Anda di halaman 1dari 11

SATUAN ACARA PENYULUHAN

KETERAMPILAN PSIKOSOSIAL REMAJA


(KESEHATAN JIWA DAN SOSIAL)

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Askeb Remaja dan
Pranikah

Dosen Pembimbing :
Kirana Candra Sari S.ST, M.Keb.

Disusun Oleh :
Widi Putri
P17324119436

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG


JURUSAN KEBIDANAN BANDUNG
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN
2021
SATUAN PELAJARAN

Topik : Kesehatan Reproduksi Remaja


Sub Topik : Keterampilan Psikososial (Kesehatan Jiwa dan Sosial)
Hari/Tanggal : Jumat, 30 April 2021
Waktu : 10.00 – 10.30 WIB
Peserta : Remaja
Karakteristik : Remaja Awal-Akhir di wilayah Cikalongwetan
Jumlah Peserta : 10 orang

I. Tujuan
a. Umum
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan diharapkan remaja dapat
mengetahui
1. Mengetahui perkembangan psikososial yang terjadi pada remaja
b. Khusus
1. Agar remaja dapat mengetahui apa itu kesehatan jiwa dan sosial
remaja
2. Agar remaja dapat memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
kesehatan jiwa dan sosial remaja.
3. Agar remaja dapat mengetahui gangguan atau masalah kesehatan jiwa
dan sosial
II. Metode
Pendidikan kesehatan ini akan dilaksanakan secara online. Guna untuk
memutus rantai penyebaran covid-19 yang masih masif. Metode yang digunakan
yaitu ceramah.

III. Alat Bantu/Peraga


1. Sumber listrik
2. Laptop
- Power point
3. Handphone
- Grup whatsapp
Sumber
Allen, J. P., Moore, C., Kuperminc, G., & Bell, K. (1998). Attachment and
Adolescent Psychosocial Functioning. Child Development, 69(5), 1406–
1419. https://doi.org/10.1111/j.1467-8624.1998.tb06220.x
Hazen, E., Schlozman, S., & Beresin, E. (2008). Adolescent psychological
development: A review. Pediatrics in Review, 29(5), 161–168.
https://doi.org/10.1542/pir.29-5-161
Kuhu, A., Kanine, E., & Lolong, J. (2014). Perbedaan Perubahan Aspek
Psikososial Pada Remaja Jalanan Dan Remaja Yang Tinggal Di Panti
Asuhan Di Kota Manado. Jurnal Keperawatan UNSRAT, 2(2), 108596.
Nolen-Hoeksema, S., Morrow, J., & Fredrickson, B. L. (1993). Response Styles
and the Duration of Episodes of Depressed Mood. Journal of Abnormal
Psychology, 102(1), 20–28. https://doi.org/10.1037/0021-843X.102.1.20
Partridge, B. C. (2010). Adolescent psychological development, parenting styles,
and pediatric decision making. Journal of Medicine and Philosophy, 35(5),
518–525. https://doi.org/10.1093/jmp/jhq044
Sanders, R. A. (2013). Adolescent psychosocial, social, and cognitive
development. Pediatrics in Review, 34(8), 354–359.
https://doi.org/10.1542/pir.34-8-354

IV. Kegiatan
Terlampir
Tempat : Via Zoom Meeting

V. Evaluasi :
1. Pemahaman materi yang telah disampaikan
2. X
3. x

LAMPIRAN KEGIATAN
N Kegiatan Materi Waktu Keterangan
O
1 Pendahuluan a. Membuka acara 2 menit
b. Memperkenalkan diri
c. Membuat kontrak waktu
d. Membuat kontrak sistem
penyampaian
2 Penjelasan Menjelaskan materi tentang : 10 menit
Materi a. Keterampilan psikososial
(kesehatan jiwa dan sosial)
remaja
b. Penyebab mual muntah saat
hamil trimester I
c. Cara mengatasi mual muntah saat
hamil trimester I
3 Evaluasi Mengajukan pertanyaan tentang : 5 menit
a. Pemahaman materi yang telah
disampaikan
b. Penyebab mual muntah saat
hamil trimester I
c. Cara mengatasi mual muntah saat
hamil trimester I
4 Penutup Menyimpulkan materi 3 menit
Mengucapkan salam

LAMPIRAN MATERI
Keterampilan Psikososial (Kesehatan Jiwa dan Sosial) Remaja
1. Konsep Kesehatan Jiwa dan Sosial Remaja
Kesehatan jiwa merupakan keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual
maupun sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat
mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan
kontribusi untuk lingkungannya (UU No. 18 Tahun 2014). Sedangkan menurut
Stuart & Laraia (2010) menyatakan kesehatan jiwa merupakan bagian integral
dari kesehatan yang meliputi keadaan sejahtera, seimbang, merasa puas,
pencapain diri dan optimis. Berdasarkan hal tersebut, kesehatan jiwa dapat
diartikan sebagai kondisi dimana individu merasa sehat tidak hanya secara fisik
tetapi juga jiwanya dan ia mampu mengatasi tekanan yang ada dilingkungannya.
Kesehatan jiwa mencakup disetiap perkembangan individu dimulai sejak dalam
kandungan kemudian dilanjutkan ke tahap selanjutnya dimulai bayi (0-18 nulan),
masa toddler (1,5-3 tahun), masa anak-anak awal atau pra sekolah (3-6 bulan),
usia sekolah (6-12 tahun), remaja (12-18 tahun), dewasa muda (18-35 tahun),
dewasa tengah (35-65 tahun), hingga dewasa akhir (> 65 tahun). Kesehatan jiwa
tidak terbatas pada gangguan jiwa saja tetapi mencakup segala aspek kehidupan
manusia mulai dari kondisi sehat, resiko maupun gangguan. Persoalan kesehatan
mental merupakan masalah yang kompleks, tidak hanya berkaitan dengan
professional kesehatan jiwa,pasien dan keluarga saja, tetapi menyangkut masalah
masyarakat yang lebih luas (Ahr, Houde, and Borst, 2016). Kondisi sehat jiwa
dapat tercapai melalui tahap pertumbuhan dan perkembanganyang optimal.
Menurut Kemenkes (2014), pertumbuhan ditandai dengan adanya perubahan
ukuran dan bentuk tubuh atau anggota tubuh, sedangkan perkembangan biasanya
ditandai dengan adanya perkembangan mental, emosional, psikososial,
psikoseksual, nilai moral dan spiritual. Pertumbuhan terjadi secara simultan
dengan perkembangan. Pada saat pertumbuhan berlangsung cepat, perkembangan
pun juga terjadi peningkatan mental, memori dan daya nalar.
Tahap pertumbuhan dan perkembangan psikososial pada individu menurut
Erickson (1950 dalam Wong 2009) terdiri atas delapan tahapan. Setiap tahap
perkembangan ini akan mengalami perubahan dan memerlukan proses adaptasi
untuk mencapai kemampuan optimalnya, setelah melewati perkembangan masa
infant, pra sekolah dan sekolah, individu akan melalui proses masa remaja. Pada
masa remaja ini, masalah kesehatan jiwa perlu menjadi perhatian utama dalam
setiap upaya peningkatan sumber daya manusia, dimana remaja merupakan
generasi yang perlu disiapkan untuk aset kekuatan bangsa. Kejadian gangguan
kesehatan jiwa pada anakdan remaja cenderung meningkat sejalan dengan
permasalahan kehidupan yang semakin kompleks (Hamid, 2010).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar tahun
(2013)menyatakan bahwa prevalensi untuk gangguan mental emosional (cemas
dan depresi) berada paling banyak di usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14
juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Masalah kesehatan ini perlu
menjadi perhatian utama dalam setiap upaya peningkatan sumber daya manusia,
tidak hanya pada orang dewasa tetapi yang perlu juga mendapatkan perhatian
yaitu anak dan remaja, dimana anak dan remaja merupakan generasi yang perlu
disiapkan sebagai aset kekuatan bangsa. Remaja merupakan suatu periode
pertumbuhan dan perkembangan manusia yang terjadi setelah masa kanak-kanak
dan sebelum dewasa, dari usia 10 sampai dengan 19 tahun. Remaja akan melalui
tahapan usia yang dimulai dengan remaja awal mulai usia12-15 tahun, remaja
pertengahan berusia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir yaitu usia 18-21 tahun
(Desmita, 2017). Masa remaja merupakan salah satu transisi penting dalam
rentang kehidupan yang ditandai dengan kecepatan yang luar biasa dalam
pertumbuhan setelah masa kanak-kanak (WHO, 2010). Tidak hanya itu, pada
masa ini juga terjadi perubahan-perubahan yang dialami pada individu saat
memasuki remaja diantaranya adalah perubahan fisik, psikis, sosial dan spiritual.
Pada masa transisi, remaja mengalami pertumbuhan secara fisik serta
menunjukkan perkembangan kognitif yang cukup pesat. Perkembangan kognitif
berguna bagi remaja agar siap menghadapi peran-peran serta tugas-tugas barunya
sebagai orang dewasa (Sarwono, 2011). Remaja memiliki kecenderungan yang
kuat untuk berkelompok dan suka bergabung dengan kelompok remaja yang
sejenis (Sa’id, 2015). Pada saat yang sama, perkembangan moral remaja juga
tengah berada pada tingkatan yang ditandai dengan adanya kecenderungan
tumbuhnya kesadaran bahwa norma-norma yang ada didalam masyarakat perlu
dijadikan acuan dalam hidupnya (Ali&Asrori, 2012).
Adanya pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi dalam diri remaja
menyebabkan kebutuhan - kebutuhan remaja semakin meningkat. Kebutuhan -
kebutuhan pada remaja antara lain kebutuhan akan cinta kasih sayang, dipahami,
diterima oleh teman-teman sebaya, tentunya juga memunculkan tugas-tugas baru
yang harus diselesaikan dan dicapai oleh seorang remaja yang disebut tugas-tugas
perkembangan (Agustiani, 2010).
Menurut Erickson dalam (Desmita, 2017) mengatakan bahwa remaja memiliki
tugas perkembangan yaitu mencapai identitas diri versus bingung peran.
Kemampuan dalam mencapai identitas diri dilakukan melalui serangkaian tugas
perkembangan yang harus diselesaikan oleh remaja. Beberapa tugas
perkembangan yang penting adamasa remaja yaitu mampu menerima keadaan
fisiknya, mampu menerima danmemahami peran seusai dewasa, mamp membina
hubungan baik dengan anggota kelompok, mencapai kemandirian emosional,
mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual, memahami dan
menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa, serta mengembangkan perilaku
tangguang jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.
Adapun tujuan dari tugas perkembangan remaja pencapaian identitas diri ini agar
kelak remaja menjadi individu dewasa yang memiliki sense of self yang sesuai
dan dapat berperan di lingkungan masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Ali dan Asrori (2012) juga menambahkan bahwa jika remaja berhasil
menuntaskan tugas-tugas perkembangan, maka akan menimbulkan fase bahagia
dan membawa kearah keberhasilan dalam melaksanankan tugas-tugas berikutnya.
Dengan tuntasnya tugas-tugas perkembangan, remaja akan merasa bahwa dirinya
mampu mengembangkan kemampuan-kemampuan seperti menerima keadaan diri,
mengembangkan otonomi, mengembangkan hubungan yang positif terhadap
orang lain, menguasai lingkungan sesuai dengan kebutuhan, mengembangkan
tujuan hidup serta merealisasikan pertumbuhan diri. Apabila kemampuan-
kemampuan tesebut berhasil dikembangkan oleh remaja, maka dapat dikatakan
bahwa remaja telah mencapai kesejahteraan psikologis dalam kehidupannya dan
telah mencapai identitas dirinya.
Remaja yang telah mencapai identitas diri mampu menilai diri sendiri, menyukai
dirinya, mampu memperlihatkan kemampuannya, memiliki rencana masa depan,
dapat mengambil keputusan, memiliki tanggung jawab, mandiri, mampu
berinteraksi dan mampu menyelesaikan masalah (CMHN UI, 2017). Selain itu,
remaja yang telah mencapai identitas diri juga cenderung lebih kreatif, otonom
dan menunjukkan kapasitas yang lebih besar dalam menjalin keakraban
(Agustiani, 2010).
Remaja yang mengalami hambatan dalam pencapaian tugas perkembangan yaitu
identitas diri cenderung mengalami gangguan ataupun masalah kesehatan dalam
menjalani kehidupan pada fase remaja. Gangguan perilaku pada anak dan remaja
biasanya timbul pada usia 7–16 tahun dengan karakteristik tingkah laku seperti
agresif, bicara kasar, pelanggaran peraturan-peraturan serta norma yang berlaku
dan perilaku anti sosial lainnya. Remaja yang mengalami penyimpangan atau
kebingung peran tidak menemukan ciri khas pada dirinya, merasa bingung,
bimbang, tidak mampu berinteraksi dengan orang lain, tidak menyukai diri
sendiri, tidak mampu mengambil keputusan, tidak memiiki minat dan tidak
mandiri (Ali & Asrori, 2018). Masalah tersebut dapat bersumber dari remaja
sendiri, hubungan antara remaja dan orang tua,atau akibat interaksi sosial di luar
lingkungan keluarga. Kondisi tersebut dapat berlanjut sampai masa dewasa
sehingga harus segera ditangani dengan mengoptimalkan stimulasi perkembangan
psikososial pada remaja (Keliat, Helena, dan Farida, 2011).
Pemberian asuhan kepada remaja dan keluarga serta edukasi terhadap kelompok
remaja sehat dapat menjadi salah satu upaya untuk mencegah agar tidak terjadi
penyimpangan atau kebingungan peran pada remaja sehingga remaja sehat tidak
termasuk kedalam kelompok resiko.
Pada tahun 1950, Erikson menggambarkan krisis psikososial terjadi selama tahap
ini sebagai "identitas vs. penggabungan peran" (13-19 tahun). Saat remaja
bertransisi ke orang dewasa, mereka mulai memikirkan peran mereka di masa
dewasa.
Awalnya, remaja sudah biasa mengalami peran kebingungan tentang identitas
mereka dan menggambarkan gagasan yang beragam dan perasaan tentang cara
spesifik yang mereka rasakan mereka cocok dengan masyarakat. Akibatnya,
mereka mungkin bereksperimen dengan berbagai perilaku dan aktivitas untuk
memilah identitas ini.
Remaja dapat bereksperimen dengan kelompok teman sebaya yang berbeda atau
gaya berpakaian atau perilaku yang berbeda sebagai cara mencari identitas
mereka. Beberapa tingkat pemberontakan menjauh citra keluarga adalah bagian
dari penelusuran remaja identitas. Erikson menjelaskan bahwa ketidakmampuan
seorang remaja untuk menetap di sebuah identitas atau jalur karir dapat
mengakibatkan krisis identitas. Meskipun tahap ini mungkin berlangsung dalam
waktu singkat, karena perpanjangan masa remaja dan dewasa muda, dengan lebih
banyak remaja mencapai kemajuan gelar atau pelatihan kejuruan, mungkin
membutuhkan lebih banyak waktu bagi pemuda untuk membangun identitas
mereka. Remaja dengan penyakit kronis mungkin lebih sulit mengembangkan
identitas positif atau citra diri karena dampak dari penyakit pada citra tubuh dan
kemampuan yang terbatas untuk mencapainya kemerdekaan. Profesional
perawatan kesehatan anak bisa mendukung pengembangan identitas remaja
dengan memberi semangat orang tua memberikan kesempatan kepada remaja
untuk memiliki ruang dan waktu untuk secara mandiri membuat keputusan
perawatan kesehatan dan untuk berpartisipasi dan mengeksplorasi berbagai
kegiatan yang dapat mempromosikan perkembangan ini. Perkembangan identitas
diri yang tidak memadai dapat terjadi pada harga diri yang buruk pada remaja.
Citra diri yang buruk dan harga diri telah dikaitkan dengan penyesuaian yang
buruk (depresi atau bunuh diri), prestasi sekolah yang rendah, penggunaan
narkoba, dan perilaku pengambilan risiko lainnya. Mendidik orang tua tentang
pentingnya pujian dan penerimaan selama tahap ini mungkin dapat membantu
untuk memastikan bahwa remaja muncul darinya dengan aman identitas.
Kemampuan untuk orientasi masa depan adalah bidang ketiga perkembangan
psikososial remaja. Tahap ini biasanya terjadi pada masa remaja akhir (usia 18-21
tahun). Pemuda telah memperoleh kematangan kognitif itu diperlukan untuk
mengembangkan tujuan yang realistis terkait panggilan atau karir masa depan,
telah mengembangkan rasa identitas diri, dan kemungkinan besar memperbaiki
moral mereka, nilai-nilai agama, dan seksual. Selama waktu inilah remaja juga
berharap untuk diperlakukan sebagai orang dewasa. Ketika otonomi meningkat,
pemuda diberi lebih banyak tanggung jawab. Mereka juga diberikan lebih banyak
akses ke alkohol dan obat-obatan.
Anjuran kepada orang tua dan wali untuk terus memberikan monitoring dan
teladan positif kepada orang tua atau wali perilaku kesehatan dan resolusi konflik
sangat penting untuk memastikan bahwa remaja tetap aman sambil berangsur-
angsur menjadi lebih mandiri.
American Academy of Pediatrics mendukung gaya otoritatif yang dimiliki orang
tua pendekatan yang seimbang dengan cinta tanpa syarat, digabungkan dengan
batasan yang jelas dan disiplin yang konsisten. Perspektif ini didasarkan pada
penelitian yang menunjukkan bahwa remaja yang memiliki orang tua yang
berwibawa tidak mengalami depresi, masuk ke dalam perilaku pengambilan risiko
di usia lanjut, dan sukses lebih baik secara akademis daripada orang tua yang
menggunakan pendekatan lain. Penting juga bagi orang tua untuk mengenalinya
bahwa penerimaan orang tua terhadap perpisahan remaja dan pembentukan
identitas diperlukan untuk harga diri yang sehat dan konsep diri dan
memungkinkan remaja untuk kembali untuk keluarga nanti.
Mulai awal masa remaja, orang tua dan remaja harus dilihat bersama-sama
awalnya untuk menilai emosional dan kejiwaan kesehatan remaja dan memahami
bagaimana dinamika keluarga dapat berkontribusi terhadap gejala yang dialami,
mengidentifikasi bukan hanya sumber stres dalam keluarga tetapi dominan cara
mengatasi stres, dan mendorong keterlibatan orang tua dengan sekolah remaja,
ekstrakurikuler aktivitas, dan pengetahuan tentang teman anak mereka.
Langkah-langkah ini dapat melindungi dari kenakalan masa depan dan perilaku
pengambilan risiko. Menghabiskan waktu secara terpisah dengan orang tua dan
remaja dapat membantu remaja mampu mandiri menyuarakan keprihatinan
tentang informasi kesehatan sekaligus membangun kepercayaan diri. Profesional
perawatan kesehatan dapat menggunakan waktu wawancara untuk mengajukan
pertanyaan terbuka yang memungkinkan remaja untuk mempertimbangkan
berbagai pilihan, membantu remaja memahami bagaimana emosi bisa
mempengaruhi pengambilan keputusan, dan mengidentifikasi aktivitas
pengembangan keterampilan yang mempromosikan harga diri, kemandirian, dan
manajemen diri kondisi medis. Saat hubungan remaja berkembang, mereka
mungkin menjadi tertarik pada kencan, keintiman, dan eksperimen yang
berhubungan dengan seks. Para profesional perawatan kesehatan harus
menciptakan iklim yang peka terhadap masalah pribadi, termasuk perkembangan
identitas seksual dan orientasi seksual, sehingga remaja merasa nyaman
mendiskusikan berbagai jenis aktivitas seksual, fantasi, dan ketertarikan. Remaja
juga membutuhkan informasi kesehatan yang sesuai tentang menghindari
pengambilan risiko perilaku, seperti penggunaan narkoba dan perilaku seksual
yang tidak aman, keterampilan yang meningkatkan kemampuan mereka untuk
menegosiasikan situasi sulit dengan teman sebaya, dan bimbingan karier.

Anda mungkin juga menyukai