Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi, merupakan salah satu faktor utama yang
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dikampung Waa untuk
dapat bertahan hidup. Hal ini dilihat dari pendapatan yang diperoleh
oleh masyarakat dikampung Waa, melalui proses mendulang emas dan
kemudian emas tersebut dipertukarkan melalui uang untuk menunjang
berbagai kehidupan ekonomi, seperti yang dibahasa sebelumnya. Sejak
semula masyarakat belum mengetahui, cara mendulang namun dengan
adanya aktivitas perusahaan pertambangan Freeport, kemudian
menjadi magnet penarik bagi masyarakat tiap-tiap suku yang ada di
wilayah area sekitar kontrak kerja Freeport seperti; suku Dani, Damal,
Moni, Nduga, Mee/Ekari untuk masuk menempati wilayah Timika dan
Tembagapura. Sebagian besar dari masyarakat ini berasal dari, daerah
Ilaga, Beoga, Nduga, dan Paniai. Masyarakat yang memiliki
pendidikan, dapat memperoleh pekerjaan untuk menjadi buru dan
karyawan Freeport. Namun sebagian besar masyarakat yang belum
memiliki pendidikan yang berasal dari masyarakat golongan bawah
dapat memilih untuk menjadi pendulang emas.
83
Masyarakat pendulang emas ini masuk ke wilayah Timika dan
Tembagapura semenjak adanya aktivitas penambangan PT Freeport
Indonesia, sebagian masyarakat masuk mengikuti hubungan keluarga
dan kerabat yang sudah menjadi karyawan dan buru Freeport. Setelah
masyarakat mengetahui dengan adanya emas dari sisa pengolahan
tambang yang dibuang oleh Freeport, maka masyarakat masuk
menguasai wilayah sepanjang pemukiman sungai Wanagon untuk
menjadi pendulang emas. Kondisi ekonomi pada masyarakat ini juga
dapat dipengaruhi, karena masyarakat pendulang emas sebagian besar
berasal dari golongan masyarakat kelas bawah yang belum memiliki
pendidikan. Sehingga mereka memili untuk menjadi pendulang emas,
selain itu dari hasil dulang emas tersebut memberikan keuntungan
yang besar. Jika dibandingan dengan penghasilan buruh karyawan
Freeport. Dengan demikian limbah tailings yang dibuang oleh Freeport
tersebut, dengan adanya kegiatan produksi masyarakat menjadi lahan
pekerjaan mereka.
Cara produksi emas pada masyarakat dikampung Waa dilihat
sebagai sistem ekonomi 129 yang dimiliki oleh masyarakat. Sistem
ekonomi sebagai satu sistem yang diperlukan manusia dalam usaha
memenuhi kebutuhannya melalui meteri yang diperoleh untuk
kebutuhan hidupnya. Sistem ekonomi masyarakat dikampung Waa,
dilihat dari sistem ekonomi tradisional yang terdiri dari, pola produksi,
pola distribusi, saranan produksi, proses produksi maupun konsumsi
yang dilakukannya. Menurut Koentjaraningrat, sistem ekonomi,
teknologi dan cara memproduksi yang dilakukan adalah unsur-unur
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat dalam bertahan hidup.
Faktor Sosiologi
Faktor sosiologi masyarakat dikampung Waa, dilihat dari cara
memproduksi masyarakat dari hasil ekononi yang diperolah dapat
berperan untuk menunjang kehidupan sosial bagi masyarakat. Objek
85
kampung Waa. Kehidupan masyarakat dikampung Waa dapat
menyesuikan diri sesuai dengan nilai dan norma yang dimiliki oleh
masyarakat tersebut. Hal ini biasa terlihat melalui hubungan toleransi
yang melekat kuat pada masyarakat, melalui hubungan keluarga,
kerabat, suku dan sesama masyarat dalam hal saling menolong dan
membantu yang dilakukannya. Hubungan saling membantu dan
menolong ini sudah murupakan budaya yang melekat kuat pada
masyarakat dikampung Waa, sehingga apabila keluarga, saudara atau
kerabat mereka susah maka, mereka akan saling mengharapkan
bantuan dan saling membantu. Terkait dengan hal ini, menurut
Wiliam H. Havilan mengatakan bahwa kebudayaan adalah seperangkat
peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota
masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para aggotanya, akan
melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh
semua orang.
Sedangkan yang menjadi tradisi dan adat isti adat masyarkat
dikampung Waa, yaitu biasa terlihat dalam pembayaran maskawin,
penyelesaian perang suku. Tradisi dan adat juga sudah termasuk nilai,
norma dan kebiasaan yang terdapat pada masyarakat sebagai tatanan
yang sudah terpola pada masyarakat. Tradisi dan adat isti adat pada
masyarakat di kampung Waa dalam pembayaran maskawin dan
penyelesaian perang suku, sebagai aturan yang memiliki sanksi keras
terhadap pelanggarnya, berupa penolakan atau pengadilan. Dengan
sangsi inilah kemudian menjadi hukum positif atau hukum adat pada
masyarakat dikampung Waa dalam penyelesainnya, sehingga perhatian
utama masyarakat dari pola kebersaamaan yang sudah tertanam akan
terlihat melalu kebersamaan masyarakat dalam penyelesaiaan masalah
yang dilakukan secara hukum adat. Terkait dengan hal ini menurut
Edward B.Taylor mengatakan bahwa kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat isti adat dan
kemampuan lain yang didapat oleh sebagian anggota masyarakat.
Kondisi sistem sosial budaya ini, berpengaruh terhadap
kebertahanan masyarakat dikampung Waa, karena peran sistem sosial
86
masyarakat tersebut akan berjalan dengan modal ekonomi yang
dimiliki oleh mereka. Modal ekonomi masyarakat, diperoleh dari hasil
mendulang emas yang terkandung pada limbah tailings. Lingkungan
penghidupan masyarakat dengan limbah tailings tersebut, masyarakat
dapat meresponinya sebagai keuntungan dan peluang ekonomi bagi
masyarakat, dengan keuntungan tersebut masyarakat dapat bertindak
sesuai tatacara yang sudah terpola pada masyarakat. Seperti yang
dipersepsikan oleh masyarakat dikampung Waa, bahwa dengan
mendulang emas di sungai Wanagon, masyarakat bisa melakukan apa
saja sesuai dengan tata cara sosial yang berlaku pada masyarakat, selain
mereka mememuhi kebutuhan hidup ekonominya. Dari hasil
keuntungan ekonomi ini, berpengaruh positif terhadap sistem sosial
budayaan masyarakat dikampung Waa. Dengan demikian, kondisi
sosial masyarakat dapat berpengaruh terhadap kebertahanan hidup
masyarakat.
Kondisi kebertahanan masyarakat ini juga dapat dipengaruhi
juga, dengan adanya tekanan-tekanan konflik baik perang suku dan
kelompok yang biasanya terjadi di kabupaten Mimika dan distrik
Tembagapura. Hal ini diketahui dari awal mula masyarakat kampung
Waa masuk menguasai sungai Wanagon, diikuti dengan adanya
tekanan-tekanan dari masyarakat luar yang masuk dikampung Waa
seperti suku Dani dan Damal dengan penduduk asli dari suku
Amungme. Dengan masuknya masyarakat dari luar, menyebabakan
terjadi perubahan lingkungan sungai Wanagon menjadi tempat tinggal
masyarakat luar untuk masuk mendulang emas. Dengan adanya reaksi
ketidak sukaan masyarakat dari suku Amungme, menyebabkan
terjadinya konflik dari suku Amungme dengan suku Dani. Konflik
perang suku ini juga diikuti dengan beberapa kali konflik yang sering
terjadi di kabupaten Timika. Dengan adanya konflik ini juga
mempengaruhi masyarakat untuk tetap bertahan, karena anggapan
masyarakat dengan mendulang emas mereka bisa dapat menyelesaikan
permasalahan apa saja yang dapat menghampiri mereka.
Sedangkan perang suku sudah menjadi budaya mula-mula,
perang antar suku yang sudah lama menyatu ini biasanya terlihata pada
87
Suku Dani, Suku Damal, Saku Moni, Suku Duga, dan Suku Amungme.
Semenjak berdirinya kabupaten Mimika secara administratif pada
tahun 1996 dan 2000 telah terjadi perkembangan yang besar-besar di
Mimika, perkembangan wilaya ini dipengaruhi juga dengan kehadiran
PT Freeport yang berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan wilayah yang berpengaruh terhadap
masuk suku-suku lokal sekitarnya, untuk menguasai wilayah Timika
dan Tembagapuar. Wilayah kampung Waa distrik Tembagapura dan
Timika dahulu ditempati oleh suku Amungme dan Kamoro. Dengan
adanya aktivitas perusahaan, perkembangan ini menyebabkan pola
imigrasi yang besar-besar dengan masuknya masyarakat lokal dari
wilayah sekitarnya seperti; Paniai, Nduga, Puncak, Wamena dan Intan
Jaya dan beberapa wilayah pegunungan lainnya untuk masuk
menguasai wilayah Timika dan distrik Tembagapura. Hal ini
menyebabakan dari dahulu wilayah hutan rimbah di Timika seperti
Wilayah Distrik Mimika Baru, Mimika Barat dan beberapa wilayah di
Timika, menjadi tempat tinggal suku-suku sekitarnya yang masuk dari
luar. Dengan bertemunya beragam suku-suku lokal ini kemudian
terjadi pengelompokan suku-suku yang dilakukan oleh PT Freeport
Indonesia dengan membentuk lembaga kemasyarakat yang berasal dari
setiap suku dalam pengucuran bantuan dana 1 %.
Namun pengucuran dana 1% ini menjadi penyebab pertama
kali munculnya perang antar suku, karena pembagian dana yang tidak
merata, kemudian suku-suku asli setempat menolak suku-suku lokal
sekitarnya masuk dengan adanya aktivitas pertambangan, selain itu
juga dapat disebabkan karena ada sebagain suku yang menolak dan 1 %
dan ada suku lainnya yang menerima hubah tersebut. Pengelompokan
suku ini juga diketahui, dapat terjadi fanatisme dan sentimentalisme
antar suku yang berujung pada konflik perang suku. Dengan adanya
korban dalam perang ini, kemudian korban membalasnya lagi kepada
pihak yang membunuhnya pada waktu kemudian setelah berakhir
perang. Dengan demikian perang menjadi berkembang dan
menyebabkan situasi masyarak yang dahulu sangat homogen kini
88
menjadi tercidrai berai dengan tingkat konflik yang tinggi oleh adanya
aktivitas perusahaan Freeport133.
Dengan adanya konflik ini, kemudian akan mengharapkan
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perang untuk
menyelesaikannya secara hukum adat. Penyelesaikan perang ini akan
membutuhkan biaya yang tinggi, oleh karena itu, masyarakat
pendulang emas di sungai Wanagon perpandang bahwa permasalahan
apapun yang terjadi bagi mereka tidak susah dan berani menghadapi
tantangan tersebut, karena dengan mereka mengandalkan emas mereka
biasa dapat menyelesaikan perang atau permasalan apa saja yang
mereka hadapi tersebut. Sehingga dengan adanya tekanan-tekanan
konflik ini juga dapat membuat masyarakat untuk tetap survive di
lingkungan tersebut. Hal ini digambarkan dari perfektif ekologi
manusia, melihat hubungan manusia dan lingkungan secara antologis
mengkaji konsep adaptasi dan meladaptasi ekologi untuk mengkaji
sekelompok masyarakat dalam bertahan hidup di suatau kawasan,
menjadi suatu gagasan dasar untuk menjelaskan perkembangan sistem
sosial masyarakat terhadap interaksinya dengan alam. Interaksi
tersebut berlangsung sebagai bentuk dinamika sosial-ekologis yang
berlangsung, sebagai proses kompetisi, suksesi, dan konflik atas sumber
daya alam yang menyertai menuver-manuver sekelompok orang dalam
mempertahankan proses survival disuatu kawasan (Arya Hadi
Dharmawan, 2007).
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan, memiliki hubungan timbal balik terhadap
kehidupan masyarakat di kampung Waa, dalam memanfaatkan
lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Hal ini dilihat dari
interaksi masyarakat di kampung Waa dengan lingkungan hidup
sekitarnya yang memiliki hubungan timbal balik secara positif dan
negatif bagi kelangsungan kehidupan mereka. Dampak positif, dilihat
133 . Wawancara Dengan Bapak Kepala Suku Dani dan Damal Bapak Kamaniel Waker
Anthropology. 1: 207-266.
136. Otto, S., 1983. Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan. Jakarta, Djambatan.
90
dalam suatu analisis (137Steward 1955:37). Meski demikian lingkungan
hudup tersebut belum tentu sehat, karena berada dekat dengan pabrik
pengolahan tembanga PT Freeport Indonesia. Hal dapat menyebabkan
pencemaran logam berat ke sekitar lingkugan tersebut melalui air
hujan yang menyebabkan terakumulasinnya logam berat pada
lingkungan alam yang menjadi sumber vital masyarakat dan
pencemaran sumber mata air yang dikonsumsi oleh masyarkat
sekitarnnya. Hal ini berimplikasi langsung terhadap kasus kesehatan
masyarakat di distrik Tembagapura kampung Waa dan juga dampak
secara luas untuk semua wilayah di Tembagapura dan Timika138.
Sedangkan dampak utama dari faktor lingkungan, yaitu
pembuangan limbah tailings ke sistem sungai Wanagon terhadap
kehidupan masyarakat dikampung Waa. Implikasi dari limbah tailings
ini, disisi lain menjadi sumber daya ekonomi bagi masyarakat
pendulang emas di kampung Waa. Namun limbah tersebut berdampak
langsung terhadap kehidupan fisik dan fsikis masyarakat. Hal ini
dilihat dari dampak limbah tailings tersebut selain akumulasi logam
berat beracun dalam tubuh manusia yang menyebabkan kerusakan sel
dan organ tubuh, dampak utama dari logam berat ini akan merusak sel
saraf dan merusak hati. Kerusakan fisik ini juga akan berpengaruh
terhadap perubahan perilaku dan mental manusia. Dampak ini akan
menyebabkan sifat tidak terkontrol dan tidak menimbang oleh
masyarakat untuk berfikir jernih dan perfikir panjang dari masalah
yang dihadapi dengan lingkungannya. Dengan lingkungan demikian,
membentuk sifat dan karakter masyarakat menjadi kebiasaan dan
perilaku masyarakat sendiri. Terkait dengan permasalahan ini
Koentjaraningrat (1980), membagi ilmu antropologi menjadi dua, yaitu
antropologi budaya dan antropologi fisik. Antropologi budaya lebih
memfokuskan perhatiannya pada kebudayaan manusia ataupun cara
hidupnya dalam masyarakat. Sedangkan antropologi fisik mempelajari
manusia sebagai organisme biologis yang melacak perkembangan
91
manusia menurut evolusinya 139 . Hal ini bisa dipahami karena dua-
duanya berusaha menggambarkan tentang perilaku manusia dalam
konteks sosialnya.
Faktor lingkungan yang membuat masyarakat dapat bertahan
hidup di kampung Waa, adalah dengan adanya limbah tailings. Limbah
tailings ini, karena mengandung dengan emas sebagai sumberdaya
ekonomi, maka masyarakat dapat bertahan dengan menghadapi limbah
tailings tersebut, tanpa mempertimbangkan pengaruh dari dampak
limbah terhadap kondisi kehidupan mereka. Hubungan manusia
dengan limbah tailings, dalam hal ini diketahui sebagai bukan manusia
yang mempengaruhi limbah tailings, tetapi limbah tailings yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat dikampung Waa dari dampak
positif dan negatif yang diperolehnya. Sehingga hal ini dapat diketahui
dari perilaku masyarakat dalam memanfaatkan limbah tailings tersebut
untuk dapat bertahan hidup. Terkait dengan hal ini Notoatmodjo, 1997
mengatakan, bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang
diperlukan untuk menimbulkan reaksi, melalui rangsangan yang dapat
menghasilkan perilaku tertentu (Notoatmodjo, 1997) 140 . Sedangkan
menurut Robert Kwich (1974), perilaku merupakan tindakan
organisme yang dapat diamati dan dipelajari. Perilaku manusia pada
dasarnya adalah proses interaksi individu dengan lingkungannya
sebagai manifestasi hayati (Kusmiyati & Desminiarni, 1990).
Faktor Kesehatan
Faktor kesehatan, sebagai permasalahan besar yang dihadapi
oleh masyarakat di kampung Waa dan Timika dari akibat pembuangan
limbah tailing dari PT Freeport secara langsung ke lingkungan dan
sistem sungai. Sasaran dari pembuangan limbah ini dapat mengarah
terhadap persoalan kemanusiaan yang selama ini ditutup-tutupi
permasalahan limbah tailings agar tidak dapat diketahui secara luas
2015
93
faktor, mekanisme dan proses yang memainkan peranan atau
mempengaruhi cara-cara dimana individu-individu dan kelompok
terkena oleh atau berespons terhadap sakit dan penyakit.
Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa kasus-kasus
angka kematian dan karacunan limbah tailings yang dapat ditimbulkan
oleh perusahaan ini, tidak dapat dijelaskan dan dipublikasikan terhadap
publik. Namun dari pengamatan dilapangan diketahui, bahwa terdapat
kasus-kasus yang memprihatinkan bagi kesehatan masyarakat secara
khusus di kampung Waa, resiko kesehatan ini telah disinggung
penelitian sebelumnya dari walhi 2006, bahwa terdapat ketidak pastian
yang tinggi terhadap perkiraan resiko berbahaya dari dampak limbah
tailings terhadap kehidupan masyarakat yang mendulang disepanjang
sungai Wanagon. Ketidak pastian resiko ini telah didukung dengan
fakta penemuan lapangan, bahwa terdapat resiko yang membahayakan
dan mematikan bagi kehidupan masyarakat yang bertahan mendulang
di sungai Wanagon. Namun dari hasil kajian di lapangan diketahui
bahwa masyarakat tidak mau menghindar dari dampak limbah tailings
tersebut, karena adanya faktor ekonomi dan sosial yang mendukung
kehidupan masyarakat. Terkait dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan, menurut Notoatmodjo, S 2003, menjelaskan
beberapa faktor yang mempengaruhi kesehatan, yaitu; lingkungan
fisik, sosial budaya, perilaku, populasi penduduk, ekonomi, faktor
genetika, pengetahuan dan sebagainya.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa faktor kebertahanan
masyarakat dikampung Waa yang beresiko berbahaya dari limbah
tailing, dapat dipengaruhi dengan adanya faktor ekonomi dan sosial
yang melekat kuat pada masyarakat untuk dapat bertahan. Selain itu
persoalan kebertahanan masyarakat ini juga dilihat dari perilaku
masyarakat yang sudah terpola pada lingkungan yang sedemikian rupa.
Hal ini akan terlihat melalui kehidupan masyarakat mendulang di
sungai Wanagon yang sudah lama terbiasa dengan lingkungan tempat
mendulang, mereka akan terbiasa dalam mendulang emas walaupun
ada bau dan dampak dari limbah tersebut yang sulit terhirupkan dan
bertahan. Hal ini dilihat dari masyarakat yang baru masuk mendulang
94
atau orang yang baru pertama kali masuk di sungai Wanagon akan
terasa sulit untuk bernafat bahkan cara bernafaspun akan lebih cepat
dari bau limbah yang membahayakan tersebut144.
Terkait dengan masalah perilku ini, Menurut Maulana, (2014),
mengatakan bahwa perilaku sehat adalah segala bentuk pengalaman
dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang
menyangkut pengetahuan dan sikap terhadap kesehatan, serta tindakan
yang berhubungan dengan kesehatan. Jika tindakan tersebut dilakukan
secara berulang-ulang dengan waktu yang lama akan menghasilkan
pola hidup (way of life) kebiasaan menjadi budaya pada masyarakat.
Individu-individu dalam masyarakat memiliki kepribadian dari segala
corak kebiasaan manusia yang terhimpun dalam dirinya yang
digunakan untuk bereaksi menyesuaikan diri terhadap segala respon
yang datang dari dirinya maupun dari lingkungan, sehingga corak
kebiasaan itu merupakan suatu kesatuan fungsional yang khas untuk
manusia.