JURNAL
Dan
DISUSUN OLEH :
SURYA NATANIEL
C1814201097
2B
2019/2020
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Daftar pustaka
PENDAHULUAN
I. Latar belakang
Data World Health Organization (WHO) menunjukkan sebanyak 99% kematian ibu
akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara-negara berkembang. Jika
dibandingkan dengan rasio kematian ibu di sembilan negara maju dan 51 negara
persemakmuran rasio kematian ibu di negaranegara berkembang merupakan yang tertinggi
dengan 450 kematian ibu per 100 ribu kelahiran bayi hidup 1
Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat
kesehatan masyarakat. Di Indonesia Angka Kematian Ibu (AKI) tertinggi dibandingkan negara-
negara ASEAN lainnya seperti Thailand hanya 44 per 100.000 kelahiran hidup, Malaysia 39
per 100.000 kelahiran hidup, dan Singapura 6 per 100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan
Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 Angka Kematian Ibu (AKI)
masih tinggi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.
II. Tujuan
Untuk mengetahui dengan pasti seperti apa itu perdarahan post partum dan agar
mahasiswa juga mengetahui mengenai cairan emboli.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda syok pada pasien yaitu pasien tampak lemah
dan pucat, konjungtiva anemis, pernapasan meningkat, tekanan darah 90/60 mmHg, denyut nadi
122 x/menit. Pada pemeriksaan luar obstetri juga didapatkan tinggi fundus uteri 2 jari dibawah
pusat (20 cm), nyeri tekan (+). Pada pemeriksaan dalam didapatkan OUE terbuka, teraba jaringan
pada OUE, tanda lepas plasenta (-), erosi laserasi polip (-). Pemeriksaan penunjang lain yang
dilakukan adalah darah lengkap dan USG. Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan Hb: 6,4
gr/dl. Pada pemeriksaan ultrasonografi didapatkan kesan ukuran uterus lebih dari normal dan
terdapat gambaran sisa plasenta.
D. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan kasus perdarahan post partum yaitu segera
meminta pertolongan, kemudian cegah terjadinya syok hemoragik dengan mencari sumber
perdarahan dan segera lakukan tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan sumber
perdarahan tersebut.16 Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan sudah tepat. Pada
pasien ini sudah dilakukan tindakan yang tepat yaitu merujuk pasien ke RS dikarenakan keadaan
emergensi. Kemudian pasien segera dinilai perdarahannya dan segera dilakukan resusitasi cairan
pada pasien. Kemudian dilakukan observasi perdarahan, tanda-tanda vital (TTV), pemeriksaan
penunjang, diberikan infus dengan cairan Ringer Lactat (RL) 500 cc tetesan 30 x/menit, injeksi
oksitosin 2 ampul, injeksi ceftriaxone 2x1 gr, dilakukan transfusi sebanyak 5 kantong whole blood,
pemeriksaan darah lengkap dan dilanjutkan manual plasenta. Prognosis pada ibu dan janin dubia
A. Pengertian Emboli
Emboli cairan amnion merupakan sindrom dimana sejumlah besar cairan ketuban
memasuki sirkulasi darah maternal,tiba-tiba terjadi gangguan pernapasan yang akut dan
shock. 25% wanita yang menderita keadaan ini meninggal dunia dalam waktu 1 jam.
Emboli cairan amnion jarang dijumpai. Kemungkinan banyak kasus tidak
terdiagnosis,diagnosis yang dibuat adalah shock obstetric, pendarahan postpartum atau
edema pulmoner akut.
Emboli cairan amnion ditemukan oleh Meyer pada tahun 1926 dari hasil pemeriksaan
postmortem. Pada tahun 1947 diuraikan sindrom klinisnya oleh Steiner dan Lusbaugh.
Mereka memperlihatkan bahwa masuknya cairan ketuban dalam jumlah yang cukup
banyak secara mendadak ke dalam sirkulasi darah maternal akan membawa kematian
( fatal).
B. Etiologi Emboli
a. Multiparitas dan Usia lebih dari 30 tahun
Shock yang dalam yang terjadi secara tiba – tiba tanpa diduga pada wanita yang
proses persalinanya sulit atau baru saja menyelesaikan persalinan yang sulit .
Khususnya kalau wanita itu multipara berusia lanjut dengan janin yang amat besar ,
mungkin sudah meningal dengan meconium dalam cairan ketuban, harus
menimbulkan kecurigaan, pada kemungkinan ini ( emboli cairan ketuban ) .
b. Janin besar intrauteri
Menyebabkan rupture uteri saat persalinan, sehingga cairan ketubanpun dapat
masuk melalui pembuluh darah.
c. Kematian janin intrauteri
Juga akan menyebabkan perdarahan didalam, sehingga kemungkinan besar akan
ketuban pecah dan memasuki pembuluh darah ibu, dan akan menyumbat aliran
darah ibu, sehingga lama kelamaan ibu akan mengalami gangguan pernapasan
karena cairan ketuban menyumbat aliran ke paru, yang lama kelamaan akan
menyumbat aliran darah ke jantung, dengan ini bila tidak ditangani dengan segera
dapat menyebabkan iskemik bahkan kematian mendadak.
d. Menconium dalam cairan ketuban
e. Kontraksi uterus yang kuat
D. Penataaksanaan Emboli
Walaupun pada awal perjalanan klinis emboli cairan amnion terjadi hipertensi sistemik
dan pulmonal, fase ini bersifat sementara. Wanita yang dapat bertahan hidup setelah
menjakani resusitasi jantung paru seyogyanya mendapat terapi yang ditujukan untuk
oksigenasi dan membantu miokardium yang mengalami kegagalan. Tindakan yang
menunjang sirkulasi serta pemberian darah dan komponen darah sangat penting
dikerjakan. Belum ada data yang menyatakan bahwa suatu intervensi yang dapat
memperbaiki prognosis ibu pada embolicairan amnion. Wanita yang belum melahirkan dan
mengalami henti jantung harus dipertimbangkan untuk melakukan tindakan seksio caesaria
perimortem darurat sebagai upaya menyelamatkan janin. Namun, bagi ibu yang
hemodinamikanya tidak stabil, tetapi belum mengalami henti jantung, pengambilan
keputusan yang seperti itu menjadi semakin rumit.
Terapi krusnal , meliputi : resusitasi , ventilasi , bantuan sirkulasi , koreksi defek yang
khusus ( atonia uteri , defek koagulasi ).
Penggatian cairan intravena & darah diperlukan untuk mengkoreksi hipovolemia &
perdarahan .
Oksitosin yang di tambahkan ke infus intravena membantu penanganan atonia uteri.
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan post partum (PPP) dini adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi
setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal yang
terjadi setelah kala III hingga 24 jam pertama. Perdarahan lebih dari normal apabila telah
menyebabkan perubahan tanda vital ditandai dengan keluhan lemah, berkeringat dingin,
menggigil, takipneu, tekanan darah sistolik <90 mmHg, denyut nadi >100 x/menit, kadar Hb <8
g/dl. Seorang wanita 38 tahun datang dengan keluhan mengeluarkan darah setelah
melahirkan sekitar 7 jam sebelum masuk rumah sakit (RS). Pasien melahirkan di puskesmas
ditolong oleh bidan, bayi lahir spontan, menangis kuat, berat badan 4300 gr, cukup bulan,
tanpa diikuti lahirnya plasenta disertai perdarahan dari kemaluan terus-menerus. Perdarahan
terjadi sebanyak 3 kali ganti kain basah, merah segar, sudah diberikan darah sebanyak 2
kantong sejak di puskesmas dan saat menuju ke RS. Setelah tiba di RS dilakukan
pemeriksaan fisik didapatkan TD 90/60 mmHg, tampak lemah dan pucat disertai konjungtiva
anemis. Pada pemeriksaan luar didapatkan tinggi fundus uteri 2 jari dibawah pusat (20 cm),
nyeri tekan (+). Pada pemeriksaan dalam didapatkan ostium uteri eksternum terbuka, teraba
jaringan pada OUE, tanda lepas plasenta (-), erosi laserasi polip (-). Pasien didiagnosis
dengan P5A1 post partum spontan 7 jam diluar dengan PPP dini e.c retensio plasenta.
Penatalaksanaan dengan perawatan aktif berupa penatalaksanaan suportif diantaranya
pemantauan tanda-tanda vital serta resusitasi cairan disertai tindakan klinis dengan manual
SARAN
Dengan makalah ini penulis berharap, mahasiswa dapat memahami konsep teori
beserta asuhan keperawatan emboli cairan amnion, meskipun emboli cairan amnion jarang
ditemukan, namun sebagai tim medis harus tetap waspada akan terjadinya emboli cairan
amnion, sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi mortalitas ibu dan bayi, dan
mengetahui tentang masalah pendarahan PostPartum pada ibu hamil.
Daftar Pustaka
2009.
Hauth, Gilstrap, et al. Obsteri williams. Edisi ke-23. Jakarta: EGC; 2012.
Daftar Pustaka
1. Eldridge J. Obstetric anaesthesia and analgesia. Dalam Allman KG, Wilson IH (eds).
Oxford Handbooks of Anaesthesia, 3rd ed. Oxford, Oxford University Press, 2014;32: 735-
798.
2. Han CS, Paidas MJ. Thromboembolic disease complicating pregnancy. Dalam Foley MR,
Strong Jr TH, Garite TJ (eds). Obstetric Intensive Care Manual, 3rd ed. USA, McGraw- Hill
Companies, 2011; 7: 73-89
3. Sadera G, Vasudevan B. Amniotic fluid embo- lism. J Obstet Anaesth Crit Care 2015; 5: 3-8.
Abstrak
Perdarahan post partum (PPP) dini adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah
bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal yang terjadi
setelah kala III hingga 24 jam pertama. Perdarahan lebih dari normal apabila telah
menyebabkan perubahan tanda vital ditandai dengan keluhan lemah, berkeringat dingin,
menggigil, takipneu, tekanan darah sistolik <90 mmHg, denyut nadi >100 x/menit, kadar Hb <8
g/dl. Seorang wanita 38 tahun datang dengan keluhan mengeluarkan darah setelah melahirkan
sekitar 7 jam sebelum masuk rumah sakit (RS). Pasien melahirkan di puskesmas ditolong oleh
bidan, bayi lahir spontan, menangis kuat, berat badan 4300 gr, cukup bulan, tanpa diikuti
lahirnya plasenta disertai perdarahan dari kemaluan terus-menerus. Perdarahan terjadi
sebanyak 3 kali ganti kain basah, merah segar, sudah diberikan darah sebanyak 2 kantong
sejak di puskesmas dan saat menuju ke RS. Setelah tiba di RS dilakukan pemeriksaan fisik
didapatkan TD 90/60 mmHg, tampak lemah dan pucat disertai konjungtiva anemis. Pada
pemeriksaan luar didapatkan tinggi fundus uteri 2 jari dibawah pusat (20 cm), nyeri tekan (+).
Pada pemeriksaan dalam didapatkan ostium uteri eksternum terbuka, teraba jaringan pada
OUE, tanda lepas plasenta (-), erosi laserasi polip (-). Pasien didiagnosis dengan P5A1 post
partum spontan 7 jam diluar dengan PPP dini e.c retensio plasenta. Penatalaksanaan dengan
perawatan aktif berupa penatalaksanaan suportif diantaranya pemantauan tanda-tanda vital
serta resusitasi cairan disertai tindakan klinis dengan manual plasenta. Prinsipnya untuk
menghentikan sumber perdarahan yang mengarah terjadinya syok hemoragik.
Abstract
Early postpartum hemorrhage is bleeding more than 500 cc happens after the baby is born
vaginally or more than 1,000 mL
after childbirth abdominal happened after the third stage to the first 24 hours. Bleeding more
than normal when it has led to changes in vital signs marked by complaints of weakness,
sweating, chills, tachypnea, systolic blood pressure <90 mm Hg, pulse rate >100 x/min, Hb <8
g/dl. A 38 year old woman presents with bleeding after childbirth. Approximately 7 hours before
admission, the patient gave birth in health centers, attended by midwives, spontaneous, baby
boy alive, weight 4300 grams, quite a month, without being followed by the birth of the placenta,
and accompanied by bleeding from the genitals continuously for 3 times changing a damp cloth,
fresh red, and has been awarded as much as 2 bags of blood, history of fever (-), then os
referred to RS. On physical examination found BP of 90/60 mmHg, looking weak and pale with
Daftar Pustaka
2009.
Hauth, Gilstrap, et al. Obsteri williams. Edisi ke-23. Jakarta: EGC; 2012.
2012.
10. Sulistiyani CN. Hubungan antara paritas dan usia ibu dengan kejadian
perdarahan postpartum di RS Panti Wilasa “Dr. Cipto” Yakkum Cabang
Semarang. JIKK. 2010;
2:94-102.
11. Koh E, Devendra K, Tan L K. B-lynch suture for the treatment of uterine atony.
Singapore Med J. 2009; 50(7): 693-7.
; 2013.
13. Suryani. Hubungan karakteristik ibu bersalin dan antenatal care dengan
perdarahan pasca persalinan di RS Umum Dr. Prongadi tahun 2007 [tesis].
Medan: Universitas Sumatra Utara; 2008.
Ashley SR. Current diagnosis & treatment obstetrics & gynacology. Edisi ke-11. The
Mc Graw-Hill; 2013.
15. Badriyah, Sulastri, Sutio R. Pengaruh faktor resiko terhadap perdarahan ibu
postpartum di RS Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan. Jurnal
Penelitian Kesehatan Suara Forikes. 2011; II(1):32-6.
VOLUME 3 NOMOR 1,
NOVEMBER 2015
` ABSTRAK
Emboli air ketuban merupakan salah satu penyebab kematian pada ibu
hamil. Patofisiologinya belum
ABSTRACT
inhibits the DIC pathway. Generally, DIC associated with AFE rapidly
progresses and causes severe bleeding, and thus the use of heparin is in
debatable and not recommended. We present a case of perioperative
cardiac arrest in parturient undergoing an emergent caesarean section.
Just after delivery the placenta, patient became loss of consciousness,
cardiovascular collapse, and cardiac arrest. The cardiopulmonary
resuscitation and heparin provided, develops massive haemorrage.
Immediate and aggressive intervention is essential if amniotic fluid
embolism diagnosed for positive outcome.
- abrupsio
Tabel 1. Diagnosa Banding Emboli Air plasenta
Ketuban.3 - ruptur
uteri
Sebab - PPCM
Sebab
Nonobstetrik
Anestetik
- emboli paru sebab lain (udara, - total
lemak, thrombus) spinal
- edema - toksisitas
pulmonum anestetika lokal
- tension - salah
pneumothorax obat
- kardial: infark, gagal jantung,
aritmia, tamponade
- Kasu
anafilaksis s
Henti Jantung pada Seksio Sesarea
Perempuan, 32 tahun, G3P2 hamil dinilai dengan status fisik ASA II karena
aterm, janin presentasi bokong tunggal hipertensi dalam kehamilan (TD 142/96
hidup, makrosomia, polihidramnion, mmHg) tanpa terapi dan lekositosis.
dengan riwayat DM (-), CM, riwayat Dilakukan blok subarakhnoid di L3 – L4
operasi (-), makan terakhir jam 14 (4 jam
menggunakan jarum spinal no 27G
yang lalu), dalam persalinan. Dokter
dengan
spesialis kandungan memutuskan untuk
melakukan seksio sesarea emergensi. obat chirocaine 12,5 mg dan fentanyl
25 mcg.
Status tanda vital: tekanan darah 142/96
mmHg, nadi 97 x/menit reguler, suhu Dermatom yang dicapai setinggi T8.
Direncana postoperasi pasien kembali ke
36,8oC, pernapasan 16 x/menit reguler,
ruang rawat biasa.
dan status generalis dalam batas normal.
Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb Segera setelah pengeluaran plasenta,
12 g%, Hmt 34, AL pasien berteriak, hilang kesadaran,
bradikardi, dan terjadi desaturasi diikuti
12.400, AT 307.000, BT 1’30”, CT henti jantung dalam proses sangat cepat.
11”. Pasien Saat terjadi bradikardi diberikan sulfas
atropin 0,5 mg sebanyak 2 kali, tetapi tidak
respon dan terjadi henti jantung.
Dilakukan pijat jantung luar dan intubasi-
ventilasi serta 1 mg adrenalin sebanyak
2 siklus. Pasien kembali ke sirkulasi
spontan dalam 5 menit. Tekanan
darah stabil dengan noradrenalin dosis
titrasi. Dilakukan pemberian heparin
10.000 UI dan asam traneksamat 1 gram.
Perdarahan 300 ml, urin jernih 100 ml,
cairan masuk kristaloid 2000 ml dan koloid
500 ml. Operasi berlangsung 1 jam.
Ibu yang bertahan hidup pada larutan kristaloid (terutama isotonis) untuk
fase kedua ini akan mengalami memaksimalkan preload.12 Pada fase
perdarahan dan DIC. Temuan awal, vasodilatasi sirkulasi terjadi.
laboratorium menunjukkan anemia, Bantuan inotropik seperti dobutamin,
trombositopenia, pemanjangan dopamin, epinefrin, dan norepinefrin
prothrombine time (PT) atau activated dibutuhkan untuk memperbaiki gangguan
partial thromboplastin time (aPTT) atau kontraktilitas (agonis -adrenergik) dan
keduanya dan penurunan kadar fibrinogen. vasokontriksi sistemik (efek-adrenergik).
Beberapa kasus muncul perdarahan dan Milrinondapatdipertimbangkan sebagai
DIC tanpa didahului dengan kolaps terapi yang sesuai untuk jantung kanan
kardiovaskuler.4,5,6,8 karena sebagai inotropik merupakan
inhibitor fosfodiesterase dan mempunyai
Manajemen konvensional emboli
efek vasodilatasi pulmoner.6,12
air ketuban dapat dibagi menjadi 2 tipe,
suportif dan etiopatogenetik.10 Transfusi produk darah merupakan
Terapi suportif bergantung dari landasan terapi koagulopati. Protokol
kecurigaan awal dan bantuan transfusi darah masif harus segera
hemodinamik yang agresif.4,11 dimulai.3,9 Damage control
Oksigenasi (manajemen jalan napas), resuscitation untuk PRC, FFP, dan
bantuan sirkulasi (manajemen vaskuler, trombosit direkomendasikan dengan rasio
penggantian cairan, dan pemberian agen 1:1:1 untuk perdarahan tidak terkontrol.
antisyok/ vasopressor), dan koreksi Transfusi FFP harus
koagulopati dengan produk darah (packed
red cells, washed platelets, fresh frozen
plasma, kriopresipitat, darah lengkap),
penggunaan rekombinan faktor X, dan
manajemen perdarahan uterus, lebih
sering dengan prosedur histerektomi,
selanjutnya harus dilakukan dan
merupakan terapi andalan.4,7,10,11
Akses vena sentral sebetulnya dibutuhkan
untuk menjamin resusitasi cairan dan
produk darah bila koagulopati tidak
menghalangi intervensi ini. Kejadian
perdarahan pada kasus ini terlihat jelas di
ICU pada
demikian, DIC pada emboli air ketuban Dua ratus mililiter FFP mengandung 100
pada umumnya berkembang cepat dan unit C1INH. Secara klinis, 500-
menyebabkan perdarahan hebat,
1500 unit C1INH memulihkan kasus
sehingga penggunaan heparin menjadi
hereditary angioedema (HAE) pada pasien
kontroversial dan perlu diawasi dengan
ketat, bahkan diperdebatkan untuk tidak dengan defisiensi C1INH.7 Dengan
demikian pemberian FFP dapat
direkomendasikan.3,7 Antikoagulan lain
dihipotesakan merupakan terapi yang
yang baru (inhibitor Xa dan IIa) tidak
menjanjikan untuk emboli air ketuban.
menunjukkan manfaat,
antitrombinmahaldanrekombinanfaktorVII Transfusi trombosit harus
(rVIIa) kontroversial, sehingga dipertimbangkan saat terjadi DIC. Bila
penggunaan heparin dapat jumlah trombosit >20.000/, transfusi
dibenarkan.8,10 Dosis penggunaan trombosit tidak diperlukan segera.7
heparin biasanya
Bila terapi di atas tidak memperbaiki
10.000 UI, kecuali pada seksio sesarea keadaan, pemberian rekombinan faktor VII
5000 UI, walaupun pada beberapa laporan
dilaporkan menunjukkan efikasi.7
menunjukkan penggunaan dosis besar
Rekombinan faktor VII berikatan dengan
heparin (30.000 UI). Nilai yang
jaringan dan memulai pembekuan melalui
diharapkan adalah 2 sampai 3,5 kali nilai
jalur ekstrinsik, sehingga memunculkan
kontrol aPTT atau waktu pembekuan
kemungkinan komplikasi trombotik.
(clotting time: CT) sekitar 20 menit, dan
Meta-analisis pada 25 penelitian yang
stop heparin bila respirasi dan sirkulasi
melibatkan 3849 pasien
stabil.10 Harus waspada terhadap perdarahan
kejadian perdarahan berat postpartum.
Untuk keamanan diberikan juga fibrinogen,
trombosit, dan FFP untuk mensuplai
faktor pembekuan dan C1 esterase
inhibitor (C1INH).7,10 C1INH berfungsi
menghambat sistim komplemen dan
memodulasi sistim koagulo-fibrinolitik dan
kalikrein-kinin, sehingga dihipotesakan
bahwa C1INH merupakan kunci dalam
patofisiologi emboli air ketuban. C1INH
yang rendah menunjukkan perkembangan
kondisi patologis yang berhubungan
dengan emboli air ketuban, termasuk
atonia uteri, DIC, dan reaksi anafilaktoid.
Henti Jantung pada Seksio Sesarea
798.
Dalam Chesnut DH, Wong CA, Tsen LC, Kee WDN, BeilinY, Mhyre JM et al (eds).
Chesnut’s Obstetric Anesthesia: Principles and Practice,
39: 915-932.
9. Brennan MC, Moore LE. Pulmonary embolism and amniotic fluid embolism in pregnancy.
Obstet Gynecol Clin N Am 2013; 40: 27-35.
anticoagulants in amniotic fluid embolism (AFE): Literature review and concept of the
therapy. OJOG 2013; 3: 593-598.
12. Thongrong C, Kasemsiri P, Hofmann JP, Bergese SD, Papadimos TJ, Gracias VH
et al. Amniotic fluid embolism. Int J Crit Illn Inj Sci
2013; 3: 51-57.