Anda di halaman 1dari 5

Fenomenologi

Hasil Wawancara

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit yang menyerang saluran

pernafasan yang disebabkan oleh virus. Ditemukan pertama kali di Wuhan, Tiongkok, pada

akhir tahun 2019. COVID-19 telah dinayatakan sebagai pandemi sejak awal tahun 2020

hingga saat ini. Penyakit ini tidak menyerang golongan tertentu. Tua – muda, kaya – miskin,

sehat – berpenyakit dapat terserang penyakit ini, bahkan dapat berujung pada kematian.

Pada awal wabah ini, sekitar awal tahun 2020 banyak stigma negatif yang melekat pada

penderita, kerabat pederita, korban, maupun orang-orang yang berkecimpung dengan

penyakit ini seperti tenaga kesehatan.

Pasien yang terlabeli stigma ini akan tampak sebagai golongan inferior dan tidak

berharga. Hal ini memberi dampak buruk secara psikologis karena mereka dapat berpotensi

membenci diri mereka karena status dari penyakit yang dideritanya. Kerabat pasien turut

terlabeli stigma bahwa mereka adalah kelompok yang harus dijauhi karena adanya kerabat

yang terinfeksi. Pada sisi tenaga medis, mereka sempat kehilangan hak-hak sosialnya,

seperti kehilangan tempat tinggal sementara serta terbatasi interaksinya kepada keluarga.

Hal ini didukung oleh pernyataan Pak Ganjar, seorang tenaga Kesehatan di Rumah

Sakit Hasan Sadikin, Bandung, yang telah berkecimpung dengan wabah ini. “Masyarakat

memandang wabah ini sebagai buatan manusia, bukan murni wabah. Masyarakat ada yang

percaya dan ada yang tidak terhadap adanya penyakit Covid ini. Pengalaman saya di RS,

banyak stigma pada perawat dan dokter yang diusir dari rumah kontrakannya oleh

masyarakat karena mereka takut. Tetapi rekan-rekan tenaga medis memahami kenapa

mereka berbuat demikian, karena takut tertular. Mereka takut karena tidak tahu bagaimana
pencegahan dan menularnya COVID-19 itu. Tapi setelah diberikan suatu pemahaman

mengenai menularnya seperti apa akhirnya masyarakat tidak takut lagi.”

Beliau juga menceritakan mengenai rasa sedihnya sebagai tenaga kesehatan karena

tidak dapat berkumpul bersama keluarga seperti dahulu, ketika wabah COVID-19 belum ada.

Pekerjaannya sebagai tenaga kesehatan yang berinteraksi dengan pasien COVID-19

mengharuskannya menjalani karantina di suatu tempat tinggal sehingga tidak dapat

bertatap muka dengan keluarga secara langsung. Awalnya hal ini terasa sangat berat,

namun lambat laun terbiasa juga. Teknologi video call sangat membantu mengobati

kerinduan ini. Tak hanya masalah rindu, rasa sedih juga terasa apabila muncul pembicaraan

di masyasrakat bahwa tenaga kesehatan bersedia merawat pasien COVID-19 karena

mendapat insentif dari pemerintah. Tidak, bukan itu alasannya. Mereka, para tenaga

kesehatan, bersedia berletih-letih merawat pasien COVID-19 karena itu memang

pekerjaannya, tanggung jawabnya. Andaikan mereka memilih antara mendapat insentif atau

berkumpul dengan keluarga, tentu saja mereka akan lebih memilih berkumpul dengan

keluarga yang mereka cintai.

Di rumah sakit, petugas kesehatan bagian penanganan COVID-19 harus mengurus

pasien di ruang isolasi. Mereka harus menyaksikan kondisi pasien yang nafasnya tersengal-

sengal dan memakai ventilator. Kondisi ini diakibatkan oleh terlampau parahnya kondisi

paru-paru yang terinfeksi oleh virus ini. Apabila saturasi oksigen terus menurun, maka

pasien dinyatakan tidak tertolong. Kesedihan mendalam juga dirasakan Pak Ganjar ketika

melihat rekannya sendiri meninggal karena COVID-19. Beberapa saat setelah kematian

temannya itu, seorang pasien meminta pulang paksa karena pasien COVID-19 di sebelahnya

meninggal dunia. Stigma negatif bahwa pasein COVID-19 akan berujung pada kematian

telah merusak psikologis pasien yang masih harus bertahan.


Fenomena penolakan jenazah tersebut membuat risau narasumber. Karena

menurutnya, pemulasaran jenazah pasien COVID-19 telah melalui protokol khusus. Sesuai

protokol COVID-19, sebelum dimakamkan jenazah dibalut dengan tujuh lapisan, yaitu kain

kafan, plastik, kantong jenazah, peti, petinya pun memakai rafe, sehingga sebetulnya

jenazah tersebut sudah aman untuk dikuburkan dimanapun. Walau begitu akan lebih baik

bila jenazah pasien COVID-19 langsung dibawa ke pemakaman, tidak dibawa kerumah, tidak

boleh disholatan dirumah. Apabila harus menunggu beres penggalian kubur, jenazah harus

tetap disimpan di dalam ambulans untuk menghindarkan kerumunan dimasyarakat, serta

paparan jenazah pada banyak orang.

Keberadaan vaksin dipercaya merupakan suatu titik terang dalam realita suram

pandemi ini. Tenaga medis merupakan salah satu kelompok masyarakat yang divaksin pada

kloter pertama. Dengan percaya diri, Pak Ganjar berharap bahwa keberadaan vaksin ini akan

menambah imunitas para tenaga medis, sehingga mereka dapat merawat pasien COVID-19

dengan lebih gagah perkasa. Walau begitu tidak ada jaminan bahwa orang yang telah

divaksin akan kebal dari penyakit karena pada dasarnya, vaksinasi adalah upaya peningkatan

kekebalan tubuh, bukan pemusnahan penyakit.

Berdasarkan kisah dari narasumber, dapat dilihat bahwa di kalangan masyarakat

terdapat fenomena “melabeli namun takut terlabeli” pada era pandemi ini. Stigma negatif

ini muncul di masyarakat pada awal pandemi. Masyarakat takut terlabeli dengan stigma-

stigma negatif yang ada, seperti mereka termasuk golongan inferior, memiliki harapan hidup

rendah, serta berpotensi menyebarkan penyakit. Sehingga pada beberapa kasus, mereka

enggan memeriksakan dirinya ke fasilitas kesehatan, padahal terdapat gejala-gejala infeksi

COVID-19 pada tubuhnya. Padahal dampak keterlambatan penanganan pada infeksi COVID-

19 dapat berujung pada kematian. Masyarakat yang terinfeksi COVID-19 kadang juga tidak
patuh terhadap pengobatan yang dianjurkan. Karena adanya stigma ini, secara tidak sadar

telah melakukan mekanisme pertahanan menghindar. Masyarakat juga menjadi cemas

berlebih sehingga sempat terjadi penolakan jenazah korban COVID-19 yang akan dikuburkan

di tempat pemakanan umum. Padahal pada kenyataannya telah ada tatalaksana yang

menjadikan pasien yang wafat tersebut aman dikuburkan di pemakanan umum.

Stigma dapat terbentuk akibat pemahaman ataupun kepercayaan yang salah terkait

informasi, dalam kasus ini mengenai COVID-19. Saat terjadi pandemi tersebut masyarakat

hendaknya perlu mengenali lebih dalam mengenai penyakit ini agar tidak mudah melabeli

individu atau kelompok dengan suatu stigma. Pemberian pemahaman mengenai pandemi

dapat dilakukan oleh pemimpin komunitas maupun klinisi. Sementara untuk menilai

terjadinya peningkatan stigma di masyarakat dapat dilakukan melalui survei oleh media,

pertemuan komunitas, fokus grup untuk mendapatkan informasi langsung mengenai

hambatan, peluang, dan kemungkinan konflik yang terjadi.

Gambar 3. Sosialisasi Tentang Menghadapi Covid-19

Informasi media resmi dari pemerintah atau lembaga kesehatan resmi akan

membantu memberikan informasi yang terpercaya dan membantu pemahaman tentang

penyakit yang terjadi. Anjuran bagi individu adalah untuk melakukan penyaringan tentang isi

media sosial dengan cara melakukan konfirmasi ke situs kesehatan resmi guna mengurangi
pemahaman yang salah. Dengan kata lain, program reduksi stigma membutuhkan peran

aktif dari berbagai pihak, yaitu pemerintah, penyedia layanan kesehatan, masyarakat,

maupun media. Pemberikan dukungan dari orang terdekat atau lingkungan sekitar kepada

masyarakat yang telah terlabeli stigma merupakan suatu hal yang dianjurkan. Hal ini akan

berdampak positif pada psikologis sehingga terlabel dapat terhindar dari depresi, bahkan

terhindar dari dampak yang paling parah, yaitu ide untuk bunuh diri.

Kesimpulannya, perlu banyak intervensi dari banyak kalangan untuk melakukan

intervensi reduksi stigma pada masa pandemi. Intervensi reduksi stigma ini salah satunya

dapat dilakukan dengan edukasi. Untuk mematahkan stigma negatif masyarakat terhadap

COVID-19, masyarakat perlu dihadapkan mengenai realita kondisi yang ada. Penyintas

COVID-19 dapat berinteaksi kepada masyarakat, menceritakan kisah perjuangannya dalam

melawan penyakit ini, serta membuktikan bahwa tidak semua orang yang terinfeksi COVID-

19 akan berakhir pada pemakaman, asal penanganannya ketika terinfeksi tidak terlambat.

Intervensi juga dapat dilakukan dengan menggunakan strategi koping berupa adaptasi

pembiasaan baru. Harapannya kebiasaan buruk masyarakat yang kurang sadar kesehatan

(seperti bepergian ketika sakit, jarang cuci tangan, meludah dan batuk sembarangan) dapat

berubah menjadi lebih baik secara perlahan. Efektivitas intervensi reduksi stigma ini tentu

saja perlu dikaji secara bertahap guna memastikan bahwa program ini menyasar kelompok

yang tepat sehingga masyarakat tidak lagi terjebak pada stigma negatif itu.

Anda mungkin juga menyukai