Anda di halaman 1dari 42

REFERAT ILMU PENYAKIT DALAM

EFEK SAMPING OBAT TUBERKULOSIS

ADE FRISKILLA HARIANJA


202010401011031

PEMBIMBING
dr. Nurlela Damayanti, Sp.P

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD JOMBANG

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat -Nya, penulisan Referat Efek Samping Obat
Tuberkulosis ini dapat diselesaikan dengan baik. Limpah terimakasih
pula untuk keluarga dan sahabat yang telah memberikan dukungan dan
semangat dalam menyelesaikan tulisan ini.
Dengan terselesaikannya laporan kasus ini kami ucapkan terima
kasih yang sebesar besarnya kepada dr. Nurlela Damayanti, Sp.P selaku
pembimbing kami, yang telah membimbing dan menuntun kami dalam
pembuatan referat ini.
Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kami tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang
membangun. Akhirnya, semoga referat ini dapat bermanfaat.

Palu, 10 Desember 2020

Penulis

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
menjadi tantangan global. Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Indonesia merupakan salah
satu negara yang mempunyai beban tuberkulosis yang terbesar di antara 8 negara
yaitu India (27%), China (9%), Indonesia (8%), Philippina (6%), Pakistan (5%),
Nigeria (4%), Bangladesh (4%) dan Afrika Selatan (3%) [ CITATION Kem19 \l
1033 ].
Hanya sebagian kecil pasien yang berhasil menyelesaikan sepenuhnya terapi
anti-tuberkulosis (TB) tanpa efek samping yang signifikan. Ada juga pandangan
yang berlawanan bahwa kebanyakan pasien TB menyelesaikan pengobatannya
tanpa efek samping yang serius. Regimen terapi anti-TB modern telah digunakan
selama> 30 tahun. Namun, frekuensi komplikasi parah tidak diketahui dengan
baik, kemungkinan karena kurangnya pemberitahuan dan pelaporan yang kurang.
Jelas bahwa banyak pasien mengalami reaksi merugikan yang mempersulit
pengobatan dan mempengaruhi hasil pengobatan. Namun, sulit untuk mengukur
kemanjuran atau toksisitas obat tertentu, karena obat anti-TB biasanya diberikan
dalam rejimen kombinasi beberapa obat. Oleh karena itu, penyedia perawatan
yang merawat pasien TB menjalankan fungsi kesehatan masyarakat yang
mencakup tidak hanya meresepkan rejimen yang tepat, tetapi juga memastikan
kepatuhan pada rejimen dan pemantauan pengobatan, termasuk efek samping obat
sampai pengobatan selesai [ CITATION Zal05 \l 1033 ].
1.2 Batasan Masalah
Referat ini akan membahas tentang definisi hingga tatalaksana pada
tuberkulosis paru.
1.3 Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang definisi
hingga tatalaksana pada tuberkulosis paru.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2 . 1. Epidemiologi
Secara global kasus baru tuberkulosis sebesar 6,4 juta, setara dengan 64%
dari insiden tuberkulosis (10 juta). Tuberkulosis tetap menjadi 10 penyebab
kematian tertinggi di dunia dan kematian tuberkulosis secara global diperkirakan
1,3 juta pasien. Angka insiden tuberkulosis Indonesia pada tahun 2017 sebesar
319 per 100.000 penduduk dan angka kematian penderita tuberkulosis 40 per
100.000 penduduk [ CITATION Kem19 \l 1033 ].
Jumlah kasus tuberkulosis pada tahun 2018 ditemukan sebanyak 566.623
kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan
pada tahun 2017 yang sebesar 446.732 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang
dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa
Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di tiga provinsi tersebut
sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di Indonesia [ CITATION
Kem19 \l 1033 ].
Jumlah kasus tuberkulosis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan
yaitu 1,3 kali dibandingkan pada perempuan. Pada masing-masing provinsi di
seluruh Indonesia kasus lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Pada tahun 2018 kasus tuberkulosis terbanyak ditemukan pada
kelompok umur 45-54 tahun, yaitu sebesar 14,2% diikuti kelompok umur 25-34
tahun sebesar 13,8% dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar 13,4%. Pada
data hasil penyisiran di rumah sakit terdapat pengelompokan umur yang tidak
diketahui (NA) yang mengakibatkan terjadinya pergeseran proporsi kasus
tuberkulosis berdasarkan kelompok umur dari 2014-2017 dengan tahun 2018
[ CITATION Kem19 \l 1033 ].

4
Gambar 1. Profil Kasus Tuberkulosis menurut
2 . 2. Etiologi dan cara penularan
kelompok umur [ CITATION Kem19 \l 1033 ].
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari
kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa
spesian Mycobacterium lainnya yang dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA)
selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada
saluran napas, dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium other than tuberculosis).
MOTT terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB
sehingga perlu pemeriksaan bakteriologis untuk mengidentifikasi Mycobacterium
tuberculosis sebagai sarana diagnosis yang ideal [ CITATION Kem14 \l 1033 ].
Secara umum sifat dari kuman TB antara lain :
- Berbentuk batang dengan Panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron
- Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen
- Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa
- Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan
di bawah mikroskop
- Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam
jangka waktu lama pada suhu antara 4ºC sampai minus 70º C
- Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet
- Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan
mati dalam waktu beberapa menit
- Dalam dahak pada suhu antara 30-37º C akan mati dalam waktu kurang
lebih 1 minggu
- Kuman dapat bersifat dorman (“tidur”/ tidak berkembang)
[ CITATION Kem14 \l 1033 ].

5
Sumber penularan kuman TB adalah pasien TB BTA positif melalui percik
renik dahak yang dikeluarkannya. Namun bukan berarti bahwa pasien TB dengan
hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal
tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam
contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui
pemeriksaan mikroskopis langsung. Tingkat penularan pasien TB BTA positif
adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%
sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif adalah
17%. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung
percik renik dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei /
percikan renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak
[ CITATION Kem14 \l 1033 ].
2 . 3. Patogenesis
2.3.1. Tuberkulosis primer
Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap
dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet,
ventilasi yang buruk dan kelembaban. Kuman TB dapat bertahan dalam suasana
yang lembab dan gelap selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Jika partikel
infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru
oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya
[ CITATION Ami10 \l 1033 ].
Bila kuman menetap di jaringan paru, maka kuman tersebut akan
berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini kuman dapat terbawa
masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan
berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau
afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap
bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka akan terjadi efusi

6
pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe,
orofaring dan kulit, terjadi limfedenopati regional kemudian bakteri masuk ke
dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila
masuk arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi
TB milier [ CITATION Ami10 \l 1033 ].
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional =
kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
- Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat (banyak terjadi)
- Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang
luasnya > 5 mm dan kurang lebih 10% di antaranya dapat terjadi
reaktivasi lagi karena kuman yang dorman
- Berkomplikasi dan menyebar secara : a. perkontinuitatum, yakni
menyebar ke sekitarnya, b. secara bronkogen pada paru yang
bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan
bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c. secara
limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya, d. secara hematogen, ke organ
tubuh lainnya [ CITATION Ami10 \l 1033 ].
2.3.2. Tuberkulosis pasca primer (sekunder)
Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis
post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai
90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun, diabetes, AIDS,
gagal ginjal. Tuberkulosis pasca-primer ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di regio atas paru (bagian apical-posterior lobus superior atau inferior).
Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru
[ CITATION Ami10 \l 1033 ].
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-
10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari

7
sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat [ CITATION Ami10 \l
1033 ].
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda
menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman,
virulensinya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi :
- Direabsorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
- Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis.
- Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran.
- Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila
jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini
mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena
infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar sehingga menjadi
kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah
karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat olen enzim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate
TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut [ CITATION
Ami10 \l 1033 ].
Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat
meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini
masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga
masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus
jadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan
terdahulu. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empyema
bila ruptur ke pleura. Selain itu kavitas dapat memadat dan membungkus diri
sehingga menjadi tuberculoma, tuberculoma dapat mengapur dan menyembuh
atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik
kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergilllus dan kemudian menjadi

8
mycetoma. Kavitas juga dapat bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity.
Dapat juga menyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang
berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang
disebut stellate shaped [ CITATION Ami10 \l 1033 ].
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yaitu : 1) Sarang yang
sudah sembuh, dimana sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi; 2) Sarang
aktif eksudatif, yang masih perlu pengobatan yang lengkap dan sempurna; 3)
Sarang yang berada antara aktif dan sembuh, sarang bentuk ini dapat sembuh
spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadi eksaserbasi kembali maka
sebaiknya diberi pengobatan yang sempurna juga [ CITATION Ami10 \l 1033 ].
2 . 4. Diagnosis TB paru
Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru
pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan
bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan
mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat. Apabila pemeriksaan secara
bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan
secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-
tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang
terlatih TB [ CITATION Kem14 \l 1033 ].
Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah
pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang
tidak memberikan perbaikan klinis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan
pemeriksaan serologis atau pemeriksaan foto toraks atau pemeriksaan uji
tuberkulin saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada
TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadinya overdiagnosis ataupun
underdiagnosis [ CITATION Kem14 \l 1033 ].
Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS
(Sewaktu-Pagi-Sewaktu) dan ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1
(satu) dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif [ CITATION
Kem14 \l 1033 ].

9
Gambar 2. Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru
Keterangan :
pada pasien dewasa [ CITATION Kem14 \l
1. Pemeriksaan1033
klinis]. secara cermat dan hasilnya dicatat sebagai data dasar
kondisi pasien dalam rekam medis. Untuk faskes yang memiliki alat tes
cepat, pemeriksaan mikroskopis langsung tetap dilakukan untuk terduga
TB tanpa kecurigaan/ bukti HIV maupun resistensi OAT.
2. Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS)
tidak menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat
dilakukan pemeriksaan tes cepat dan biakan. Untuk pemeriksaan tes
cepat dapat dilakukan hanya dengan mengirimkan contoh uji.
3. Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi
4. Pemberian AB non OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB
termasuk untuk golongan Kuinolon
5. Untuk memastikan diagnosis TB
6. Dillakukan TIPK (Test HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan
dan Konseling)
7. Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan
assessment lanjutan oleh dokter untuk faktor-faktor yang bisa mengarah
ke TB.
Catatan:
1. Agar tidak terjadi over diagnosis atau under diagnosis yang dapat
merugikan pasien serta gugatan hukum yang tidak perlu pertimbangan
dokter untuk menetapkan dan memberikan pengobatan didasarkan
pada :

10
2. Semua terduga pasien TB dengan gejala batuk harus diberikan edukasi
tentang PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) untuk menurunkan
risiko penularan.
2 . 5. Klasifikasi dan tipe pasien TB
Pasien TB harus dibedakan berdasarkan klasifikasi dan tiper penyakit untuk
kepentingan pengobatan dan surveilans dengan maksud:
- Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat
- Penetapan panduan pengobatan yang tepat
- Standarisasi proses pengumpulan data untuk pengendalian TB
- Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan
bakteriologis dan riwayat pengobatan
- Analisis kohort hasil pengobatan
- Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat
baik dalam maupun antar kabupaten/ kota, provinsi, nasional dan global
[ CITATION Kem14 \l 1033 ].
Terduga TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis
mendukung TB.
Definisi pasien TB :
Berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis :
Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan
contoh uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes
diagnostic cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya : GeneXpert).
Yang termasuk dalam kelompok pasien ini adalah :
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.TB positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.TB positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis
Catatan : semua pasien yang memenuhi definisi tersebut di atas harus dicatat
tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum
[ CITATION Kem14 \l 1033 ].

11
Pasien TB terdiagnosis secara klinis :
Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria diagnosis secara bakteriologis tetapi
terdiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB.
Yang termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB
b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis
c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring
Catatan : pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian
terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai
pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis [ CITATION Kem14 \l 1033 ].
Klasifikasi pasien TB :
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut di atas, pasien juga
diklasifikasikan berdasarkan :
a. Lokasi anatomi dari penyakit
 Tuberkulosis paru
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB di rongga dada (hillus dan atau mediastinum) atau
efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB
pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstraparu. Pasien yang menderita
TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan
sebagai pasien TB paru [ CITATION Kem14 \l 1033 ].
 Tuberkulosis ekstraparu
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya : pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak
dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstraparu
harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium

12
tuberculosis. Pasien TB ekstraparu yang menderita TB pada beberapa
organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstraparu pada organ
menunjukkan gambaran TB yang terberat [ CITATION Kem14 \l
1033 ].
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
 Pasien baru TB : pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1
bulan (< 28 dosis).
 Pasien yang pernah diobati TB : adalah pasien yang sebelumnya
pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan
TB terakhir yaitu:
 Pasien kambuh : pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik
karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi)
 Pasien yang diobati kembali setelah gagal : pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir
 Pasien yang diobati Kembali setelah putus berobat (lost to
follow up) : pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai
pengobatan pasien setelah putus berobat / default)
 Lain-lain : pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
 Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
[ CITATION Kem14 \l 1033 ].
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien di sini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
 Mono resistan (TB MR) : resistan terhadap salah satu jenis OAT
lini pertama saja

13
 Poli resistan (TB PR) : resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan
 Multidrug resistan (TB MDR) : resistan terhadap isoniazid (H) dan
rifampisin (R) secara bersamaan
 Extensive drug resistan (TB XDR) : TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (kamisin,
kapreomisin, dan amikasin)
 Resistan rifampisin (TB RR) : resisten terhadap rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional)
d. Status HIV
1. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) adalah
pasien TB dengan :
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan
ART,
atau
 Hasil tes HIV positif saat diagnosis TB
2. Pasien TB dengan HIV negatif adalah pasien TB dengan :
 Hasil tes HIV negatif sebelumnya,
Atau
 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB
Catatan :
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV
menjadi positif, pasien harus disesuaikan Kembali
klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif.
3. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa
ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan
Catatan :

14
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV
pasien, pasien harus disesuaikan Kembali klasifikasinya berdasarkan
hasil tes HIV terakhir
2 . 6. Tatalaksana pasien TB
2.6.1. Tujuan pengobatan TB
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas
hidup
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d. Menurunkan penularan TB
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat
[ CITATION Kem14 \l 1033 ].
2.6.2. Prinsip pengobatan TB
Obat anti tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien
untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Pengobatan yang
adekuat harus memenuhi prinsip :
- Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi
- Diberikan dalam dosis yang tepat
- Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan
- Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan
[ CITATION Kem14 \l 1033 ].
2.6.3. Tahapan pengobatan TB
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan dengan maksud :
- Tahap awal : pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan
pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan

15
jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir
pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak
sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada
semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya
dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu
[ CITATION Kem14 \l 1033 ].
- Tahap lanjutan : pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang
penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh
khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan [ CITATION Kem14 \l 1033 ].
2.6.4. Obat anti tuberkulosis (OAT)
Obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama terdiri dari isoniazid (H),
rifampisin (R), pirazinamid (Z), streptomisin (S) dan etambutol (E).
- Isoniazid (H)
Informasi umum
Isoniazid, hidrazida dari asam isonicotinic, sangat bakterisidal melawan
replikasi basil tuberkulum. Obat ini cepat diserap dan mudah berdifusi ke semua
cairan dan jaringan. Waktu paruh plasma, yang ditentukan secara genetik,
bervariasi dari kurang dari satu jam untuk asetilator cepat hingga lebih dari tiga
jam untuk asetilator lambat. Isoniazid sebagian besar diekskresikan dalam urin
dalam waktu 24 jam, sebagian besar sebagai metabolit tidak aktif [ CITATION
WHO17 \l 1033 ].
Informasi klinis :
 Administrasi dan dosis
Isoniazid biasanya dipakai secara oral tetapi dapat diberikan secara
intramuskular atau intravena untuk orang yang sakit kritis.
Dewasa:
5 mg / kg (4–6 mg / kg) setiap hari
[ CITATION WHO17 \l 1033 ]
 Kontraindikasi
o Hipersensitivitas yang diketahui

16
o Penyakit hati aktif dan tidak stabil (dengan ikterus)
[ CITATION WHO17 \l 1033 ]
 Tindakan pencegahan
Pemantauan klinis (dan tes fungsi hati, jika mungkin) harus dilakukan
selama pengobatan orang dengan penyakit hati yang sudah ada
sebelumnya. Orang yang berisiko mengalami neuropati perifer, akibat
malnutrisi, ketergantungan alkohol kronis, infeksi HIV, kehamilan,
menyusui, gagal ginjal atau diabetes, juga harus menerima piridoksin, 10
mg setiap hari. Jika standar kesehatan masyarakat rendah, piridoksin harus
diberikan secara rutin. Untuk neuropati perifer yang sudah ada, piridoksin
harus diberikan dengan dosis 50-75 mg setiap hari [ CITATION
WHO17 \l 1033 ].
Karena isoniazid berinteraksi dengan antikonvulsan yang digunakan
untuk epilepsi, dosis obat ini mungkin harus dikurangi selama pengobatan
dengan isoniazid. Jika memungkinkan, konsentrasi serum fenitoin dan
karbamazepin harus diukur di antara orang yang menerima isoniazid
dengan atau tanpa rifampisin [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Penggunaan pada kehamilan
Isoniazid tidak diketahui berbahaya dalam kehamilan. Suplementasi
piridoksin dianjurkan untuk semua wanita hamil (atau menyusui) yang
memakai isoniazid [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Efek samping
Isoniazid umumnya ditoleransi dengan baik pada dosis yang
dianjurkan. Reaksi hipersensitivitas sistemik atau kulit kadang-kadang
terjadi selama minggu-minggu pertama pengobatan. Rasa kantuk atau lesu
dapat diatasi dengan menyesuaikan waktu pemberian [ CITATION
WHO17 \l 1033 ].
Risiko neuropati perifer dikecualikan jika orang yang rentan
menerima suplemen piridoksin setiap hari. Bentuk gangguan sistem saraf
lain yang kurang umum, termasuk neuritis optik, psikosis toksik, dan
kejang umum, dapat berkembang di antara individu yang rentan, terutama

17
pada tahap pengobatan selanjutnya, dan terkadang memerlukan penarikan
isoniazid [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
Hepatitis simptomatis adalah reaksi yang tidak umum tetapi
berpotensi serius yang biasanya dapat dicegah dengan menghentikan
pengobatan dengan segera. Lebih sering, bagaimanapun, peningkatan
tanpa gejala pada konsentrasi serum transaminase hati pada permulaan
pengobatan tidak memiliki signifikansi klinis dan biasanya menghilang
secara spontan seiring pengobatan dilanjutkan [ CITATION WHO17 \l
1033 ].
Lupus-like syndrome, pellagra, anemia dan artralgia adalah efek
samping lain yang jarang terjadi. Keracunan monoamine dilaporkan terjadi
setelah menelan makanan dan minuman dengan kandungan monoamine
tinggi, tetapi ini juga jarang terjadi [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Interaksi obat
Isoniazid menghambat metabolisme obat-obatan tertentu, yang dapat
meningkatkan konsentrasi plasma hingga mencapai titik toksisitas.
Rifampisin, bagaimanapun, memiliki efek berlawanan untuk banyak obat
ini. Misalnya, data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian
rifampisin dan isoniazid mengurangi kadar fenitoin dan diazepam dalam
plasma.
Isoniazid dapat meningkatkan toksisitas karbamazepin, benzodiazepin
yang dimetabolisme oleh oksidasi (seperti triazolam), asetaminofen,
valproat, antidepresan serotonergik, disulfiram, warfarin dan teofilin
[ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Overdosis
Mual, muntah, pusing, penglihatan kabur dan bicara tidak jelas terjadi
dalam 30 menit sampai tiga jam setelah overdosis. Keracunan besar-
besaran menyebabkan koma, yang diawali dengan depresi pernapasan dan
pingsan. Kejang berat yang parah dapat terjadi. Emesis dan lavage
lambung, arang aktif, antiepilepsi, dan natrium bikarbonat intravena dapat
bermanfaat jika diberikan dalam beberapa jam setelah menelan.

18
Selanjutnya, hemodialisis mungkin bermanfaat. Piridoksin dosis tinggi
harus diberikan untuk mencegah kejang [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Penyimpanan
Tablet harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya. Larutan injeksi harus disimpan dalam ampul, terlindung dari
cahaya [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
- Rifampisin (R)
Informasi umum
Sebuah turunan semisintetik dari rifamycin, rifampicin adalah antibiotik
makrosiklik kompleks yang menghambat sintesis asam ribonukleat dalam
berbagai patogen mikroba. Obat ini memiliki aksi bakterisidal dan efek sterilisasi
yang kuat terhadap tuberkel basil di lokasi seluler dan ekstraseluler [ CITATION
WHO17 \l 1033 ].
Rifampisin larut dalam lemak. Setelah pemberian oral, dengan cepat diserap
dan didistribusikan ke seluruh jaringan seluler dan cairan tubuh; jika meningen
meradang, sejumlah besar cairan masuk ke dalam cairan serebrospinal. Dosis
tunggal 600 mg menghasilkan konsentrasi serum puncak sekitar 10 μg / ml dalam
2-4 jam, yang kemudian meluruh dengan waktu paruh 2-3 jam. Ini secara
ekstensif didaur ulang dalam sirkulasi enterohepatik, dan metabolit yang dibentuk
oleh deasetilasi di hati akhirnya diekskresikan dalam tinja [ CITATION
WHO17 \l 1033 ].
Karena resistensi berkembang dengan mudah, rifampisin harus selalu diberikan
dalam kombinasi dengan agen antimikobakteri efektif lainnya [ CITATION
WHO17 \l 1033 ].
Informasi klinis :
 Administrasi dan dosis
Rifampisin sebaiknya diberikan setidaknya 30 menit sebelum makan,
karena penyerapan berkurang bila dikonsumsi bersama makanan. Namun,
hal ini mungkin tidak signifikan secara klinis, dan makanan dapat
mengurangi intoleransi terhadap obat-obatan. Rifampisin harus selalu
diberikan dalam kombinasi dengan agen antimikobakteri efektif lainnya.
Ini juga tersedia untuk administrasi intravena untuk orang yang sakit kritis.

19
Dewasa : 10 mg / kg (8-12 mg / kg) setiap hari
[ CITATION WHO17 \l 1033 ]
 Kontraindikasi
o Hipersensitivitas yang diketahui terhadap rifamycins
o Penyakit hati aktif dan tidak stabil (dengan ikterus)
[ CITATION WHO17 \l 1033 ]
 Tindakan pencegahan
Reaksi kekebalan yang serius yang mengakibatkan kerusakan ginjal,
hemolisis atau trombositopenia tercatat di antara orang-orang yang
melanjutkan penggunaan rifampisin setelah selang pengobatan yang lama.
Dalam situasi yang jarang ini, rifampisin harus segera ditarik secara
permanen [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
Setiap orang dengan penyakit hati yang sudah ada yang menjalani
pengobatan harus dipantau secara klinis (dan menjalani tes fungsi hati, jika
memungkinkan), karena mereka meningkatkan risiko kerusakan hati lebih
lanjut [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
Orang yang dirawat harus diperingatkan bahwa pengobatan dapat
menyebabkan warna kemerahan pada semua sekresi tubuh (urin, air mata,
air liur, keringat, air mani, dan dahak) dan lensa kontak serta pakaian dapat
ternoda permanen [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Penggunaan pada kehamilan
Vitamin K1 harus diberikan saat lahir untuk bayi dari ibu yang
mengonsumsi rifampisin karena risiko perdarahan pascanatal [ CITATION
WHO17 \l 1033 ].
 Efek samping
Rifampisin dapat ditoleransi dengan baik oleh kebanyakan orang pada
dosis yang direkomendasikan saat ini tetapi dapat menyebabkan reaksi
gastrointestinal (sakit perut, mual dan muntah) dan pruritus dengan atau
tanpa ruam [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
Efek samping lainnya (demam, sindrom mirip influenza dan
trombositopenia) lebih mungkin terjadi dengan pemberian intermiten.
Dermatitis eksfoliatif lebih sering terjadi pada orang dengan HIV dan TB.

20
Kenaikan sedang dalam konsentrasi serum bilirubin dan transaminase,
yang biasa terjadi pada awal pengobatan, seringkali bersifat sementara dan
tanpa signifikansi klinis. Namun, hepatitis terkait dosis dapat terjadi dan
berpotensi fatal [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Interaksi obat
Rifampisin menginduksi enzim hati dan dapat meningkatkan kebutuhan
dosis obat yang dimetabolisme di hati, termasuk:
o anti infeksi (termasuk obat antiretroviral tertentu yang dibahas di
bawah, mefloquine, agen antijamur azole, klaritromisin, eritromisin,
doksisiklin, atovaquone dan kloramfenikol);
o terapi hormon, termasuk etinilestradiol, noretindron, tamoksifen, dan
levotiroksin;
o metadon;
o warfarin;
o siklosporin;
o kortikosteroid;
o antikonvulsan (termasuk fenitoin);
o agen kardiovaskular, termasuk digoksin (di antara orang dengan
insufisiensi ginjal), digitoksin, verapamil, nifedipine, diltiazem,
propranolol, metoprorol, enalapril, losartan, quinidine, mexiletine,
tocainide dan propafenone;
o teofilin;
o hipoglikemia sulfonylurea;
o hipolipidemia, termasuk simvastatin dan fluvastatin; dan
o nortriptyline, haloperidol, quetiapine, benzodiazepin (termasuk
diazepam dan triazolam), zolpidem, dan buspirone.
Karena rifampisin mengurangi keefektifan kontrasepsi oral, wanita
harus disarankan untuk memilih di antara dua pilihan kontrasepsi. Setelah
berkonsultasi dengan dokter, orang yang dirawat dapat menggunakan pil
kontrasepsi oral yang mengandung dosis estrogen yang lebih tinggi (50
μg); sebagai alternatif, metode kontrasepsi non-hormonal dapat digunakan
selama pengobatan rifampisin dan setidaknya satu bulan kemudian.

21
Ekskresi bilier media radiokontras dan natrium sulfobromophthalein dapat
dikurangi dan uji mikrobiologis untuk asam folat dan vitamin B12
terganggu.[ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Overdosis
Bilas lambung mungkin berguna jika dilakukan dalam beberapa jam
setelah menelan. Dosis rifampisin yang sangat besar dapat menekan fungsi
sistem saraf pusat. Tidak ada obat penawar khusus, dan pengobatan
bersifat suportif [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Penyimpanan
Kapsul dan tablet harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terlindung
dari cahaya [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
- Pirazinamid (Z)
Informasi umum
Pirazinamide adalah analog sintetis dari nikotinamida yang hanya bersifat
bakterisidal lemah terhadap Mycobacterium tuberculosis tetapi memiliki aktivitas
sterilisasi yang kuat, terutama di lingkungan makrofag intraseluler yang relatif
asam dan di area peradangan akut. Ini sangat efektif selama dua bulan pertama
pengobatan sementara perubahan inflamasi akut tetap ada. Penggunaannya telah
mempersingkat regimen pengobatan dan mengurangi risiko kambuh [ CITATION
WHO17 \l 1033 ].
Obat ini mudah diserap dari saluran pencernaan dan dengan cepat
didistribusikan ke seluruh jaringan dan cairan. Konsentrasi plasma puncak dicapai
dalam dua jam, dan waktu paruh plasma sekitar 10 jam. Obat ini dimetabolisme
terutama di hati dan diekskresikan sebagian besar dalam urin [ CITATION
WHO17 \l 1033 ].
Informasi klinis :
 Administrasi dan dosis
Pirazinamide diberikan secara oral.
Dewasa (biasanya selama 2-3 bulan pertama pengobatan TB) 25 mg / kg
(20-30 mg / kg) setiap hari
[ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Kontraindikasi

22
o Hipersensitivitas yang diketahui
o Penyakit hati aktif dan tidak stabil (dengan ikterus)
o Porphyria
[ CITATION WHO17 \l 1033 ]
 Tindakan pencegahan
Orang dengan diabetes harus dipantau dengan cermat, karena
konsentrasi glukosa darah bisa menjadi labil. Asam urat bisa diperburuk.
Orang dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya harus dipantau
secara klinis (dan fungsi hati diuji, jika memungkinkan) selama
pengobatan [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Penggunaan pada kehamilan
Regimen enam bulan berdasarkan isoniazid, rifampisin dan pirazinamid
harus digunakan jika memungkinkan. Meskipun data teratogenisitas rinci
tidak tersedia, pirazinamid mungkin dapat digunakan dengan aman selama
kehamilan [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Efek samping
Pirazinamide dapat menyebabkan intoleransi gastrointestinal. Reaksi
hipersensitivitas jarang terjadi, tetapi beberapa orang mengeluhkan sedikit
kemerahan pada kulit. Peningkatan sedang dalam konsentrasi transaminase
serum sering terjadi selama fase awal pengobatan. Hepatotoksisitas parah
jarang terjadi [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
Karena sekresi tubulus ginjal terhambat, derajat hiperurisemia biasanya
terjadi, tetapi seringkali asimtomatik. Asam urat yang membutuhkan
pengobatan dengan allopurinol terkadang berkembang. Arthralgia,
terutama pada bahu, dapat terjadi dan responsif terhadap analgesik
sederhana (terutama aspirin). Efek samping yang jarang terjadi termasuk
anemia sideroblastik dan dermatitis fotosensitif [ CITATION WHO17 \l
1033 ].
 Overdosis
Hanya terdapat sedikit catatan terkait pengelolaan overdosis
pirazinamid. Kerusakan hati akut dan hiperurisemia telah dilaporkan.
Pengobatan pada dasarnya bergejala. Emesis dan lavage lambung mungkin

23
berguna jika dilakukan dalam beberapa jam setelah menelan. Tidak ada
obat penawar khusus, dan pengobatan bersifat suportif [ CITATION
WHO17 \l 1033 ].
 Penyimpanan
Tablet harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya [
CITATION WHO17 \l 1033 ].
- Etambutol (E)
Informasi umum
Sebuah kongen sintetis 1,2-etanediamin, etambutol aktif melawan M.
tuberculosis, M. bovis dan beberapa mikobakteri nonspesifik. Ini digunakan
dalam kombinasi dengan obat anti-TB lain untuk mencegah atau menunda
munculnya jenis yang resistan [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
Ini mudah diserap dari saluran gastrointestinal. Konsentrasi plasma memuncak
dalam 2–4 jam dan tertunda dengan waktu paruh 3–4 jam. Etambutol
diekskresikan dalam urin baik dalam bentuk tidak berubah maupun sebagai
metabolit hati yang tidak aktif. Sekitar 20% diekskresikan dalam bentuk feses
[ CITATION WHO17 \l 1033 ].
Informasi klinis :
 Administrasi dan dosis
Etambutol diberikan secara oral.
Dewasa
15 mg / kg (15-20 mg / kg) setiap hari
Dosis harus selalu dihitung dengan hati-hati berdasarkan berat badan
untuk menghindari toksisitas, dan dosis atau interval pemberian dosis
harus disesuaikan untuk orang dengan gangguan fungsi ginjal (bersihan
kreatinin <70 ml / menit) [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Kontraindikasi
o Hipersensitivitas yang diketahui
o Neuritis optik yang sudah ada sebelumnya dari sebab apa pun
[ CITATION WHO17 \l 1033 ]
 Tindakan pencegahan

24
Orang harus disarankan untuk segera menghentikan pengobatan dan
melapor ke dokter jika penglihatan atau persepsi mereka tentang warna
memburuk. Pemeriksaan mata dianjurkan sebelum dan selama perawatan.
Jika memungkinkan, fungsi ginjal harus dinilai sebelum pengobatan.
Konsentrasi etambutol plasma harus dipantau jika klirens kreatinin kurang
dari 30 ml / menit [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Penggunaan pada kehamilan
Etambutol tidak diketahui berbahaya dalam kehamilan [ CITATION
WHO17 \l 1033 ].
 Efek samping
Neuritis optik yang bergantung pada dosis dapat menyebabkan
gangguan ketajaman penglihatan dan penglihatan warna pada satu atau
kedua mata. Perubahan awal biasanya reversibel, tetapi kebutaan dapat
terjadi jika pengobatan tidak segera dihentikan. Toksisitas mata jarang
terjadi jika etambutol digunakan selama 2-3 bulan pada dosis yang
dianjurkan. Tanda-tanda neuritis perifer terkadang berkembang di kaki.
Efek samping langka lainnya termasuk reaksi kulit umum, artralgia dan,
sangat jarang, hepatitis [ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Overdosis
Emesis dan lavage lambung mungkin berguna jika dilakukan dalam
beberapa jam setelah menelan. Selanjutnya, dialisis mungkin bermanfaat.
Tidak ada obat penawar khusus, dan pengobatan bersifat suportif
[ CITATION WHO17 \l 1033 ].
 Penyimpanan
Tablet harus disimpan dalam wadah tertutup rapat [ CITATION WHO17 \l
1033 ].
- Streptomisin (S)
Bersifat bakterisidal. Nyeri di tempat suntikan, gangguan keseimbangan dan
pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia, agranulositosis, trombositopeni
[ CITATION Kem14 \l 1033 ].
2.6.5. Panduan OAT yang digunakan di Indonesia

25
Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
- Kategori 1 : 2(HRZE)/ 4(HR)3
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/ (HRZE)/ 5 (HR)3E3
- Kategori anak : 2(HRZ)/ 4(HR) atau 2HRZA(S)/ 4-10HR
- Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamisin, kapreomisin,
levofloksasin, etionamide, sikloserin, moksifloksasin dan PAS, serta
OAT lini-1, yaitu pirazinamid dan etambutol [ CITATION Kem14 \l
1033 ]
Panduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Panduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien
[ CITATION Kem14 \l 1033 ].
Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Panduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT
sebelumnya [ CITATION Kem14 \l 1033 ].
Panduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Panduan ini
dikemas dalam satu paket untuk pasien [ CITATION Kem14 \l 1033 ].
Panduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa
pengobatan [ CITATION Kem14 \l 1033 ].
Obat anti tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT
mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping

26
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan risiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien [ CITATION
Kem14 \l 1033 ].
2.6.6. Panduan OAT KDT lini pertama dan peruntukannya
a. Kategori-1 : 2(HRZE)/ 4(HE)3
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
 Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
 Pasien TB paru terdiagnosis klinis
 Pasien TB ekstra paru

Gambar 3. Dosis panduan OAT KDT kategori 1[ CITATION


Kem14 \l 1033 ].

Gambar 4. Dosis panduan OAT Kombipak Kategori 1[ CITATION


Kem14 \l 1033 ].
b. Kategori-2 : 2(HRZE)S/ (HRZE)/ 5(HR)3E3
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan ualng):
 Pasien kambuh
 Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1
sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow
up)

27
Gambar 5. Dosis panduan OAT KDT kategori 2 [ CITATION
Kem14 \l 1033 ].

Gambar 6. Dosis panduan OAT Kombipak kategori 2 [ CITATION


Kem14 \l 1033 ].
Catatan :
 Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan
khusus
 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebagai 3,7ml sehingga menjadi 4 ml
(1ml = 250 mg)
 Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan
harus disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan
 Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida
(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan
diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena
potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini
pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko
terjadinya resistensi pada OAT lini kedua
 OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk
guna memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang
resisten obat [ CITATION Kem14 \l 1033 ].

28
2 . 7. Tatalaksana pengendalian tuberkulosis resistan obat
TB resistan obat adalah keadaan di mana kuman M. Tuberculosis sudah
tidak dapat lagi di bunuh dengan obat anti TB (OAT). Terdapat 5 kategori
resistensi terhadap OAT :
1. Monoresistan : resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan
isoniazid (H)
2. Poliresistan : resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan
etambutol (HE), rifampisin etambutol dan streptomisin (RES)
3. Multi-drug resistance: resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan
atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE,
HRES
4. Extensively drug resistance (XDR) : TB MDR disertai resistensi
terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari
OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
5. TB resistan rifampisin (TB RR) : resistan terhadap rifampisin
(monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi
menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan
OAT lainnya
2.7.1. Diagnosis TB resistan obat
Kriteria terduga TB resistan obat adalah semua orang yang mempunyai
gejala TB yang memenuhi satu atau lebih kriteria terduga/ suspek di bawah ini :
1. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar
serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama
1 bulan
4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan
pengobatan
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2

29
7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default)
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB
MDR
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian OAT
Diagnosis TB resistan obat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji
kepekaan M. TB dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode
tes cepat (rapid test) dan metode konvensional. Saat ini ada 2 metode tes cepat
yang dapat digunakan yaitu pemeriksaan Gen eXpert (uji kepekaan untuk
rifampisin) dan LPA (uji kepekaan untuk rifampisin dan isoniazid). Sedangkan
metode konvensional yang digunakan adalah Lowenstein Jensen/ LJ dan MGIT.
Dengan tersedianya alat diagnosis TB resistan obat dengan metode cepat,
maka alur diagnosis TB resistan obat yang berlaku di Indonesia adalah :

30
2.7.2. Pengobatan TB MDR
Sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal termasuk
melakukan beberapa pemeriksaan penunjang. Persiapan sebelum pengobatan
dimulai adalah :
a. Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat
dan kecenderunga alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti
hepatitis, diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan kejiwaan,
kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer)
b. Pemeriksaan : penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi
pendengaran
c. Pemeriksaan kondisi kejiwaan
d. Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam
sistem pencatatan yang digunakan
e. Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk
memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung
pengobatan melalui Kerjasama jejaring eksternal
Pemeriksaan penunjang sebelum pengobatan dimulai adalah :
a. Pemeriksaan darah lengkap
b. Pemeriksaan kimia darah
 Faal ginjal : ureum, kreatinin
 Faal hati: SGOT, SGPT
 Serum elektrolit (kalium, natrium, chloride)
 Asam urat
 Gula darah (sewaktu dan 2 jam sesudah makan)
c. Pemeriksaan Thyroid stimulating hormone (TSH)
d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subur
e. Foto toraks
f. Tes pendengaran (pemeriksaan audiometri)
g. Pemeriksaan EKG
h. Tes HIV (bila ada status HIV belum diketahui)

31
Pilihan panduan OAT MDR saat ini adalah panduan standar (standardized
treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien
TB RR/ TB MDR.
a. Panduan standar OAT MDR yang diberikan adalah :
Km – Lfx – Eto – Cs – Z – € / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai
berikut:
 Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka panduan
standar adalah sebagai berikut :
Cm – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
 Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka panduan
standar adalah sebagai berikut:
Km – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z –
(E)
 Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon
(TB XDR) maka panduan standar adalah sebagai berikut :
Cm – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)/ Mfx – Eto – Cs – PAS – Z –
(E)
b. Panduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB
RR/ MDR secara laboratoris
c. Panduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan
suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi
konversi biakan. Tahap lanjutan adalah pemberian panduan OAT oral
tanpa suntikan.
d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi
konversi biakan. Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.
Daftar singkatan :
Km : kanamycin
Lfx : Levofloxacin
Eto : Ethionamide
Cs : Cycloserine

32
Z : Pirazinamid
(E) : Etambutol
Mfx : Moxifloxacin
2.8.3 Pemantauan kemajuan pengobatan TB MDR
Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk
menilai respons pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala
TB (batuk, berdahak, demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam
beberapa bulan pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan
indicator respons pengobatan. Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan
biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil
negative.
Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara
klinis dan pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut:

2 . 8. Efek samping obat TB dan penatalaksanaannya


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
mengalami efek samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja
mengalami efek samping yang merugikan atau berat. Guna mengetahui terjadinya
efek samping OAT, sangat penting untuk memantau kondisi klinis pasien selama
masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat segera diketahui dan
ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak diperlukan
[ CITATION Kem14 \l 1033 ].

33
Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara
mengajarkan kepada pasien untuk mengenal keluhan dan gejala umum efek
samping serta menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada
petugas kesehatan. Selain daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu
melakukan pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien pada saat mereka
datang ke fasyankes untuk mengambil obat. Efek samping yang terjadi pada
pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat pada kartu pengobatannya
[ CITATION Kem14 \l 1033 ].
Efek samping yang paling sering terhadap regimen RHZE adalah perubahan
warna urin (terjadi secara universal), intoleransi lambung (pada 40% pasien),
perubahan kulit (pada 20%), ikterus (pada 15%), dan nyeri sendi (dalam 4%).
Faktor utama yang terkait adalah usia (dari dekade keempat kehidupan dan
seterusnya), ketergantungan alkohol (asupan alkohol harian> 80 g), malnutrisi
(penurunan lebih dari 15% berat badan), riwayat penyakit hati, dan koinfeksi HIV
[ CITATION Rab17 \l 1033 ].
Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan
sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara
mengatasinya atau pengobatan tambahan untuk menghilangkan keluhannya.
Apabila pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan
sementara dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna
penatalaksanaan lebih lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat
sebaiknya dirawat di rumah sakit. Tabel di bawah ini akan menjelaskan efek
samping ringan maupun berat dengan pendekatan keluhan dan gejala :

Gambar 6. Efek samping ringan OAT [ CITATION


Kem14 \l 1033 ].
34
Gambar 7. Efek samping berat OAT [ CITATION
Kem14 \l 1033 ].

Gambar 8. Efek samping obat anti TB resistan

35
Gambar 9. Tatalaksana simptomatis efek samping OAT pada TB sensitif maupun
resistan obat.

Penatalaksaan pasien dengan efek samping pada kulit


Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain,
dianjurkan untuk memberikan pengobatan simptomatis dengan antihistamin serta
pelembab kulit. Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat.
Apabila kemudian terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera dirujuk
kepada dokter atau fasyankes rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan
pengobatan TB hingga selesai, di fasyankes rujukan dapat dilakukan upaya
mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya reaksi di kulit dengan cara
“drug challenging” :
 Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap
satu persatu dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat
menimbulkan reaksi (H atau R) pada dosis rendah misal 50 mg
isoniazid
 Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari.
Apabila tidak timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan
menambahkan 1 macam OAT lagi
 Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan
bahwa OAT yang diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi
pada kulit tersebut

36
 Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi di kulit tersebut,
pengobatan dapat dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut
[ CITATION Kem14 \l 1033 ].
Penatalaksanaan pasien dengan “drug induced hepatitis”
Dalam uraian ini hanya akan disampaikan tatalaksana pasien yang mengalami
keluhan gangguan fungsi hari karena pemberian obat (drugs induced hepatitis).
Penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi hati karena penyakit penyerta
pada hati, diuraikan dalam uraian pengobatan pasien dalam keadaan khusus.
OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R
dan Z. Sebagai tambahan, rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti
gangguan fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor
penyebab lain sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan
oleh karena panduan OAT.
Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan TB
tergantung dari :
 Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan
 Berat ringannya gangguan fungsi hati
 Berat ringannya TB
 Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat
Hepatotoksisitas adalah penyebab paling umum dari penyakit iatrogenik pada
terapi TB. OAT dapat menginduksi derajat hepatoksisitas yang bervariasi, dari
peningkatan asimptomatis pada transaminase (yang pada kasus ekstrim dapat
menyebabkan interupsi dari terapi TB), gagal hati akuy (ketika hepatic
encephalopathy terjadi dan prothrombin time adalah <50%, biasanya mengarah
pada perlukan transplantasi hepar atau bahkan kematian). Frekuensi dari
hepatoksisitas pada negara yang berbeda bervariasi 1-10% [ CITATION Zal05 \l
1033 ].
Hepatoksisitas karena isoniazid adalah yang paling umum, sebagaimana
isoniazid telah digunakan untuk terapi TB (baik TB aktif maupun laten) sejak
1952. Bagaimanapun, pirazinamid adalah yang paling hepatotoksis di antara OAT
esensial, khususnya pada dosis >30 mg/kg/ hari. Rifampisin memiliki
hepatotoksisitas yang rendah. Bagaimanapun, karena efek induksi enzimnya dapat

37
meningkatan toksisitas dari isoniazid ketika dua obat dikombinasikan
[ CITATION Zal05 \l 1033 ].
Hepatotoksisitas ringan (peningkatan transaminase 3-5 kali level normal) tidak
memerlukan modifikasi terapi apapun, hanya kunjungan dan pemeriksaan lab
yang lebih sering. Pada kasus hepatotoksisitas sedang (peningkatan transaminase
antara 3-5 dan 10 kali level normal), kemoterapi harus dihentikan sesegera
mungkin, control pada risiko gagal hati akut harus dimulai dan pasien dirawat di
rumah sakit jika perlu. Bagaimanapun, risiko gagal hati akut adalah rendah
[ CITATION Zal05 \l 1033 ].
Hepatoksisitas berat (peningkatan transaminase >10 kali level normal) terjadi
pada satu dari 1000 kasus yang diterapi, dan berhubungan dengan fatality rate
yang tinggi ~ 2,5%. Hepatitis adalah manifestasi klinis yang biasa pada derajat
toksisitas ini dan risiko gagal hati akut adalah tinggi. Survival rate spontan setelah
gagal hati akut adalah 10%. Satu-satunya terapi yang meningkatkan angka
harapan hidup adalah transplantasi hepar (survival rate >80%) [ CITATION Zal05
\l 1033 ].

Gambar 8. Tabel toksisitas hepar.

Langkah-langkah tindak lanjut adalah sebagai berikut, sesuai kondisi:


1. Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena
OAT, pemberian semua OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan.
Pengobatan yang diberikan streptomisin dan etambutol sambil menunggu
fungsi hati membaik. Bila fungsi hati normal atau mendekati normal,
berikan rifampisin dengan dosis bertahap, selanjutnya isoniazid secara
bertahap
2. TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien,
dapat diberikan paduan pengobatan non hepatotoksik terdiri dari S, E dan
salah satu OAT dari golongan fluorokuinolon

38
3. Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi
hati kembali normal dan keluhan (mual, sakit perut, dsb)
4. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk
menunggu sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta
pemeriksaan palpasi hati sudah tidak teraba sebelum memulai kembali
pengobatan
5. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hari berat,
panduan pengobatan non hepatotoksik terdiri dari : S,R dan salah satu
golongan kuinolon dapat diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan
6. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, panduan pengobatan OAT semula
dapat dimulai kembali satu persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala
gangguan fungsi hati kembali muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati
kembali tidak normal, OAT yang ditambahkan terakhir harus dihentikan.
Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan dengan rifampisin. Setelah 3-
7 hari, isoniazid dapat ditambahkan. Pada pasien yang pernah mengalami
ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H dan R,
sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan pirazinamid.
7. Panduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan
fungsi hati. Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian 2
HES/10HE. Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan 6-9 RZE.
Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tahap
awal, total lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9
bulan. Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, panduan pengobatan
OAT non hepatotoksik terdiri dari S, E dan salah satu dari golongan
kuinolon harus dilanjutkan sampai 18-24 bulan
8. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi saat pengobatan tahap
awal dengan H,R,Z,E (panduan kategori ), setelah gangguan fungsi hati
dapat diatasi, berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan
dengan S untuk menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan
pemberian H dan R selama 6 bulan tahap lanjutan
9. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan
tahap lanjutan (panduan katergori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat

39
diatasi, mulailah kembali pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap
lanjutan [ CITATION Kem14 \l 1033 ].
Satu kekhawatiran ketika mempertimbangkan efek samping adalah apakah
efek samping tersebut mencegah pasien untuk minum obat dan, karenanya,
memengaruhi hasil pengobatan anti-TB. Pada kohort tahun 2002, tingkat
keberhasilan global pengobatan dengan kemoterapi anti-TB standar dengan obat
lini pertama adalah 82% dan tingkat keberhasilan WHO wilayah Eropa adalah
76%. Berdasarkan hasil dari lima proyek DOTS-plus (Estonia, Latvia, Orel,
Filipina dan Tomsk), hanya 2% dari 924 pasien yang menghentikan pengobatan,
meskipun 30% memang memerlukan penghilangan obat yang dicurigai dari
regimen karena efek samping. Lima efek yang paling umum dilaporkan termasuk:
mual / muntah (32,8%), diare (21,1%), artralgia (16,4%), pusing / vertigo (14,3%)
dan gangguan pendengaran (12,0%). Oleh karena itu, efek samping kemoterapi
anti-TB tidak terlalu berdampak buruk pada hasil [ CITATION Zal05 \l 1033 ].

40
BAB 3
KESIMPULAN
Kesimpulannya, efek samping utama obat anti-TB biasanya terjadi selama
2-3 minggu pertama pengobatan. Jika efek samping ini tidak dikenali tepat waktu
dan dikelola dengan baik, mereka dapat menyebabkan penghentian pengobatan
atau bahkan dapat mengancam nyawa. Pemantauan yang tepat harus dilakukan
selama kursus perawatan, termasuk pendidikan pasien, pemeriksaan klinis, tes
laboratorium, dll.
Efek samping dapat dikelola dalam pengobatan TB asalkan pendekatan
manajemen yang tepat diterapkan, termasuk mengubah dosis bila sesuai, obat
tambahan untuk mengobati efek samping, penghentian obat jika diperlukan,
pelatihan khusus untuk staf tentang KTD dan protokol standar untuk pendaftaran.
Pendekatan individual yang berpusat pada pasien untuk mendukung pengobatan
merupakan elemen inti dari semua upaya pengendalian TB.

41
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z. & Bahar, A., 2010. Tuberkulosis Paru. In: A. W. Sudoyo, et al. eds.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing, pp. 2230-2239.
CDC, n.d. Chapter 6 : Treatment of Tuberculosis . In: s.l.:s.n.
Kemenkes RI, 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta,
Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI, 2019. Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Rabahi, M. F. et al., 2017. Tuberculosis treatment. J Bras Pneumol, 43(5), pp.
472-486.
WHO, 2017. Guidelines for treatment of drug-susceptible tuberculosis and
patient care, Geneva: World Health Organiszation.
Zaleskis, R., 2005. The side-effects of TB therapy. Denmark, WHO .

42

Anda mungkin juga menyukai