Kaidah Al Aadah Muhakkamah
Kaidah Al Aadah Muhakkamah
Disusun Oleh:
Kelompok 5
Muamalah/VI/HPS-B
Puji dan Syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam yakni
Nabi Besar Muhammad SAW. Tak lupa juga kepada para thabi‟in yang senantiasa
mengikuti ajaran-Nya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
pembelajaran mata kuliah Qawaid Fiqh Muamalah pada jurusan Muamalah
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penyajian materi-materi
pembahasan, seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”. Oleh karena
itu, kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ini di masa yang akan datang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kully
(menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qawa‟id fiqhiyah
mempunyai beberapa kaidah, diantaranya adalah seperti pembahasan dalam
makalah ini yaitu al-„adah al-muhakkamah (adat atau kebiasaan itu bisa menjadi
dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan
baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan
dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang
di dalam masyarakat. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan
mengetahui segala permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak dalam menerapkan
hukum fiqih dalam waktu, tepat, situasi dan kondisi yang seringkali berubah-
ubah.
Dan dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya budaya
(adat atau kebiasaan ) serta lebih mudah mencari solusi terhadap masalah-masalah
yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Didasari itulah pemakalah
merasa tertarik untuk mengkaji salah satu kaidah fiqih khususnya berkaitan
dengan kehidupan kita sehari-hari atau yang sering kita jumpai yaitu tentang adat
(kebiasaan) dengan kaidah, al-„adah al-muhakkamah dengan arti adat atau
kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum. Dalam makalah
ini akan dikaji mengenai pengertian al-„aadah, dasar-dasar hukum, cabang kaidah
al-a‟aadah muhkamah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian kaidah Al-„Aadah Muhakkamah?
1
2. Bagaimana implementasi dan apa saja cabang kaidah Al-„Aadah
Muhakkamah?
3. Apa perbedaan antara al-ad dan „urf?
2
PEMBAHASAN
Al-‘Aadah Muhakkamah
1
H.A. Djazuli, , Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2, 2007),
hlm. 79
2
Ibid., hlm.79-80
3
Abdul Karim Zaidan, Dr., Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari (Pustaka Al-
Kautsar, cet. Kedua, 2013), hlm. 164
4
Rachmat Syafe'I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3, 2007), hlm. 128.
5
Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan
Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI,2012).hlm.204
3
Jadi maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang khusus
itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat islam (hujjah)
terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama tidak atau belum
ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang adat itu, atau mungkin
ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum, sehingga tidak bisa
mematahkan sebuah adat.
Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja,
karena suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdah
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.6
6
Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.210
4
5
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi
Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka
menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk” (HR.
Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).7
C. Makna Kaidah
Berdasarkan dalil di atas kita menemukan dua kata kunci yakni Al-„Aadah
dan Al-„Urf. Para ulama ushul fikih (ushuliyyun) menggunakan dua kata ini secara
bergantian untuk menjelaskan kebiasaan. Al-„aadah (adat) di definisikan suatu
perbuatan yang dikerjakan secara berulang tanpa hubungan rasional (Musthafa
Ahmad Al-Zaqra, 1978: 838-39). Sedangkan al-„urf didefinisikan sebagai
kebiasaan mayoritas umat, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Jadi makna
kaidah al-„aadah wa al-„urf itu sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima dan
dianggap baik oleh masyarakat (Al Syatibi, tt: 197).
Al-„aadah dan al-„urf yang menjadi salah satu aspek penting dalam
penetapan hukum Islam itu bukan merupakan prilaku individual tetapi sudah
berlaku pada kebanyakan masyarakat di daerah tertentu. Misalnya di daerah
tertentu dalam menetapkan keperluan rumah tangga, diambil dari mahar yang
diberikan suami. Jika kebiasaan ini sudah menjadi bagian dari cara kehidupan
masyarakat tertentu maka kebiasaan seperti ini dapat dijadikan sebagai kaidah
untuk menetapkan kebolehan penggunaan mahar yang seharusnya milik istri.
7
Rachmat Syafe‟I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3, 2007), hlm. 292
6
Kaidah cabang adalah kaidah turunan yang lebih sepesifik dari pada kaidah asasi
yang lebih umum.
ً ف ع ُْرفَا ك َْال َم ْش ُر ْو ِط ش َْر
طا ُ ال َم ْع ُر ْو
“Semua yang telah dikenal karena urf seperti yang disyaratkan karena
suatu syarat”
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu‟amalah mempunyai daya ikat
seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan, dan
sesuatu yang telah dikenal (masyhur) secara „urf (adat) dalam sebuah komunitas
masyarakat adalah menempati posisi (hukumnya) sama dengan sebuah syarat
yang disyaratkan (disebutkan dengan jelas), walau sesuatu itu tidak disebut dalam
sebuah akad (tsansaksi) atau ucapan, sehingga sesuatu itu harus diposisikan
(dihukumi) ada, sebagaimana sebuah syarat yang telah disebut dalam sebuah akad
haruslah ada atau dilakukan. Namun dengan syarat sesuatu yang makruf atau
masyhur itu tidak bertentangan dengan syariat Islam.8
Contoh: jika menurut kebiasaan umum seorang penjual AC bertanggung jawab
atas pemasangannya dan dianggap sebagai syarat dalam kontrak jual beli, maka
itu merupakan tanggung jawabnnya walaupun tak ada dalam kontrak.
Contoh selanjutnya yaitu kasus menjual buah dipohon, menurut qiyas, hukumnya
tidak boleh dan tidak sah, karena jumlahnya tidak jelas (majhul), tetapi karena
sudah menjadi kebiasaan yang umum dilakukan ditengan masyarakat , maka
ulama membolehkannya.9
كل ما ورد به الشرع مطاقا وال ضابط له فيه وال اللغة يرجع فيه الى العرف
Artinya: Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara‟ secara mutlak dan
tidak ada pembatasannya dalam syara‟ dan dalam ketentuan bahasa,
dikembalikan kepada „urf.
8
A, Dzazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
Masalah yang Praktis),(Jakarta:Kencana,2007).hlm.86
9
Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki
Press,2010).hlm.241
7
Banyak ulama fiqh mengartikan „uruf sebagai kebiasaan yang dilakukan
banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreatif-imajenatif manusia dalam
membangun nilai-nilai budaya.10
ار ك َْال َم ْش ُر ْو ِط بَ ْينَ ُه ْم ُ ْال َم ْع ُر ْو
ِ ف بَيْنَ ت ُ َّج
“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di
antara mereka”
Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang,
seperti disyaratkan dalam transaksi.11 Kaidah ini lebih mengkhususkan adat atau
„urf yang ada (terbiasa) diantara para pedagang saja, dimasukan disini
dikarenakan masih dalam kaitannya dengan kaidah al-adah muhakkamah.
Sehingga maksud kaidah ini adalah segala sesuatu yang sudah umum (biasa)
dikenal dikalangan para pedagang, maka posisi (status hukum) sesuatu ini adalah
sama dengan seperti sebuah ketetapan syarat yang berlaku diantara mereka, walau
sesuatu itu tidak disebutkan dengan jelas dalam sebuah akad atau ucapan.
Namun aplikasi kaidah ini tidak hanya berlaku untuk transaksi antara
sesama pedagang saja, akan tetapi juga berlaku antara pedagang dan pembeli,
selama terkait dalam bidang perdagangan, sekalipun bukan jual beli. Contoh
lainnya yaitu antara pedagang dan pembeli seperti biaya pengiriman barang
menurut kebiasaan perdagangan di Indonesia adalah menjadi tanggung jawab
pembeli, sehingga walaupun dalam akad pembelian meubel misalnya, tidak
disebutkan biaya (ongkos) pengiriman, maka hukumnya tetap ada dan menjadi
tanggungjawab penjual.
Redaksi kaidah ini dalam sebagian referensi sedikit berbeda, namun arti
dan maksudnya tetap sama, yaitu kata ta‟yin (ketentuan) diganti dengan kata
thabit (ketetapan), sehingga berbunyi al-thabit bi al-„urf ka al-thabit bi al-nas.
Maksud kaidah ini tidak jauh berbeda dengan kaidah sebelumnya, hanya saja
kaidah ini lebih memperkuat aspek legalitasnya. Artinya posisi sebuah hukum
yang didasarkan pada adat (tradisi) dengan beberapa ketentuannya itu bisa sejajar
10
sumber: Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami, (Bandung: PT Alma‟arif, 1986), cet. 5, hal. 518.
11
Jaih, Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi),(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002).hlm.157
8
kekuatan legalitas hukumnya dengan nash syariat. Alhasil, sebuah ketetapan
hukum atas dasar adat itu sama seperti ketentuan hukum atas dasar nash syariat
Islam. Sehinggga tidak ada alasan bagi siapapun untuk menolaknya, terlebih jika
telah diputuskan hakim dalam sebuah sengketa misalnya perdata. Kaidah ini mirip
atau searti dengan kaidah Tasbitu al-Ma‟ruf berikut:
ّ ّا لتّا بت با لمعروف كا لتّا بت با لن
ص
“Yang ditetapkan oleh (adat) „urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash”.12
Contoh lainnya dalam kaidah ini yaitu, apabila orang memelihara sapi orang lain,
maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak
pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah
selanjutnya secara beganti-ganti.13
12
Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki
Press,2010).hlm.240
13
Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki
Press,2010).hlm.240
9
dalam ketegori „urf. Sedangkan „aadah didefinisikan sebagai tradisi (budaya)
secara umum, tanpa melihat apakah dilakukan oleh individu maupun kolektif.14
Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan
istilah „aadah dan „urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:
1. „Urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan harus
dilakukan oleh sekelompok, sedang obyeknya lebih menekankan pada posisi
pelakunya.
2. „Aadah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan pribadi atau
kelompok, serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.
Sedangkan persamaannya, „urf dan „aadah merupakan sebuah pekerjaan
yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan berulang-ulang
serta sesuai dengan karakter pelakunya. Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah
al-„aadah (adat) dan al-‟urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang
berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek
pengulangan pekerjaan. Sementara al-‟urf hanya melihat pelakunya. Di samping
itu, adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-‟urf harus
dijalani oleh komunitas tertentu. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma‟ruf yang
sering disebut dalam Al-Quran. Oleh karena itu, makna asli al-ma‟ruf ialah segala
sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan).15
F. Kedudukan ‘adah dan ‘urf dalam pandangan fuqaha’
Untuk mengetahui masalah kedudukan „adah atau „urf sebagai salah satu
patokan hukum, fuqohah‟beragam pendapat dalam memeganginya sebagai dalil
hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Abu Hanifah : Al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, qiyas, istihsan, dan „urf masyarakat.
2. Imam Malik : Al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, qiyas, istihsan, istishhab, maslahah
mursalah, syadduzdharai‟ dan „urf.
3. Malikiyyah, membagi „adah kebiasaan atau „urf menjadi tiga, yaitu:
a. Yang dapat ditetapkan sebagai hukum lantaran nash menunjukkan,
14
Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.208
15
Ibid
10
b. Jika mengamalkannya berarti mengamalkan yang dilarang atau
mengabaikan syara‟.
c. Yang tidak dilarang dan tidak diterima dan tidak diterima lantaran tidak ada
larangan.
d. Imam Syafi‟i tidak mempergunakan „urf atau „adah sebagai dalil, karena
beliau berpegang pada al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, dan ijtihad yang hanya
dibatasi dengan qiyas saja. Karena itulah keputusan yang telah diambil oleh
imam syafi‟i dalam wujud “qaul jadid” itu merupakan suatu imbangan
terhadap penetapan hukumnya di bagdad dalam wujud “qaul qadim.16
16
Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki
Press,2010).hlm.246
11
masa orang tidak lagi menggunakan tunai langsung. Itulah kebiasaan (al-„aadah)
yang akan berubah-ubah mengikut keadaan suatu generasi.
Tetapi „urf atau adat resmi sesuatu bangsa itu diwarisi turun temurun dan
mustahil akan berubah. Pepatah melayu bilang “biar mati anak asal jangan mati
adat” jelas menggambarkan pegangan mereka kepada adat adalah amat kuat. Oleh
sebab itulah, mengapa para ulama cenderung menggunakan kaidah al-„aadah
muhakkamah dari pada al-„urf muhakkam. Karena sifatnya yang lebih fleksibel,
mampu berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau
kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan
kebiasaan yaitu al-„adat dan al-„urf. al-„adah atau al-„urf adalah Apa yang
dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara
berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.Istilah adat dan al-‟Urf memang
berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat
hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-‟Urf hanya
melihat pelakunya.
Di samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok,
sementara al-‟Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya,
adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-‟Urf lebih menekankan aspek
pelakunya. persamaannya, adat dan al-‟Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah
diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai
dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah
seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang
tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana
adat istiadat itu berubah.
B. Saran
Mudah-mudahan karya tulis ini bisa dijadikan tambahan pengetahuan
khususnya bagi penulis umumnya bagi pembaca. Untuk memastikan keabsahan isi
materi, disarankan kepada para pembaca untuk meng-cross check langsung dari
sumber bacaan (referensi). Karena tidak menutup kemungkinan karya tulis ini
banyak kesalahan, kekeliruan yang perlu diperbaiki dan disistematiskan.
13
DAFTAR PUSTAKA
14