Anda di halaman 1dari 17

DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

Ketimpangan pendapatan merupakan indikator bagaimana sumber daya didistribusikan ke


masyarakat (Wilkinson and Pickett, 2009). Ketimpangan yang tinggi dapat berakibat buruk
bagi kehidupan sosial, dan dapat menjadi penyebab konflik. Lebih sederhana, ketimpangan
berarti hal yang berbeda untuk orang yang berbeda (Litchfiels, 1999).

Apakah ketimpangan itu hanya diartikan sebagai ketidaksetaraan tingkat pendapatan, atau
lainnya, telah menjadi subjek dari banyak perdebatan, dan oleh karena itu bidang kajian
ketimpangan atau ketidakmerataan terus berkembang baik dari cakupannya maupun dari
metodologi dan alat ukurnya.

Analisis yang mengaitkan distribusi pendapatan dengan tahap pembangunan dirintis pada
tahun 1955 (Daoed, 1995). Menggunakan data lintas negara dan data deret waktu, ia
menemukan adanya relasi antara kesenjangan pendapatan dengan tingkat pendapatan per
kapita yang berbentuk U terbalik.

Kuznets menyimpulkan bahwa pendapatan rata-rata per kapita pada awal pembangunan masih
rendah dan tingkat kesenjangan juga rendah. Ketika pendapatan rata-rata naik, maka
kesenjangan juga meningkat. Kemudian ketika pendapatan rata-rata naik lebih tinggi, maka
kesenjangan akan turun kembali.

Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi distribusi pendapatan dalam proses transisi dari
ekonomi pedesaan menuju ekonomi perkotaan atau dari ekonomi pertanian (tradisional)
menuju ekonomi industri (modern).

Berbagai studi telah dilakukan untuk menguji hipotesa Kuznets tersebut dan beberapa
kesimpulan dapat diperoleh dari hasil kajian tersebut, yaitu; (1) sebagian besar studi
mendukung hipotesa Kuznets; (2) sebagian dari studi tersebut menunjukkan bahwa dalam
jangka panjang hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan distribusi
pendapatan hanya terbukti untuk negara maju dengan tingkat pendapatan yang tinggi; (3)
bagian kesenjangan dari kurva Kuznets (sebelah kiri) cenderung lebih tidak stabil dibanding
bagian kesenjangan yang menurun (sebelah kanan).

Beberapa studi yang dilakukan justru menolak atau tidak menemukan adanya korelasi.
Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Deininger dan Squire (1998), dan Barro (1997) tidak
menunjukkan adanya hubungan yang sistematis antara pertumbuhan pendapatan dengan
distribusinya.

1 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


Studi yang dilakukan oleh Bidani dan Ravallion (1993), baik menggunakan metode OLS
maupun instrumental variable menemukan bahwa: (1) pengeluaran konsumsi rata-rata sebagai
persentase terhadap garis kemiskinan dan indeks Gini memiliki pengaruh yang nyata terhadap
berbagai ukuran kemiskinan (headcount ratio (Po) poverty gap ratio (P1) dan squared poverty
gap (P2), dengan arah pengaruh positif dan negatif, (2) pengeluaran konsumsi rata-rata juga
berpengaruh nyata secara statistik terhadap indeks Gini provinsi di Indonesia dengan tanda
positif, (3) temuan ini menunjukkan bahwa hubungan U terbalik (inverted u relationship)
sebagaimana dihipotesakan Kuznet tidak berlaku di Indonesia.

Ketimpangan memang berbeda dengan kemiskinan, namun keduanya dapat saling terkait
(McKay, 2002). Ketimpangan fokus pada variasi standar hidup di antara individu dalam suatu
populasi, sedangkan kemiskinan lebih fokus pada sebagian anggota populasi, yaitu individu
yang berada di bawah garis kemiskinan.

Menurut McKay, ada beberapa alasan mengapa lembaga-lembaga pembangunan termasuk


pemerintah harus peduli terhadap ketimpangan, antara lain:

1. Ketimpangan berhubungan dengan kemiskinan. Pada tingkat tertentu dari rata-rata


pendapatan, pendidikan dan kepemilikan aset, ketimpangan hampir selalu menyiratkan
kekurangan, baik absolut maupun relatif.
2. Ketimpangan berhubungan dengan pertumbuhan. Seperti dijelaskan sebelumnya dan
sesudah bagian ini, bahwa ketimpangan yang tinggi an menghambat pertumbuhan
ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
3. Ketimpangan menjadi persoalan bagi individu itu sendiri. Ketimpangan akan
menghambat seseorang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
4. Ketimpangan sering menjadi faktor penting bahkan penentu dalam berbagai kejahatan,
kekacauan sosial, dan berbagai konflik kekerasan.

1. Pertumbuhan dan Pemerataan Distribusi

Secara umum, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan


diperlihatkan melalui Gambar 1 (Kasliwal, 1995 dan Susilowati, et.al, 2007). Kelompok
masyarakat dibagi menjadi dua bagian, yaitu 50 persen masyarakat dengan pendapatan tinggi
(kaya) dan 50 persen masyarakat dengan pendapatan rendah (miskin). Distribusi awal berada
pada titik E yang memihak pada kelompok masyarakat kaya. Diperlukan kebijakan agar
distribusi dapat bergerak menuju garis pemerataan sempurna, tetapi harus diingat bahwa
redistribusi pendapatan akan berdampak pada perubahan total pendapatan.

2 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


Kebijakan yang dilakukan dapat berdampak pada pergeseran distribusi pendapatan ke wilayah
A, B, C atau D. Bila kebijakan yang dilakukan mengakibatkan distribusi pendapatan bergeser
ke wilayah A, maka kebijakan ini perlu ditinjau ulang karena tidak satupun berpihak kepada
kedua kelompok. Kelompok kaya akan berkurang kekayaannya sedangkan kelompok miskin
akan semakin miskin.

Bila distribusi bergeser ke wilayah B, maka pendapatan kelompok kaya akan berkurang
sedangkan kelompok miskin akan memperoleh manfaatnya dengan meningkatnya pendapatan
mereka. Namun manfaat yang diterima oleh kelompok miskin masih lebih kecil dari kerugian
yang dialami oleh Kelompok kaya sehingga total pendapatan menjadi berkurang.

Bila distribusi bergeser ke wilayah C, di atas pendapatan konstan, maka ada kemungkinan
bahwa pertumbuhan akan diikuti oleh pemerataan pendapatan, karena total pendapatan
menjadi bertambah. Sedangkan bila distribusi bergeser ke wilayah D, redistribusi mengalami
pareto superior karena kedua kelompok akan mengalami peningkatan pendapatan di mana
peningkatan pendapatan kelompok miskin jauh lebih besar disbanding Peningkatan pendapatan
kelompok kaya.

Gambar 1. Pertumbuhan Pendapatan dan Ketidakmerataan


(Sumber: Kasliwal, 1995 dan Susilowati, et.al, 2007)

Seperti dijelaskan bab sebelumnya bahwa hubungan ketimpangan, pertumbuhan ekonomi dan
kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua efek, yaitu efek pertumbuhan ekonomi dan efek
distribusi pendapatan (Kakwani, 1993; Son dan Kakwani , 2004; Bourguignon, 2004).

3 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


Efek pertumbuhan merupakan efek dari peningkatan pendapatan akibat pertumbuhan ekonomi
dengan menganggap tingkat ketimpangan adalah tetap. Peningkatan pendapatan ini akan
menurunkan jumlah individu miskin. Efek distribusi merupakan efek dari perubahan distribusi
pendapatan dengan menganggap tingkat pendapatan konstan. Distribusi pendapatan yang
merata akan mengurangi tingkat kemiskinan.

Dengan demikian, tingkat pendapatan rata-rata dan ketimpangan distribusi pendapatan dapat
mempengaruhi tingkat kemiskinan. Peningkatan pendapatan rata-rata dapat mengurangi
kemiskinan, sedangkan peningkatan ketidakmerataan (kesenjangan pendapatan) dapat
menambah kemiskinan. Oleh karena itu, bila kesenjangan meningkat, untuk mempertahankan
tingkat kemiskinan yang sama dengan sebelumnya, maka pendapatan rata-rata harus
ditingkatkan.

Dampak efek pertumbuhan terhadap pengurangan kemiskinan dijelaskan oleh Gambar 2.


Sumbu horizontal memperlihatkan tingkat pendapatan, naik dari kiri ke kanan. Sumbu vertikal
menggambarkan share pendapatan terhadap populasi. Sebelum terjadi pertumbuhan, kurva
distribusi dilukiskan oleh kurva dus dengan rata-rata pendapatan sebesar µ. Penduduk miskin
adalah mereka mu berada di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian jumlah penduduk
miskin seluas daerah yang diarsir (A+B),

Gambar 2. Dampak Efek Pertumbuhan Terhadap Tingkat Kemiskinan


(Sumber: diadaptasi dari Bourguignon, 2004)

Pertumbuhan ekonomi membuat tingkat pendapatan masyarakat menaik, dan rata-rata


pendapatan menjadi µ1. Dengan asumsi bahwa tingkat distribusi tetap, maka kurva distribusi
akan bergeser ke kanan, yaitu ke kurva distribusi baru garis putus-putus). Pergeseran ini
mengakibatkan jumlah individu miskin berkurang yang semula seluas daerah (A+B), sekarang
tinggal seluas daerah B. Dengan kata lain, meningkatnya pendapatan per kapita akibat

4 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


pertumbuhan yang meningkat, telah mengurangi individu miskin sebesar A (A+B-B).
Pengurangan kemiskinan ini disebut sebagai efek pertumbuhan.

Dampak efek distribusi terhadap tingkat kemiskinan diperlihatkan pada Gambar 3.

Bila distribusi pendapatan semakin merata, dengan asumsi bahwa total pendapatan tetap,
sehingga rata-ratanya juga tetap (yang berubah hanyalah distribusinya), maka kurva distribusi
akan mengerut karena perbedaan tingkat pendapatan di antara anggota populasi semakin
mengecil.

Kurva distribusi semula digambarkan oleh kurva mulus (pada Gambar 3), dengan jumlah
individu miskin sama dengan luas daerah diarsir (A+B), mengerut dan berubah menjadi kurva
yang digambarkan oleh garis putus-putus dengan jumlah individu miskin seluas daerah B.
Artinya distribusi pendapatan yang semakin merata telah mengurangi jumlah individu miskin
seluas daerah A. Dampak pergeseran distribusi terhadap tingkat kemiskinan ini disebut dengan
efek distribusi.

Gambar 3. Dampak Efek Distribusi Terhadap Tingkat Kemiskinan


(Sumber: diadaptasi dari Bourguignon, 2004)

Konsep distribusi pendapatan secara umum dibedakan menurut tiga aliran ekonomi. Pertama,
menurut mahzab Klasik (ortodoks) yang berpegang pada konsep keseimbangan sumber daya
dan konsep pasar bebas. Perbedaan kondisi antar sektor menyebabkan terjadinya pertukaran
atau alokasi sumber daya secara efisien tanpa adanya campur tangan pemerintah hingga
mencapai kondisi pareto optimal (Susilowati, et.al, 2007).

Aliran ini percaya bahwa pemerataan pendapatan akan terjadi dengan sendirinya seiring
dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Pembangunan ekonomi dilakukan melalui
memusatan pendapatan pada masyarakat kaya. Produksi diatur secara efisien kemudian
hasilnya diredistribusikan melalui pajak dan transfer yang diyakini tidak akan mendistorsi

5 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


perekonomian. Aliran ini disebut juga dengan aliran yang menganut faham kapitalis yang lebih
memfokuskan pada pertumbuhan (grow first, then redistribute).

Kedua, menurut mahzab Strukturalis. Beranggapan bahwa pembangunan ekonomi merupakan


suatu transisi yang ditandai dengan adanya transformasi mendasar pada ekonomi yang disebut
dengan transformasi struktural. Perubahan struktural ini merupakan masa ketidakseimbangan
yang dapat menyebabkan kesenjangan penyesuaian yang panjang (Arndt, 1987; Gillis et al.,
1987; Djojohadikusumo, 1994). Aliran ini skeptis terhadap mekanisme kekuatan harga dan
meyakini bahwa pemerintah diperlukan untuk menanggulangi kegagalan pasar. Pemerintah
mengambil alih pemilik modal dan pemilik tanah lalu membagikannya ke produsen skala kecil.
campur tangan.

Kebijakan ini memberikan dampak ganda terhadap distribusi pendapatan, yaitu dampak jangka
pendek dan dampak jangka panjang. Dampak jangka pendek atau disebut juga dampak
langsung bahwa tingkat pemerataan pendapatan meningkat secara nyata. Sedangkan dampak
jangka Panjang bahwa apabila pengalihan aset dari produsen besar ke produsen kecil dikelola
dengan baik dan efisien, maka efek redistribusi tersebut akan berhasil, namun bila tidak
dikelola secara baik dan produktif, pemilik asset awal akan kehilangan asetnya sedangkan
pemilik baru tidak mendapatkan manfaat secara proporsional. Aliran ini disebut juga dengan
aliran sosialis yang memfokuskan pada pemerataan (redistribute first, then grow).

Ketiga, merupakan alternatif dari kedua aliran di atas, yang dikembangkan oleh Bank Dunia
yaitu strategi yang beraliran moderat untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan secara
bersama yang disebut juga dengan redistribusi dengan pertumbuhan (redistribution with growt)
(Chenery et al., 1974).

2. Rasio Pendapatan

Suatu cara yang paling sederhana untuk mengukur ketimpangan adalah dengan
membandingkan tingkat pendapatan antar kelompok. Misalnya distribusi pada kelompok
berpendapatan rendah dengan kelompok berpendapatan tinggi. Kelompok yang dimaksud
dapat dibagi dalam kuantil, desil, maupun persentil. Rasio perbandingan yang paling umum
digunakan adalah 20/20. Artinya 20 persen kelompok dengan pendapatan terendah
dibandingkan dengan 20 persen kelompok pendapatan tertinggi (Charles, 2011). Namun
komposisi ini bisa saja berubah sesuai dengan kebutuhan.

Bank Dunia menetapkan kriteria dalam mengukur tingkat pemerataan pendapatan. Penduduk
dikelompokkan dalam tiga lapis (strata) pendapatan, yaitu 40 persen penduduk berpendapatan

6 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


rendah, 40 persen penduduk berpendapatan menengah, dan sisanya 20 persen penduduk
berpendapatan tinggi. Selanjutnya ukuran pemerataan atau ketimpangan pendapatan dihitung
dengan pertimbangan berikut:

1. Apabila 40 persen penduduk pada lapisan berpendapatan rendah mempunyai pangsa


pendapatan kurang dari 12 persen dari pendapatan total, maka keadaan ini dinyatakan
dengan ketimpangan atau ketidakmerataan "tinggi".
2. Apabila 40 persen penduduk pada lapisan berpendapatan rendah mempunyai pangsa
pendapatan antara 12-17 persen dari pendapatan total, maka keadaan ini dinyatakan
dengan ketimpangan atau ketidakmerataan "sedang".
3. Apabila 40 persen penduduk pada lapisan berpendapatan rendah mempunyai pangsa
pendapatan diatas dari 17 persen dari pendapatan total, maka keadaan ini dinyatakan
dengan ketimpangan atau ketidakmerataan "rendah".

Tabel 1 memperlihatkan perkembangan distribusi pendapatan di Indonesia sejak tahun 1999


hingga 2013. Bila merujuk pada kriteria di atas, sejak tahun 1999 hingga tahun 2010,
ketidakmerataan pendapatan di Indonesia tergolong pada kategori "rendah", namun sejak tahun
2011 hingga tahun 2013 termasuk kategori “sedang". Pada tahun 2013 hanya 16,87 persen dari
total pendapatan yang dinikmati oleh 40 persen penduduk berpendapatan rendah. Sebaliknya
sebanyak 49,04 persen dari total pendapatan yang ada dinikmati oleh 20 persen penduduk
berpendapatan tinggi.

Bila kita perhatikan Tabel 1, terlihat bawah kurun waktu 1999-2013, terjadi Penurunan
penguasaan pendapatan kelompok masyarakat terendah sebanyak 4,79 persen, dan pada
kelompok masyarakat menengah sebanyak 3,68 persen.

Sebaliknya pada kelompok tertinggi terjadi kenaikan penguasaan pendapatan banyak 8,47
persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa kurun waktu tersebut jadi pergeseran distribusi
pendapatan yang mengarah pada peningkatan ketimpangan. Dengan kata lain, meskipun data
pada Tabel 1 berfluktuasi, sumbernya menunjukkan kecenderungan ketimpangan yang
meningkat.

Kelemahan dari ukuran ini bahwa perhatian hanya tertuju pada beberapa kelompok (biasanya
satu atau dua kelompok) dan tidak melihat distribusi pendapatan secara keseluruhan dari
populasi. Selain itu, cara ini tidak memberikan ukuran mutlak dari ketimpangan karena
memang tidak diukur dengan skala pengukuran mutlak (Charles, 2011), serta dapat terganggu
oleh data yang terpencil (outlier).

7 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


Tabel 1. Perkembangan Distribusi Pendapatan Indonesia

3. Koefisien Gini

Koefisien Gini secara luas digunakan untuk mengukur ketimpangan dan distribusi pendapatan.
Koefisien Gini, merupakan perbandingan antara garis pemerataan dengan kurva Lorenz seperti
diperlihatkan pada Gambar Kurva Lorenz memberikan gambaran yang lebih jelas dibanding
kurva lainnya. Ini disebabkan sumbu horizontal dan vertikalnya tidak menggunakan logaritma
tetapi nilai hitung biasa (arithmetic scale) sehingga tidak terjadi pengerutan, baik pada tingkat
pendapatan rendah maupun tingkat pendapatan tinggi.

Bentuk kurva Lorenz menunjukkan derajat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan


(Perkins, et al, 2001). Dalam kondisi distribusi pendapatan merata secara sempurna, maka X
persen dari jumlah penduduk akan menerima X persen dari jumlah pendapatan. Misalnya 40
persen jumlah penduduk atau penerima pendapatan harus menerima 40 persen dari total
pendapatan yang ada.

Dalam kurva Lorenz, keadaan ini digambarkan sebagai garis diagonal dari kiri bawah ke kanan
atas (OQ). Ini berarti, seluruh pendapatan keluarga akan sama dengan pendapatan rata-rata.

Jika X persen jumlah individu atau keluarga menerima kurang dari X persen pendapatan, maka
kurva Lorenz akan menyimpang dari garis diagonal OQ memberat ke bawah menjadi OQ yang
cekung (concave). Semakin tidak merata distribusi pendapatan maka kurva Lorenz akan
semakin cekung (Todaro dan Smith, 2003),

8 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


Gambar 5. Bentuk Kurva Lorentz

Pengukuran ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan suatu daerah dapat diperoleh


dengan menghitung rasio bidang yang diarsir (A) dibagi dengan luas segitiga OPQ (B). Rasio
ini dikenal dengan rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) yang sering disebut dengan
koefisien Gini (Gini coefficient). Ada beberapa cara untuk mengukur koefisien Gini (Charles,
2011), beberapa di antaranya diuraikan berikut ini.

Cara pertama adalah dengan mengurutkan tingkat pendapatan dari populasi yang akan diukur
dari pendapatan rendah ke pendapatan tinggi, menggunakan persamaan;

Cara lain untuk menghitung koefisien Gini diperlihatkan pada persamaan;

Dengan: Pi merupakan persentase kumulatif jumlah keluarga atau individu hingga kelas ke-i,
Qi merupakan persentase kumulatif jumlah keluarga pendapatan hingga kelas ke-i dan k adalah
jumlah kelas pendapatan.

Indeks Gini juga dapat dinyatakan seperti pada persamaan;

9 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


dengan F(y) merupakan fungsi kepadatan kumulatif dari penghasilan yang terdistribusi pada
rentang 0 untuk yang paling miskin, hingga 1 untuk yang paling kaya.

Rasio konsentrasi Gini (G) mempunyai rentang nilai dari 0 dan 1, meskipun kenyataan nilainya
berkisar antara 0,2 hingga 0,3 untuk negara dengan ketimpangan rendah, dan 0,5 hingga 0,7
untuk negara dengan tingkat ketimpangan tinggi. Jika G-0, terjadi distribusi pendapatan yang
merata sempurna, sebaliknya jika G=1 terjadi ketimpangan distribusi pendapatan yang
sempurna.

Untuk menambah pemahaman, Gambar 6 memperlihatkan perkembangan indeks Gini


Indonesia sejak tahun 1999 hingga tahun 2013. Dari gambar ini terlihat bahwa indeks Gini
Indonesia memiliki kecenderungan meningkat. Kurun waktu 1999-2013 terjadi peningkatan
sebesar 0,1. Ini berarti bahwa ketimpangan pendapatan di Indonesia kurun waktu 14 tahun
terakhir cenderung mengalami peningkatan. Kondisi ini sejalan dengan data pada Tabel 1
Menurut kriteria di atas, kurun waktu 1999-2013 berkisar antara 0,3 hingga 0,41. Artinya
bahwa tingkat ketimpangan yang terjadi digolongkan pada ketimpangan menengah.

Gambar 6. Perkembangan Indeks Gini Indonesia


Sumber: BPS (2013)

Keterbatasan koefisien Gini dan kurva Lorenz bahwa kedua ukuran ini hanya menunjukkan
pemeringkatan parsial (partial ranking) dari distribusi pendapatan. Lebih jauh, Charles, (2011)
mengemukakan beberapa kelebihan dan kekurangan dari koefisien Gini seperti dijelaskan
berikut ini.

Keunggulan Koefisien Gini

10 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


Beberapa keunggulan koefisien Gini, antara lain:

1. Koefisien Gini memenuhi empat aksioma dari pengukuran ketimpangan, yaitu prinsip
transfer Pigou-Dalton, prinsip independensi skala pendapatan, prinsip anonimity, dan
prinsip independensi populasi.
2. Koefisien Gini dapat digunakan untuk membandingkan distribusi pendapatan yang
berbeda dari berbagai kelompok populasi, baik antar negara maupun antar wilayah.
3. Koefisien Gini merupakan jenis pengukuran dalam bentuk rasio.
4. Koefisien Gini tidak rumit dan mudah untuk difahami, sehingga mudalt digunakan
untuk menggambarkan bagaimana perubahan distribusi pendapatan dalam suatu
populasi. Misalnya, diketahui indeks Gini suatu populasi adalah 0,2, berarti bahwa jika
pendapatan rata-rata masyarakat tersebut sebesar Rp 1 juta, maka harapan perbedaan
pendapatan per kapia dari populasi tersebut sebesar Rp 0,2 x Rp 1 juta = Rp 200.000
atau Rp 0,2 juta.
5. Koefisien Gini dapat digunakan untuk membandingkan kondisi antar waktu, sehingga
bermanfaat dalam mengevaluasi suatu kebijakan.

Kelemahan Koefisien Gini

Beberapa kelemahan dari koefisien Gini antara lain:

Perhitungan koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, oleh karena itu nilai koefisien Gini
dari beberapa distribusi yang berbeda dapat sama. Kurva Lorenz dapat memiliki bentuk yang
berbeda namun dengan luas yang sama, sehingga menghasilkan koefisien Gini yang sama. Hal
ini dapat mengganggu bila kita ingin menganalisis atau membandingkan struktur distribusi
pendapatan dari populasi yang berbeda.

1. Koefisien Gini merupakan estimasi distribusi pendapatan pada suatu titik (suatu saat)
dan tidak menggambarkan pendapatan seumur hidup dari seseorang atau rumahtangga.
Sedangkan, seiring dengan perubahan waktu, distribusi pendapatan juga dapat berubah.
2. Koefisien Gini juga tidak mampu menggambarkan perubahan pendapatan seumur
hidup dari seseorang atau suatu rumahtangga dan tidak mempertimbangkan faktor-
faktor penyebab seperti, distribusi usia, mobilitas, tempat tinggal, dan lainnya.
3. Koefisien Gini yang berbeda dari populasi yang berbeda, tidak dapat digabungkan dan
diartikan sebagai ketimpangan secara keseluruhan (agregat). Misalnya, koefisien Gini
dari masing-masing provinsi di Indonesia tidak dapat digabungkan menjadi koefisien
Gini nasional dan diartikan sebagai ketimpangan secara nasional.

11 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


4. Penyebab & Dampak Kemiskinan

Kemiskinan memang suatu masalah yang kompleks. Ia tidak berdiri sendiri, banyak faktor
yang mempengaruhinya dan menyebabkannya terjadi. Ada faktor internal yang disebabkan
oleh dirinya sendiri, ada juga yang datang dari luar, seperti lingkungan, pemerintahan, keadaan
perekonomian secara umum, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak, dan banyak hal
lainnya. Namun setidaknya kemiskinan muncul karena perbedaan kemampuan, perbedaan
sumberdaya, dan perbedaan kesempatan.

Kemiskinan telah memberikan dampak yang luas terhadap kehidupan, bukan hanya kehidupan
pribadi mereka yang miskin, tetapi juga bagi orang-orang yang tidak tergolong miskin.
Kemiskinan bukan hanya menjadi beban pribadi, tetapi juga menjadi beban dan tanggungjawab
masyarakat, negara, dan dunia untuk menanggulanginya.

Dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia, telah diatur dengan tegas dalam Undang-
Undang Dasar tahun 1945 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Meskipun dalam praktiknya mnasih dapat diperdebatkan apakah Indonesia selama ini telah
melaksanakan amanat Undang-Undang Dasamya sendiri atau justru melanggamya (dalam arti
belum melaksanakan dengan sepenuhnya).

Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkenaan dengan penyebab dari dampak dari
kemiskinan, baik internal maupun eksternal.

5. Penyebab Kemiskinan: Berbagai Pendapat

Seperti diutarakan pada beberapa bagian terdahulu, bahwa kemiskinan merupakan suatu kajian
yang menarik minat banyak orang. Oleh karena itu pengertian, definisi, penyebab, dampak,
metode pengukuran dan mengatasinyapun berbeda-beda sesuai dengan pendapat dan sudut
pandangnya. Spicker (2002), berpendapat bahwa penyebab kemiskinan dapat dibagi dalam
empat mazhab, yaitu:

1. Individual explanation, mazhab ini berpendapat bahwa kemiskinan cenderung


diakibatkan oleh karakteristik orang miskin itu sendiri. Karakteristik yang dimaksud
seperti malas dan kurang sungguh. sungguh dalam segala hal, termasuk dalam bekerja.
Mereka juga sering salah dalam memilih, termasuk memilih pekerjaan, memilih jalan
hidup, memilih tempat tinggal, memilih sekolah, dan lainnya.
Gagal, sebagian orang miskin bukan karena tidak pernah memiliki kesempatan, namun
ia gagal menjalani dengan baik kesempatan tersebut. Seseorang yang sudah bekerja

12 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


namun karena sesuatu hal akhirnya ia diberhentikan (PHK) dan selanjutnya menjadi
miskin. Ada juga yang sebelumnya telah memiliki usaha yang baik, namun gagal dan
bangkrut, akhirnya menjadi miskin. Sebagian lagi pernah memperoleh kesempatan
mengikuti pendidikan yang lebih tinggì, namun gagal menyelesaikannya, drop out dan
akhirnya menjadi miskin.
Tidak jarang juga terlihat bahwa seseorang menjadi miskin karena memiliki cacat
bawaan. Dengan keterbatasannya itu ia tidak mampu bekerja dengan baik, bersaing
dengan yang lebih sehat dan memiliki kesempatan yang lebih sedikit dalam berbagai
hal yang dapat menentukan kondisi ekonomi hidupnya.
2. Familial explanation, mazhab ini berpendapat bahwa kemiskinan lebih disebabkan oleh
faktor keturunan. Tingkat pendidikan orang tua yang rendah telah membawa dia ke
dalam kemiskinan. Akibatnya ia juge tidak mampu memberikan pendidikan yang layak
kepada anaknya, sehingga anaknya juga akan jatuh pada kemiskinan. Demikian secara
terus menerus dan turun temurun.
3. Subcultural explanation, menurut mazhab ini bahwa kemiskinan dapat disebabkan oleh
kultur, kebiasaan, adat-istiadat, atau akibat karakteristik perilaku lingkungan. Misalnya,
kebiasaan yang bekerja adalah kaum perempuan, kebiasaan yang enggan untuk bekerja
keras dan menerima apa adanya, keyakinan bahwa mengabdi kepada para raja atau
orang terhormat meski tidak diberi bayaran dan lainnya yang akibat pada kemiskinan.
Terkadang orang seperti ini justru tidak merasa miskin karena sudah terbiasa dan
memang kulturnya yang membuat demikian.
4. Structural explanations, mazhab ini menganggap bahwa kemiskinan timbul akibat dari
ketidakseimbangan, perbedaan status yang dibuat oleh adat istiadat, kebijakan, dan
aturan lain menimbulkan perbedaan hak untuk bekerja, sekolah dan lainnya hingga
menimbulkan kemiskinan di antara mereka yang statusnya rendah dan haknya terbatas.

Isdiovo (2010), membedakan penyebab kemiskinan di desa dan di kota. Kemiskinan di desa
terutama disebabkan oleh faktor-faktor antara lain:

1. Ketidakberdayaan. Kondisi ini muncul karena kurangnya lapangan kerja, rendahnya


harga produk yang dihasilkan mereka, dan tingginya biaya pendidikan.
2. Keterkucilan, rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya keahlian, sulitnya transportasi,
serta ketiadaan akses terhadap kredit menyebabkan mereka terkucil dan menjadi
miskin.

13 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


3. Kemiskinan materi, kondisi ini diakibatkan kurangnya modal, dan minimnya lahan
pertanian yang dimiliki menyebabkan penghasilan mereka relatif rendah.
4. Kerentanan, sulitnya mendapatkan pekerjaan, pekerjaan musiman, dan bencana alam,
membuat mereka menjadi rentan dan miskin.
5. Sikap, sikap yang menerima apa adanya dan kurang termotivasi untuk bekerja keras
membuat mereka menjadi miskin.

Kemiskinan di kota pada dasarnya disebabkan oleh faktor-faktor yang sama dengan di desa,
yang berbeda adalah penyebab dari faktor-faktor tersebut, misalnya faktor ketidakberdayaan di
kota cenderung disebabkan oleh kurangnya lapangan kerja, dan tingginya biaya hidup.

Kemiskinan dapat juga disebabkan oleh: (a) rendahnya kualitas Angkatan kerja, (b) akses yang
sulit dan terbatas terhadap kepemilikan modal, (c) rendahnya tingkat penguasaan teknologi, (d)
penggunaan sumbedaya yang efisien, dan (e) pertumbuhan penduduk yang tinggi (Sharp et, el,
2000).

Selain dari berbagai pendapat di atas kemiskinan secara umum disebabkan oleh dua faktor
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor intemal adalah faktor yang datang dari dalam
diri orang miskin, seperti sikap yang menerima apa adanya, tidak bersungguh-sungguh dalam
berusaha dan kondisi fistk yang kurang sempuna. Sedangkan faktor ekstemal adalah faktor
yang datang dari luar diri si miskin, seperti keterkucilan karena akses yang terbatas, kurangnya
lapangan kerja, ketiadaan kesempatan sumberdaya alam yang terbatas. Sebagian besar faktor
yang menyebabkan orang miskin adalah faktor eksternal.

Beberapa faktor penyebab kemiskinan lainnya adalah pertumbuhan ekonomi lokal dan global
yang rendah, tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi yang rendah, sumberdaya alam
yang terbatas, pertumbuhan penduduk yang tinggi dan stabilitas politik yang tidak kondusif
Beberapa di antaranya akan dibahas berikut ini.

6. Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan

Benarkah pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan positif dengn pengurangan angka


kemiskinan? Pertanyaan ini telah mengalami pengujian yang panjang, hasil dari berbagai
penelitian menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pendapatan per
kapita dan akhirnya mengarah pada penurunan angka kemiskinan (Dollar and Kraay, 2001;
Field, 1989).

14 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


Penelitian kebijakan menunjukkan bahwa laju pengurangan kemiskinan sangat bergantung
pada tìngkat pertumbuhan pendapatan rata-rata, kondisi awal dari ketimpangan, dan tìngkat
perubahan dari ketimpangan tersebut (Klassen, 2005). Pengurangan kemiskinan akan semakin
cepat terjadi di negara-negara dengan tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata yang lebih
tinggi (Dollar and Kraay.2002), dan tingkat kesenjangan yang rendah.

Pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan awalnya didasari pada
teori trikle down effect yang menyebutkan adanya bagian yang menetes ke bawah dari
kelompok kaya ke kelompok miskin. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan
kapasitas perekonomian, menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan per
kapita (berarti mengurai kemiskinan), menaikkan permintaan dan penawaran, dan seteruanya
berputar mengikuti mekanisme perekonomian. Berdasarkan konsep ini, tujuan pembangunan
di era tahun 1950- an dan 1960-an adalah menciptakan pertumbuhan yang tinggi. Konsep ini
juga dianut oleh Indonesia dipemerintahan Presiden Suharto.

Menggunakan model CGE, studi yang dilakukan Fane dan War (2002) mengkaji bagaimana
pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia. Studi ini menyimpulkan
bahwa jika semakin besar pertumbuhan yang dapat meningkatkan return terhadap faktor yang
merupakan sumber pendapatan bagi kaum miskin, maka semakin besar pula kemungkinan
untuk menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Perbedaan sumber pertumbuhan
akan mempengaruhi kemiskinan dan distribusi pendapatan secara berbeda, sebab mereka akan
mempengaruhi pendapatan faktor secara berbeda dan karena yang miskin dan yang tidak
miskin juga memiliki proporsi yang berbeda.

Simatupang dan Dermoredjo (2003) dalam studinya menemukan bahwa: (1) dampak produk
domestik bruto (PDB) terhadap insiden kemiskinan bervariasi menurut sektor; (2) PDB sektor
pertanian memiliki dampak lebih besar terhadap kemiskinan di pedesaan, sedangkan
kemiskinan di perkotaan dominan dipengaruhi oleh PDB sektor industri; (3) PDB sektor lain
(nonpertanian dan industri) juga berpengaruh terhadap kemiskinan di pedesaan; (4) insiden
kemiskinan juga dipengaruhi oleh harga beras; (5) strategi pembangunan yang menitikberatkan
pada pembangunan di sektor pertanian (agricultural sector leddevelopment) khususnya sektor
tanaman pangan akan lebih efektif untuk pengentasan kemiskinan.

Calderon and Serven (2004) dalam studinya mengkaji dampak pengembangan infrastruktur
pada pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Studi ini menggunakan sampel data dari
121 negara-negara pada periode 1960-2000. Hasilnya menyimpulkan bahwa: (1) pembangunan

15 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


infrastruktur yang sesuai memberikan pengaruh positif kepada pertumbuhan ekonomi jangka
panjang; (2) kualitas dan kuantitas infrastruktur yang buruk berdampak negatif pada
pemerataan (equality) pendapatan. Hasil ini signifikan tidak hanya secara statistik tapi juga
ekonomi. Contohnya hampir semua negara Amerika Latin yang memperbaiki infrastruktur
dengan mempertimbangkan kualitas dan kuantitas dalam jangka panjang mengalami
pertumbuhan antara 1,1 sampai 4,8 persen per tahun.

Studi tentang strategi pembangunan industri yang lebih kompleks dilakukan Bautista, et. al.
(1999), mengukur pengaruh dari tiga alternatif pembangunan industri terhadap perekonomian
Indonesia dengan menggunakan analisis multiplier SAM dan CGE. Tiga alternatif industri
yang dimaksudkan adalah agricultural demand-led industry (ADLI, industri berbasis
permintaan sektor pertanian) food processing-based industry (FPB, industri berbasis
pengolahan pangan), dan light manufacturing-based industry (LMB, industri berbasis
manufaktur ringan). Analisis menggunakan data SAM Indonesia tahun 1995 ini lebih
difokuskan dari sisi permintaan, Model SAM yang dibentuk terdiri dari 17 sektor produksi, 6
faktor produksi, 7 kelompok pendapatan rumahtangga, neraca pemerintahan, dan 1 neraca
masing masing untuk perusahaan, modal dan rest of the world (ROW).

Analisis yang dilakukan meliputi: Pertama, analisis multiplier untuk menghitung pengaruh
multiplier langsung dan tidak langsung akibat adanya injeksi dari penerimaan eksogen terhadap
sektor-sektor yang mendorong strategi pembangunan ketiga alternatif industri tersebut Dalam
hal ini, multiplier pendapatan yang diperoleh akan menunjukkan dampak keterkaitan ekonomi
pada sektor-sektor produksi, dengan asumsi bahwa tidak ada kendala dalam.

Multiplier pendapatan yang dihitung, juga selalu dihubungkan dengan kelompok-kelompok


rumahtangga yang berbeda, dengan maksud untuk menggambarkan adanya hubungan antara
pertumbuhan dan pemerataan. Kedua, mengukur tingkat pemerataan pendapatan dengan
membandingkan perubahan pendapatan pada berbagai kelompok rumahtangga menurut
strategi ADLI, FPB dan LMB, dengan pusat perhatian pada kelompok farm worker (tenaga
kerja pertanian), small farm (usaha tani kecil), nonfarm lowincome (Rumah tangga pertanian
berpendapatan rendah), dan urban lowincome (Fumahtangga perkotaan berpendapatan
rendah).

Dari analisis yang dilakukan, disimpulkan bahwa pembangunan industri yang berorientasi pada
komoditas pertanian lebih tinggi dan signifikan pengaruhnya terhadap kenaikan GDP riil
Indonesia dibandingkan dengan pembangunan industri yang berorientasi pada pengolahan

16 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani


makanan dan industri ringan. Dari aspek distribusi pendapatan, pengaruh kenaikan GDP lebih
besar dampaknya terhadap perubahan pendapatan kelompok rumahtangga yang berpendapatan
rendah, baik di sektor pertanian maupun di sektor non pertanian.

Bagaimana pertumbuhan dapat mengurangi kemiskinan, secara sederhana diperlihatkan pada


Gambar 7 Pertumbuhan ekonomi akan menaikkan permintaan terhadap output, menaikkan
kapasitas produktif para pekerja, dan membuka lapangan kerja baru. Semua akan bermuara
pada peningkatan pendapatan para pekerja. Pendapatan yang meningkat akan berdampak pada
peningkatan pengeluaran, seperti pengeluaran terhadap pendidikan, kesehatan, dan
pengembangan keahlian (pengurangan kemiskinan). Kondisi ini menciptakan kemungkinan
kenaikan lebih lanjut dalam produktivitas dan tingkat lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi.

Gambar 7. Lingkaran Hubungan Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja, dan pengurangan


Kemiskinan.
Sumber: Islam, 2004; dimodifikasi

Daftar Pustaka

Indra Maipita, 2014. Mengukur Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan. Jogjakarta, UPP Stim
YKPN.

17 | Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan – Risa Septiani

Anda mungkin juga menyukai