Banyak orang yang mengacu pada orde baru sebagai era
dimana korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela. Era reformasi adalah waktu dimana korupsi semakin diberantas. Namun bila kita memperhatikan lebih dalam, perilaku yang kita anggap sebagai korupsi ternyata sudah berlangsung lama bahkan jauh sebelum Indonesia ada sebagai Negara.
Ada era sebelum kolonialisme, sistem feodalisme
memberikan seorang raja kekuasaan penuh atas tanah dan manusia dikerajaannya. Namun, seorang raja tidak dapat mengatur semua tanah yang ada, maka dari itu ia memberikan hak pengelola tanah tersebut kepada para bangsawan lokal yang kemudian akan menunjuk kepala desa untuk mengatur masyarakat sekitar. Kepala desa juga berperan dalam memungut pajak serta sebagian besar hasil tanah yang dikerjakan masyarakat awam. Tak jarang seseorang dengan status yang lebih rendah memberikan hadiah dan persembahan yang melebihi dari seharusnya kepada mereka dengan status yang lebih tinggi. Dengan harapan untuk mendapatkan hubungan yang lebih dekat dan kenaikan status. Mungkin hal ini terdengar seperti suap, tetapi pada masa ini korupsi yang seperti kita ketahui sekarang bukanlah hal yang dianggap buruk bahkan merupakan sebuah norma masyarakat. Lagipula para penguasa tidak perlu bertanggung jawab akan penggunaan kekayaan kerajaan pada masyarakat melainkan hanya pada atasannya atau raja.
Dengan kedatangan belanda, sistem feodelisme ini terus
semakin diperkuat. Alih-alih melakukan seluruh kerajaan di nusantara, belanda cenderung menjalin kerjasama dengan mereka. Pertama, raja dapat memberikan sepetak tanah untuk dikelola oleh pihak asing dimana raja akan mendapatkan bagian dari hasil yang dikelola. Kedua, raja juga dapat menaikan pajak yang dipungut di masyarakat untuk dibagikan ke pihak asing dengan ganti hadiah-hadiah lain dari mereka. Dengan sistem ini berlangsung bertahun-tahun para penguasa dapat mengumpulkan kekayaan yang tak sedikit. Hidup bermewah-mewahan meskipun masyarakat biasa hanya hidup seadanya. Perusahaan belanda seperti VOC dapat merauk kekayaan yang melewati gabungan antara Microsoft, Apple, dan facebook.
Ketika memproklamirkan kemerdekaannya, Indonesia justru
dihadapi dengan tantangan politik yang lebih besar. Untuk pertama kalinya terjadi vacum kekuasaan di Indonesia setelah ditinggalkan oleh belanda. Soekarno pun diharuskan menggalang persatuan dan mencegah disintegrasi bangsa Indonesia dari gerakan separatis yang hendak mendirikan Negara sendiri atau menentang pemerintahan pusat. Hanya saja menggalang persatuan memerlukan kesetiaan politik yang didapatkan melalui sebuah transaksi.
Dalam konteks kemerdekaan Indonesia, ada 2 tipe penjual
diindonesia. “Coercive Entrepreneur” yaitu mereka yang dapat memobilisasi kekuatan fisik untuk mengadakan perlawanan dan “Vote Back” yaitu mereka yang dapat menggalang masyarakat untuk mendukung sebuah kebijakan atau pemimpin tertentu. Akibatnya korupsi menjadi praktik yang dilembagakan. Memang kesadaran akan bahaya korupsi dan pentingnya pemerintahan yang bersih sudah dipikirkan oleh para pendiri bangsa. Namun, korupsi merupakan sebuah hal yang terpaksa dilakukan. Soekarno kemudian digantikan oleh Soeharto. Namun pola relasi ini justru masih bertahan, yang membedakannya dengan soekarno adalah soeharto mendasari praktik ini dengan tujuan pembangunan dan kestabilan nasional. Untuk menjaga kekuasaannya, Soeharto menggunakan kombinasi antara koersi bagi mereka yang menentangnya, namun juga imbalan bagi yang setia. Demi melakukan pembangunan pemerintah memberikan hak khusus dari segi pinjaman , hak tanah, dan hak impor bagi sekelompok krooni untuk melebarkan bisnis mereka. Tak jarang keuangan Negara digunakan untuk kepentingan pribadi dari Soeharto maupun koloninya.