Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH MATERNITAS

JURNAL

Perdarahan Post Partum Dini e.c Retensio Plasenta

Dan

Henti Jantung pada Seksio Sesarea

DISUSUN OLEH :

SURYA NATANIEL

C1814201097

2B

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

STIK STELLA MARIS MAKASSAR

2019/2020

J Medula Unila|Volume 7|Nomor 3| Juni 2017 |6


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
2. Tujuan
3. Rumusan masalah

BAB II

PEMBAHASAN

 Perdarahan Post Partum Dini e.c Retensio Plasenta


 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Perdarahan Post Partum Pada Ibu Bersalin

BAB III

PENUTUP

 Kesimpulan
 Saran
 Daftar pustaka

J Medula Unila|Volume 7|Nomor 3| Juni 2017 |7


BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar belakang
Data World Health Organization (WHO) menunjukkan sebanyak 99% kematian ibu
akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara-negara berkembang. Jika
dibandingkan dengan rasio kematian ibu di sembilan negara maju dan 51 negara
persemakmuran rasio kematian ibu di negaranegara berkembang merupakan yang tertinggi
dengan 450 kematian ibu per 100 ribu kelahiran bayi hidup 1
Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat
kesehatan masyarakat. Di Indonesia Angka Kematian Ibu (AKI) tertinggi dibandingkan negara-
negara ASEAN lainnya seperti Thailand hanya 44 per 100.000 kelahiran hidup, Malaysia 39
per 100.000 kelahiran hidup, dan Singapura 6 per 100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan
Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 Angka Kematian Ibu (AKI)
masih tinggi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.

II. Tujuan
Untuk mengetahui dengan pasti seperti apa itu perdarahan post partum dan agar
mahasiswa juga mengetahui mengenai cairan emboli.

III. Rumusan masalah


1. Definisi perdarahan post partum
2. Apa saja pemeriksaan fisik pada penderita ini
3. Apa saja penyebab retensio plasenta
4. Cara penatalaksanaan
5. Bagaimana konsep teoritis dari emboli cairan amnion?
6. Apa saja etiologi dari emboli cairan amnion?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari emboli cairan amnion?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada emboli cairan amnion?

J Medula Unila|Volume 7|Nomor 3| Juni 2017 |8


BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI PERDARAHAN POST PARTUM


Perdarahan post partum (PPP) dini adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah
bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal yang terjadi setelah
kala III hingga 24 jam pertama. Perdarahan lebih dari normal apabila telah menyebabkan
perubahan tanda vital ditandai dengan keluhan lemah, berkeringat dingin, menggigil, takipneu,
tekanan darah sistolik <90 mmHg, denyut nadi >100 x/menit, kadar Hb <8 g/dl.

B. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda syok pada pasien yaitu pasien tampak lemah
dan pucat, konjungtiva anemis, pernapasan meningkat, tekanan darah 90/60 mmHg, denyut nadi
122 x/menit. Pada pemeriksaan luar obstetri juga didapatkan tinggi fundus uteri 2 jari dibawah
pusat (20 cm), nyeri tekan (+). Pada pemeriksaan dalam didapatkan OUE terbuka, teraba jaringan
pada OUE, tanda lepas plasenta (-), erosi laserasi polip (-). Pemeriksaan penunjang lain yang
dilakukan adalah darah lengkap dan USG. Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan Hb: 6,4
gr/dl. Pada pemeriksaan ultrasonografi didapatkan kesan ukuran uterus lebih dari normal dan
terdapat gambaran sisa plasenta.

C. PENYEBAB RETENSIO PLASENTA


Berdasarkan penyebabnya retensio plasenta dapat dibagi menjadi secara fungsional dan
patologi anatomi. Secara fungsional dapat dibagi menjadi 2 yaitu disebabkan karena his yang
kurang kuat atau plasenta yang sukar terlepas dari tempatnya (insersi di sudut tuba); bentuknya
(plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil). Plasenta
yang sukar lepas karena penyebab di atas disebut plasenta adhesive. Secara patologi anatomi
dapat dibagi menjadi plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta.

D. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan kasus perdarahan post partum yaitu segera
meminta pertolongan, kemudian cegah terjadinya syok hemoragik dengan mencari sumber
perdarahan dan segera lakukan tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan sumber
perdarahan tersebut.16 Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan sudah tepat. Pada
pasien ini sudah dilakukan tindakan yang tepat yaitu merujuk pasien ke RS dikarenakan keadaan
emergensi. Kemudian pasien segera dinilai perdarahannya dan segera dilakukan resusitasi cairan
pada pasien. Kemudian dilakukan observasi perdarahan, tanda-tanda vital (TTV), pemeriksaan
penunjang, diberikan infus dengan cairan Ringer Lactat (RL) 500 cc tetesan 30 x/menit, injeksi
oksitosin 2 ampul, injeksi ceftriaxone 2x1 gr, dilakukan transfusi sebanyak 5 kantong whole blood,
pemeriksaan darah lengkap dan dilanjutkan manual plasenta. Prognosis pada ibu dan janin dubia

J Medula Unila|Volume 7|Nomor 3| Juni 2017 |9


ad bonam. Kemudian pasien dilakukan observasi secara berkala selama tiga hari dan didapatkan
pada pemeriksaan fisik tidak terdapat nyeri pada perut bawah, tekanan darah 120/70 mmHg,
pernapasan 20 x/menit, nadi 88 x/menit, konjungtiva anemis (-), nyeri tekan abdomen (-), keluar
perdarahan dari jalan lahir (-) dan didapatkan nilai Hb 10,8 g/dl. Pasien kemudian dipulangkan
setelah diberikan terapi dan diobservasi selama tiga hari dan dianjurkan untuk kontrol minggu
depan.

A. Pengertian Emboli
Emboli cairan amnion merupakan sindrom dimana sejumlah besar cairan ketuban
memasuki sirkulasi darah maternal,tiba-tiba terjadi gangguan pernapasan yang akut dan
shock. 25% wanita yang menderita keadaan ini meninggal dunia dalam waktu 1 jam.
Emboli cairan amnion jarang dijumpai. Kemungkinan banyak kasus tidak
terdiagnosis,diagnosis yang dibuat adalah shock obstetric, pendarahan postpartum atau
edema pulmoner akut.
Emboli cairan amnion ditemukan oleh Meyer pada tahun 1926 dari hasil pemeriksaan
postmortem. Pada tahun 1947 diuraikan sindrom klinisnya oleh Steiner dan Lusbaugh.
Mereka memperlihatkan bahwa masuknya cairan ketuban dalam jumlah yang cukup
banyak secara mendadak ke dalam sirkulasi darah maternal akan membawa kematian
( fatal). 

B. Etiologi Emboli
a. Multiparitas dan  Usia lebih dari 30 tahun
Shock yang dalam yang terjadi secara tiba – tiba tanpa diduga pada wanita yang
proses persalinanya sulit atau baru saja menyelesaikan persalinan yang sulit .
Khususnya kalau wanita itu multipara berusia lanjut dengan janin yang amat besar ,
mungkin sudah meningal dengan meconium dalam cairan ketuban, harus
menimbulkan kecurigaan, pada kemungkinan ini ( emboli cairan ketuban ) .
b. Janin besar intrauteri
Menyebabkan rupture uteri saat persalinan, sehingga cairan ketubanpun dapat
masuk melalui pembuluh darah.
c. Kematian janin intrauteri
Juga akan menyebabkan perdarahan didalam, sehingga kemungkinan besar akan
ketuban pecah dan memasuki pembuluh darah ibu, dan akan menyumbat aliran
darah ibu, sehingga lama kelamaan ibu akan mengalami gangguan pernapasan
karena cairan ketuban menyumbat aliran ke paru, yang lama kelamaan akan
menyumbat aliran darah ke jantung, dengan ini bila tidak ditangani dengan segera
dapat menyebabkan iskemik bahkan kematian mendadak.
d. Menconium dalam cairan ketuban
e. Kontraksi uterus yang kuat

J Medula Unila|Volume 7|Nomor 3| Juni 2017 |


Kontraksi uterus yang sangat kuat dapat memungkinkan terjadinya laserasi atau
rupture uteri, hal ini juga menggambarkan pembukaan vena, dengan pembukaan
vena, maka cairan ketuban dengan mudah masuk ke pembuluh darah ibu, yang
nantinya akan menyumbat aliran darah, yang mengakibatkan hipoksia, dispnue dan
akan terjadi gangguan pola pernapasan pada ibu.

C. Faktor Risiko Emboli

1. Meningkatnya usia ibu


2. Multiparitas (banyak anak)
3. Adanya menconeum
4. Laserasi serviks
5. Kematian janin dalam kandungan
6. Kontraksi yang terlalu kuat
7. Persalinan singkat
8. Plasenta akreta
9. Air Ketuban yang banyak
10. Robeknya rahim
11. Adanya riwayat alergi pada ibu
12. Adanya infeksi pada selaput ketuban
13. Bayi besar

D. Penataaksanaan Emboli

Walaupun pada awal perjalanan klinis emboli cairan amnion terjadi hipertensi sistemik
dan pulmonal, fase ini bersifat sementara. Wanita yang dapat bertahan hidup setelah
menjakani resusitasi jantung paru seyogyanya mendapat terapi yang ditujukan untuk
oksigenasi dan membantu miokardium yang mengalami kegagalan. Tindakan yang
menunjang sirkulasi serta pemberian darah dan komponen darah sangat penting
dikerjakan. Belum ada data yang menyatakan bahwa suatu intervensi yang dapat
memperbaiki prognosis ibu pada embolicairan amnion. Wanita yang belum melahirkan dan
mengalami henti jantung harus dipertimbangkan untuk melakukan tindakan seksio caesaria
perimortem darurat sebagai upaya menyelamatkan janin. Namun, bagi ibu yang
hemodinamikanya tidak stabil, tetapi belum mengalami henti jantung, pengambilan
keputusan yang seperti itu menjadi semakin rumit.

 Terapi krusnal , meliputi : resusitasi , ventilasi , bantuan sirkulasi , koreksi defek yang
khusus ( atonia uteri , defek koagulasi ).
 Penggatian cairan intravena & darah diperlukan untuk mengkoreksi hipovolemia &
perdarahan .
 Oksitosin yang di tambahkan ke infus intravena membantu penanganan atonia uteri.

J Medula Unila|Volume 7|Nomor 3| Juni 2017 |


 Morfin ( 10 mg ) dapat membantu mengurangi dispnea dan ancietas .
 Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskular dengan menghambat
proses perbekuan.
 Amniofilin ( 250 – 500 mg ) melalui IV mungkin berguna bila ada bronkospasme .
 Isoproternol menyebabkan vasodilatasi perifer, relaksi otot polos bronkus, dan
peningkatan frekuensi dan kekuatan jantung. Obat ini di berikan perlahan – lahan
melalui Iv untuk menyokong tekanan darah sistolik kira – kira 100 mmHg.
 Kortikosteroid secara IV mungkin bermanfaat .
 Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskuler dengan menghambat
proses pembekuan.
 Oksigen diberikan dengan tekanan untuk meningkatkan.
 Untuk memperbaiki defek koagulasi dapat digunakan plasma beku segar dan sedian
trombosit.
 Defek koagulasi  harus dikoreksi dengan menggunakan heparin / fibrinogen.
 Darah segar diberikan untuk memerangi kekurangan darah; perlu diperhatikan agar
tidak menimbulkan pembebanan berlebihan dalam sirkulasi darah.
 Digitalis berhasiat kalau terdapat kegagalan jantung.

BAB III

J Medula Unila|Volume 7|Nomor 3| Juni 2017 |


PENUTUP
Kesimpulan Emboli
Emboli cairan amnion merupakan sindrom dimana setelah sejumlah cairan
ketuban memasuki sirkulasi darah maternal, tiba-tiba terjadi gangguan pernafasan
yang akut dan shock. Cara masuknya cairan ketuban yaitu Dua tempat utama
masuknya cairan ketuban kedalam sirkulasi darah maternal adalalah vena
endocervical (yang dapat terobek sekalipun pada persalinan normal) dan daerah utero
plasenta.Ruputra uteri meningkat kemungkinan masuknya cairan ketuban. Abruption
plasenta merupakan peristiwa yang sering di jumpai, kejadian ini mendahului atau
bersamaan dengan episode emboli. Etiologinya Kematian janin intrauteri, Janin besar
intrauteri, Multiparitas dan  Usia lebih dari 30 tahun. Insidensi yang tinggi kelahiran
dengan operasi, Menconium dalam cairan ketuban, Kontraksi uterus yang kuat.
Ketika emboli cairan amnion terjadi, maka akan terjadi penyumbatan aliran
darah ibu, lama-kelamaan akan mengalami penyumbatan diparu, bila meluas akan
terjadi penyumbatan aliran darah ke jantung.Hal ini mengakibatkan terjadinya
gangguan di jantung, dan dapat menyebabkan kematian, terutama pada wanita yang
sudah tua.Perdarahan juga bisa terjadi, akibat emboli cairan amnion, sehingga pasien
akan mengalami kekurangan volume cairan akibat perdarahan, jika tidak diatasi
segera, pasien dapat mengalami syok. 

KESIMPULAN
Perdarahan post partum (PPP) dini adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi
setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal yang
terjadi setelah kala III hingga 24 jam pertama. Perdarahan lebih dari normal apabila telah
menyebabkan perubahan tanda vital ditandai dengan keluhan lemah, berkeringat dingin,
menggigil, takipneu, tekanan darah sistolik <90 mmHg, denyut nadi >100 x/menit, kadar Hb <8
g/dl. Seorang wanita 38 tahun datang dengan keluhan mengeluarkan darah setelah
melahirkan sekitar 7 jam sebelum masuk rumah sakit (RS). Pasien melahirkan di puskesmas
ditolong oleh bidan, bayi lahir spontan, menangis kuat, berat badan 4300 gr, cukup bulan,
tanpa diikuti lahirnya plasenta disertai perdarahan dari kemaluan terus-menerus. Perdarahan
terjadi sebanyak 3 kali ganti kain basah, merah segar, sudah diberikan darah sebanyak 2
kantong sejak di puskesmas dan saat menuju ke RS. Setelah tiba di RS dilakukan
pemeriksaan fisik didapatkan TD 90/60 mmHg, tampak lemah dan pucat disertai konjungtiva
anemis. Pada pemeriksaan luar didapatkan tinggi fundus uteri 2 jari dibawah pusat (20 cm),
nyeri tekan (+). Pada pemeriksaan dalam didapatkan ostium uteri eksternum terbuka, teraba
jaringan pada OUE, tanda lepas plasenta (-), erosi laserasi polip (-). Pasien didiagnosis
dengan P5A1 post partum spontan 7 jam diluar dengan PPP dini e.c retensio plasenta.
Penatalaksanaan dengan perawatan aktif berupa penatalaksanaan suportif diantaranya
pemantauan tanda-tanda vital serta resusitasi cairan disertai tindakan klinis dengan manual

J Medula Unila|Volume 7|Nomor 3| Juni 2017 |


plasenta. Prinsipnya untuk menghentikan sumber perdarahan yang mengarah terjadinya syok
hemoragik.

SARAN

Dengan makalah ini penulis berharap, mahasiswa dapat memahami konsep teori
beserta asuhan keperawatan emboli cairan amnion, meskipun emboli cairan amnion jarang
ditemukan, namun sebagai tim medis harus tetap waspada akan terjadinya emboli cairan
amnion, sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi mortalitas ibu dan bayi, dan
mengetahui tentang masalah pendarahan PostPartum pada ibu hamil.

Daftar Pustaka

1. Kementrian Kesehatan Republik. Profil kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Kementrian


Kesehatan RI; 2011.

2. Departemen Kesehatan Pusat Data dan

Informasi. Profil kesehatan Indonesia

2008. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;

2009.

3. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Jakarta: Bina pustaka; 2010.

4. Cunningham, Leveno KJ, Bloom SL, John C.

Hauth, Gilstrap, et al. Obsteri williams. Edisi ke-23. Jakarta: EGC; 2012.

5. Prawirohardjo S. Ilmu bedah kebidanan.

Jakarta: Bina pustaka; 2010.

Daftar Pustaka

1. Eldridge J. Obstetric anaesthesia and analgesia. Dalam Allman KG, Wilson IH (eds).
Oxford Handbooks of Anaesthesia, 3rd ed. Oxford, Oxford University Press, 2014;32: 735-

798.

2. Han CS, Paidas MJ. Thromboembolic disease complicating pregnancy. Dalam Foley MR,
Strong Jr TH, Garite TJ (eds). Obstetric Intensive Care Manual, 3rd ed. USA, McGraw- Hill
Companies, 2011; 7: 73-89

3. Sadera G, Vasudevan B. Amniotic fluid embo- lism. J Obstet Anaesth Crit Care 2015; 5: 3-8.

Perdarahan Post Partum Dini e.c Retensio Plasenta

J Medula Unila|Volume 7|Nomor 3| Juni 2017 |


Budiman, Diana Mayasari

Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak

Perdarahan post partum (PPP) dini adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah
bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal yang terjadi
setelah kala III hingga 24 jam pertama. Perdarahan lebih dari normal apabila telah
menyebabkan perubahan tanda vital ditandai dengan keluhan lemah, berkeringat dingin,
menggigil, takipneu, tekanan darah sistolik <90 mmHg, denyut nadi >100 x/menit, kadar Hb <8
g/dl. Seorang wanita 38 tahun datang dengan keluhan mengeluarkan darah setelah melahirkan
sekitar 7 jam sebelum masuk rumah sakit (RS). Pasien melahirkan di puskesmas ditolong oleh
bidan, bayi lahir spontan, menangis kuat, berat badan 4300 gr, cukup bulan, tanpa diikuti
lahirnya plasenta disertai perdarahan dari kemaluan terus-menerus. Perdarahan terjadi
sebanyak 3 kali ganti kain basah, merah segar, sudah diberikan darah sebanyak 2 kantong
sejak di puskesmas dan saat menuju ke RS. Setelah tiba di RS dilakukan pemeriksaan fisik
didapatkan TD 90/60 mmHg, tampak lemah dan pucat disertai konjungtiva anemis. Pada
pemeriksaan luar didapatkan tinggi fundus uteri 2 jari dibawah pusat (20 cm), nyeri tekan (+).
Pada pemeriksaan dalam didapatkan ostium uteri eksternum terbuka, teraba jaringan pada
OUE, tanda lepas plasenta (-), erosi laserasi polip (-). Pasien didiagnosis dengan P5A1 post
partum spontan 7 jam diluar dengan PPP dini e.c retensio plasenta. Penatalaksanaan dengan
perawatan aktif berupa penatalaksanaan suportif diantaranya pemantauan tanda-tanda vital
serta resusitasi cairan disertai tindakan klinis dengan manual plasenta. Prinsipnya untuk
menghentikan sumber perdarahan yang mengarah terjadinya syok hemoragik.

Kata kunci: perdarahan post partum dini, retained placenta,


syok hemoragik

Early Post Partum Haemorrhage e.c Retensio Plasenta

Abstract

Early postpartum hemorrhage is bleeding more than 500 cc happens after the baby is born
vaginally or more than 1,000 mL

after childbirth abdominal happened after the third stage to the first 24 hours. Bleeding more
than normal when it has led to changes in vital signs marked by complaints of weakness,
sweating, chills, tachypnea, systolic blood pressure <90 mm Hg, pulse rate >100 x/min, Hb <8
g/dl. A 38 year old woman presents with bleeding after childbirth. Approximately 7 hours before
admission, the patient gave birth in health centers, attended by midwives, spontaneous, baby
boy alive, weight 4300 grams, quite a month, without being followed by the birth of the placenta,
and accompanied by bleeding from the genitals continuously for 3 times changing a damp cloth,
fresh red, and has been awarded as much as 2 bags of blood, history of fever (-), then os
referred to RS. On physical examination found BP of 90/60 mmHg, looking weak and pale with

J Medula Unila|Volume 7|Nomor 3| Juni 2017 |


conjunctival pallor. On external examination obtained fundus uteri two fingers below the
umbilical (20 cm), contraction (+), tenderness (+), the lower portion livide, ostium uteri externum
open, looked cord out of ostium uteri externum, mark off the placenta (-), erosion laceration
polyps (-). Patients diagnosed with Post partum spontaneous P5A1 7 hours outside with early
HPP e.c retained placenta. Management with active care in the form of supportive
management include monitoring of vital signs and rehydration of fluid with clinical action with
manual placenta. The principle is to stop the source of bleeding that leads to shock hemorragic.

Key word: early postpartum haemorrhage, retained placenta,


syok hemorragic

Korespondensi : Budiman, S.Ked, alamat Jl. Nunyai no 03 Rajabasa, Bandar


Lampung, HP 085267463975, email salimridwanto@gmail.com

Pendahuluan Angka kematian ibu (AKI) merupakan


salah satu indikator dalam menentukan
Data World Health Organization (WHO) derajat kesehatan masyarakat. Di Indonesia
menunjukkan sebanyak 99% kematian Angka Kematian Ibu (AKI) tertinggi
ibu akibat masalah persalinan atau dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya
kelahiran terjadi di negara-negara seperti Thailand hanya 44 per 100.000
berkembang. Jika dibandingkan dengan rasio kelahiran hidup, Malaysia 39 per 100.000
kematian ibu di sembilan negara maju dan 51 kelahiran hidup, dan Singapura 6 per 100.000
negara persemakmuran rasio kematian ibu di kelahiran hidup. Berdasarkan Survey
negara- negara berkembang merupakan Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
yang tertinggi dengan 450 kematian ibu tahun 2012 Angka Kematian Ibu (AKI) masih
per 100 ribu kelahiran bayi hidup 1 tinggi sebesar 359 per 100.000 kelahiran
hidup. Target global SDG’s

J Medula Unila|Volume 7|Nomor 3| Juni 2017 |


(Sustainable Developmental Goals) adalah berupa kondisi kesehatan yang dideritanya
menurunkan angka kematian ibu sebesar misalnya Kurang Energi Kronis (KEK) 37%,
70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun anemia (Hb <11 g%) 40% dan penyakit
2030. Mengacu dari kondisi saat ini, potensi kardiovaskuler.4
untuk mencapai target SDG’s untuk
menurunkan AKI adalah off track, artinya Perdarahan bertanggung jawab atas
diperlukan kerja keras dan sungguh- 28% kematian maternal yang merupakan
sungguh untuk mencapainya.1,2 penyebab kematian maternal terbanyak. Salah
satu penyebab kematian ibu sebagian besar
Terdapat berbagai penyebab karena kasus perdarahan dalam masa
penting yang dapat mempengaruhi AKI nifas yang terjadi karena retensio
diantaranya pemberdayaan perempuan plasenta, sehingga perlu dilakukan upaya
yang tak begitu baik, latar belakang penanganan yang baik
pendidikan, sosial ekonomi keluarga,
lingkungan masyarakat dan politik,
kebijakan juga berpengaruh. Kaum lelaki
pun dituntut harus berupaya ikut aktif dalam
segala permasalahan bidang reproduksi
secara lebih bertanggung jawab.
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang
kesehatan ibu hamil menjadi faktor penentu
angka kematian, meskipun masih banyak
faktor yang harus diperhatikan untuk
menangani masalah ini. Selain masalah
medis, tingginya kematian ibu juga karena
masalah ketidaksetaraan gender, nilai
budaya, perekonomian serta rendahnya
perhatian laki-laki terhadap ibu hamil dan
melahirkan. Oleh karena itu, pandangan
yang menganggap kehamilan adalah
peristiwa alamiah perlu diubah secara
sosiokultural agar perempuan dapat
perhatian dari masyarakat. Sangat
diperlukan upaya peningkatan pelayanan
perawatan ibu baik oleh pemerintah,
swasta, maupun masyarakat terutama
suami.3,4

Penyebab kematian ibu cukup


kompleks, dapat digolongkan atas faktor-
faktor reproduksi, komplikasi obstetrik,
pelayanan kesehatan dan sosio-ekonomi.
Penyebab komplikasi obstetrik langsung
telah banyak diketahui dan dapat ditangani,
meskipun pencegahannya terbukti sulit.
Menurut Departemen Kesehatan RI,
penyebab obstetrik langsung sebesar 90%,
sebagian besar perdarahan (28%),
eklampsia (24%) dan infeksi (11%).
Penyebab tak langsung kematian ibu
dan benar yang dapat diwujudkan
dengan upaya peningkatan keterampilan
Kasu
tenaga kesehatan khususnya dalam
s
pertolongan persalinan, peningkatan
manajemen Pelayanan Emergensi Wanita, 38 tahun, baru melahirkan sejak
Dasar Obstetri Neonatus dan Pelayanan
Neonatal Emergensi Obstetri ±7 jam sebelum dirujuk ke rumah sakit,
Komprehensif, ketersediaan dan orang sakit (os) melahirkan di puskesmas,
keterjangkauan fasilitas kesehatan yang ditolong oleh bidan, bayi lahir spontan,
merupakan prioritas dalam langsung menangis kuat, berat badan 4300
pembangunan sektor kesehatan guna gr, cukup bulan, tanpa diikuti lahirnya
plasenta, dan disertai perdarahan dari jalan
pencapaian target SDG’s tersebut.5
lahir terus menerus sebanyak tiga kali ganti
Perdarahan post partum adalah kain basah, merah segar. Pasien sudah
perdarahan lebih dari 500 cc yang diberikan darah sebanyak dua kantong
terjadi setelah bayi lahir pervaginam sejak di puskesmas dan di dalam
atau lebih dari perjalanan menuju RS. Tidak ada

1.000 mL setelah persalinan


abdominal. Kondisi dalam persalinan
menyebabkan kesulitan untuk
menentukan jumlah perdarahan yang
terjadi, maka batasan jumlah
perdarahan disebutkan sebagai
perdarahan yang lebih dari normal
dimana telah menyebabkan perubahan
tanda vital, antara lain pasien
mengeluh lemah, limbung, berkeringat
dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan
darah sistolik <90 mmHg, denyut nadi

>100 x/menit, kadar Hb <8


g/Dl. 5

Retensio plasenta merupakan


salah satu penyebab resiko perdarahan
yang terjadi segera setelah terjadinya
persalinan. Dibandingkan dengan risiko-
risiko lain dari ibu bersalin, perdarahan
post partum akibat retensio plasenta
merupakan salah satu penyebab yang
dapat mengancam jiwa dimana ibu
dengan perdarahan yang hebat akan
cepat meninggal jika tidak mendapat
perawatan medis yang tepat.
Berdasarkan data kematian ibu yang
disebabkan oleh perdarahan pasca
persalinan di Indonesia adalah sebesar
43%. Menurut WHO dilaporkan bahwa
15-20% kematian ibu karena retensio
plasenta dan insidennya adalah 0,8-
1,2% untuk setiap kelahiran. 6,7
riwayat darah tinggi sebelum hamil. plasenta. Pasien ini didiagnosis perdarahan
Riwayat darah tinggi pada kehamilan post partum dini e.c retensio plasenta.
sebelumnya, riwayat pandangan mata
kabur, riwayat nyeri ulu hati, riwayat nyeri Selanjutnya penatalaksanaan pada
kepala hebat, riwayat mual dan muntah pasien ini adalah dilakukan observasi
semua disangkal oleh pasien. Pasien perdarahan, tanda-tanda vital (TTV),
mengatakan sudah memeriksa diberi infus dengan cairan Ringer Lactat
kehamilannya di bidan sebanyak empat kali (RL) 500 cc tetesan 30 x/menit, injeksi
selama kehamilan. Tidak ada riwayat oksitosin 2 ampul, injeksi ceftriaxone 2x1
diabetes melitus, riwayat asma, riwayat gr, dilakukan transfusi sebanyak 5
operasi, riwayat sakit jantung, dan tidak kantong whole blood dan dilanjutkan
merokok. Menurut bidan yang manual plasenta. Prognosisnya yaitu
mengantarkan pasien belum dilakukan dubia ad bonam.
manajemen kala III dikarenakan tali pusat
sempat putus saat melakukan
manajemen tali pusat terkendali hingga 30 Pembahasa
menit pertama walaupun sudah diberikan n
rangsangan dan oxytocin sudah yang
adekuat. Perdarahan post partum (PPP)
dini adalah perdarahan lebih dari 500 cc
Pemeriksaan fisik didapatkan pasien yang terjadi setelah bayi lahir pervaginam
tampak sakit sedang, kesadaran atau lebih
komposmentis, tekanan darah 90/60
mmHg, nadi 100 x/menit, respirasi 24
x/menit, suhu

36,4 oC, keadaan gizi lebih, tinggi badan


157

cm, berat badan 58 kg dengan IMT


22,5, edema pada tungkai (-). Pada
pemeriksaan luar didapatkan tinggi fundus
uteri 2 jari dibawah pusat (20 cm), nyeri
tekan (+). Pada pemeriksaan dalam
didapatkan ostium uteri eksternus (OUE)
terbuka, teraba jaringan pada OUE, tanda
lepas plasenta (-), erosi laserasi polip (-).
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin
didapatkan hemoglobin 6,4 gr/dl, hematokrit
19%, leukosit 28.200/ul, eritrosit

4,5 juta/ul, trombosit 268.000/mm3. SGOT


17

U/l, SGPT 12 U/l, ureum 13 mg/dl, kreatinin


0,5 mg/dl, Gula Darah Sewaktu (GDS) 98
mg/dl, MCV 77 fl, MCH 25 pg, MCHC 33
g/dl. Pada pemeriksaan ultrasonografi
didapatkan kesan ukuran uterus lebih dari
normal dan terdapat gambaran sisa
dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal pemeriksaan ultrasonografi didapatkan
yang terjadi setelah kala III hingga 24 jam kesan ukuran uterus lebih dari normal dan
pertama. Perdarahan lebih dari normal terdapat gambaran sisa plasenta.
apabila telah menyebabkan perubahan
tanda vital ditandai dengan keluhan lemah, Dari pemeriksaan di atas dapat
berkeringat dingin, menggigil, takipneu, dipastikan bahwa pasien sudah lebih dari
tekanan darah sistolik <90 mmHg, denyut 30 menit belum mengeluarkan plasenta
segera setelah persalinan dan pasien
nadi >100 x/menit, kadar Hb <8 g/dl.7,8 terlihat sangat lemas dan letih. Kondisi
dalam persalinan menyebabkan kesulitan
Berdasarkan anamnesis didapatkan
untuk menentukan jumlah perdarahan yang
pasien baru melahirkan ±7 jam sebelum
terjadi, maka batasan jumlah perdarahan
dirujuk ke RS disertai perdarahan dari
disebutkan sebagai perdarahan yang lebih
kemaluan terus menerus sebanyak 3 kali
dari normal dimana telah menyebabkan
ganti kain basah, merah segar, dan sudah
perubahan tanda vital, antara lain pasien
diberikan darah sebanyak 2 kantong,
mengeluh lemah, limbung, berkeringat
kemudian pasien dirujuk ke RS.
dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah
Pada pemeriksaan fisik didapatkan sistolik <90 mmHg, denyut nadi
tanda-tanda syok pada pasien yaitu pasien
>100 x/menit, kadar Hb <8 g/dl.
tampak lemah dan pucat, konjungtiva 11
anemis, pernapasan meningkat, tekanan
darah 90/60 mmHg, denyut nadi 122 Berdasarkan penyebabnya retensio
x/menit. Pada pemeriksaan luar obstetri plasenta dapat dibagi menjadi secara
juga didapatkan tinggi fundus uteri 2 jari fungsional dan patologi anatomi. Secara
dibawah pusat (20 cm), nyeri tekan (+). fungsional dapat dibagi menjadi 2 yaitu
Pada pemeriksaan dalam didapatkan OUE disebabkan karena his yang kurang kuat
terbuka, teraba jaringan pada OUE, tanda atau plasenta yang sukar terlepas dari
lepas plasenta (-), erosi laserasi polip (-). tempatnya (insersi di sudut tuba);
Pemeriksaan penunjang lain yang bentuknya (plasenta membranasea,
dilakukan adalah darah lengkap dan USG. plasenta anularis); dan ukurannya
Pada pemeriksaan darah lengkap (plasenta yang sangat
didapatkan Hb: 6,4 gr/dl. Pada

kemudian cegah terjadinya syok hemoragik


kecil). Plasenta yang sukar lepas dengan mencari sumber perdarahan dan
karena penyebab di atas disebut plasenta segera lakukan tindakan yang diperlukan
adhesive. Secara patologi anatomi dapat untuk menghilangkan sumber perdarahan
dibagi menjadi plasenta akreta, plasenta tersebut.16
inkreta, plasenta perkreta. Sebab-sebab
plasenta belum lahir bisa oleh karena Pada pasien ini penatalaksanaan yang
plasenta belum lepas dari dinding uterus dilakukan sudah tepat. Pada pasien ini sudah
atau plasenta sudah lepas tetapi belum dilakukan tindakan yang tepat yaitu merujuk
dilahirkan. Apabila plasenta belum lahir pasien ke RS dikarenakan keadaan
sama sekali, tidak terjadi perdarahan; jika emergensi. Kemudian pasien segera dinilai
lepas sebagian, terjadi perdarahan yang perdarahannya dan segera dilakukan
merupakan indikasi untuk resusitasi cairan pada pasien. Kemudian
dilakukan observasi perdarahan, tanda-tanda
mengeluarkannya.15,16
vital (TTV), pemeriksaan penunjang,
Prinsip penatalaksanaan pada diberikan infus dengan cairan Ringer Lactat
pasien dengan kasus perdarahan post (RL) 500 cc tetesan
partum yaitu segera meminta pertolongan,
30 x/menit, injeksi oksitosin 2 ampul,
injeksi ceftriaxone 2x1 gr, dilakukan juga telah dilakukan pengambilan
transfusi sebanyak 5 kantong whole blood, spesimen darah untuk pemeriksaan kadar
pemeriksaan darah lengkap dan Hb. Sambil melakukan resusitasi juga
dilanjutkan manual plasenta. Prognosis dilakukan upaya menentukan etiologi dan
pada ibu dan janin dubia ad bonam. penilaian kontraksi uterus (baik, fundus
uteri masih tinggi hal ini bisa disebabkan
Kemudian pasien dilakukan
karena masih adanya sisa plasenta yang
observasi secara berkala selama tiga hari
tertinggal di dalam uterus). Keempat,
dan didapatkan pada pemeriksaan fisik
massage the uterus. Pada pasien ini juga
tidak terdapat nyeri pada perut bawah,
telah dilakukan masase uterus untuk
tekanan darah 120/70 mmHg,
merangsang agar uterus berkontraksi
pernapasan 20 x/menit, nadi 88
dengan baik. Kelima, oxytocin
x/menit, konjungtiva anemis (-), nyeri
infusion/Prostaglandin. Pasien diberikan
tekan abdomen (-), keluar perdarahan dari
oksitosin 20 unit dalam 500 cc ringer
jalan lahir (-) dan didapatkan nilai Hb
lactat dan transfusi PRC 3 kolf. Keenam,
10,8 g/dl. Pasien kemudian dipulangkan
Shift to theatre. Tindakan ini tidak
setelah diberikan terapi dan diobservasi
dilakukan karena perdarahan pada pasien
selama tiga hari dan dianjurkan untuk
dapat dihentikan dengan terapi yang telah
kontrol minggu depan.
diberikan sehingga keadaan pasien
Berdasarkan teori tatalaksana yang berangsur baik. Sehingga tidak perlu
dilakukan untuk perdarahan post tindakan bedah di kamar operasi.
partum adalah ask for HELP. Segera Kemudian, tamponade or uterine packing.
memninta pertolongan, atau pasien Tidak dilakukan tamponade uterus karena
dirujuk ke rumah sakit. Kedua, Assess perdarahan dapat dihentikan. 17
and resuscitate. Penilaian derajat darah
yang keluar pada pasien ini adalah
±1000-1500 mL (15-25%). Dilakukan
Kesimpu
resusitasi cairan menggunakan ringer
lan
lactat dengan tetesan 30 tetes/menit.
Pada pasien ini Pada kasus diatas didapatkan
seorang masuk RS dan ditemukan
kondisi umum tampak lemah disertai
perdarahan pervaginam yang baru
melahirkan. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan bahwa plasenta belum keluar
sejak

7 jam yang lalu dan didapatkan Hb 6,4


gr/dl. Dalam hal ini pasien telah
didiagnosis perdarahan post partum dini
dikarenakan menurut definisinya
perdarahan post partum (PPP) dini adalah
perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi
setelah bayi lahir pervaginam atau lebih
dari 1.000 mL setelah persalinan
abdominal yang terjadi setelah kala III
hingga

24 jam pertama. Pada pasien ini


dilakukan penatalaksanaan dengan
perawatan aktif berupa
penatalaksanaan suportif berupa
pemantauan tanda tanda vital,
pemeriksaan penunjang, rehidrasi
cairan, transfusi darah disertai tindakan
klinis dengan manual plasenta.

Pasien dilakukan observasi


secara berkala selama 3 hari dan
didapatkan pada pemeriksaan fisik
tanda-tanda vital dalam keadaan
normal, tidak didapatkan perdarahan
dan didapatkan nilai Hb 10,8 g/dl.
Pasien kemudian dipulangkan setelah
diberikan terapi dan diobservasi selama
3 hari dan dianjurkan untuk kontrol
minggu depan.

Penatalaksanaan yang dilakukan


disini pada dasarnya untuk
menghentikan sumber perdarahan dan
melakukan resusitasi cairan
yang mengarah terjadinya syok hemoragik. Adapun tatalaksana pada perdarahan post
partum dapat disingkat menjadi HAEMOSTASIS (ask for HELP, Assess and resuscitate,
Establish etiology , Ensure Availability of Blood, Massage the uterus, Oxytocin infusion,
Shift to theatre, Tamponade or uterine packing, Apply compression suture, Systemic Pelvic
Devascularization, Subtotal or total abdominal hysterectomy).

Daftar Pustaka

1. Kementrian Kesehatan Republik. Profil kesehatan Indonesia 2010. Jakarta:


Kementrian Kesehatan RI; 2011.

2. Departemen Kesehatan Pusat Data dan

Informasi. Profil kesehatan Indonesia

2008. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;

2009.

3. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Jakarta: Bina pustaka; 2010.

4. Cunningham, Leveno KJ, Bloom SL, John C.

Hauth, Gilstrap, et al. Obsteri williams. Edisi ke-23. Jakarta: EGC; 2012.

5. Prawirohardjo S. Ilmu bedah kebidanan.

Jakarta: Bina pustaka; 2010.

6. B-Lynch C, Keith LB, Lalonde AB, Karoshi M, editors. A textbook of postpartum


hemorrhage. United Kingdom: Sapiens Publishing; 2006.

7. Nugroho T. Obsgyn-obstetri dan ginekologi untuk kebidanan dan


keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika;

2012.

8. Miswarti. Hubungan kejadian perdarahan postpartum dini dengan paritas di RSUD


Dr. M. Djamil Padang tahun 2005. Jurnal

Kesehatan Masyarakat. 2007; 2(1):133-5.

9. Pertiwi M. Faktor risiko maternal perdarahan postpartum di RSUD Dr.


Saiful Anwar tahun 2011 [skripsi]. Malang: Universitas Brawijaya; 2013.

10. Sulistiyani CN. Hubungan antara paritas dan usia ibu dengan kejadian
perdarahan postpartum di RS Panti Wilasa “Dr. Cipto” Yakkum Cabang
Semarang. JIKK. 2010;

2:94-102.

11. Koh E, Devendra K, Tan L K. B-lynch suture for the treatment of uterine atony.
Singapore Med J. 2009; 50(7): 693-7.

12. Moegni EM, Ocviyanti D. Buku saku

pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan. Jakarta:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

; 2013.

13. Suryani. Hubungan karakteristik ibu bersalin dan antenatal care dengan
perdarahan pasca persalinan di RS Umum Dr. Prongadi tahun 2007 [tesis].
Medan: Universitas Sumatra Utara; 2008.

14. Alan H. DeCherney, Lauren N, Neri L,

Ashley SR. Current diagnosis & treatment obstetrics & gynacology. Edisi ke-11. The
Mc Graw-Hill; 2013.

15. Badriyah, Sulastri, Sutio R. Pengaruh faktor resiko terhadap perdarahan ibu
postpartum di RS Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan. Jurnal
Penelitian Kesehatan Suara Forikes. 2011; II(1):32-6.

16. Hofmeyr GJ, Abdel-Aleem H, Abdel-Aleem

MA. Uterine massage for preventing postpartum haemorrhage. Cochrane Database


Syst Rev. 2008;(3).
JURNAL KOMPLIKASI
ANESTESI

VOLUME 3 NOMOR 1,
NOVEMBER 2015

Henti Jantung pada Seksio Sesarea

Rafidya Indah Septica, Yusmein


Uyun*

Fellow Anestesi Obstetri Anestesiologi danTerapi Intensif FK UGM –


RSUP Dr. Sardjito

Staff Fungsional Anestesiologi danTerapi Intensif RSUD


KabupatenTangerang

*Konsultan Anestesi Anestesi Obstetri Departemen Anestesiologi danTerapi


Intensif FK UGM / RSUP Dr. SardjitoYogyakarta

` ABSTRAK

Emboli air ketuban merupakan salah satu penyebab kematian pada ibu
hamil. Patofisiologinya belum

dimengerti penuh. Biasa terjadi selama masa persalinan, kelahiran, atau


postpartum. Secara karakteristik ditandai dengan trias klasik, gangguan
respirasi, kolaps kardiovaskuler mendadak, dan koagulopati. Diagnosa
emboli air ketuban adalah diagnosa klinis dengan menyingkirkan
diagnosa lain. Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus tersedia
untuk mengkonfirmasi diagnosa. Manajemen konvensional emboli air
ketuban dapat dibagi menjadi tipe suportif dan tipe etiopatogenetik. Terapi
suportif bergantung dari kecurigaan awal dan bantuan hemodinamik yang
agresif. Oksigenasi (manajemen jalan napas), bantuan sirkulasi
(manajemen vaskuler, penggantian cairan, dan pemberian agen
antisyok/vasopressor), dan koreksi koagulopati dengan produk darah,
penggunaan rekombinan faktor pembekuan, dan manajemen perdarahan
uterus, lebih sering dengan prosedur histerektomi, selanjutnya harus
dilakukan dan merupakan terapi andalan. Manajemen etiopatogenik
meliputi aksi yang beroritentasi pada inhibisi 2 rute komplikasi: jalur
disseminated intravascular coagulation (DIC) dan jalur leukotriene.
Heparin adalah antikoagulan terpilih untuk emboli air ketuban, karena
onset yang cepat, efikasi yang baik, dan yang terpenting adalah
menghambat jalur DIC. Walaupun demikian, koagulopati pada emboli air
ketuban biasanya berkembang cepat dan menyebabkan perdarahan hebat,
sehingga penggunaan heparin menjadi kontroversial bahkan diperdebatkan
untuk tidak direkomendasikan. Dilaporkan satu kasus henti jantung
perioperatif pada seksio sesarea emergensi. Setelah pengeluaran
plasenta, pasien hilang kesadaran, kolaps kardiovaskuler, dan henti
jantung. Dilakukan resusitasi jantung paru dan dilanjutkan dengan
pemberian heparin. Pasien berlanjut mengalami perdarahan hebat.
Intervensi segera dan agresif adalah penting saat diagnosa ditegakkan dan
menentukan hasil akhir yang positip.

Kata kunci: emboli air ketuban, kolaps kardiovaskuler, henti jantung,


seksio sesarea, disseminated intravascular coagulation (DIC).

ABSTRACT

Amniotic fluid embolism (AFE) is a fatal obstetric condition, characterized


by classical triad respiratory

distress, sudden cardiovascular collapse, and coagulopathy. The


pathophysiology of AFE is not completely understood. AFE most
commonly occurs during labor, delivery, or postpartum period. The
diagnosis of AFE is primarily based on clinical presentation, and is one of
exclusion. To arrive at the diagnosis, all other causes of classical triad must
be excluded. There is no specific laboratory diagnosis to confirm. The
conventional management of AFE can be divided into supportive type and
etiopathogenic type. Supportive therapy depends on the early recognition
and aggressive hemodynamic support. Adequate oxygenation (airway
management), circulation support (vascular management, use of
crystalloids and colloids to restore the blood volume, anti-
shock/vasopressor), and substitution of consumption coagulopathy with
blood products, the use of recombinant coagulation factor, and
management of uterine hemorrhage, quite frequently with hysterectomy
continue to be the mainstays of therapy. The etiopathogenic management
of AFE involves actions oriented at the inhibition of two routes of the
complication: DIC pathway and leukotriene pathway. Heparin is the drug
of choice for anticoagulant in AFE due its rapid onset of action, good
efficacy, and
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 3 Nomor 1, November Henti Jantung pada Seksio Sesarea
2015

inhibits the DIC pathway. Generally, DIC associated with AFE rapidly
progresses and causes severe bleeding, and thus the use of heparin is in
debatable and not recommended. We present a case of perioperative
cardiac arrest in parturient undergoing an emergent caesarean section.
Just after delivery the placenta, patient became loss of consciousness,
cardiovascular collapse, and cardiac arrest. The cardiopulmonary
resuscitation and heparin provided, develops massive haemorrage.
Immediate and aggressive intervention is essential if amniotic fluid
embolism diagnosed for positive outcome.

Keywords: amniotic fluid embolism, cardiovascular collapse, cardiac


arrest, caesarean section, disseminated intravascular coagulation (DIC).

Pendahulu desidua harus dihindari selama


an
kehamilan.2
Kelahiran yang singkat (termasuk
Tantangan berat hemostasis yang
seksio sesarea) merupakan salah satu
dihadapi ibu adalah kala III kelahiran.
penyebab terjadinya henti jantung pada
Setelah separasi plasenta dari dinding
kehamilan.1 Emboli paru merupakan uterus setelah kelahiran janin,
penyebab utama kematian maternal terkait hemostasis harus segera
kehamilan, terutama pada masa menerima
postpartum.2
140 remodel arteri spiralis untuk
Pada masa plasentasi awal, menghindari kemungkinan perdarahan.
sinsisiotrofoblas mempenetrasi vasa Ketika faktor-faktor lokal seperti ekspresi
uterus maternal untuk membentuk sirkulasi faktor jaringan desidual (tromboplastin)
uteroplasenter primer. Kemudian, berperan pada hemostasis perlekatan
endovaskler sitotrofoblas ekstravilus plasenta, perubahan dramatis pada
menginvasi desidua dan arteri spiralis ekspresi faktor pembekuan dan
miometrium superfisial, menyusun vasa- antipembekuan dibutuhkan untuk
vasa yang menerima banyak aliran mengatasi perubahan ini. Sebagai
darah, resistensi rendah, masuk ke tambahan, stasis vena muncul sebagai
ruang intervilus. Janin hidup akibat pengaruh mekanik vasa ekstremitas
membutuhkan proses ini tanpa adanya bawah oleh uterus gravid, dan dilatasi
perdarahan atau trombosis intervilus. vaskuler akibat estrogen. Kerusakan
Untuk memastikan hidup ibu, perdarahan endotel sering terjadi pada masa
puerperium terutama pada kelahiran
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 3 Nomor 1, November Henti Jantung pada Seksio Sesarea
2015

operasi, demikian, trias Virchow, yaitu stasis aliran


penyakithipertensi,merokok,daninfeksi.2 darah, jejas pada pembuluh darah, dan
Dengan hiperkoagulabitas terpenuhi pada masa
postpartum.

Selain trias Virchow sebagai faktor


risiko umum, ibu hamil dengan usia tua
dan induksi medik persalinan merupakan
faktor risiko khusus/ spesifik yang
konsisten.3

Emboli pulmonum yang sering terjadi


spesifik pada kehamilan adalah emboli air
ketuban. Patofisiologinya belum dimengerti
penuh. Biasa terjadi selama masa
persalinan, kelahiran, atau segera setelah
postpartum, walaupun pernah dilaporkan
terjadi 48 jam postpartum.4 Adanya
komponen air ketuban sebagai bukti
postmortem tidak mutlak sebagai
penyebab emboli air ketuban, karena pada
kasus tertentu tidak ditemukan komponen
tersebut, sehingga muncul pendapat baru
yaitu reaksi aktivasi imun dan muncul
sebagai proses anafiklatoid.2,4

Kriteria diagnosa emboli air ketuban


bervariasi di berbagai negara, sehingga
perhitungan insidensi kejadiannya tidak
pasti (positif palsu atau negatif
palsu).4,5 Pada prinsipnya trias klasik
gangguan respirasi (respiratory distress),
kolaps kardiovaskuler, dan koagulopati
mempermudah penegakan diagnosa.
Diagnosa emboli air ketuban adalah
diagnosa klinis dengan menyingkirkan
diagnosa lain.3,5 Walaupun demikian,
waktu kejadian dan tampilan klinis
diagnosa banding itu juga mirip, tetapi
hanya emboli air ketuban dan abrupsio
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 3 Nomor 1, November Henti Jantung pada Seksio Sesarea
2015

plasenta yang mempunyai onset relatif


mendadak konsumsi faktor koagulasi
(consumptive coagulopathy) setelah ibu
kolaps, tetapi tidak adanya kejadian
koagulopati tidak menyingkirkan
kemungkinan emboli air ketuban.8

Tidak ada pemeriksaan laboratorium


khusus
Henti Jantung pada Seksio Sesarea

tersedia untuk mengkonfirmasi diagnosa. - syok


Pada masa awal, adanya jaringan fetus septik
pada darah ibu yang didapat melalui
-
kateter arteri pulmonalis merupakan
aspirasi
konfirmasi, tetapi saat ini hal tersebut tidak
spesifik untuk emboli air ketuban. Diteliti - terkait anestesi: toksisitas anestetika
beberapa biomarker, tetapi kegunaannya lokal, high spinal

secara klinis masih diperdebatkan.3 - sebab lain: toksin,


Tabel 1 menunjukkan diagnosa banding hipo/hyperkalemia, metabolic
emboli air ketuban.
-
Mengenali secara dini dan segera hipotermia
serta melakukan usaha resusitasi yang Sebab
tepat, optimal, segera dan agresif akan Obstetrik
memperbesar kemungkinan hidup ibu dan
-
bayi.4
eklampsia

- abrupsio
Tabel 1. Diagnosa Banding Emboli Air plasenta

Ketuban.3 - ruptur
uteri

Diagnosa Banding Emboli - perdarahan


Air Ketuban postpartum

Sebab - PPCM
Sebab
Nonobstetrik
Anestetik
- emboli paru sebab lain (udara, - total
lemak, thrombus) spinal
- edema - toksisitas
pulmonum anestetika lokal
- tension - salah
pneumothorax obat
- kardial: infark, gagal jantung,
aritmia, tamponade

- Kasu
anafilaksis s
Henti Jantung pada Seksio Sesarea

Perempuan, 32 tahun, G3P2 hamil dinilai dengan status fisik ASA II karena
aterm, janin presentasi bokong tunggal hipertensi dalam kehamilan (TD 142/96
hidup, makrosomia, polihidramnion, mmHg) tanpa terapi dan lekositosis.
dengan riwayat DM (-), CM, riwayat Dilakukan blok subarakhnoid di L3 – L4
operasi (-), makan terakhir jam 14 (4 jam
menggunakan jarum spinal no 27G
yang lalu), dalam persalinan. Dokter
dengan
spesialis kandungan memutuskan untuk
melakukan seksio sesarea emergensi. obat chirocaine 12,5 mg dan fentanyl
25 mcg.
Status tanda vital: tekanan darah 142/96
mmHg, nadi 97 x/menit reguler, suhu Dermatom yang dicapai setinggi T8.
Direncana postoperasi pasien kembali ke
36,8oC, pernapasan 16 x/menit reguler,
ruang rawat biasa.
dan status generalis dalam batas normal.
Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb Segera setelah pengeluaran plasenta,
12 g%, Hmt 34, AL pasien berteriak, hilang kesadaran,
bradikardi, dan terjadi desaturasi diikuti
12.400, AT 307.000, BT 1’30”, CT henti jantung dalam proses sangat cepat.
11”. Pasien Saat terjadi bradikardi diberikan sulfas
atropin 0,5 mg sebanyak 2 kali, tetapi tidak
respon dan terjadi henti jantung.
Dilakukan pijat jantung luar dan intubasi-
ventilasi serta 1 mg adrenalin sebanyak
2 siklus. Pasien kembali ke sirkulasi
spontan dalam 5 menit. Tekanan
darah stabil dengan noradrenalin dosis
titrasi. Dilakukan pemberian heparin
10.000 UI dan asam traneksamat 1 gram.
Perdarahan 300 ml, urin jernih 100 ml,
cairan masuk kristaloid 2000 ml dan koloid
500 ml. Operasi berlangsung 1 jam.

Pasien ditransfer ke ICU terintubasi,


tidak sadar, tanpa usaha napas, dan
dilakukan ventilasi mekanik. Perdarahan
pervaginam setelah 1 jam di ICU sekitar
500 ml. Dilakukan pemasangan kateter
kondom ke dalam uterus. Satu jam
kemudian, tampon kondom lepas, tampak
perdarahan pervaginam aktif sekitar 1000
ml. Tampon kondom dipasang lagi.
Diputuskan tidak dilakukan operasi ulang.
Empat jam kemudian didapati tekanan
Henti Jantung pada Seksio Sesarea

darah 60/40 mmHg, nadi 114 x/ menit,


pernapasan 24 x/menit, tampak edema
pada ekstremitas bawah. Hasil
pemeriksaan penunjang menunjukkan
kadar Hb 3,7 g%, AL

21.900, AT 230.000, ureum 17, kreatinin


0,5, SGOT

76, SGPT 10, AGD: pH 7,26, PCO2


25,6, PO2 383,7

, HCO3 11,3, BE -14,1. Pasien dinilai


mengalami syok hipovolemik karena
perdarahan atau syok

kardiogenik karena emboli, asidosis


metabolik, dan anemia karena perdarahan.
Dengan demikian dilakukan terapi
transfusi PRC dengan target Hb 8 g%.
Kadar Hb setelah transfusi 5,7 g%, AL
26.300, AT 114.000, kadar elektrolit Na
142, K 5,48, Cl

107. Satu jam kemudian pasien dinilai


kembali dengan kesadaran koma, GCS
E1Vterintubasi M1. Perdarahan
pervaginam masih aktif, pupil dilatasi
Henti Jantung pada Seksio Sesarea

maksimal. Pasien bradikardi, henti dan tanda yang muncul.4,7,8,9 Kriteria


jantung, dilakukan pijat jantung luar, tidak klinis termasuk hipotensi akut, henti
respon. Pasien dinyatakan meninggal. jantung, hipoksemia akut, dan atau
koagulopati tanpa sebab atau adanya bukti
patologis keberadaan fetal squames atau

Disku rambut di paru-paru ibu.8


si
Gejala dan tanda emboli air ketuban
Henti jantung mendadak yang terjadi melibatkan banyak sistim organ. Dispnu
saat operasi tanpa penyakit penyerta akut atau agitasi mendadak dan gelisah
mempunyai beberapa kemungkinan, yaitu merupakan gejala penanda umum dan
reaksi vagal, emboli paru, dan reaksi dalam hitungan detik berlanjut henti
anafilaksis/anafilaktoid akibat obat. Pada jantung.4 Kira-kira 10-50% pasien
kasus ini, emboli paru paling mungkin dengan emboli air ketuban mengalami
terjadi, karena tanpa didahului rasa sakit kejang. Desaturasi cepat atau
atau tidak nyaman pada pasien yang biasa hilang/turunnya end tidal CO2 mendadak
menyertai reaksi vagal dan reaksi
anafilaksis pada pasien yang dalam mungkin terjadi. Pada kasus ini, tidak ada
kejang,
keadaan sadar. Sedangkan obat-obat
yang diberikan (oksitosin dan metergin) tidak ada dispnu akut, atau gelisah.
sudah pernah diberikan sebelumnya, Teriakan mendadak mungkin usaha napas
sehingga menyingkirkan kecurigaan reaksi yang berat diikuti desaturasi yang cepat
anafilaktoid. Emboli air ketuban adalah merupakan gejala dan tanda yang muncul.
salah satu jenis emboli paru yang harus End tidal CO2 tidak dapat diukur, karena
selalu dicurigai pada kasus emergensi tidak adanya alat. Tidak lama kemudian
obstetrik yang melibatkan kolaps
kardiovaskuler.4

Kasus emboli paru sebab apapun,


terutama air ketuban pada kehamilan, sulit
didiagnosa pasti. Beberapa laporan yang
dipublikasi menunjukkan kelainan
dengan spektrum manifestasi mulai
subklinis sampai fatal, membuat diagnosa
sulit dipastikan, tidak dapat diprediksi, dan
dicegah.3,4,5,6

Diagnosa emboli air ketuban ditegakkan


berdasarkan pengecualian dari simptom
Henti Jantung pada Seksio Sesarea

terjadi henti jantung (kolaps Mekanisme disfungsi miokard yang


kardiovaskuler). Dua menyebabkan hipotensi bersifat
dari3triasklasikemboliairketubansudahter multifaktor, termasuk gagal miokard akibat
penuhi pada kasus ini. Keadaan tersebut hipertensi pulmonal mendadak, efek
sesuai dengan fase awal (initial phase), langsung depresi miokard akibat mediator
yaitu hipertensi pulmoner akut yang humoral pada air ketuban, deviasi septum
menyebabkan dilatasi ventrikel kanan, intraventrikuler akibat dilatasi ventrikel
penurunan cardiac output, dan kanan, dan atau cedera iskemik miokard
ventilation/perfusion (V/Q) mismatch yang akibat hipoksemia.4
menyebabkan desaturasi oksigen.3,8,10
Bila dilakukan analisa gas darah Keadaan ini menjelaskan mengapa sulfas
arteri saat itu akan menunjukkan atropin 1 mg tidak memberi respon
memperbaiki bradikardi.
shunt yang berat.8 Pelepasan
katekolamin endogen mungkin Fase kedua dimulai ketika fungsi
menghasilkan hipertensi sistemik yang ventrikel kanan membaik, khas terjadi 15-
singkat dan uterine tachysystole 30 menit sejak kejadian awal. Pada
mendahului hipotensi atau henti jantung. masa ini, gagal jantung kiri muncul
Data elektrokardiografi (EKG) tidak akibat jejas-iskemik ventrikel kiri atau
spesifik dan bervariasi mulai gelombang karena depresi miokard dan diikuti dengan
ST dan gelombang T abnormal sampai penurunan resistensi vaskuler sistemik,
aritmia atau asistol. Gambaran radiografi indeks stroke ventrikel kiri, dan
dada menunjukkan opasitas heterogen edema pulmonum.
atau homogen bilateral difus.
Ekokardiografi menunjukkan gambaran
khas ventrikel kanan dilatasi, akinetik,
hipertensi pulmonal, dan ventrikel kiri
normokinetik dengan rongga yang hampir
hilang.6,8

Temuan klinis sebetulnya bervariasi


tergantung pada sistim organ yang
terpengaruh predominan. Ventilasi-perfusi
mismatching adalah hasil konstriksi vasa
pulmonal yang terjadi pada awal emboli
menjelaskan terjadinya hipoksia
mendadak dan gagal respirasi (henti
napas). Hipertensi pulmonal dan gagal
jantung kanan disebabkan oleh debris air
ketuban pada vasa pulmonal atau
mediator sirkulasi vasokonstriksi pulmonal.
Henti Jantung pada Seksio Sesarea

Ibu yang bertahan hidup pada larutan kristaloid (terutama isotonis) untuk
fase kedua ini akan mengalami memaksimalkan preload.12 Pada fase
perdarahan dan DIC. Temuan awal, vasodilatasi sirkulasi terjadi.
laboratorium menunjukkan anemia, Bantuan inotropik seperti dobutamin,
trombositopenia, pemanjangan dopamin, epinefrin, dan norepinefrin
prothrombine time (PT) atau activated dibutuhkan untuk memperbaiki gangguan
partial thromboplastin time (aPTT) atau kontraktilitas (agonis -adrenergik) dan
keduanya dan penurunan kadar fibrinogen. vasokontriksi sistemik (efek-adrenergik).
Beberapa kasus muncul perdarahan dan Milrinondapatdipertimbangkan sebagai
DIC tanpa didahului dengan kolaps terapi yang sesuai untuk jantung kanan
kardiovaskuler.4,5,6,8 karena sebagai inotropik merupakan
inhibitor fosfodiesterase dan mempunyai
Manajemen konvensional emboli
efek vasodilatasi pulmoner.6,12
air ketuban dapat dibagi menjadi 2 tipe,
suportif dan etiopatogenetik.10 Transfusi produk darah merupakan
Terapi suportif bergantung dari landasan terapi koagulopati. Protokol
kecurigaan awal dan bantuan transfusi darah masif harus segera
hemodinamik yang agresif.4,11 dimulai.3,9 Damage control
Oksigenasi (manajemen jalan napas), resuscitation untuk PRC, FFP, dan
bantuan sirkulasi (manajemen vaskuler, trombosit direkomendasikan dengan rasio
penggantian cairan, dan pemberian agen 1:1:1 untuk perdarahan tidak terkontrol.
antisyok/ vasopressor), dan koreksi Transfusi FFP harus
koagulopati dengan produk darah (packed
red cells, washed platelets, fresh frozen
plasma, kriopresipitat, darah lengkap),
penggunaan rekombinan faktor X, dan
manajemen perdarahan uterus, lebih
sering dengan prosedur histerektomi,
selanjutnya harus dilakukan dan
merupakan terapi andalan.4,7,10,11
Akses vena sentral sebetulnya dibutuhkan
untuk menjamin resusitasi cairan dan
produk darah bila koagulopati tidak
menghalangi intervensi ini. Kejadian
perdarahan pada kasus ini terlihat jelas di
ICU pada

1 jam pertama, sesuai dengan patofisiologi


yang telah disebut di atas. Pemberian
Henti Jantung pada Seksio Sesarea

dikerjakan dengan kecepatan awal 15 masih kontroversial. Jalan masuk


ml/kgbb. Hipofibrinogenemia berat (<1 g/L) intravaskuler faktor prokoagulan dan
yang muncul segera setelah transfusi FFP antikoagulan air ketuban akan
diterapi dengan konsentrat fibrinogen atau mengganggu keseimbangan koagulasi
kriopresipitat. Penilaian fibrinogen pada kehamilan. Obstruksi pulmoner
direkomendasikan karena berkorelasi karena DIC dan atau vasokonstriksi
dengan beratnya perdarahan; bila kadar pulmoner potensial reversibel bila terapi
fibrinogen yang diberikan segera, agresif dan
beroritentasi etiopatogenik (gambar 1).
<2 g/L kemungkinan terjadi perdarahan
Substitusi sementara fungsi paru- paru
berat.3 dan jantung adalah cara paling efektif
untuk mempertahankan hidup pasien.
Penelitian lain merekomendasikan
Obat-obat seperti heparin, steroid,
transfusi FFP dibanding PRC dengan rasio
katekolamin, dan inhibitor leukotriene
1,5.7 Kriopresipitat mengandung membutuhkan waktu untuk melakukan
fibronektin yang memfasilitasi perpindahan resolusi spontan mikrotrombi atau
debris air ketuban dari sirkulasi melalui memperpendek vasokonstriktor pulmoner,
aktivitas monosit dan makrofag.6 terutama leukotriene.10

Manajemen etiopatogenik meliputi aksi Heparin adalah antikoagulan terpilih


yang untuk emboli air ketuban, karena
beroritentasipadainhibisi2rutekomplikasi:ja onsetnya yang cepat, efikasi yang baik,
lurDIC dan jalur leukotriene, salah satu dan yang terpenting adalah
bisa predominan. Jalur DIC adalah menghambat jalur DIC.
pembentukan mikrotrombi (lebih sering) Walaupun
dan kadang-kadang trombus di arteri
pulmonalis dan trombus intrakardiak,
dan leukotriene menyebabkan
vasokontriksi pulmoner.10 Terjadinya
koagulopati mempunyai etiologi yang
bersifat multifaktorial. Walaupun banyak
kasus tanpa koagulopati, terdapat laporan
bahwa koagulopati dan perdarahan
merupakan tanda awal dan bahkan satu-
satunya tanda emboli air ketuban.9,12
Pasien dengan emboli air ketuban berat
sering muncul koagulasi abnormal dalam
beberapa jam pertama. Koagulopati
merupakan proses konsumsi faktor
koagulan atau akibat fibrinolisis masif
Henti Jantung pada Seksio Sesarea

demikian, DIC pada emboli air ketuban Dua ratus mililiter FFP mengandung 100
pada umumnya berkembang cepat dan unit C1INH. Secara klinis, 500-
menyebabkan perdarahan hebat,
1500 unit C1INH memulihkan kasus
sehingga penggunaan heparin menjadi
hereditary angioedema (HAE) pada pasien
kontroversial dan perlu diawasi dengan
ketat, bahkan diperdebatkan untuk tidak dengan defisiensi C1INH.7 Dengan
demikian pemberian FFP dapat
direkomendasikan.3,7 Antikoagulan lain
dihipotesakan merupakan terapi yang
yang baru (inhibitor Xa dan IIa) tidak
menjanjikan untuk emboli air ketuban.
menunjukkan manfaat,
antitrombinmahaldanrekombinanfaktorVII Transfusi trombosit harus
(rVIIa) kontroversial, sehingga dipertimbangkan saat terjadi DIC. Bila
penggunaan heparin dapat jumlah trombosit >20.000/, transfusi
dibenarkan.8,10 Dosis penggunaan trombosit tidak diperlukan segera.7
heparin biasanya
Bila terapi di atas tidak memperbaiki
10.000 UI, kecuali pada seksio sesarea keadaan, pemberian rekombinan faktor VII
5000 UI, walaupun pada beberapa laporan
dilaporkan menunjukkan efikasi.7
menunjukkan penggunaan dosis besar
Rekombinan faktor VII berikatan dengan
heparin (30.000 UI). Nilai yang
jaringan dan memulai pembekuan melalui
diharapkan adalah 2 sampai 3,5 kali nilai
jalur ekstrinsik, sehingga memunculkan
kontrol aPTT atau waktu pembekuan
kemungkinan komplikasi trombotik.
(clotting time: CT) sekitar 20 menit, dan
Meta-analisis pada 25 penelitian yang
stop heparin bila respirasi dan sirkulasi
melibatkan 3849 pasien
stabil.10 Harus waspada terhadap perdarahan
kejadian perdarahan berat postpartum.
Untuk keamanan diberikan juga fibrinogen,
trombosit, dan FFP untuk mensuplai
faktor pembekuan dan C1 esterase
inhibitor (C1INH).7,10 C1INH berfungsi
menghambat sistim komplemen dan
memodulasi sistim koagulo-fibrinolitik dan
kalikrein-kinin, sehingga dihipotesakan
bahwa C1INH merupakan kunci dalam
patofisiologi emboli air ketuban. C1INH
yang rendah menunjukkan perkembangan
kondisi patologis yang berhubungan
dengan emboli air ketuban, termasuk
atonia uteri, DIC, dan reaksi anafilaktoid.
Henti Jantung pada Seksio Sesarea

nonobstetrik bukan hemofilia mendapati atau memblok jalur koagulasi (DIC


peningkatan bermakna kejadian pathway), sedangkan steroid,
tromboemboli arteri pasien yang katekolamin, dan inhibitor leukotriene
mendapatkan rekombinan faktor VII.6,8 memblok jalur leukotriene.
Hemodialisa dengan plasmaferesis dan
extracorporeal membrane oxygenation
dengan intraaortic ballon counter
Pada kasus ini, pengendalian terhadap
pulsations merupakan terapi terbaru dan
kemungkinan DIC dan manajemen
dilaporkan sukses.6,13 perdarahan uterus tidak dilakukan
maksimal. Histerektomi sebagai kontrol
Ensefalopati akibat emboli air ketuban
perdarahan tidak dilakukan. Pengendalian
dipikirkan merupakan akibat sekunder
DIC dilakukan hanya dengan pemberian
dari hipoksia dan termasuk dalam
heparin yang walaupun kontroversial, pada
spektrum gejala mulai gangguan status
kasus ini dapat dibenarkan. Asam
mental sampai kejang. Kira-kira 85%
traneksamat diberikan sebagai
pasien emboli air ketuban yang hidup
antifibrinolisis.
dilaporkan mengalami defisit neurologis.

Gambar 1. Peran heparin dalam terapi


emboli air ketuban: heparin menurunkan
Henti Jantung pada Seksio Sesarea

Tidak dilakukan pemberian faktor patofisiologi dan penanganan emboli air


koagulasi lain seperti FFP dan trombosit. ketuban.
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
Pemahaman patofisiologi dan
yang mungkin diperlukan seperti rontgen
manajemen emboli air ketuban menjadi
dada, ekokardiografi, maupun
kunci keberhasilan terapi. Kasus yang
pemeriksaan laboratorium khusus
jarang tetapi membahayakan jiwa dengan
seperti faktor koagulasi dan gula darah.
tingkat kematian tinggi mungkin
Perdarahan masif, DIC, atau tekanan
merupakan faktor terbesar tidak
darah rendah yang ekstrim selama atau
dilakukannya beberapa langkah terapi
setelah persalinan dapat menimbulkan
yang seharusnya diambil.
gangguan aksis hipotalamik- pituitari,
menyebabkan keadaan pan-hipopituitari
(sindrom Sheehan).6 Hormon pituitary
meregulasi sistim endokrin, memberi Simpulan
sinyal ke kelenjar untuk menaikkan atau
menurunkan produksi hormone yang 1. Pemahaman tentang
mengontrol metabolism, fertilitas, tekanan patogenesis dan diagnosis emboli
darah, produksi air susu ibu dan proses air ketuban belum sempurna.
vital lainnya. Hormon-hormon ini termasuk Mekanisme patofisiologi
growth hormone yang mengontrol tulang yang bertanggung jawab terhadap
dan pertumbuhan jaringan dan proses gawat yang mengancam jiwa
keseimbangan jaringan otot dan masih memerlukan penjelasan.
lemak, anti-diuretic hormone yang
berfungsi mengatur keseimbangan air
dalam tubuh dengan meregulasi produksi
urin, thyroid stimulating hormone yang
menstimulasi kelenjar tiroid untuk
memproduksi hormon yang meregulasi
metabolism tubuh, adrenocorticotropic
hormone (ACTH) yang memproduksi
kortisol; kortisol berfungsi antara lain
mempengaruhi tekanan darah, fungsi
jantung, dan sistim imun. Hormon lain
yang terpengaruh berhubungan dengan
kesuburan, yaitu luteinizing hormone,
follicle-stimulating hormone, dan prolaktin.
Para dokter sudah menyerah sebelum
berperang atau justru tidak tahu
Henti Jantung pada Seksio Sesarea

2. Penegakan diagnosis klinis emboli air TJ (eds). Obstetric Intensive Care


ketuban dengan penyingkiran Manual, 3rd ed. USA, McGraw- Hill
penyebab dari trias klasik. Tidak ada Companies, 2011; 7: 73-89
tes diagnostik yang akurat.
3. Sadera G, Vasudevan B. Amniotic
3. Manajemen emboli air ketuban meliputi fluid embo- lism. J Obstet Anaesth Crit
terapi suportif dan etiopatogenik. Care 2015; 5: 3-8.
4. Terapi suportif bergantung dari 4. Dean LS, Rogers RP, Harley RA,
kecurigaan awal dan bantuan Hood DD.
hemodinamik yang agresif. Oksigenasi
(manajemen jalan napas), bantuan Case scenario: amniotic fluid
sirkulasi (manajemen vaskuler, embolism. Anesthesiology 2012; 116:
penggantian cairan, dan 186-192.
pemberian agen antisyok/
5. Hawkins JL. Anesthesia
vasopresor), dan koreksi koagulopati
consideration for complicated
dengan produk darah, penggunaan
pregnancies. Dalam Creasy RK,
rekombinan faktor pembekuan, dan
Resnik R, Greene MF, Iams JD,
manajemen perdarahan uterus.
Lockwood CJ, MooreTR (eds). Creasy
5. Manajemen etiopatogenik and Resnik’s Maternal- Fetal
meliputi aksi yang beroritentasi pada Medicine: Principles and Practice,
inhibisi 2 rute komplikasi: jalur DIC 7th ed. Philadelphia, Saunders-
dan jalur leukotriene. Obat yang Elsevier, 2014; 70:
digunakan adalah heparin, steroid,
katekolamin, dan inhibitor leukotriene. 1167-1181.e2.

6. Kissko III JM, Gaiser R.


Amniotic fluid embolism.
Anesthesiology Clin 2013; 31: 609-
Daftar Pustaka
621.
1. Eldridge J. Obstetric
anaesthesia and analgesia. Dalam
Allman KG, Wilson IH (eds). Oxford
Handbooks of Anaesthesia, 3rd ed.
Oxford, Oxford University Press,
2014;32: 735-

798.

2. Han CS, Paidas MJ. Thromboembolic


disease complicating pregnancy.
Dalam Foley MR, Strong Jr TH, Garite
Henti Jantung pada Seksio Sesarea
Henti Jantung pada Seksio Sesarea

7. Kanayama N, Tamura N. Amniotic fluid embolism: pathophysiology and


new strategies for management. J. Obstet. Gynaecol. Res 2014; 40:6: 1507-1517.

8. Toledo P, Malinow AM. Embolic disorders.

Dalam Chesnut DH, Wong CA, Tsen LC, Kee WDN, BeilinY, Mhyre JM et al (eds).
Chesnut’s Obstetric Anesthesia: Principles and Practice,

5th ed. Philadelphia, Saunders-Elsevier, 2014;

39: 915-932.

9. Brennan MC, Moore LE. Pulmonary embolism and amniotic fluid embolism in pregnancy.
Obstet Gynecol Clin N Am 2013; 40: 27-35.

10. Uszynski M, Uszynski W. Heparin and other


Henti Jantung pada Seksio Sesarea

anticoagulants in amniotic fluid embolism (AFE): Literature review and concept of the
therapy. OJOG 2013; 3: 593-598.

11. Mehta P, Devadason L, Vijayaraghavan J. A case of amniotic fluid embolism


postdelivery: catastrophe averted successfully. J South Asian Feder Obst Gynae 2014;
6(3): 199-201.

12. Thongrong C, Kasemsiri P, Hofmann JP, Bergese SD, Papadimos TJ, Gracias VH
et al. Amniotic fluid embolism. Int J Crit Illn Inj Sci

2013; 3: 51-57.

13. Kulshrestha A, Mathur M. amniotic fluid embolism: a diagnostic dilemma. Anesth


Essays Res 2011; 5: 227-230.

Anda mungkin juga menyukai