ILMU FALAQ
WAKTU SHALAT
Makalah ini disusun sebagai bukti hasil tugas kelompok semester 4
DOSEN PEMBIMBING
Aznur Johan, S. H. I, M. Ag.
DISUSUN OLEH:
1. Ilham Rutami ( 190102022 )
2. Rijalul Akmal ( 190102122 )
3. M. Agam Aruna ( 190102046 )
4. Mudrikul Khoiri ( 190102031 )
5. Elsyaddad Riayatsyah ( 190102082 )
PEMBAHASAN
Allah SWT telah menjelaskan bahwa shalat diwajibkan itu mempunyai waktu
tertentu.shalat lima waktu merupakan kewajiban umat islam yang harus dilakukuan tidak
boleh ditinggalkan. Selain itu shalat lima waktu tidak dapat dilakukan di sembarang waktu
tanpa ada alasan yang membolehkannya.(2)
Artinya : ... Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-
orang yangg beriman.
2. Sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad, An Nasai dan At-Turmudi dari
Jabir bin Abdullah r.a. ;(3)
Artinya : “Bahwa Nabi saw. di datangi oleh Jibril a.s. yang mengatakan kepadanya: “
Bangunlah dan shalatlah!” Maka Nabi pun shalat Dhuhur sewaktu tergelincirnya matahari.
1 Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-Hadis Ahkam Riwayat Asy-Syafi’i (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),
115
2 Ahmad Junaidi, Seri Ilmu Falak, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2011), 19
3 Ahmad Junaidi, Seri Ilmu.................... hlm, 19-20
Kemudian ia datang pula di waktu ‘Ashar, katanya: “Bangun dan shalatlah!” Nabi
mengerjakkan pula shalat ‘Ashar, yakni ketika bayang-bayang sesuatu, telah sama panjang
dengan badannya. Lalu ia datang di waktu Maghrib, katanya: “Bangun dan shalatlah!” Nabi
pun melakukan shalat Maghrib sewaktu matahari telah terbenam atau jatuh. Setelah ia datang
pula di waktu Isya’, dan menyuruh: “Bangun dan shalatlah!” Nabi segera shalat Isya’ ketika
syafak atau awan merah telah hilang. Akhirnya ia datang di waktu fajar ketika fajar telah
bercahaya atau katanya ketika fajar. Kemudian keesokan harinya Malaikat itu datang lagi di
waktu Dhuhur, katanya: “Bangunlah dan shalatlah!” Maka Nabi pun shalat, yakni ketika
bayang-bayang segala sesuatu, sama panjang dengan sesuatu itu. Di waktu ‘Ashar ia datang
pula, katanya: “Bangunlah dan shalatlah!” Nabi pun shalatlah, pada waktu bayang-bayang
dua kali sepanjang badan. Lalu ia datang lagi di waktu Maghrib pada saat seperti kemarin
tanpa perubahan, setelah itu ia datang lagi pada waktu ‘Isya ketika berlalu seperdua malam
atau katanya sepertiga malam dan Nabipun melakukan shalat ‘Isya. Kemudian ia datang pula
ketika malam telah mulai terang, katanya: “Bangun dan shalatlah!” Nabipun mengerjakan
shalat Fajar. “Nah”, katanya lagi, ‘di antara kedua waktu itulah terdapat waktu-waktu shalat.”
(H.r. Ahmad, Nasa’i, dan Turmudzi).(4)
Artinya : “Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit Matahari dan
sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada
waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang”.(5)
Dalam Tafsir Al-Mishbah, bahwa kalimat ) ) ربك بحمد وسبحdiartikan sebagai perintah
melaksanakan salat karenasalat mengandung tasbih, penyucian Allah dan pujian-Nya. Bila
dipahami demikian, ayat di atas dapat dijadikan isyarat tentang waktu-waktu salat yang
ditetapkan Allah. Firman-Nya: )( الشمس طلوع قبلmengisyaratkan salat Subuh, )) الغرب قبلdan
sebelum terbenamnya adalah salat Asar. Firman-Nya ) ) اليل قبلpada waktu-waktu malam,
menunjukkan salat Maghrib dan Isya’, sedangkan ) ) النهار اطرافpada penghujungpenghujung
siang adalah salat Zuhur.(6)
Dalam Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur dijelaskan bahwa surat Thaha ayat 130
tersebut memerintahkan supaya orang Muslim selalu menyucikan Allah Swt dengan
melakukan salat, sebelum Matahari terbit (waktu Subuh), sebelum terbenamnya Matahari
(waktu Asar), pada beberapa waktu di malam hari (waktu Magrib dan Isya) serta beberapa
waktu di siang hari (waktu Zuhur). Orang-orang Muslim akan memperoleh keridaan hati dan
ketenangan karena menjalankan salat pada waktu-waktu yang telah ditentukan.(7)
Contoh lain apabila seseorang shalat tidak menghadap kiblat meskipun telah
berijtihad itu dengan melaksanakan shalat keempat arah. (al-Majmu’: III, 304). Begitu pula
dengan seseorang yang melaksanakan shalat tanpa mengetahui waktu, maka
wajib i’adah sebagaimana disampaikan qadhi Abu Thoyyib dan Abu Hamid al-Ghazali.
Adapun yang tidak wajib i’adah seperti seseorang yang shalat tanpa menutup sebagian atau
seluruh aurat karena memang tidak punya sama sekali. Sedangkan sunnah i’adah adalah
apabila ada shalat kedua yang lebih afdhal, seperti orang yang sudah shalat sendirian atau
berjamaah. Kemudian dalam waktu yang tidak lama ada jamaah yang lebih banyak, maka ia
disunnahkan i’adah mengikuti jamaah yang kedua. Dengan demikian, shalat i’adah tidaklah
seperti shalat ada’ dan qadha’. Pertama, i’adah tidak berfungsi menggantikan shalat
sebelumnya, karena pada prinsipnya shalat yang pertama adalah shalat yang
sah. Kedua, i’adah ada yang wajib, tidak wajib dan sunnah. Hal ini tidak tidak
7 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid an-Nur, Jilid III,Semarang :Pustaka
Rizki Putra, 2000, Cet. II, hlm. 258.
seperti ada’ dan qadha’ yang keduanya sama-sama wajib. Ketiga, shalat i’adah yang belum
dilaksanakan, karena pelakunya keburu meninggal dunia, misalnya tidak akan dituntut
seperti qadha’ yang belum dilaksanakan.(8)
Waktu salat Zuhur dimulai ketika tergelincirnya Matahari dari tengah langit
(istiwa’) ke arah barat ditandai dengan terbentuknya bayangan suatu benda, sesaat
setelah posisi Matahari di tengah langit dan waktu zuhur berakhir ketika masuk waktu
asar. Yang dimaksud langit bukanlah zenit, akan tetapi tengah-tengah langit diukur
dari ufuk timur dan barat. Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad al-Husaini dalam
kitab Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul Ikhtisar menyatakan:
Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang lebih utama adalah permulaan waktu,
kecuali jika udara sangat panas. Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari Imam
Malik.(9)
Waktu salat Asar dimulai sejak bayangan suatu benda lebih panjang dari
benda itu tanpa memperhitungkan bayangan yang tampak ketika Matahari
tergelincir.Waktu ini berakhir hingga Matahari terbenam. Menurut Al-Husaini
memberikan batasan waktu salat Asar sebagai berikut :
Malikiah berpendapat bahwa Asar memiliki dua waktu, dharuri dan ikhtiyari.
Waktu dharuri dimulai sejak sinar Matahari yang terpantul di Bumi dan di dinding
terlihat menguning dan bukan Mataharinya sendiri yang menguning karena Matahari
hanya terlihat menguning ketika terbenam. Adapun waktu ikhtiyari dimulai sejak
bayangan suatu benda lebih panjang dari bendanya dan berakhir hingga Matahari
menguning.
8 Dikutip dari buku Dialog Problematika Umat, Karya KH. MA. Sahal Mahfudh hal. 40
9 Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar fi Halli Gayatul Ikhtisar, Juz I,
Surabaya: Dar al-Kitab al-Islam, tt, hlm. 182.
Hambaliah berpendapat bahwa waktu Asar dimulai saat berakhirnya waktu
Zuhur, yaitu saat bayangan benda sama dengan panjang bendanya selain bayangan
saat istiwa. Waktu Asar bersambungan langsung dengan waktu Zuhur tanda adanya
waktu pemisah, dan waktu Asar akan habis saat Matahari terbenam. Sedangkan
Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu Asar dimulai saat bayangan suatu benda telah
melebihi panjang benda tersebut.(10)
Artinya:“Kami biasa salat Maghrib bersama Nabi saw jika telah terbenam
Matahari” Ulama mazhab Malikiah sepakat bahwa waktu Magrib dimulai sejak
terbenamnya Matahari (ghurub). Terbenam (ghurub) didefinisikan ketika seluruh
piringan Matahari telah terbenam dan tidak terlihat lagi, baik dari dataran rendah
maupun pegunungan.
Waktu salat Subuh dimulai sejak terbitnya fajar shadiq, yaitu seberkas cahaya
yang mendahului cahaya Matahari. Terbit di timur secara meluas dan memenuhi
horizon, lalu naik ke langit-bulan fajar kadzib, yaitu seberkas cahaya yang tidak
memancar luas.Semburat dalam volume kecil dan memanjang menuju langit. Kedua
sisinya gelap sehingga mirip ekor serigala hitam yang bagian dalam ekornya berwarna
putih dan bagian luarnya berwarna putih. Waktu Subuh berakhir saat Matahari terbit.
Menurut Malikiah, Subuh mempunyai dua waktu, yaitu ikhtiyari dan dharuri.
Waktu ikhtiyari dimulai sejak terbitnya fajar shadiq hingga terlihat cahaya kuning
yang cukup untuk membuat wajah seseorang yang berdiri di tempat tak beratap,
terlihat jelas, dan bintang-bintang tidak kelihatan lagi. Waktu dharuri dimulai setelah
waktu tersebut hingga terbit Matahari. Inilah pendapat yang masyhur dan kuat. Ada
juga yang mengatakan bahwa Malikiah tidak menetapkan waktu dharuri untuk salat
Subuh.Namun, pendapat pertama tadi lebih kuat.(12)