Apakah ketimpangan itu hanya diartikan sebagai ketidaksetaraan tingkat pendapatan, atau
lainnya, telah menjadi subjek dari banyak perdebatan, dan oleh karena itu bidang kajian
ketimpangan atau ketidakmerataan terus berkembang baik dari cakupannya maupun dari
metodologi dan alat ukurnya.
Analisis yang mengaitkan distribusi pendapatan dengan tahap pembangunan dirintis pada
tahun 1955 (Daoed, 1995). Menggunakan data lintas negara dan data deret waktu, ia
menemukan adanya relasi antara kesenjangan pendapatan dengan tingkat pendapatan per
kapita yang berbentuk U terbalik.
Kuznets menyimpulkan bahwa pendapatan rata-rata per kapita pada awal pembangunan masih
rendah dan tingkat kesenjangan juga rendah. Ketika pendapatan rata-rata naik, maka
kesenjangan juga meningkat. Kemudian ketika pendapatan rata-rata naik lebih tinggi, maka
kesenjangan akan turun kembali.
Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi distribusi pendapatan dalam proses transisi dari
ekonomi pedesaan menuju ekonomi perkotaan atau dari ekonomi pertanian (tradisional)
menuju ekonomi industri (modern).
Berbagai studi telah dilakukan untuk menguji hipotesa Kuznets tersebut dan beberapa
kesimpulan dapat diperoleh dari hasil kajian tersebut, yaitu; (1) sebagian besar studi
mendukung hipotesa Kuznets; (2) sebagian dari studi tersebut menunjukkan bahwa dalam
jangka panjang hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan distribusi
pendapatan hanya terbukti untuk negara maju dengan tingkat pendapatan yang tinggi; (3)
bagian kesenjangan dari kurva Kuznets (sebelah kiri) cenderung lebih tidak stabil dibanding
bagian kesenjangan yang menurun (sebelah kanan).
Beberapa studi yang dilakukan justru menolak atau tidak menemukan adanya korelasi.
Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Deininger dan Squire (1998), dan Barro (1997) tidak
menunjukkan adanya hubungan yang sistematis antara pertumbuhan pendapatan dengan
distribusinya.
Ketimpangan memang berbeda dengan kemiskinan, namun keduanya dapat saling terkait
(McKay, 2002). Ketimpangan fokus pada variasi standar hidup di antara individu dalam suatu
populasi, sedangkan kemiskinan lebih fokus pada sebagian anggota populasi, yaitu individu
yang berada di bawah garis kemiskinan.
Bila distribusi bergeser ke wilayah B, maka pendapatan kelompok kaya akan berkurang
sedangkan kelompok miskin akan memperoleh manfaatnya dengan meningkatnya pendapatan
mereka. Namun manfaat yang diterima oleh kelompok miskin masih lebih kecil dari kerugian
yang dialami oleh Kelompok kaya sehingga total pendapatan menjadi berkurang.
Bila distribusi bergeser ke wilayah C, di atas pendapatan konstan, maka ada kemungkinan
bahwa pertumbuhan akan diikuti oleh pemerataan pendapatan, karena total pendapatan
menjadi bertambah. Sedangkan bila distribusi bergeser ke wilayah D, redistribusi mengalami
pareto superior karena kedua kelompok akan mengalami peningkatan pendapatan di mana
peningkatan pendapatan kelompok miskin jauh lebih besar disbanding Peningkatan pendapatan
kelompok kaya.
Seperti dijelaskan bab sebelumnya bahwa hubungan ketimpangan, pertumbuhan ekonomi dan
kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua efek, yaitu efek pertumbuhan ekonomi dan efek
distribusi pendapatan (Kakwani, 1993; Son dan Kakwani , 2004; Bourguignon, 2004).
Dengan demikian, tingkat pendapatan rata-rata dan ketimpangan distribusi pendapatan dapat
mempengaruhi tingkat kemiskinan. Peningkatan pendapatan rata-rata dapat mengurangi
kemiskinan, sedangkan peningkatan ketidakmerataan (kesenjangan pendapatan) dapat
menambah kemiskinan. Oleh karena itu, bila kesenjangan meningkat, untuk mempertahankan
tingkat kemiskinan yang sama dengan sebelumnya, maka pendapatan rata-rata harus
ditingkatkan.
Bila distribusi pendapatan semakin merata, dengan asumsi bahwa total pendapatan tetap,
sehingga rata-ratanya juga tetap (yang berubah hanyalah distribusinya), maka kurva distribusi
akan mengerut karena perbedaan tingkat pendapatan di antara anggota populasi semakin
mengecil.
Kurva distribusi semula digambarkan oleh kurva mulus (pada Gambar 3), dengan jumlah
individu miskin sama dengan luas daerah diarsir (A+B), mengerut dan berubah menjadi kurva
yang digambarkan oleh garis putus-putus dengan jumlah individu miskin seluas daerah B.
Artinya distribusi pendapatan yang semakin merata telah mengurangi jumlah individu miskin
seluas daerah A. Dampak pergeseran distribusi terhadap tingkat kemiskinan ini disebut dengan
efek distribusi.
Konsep distribusi pendapatan secara umum dibedakan menurut tiga aliran ekonomi. Pertama,
menurut mahzab Klasik (ortodoks) yang berpegang pada konsep keseimbangan sumber daya
dan konsep pasar bebas. Perbedaan kondisi antar sektor menyebabkan terjadinya pertukaran
atau alokasi sumber daya secara efisien tanpa adanya campur tangan pemerintah hingga
mencapai kondisi pareto optimal (Susilowati, et.al, 2007).
Aliran ini percaya bahwa pemerataan pendapatan akan terjadi dengan sendirinya seiring
dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Pembangunan ekonomi dilakukan melalui
memusatan pendapatan pada masyarakat kaya. Produksi diatur secara efisien kemudian
hasilnya diredistribusikan melalui pajak dan transfer yang diyakini tidak akan mendistorsi
Kebijakan ini memberikan dampak ganda terhadap distribusi pendapatan, yaitu dampak jangka
pendek dan dampak jangka panjang. Dampak jangka pendek atau disebut juga dampak
langsung bahwa tingkat pemerataan pendapatan meningkat secara nyata. Sedangkan dampak
jangka Panjang bahwa apabila pengalihan aset dari produsen besar ke produsen kecil dikelola
dengan baik dan efisien, maka efek redistribusi tersebut akan berhasil, namun bila tidak
dikelola secara baik dan produktif, pemilik asset awal akan kehilangan asetnya sedangkan
pemilik baru tidak mendapatkan manfaat secara proporsional. Aliran ini disebut juga dengan
aliran sosialis yang memfokuskan pada pemerataan (redistribute first, then grow).
Ketiga, merupakan alternatif dari kedua aliran di atas, yang dikembangkan oleh Bank Dunia
yaitu strategi yang beraliran moderat untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan secara
bersama yang disebut juga dengan redistribusi dengan pertumbuhan (redistribution with growt)
(Chenery et al., 1974).
2. Rasio Pendapatan
Suatu cara yang paling sederhana untuk mengukur ketimpangan adalah dengan
membandingkan tingkat pendapatan antar kelompok. Misalnya distribusi pada kelompok
berpendapatan rendah dengan kelompok berpendapatan tinggi. Kelompok yang dimaksud
dapat dibagi dalam kuantil, desil, maupun persentil. Rasio perbandingan yang paling umum
digunakan adalah 20/20. Artinya 20 persen kelompok dengan pendapatan terendah
dibandingkan dengan 20 persen kelompok pendapatan tertinggi (Charles, 2011). Namun
komposisi ini bisa saja berubah sesuai dengan kebutuhan.
Bank Dunia menetapkan kriteria dalam mengukur tingkat pemerataan pendapatan. Penduduk
dikelompokkan dalam tiga lapis (strata) pendapatan, yaitu 40 persen penduduk berpendapatan
Bila kita perhatikan Tabel 1, terlihat bawah kurun waktu 1999-2013, terjadi Penurunan
penguasaan pendapatan kelompok masyarakat terendah sebanyak 4,79 persen, dan pada
kelompok masyarakat menengah sebanyak 3,68 persen.
Sebaliknya pada kelompok tertinggi terjadi kenaikan penguasaan pendapatan banyak 8,47
persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa kurun waktu tersebut jadi pergeseran distribusi
pendapatan yang mengarah pada peningkatan ketimpangan. Dengan kata lain, meskipun data
pada Tabel 1 berfluktuasi, sumbernya menunjukkan kecenderungan ketimpangan yang
meningkat.
Kelemahan dari ukuran ini bahwa perhatian hanya tertuju pada beberapa kelompok (biasanya
satu atau dua kelompok) dan tidak melihat distribusi pendapatan secara keseluruhan dari
populasi. Selain itu, cara ini tidak memberikan ukuran mutlak dari ketimpangan karena
memang tidak diukur dengan skala pengukuran mutlak (Charles, 2011), serta dapat terganggu
oleh data yang terpencil (outlier).
3. Koefisien Gini
Koefisien Gini secara luas digunakan untuk mengukur ketimpangan dan distribusi pendapatan.
Koefisien Gini, merupakan perbandingan antara garis pemerataan dengan kurva Lorenz seperti
diperlihatkan pada Gambar Kurva Lorenz memberikan gambaran yang lebih jelas dibanding
kurva lainnya. Ini disebabkan sumbu horizontal dan vertikalnya tidak menggunakan logaritma
tetapi nilai hitung biasa (arithmetic scale) sehingga tidak terjadi pengerutan, baik pada tingkat
pendapatan rendah maupun tingkat pendapatan tinggi.
Dalam kurva Lorenz, keadaan ini digambarkan sebagai garis diagonal dari kiri bawah ke kanan
atas (OQ). Ini berarti, seluruh pendapatan keluarga akan sama dengan pendapatan rata-rata.
Jika X persen jumlah individu atau keluarga menerima kurang dari X persen pendapatan, maka
kurva Lorenz akan menyimpang dari garis diagonal OQ memberat ke bawah menjadi OQ yang
cekung (concave). Semakin tidak merata distribusi pendapatan maka kurva Lorenz akan
semakin cekung (Todaro dan Smith, 2003),
Cara pertama adalah dengan mengurutkan tingkat pendapatan dari populasi yang akan diukur
dari pendapatan rendah ke pendapatan tinggi, menggunakan persamaan;
Dengan: Pi merupakan persentase kumulatif jumlah keluarga atau individu hingga kelas ke-i,
Qi merupakan persentase kumulatif jumlah keluarga pendapatan hingga kelas ke-i dan k adalah
jumlah kelas pendapatan.
Rasio konsentrasi Gini (G) mempunyai rentang nilai dari 0 dan 1, meskipun kenyataan nilainya
berkisar antara 0,2 hingga 0,3 untuk negara dengan ketimpangan rendah, dan 0,5 hingga 0,7
untuk negara dengan tingkat ketimpangan tinggi. Jika G-0, terjadi distribusi pendapatan yang
merata sempurna, sebaliknya jika G=1 terjadi ketimpangan distribusi pendapatan yang
sempurna.
Keterbatasan koefisien Gini dan kurva Lorenz bahwa kedua ukuran ini hanya menunjukkan
pemeringkatan parsial (partial ranking) dari distribusi pendapatan. Lebih jauh, Charles, (2011)
mengemukakan beberapa kelebihan dan kekurangan dari koefisien Gini seperti dijelaskan
berikut ini.
1. Koefisien Gini memenuhi empat aksioma dari pengukuran ketimpangan, yaitu prinsip
transfer Pigou-Dalton, prinsip independensi skala pendapatan, prinsip anonimity, dan
prinsip independensi populasi.
2. Koefisien Gini dapat digunakan untuk membandingkan distribusi pendapatan yang
berbeda dari berbagai kelompok populasi, baik antar negara maupun antar wilayah.
3. Koefisien Gini merupakan jenis pengukuran dalam bentuk rasio.
4. Koefisien Gini tidak rumit dan mudah untuk difahami, sehingga mudalt digunakan
untuk menggambarkan bagaimana perubahan distribusi pendapatan dalam suatu
populasi. Misalnya, diketahui indeks Gini suatu populasi adalah 0,2, berarti bahwa jika
pendapatan rata-rata masyarakat tersebut sebesar Rp 1 juta, maka harapan perbedaan
pendapatan per kapia dari populasi tersebut sebesar Rp 0,2 x Rp 1 juta = Rp 200.000
atau Rp 0,2 juta.
5. Koefisien Gini dapat digunakan untuk membandingkan kondisi antar waktu, sehingga
bermanfaat dalam mengevaluasi suatu kebijakan.
Perhitungan koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, oleh karena itu nilai koefisien Gini
dari beberapa distribusi yang berbeda dapat sama. Kurva Lorenz dapat memiliki bentuk yang
berbeda namun dengan luas yang sama, sehingga menghasilkan koefisien Gini yang sama. Hal
ini dapat mengganggu bila kita ingin menganalisis atau membandingkan struktur distribusi
pendapatan dari populasi yang berbeda.
1. Koefisien Gini merupakan estimasi distribusi pendapatan pada suatu titik (suatu saat)
dan tidak menggambarkan pendapatan seumur hidup dari seseorang atau rumahtangga.
Sedangkan, seiring dengan perubahan waktu, distribusi pendapatan juga dapat berubah.
2. Koefisien Gini juga tidak mampu menggambarkan perubahan pendapatan seumur
hidup dari seseorang atau suatu rumahtangga dan tidak mempertimbangkan faktor-
faktor penyebab seperti, distribusi usia, mobilitas, tempat tinggal, dan lainnya.
3. Koefisien Gini yang berbeda dari populasi yang berbeda, tidak dapat digabungkan dan
diartikan sebagai ketimpangan secara keseluruhan (agregat). Misalnya, koefisien Gini
dari masing-masing provinsi di Indonesia tidak dapat digabungkan menjadi koefisien
Gini nasional dan diartikan sebagai ketimpangan secara nasional.
Kemiskinan memang suatu masalah yang kompleks. Ia tidak berdiri sendiri, banyak faktor
yang mempengaruhinya dan menyebabkannya terjadi. Ada faktor internal yang disebabkan
oleh dirinya sendiri, ada juga yang datang dari luar, seperti lingkungan, pemerintahan, keadaan
perekonomian secara umum, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak, dan banyak hal
lainnya. Namun setidaknya kemiskinan muncul karena perbedaan kemampuan, perbedaan
sumberdaya, dan perbedaan kesempatan.
Kemiskinan telah memberikan dampak yang luas terhadap kehidupan, bukan hanya kehidupan
pribadi mereka yang miskin, tetapi juga bagi orang-orang yang tidak tergolong miskin.
Kemiskinan bukan hanya menjadi beban pribadi, tetapi juga menjadi beban dan tanggungjawab
masyarakat, negara, dan dunia untuk menanggulanginya.
Dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia, telah diatur dengan tegas dalam Undang-
Undang Dasar tahun 1945 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Meskipun dalam praktiknya mnasih dapat diperdebatkan apakah Indonesia selama ini telah
melaksanakan amanat Undang-Undang Dasamya sendiri atau justru melanggamya (dalam arti
belum melaksanakan dengan sepenuhnya).
Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkenaan dengan penyebab dari dampak dari
kemiskinan, baik internal maupun eksternal.
Seperti diutarakan pada beberapa bagian terdahulu, bahwa kemiskinan merupakan suatu kajian
yang menarik minat banyak orang. Oleh karena itu pengertian, definisi, penyebab, dampak,
metode pengukuran dan mengatasinyapun berbeda-beda sesuai dengan pendapat dan sudut
pandangnya. Spicker (2002), berpendapat bahwa penyebab kemiskinan dapat dibagi dalam
empat mazhab, yaitu:
Isdiovo (2010), membedakan penyebab kemiskinan di desa dan di kota. Kemiskinan di desa
terutama disebabkan oleh faktor-faktor antara lain:
Kemiskinan di kota pada dasarnya disebabkan oleh faktor-faktor yang sama dengan di desa,
yang berbeda adalah penyebab dari faktor-faktor tersebut, misalnya faktor ketidakberdayaan di
kota cenderung disebabkan oleh kurangnya lapangan kerja, dan tingginya biaya hidup.
Kemiskinan dapat juga disebabkan oleh: (a) rendahnya kualitas Angkatan kerja, (b) akses yang
sulit dan terbatas terhadap kepemilikan modal, (c) rendahnya tingkat penguasaan teknologi, (d)
penggunaan sumbedaya yang efisien, dan (e) pertumbuhan penduduk yang tinggi (Sharp et, el,
2000).
Selain dari berbagai pendapat di atas kemiskinan secara umum disebabkan oleh dua faktor
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor intemal adalah faktor yang datang dari dalam
diri orang miskin, seperti sikap yang menerima apa adanya, tidak bersungguh-sungguh dalam
berusaha dan kondisi fistk yang kurang sempuna. Sedangkan faktor ekstemal adalah faktor
yang datang dari luar diri si miskin, seperti keterkucilan karena akses yang terbatas, kurangnya
lapangan kerja, ketiadaan kesempatan sumberdaya alam yang terbatas. Sebagian besar faktor
yang menyebabkan orang miskin adalah faktor eksternal.
Beberapa faktor penyebab kemiskinan lainnya adalah pertumbuhan ekonomi lokal dan global
yang rendah, tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi yang rendah, sumberdaya alam
yang terbatas, pertumbuhan penduduk yang tinggi dan stabilitas politik yang tidak kondusif
Beberapa di antaranya akan dibahas berikut ini.
Pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan awalnya didasari pada
teori trikle down effect yang menyebutkan adanya bagian yang menetes ke bawah dari
kelompok kaya ke kelompok miskin. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan
kapasitas perekonomian, menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan per
kapita (berarti mengurai kemiskinan), menaikkan permintaan dan penawaran, dan seteruanya
berputar mengikuti mekanisme perekonomian. Berdasarkan konsep ini, tujuan pembangunan
di era tahun 1950- an dan 1960-an adalah menciptakan pertumbuhan yang tinggi. Konsep ini
juga dianut oleh Indonesia dipemerintahan Presiden Suharto.
Menggunakan model CGE, studi yang dilakukan Fane dan War (2002) mengkaji bagaimana
pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia. Studi ini menyimpulkan
bahwa jika semakin besar pertumbuhan yang dapat meningkatkan return terhadap faktor yang
merupakan sumber pendapatan bagi kaum miskin, maka semakin besar pula kemungkinan
untuk menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Perbedaan sumber pertumbuhan
akan mempengaruhi kemiskinan dan distribusi pendapatan secara berbeda, sebab mereka akan
mempengaruhi pendapatan faktor secara berbeda dan karena yang miskin dan yang tidak
miskin juga memiliki proporsi yang berbeda.
Simatupang dan Dermoredjo (2003) dalam studinya menemukan bahwa: (1) dampak produk
domestik bruto (PDB) terhadap insiden kemiskinan bervariasi menurut sektor; (2) PDB sektor
pertanian memiliki dampak lebih besar terhadap kemiskinan di pedesaan, sedangkan
kemiskinan di perkotaan dominan dipengaruhi oleh PDB sektor industri; (3) PDB sektor lain
(nonpertanian dan industri) juga berpengaruh terhadap kemiskinan di pedesaan; (4) insiden
kemiskinan juga dipengaruhi oleh harga beras; (5) strategi pembangunan yang menitikberatkan
pada pembangunan di sektor pertanian (agricultural sector leddevelopment) khususnya sektor
tanaman pangan akan lebih efektif untuk pengentasan kemiskinan.
Calderon and Serven (2004) dalam studinya mengkaji dampak pengembangan infrastruktur
pada pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Studi ini menggunakan sampel data dari
121 negara-negara pada periode 1960-2000. Hasilnya menyimpulkan bahwa: (1) pembangunan
Studi tentang strategi pembangunan industri yang lebih kompleks dilakukan Bautista, et. al.
(1999), mengukur pengaruh dari tiga alternatif pembangunan industri terhadap perekonomian
Indonesia dengan menggunakan analisis multiplier SAM dan CGE. Tiga alternatif industri
yang dimaksudkan adalah agricultural demand-led industry (ADLI, industri berbasis
permintaan sektor pertanian) food processing-based industry (FPB, industri berbasis
pengolahan pangan), dan light manufacturing-based industry (LMB, industri berbasis
manufaktur ringan). Analisis menggunakan data SAM Indonesia tahun 1995 ini lebih
difokuskan dari sisi permintaan, Model SAM yang dibentuk terdiri dari 17 sektor produksi, 6
faktor produksi, 7 kelompok pendapatan rumahtangga, neraca pemerintahan, dan 1 neraca
masing masing untuk perusahaan, modal dan rest of the world (ROW).
Analisis yang dilakukan meliputi: Pertama, analisis multiplier untuk menghitung pengaruh
multiplier langsung dan tidak langsung akibat adanya injeksi dari penerimaan eksogen terhadap
sektor-sektor yang mendorong strategi pembangunan ketiga alternatif industri tersebut Dalam
hal ini, multiplier pendapatan yang diperoleh akan menunjukkan dampak keterkaitan ekonomi
pada sektor-sektor produksi, dengan asumsi bahwa tidak ada kendala dalam.
Dari analisis yang dilakukan, disimpulkan bahwa pembangunan industri yang berorientasi pada
komoditas pertanian lebih tinggi dan signifikan pengaruhnya terhadap kenaikan GDP riil
Indonesia dibandingkan dengan pembangunan industri yang berorientasi pada pengolahan
Daftar Pustaka
Indra Maipita, 2014. Mengukur Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan. Jogjakarta, UPP Stim
YKPN.