Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH KELOMPOK

ILMU FALAQ

WAKTU SHALAT
Makalah ini disusun sebagai bukti hasil tugas kelompok semester 4

DOSEN PEMBIMBING
Aznur Johan, S. H. I, M. Ag.

DISUSUN OLEH:
1. Ilham Rutami ( 190102022 )
2. Rijalul Akmal ( 190102122 )
3. M. Agam Aruna ( 190102046 )
4. Mudrikul Khoiri ( 190102031 )
5. Elsyaddad Riayatsyah ( 190102082 )

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR- RANIRY


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
HUKUM EKONOMI SYARIAH
2021/2022
BAB I

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM TENTANG SHALAT


            Shalat menurut penggertian bahasa adalah doa. Sedang yang dimaksud dalam
pembahasan adalah ibadah yang terdiri dari beberapa perkataan dan perbuatan, yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 45 Allah telah menegaskan: “Dirikanlah shalat,
sunggauh shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar”. Dalam sehari semalam,
seorang muslim diwajibkan melaksanakan shalat lima kali, yang sudah diatur secara rinci.
Shalat adalah ibadah yang menjadi tiang agama. Barang siapa menegakkannya, berarti telah
mnegakkan agama. Dan barang siapa yang mengabaikannya berarti telah menghancurkan
agama. Di dalam shalat terdapat rukun qalbi (hati), rukun qauli (bacaan), rukun fi’li
(perbuatan), disamping ada pula sunat sunat yang harus dilakukan. Karena itu, penting sekali
mempelajari seluk-beluk masalah shalat, hingga kemudian mendapatkan nilai ibadah shalat
yang sempurna.(1)

            Allah SWT telah menjelaskan bahwa shalat diwajibkan itu mempunyai waktu
tertentu.shalat lima waktu merupakan kewajiban umat islam yang harus dilakukuan tidak
boleh ditinggalkan. Selain itu shalat lima waktu tidak dapat dilakukan di sembarang waktu
tanpa ada alasan yang membolehkannya.(2)

Dasar  perintah shalat lima waktu dijelaskan dalam :

1. Q.S. An Nisa : 103;

Artinya : ... Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-
orang yangg beriman.

2. Sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad, An Nasai dan At-Turmudi dari
Jabir bin Abdullah r.a. ;(3)

Artinya : “Bahwa Nabi saw. di datangi oleh Jibril a.s. yang mengatakan kepadanya: “
Bangunlah dan shalatlah!” Maka Nabi pun shalat Dhuhur sewaktu tergelincirnya matahari.

1 Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-Hadis Ahkam Riwayat Asy-Syafi’i (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),
115
2 Ahmad Junaidi, Seri Ilmu Falak, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2011), 19
3 Ahmad Junaidi, Seri Ilmu.................... hlm, 19-20
Kemudian ia datang pula di waktu ‘Ashar, katanya: “Bangun dan shalatlah!” Nabi
mengerjakkan pula shalat ‘Ashar, yakni ketika bayang-bayang sesuatu, telah sama panjang
dengan badannya. Lalu ia datang di waktu Maghrib, katanya: “Bangun dan shalatlah!” Nabi
pun melakukan shalat Maghrib sewaktu matahari telah terbenam atau jatuh. Setelah ia datang
pula di waktu Isya’, dan menyuruh: “Bangun dan shalatlah!” Nabi segera shalat Isya’ ketika
syafak atau awan merah telah hilang. Akhirnya ia datang di waktu fajar ketika fajar telah
bercahaya atau katanya ketika fajar. Kemudian keesokan harinya Malaikat itu datang lagi di
waktu Dhuhur, katanya: “Bangunlah dan shalatlah!” Maka Nabi pun shalat, yakni ketika
bayang-bayang segala sesuatu, sama panjang dengan sesuatu itu. Di waktu ‘Ashar ia datang
pula, katanya: “Bangunlah dan shalatlah!” Nabi pun shalatlah, pada waktu bayang-bayang
dua kali sepanjang badan. Lalu ia datang lagi di waktu Maghrib pada saat seperti kemarin
tanpa perubahan, setelah itu ia datang lagi pada waktu ‘Isya ketika berlalu seperdua malam
atau katanya sepertiga malam dan Nabipun melakukan shalat ‘Isya. Kemudian ia datang pula
ketika malam telah mulai terang, katanya: “Bangun dan shalatlah!” Nabipun mengerjakan
shalat Fajar. “Nah”, katanya lagi, ‘di antara kedua waktu itulah terdapat waktu-waktu shalat.”
(H.r. Ahmad, Nasa’i, dan Turmudzi).(4)

3. Surat Thaha ayat 130;

Artinya : “Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit Matahari dan
sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada
waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang”.(5)

Dalam Tafsir Al-Mishbah, bahwa kalimat ) ‫) ربك بحمد وسبح‬diartikan sebagai perintah
melaksanakan salat karenasalat mengandung tasbih, penyucian Allah dan pujian-Nya. Bila
dipahami demikian, ayat di atas dapat dijadikan isyarat tentang waktu-waktu salat yang
ditetapkan Allah. Firman-Nya: )‫( الشمس طلوع قبل‬mengisyaratkan salat Subuh, )‫) الغرب قبل‬dan
sebelum terbenamnya adalah salat Asar. Firman-Nya ) ‫) اليل قبل‬pada waktu-waktu malam,
menunjukkan salat Maghrib dan Isya’, sedangkan ) ‫ ) النهار اطراف‬pada penghujungpenghujung
siang adalah salat Zuhur.(6)

Dalam Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur dijelaskan bahwa surat Thaha ayat 130
tersebut memerintahkan supaya orang Muslim selalu menyucikan Allah Swt dengan
melakukan salat, sebelum Matahari terbit (waktu Subuh), sebelum terbenamnya Matahari
(waktu Asar), pada beberapa waktu di malam hari (waktu Magrib dan Isya) serta beberapa
waktu di siang hari (waktu Zuhur). Orang-orang Muslim akan memperoleh keridaan hati dan
ketenangan karena menjalankan salat pada waktu-waktu yang telah ditentukan.(7)

4 Sayid Sabiq, Fikih Sunnah,(Bandung:Al Ma’arif,1987),hal.211-212


5 Departemen Agama Republik Indonesia, ,Al-Qur’an ,hlm.321.
6 M. Quraisy Syihab, Tafsir, hlm. 706-707.
B. ISTILAH-ISTILAH DALAM WAKTU SHALAT
Sebagaimana firman Allah  bahwa shalat bagi orang mukmin adalah kewajiban yang
waktunya sudah ditentukan. Orang mukmin sendiri dalam menjalankan kewajiban itu kadang
karena suatu hal yang sangat mendesak tidak dapat menjalankan sesuai alokasi waktu yang
ditentukan syariat. Dari sinilah kemudian muncul istilah ada’, qadha’ dan i’adah. Dalam
pengertiannya shalat ada’ diartikan dengan menjalankan shalat dalam batas waktu yang telah
ditentukan. Termasuk dalam ada’ menurut Madzhab Hanafiyah apabila seseorang mendapat
kira-kira sekedar takbiratul ihram di akhir waktu shalat. Sementara Syafi’iyah berpendapat
bahwa seseorang itu shalat ada’ apabila mendapatkan satu rakaat sebelum berakhir waktunya.

Sedangkan qadha’ diartikan dengan melaksanakan shalat di luar waktu yang


ditentukan sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan karena unsur kesengajaan, lupa,
mungkin atau tidak memungkinkan dalam pelaksanaan shalat tersebut. Ditinjau dari sisi
hukum, sebenarnya antara ada’ dan qadha’ adalah sama, yaitu sama-sama wajib sebagaimana
diungkapkan al-Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dalam
kitabnya, Fawatikhu Rakhamut bahwa kewajiban itu ada dua yaitu ada’; dan qadha’. Hanya
saja pelaksanaan dan nilainya yang berbeda. Yang satu dilaksanakan tepat waktu, yang satu
yang lain tidak, sehingga berdosa. tetapi terlepas dari berdosa aau tidak, qadha’ adalah
tindakan indispliner yang akan mengurangi nilai seorang hamba dengan tuhannya.

Menurut istilah para fuqaha’, i’adah diartikan dengan menjalankan shalat yang sama


untuk kedua kalinya pada waktunya atau tidak. Karena dalam shalat yang pertama terdapat
cacat atau karena ada shalat kedua yang lebih tinggi tingkat afdhaliyahnya. Shalat i’adah ada
yang wajib, tidak wajib dan sunnah. I’adah yang wajib di antaranya apabila seseorang tidak
menemukan atau memiliki sesuatu yang mensucikan untuk bersuci (air, debu). Dalam kondisi
waktu yang terbatas, ia tetap wajib shalat meski tidak bersuci kemudian wajib i’adah pada
waktu yang lain setelah mendapatkan sesuatu yang bisa dipergunakan untuk bersuci. Hal ini
mengingat bersuci adalah syarat shalat. (Fawatikhu Rakhamut: I, 36, al-Majmu’: 3, 132).

Contoh lain apabila seseorang shalat tidak menghadap kiblat meskipun telah
berijtihad itu dengan melaksanakan shalat keempat arah. (al-Majmu’: III, 304). Begitu pula
dengan seseorang yang melaksanakan shalat tanpa mengetahui waktu, maka
wajib i’adah sebagaimana disampaikan qadhi Abu Thoyyib dan Abu Hamid al-Ghazali.
Adapun yang tidak wajib i’adah seperti seseorang yang shalat tanpa menutup sebagian  atau
seluruh aurat karena memang tidak punya sama sekali. Sedangkan sunnah i’adah adalah
apabila ada shalat kedua yang lebih afdhal, seperti orang yang sudah shalat sendirian atau
berjamaah. Kemudian dalam waktu yang tidak lama ada jamaah yang lebih banyak, maka ia
disunnahkan i’adah mengikuti jamaah yang kedua. Dengan demikian, shalat i’adah tidaklah
seperti shalat ada’ dan qadha’.  Pertama, i’adah tidak berfungsi menggantikan shalat
sebelumnya, karena pada prinsipnya shalat yang pertama adalah shalat yang
sah. Kedua, i’adah ada yang wajib, tidak wajib dan sunnah. Hal ini tidak tidak

7 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid an-Nur, Jilid III,Semarang :Pustaka
Rizki Putra, 2000, Cet. II, hlm. 258.
seperti ada’ dan qadha’ yang keduanya sama-sama wajib. Ketiga, shalat i’adah yang belum
dilaksanakan, karena pelakunya keburu meninggal dunia, misalnya tidak akan dituntut
seperti qadha’ yang belum dilaksanakan.(8)

C. WAKTU SHALAT MENURUT IMAM MAZHAB


1) Waktu Salat Zuhur

Waktu salat Zuhur dimulai ketika tergelincirnya Matahari dari tengah langit
(istiwa’) ke arah barat ditandai dengan terbentuknya bayangan suatu benda, sesaat
setelah posisi Matahari di tengah langit dan waktu zuhur berakhir ketika masuk waktu
asar. Yang dimaksud langit bukanlah zenit, akan tetapi tengah-tengah langit diukur
dari ufuk timur dan barat. Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad al-Husaini dalam
kitab Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul Ikhtisar menyatakan:

Artinya: “Permulaan waktu Zuhur adalah sejak tergelincirnya Matahari. Dan


akhir waktu Zuhur adalah jika bayang-bayang suatu benda telah sepadan dengan
benda itu selain bayang-bayang yang telah ada sejak Matahari tergelincir (istiwa’)”.
Yang dimaksud Zawal al-Syamsi (tergelincirnya Matahari) ialah apa yang tampak
oleh kita, dan bukan yang berlaku dalam kenyataan. Sebab yang biasa terjadi di
banyak negara, kalau Matahari tepat berada di tengah-tengah langit, yakni pada waktu
istiwa’, orang masih melihat sisa-sisa bayangan suatu benda. Panjangnya bayangan itu
berbeda-beda menurut derajat tempat dan pembagian musim. Jika Matahari telah
tergelincir ke arah Barat, maka akan timbul bayang-bayang baru di sisi Timur.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang lebih utama adalah permulaan waktu,
kecuali jika udara sangat panas. Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari Imam
Malik.(9)

2) Waktu Salat Asar

Waktu salat Asar dimulai sejak bayangan suatu benda lebih panjang dari
benda itu tanpa memperhitungkan bayangan yang tampak ketika Matahari
tergelincir.Waktu ini berakhir hingga Matahari terbenam. Menurut Al-Husaini
memberikan batasan waktu salat Asar sebagai berikut :

Malikiah berpendapat bahwa Asar memiliki dua waktu, dharuri dan ikhtiyari.
Waktu dharuri dimulai sejak sinar Matahari yang terpantul di Bumi dan di dinding
terlihat menguning dan bukan Mataharinya sendiri yang menguning karena Matahari
hanya terlihat menguning ketika terbenam. Adapun waktu ikhtiyari dimulai sejak
bayangan suatu benda lebih panjang dari bendanya dan berakhir hingga Matahari
menguning.

8 Dikutip dari buku Dialog Problematika Umat, Karya KH. MA. Sahal Mahfudh hal. 40
9 Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul Ikhtisar, Juz I,
Surabaya: Dar al-Kitab al-Islam, tt, hlm. 182.
Hambaliah berpendapat bahwa waktu Asar dimulai saat berakhirnya waktu
Zuhur, yaitu saat bayangan benda sama dengan panjang bendanya selain bayangan
saat istiwa. Waktu Asar bersambungan langsung dengan waktu Zuhur tanda adanya
waktu pemisah, dan waktu Asar akan habis saat Matahari terbenam. Sedangkan
Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu Asar dimulai saat bayangan suatu benda telah
melebihi panjang benda tersebut.(10)

3) Waktu Salat Magrib

Waktu Maghrib dimulai sejak tenggelamnya seluruh bundaran Matahari dan


berakhir dengan hilangnya mega merah. Berdasarkan hadis dari Salamah r.a:

Artinya:“Kami biasa salat Maghrib bersama Nabi saw jika telah terbenam
Matahari” Ulama mazhab Malikiah sepakat bahwa waktu Magrib dimulai sejak
terbenamnya Matahari (ghurub). Terbenam (ghurub) didefinisikan ketika seluruh
piringan Matahari telah terbenam dan tidak terlihat lagi, baik dari dataran rendah
maupun pegunungan.

Akhir waktu Magrib menurut mazhab Malikiah terdapat beberapa pendapat di


antaranya yaitu pertama, berdasarkan salah satu qaul Imam Malik ibn Anas yaitu
bahwa lama waktu Magrib akan berakhir sekiranya cukup untuk bersuci, berpakaian,
azan, iqamat, dan melaksanakan salat sebanyak 3 rakaat. Kedua, pendapat Imam
Malik dalam kitab al-Muwatta’ yang menyatakan bahwa waktu Magrib berakhir saat
hilangnya syafaq ( awan) merah. Waktu Magrib berakhir ketika mega merah
terbenam. Dalam hal ini, Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat (qaul). Menurut qaul
jadid, waktu Magrib keluar dengan perkiraan waktu yang cukup untuk bersuci,
menutup aurat, azan, iqamat dan salat dua rakaat. Dalam perkara ini yang
diperhitungkan adalah yang sedang dan sederhana.(11)

4) Waktu Salat Isya

Menurut beberapa hadis, masuknya waktu Isya bersama dengan hilangnya


mega merah. Ibnu Rif’ah mengatakan, ketetapan tersebut berdasarkan ijmak ulama.
Di dalam satu qaul dikatakan bahwa waktu ikhtiar untuk salat Isya itu hingga lewat
separuh malam. Imam Syafi’i mengatakan bahwa al-syafaq adalah warna merah di
langit. Kemudian terbenamnya warna merah itu jelas di kebanyakan tempat.
Sedangkan orang-orang yang bertempat tinggal di suatu tempat yang malamnya
pendek dan tidak melihat terbenamnya warna merah, maka hendaknya melaksanakan
salat Isya apabila diperkirakan telah berlalu waktu hilangnya warna merah di langit di
negeri terdekat.

Menurut Hambaliah, Isya’ mempunyai dua waktu seperti Asar. Waktu


ikhtiyari dimulai sejak hilangnya mega hingga paruh ketiga dari awal malam. Waktu
10 Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, Al-Umm, ttp : Dar al-Wafa, 2001, hlm. 73.
11 Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Salat Fikih, hlm. 20.
dharuri dimulai sejak paruh sepertiga kedua dari malam dan berakhir dengan terbitnya
fajar shadiq. Jadi, orang yang mendirikan salat pada waktu ini berarti ia berdosa
walaupun salatnya itu adalah salat ada’an. Adapun salat Subuh, Zuhur, dan Maghrib
menurut Hambaliah tidak mempunyai waktu dharuri.

Malikiah berpendapat, waktu Isya’ ikhtiyari dimulai sejak hilangnya mega


merah dan berakhir dengan habisnya sepertiga malam pertama. Adapun waktu Isya’
dharuri dimulai setelah waktu itu hingga terbit fajar. Jadi, orang yang mendirikan salat
Isya’ pada waktu dharuri tanpa halangan berarti orang itu berdosa.

4. Waktu Salat Subuh

Waktu salat Subuh dimulai sejak terbitnya fajar shadiq, yaitu seberkas cahaya
yang mendahului cahaya Matahari. Terbit di timur secara meluas dan memenuhi
horizon, lalu naik ke langit-bulan fajar kadzib, yaitu seberkas cahaya yang tidak
memancar luas.Semburat dalam volume kecil dan memanjang menuju langit. Kedua
sisinya gelap sehingga mirip ekor serigala hitam yang bagian dalam ekornya berwarna
putih dan bagian luarnya berwarna putih. Waktu Subuh berakhir saat Matahari terbit.

Menurut Malikiah, Subuh mempunyai dua waktu, yaitu ikhtiyari dan dharuri.
Waktu ikhtiyari dimulai sejak terbitnya fajar shadiq hingga terlihat cahaya kuning
yang cukup untuk membuat wajah seseorang yang berdiri di tempat tak beratap,
terlihat jelas, dan bintang-bintang tidak kelihatan lagi. Waktu dharuri dimulai setelah
waktu tersebut hingga terbit Matahari. Inilah pendapat yang masyhur dan kuat. Ada
juga yang mengatakan bahwa Malikiah tidak menetapkan waktu dharuri untuk salat
Subuh.Namun, pendapat pertama tadi lebih kuat.(12)

12 Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab salat fikih, hlm. 22.

Anda mungkin juga menyukai