specialreport

2 nd

Data, AI & Cyber Security - 2021

Part 1 - Special Pre DataSecurAi 2021 Report:

Intelijen AS: Perkembangan
& Masa Depan Keamanan,
Pic. https://www.fcc.navy.mil/

Pertahanan & Peperangan

Siber Global

By. Dr. Rudi Rusdiah, MA bat serangan Internal Threat,

Chairman ABDI latar belakang diskusi Summit
DataSecurAi 2021.

K
e m a j u a n
Teknologi Ro-
botik, AI, Au-
tonomous Ve-
hicle, Drone
telah mengubah strategi ne-
gara dalam memperkuat per-
tahanannya yang tidak dapat
lagi bergantung pada kekuatan
asset fisik seperti tentara, alut-
sista pesawat, kapal dan tank
pada perang konventional.
Perubahan Gatra atau Dimen-
si dari perang konvensional
global, yang tidak hanya ranah
Darat, Laut dan Udara, namun
juga Perang Masa Depan Cy-
berspace (Internet & Clouds)
dan Final Frontiernya Ruang
Angkasa, serta tidak menutup
kemungkinan AI atau Perang
Augmented Human Intelijen.
Bagian Pertama benchmark &
fokus bagaimana dunia intelijen
AS membangun kembali, sete-
lah sempat porak poranda aki-
US Cyber Army & NSA
Selama 15 tahun perang
konventional, kini AS harus
menghadapi Internal Threat &
War on Teror (Perang melawan
teroris), sejak sebuah pesawat
sipil Amerika Flight AA 77
menghantam Pentagon, dan
beberapa pesawat juga meng-
hantam WTC di New York,
sehingga menimbulkan panic
yang luar biasa diseluruh negeri
AS, yang tidak pernah terjadi
pada sejarah demokrasi mod-
ern AS. Intelijen AS merasa
kecolongan total, tanpa dapat
memprediksi, menganalisa dan
lengah menghadapi serangan
teroris 9/11 di perimeter pusat
intelijen & keuangan AS. Lima
belas tahun kemudian, Januari
2021 AS kembali lengah dan
offguard menghadapi serbuan
teroris yang notabene adalah
masyarakat AS yang terpolar-
isasi dan menjadi radikal pen-
dukung Trump, yang berhasil
menerobos dan menduduki
Gedung Capitol Hill, tempat
pimpinan lembaga tertinggi AS,
senat dan parlemen berkumpul,
dan bersyukur semua anggota
parlemen dapat diungsikan,
sehingga korban meninggal 1
orang polisi dan 4 orang penja-
rah atau teroris. Kedua insiden
penyerangan ini adalah perang
menguasai pusat ekonomi di
New York, bahkan Pentagon
pusat Intelijen AS dan Capitol
Hill, tempat lembaga tertinggi General Paul M. Nakasone
USA Commander, U.S. Cyber
AS berkumpul. Insiden ini ada- Command, Director, National Security
lah Insider Threat (ancaman) Agency and Chief, Central Security
atau attack, yang bukan datang Service

60 komitE.id FEB - MAR 2021

dari luar negeri, namun actor &
komando nya dari dalam neg-
eri AS. Sehingga mendorong
AS agar dapat mencari sosok
pemimpin institusi intelijen sep-
erti Pentagon dan NSA, yang
memiliki kapabilitas dan dok-
trin bagaimana AS berperang
selain gatra konvensional, juga
dalam dimensi dan gatra yang
unik seperti perang siber dan
mempertahankan hegemoni
global.
Baru tahun 2016, AS me-
miliki tim komando elit dengan
julukan Cyber National Mission
Force, yang pernah melakukan
serangan siber terhadap ISIS
dan serangan Kremlin terhadap
Pemilihan Presiden AS 2016,
yang saat ini dipimpin oleh Jen-
deral bintang empat, Paul Na-
kasone, yang berkantor pusat
& memimpin sekaligus (dual
hat) di NSA (National Security
Agency) dan US Cyber Com-
mand di Fort Meade, salah satu
pusat komando surveillance
atau signal intelijen terkuat
dinegara Paman Sam. Tujuan-
nya tidak saja untuk memper-
tahankan AS terhadap cyberat-
tack, tetapi juga mengeksekusi
serangan siber terhadap negara
lawan.
Nakasone, seorang Ka-
tolik, penduduk asli Hawaii
mewarisi beberapa krisis NSA
skala global, seperti security
breach (pembobolan data) ter-
besar sepanjang sejarah oleh
Edward Snowden & Julian
Assange. Edward Snowden se-
bagai kontraktor NSA, insider
staf yang dipercaya berhasil
menyusup dan membobol ser-
ta membawa dokumen rahasia
dan strategis Intelijen AS serta
semua proses, prosedur dari
kegiatan intelijen dan signal
intelijen kepihak lawan, karena
saat ini mencari suaka di Mos-
cow. Julian Assange, Wikileak
juga mendapatkan banyak
dokumen rahasia perang Irak,
Afghanistan serta dokumen
rahasia CIA, Kementrian Luar
Negeri dan Kedutaan Besar
AS dari orang dalam, Brad-
ley Manning Analisa Intelijen
Tentara AD AS (US Army Intel-
ligence) yang bertugas di Irak.
Jenderal Bintang 4
Nakasone Offensive
Cyber Strategy
Nakasone diwarisi oleh
atasannya dengan firepower
(amunisi) untuk perang si-
ber yang luar biasa dan lebih
banyak kesempatan dan kele-
luasaan untuk melakukan misi
individu dan mentarget musuh
dibandingkan panglima militer
yang pernah ada di AS. Peru-
bahan paradigma bagaimana
AS menghadapi musuh online,
daripada hanya menunggu
diserang menjadi “Persistent
engagement”, “Defending For-
ward” dan “Hunting Forwards”
dengan menyiapkan jauh lebih
banyak, mulai dari serangan
ke ISIS, Timur Tengah hingga
serangan ke Rusia sepanjang
sejarah NSA Fort Meade.
Selama 15 tahun karir mi-
liternya pernah bertugas di
Korea dan melakukan peker-
jaan administrasi di Pentagon,
namun pada masa paska 9/11,
Nakasone mulai mengamati
kegagalan dari intelijen AS se-
lama 15 tahun belakangan dan
ingin melanjutkan kiprahnya di
dunia intelijen digital.
Ketika AS mempersiapkan
perang Irak, Nakasone mem-
impin batalyon di Fort Gordon,
Georgia pusat signal intelijen
militer AS untuk bekerja keras
membongkar sistem lama yang
dinilai sangat lambat dari milit-
er AS dalam memberi informasi
kepada tentara dilapangan, se-
hingga dapat membahayakan
mereka. Pada bulan Juli 2005,
Nakasone dikirim ke Irak un-
tuk melihat secara langsung
bagaimana informasi Intelijen
di analisa dan di filter hingga
dapat diterima oleh prajurit
dimedan tempur. Pada bulan
Juni 2007 Nakasone kembali
bertugas di Fort Meade dan
mengambil alih komando Pusat
Operasi di Fort Meade, sebuah
unit komando yang bertugas
merancang system yang dapat
bersaing dengan kemampuan
NSA untuk mendukung ten-
tara berperang dimedan tem-
pur diseluruh dunia. NSA, yang
menjadi bagian strategis dari
Kementrian Pertahanan (DoD),
namun bukan bagian dari ope-
rasi militer di medan perang,
secara teknis disebut sebagai
“combat support agency”.
Ketika Nakasone baru ber-
pangkat Kolonel, masa depan
karirnya ketika itu terlihat se-
makin sempit, karena tidak
banyak jenderal yang bertugas
di intelijen militer. Ketika Na-
kasone mulai bertugas di Fort
Meade, datang momentum
yang sangat tepat. Dimana
direktur NSA Keith Alex-
ander Jenderal AD Bintang
tiga semakin frustrasi, karena
FEB - MAR 2021 komitE.id
mengamati institusi NSA yang
semakin tidak berdaya men-
dukung para perajurit yang
bertugas dimedan perang Irak
dan Afghanistan. Alexander
kemudian mencoba merekruit
seorang pemimpin yang cocok
untuk membantu melakukan
transformasi total ditubuh NSA,
organisasi yang pernah sangat
dibanggakan selama sejarah
pemecahan kode sandi (code
breaking & code making) dan
bertugas untuk selalu menjadi
lebih baik dari musuhnya.
Sejarah dari strategi NSA
mempunyai misi untuk men-
yadap telekomunikasi dari
negara asing, mencuri dengar
(eavesdropping) pada target
yang tidak pasti untuk waktu
yang tidak terbatas. Kultur
lama dari Dinas Intelijen AS
sangat terbatas dan semakin
tidak cocok pada era dimana
pergerakan teroris yang cepat
antar negara, teknologi smart-
phone, Internet, Clouds & digi-
tal communication. Alexander
memperhatikan dukungan NSA
untuk perang di Irak, sepertinya
menuju kegagalan dalam mem-
berikan dukungan informasi in-
telijen kepada tentara di medan
perang Irak dengan mengirim
informasi yang terlalu minim
infomasi dan sangat terlambat
untuk ukuran data intelijen real
time.
61

NSA kemudian pernah
menghitung bahwa informasi
yang di kirim secara kasar han-
ya 10% dari apa yang diketahui
dan dianalisa bermanfaat serta
sangat lambat yaitu 18 jam
setelah mendapatkan fakta un-
tuk dianalisa.
Alexander adalah seorang
teknisi yang visioner dengan
gaya manajemen memberi tu-
gas yang tidak mungkin (im-
possible) dilaksanakan, sebagai
jalan untuk memaksa suatu
organisasi agar berpikir ulang
permasalahan yang ada dan
berusaha menghasilkan tero-
bosan dan cara baru. Alex men-
ceritakan para pemimpin senior
bahwa dia ingin NSA untuk mu-
lai menghasilkan 100% intelijen
yang relevan dan bermanfaat
serta data combat (perang) ke
zona perang dalam waktu 1
menit atau kurang. Suatu goal
yang tidak mungkin dicapai,
namun menyentuh keberanian
berpikir tentang bagaimana
menghubungkan garis bela-
kang (back end) pengumpulan
data intelijen dengan tentara
di garis depan medan tempur
(front line).
Salah satu solusi menem-
patkan kriptografis di garis
depan Irak untuk menerima
data intelijen terinkripsi dari
NSA HQ Fort Meade dan diter-
uskan ke pada unit tempur dig-
aris depan.
Pekerjaan untuk menen-
tukan siapa yang dikirim jatuh
62 komitE.id FEB - MAR 2021
ketangan ketika itu, kolonel
muda Nakasone, yang bertugas
sebagai petugas (assignment of-
ficer) yang berwewenang untuk
divisi intelijen Tentara AD AS
(1990). Nakasone berorientasi
pada manusianya, tidak jenius,
tapi semangat nya “Give me a
hard job & I will get to it” art-
inya pekerja keras dan selalu
mencari solusi dari pekerjaan
yang susah.
Kinerja Kolonel Nakasone
memikat Jenderal Alexander,
yang segera menempatkan Na-
kasone untuk memimpin team
khusus yang menciptakan suatu
system cyberwar yang sama
sekali baru. Setelah itu karirnya
menanjak sangat cepat diling-
kungan generasinya menjadi
Jenderal bintang empat.
Insiden Buckshot
Yankee & Malware
Rusia
Pada October 2008,
petugas NSA menemukan
keanehan, seseorang berhasil
masuk (penetrasi) network
rahasia (classified) militer AS,
yang tidak terhubung ke In-
ternet, istilahnya “Air Gap”,
termasuk jaringan kritis dan
strategis. Ketika masih miste-
rius bagaimana serangan dapat
terjadi, pejabat AS menduga
Rusia telah menyelipkan USB
Flash disk (thumb drives) yang
terinfeksi dengan virus malware
di penjualan bazar barang ele-
ktronik di luar pangkalan AS
di Afghanistan. Seseorang staf
membeli flash disk tersebut
dan diselipkan di system yang
semestinya steril dan classi-
fied. NSA segera melakukan
investigasi 24 jam selama 18
bulan untuk menstreilkan vi-
rus Rusia dari seluruh network
yang terinfeksi, dipimpin oleh
Alexander dan dikenal dengan
insiden Buckshot Yankee. Ini
merupakan titik perubahan
besar bagaimana militer meli-
hat Cyberspace tidak hanya
sebagai alat untuk pengumpu-
lan dan pembobolan data inteli-
jen, tapi sebagai theater of war
(Zona Perang). Jika Cyberspace
adalah sebuah medan perang
(battle field), AS sebaiknya
mengetahui bagaimana untuk
mengirim pasukannya untuk
bertempur.
Pada tahun 2009 Presiden
Obama & Alexander memben-
tuk “Cyber Command” den-
gan bekerja nonstop selama
beberapa bulan, dimana Kolo-
nel Nakasone & Letkol Jen
Easterly, wanita yang menjadi
perancangnya, dari tim empat
sekawan, implementation team
atau Four Horsemen cikal bakal
terbentuknya “US Cyber Com-
mand”. Masih jelas diingatan
kita semua, bagaimana BSSN
(Badan Siber & Sandi Negara)
dibentuk dengan SK Presiden RI
pada bulan Desember 2017 dan
dalam waktu kurang dari sebu-
lan BSSN sudah resmi beroper-
asi dan merupakan transforma-
si dari Lembaga Sandi Negara
(Lemsaneg), yang berkantor
di bekas kantor Lemsaneg di
Pasar Minggu. Goal dari Cyber
Command ini adalah mencipta-
kan sebuah entitas yang dapat
mempertahankan Militer Net-
work AS terhadap serangan
siber, namun juga dapat sekali
kali menjadi entitas ofensif me-
nyerang sebuah serangan siber
terhadap infrastruktur musuh.
Awal Perang Data &
Siber: Pandemi Virus
StuxNet
Akhir tahun 2000, NSA
dibawah Alexander bekerja
bersama Israel dan CIA secara
terbuka dan baru sekali ini
penulis membaca pernyataan
tertulis, Intelijen AS turut men-
ciptakan worm yang dinama-
kan Stuxnet yang seperti virus
malware computer pandemic
menyebar keseluruh dunia,
tidak saja di Timur Tengah dan
menjadi headline dunia seba-
gai awal perang modern era
Perang Siber. Stuxnet diguna-
kan semestinya hanya untuk
menonaktifkan centrifuges
nuklir Iran, namun dampaknya
menyebar keseluruh dunia.
Sebagai sebuah unit yang
beroperasi di area abu abu dan
tidak jelas antara 2 kubu kekua-
tan antara Militer yang ingin
menguasai dengan paksa Fort
Meade, namun Pentagon masih
percaya hybrid militer & swasta
agar tetap dipertahankan meski
sering menjadi sebuah operasi
militer oleh NSA untuk dapat
keluar dengan visi sebagai
mesin perang digital militer,
dimana Pemerintah AS harus
membentuk sebuah doktrin
perang baru berdimensi global
untuk mewujudkan hegemoni
global AS, lengkap dengan ter-
bentuknya sebuah organisasi
baru yang solid.
Fort Meade:
Kompleks Perang
Signal Intelijen NSA
& Cyber Command
Persis seperti BSSN yang
dari awal lahirnya juga tidak
memiliki alat (tools) atau digi-
tal infrasktruktur secara man-
diri, maka BSSN memanfaatkan
semua fasilitas dari Lemsaneg
ketika awal berdiri termasuk
berdomisili di kompleks yang
dulunya Lemsaneg. Demikian
pula dengan Siber Command
juga memanfaatkan sumber
daya semua sumber daya &
berdomisili di NSA ketika baru
berdiri. Awal lahirnya dari se-
buah storyboard untuk briefing
dengan White House Presiden
Obama, Pentagon & Capitol
Hills (DPR). Akhirnya tahun
2010 terbentuklah secara resmi
Cyber Command dengan Keith
Alexander sebagai panglima
pertamanya, segera naik pang-
kat menjadi Jenderal bintang
empat meski memimpin hanya
beberapa ratus staff tambahan.
Sayangnya, lahirnya Cyber
Command membawa ketidak
harmonisan rumah tangga Fort
Meade. NSA yang majoritas
pegawai sipil, pekerja analytics
& techiest, agak sulit jika harus
berinteraksi dengan rekannya
& pimpinannya yang berlatar
belakang militer dengan disip-
lin dan tradisi seperti upacara
bendera setiap sore jam 5:00.
Apakah ketidak harmonisan
ini memberikan dampak selan-
jutnya?
Masa Paling Gelap
Dunia Intelijen AS
& No Such Agency
(NSA)
Pada musim semi 2013,
NSA mengalami serangan
musibah besar, ketika staf Ed-
ward Snowden mendadak men-
inggalkan pekerjaannya sebagai
kontraktor NSA, terbang ke
Hongkong dan membocorkan
rahasia yang paling dalam &
masif dari institusi intelijen AS
kepada jurnalis antara lain Lau-
ra Poitras, Glenn Greenwald.
Lebih dari 1.5 juta dokumen
rahasia yang berisi tata cara
surveillance (monitor penga-
wasan) global, DragNet oleh
intelijen AS, yang menakut-
kan, melebihi imaginasi public
mengenai kemampuan dana
apa yang dilakukan intelijen AS
selama ini. Hampir setiap hari
setelah itu, Fort Meade digun-
cang oleh berita dunia tentang
pembocoran dan kontroversi
oleh Snowden, padahal selama
ini NSA selalu dibelakang layar
dunia politik, berbeda dengan
institusi intelijen FBI & CIA ser-
ta mencoba tidak terlihat oleh
public sebagai sebuah institusi
intelijen yang diplesetkan den-
gan julukan “No Such Agency”.
Insiden memalukan di
depan public akibat pembo-
coran oleh Snowden membuat
NSA gamang, tertegun dan
membuat public & dunia ber-
tanya dan berimaginasi bahwa
NSA seperti bangunan tertu-
tup penjara yang secara bebas
telah menyalah gunakan hak
asasi dan kebebasan manu-
sia apakah benar atau salah.
Tidak lagi penting, apakah staf
NSA bangga dengan ketaatan
terhadap aturan main (rule of
law) yang merahasiakan aktivi-
tasnya yang tidak jelas didepan
public. Whistleblower Snowden
menghancurkan profil public
dari NSA, namun untungnya
tidak berdampak pada reputasi
dari Cyber Command, dimana
Cyber Command dianggap
sebagai malaikat penyelamat
dan NSA sebagai institusi yang
sangat berbahaya. Fort Meade
mengalami masa yang paling
kelam dalam sejarahnya, dan
banyak terjadi kekacauan se-
cara internal, menurut Edward
Cardon yang menjadi kepala
divisi militer dari Cyber Com-
mand pada September 2013,
yang ahli melakukan Organ-
isasi Transformasi & Overhaul
(Membongkar). Setelah setahun
di Afghanistan, Nakasone kem-
bali ke Washington pada Agus-
tus 2013 menjadi deputi kepala
divisi militer dari Cyber Com-
mand. Disisi lain, Whistleblower
Snowden setiap hari konsisten
membocorkan rahasia NSA,
maka Nakasone & Cardon
bekerja sama setiap hari meng-
counter serangan disebuah
ruangan steril tanpa jendela
FEB - MAR 2021 komitE.id
US Cyber Comand, NSA - CSS
Kantor National Security Agency
(NSA) atau Badan Keamanan
Nasional Amerika di Fort Meade,
Maryland.
SCIF – (Secure Compartment-
ed Information Facility) yang
dirancang khusus menghindari
penyadapan dari manapun di
Fort Belvoir, Washington DC
untuk mencoba merekat kem-
bali tiga budaya strategis dalam
system komando menjadi satu
unit yang kuat: Teknologi Ko-
munikasi dari Personil Militer; &
Personil intelijen militer dan sipil
dari NSA; serta yang dijuluki se-
bagai “Hardcore Cyber Expert”,
terdiri dari techies & geek, yang
alergi dengan tradisi budaya &
disiplin militer. Cardon & Na-
kasone mulai kembali mem-
bangun unit yang paling dasar,
core & strategis dari Cyber
Command dengan hanya 100
staf yang memiliki keahlian &
kompetensi Cyberwarfare dari
total 2,000 staf yang ada sebe-
lumnya.
Artikel ini disadur bebas
dari Wired edisi Nov 2020 dan
berbagai kumpulan artikel riset
Komite.id & ABDI sebagai la-
tar belakang strategisnya Data
& CyberSecurity pada era Big
Data dan Pandemi Covid 19
ini yang menjadi tema DataSe-
curAi 2021 Summit tanggal 30
Maret – 1 April 2021.
Tulisan Bagian Pertama ini
dedicated untuk Acara Data-
SecurAi 2021 sebagai informasi
Pra event bagaimana berbahay-
anya serangan siber dan perang
siber yang dapat menyerang
bukan saja Nation State atau
negara, bahkan lembaga inteli-
jen yang paling canggih di dunia
seperti NSA, sekalipun. Namun
juga High Tech Global Enter-
prise seprti Google, Facebook,
Yahoo pun rentan terhadap
serangan Hacker dan semakin
masifnya penjualan data illegal
di Pasar gelap DarkWeb. Sam-
pai jumpa di edisi Post DataSe-
curAi 2021 – edisi April-Mei
2021 yang akan mengulas
Whats Next dan Apakah Badai
yang menyerang Intelijen AS
dapat berlalu? 5 (rr)
63