuk diperjuangkan adalah adab yang mulia. 

Dan orang yang paling berhak, yang paling layak memiliki adab yang mulia adalah ahli ilmu. 

Ucapan ini selaras dengan ulama lain seperti Al Imam Hammad bin Salamah –rahimahullah:

“Wajib bagi penuntut ilmu hadits untuk menjadi orang yang adabnya paling sempurna, rendah hati,
tawadhu, yang paling semangat ibadahnya, dan yang paling jarang labil dan marah.” (Aljami' li
Akhlaqir Rowi; 1/78).

Al Imam Abu ‘Aashim –rahimahullah- menyatakan:

“Barangsiapa yang mempelajari hadits-hadits Nabi ini, maka dia telah mempelajari hal yang paling
tinggi dari dunia, maka wajib menjadi manusia yang terbaik di lingkungannya.”  (Aljami' li Akhlaqir
Rowi;  1/78)

Tak pelak akan memunculkan pertanyaannya, “bagaimana bisa? Ada apa di balik perubahan akhlak
mereka? Kenapa mereka harus menjadi orang yang paling tawadhu, yang paling baik akhlaknya? Apa
penyebabnya?”

Jawabnya, mari kita simak penjelasan Imam Ibnu Jama'ah -rahimahullah:

Karena ilmu mereka tentang akhlak dan adab-adab Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam serta tentang
perjalanan hidup para ulama dari ahlil bait Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabat dan ilmu
mereka terhadap akhlak para ulama. 

Karena mereka mempelajari dan berinteraksi, akhirnya mereka terpengaruh.


Al Imam Hammad –rahimahullah menyampaikan alasan yang sama:

“Karena mereka senantiasa mendengar hadits-hadits tentang betapa baiknya Adab, shiroh Rasul -
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para ulama.”

Dan itu persis ucapan dari Al Imam Abu ‘Aashim –rahimahullah:

“Karena selama ini anda mempelajari hadits dan hadits adalah hal yang paling tinggi di dunia.”

Ternyata karena mereka selalu mendengar, melihat dan mempelajari Alquran dan tuntunan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan penuh keikhlasan.

Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri

Anda mungkin juga menyukai