Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

PRE-TERM DAN POST-TERM

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Askeb Kehamilan

Dosen Pembimbing:

Neneng Widaningsih, S.ST., M.Keb

Disusun Oleh :

Fikriya Khoerani P17324119410

Widi Putri P17324119436

POLTEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG

JURUSAN KEBIDANAN BANDUNG

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentu kami tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad SAW semoga kita mendapatkan
syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya,
akhirnya kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Pre-term dan Post-term”
dengan baik dan lancar.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
yang telah memberi masukan dan bimbingan kepada kami, kepada orang tua kami, serta kepada
rekan-rekan mahasiswa yang telah memberi dukungan dan kontribusi kepada kami.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bandung, 3 Mei 2021

Kelompok 12

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................2
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................................................3
2 BAB II................................................................................................................................................5
2.1 Pre-Term....................................................................................................................................5
2.1.1 Pengertian Pre-Term.........................................................................................................5
2.1.2 Klasifikasi Pre-term...........................................................................................................5
2.1.3 Patofisiologi Pre-Term.......................................................................................................7
2.1.4 Faktor Resiko dan Faktor Predisposisi Pre-Term.........................................................10
2.1.5 Gejala dan Tanda Pre-Term...........................................................................................16
2.1.6 Dampak dan Komplikasi Pre-Term...............................................................................17
2.1.7 Penanganan Pre-Term.....................................................................................................19
2.1.8 Pencegahan Pre-Term.....................................................................................................20
2.1.9 Peran Bidan......................................................................................................................20
2.2 Post-Term.................................................................................................................................25
2.2.1 Pengertian Post-Term......................................................................................................25
2.2.2 Etiologi Post-Term...........................................................................................................25
2.2.3 Patofisiologi Post-Term...................................................................................................27
2.2.4 Tanda dan Gejala Post-Term..........................................................................................28
2.2.5 Komplikasi Post-Term.....................................................................................................28
2.2.6 Penatalaksanaan Post-Term...........................................................................................31
3 BAB III.............................................................................................................................................33
4 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................34

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Persalinan prematur merupakan persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan
37 minggu (antara 20-37 minggu). Bayi yang dilahirkan memiliki risiko kematian yang
lebih tinggi, risiko penyakit, disabilitas dalam hal motorik jangka panjang, kognitif,
visual, pendengaran, sikap, emosi sosial, kesehatan, dan masalah pertumbuhan jika
dibandingkan dengan bayi normal (Zhang et al., 2012).Persalinan prematur berperan
menyebabkan 65% kasus kematian neonatus dan hampir 50% kasus gangguan
neurologis pada masa kanak-kanak (Holmes, 2011). Di negara Barat sampai 80%
kematian neonatus adalah akibat prematuritas dan pada bayi yang selamat 10%
mengalami permasalahan jangka panjang (Winkjosastro, 2008). Angka kematian bayi
merupakan salah satu indikator menilai derajat kesehatan masyarakat. Angka kematian
bayi di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup
(SDKI, 2012).Perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari)
menjadi penting karena kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 59% kematian
bayi (Syarif, 2017).

Kehamilan post term dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian dan


morbiditas janin dan neonatal serta meningkat morbiditas ibu (Caughey et al., 2007)
dalam (Smulian & Quinones, 2018). Antepartum lahir mati pada dan setelahnya (37-43
minggu kehamilan) adalah masalah kesehatan masyarakat yang utama yang
berkontribusi lebih besar terhadap kematian perinatal daripada kematian akibat
komplikasi prematuritas atau sindrom kematian bayi mendadak (Cotzias et al., 1999)
dalam (Caughey et al., 2009). Peningkatan mortalitas janin dari kehamilan postterm
karena itu dapat dicegah dengan induksi persalinan (iOL) preterm, bagaimanapun, baik
dokter dan pasien sama-sama khawatir tentang risiko induksi persalinan termasuk
stimulasi hiper uterus, gagal induksi dan peningkatan operasi seksio sesarea.
Kehamilan postterm juga berhubungan dengan peningkatan biaya terkait pemantauan
janin antenatal dan induksi persalinan (allen et al., 2005; Fonseca et al., 2003) dan
dapat menjadi sumber yang signifikan kecemasan untuk wanita hamil. Optimalisasi
tekanan yang saling bertentangan ini adalah tantangan klinis.

2
Dengan demikian, kelompok akan membahas mengenai pre-term dan post-term
sebagai bekal kedepannya untuk menjadi bidan dalam mengangani kasus yang pre-term
dan post-term dan dapat melakukan pencegahan/edukasi yang baik kepada calon ibu
maupun ibu yang hamil sehingga tidak menyumbang angka prevalensi untuk pre-term
dan post-term di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Pre-term?
2. Apa saja klasifikasi dari Pre-term?
3. Bagaimana patofisiologi dari Pre-term?
4. Apa saja faktor resiko dan predisposisi dari Pre-term?
5. Apa saja Gejala dan Tanda dari Pre-term?
6. Apa saja dampak dan komplikasi dari Pre-term?
7. Bagaimana penanganan Pre-term?
8. Bagaimana pencegahan Pre-term?
9. Apa yang dimaksud dari Post-term?
10. Bagaimana etiologi dari Post-term?
11. Bagaimana patofiologi dari Post-term?
12. Apa saja tanda dan gejala dari Post-term?
13. Apa saja komplikasi dari Post-term?
14. Bagaimana penatalaksanaan dari Post-term?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Memahami definisi Pre-term.
2. Mengetahui dan memahami klasifikasi Pre-term.
3. Mengetahui dan memahami patofisiologi Pre-term.
4. Mengetahui dan memahami faktor resiko dan predisposisi dari Pre-term.
5. Mengetahui dan memahami tanda dan gejala Pre-term.
6. Mengetahui dan memahami dampak dan komplikasi Pre-term.
7. Mengetahui, memahami, dan mampu menerapkan penanganan Pre-Term.
8. Mengetahui, memahami, dan mampu menerapkan pencegahan Pre-term.
9. Memahami definisi Post-term.
10. Mengetahui dan memahami etiologi Post-term.
11. Mengetahui dan memahami patofisiologi Post-term.
12. Mengetahui dan memahami tanda dan gejala Post-term.

3
13. Mengetahui dan memahami komplikasi Post-term.
14. Mengetahui,memahami, dan mampu menerapkan penatalaksanaan dari obesitas.

4
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pre-Term
2.1.1 Pengertian Pre-Term
Persalinan preterm adalah istilah yang digunakan untuk persalinan yang terjadi terlalu
awal  ( dalam ukuran waktu/usia hamil ). Pada tahun 1872  setiap bayi lahir tidak pernah
ditimbang. Ranson (1900) mengemukakan bahwa di USA saat itu beribu-ribu bayi lahir
prematur, sebagian besar mati begitu saja tanpa tindakan-tindakan penyelamatan yang
berarti. Dengan kemajuan ilmu diabad 20, maka kita makin sadar bahwa bayi-bayi
preterm memerlukan perawatan khusus , dibuktikan dengan pengembangan dibidang
perawatan intensif neonatal. Prematuritas ini menjadi masalah nasional oleh karena
memberikan kontribusi pada kematian bayi yang cukup tinggi, padahal kematian bayi ini
menjadi tolok ukur untuk sistem pelayanan kesehatan secara international. Sebagai
contoh tahun 1993, USA menempati urutan ke 22 setelah Jepang, Singapura, Jerman dan
sebagian besar negara -negara Skandinavia (Paneth 1995). Negara-negara yang
mempunyai angka persalinan preterm yang cukup tinggi makin tinggi pula angka
kematian bayinya. Tahun 1994 di USA ditemukan 31.000 bayi meninggal, dimana 63%
meninggal dalam 4 minggu pertama kelahiran (0-27 hari) dan prematuritas memberikan
kontribusi paling sedikit 2/3 dari kematian bayi ini.
Kelahiran preterm didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan kurang dari 37 minggu atau 259 hari kehamilan. Bayi -bayi yang lahir
prematur memiliki tingkat penyakit yang lebih tinggi seperticerebral palsy, defisit
sensorik, retinopati, dan gangguan pernapasan dibandingkan dengan anak-anak yang
lahir pada saat aterm (WHO, 2010).
Kelahiran preterm adalah kelahiran bayi dengan usia kehamilan tidak lengkap 37
minggu. Terdapat pengkatagorian terhadap kelahian preterm berdasarkan usia
kehamilammya, yaitu ekstrem (kurang dari 28 minggu), sangat preterm (28-32 minggu),
dan mooderat (32-36 minggu) (Nasution, 2017).

2.1.2 Klasifikasi Pre-term


A. Menurut kejadiannya, persalinan prematur digolongkan menjadi:
1) Idiopatik/spontan

5
Kurang lebih 50% penyebab persalinan prematur tidak diketahui, oleh karena itu
digolongkan pada kelompok idiopatik atau persalinan premature spontan. Termasuk
ke dalam golongan ini antara lain persalinan prematur akibat kehamilan kembar, poli
hidramnion atau persalinan prematur yang didasari oleh faktor psikososial dan gaya
hidup. Persalinan prematur spontan didahului oleh ketuban pecah dini yang berkisar
13,5%, yang sebagian besar disebabkan karena faktor infeksi (korioamnionitis).
Saat ini penggolongan idiopatik dianggap berlebihan, karena setelah diketahui
banyak faktor yang terlibat dalam persalinan prematur, oleh karena itu sebagian besar
penyebab persalinan prematur dapat digolongkan ke dalamnya. Apabila tidak terdapat
faktor-faktor lain sehingga penyebab prematuritas tidak dapat diterangkan, maka
penyebab persalinan prematur ini disebut idiopatik (Niswah, 2016).
2) Iatrogenik/elektif
Perkembangan teknologi kedokteran dan perkembangan etika kedokteran
menempatkan janin sebagai individu yang mempunyai hak atas kehidupannya (fetus
as a patient), sehingga apabila kelanjutan kehamilan diduga dapat membahayakan
janin, janin akan dipindahkan ke dalam lingkungan luar yang dianggap lebih baik dari
rahim ibunya sebagai tempat kelangsungan hidupnya. Kondisi tersebut juga disebut
Elective preterm.
Keadaan ibu yang sering menyebabkan persalinan prematur elektif seperti
preeklamsi berat dan eklamsi, perdarahan antepartum (plasenta previa dan solusio
plasenta), korioamnionitis, penyakit jantung yang beraat atau penyakit paru/ginjal
yang berat. Selain keadaan ibu, keadaan janin juga dapat menyebabkan persalinan
prematur dilakukan adalah gawat janin (hipoksia, asidosis atau gangguan jantung
janin), infeksi intrauterine, pertumbuhan janin terhambat (IUGR) serta isoimunisasi
rhesus (Niswah, 2016).
B. Menurut usia kehamilannya persalinan prematur dapat diklasifikasikan sebagai
berikut (Niswah, 2016) :
1) Usia kehamilan 32-36 minggu disebut persalinan prematur (preterm)
2) usia kehamilan 28-31 minggu disebut persalinan sangat prematur (very preterm)

Usia kehamilan 20 – 27 minggu disebut persalinan ekstrim prematur (extremely


preterm)

6
2.1.3 Patofisiologi Pre-Term
Penyebab persalinan prematur dapat dikelompokan dalam 4 golongan yaitu
(Niswah, 2016) :
1) Aktivitas aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) janin atau ibu stress :
Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang
mengancam atau yang dianggap mengancam homeostatis pasien, akan mengakibatkan
aktivasi prematur aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) janin atau ibu. Stress
semakin diakui sebagi faktor risiko penting untuk persaliana prematur. Beberapa
penelitian telah menemukan 50% hingga 100% kanaikan angka persalinan prematur
berhubungan dengan stres pada ibu, dan biasanya merupakan gabungan dari proses
perilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan persalinan prematur terkait stress.
Proses yang paling penting, yang menghubungkan stress dan kelahiran
prematur ialah neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksisi HPA.
Proses ini dimediasi oleh corticotrophinreleasing hormone (CRH) plasenta. Penelitian
in vitro pada sel plasenta manusia menunjukkan CRH dilepaskan dari kultur sel
semua efektor biologi utama stre, termasuk kortisol, katekolamin, oksitosin,
angiotensin II, dan interleukin-1 (IL-1). Dalam penelitian in vivo juga ditemukan
hubungan yang signifikan antara stress psikososial ibu dan kadar CRH, ACTH, dan
kortisol plasma ibu. Hobel dkk, melakukan penelitian kadar CRH serial selama
kehamilan dan menemukan bahwa dibandingka dengan wanita yang melahirkan
cukup bulan, wanita yang melahirkan prematur memilki kadar CRH yang meningkat
secara signifikan . selain itu, mereka menemukan bahwa tingkat stress psikososial ibu
pada pertengahan kehamilan secara signifikan dapat memprediksi besarnya
peningkatan CRH ibu diantara pertengahan kehamilan dan setelahnya.
Hubungan antara stres psikologis ibu dan prematuritas dimediasi oleh
peningkatan prematur dari ekspresi CRH plasenta. Pada persalinan cukup bulan,
aktivasi CRH plasenta sebagian besar didorong oleh aksis HPA janin dalam suatu
feedback psitif pada pematangan janin. Pada persalinan prematur, aksis HPA ibu
dapat mendorong ekspresi CRH plasenta. Stress pada ibu tanpa adanya penyebab
persalinan prematur lainnya, seperti infeksi akan menyebabkan peningkatan efektor
biologi dari stress termasuk kortisol dan epinefrin yang dapat menstimulasi janin
untuk mensekresi kortisol dan dehydroepian drosterone synthase (DHEA-S) (melalui
aktivasi aksis HPA janin) dan menstimulasi plasenta untuk mensintesis estriol dan
prostaglandin, sehingga mempercepat persalinan premature (Niswah, 2016).
7
2) Inflamasi dan infeksi :
Infeksi menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam persalinan
prematur. Diawali oleh aktivasi fosfolipase A2 yang dihasilkan oleh banyak
mikroorganisme. Fosfolipase A2akan memecahkan asam arakidonat dari selaput
amnion janin, sehingga asam arakidonat bebas meningkat untuk sintesis
prostaglandin. Selain itu, endotoksin (lipoposakarida) bakteri dalam cairan amnion
akan merangsang sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan prostaglandin yang
dapat menginisiasi proses persalinan. Berbagai sitokin, termasuk interleukin-1 (IL-1),
interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosis factor (TNF) adalah produk sekretorik yang
dikaitkan dengan persalinan prematur. Sementara itu, platelet activating factor (PAF)
yang ditemukan dalam cairan amnion terlibat secara sinergik pada aktivasi jalinan
sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan oleh paru dan ginjal janin. Oleh karenanya, janin
tampaknya memainkan peran yang sinergik untuk inisiasi kelahiran prematur yang
disebabkan oleh infeksi bacterial. Secara teologis, hal ini kemungkinan
menguntungkan bagi janin yang ingin melepaskan dirinya dan lingkungan yang
terinfeksi.
Endotoksin mikroba dan proinflammantori sitokin akan merangsang produksi
prostaglandin, mediator inflammantory lainnya, serta matrix-degrading enzymes.
Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus, dan berperan dalam mengatur
metabolism matriks ekstraselular pada membrane amnion akan menyebabkan ketuban
pecah dini yang kemudian menyebabkan persalinan premature Endotoksin mikroba
akan merangsang produksi progesterone melalui pemecahan asam arakidonat, dan
bersama sitokin akan meningkatkan ekpresi PGHS-2 (prostaglandin H synthase), dan
menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase). Meningkatnya
PGHS-2 akan menstimulasi sintesis prostaglandin. Sedangkan downregulation PGDH
akan meningkatkan ratio prostaglandin (PG) terhadap prostaglandin metabolite
(PGM), yang akan meningkatkan aktivasi uterus, pematangan serviks, dan rupturnya
membran amnion
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan persalinan prematur meliputi
infeksi intrauterine, infeksi saluran kemih, infeksi sistemik ibu, bakteriuria
asimptomatik, dan periodontitis ibu (Behrman, 2007).Mikroorganisme yang umum
dilaporkan pada rongga amnion adalah genital Mycoplasma spp, dan ureaplasma
urealyticum. Beberapa mikroorganisme yang umum pada saluran genitalia bawah,
seperti streptococcus agalactiae, jarang tampak pada rongga amnion sebelum selaput

8
amnion pecah. Rongga amnion biasanya steril dari bakteri, dan adanya bakteri yang
jumlahnya cukup signifikan pada membrane amnion diduga melalui mekanisme
sebagai berikut :
1. Secara ascending dari vagina dan serviks
2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta
3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasive
4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.
3) Perdarahan desidua :
Perdarahan desidua dapat menyebabkan persalinan prematur. Lesi vascular
dari plasenta biasanya dihubungkan dengan persalinan prematur dan ketuban pecah
dini. Lesi plasenta dilaporkan 34% dari wanita dengan persalinan prematur, 35% dari
wanita dengan ketuban pecah dini , dan 12% kelahiran cukup bulan tanpa komplikasi.
Lesi ini dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari
arteri spiralis, atherosis, dan thrombosis arteri ibu dan janin. Diperkirakan mekanisme
yang menghubungkan lesi vascular dengan persalinan prematur ialah iskemi
uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas, namun thrombin diperkirakan
memainkan peran utama. (Behrman, 2007) terlepas dari peran penting dalam
koagulasi, thrombin merupakan protease multifungsi yang memunculkan aktivitas
kontraksi dari vascular, intestinal, dan otot halus miometrium, secara in vitro.
Observasi in vitro mengenai thrombin dan kontraksi miometrium secara signifikan
menurun dengan pemberian heparin yang diketahui merupakan inhibitor thrombin.
Penelitian in vitro dan in vivo memberikan penjelasan kemungkinan mekanik
mengenai peningkatan aktivitas uterus secara klinis yang diamati pada abrupsi
plasenta serta persalinan prematur yang mengikuti perdarahan pada trimester pertama
dan kedua.
Mungkin juga terdapat hubungan antara thrombin dan ketuban pecah dini.
Matrix metalioproteinase (MMPs) memecah matriks ekstraseluler dari membrane
janin dan choriodesidua, serta terlibat terhadap ketuban pecah dini. Secara in vitro,
thrombin meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan MMP-9 pada sel-sel
desidua dan membrane janin dikumpulkan dari kehamilan cukup bulan tanpa
komplikasi. Thrombin juga menimbulkan peningkatan IL-8 desidua, sebuah sitokin
yang bertanggung jawab terhadap recruitement neutrofil. Abrupsi plasenta terbuka,
sebuah contoh ekstrim dari perdarahan desidua, ditandai infiltrasi neutrofil pada

9
desidua, sumber yang kaya protease dan MMPs. Hal ini akan melengkapi mekanisme
ketuban pecah dini pada perdarahan desidua (Niswah, 2016).
4) Peregangan yang berlebihan pada uterus :
Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai persalinan
prematur yang berhubungan dngan kehamilan multiple, polihidramnion, dan
makrosomia. Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan
persalinan prematur masih belum jelas. Namun diketahui, peregangan rahim akan
menginduksi ekspresi protein gap junction, seperti connexin-43 (CX-43) dan CX-26,
serta menginduksi protein lainnya yang berhubungan dengan kontraksi, seperti
reseptor oksitosin. Pada penelitian in vitro, regangan miometrium juga meningkatkan
prostaglandin H synthase 2 (PGHS-2) dan prostaglandin E (PGE). Regangan otot
pada segmen menunjukkan peningkatan produksi IL-8 dan kolagen, yang pada
gilirannya akan memfasilitasi pematangan serviks (Niswah, 2016)

2.1.4 Faktor Resiko dan Faktor Predisposisi Pre-Term


A. Faktor psiko-sosial :
a) Kecemasan dan depresi
Gangguan kecemasan dan depresi pada ibu hamil berpengaruh terhadap timbulnya
penyakit dan komplikasi kehamilan maupun persalinan baik pada ibu maupun
bayi. Gejala depresi dapat terjadi tumpang tindih dengan gejala kecemasan.
Depresi yang tidak diobati selama kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko
bunuh diri, keguguran, kelahiran prematur, pertumbuhan janin yang buruk dan
gangguan janin serta perkembangan pasca kelahiran. Gangguan kecemasan lebih
didomnasi keluhan perasaan ketakutan dan kekhawatiran, sedangkan depresi
didominasi perasaan kemurugan dan kesedihan. Ibu yang mengalami depressive
symptoms berisiko melahirkan prematur 3,3 kali dibandingkan dengan yang tidak
mengalami depressive symptoms (Niswah, 2016).
b) Stress
Stress pada ibu dapat mengakibatkan kadar katekolamin dan kortisol yang akan
mengakibatkan aktifnya placental corticotrophin releasing hormone dan
mempresipitasi persalinan melalui jalur biologis. Stress juga mengganggu fungsi
imunitas yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi atau infeksi intramnion dan
akhirnya merangsang proses persalinan. Moutquin, membuktikan bahwa stress
yang berhubungan dengan kejadian prematuritas adalah adanya kematian,

10
keluarga yang sakit, kekerasan dalam rumah tangga atau masalah keuangan
(Niswah, 2016).
c) Pekerjaan ibu
Kejadian persalinan prematur lebih rendah pada ibu hamil yang bukan pekerja
dibandingkan dengan ibu pekerja yang hamil. Pekerjaan ibu dapat meningkatkan
kejadian persalinan prematur baik melalui kelelahan fisik atau stress, yang timbul
akibat pekerjaannya. Jenis pekerjaan yang berpengaruh 25 terhadap peningkatan
kejadian prematuritas adalah bekerja terlalu lama (over work hours), pekerjaan
fisik yang berat, dan pekerjaan yang menimbulkan stress (Niswah, 2016).
d) Perilaku ibu
1. Merokok (Paparan rokok)
Ibu hamil yang terpapar asap rokok dapat mengalami gangguan selama
kehamilan seperti abortus, berat badan lahir rendah, preeklamsia, abruption
plasenta, dan ketuban pecah dini. Hal ini terjadi karena kandungan tar dalam
asap rokok merupakan radikal bebas yang akan merusak kmponen molekul
utama dari sel tubuh dan dapat mengganggu integritas sel, berkurangnya
elastisitas membrane, termasuk selaput ketuban sehingga rentan mengalami
rupture.
Asap rokok merupakan sumber utama polusi udara dalam ruangan dan
lebih berbahaya terhadap perokok pasif daripada perokok aktif. Asap rokok
yang dihembuskan oleh perokok aktif kemudian terhirup oleh perokok pasif,
lima kali lebih banyak mengandung karbon monoksida, empat kali lebih
banyak mengandung tar dan nikotin. Paparan asap rokok terus menerus selama
kehamilan dapat meningkatkan risiko persalinan prematur sebesar 3,7 kali
dibandingkan wanita yang tidak terpapar asap rokok. Paparan asap rokok ini
dapat terjadi di rumah, tempat kerja maupun tempat-tempat umum lainnya
(Niswah, 2016).
2. Aktivitas Seksual
Hubungan seksual saat hamil bukan merupakan halangan, asalkan
dilakukan dengan hati-hati. Sering dijumpai bahwa hubungan seksual dapat
menimbulkan abortus, persalinan prematur. Dengan riwayat yang buruk,
hubungan seksual setelah kehamilan 30 minggu berbahaya karena terdapat
kemungkinan persalinan prematur. Cairan prostat mengandung banyak

11
prostaglandine sehingga dapat merangsang timbulnya His (kontraksi) yang
akan terus berlanjut menuju persalinan premature (Niswah, 2016).
e) Status gizi
Status gizi ibu yang kurang baik sebelum dan selama kehamilan merupakan
penyebab utama dari berbagai persoalan kesehatan yang serius pada ibu dan bayi,
yang berakibat terjadinya bayi lahir dengan berat badan rendah, kelahiran
prematur, serta kematian neonatal. Berat badan sebelum hamil, penambahan berat
badan hamil, Lila (lingkar lengan atas) dan indeks massa tubuh (IMT) merupakan
indikator yang dipakai untuk menentukan status gizi ibu (Niswah, 2016).
f) Indeks Massa Tubuh sebelum hamil
Berat badan sebelum hamil berhubungan dengan pola makan/diet. Berat badan
sebelum hamil yang rendah berhubungan dengan kejadian persalinan prematur.
Ibu dengan Indeks Massa Tubuh yang rendah mempunyai risiko 3,7 lebih tinggi
untuk mengalami persalinan prematur dibandingkan ibu yang mempunyai IMT
normal.
Indeks Masaa Tubuh sebelum hamil merupakan cerminan status gizi sebelum
hamil. Status gizi ibu hamil akan menentukan status kesehatan bayi yang akan
dilahirkan. Status gizi ibu sebelum hamil menandakan cadangan energy yang akan
digunakan untuk masa kehamilan (Niswah, 2016).
B. Faktor Demografis :
a) Umur ibu
Ibu hamil usia < 16 tahun / > 35 tahun mengalami persalinan preterm,
Kehamilan remaja yang berusia diatas 16 tahun, terutama yang secara riwayat
ginekologis juga muda (remaja yang mendapatkan haid pertamanya kurang dari 2
tahun sebelum kehamilannya) akan meningkatkan kejadian persalinan prematur
pada usia kehamilan kurang dari 33 minggu. Mekanisme biologis peningkatan
kejadian persalinan prematur pada ibu remaja dimana peredaran darah menuju
serviks dan uterus pada remaja umumnya belum sempurna dan hal ini
menyebabkan pemberian nutrisi pada janin remaja hamil berkurang. Demikian
juga peredaran darah yang kurang pada saluran genital menyebabkan infeksi
meningkat yang akan menyebabkan persalinan prematur meningkat (Krisnadi, et
all., 2009). Semakin tua umur ibu saat melahirkan (> 35 tahun) berhubungan
dengan meningkatnya penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes mellitus

12
dan plasenta previa yang akan mengakibatkan peningkatan kejadian kelahiran
prematur, IUGR, kematian perinatal, dan morbiditas neonatal (Niswah, 2016).
Banyak studi menemukan adanya hubungan yang kuat antara peluang
kematian anak dan pola fertilitas. Secara umum, peluang anak meninggal adalah
lebih tinggi pada anak yang dilahirkan oleh ibu yang berumur terlalu tua atau
terlalu muda (Kemenkes RI, 2012). Secara fisik alat reproduki pada usia < 20
tahun belum terbentuk sempurna, pada umumnya rahim rahim masih relatif kecil
karena pembentukan belum sempurna dan pertumbuhan tulang panggul belum
belum cukup lebar. Pada usia < 20 tahun kondisi ibu juga masih dalam tahap
pertumbuhan sehingga masukan makanan banyak dipakai untuk ibu sehingga
mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin. Sedangkan pada usia > 35 tahun
risiko terjadinya komplikasi kehamilan juga meningkat yang berdampak pada
morbiditas dan mortalitas bayi yang akan dilahirkan (Wahyuni & Rohani, 2017).
b) Kondisi sosio-ekonomi
Sosio ekonomi masyarakat sering dinyatakan dengan pendapatan keluarga,
mencerminkan kemampuan masyarakat dari segi ekonomi dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan dan kesehatan serta pemenuhan gizi.
Selain itu juga sosial ekonomi seseorang mempengaruhi kemampuan
mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai misalnya, kemampuan untuk
melakukan kunjungan prematal untuk memeriksakan keadaan janin, mengetahui
ada atau tidaknya komplikasi kehamilan.
Sosial ekonomi rendah memiliki resiko 2.455 kali mengalami kelahiran
preterm dibandingkan dengan ibu dengan keadaan sosial ekonomi tinggi. Faktor
sosial ekonomi terkait dengan nutrisi ibu selama kehamilan dari hasil
penelitian bahwa cukup pasokan nutrisi adalah faktor lingkungan yang
paling penting yang mempengaruhi hasil kehamilan. Kekurangan gizi pada ibu
dapat berkontribusi pada peningkatan insidensi kelahiran prematur dan
pertumbuhan retardasi janin serta peningkatan resiko kematian ibu dan
morbiditas (Niswah, 2016).
C. Faktor Maternal
a) Ketuban Pecah Dini Prematur
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan.
Apabila ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut ketuban
pecah dini pada kehamilan prematur. Pecahnya selaput ketuban berhubungan
13
dengan perubahan proses biokimia yang terjadi dalam kolagen matriks ekstra
selular amnion, korion, dan apoptosis membrane janin. Membrane janin dan
desidua bereaksi terhadap stimulti seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban
dengan memproduksi mediator sperti prostaglandin, sitokinin, dan protein
hormone yang merangsang aktivitas “matrix degrading enzym”.
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini dapat berupa infeksi
maternal maupun neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali
pusat, deformitas janin, serta meningkatnya insiden seksio sesarea (Niswah,
2016).
b) Inkompetensi Serviks
Inkompetensi serviks ditandai oleh embukaan serviks tanpa nyeri pada
trimester kedua atau mungkin awal trimester ketiga, disertai prolaps dan
penggelembungan membrane ke dalam vagina, diikuti oleh rupture membrane dan
ekspulsi janin imatur. Persalinan prematur dapat juga berlangsung karena janin
dengan cairan ketubannya terlalu berat untuk disangga oleh rahim dengan serviks
inkompeten, ketuban dapat segera pecah atau didahului kontraksi rahim (Niswah,
2016).
c) Riwayat Reproduksi
1. Paritas
Kejadian partus prematur mempunyai hubungan yang bermakna dimana
pada wanita yang paritasnya lebih dari 3 ada kecenderungan mempunyai risiko
sebesar 0,56 kali lebih besar untuk melahirkan bayi prematur bila
dibandingkan dengan wanita yang paritasnya kurang dari 3 (Wahyuni &
Rohani, 2017).
Ibu yang belum pernah hamil ataupun melahirkan memiliki resiko
kesehatan yang lebih besar dibandingkan dengan ibu yang pernah melahirkan
1 atau 2 kali. Hal ini disebabkan karena kehamilan merupakan hal yang
pertama kali dialami oleh ibu. Ibu hamil dengan kehamilan pertama sering kali
mengalami banyak ketakutan selama masa kehamilannya. Hal tersebut dapat
meningkatkan efek stress pada ibu sehingga dapat memicu terjadinya
persalinan preterm (Puspita et al., 2019).
Sebaliknya jika terlalu sering melahirkan, rahim akan menjadi semakin
lemah karena jaringan parut uterus akibat kehamilan berulang. Jaringan parut

14
ini menyebabkan tidak adekuatnya persediaan darah ke plasenta, sehingga
plasenta tidak mendapat aliran darah yang cukup untuk menyalurkan nutrisi ke
janin akibatnya pertumbuhan janin terganggu. Hal tersebut akan meningkatkan
resiko terjadinya persalinan preterm (Puspita et al., 2019).
2. Riwayat persalinan premature
Riwayat persalinan prematur merupakan faktor yang sangat erat dengan
persalinan prematur berikutnya. Risiko persalinan prematur meningkat 3 kali
lipat dibanding dengan wanita yang bayi pertamanya mencapai aterm.
Persentase kemungkinan persalinan prematur berulang pada ibu hamil yang
pernah mengalami 1 kali persalinan prematur sebesar 15%, sedangkan pada
ibu yang pernah mengalami persalinan prematur 2 kali mempunyai risiko 32%
untuk mengalami persalinan premature (Niswah, 2016).
3. Riwayat Ketuban Pecah Dini (KPD)
Risiko persalinan prematur pada ibu dengan riwayat KPD saat kehamilan
< 37 minggu (PPROM, Peterm Prematur Rupture of Membrane) adalah 34-
44%, sedangkan risiko untuk mengalami PPROM kembali sekitar 16-32%
(Niswah, 2016).
D. Penyakit Medis
a) Anemia
Anemia adalah suatu kondisi dimana konsentrasi hemoglobin darah dibawah
11 g/dl. Di Indonesia anemia umumnya disebabkan kekurangan zat besi, sehingga
lebih dikenal dengan istilah anemia gizi besi. Anemia defisiensi besi merupakan
salah satu gagguan yang paling sering terjadi selama kehamilan. Ibu hamil yang
memiliki konsentrasi hemoglobin rendah akan berbahaya bagi dirinya 37 dan bayi
yang dikandungnya. Hemoglobin merupakan zat yang berfungsi mengangkut
oksigen ke seluruh jaringan tubuh termasuk janin yang dikandung ibu(UNESSA).
Dari hasil penelitian terdapat pengaruh anemia terhadap persalinan preterm, dalam
penelitian ini jumlah responden melahirkan preterm yang mengalami anemia lebih
banyak dibandingkan tidak anemia (Rahmawati, 2013).
Hasil penelitian yang dilakukan Ningrum dkk tahun 2016 menunjukkan bahwa
anemia berhubungan dengan kejadian persalinan preterm dengan OR: 2,604. Hal
ini menunjukkan bahwa anemia merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
persalinan preterm. Selain itu kurangnya asupan nutrisi bagi janin dapat

15
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat yang dapat memungkinkan janin lahir
dengan berat badan rendah (Puspita et al., 2019).
b) Preeklampsia / eklampsia
Preeklamsi dan eklamsi adalah penyakit hipertensi yang khas dalam
kehamilan, dengan gejala utama hipertensi yang akut pada wanita hamil dan
wanita dalam masa nifas. Pada tingkat tanpa kejang disebut eklamsi. Preeklamsi
eklamsi akan mengakibatkan gangguan fungsi plasenta, selain itu kenaikan tonus
uterus dan kepekaan terhadap rangsangan sering didapat pada preeklamsi
eklamsia sehingga mudah terjadi persalinan preterm (Puspita et al., 2019).
E. Faktor janin dan plasenta
a) Kehamilan kembar
Rata-rata kehamilan kembar dua hanya mencapai usia kehamilan 35 minggu,
sekitar 60% mengalami persalinan prematur pada usia kehamilan 32 minggu
sampai < 37 minggu dan 12% terjadi persalinan sebelum usia kehamilan 32
minggu. Pada kehamilan triplet (kembar 3) rata-rata kehamilannya hanya akan
mencapai 29,9 minggu, quadruplet (kembar empat) hanya mencapai 29,9 minggu,
dan quintuplet (kembar 5) 100% akan lahir prematur dalam usia kehamilan < 29
minggu apabila tidak dilakukan intervensi yang baik (Puspita et al., 2019).
b) Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah umur kehamilan
28 minggu. Kalsifikasi klinis perdarahan antepartum adalah plasenta previa,
solusio plasenta, vasa previa, perdarahan yang belum jelas sumbernya. Perdarahan
yang belum jelas sumbernya mugkin disebabkan oleh rupture sinus marginalis
maupun vasa previa. Vasa previa baru menimbulkan perdarahan antepartum
setelah pemecahan selaput ketuban (Puspita et al., 2019).
c) Polihidramnion
Polihidramnion adalah keadaan cairan amnion yang berlebihan, yaitu lebih
dari 2000 ml. peregangan uterus pada kehamilan dengan polihidramnion dapat
menyebabkan regangan selaput ketuban dan meningkatkn resiko KPD. KPD
merupakan salah satu faktor resiko persalinan preterm, jadi kehamilan dengan
polihidramnion meningkatkan resiko persalinan preterm (Puspita et al., 2019)

16
2.1.5 Gejala dan Tanda Pre-Term
Kontraksi atau his yang reguler pada kehamilan kurang dari 37 minggu merupakan
gejala pertama. Kontraksi empat kali dalam dua puluh menit atau delapan kali dalam
enam puluh menit ditambah perubahan progresif pada leher rahim. Terdapat pula
dilatasi serviks lebih besar dari satu sentimeter dan pendataran serviks 80% atau lebih
besar. Selain kontraksi rahim yang disertai atau tanpa nyeri, gejala seperti penekanan
panggul, kram seperti saat menstruasi, cairan vagina encer, dan nyeri pinggang
belakang, secara empiris berhubungan dengan kelahiran kurang bulan yang akan atau
sedang berlangsung (Nasution, 2017).
Menurut Manuaba (2007) Ada beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis
persalinan prematur sebelum persalinan berlangsung, yaitu :
a. Terdapat nyeri di pinggang bagian belakang
b. Rasa tertekan pada perut bagian bawah
c. Terdapat kontraksi irregular sejak sekitar 24-48 jam
d. Presntasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika
e. Terdapat pembawa tanda seperti bertambahnya cairan vagina dan terdapat lendir
bercampur darah
f. Selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya persalinan prematur.
Jika proses persalinan prematur berkelanjutan, akan terjadi gejala klinik berikutnya:
a. Kontraksi uterus berlangsung sekitar 4 kali per 20 menit atau 8 kali per 60 menit
b. Terjadi perubahan progresif serviks, yaitu pembukaan lebih 1 cm, perlunakan sekitar
75-80% bahkan terjadi penipisan serviks.

2.1.6 Dampak dan Komplikasi Pre-Term


Pada bayi preterm kecil sering terjadi masalah yang berat misalnya sukar bernafas,
kesukaran pemberian minum, ikterus berat dan infeksi. Bayi rentan terjadi hipotermia
jika tidak dalam inkubator (JNPKR, 2009). Permasalahan yang terjadi pada persalinan
preterm bukan saja pada kematian perinatal, melainkan bayi preterm ini sering pula
disertai dengan kelainan, baik kelainan jangka pendek maupun jangka panjang.
Kelainan jangka pendek yang sering terjadi adalah: RDS (Respiratory Distress
Syndrome), perdarahan intra/periventrikular, NEC (Necrotizing Entero Cilitis), displasi
bronko-pulmonar, sepsis, dan paten duktus arteriosus (Wahyuni & Rohani, 2017).
Komplikasi jangka pendek pada bayi preterm selalu dikaitkan dengan pematangan
paru janin yang belum sempurna. Bayi-bayi yang lahir pada usia hamil 23-24 minggu

17
yang berhasil diselamatkan menunjukkan komplikasi kelainan otak yang cukup berarti
(79% atau lebih). Adapun kelainan jangka panjang sering berupa kelainan neurologik
seperti cerebral palfsi, retinopati, retardasi mental, juga dapat terjadi disfungsi
neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik. Sisi lain yang harus
diperhatikan dalam menangani bayi preterm terutama bayi dengan berat lahir sangat
rendah (< 1.500 gram), yaitu biaya yang sangat mahal dan meminta tenaga yang
banyak (Wahyuni & Rohani, 2017).
a) Paru-paru
Masalah jangka pendek pada paru–paru antara lain sindrom distress pernapasan
kebocoran udara, displasia bronkopulmoner, apnea prematuritas. Masalah jangka
panjang pada paru–paru antara lain displasia bronkopulmoner, penyakit jalan napas
reaktif, dan asma.
Bantuan pernapasan dengan menggunakan alat ventilasi mekanik bisa
menyelamatkan nyawa, tetapi dapat mengakibatkan luka pada paru-paru. Terdapat
pula pilihan bantuan lain dengan menggunakan bantuan ventilasi hidung. Bayi dengan
gangguan pernapasan pada saat lahir harus dirawat secara intensif, tidak hanya untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang bersifat fatal, tetapi juga untuk mencegah
kelainan jangka panjang yang dapat dimiliki bayi seiring masa tumbuh kembangnya
(Nasution, 2017).
b) Pencernaan dan nutrisi
Masalah jangka pendek pada saluran pencernaan dan nutrisi, yaitu
hiperbilirubinemia, gangguan makan, enterokolitis nekrotikan, gangguan
pertumbuhan. Masalah jangka panjang pada saluran pencernaan dan nutrisi, yaitu
gagal tumbuh, sindrom short Bowel, dan kolestasis.
Neonatal dengan riwayat kelahiran preterm memiliki permeabilitas usus yang
lebih tinggi, yang dapat menyebabkan translokasi bakteri ke jaringan dan organ
sistemik. Kombinasi dengan imaturitas system imun, mengakibatkan risiko infeksi
sistemik meningkat, khususnya bakteri patogen yang bekemampuan untuk translokasi
(Nasution, 2017).
c) Imunologi
Masalah jangka pendek pada sistem imunologi, yaitu infeksi nosokomial,
immunodeficiency, infeksi perinatal. Masalah jangka panjang pada sistem imunologi,
yaitu infeksi RSV (respiratory syncyitial virus), dan bronkiolitis.

18
Masalah imunologi sangat berpengaru terhadap tumbuh kembang neonatal, sebab
bayi dan anak sangat rentan terhadap terjadinya infeksi. Infeksi pada masa neonatal
dengan berat badan lahir yang rendah memiliki hubungan dengan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan, khususnya system saraf dan kognitif (Nasution,
2017).
d) Sistem Saraf Pusat (SSP)
Masalah jangka pendek pada system saraf pusat, yaitu perdarahan intraventrikel,
leukomalasia periventrikel, dan hidrosefalus. Masalah jangka panjang pada system
saraf pusat, yaitu cerebral palsy, hidrosefalus atrofi serebral, hambatan perkembangan
neuron, dan gangguan pendengaran.
Disabilitas anak dalam tumbuh kembangnya merupakan kejadian yang sering
terjadi, khususnya pada anak dengan riwayat kelahiran preterm ekstrem.
Perkembangan mental dan fungsi psikomotor, fungsi neuromotor, atau pun sensorik
dan komunikasi sering terganggu pada perkembangan bayi, dan terutama terlihat pada
masa kanak (Nasution, 2017).
e) Sistem Oftalmologi
Masalah jangka pendek pada sistem oftalmologi adalah retinopati prematuritas.
Masalah jangka panjang pada sistem oftalmologi, yaitu kebutaan, ablasio retina
miopi, strabismus.
Kelahiran preterm dengan atau tanpa gejala gangguan perkembangan neurologis
memiliki risiko meningkatnya gangguan mata pada masa kanak yang berkaitan
dengan kelainan persepsional, motorik, dan kognitif (Nasution, 2017).
f) Sistem jantung dan pembuluh darah
Masalah jangka pendek pada sistem jantung dan pembuluh darah, yaitu hipotensi
dan PDA (patent ductus arteriosus) dengan hipertensi pulmonal. Masalah jangka
panjang pada sistem jantung dan pembuluh darah, yaitu hipertensi pulmonal dan
hipertensi saat dewasa. Penyakit jantung bawaan merupakan salah satu kelainan
bawaan yang sering terjadi dan dapat berakibat fatal terhadap bayi (Nasution, 2017).
g) Sistem Hematologi, endokrinologi, dan fungsi ginjal
Masalah jangka pendek pada ginjal, yaitu ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,
gangguan asam dan basa. Masalah jangka panjang pada ginjal adalah hipertensi saat
dewasa. Masalah jangka pendek pada sistem hematologi, yaitu anemia iatrogenik,
memerlukan transfusi berulang, dan anemia prematuritas. Masalah jangka pendek

19
pada sistem endokrinologi, yaitu hipoglikemia, kadar tiroksin rendah sementara, dan
defisiensi kortisol. Masalah jangka panjang pada sistem endokrinologi, yaitu
kelemahan regulasi glukosa dan peningkatan resistensi insulin (Nasution, 2017)

2.1.7 Penanganan Pre-Term


Setelah pemberian informed consent yang baik, cara persalinan dan kemampuan
klinik merawat preterm harus dipertimbangkan. Bila kehamilan >35 minggu dan
presentasi kepala, maka persalinan merupakan pilihan. Namun bila kehamilan 32-35
minggu maka pertimbangan seksio sesarea menjadi pilihan. Menjadi kesulitan pilihan
bila bayi dengan berat lahir sangat rendah karena risiko kematian tinggi (50%). Bila
tidak ditemukan infeksi, maka upaya tokolisis dapat dilakukan (Nasution, 2017).
Bila perlu lakukan penilaian tentang (Saenab, 2010) :
1. Umur kehamilan, karena lebih bisa dipercaya untuk penentuan prognosis dari pada
berat janin.
2. Demam atau tidak.
3. Kondisi janin, (jumlahnya, letak atau presentasi, taksiran berat janin, hidup, gawat
janin atau mati, kelainan kongenital,dan sebagainya) dengan USG.
4. Letak plasenta perlu diketahui untuk antisipasi irisan seksio sesarea.
Fasilitas dan petugas yang mampu menangani calon bayi terutama adanya seorang
neonatalogis, bila perlu dirujuk.

2.1.8 Pencegahan Pre-Term


Hal yang paling penting adalah mencegah persalinan preterm dengan upaya
semaksimal atau optimal mungkin dengan cara (M. Kosim, 2006) :
1. Melaksanakan pengawasan antenatal yang baik dan teratur
2. Meningkatkan status gizi ibu
3. Menganjurkan menikah pada usia matang (tidak terlalu muda)
4. Mencegah dan mengobati secara tuntas infeksi intrauterine
Bila oleh karena satu dan lain hal, persalinan tetap harus berlangsung atau
terpaksa harus dilakukan terminasi kehamilan dengan lebih memperhatikan
keselamatan ibu, maka pada persalinan preterm dengan kemungkinan bayi lahir
sebagai BKB, maka harus dilakukan upaya preventif dan promotif yaitu, pemberian
obat tokolitik pada ibu dan pemberian terapi antenatal kortikosteroid.

20
2.1.9 Peran Bidan
Diagnosis persalinan preterm :
A. Anamnesis : penentuan usia kehamilan, faktor risiko (riwayat obstetri, perdarahan,
infeksi).
B. Gejala dini persalinan preterm
1. Nyeri perut bagian bawah ( low abdominal pain/ crams)
2. Nyeri pinggang belakang ( low backache)
C. Tanda persalinan preterm
1. Kontraksi uterus : intensitas, frekuensi, durasi. His yang regular dengan interval
tiap 8-10 menit yang disertai perubahan serviks. Prediksi persalinan preterm yang
hanya berdasarkan kontraksi uterus sulit karena:
a. Hanya 5% kontraksi tampak pada gambaran kardiotokografi (KTG).
b. Pada kehamilan biasa terjadi kontraksi Braxton-Hicks.
2. Kriteria Creasy dan Heron:
Kontraksi uterus 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam satu jam, dan disertai
dengan salah satu keadaan di bawah ini:
a. Pecahnya kantung amnion
b. Pembukaan serviks >2 sentimeter
c. Pendataran serviks >50%. Pendataran dan pembukaan serviks dinilai dengan
pemeriksaan berkala.
d. Peningkatan cairan vagina
e. Presentasi janin rendah sampai spina isiadika
f. Terjadi pada usia kehamilan 22 – 37 minggu

Penggalian data subjektif (Varney, 2019) :

a. Konfirmasi usia kehamilan menggunakan data paling kredibel yang tersedia.


b. Tinjau riwayat wanita untuk mengetahui faktor risiko kelahiran prematur,
terutama untuk kelahiran prematur spontan sebelumnya atau kehilangan trimester
kedua yang tidak dapat dijelaskan.
c. Jika ada riwayat kelahiran prematur sebelumnya:
 Apakah wanita tersebut telah menerima suntikan 17-hidroksi-progesteron?
 Apakah pengukuran panjang serviks serial diperoleh melalui USG atau alat
ukur serviks lainnya didokumentasikan dalam catatan prenatal?

21
d. Tanyakan tentang hubungan seksual baru-baru ini, aktivitas fisik yang berat,
trauma perut, perdarahan vagina, kehilangan cairan, demam, mual, muntah, gejala
infeksi saluran kemih, atau keputihan yang tidak normal.

Penggalian data objektif (Varney, 2019) :

a. Perhatikan sikap, kesusahan, dan / atau cara mengatasi wanita tersebut.


b. Kaji suhu, denyut nadi, pernapasan, dan tekanan darah.
c. Palpasi punggung bawah dan kaji nyeri CVAT untuk menyingkirkan ISK
independen atau bersamaan.
d. Palpasi perut untuk nyeri tekan kembali; perhatikan penjagaan apa pun.
e. Palpasi uterus untuk mencari nyeri fundus, kekuatan kontraksi, dan posisi janin
(manuver Leopold).
f. Tempatkan wanita tersebut dalam pemantauan janin elektronik secara terus
menerus untuk menilai kesejahteraan janin dan aktivitas uterus.
g. Lakukan pemeriksaan spekulum steril:
I. Jika ada cairan yang menggenang, periksa nitrazine, periksa pakis, atau
gunakan metode penilaian lain untuk mengesampingkan PPROM (Ketuban
pecah dini yang terjadi di bawah 37 minggu).
II. Jika tidak ada riwayat perdarahan, pemeriksaan vagina, atau hubungan
seksual dalam 24 jam terakhir, dapatkan fFN (Fetal Fibronectin).
fFN : penanda biokimia yang dapat membantu dalam manajemen wanita
dengan gejala persalinan prematur. Glikoprotein ekstraseluler ini, yang
ditemukan di membran amniochorionic, berfungsi sebagai pengikat
perekat antara membran dan membrane decidua. Biasanya muncul dalam
sekresi servikovaginal sebelum usia gestasi 20 minggu dan setelah usia
kehamilan 37 minggu karena renovasi serviks terjadi sebagai persiapan
untuk persalinan normal penuh. Antara 24 dan 34 minggu, kehadiran fFN
atipikal dan bisa diindikasikan peradangan atau aktivitas uterus —
keduanya merupakan prekursor untuk kelahiran prematur. Apabila hasil
tes positif itu pertanda kalau “lem biologis” Ffn telah rusak dan beresiko
persalinan premature.
Prosedur : Selama melakukan tes fetal fibronectin, Anda akan berbaring
telentang pada meja periksa. Dokter akan menempatkan alat speculum
pada vagina dan menggunakan penyeka dari kapas untuk secara perlahan

22
menyeka sekresi di dekat serviks. Sampel akan dikirim ke lab untuk
dianalisa. Hasilnya bisa Anda peroleh dalam waktu kurang dari 24 jam.

III. Dapatkan biakan untuk gonore dan klamidia.


IV. Dapatkan spesimen untuk wet mount (smear) untuk menilai vaginosis
bakterial atau infeksi trikomoniasis.
h. Jika tidak ada bukti PPROM, lakukan pemeriksaan serviks digital untuk menilai
dilatasi, penipisan, stasiun, dan bagian presentasi.
I. Tes laboratorium:
i. Membersihkan urinalisis tangkapan (dengan analisis mikroskopis) dan
kultur urin
ii. Hitung darah lengkap
iii. Laboratorium lain seperti yang diindikasikan secara klinis
II. Ultrasonografi
i. Lakukan penilaian panjang serviks transvaginal (tergantung pada
protokol institusi dan ketersediaan).
ii. Jika ultrasound dilakukan, konfirmasikan bagian presentasi.

Manajemen

Untuk wanita dalam persalinan prematur aktif antara usia kehamilan 34 dan 37 minggu,
bidan harus berkonsultasi dengan dokter mengenai rencana manajemen kolaboratif,
tergantung pada individu pedoman praktik dan sumber daya kelembagaan. Jika usia
kehamilan wanita kurang dari 34 minggu dan pemeriksaan serviks awal lebih dari 3 cm atau
80% hilang, pengobatan persalinan premature harus dimulai dan wanita tersebut dirujuk
untuk penanganan medis segera. Bidan di semua tempat praktik harus menyadari perawatan
persalinan prematur saat ini merekomendasikan dan memulai intervensi ini sesuai kebutuhan
situasi klinis. Ada yang lain kelainan yang dihadapi bidan selama pengumpulan data awal
harus ditangani dan diperlakukan sesuai dengan pedoman praktik individu (Varney, 2019).

23
Ada juga bukti ekstensif mengenai penggunaan obat tokolitik untuk memperpanjang
kehamilan. Penting untuk diingat bahwa tokolisis merupakan kontraindikasi jika wanita
tersebut memiliki kondisi yang memerlukan persalinan seperti kematian janin intrauterin,
status janin yang tidak menentu, preeklamsia berat, korioamnionitis, anomali janin yang
mematikan, perdarahan dengan ibu ketidakstabilan hemodinamik, atau setiap kontraindikasi
ibu untuk menggunakan salah satu agen tokolitik (Varney, 2019).

Sumber : (Niswah, 2016)

24
2.2 Post-Term
2.2.1 Pengertian Post-Term
Kehamilan postterm diartikan sebagai kehamilan yang hingga atau melebihi
usia kehamilan 42 minggu (294 hari), atau perkiraan tanggal persalinan ditambah 14
hari. Istilah kehamilan lama, postdates, dan postdatism memiliki arti yang sama
digunakan untuk menggambarkan kondisi yang sama (Smulian & Quinones, 2018;
Vorherr, 1975). Istilah tanggal posting dan kehamilan berkepanjangan tidak jelas dan
sebaiknya dihindari. Postmaturity, postmaturity syndrome dan dysmaturity bukanlah
istilah yang sama dengan kehamilan postterm. Mereka sering digunakan untuk
mendeskripsikan fitur dari neonatus yang tampaknya berada di dalam rahim lebih dari
42 minggu kehamilan. Mereka menggambarkan efek dari pembatasan pertumbuhan
intrauterine (IUGR) sekunder akibat insufisiensi utero-plasenta yang ditemukan pada
kehamilan postterm (Caughey et al., 2008).

Kehamilan lewat waktu atau postterm adalah usia kehamilan yang melewati
294 hari atau lebih dari 42 minggu lengkap. Istilah yang sering dipakai adalah
postmaturitas, postdates. Kira-kira 10% kehamilan berlangsung sampai 42 minggu
(Smulian & Quinones, 2018).

25
Definisi standar yang direkomendasikan secara internasional untuk kehamilan
lama didukung oleh American College of Obstetrician and Gynecologist (1997),
adalah 42 minggu lengkap (294 hari) atau lebih sejak hari pertama haid terakhir.
Kehamilan postterm berhubungan dengan durasi kehamilan, bukan kondisi maternal,
sedangkan pascamaturitas merupakan istilah yang berkaitan dengan neonatus (Fraser
DM, Cooper MA, 2009; Cunningham FG,2005) dalam (Smulian & Quinones, 2018).
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kehamilan postterm adalah
kehamilan yang berlangsung 42 minggu atau lebih, dengan segala komplikasinya.

2.2.2 Etiologi Post-Term


Menjelang partus terjadi penurunan hormon progesteron, peningkatan
oksitosin serta peningkatan reseptor oksitosin, tetapi yang paling menentukan adalah
terjadinya produksi prostaglandin yang menyebabkan his yang kuat. Prostaglandin
telah dibuktikan berperan paling penting dalam menimbulkan kontraksi uterus.
Nwosu dan kawan-kawan menemukan perbedaan dalam rendahnya kadar cortisol
pada darah bayi sehingga disimpulkan kerentanan akan stress merupakan faktor tidak
timbulnya his, selain kurangnya air ketuban dan insufisiensi plasenta (Prawirohardjo,
2005; h. 318).
Menurut Sastrawinata (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan postterm,
yaitu:

1) Faktor potensial
Adanya defisiensi hormon adrenokortikotropik (ACTH) pada fetus atau
defisiensi enzim sulfatase plasenta. Kelainan system saraf pusat pada janin sangat
berperan, misalnya pada keadaan anensefal.
2) Semua faktor yang mengganggu mulainya persalinan baik faktor ibu, plasenta
maupun anak

Penyebab paling umum dari kehamilan berkepanjangan adalah penanggalan yang


tidak akurat (Neilson, 2000; Crowley, 2004) dalam (Caughey et al., 2009).
Penggunaan kriteria klinis standar untuk menentukan perkiraan tanggal persalinan
(EDD) cenderung melebih-lebihkan usia kehamilan dan akibatnya meningkatkan
kejadian kehamilan postterm (Gardosi et al., 1997; Taipale dan Hiilermaa, 2001).
Kriteria klinis yang mana biasanya digunakan untuk:

 Memastikan usia kehamilan termasuk menstruasi terakhir (HPHT),

26
 Ukuran uterus yang diperkirakan dengan pemeriksaan bimanual di trimester
pertama,

 Persepsi gerakan janin,

 Auskultasi nada jantung janin, dan

 Tinggi fundus dalam kehamilan tunggal.

Saat kehamilan postterm benar-benar ada, penyebabnya biasanya tidak diketahui.

Faktor risiko umum:

 Primiparitas,

 Kehamilan postterm sebelumnya (alfirevic dan walkinshaw, 1994; mogren dkk.,


1999; olesen et al., 1999),

 Janin laki-laki (divon et al., 2002),

 Obesitas (usha kiran et al., 2005; stotland et al., 2007),

 Faktor hormonal dan predisposisi genetik (laursen et al., 2004).

 Tidak diketahui berapa indeks massa tubuh (BMI) mempengaruhi durasi


kehamilan dan waktu persalinan, tetapi menariknya wanita gemuk memiliki
insiden kehamilan postterm yang lebih tinggi (Usha Kiran et al., 2005), sementara
wanita dengan BMI rendah memiliki insiden persalinan prematur yang lebih
tinggi (persalinan sebelum 7 minggu kehamilan) (Hickey et al., 1997). Karena
jaringan adiposa aktif secara hormonal (Baranova et al., 2006), dan karena wanita
gemuk mungkin memiliki status metabolik yang berubah, ada kemungkinan faktor
endokrin yang terlibat dalam permulaan persalinan berubah pada wanita gemuk.

2.2.3 Patofisiologi Post-Term


Fungsi plasenta mencapai puncak pada kehamilan 38 minggu dan mulai
menurun setelah 42 minggu. Akibat dari proses penuaan plasenta maka pemasokan
makanaan dan oksigen akan menurun disamping adanya spasme arteri spiralis. Janin
akan mengalami pertumbuhan terhambat dan penurunan berat, dalam hal ini dapat
disebut dismatur. Sirkulasi uteroplasenter akan berkurang dengan 50% menjadi hanya

27
250 ml/menit jumlah air ketuban yang berkurang mengakibatkan perubahan abnormal
jantung janin (Caughey et al., 2008).

Mekanisme nifas termasuk interaksi antara hormonal, proses mekanis dan


inflamasi, di mana plasenta, ibu dan janin masing-masing memainkan peran penting.
Produksi plasenta dari kortikotropin peptida melepaskan hormon (CRH) telah
dikaitkan dengan lama kehamilan (Vorherr, 1975). Perpaduan CRH oleh plasenta
meningkat secara eksponensial kemajuan kehamilan dan puncaknya pada saat
persalinan.

Pada wanita yang melahirkan secara prematur eksponensial kenaikan lebih


cepat daripada yang disampaikan pada jangka waktu tertentu pada wanita yang
melahirkan postterm tingkat kenaikan lebih lambat (ellis et al., 2002; torricelli et al.,
2006) dalam (Vorherr, 1975).

Data menunjukkan bahwa postterm disebabkan oleh perubahan dalam


mekanisme biologis yang mengatur panjang kehamilan. Ini mungkin karena warisan
kecenderungan karena polimorfisme pada gen di jalur fisiologis yang
menghubungkan CRH dengan kelahiran. CRH dapat secara langsung merangsang
produksi adrenal dheas janin, prekursor estriol plasenta sintesis (Smith et al., 1998).
CRH plasma ibu konsentrasi berkorelasi dengan konsentrasi estriol (Smith et al.,
2009). Oestriol yang naik didorong oleh CRH meningkat lebih cepat pada akhir
kehamilan dari tingkat estradiol yang mengarah ke peningkatan rasio estriol terhadap
estradiol yang telah didalilkan untuk menghasilkan lingkungan estrogenik pada
akhirnya minggu kehamilan.

Secara bersamaan, peningkatan konsentrasi progesteron plasma ibu yang


terjadi melintasi gestasi melambat pada akhir kehamilan atau bahkan jatuh. Ini
mungkin karena penghambatan CRH sintesis progesteron plasenta (yang et al., 2006).
Dengan demikian efek progesteron pro-kehamilan (Mempromosikan relaksasi)
menurun sebagai pro-persalinan tindakan estriol (mendorong kontraksi) meningkat.
Perubahan rasio ini telah diamati pada kelahiran prematur, lajang melahirkan aterm
dan pada kehamilan kembar (Smith et al., 2009). Situasi pada kehamilan postterm
tidak diketahui. Itu mungkin serupa pada wanita postterm yang mengalami persalinan
spontan atau mereka yang merespons iol, berdasarkan satu studi tentang wanita
postterm (torricelli et al., 2011).

28
2.2.4 Tanda dan Gejala Post-Term
Tanda postterm dapat dibagi dalam 3 stadium :

1) Stadium 1
Menunjukan kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit kering, rapuh
dan mudah mengelupas.
2) Stadium 2
Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium (kehijauan) pada kulit.
3) Stadium 3
Terdapat pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat (Prawirohardjo S,
2007; h. 318 - 19).

2.2.5 Komplikasi Post-Term


1. Resiko maternal
Kehamilan postterm berhubungan dengan signifikan risiko bagi ibu. Ada
peningkatan risiko, diantaranya (Caughey et al., 2008; Divon et al., 1998;
Mandruzzato et al., 2010; Smulian & Quinones, 2018):
a. Distosia persalinan (9-12% versus 2-7% saat aterm)
b. Laserasi perineum parah (robekan derajat 3 & 4)
c. Makrosomia (3,3% versus 2,6% pada jangka waktu)
d. Persalinan pervaginam operatif dan
e. Penggandaan angka operasi seksio sesarea (14% versus 7% pada istilah) (Rand et
al., 2000 Campbell et al., 1997 Alexander et al., 2000 Treger et al., 2002).
Kelahiran seksio sesarea dikaitkan dengan insiden endometritis, perdarahan, dan
penyakit tromboemboli yang lebih tinggi (Alexander et al., 2001 Eden et al.,
1987).

Dampak emosional dari kehamilan yang berkepanjangan juga tidak boleh


diremehkan. Dalam satu uji coba terkontrol secara acak pada wanita pada usia
kehamilan 41 minggu, wanita yang diinduksi menginginkan manajemen yang sama
74% dari waktu, sedangkan wanita dengan pemantauan antenatal serial menginginkan
hal yang sama manajemen hanya dalam 38% dari waktu (P <0,001) (Heimstad et al.,
2007). Mirip dengan hasil neonatal, morbiditas ibu juga meningkat pada kehamilan
cukup bulan sebelum 42 minggu kehamilan. Komplikasi seperti korioamnionitis,
laserasi perineum yang parah, persalinanseksio sesarea, perdarahan postpartum, dan

29
endomiometritis semuanya meningkat secara progresif setelah 39 minggu kehamilan
(Yoder et al., 2002 Caughey and Bishop, 2006 Heimstad et al., 2006 Caughey et al.,
2007 Bruckner et al., 2008). Sebuah studi retrospektif besar (Caughey et al., 2007),
yang mencakup 119.254 kehamilan risiko rendah tunggal, menunjukkan peningkatan
yang signifikan secara statistik dalam tingkat komplikasi ibu melebihi usia kehamilan
40 minggu dan bahkan melebihi usia kehamilan 39 minggu untuk beberapa
morbiditas. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa peningkatan komplikasi
maternal menetap secara statistik dan tingkat klinis yang signifikan bahkan
memungkinkan peningkatan persalinan operatif. Hal ini berlaku untuk semua tren
kecuali tingkat endomiometritis di antara wanita yang menjalani persalinan
pervaginam. Untuk komplikasi ini saja, peningkatan pada dan di antara wanita yang
mengalami persalinan caesar bertanggung jawab atas sebagian besar peningkatan
berdasarkan usia kehamilan. (Caughey et al., 2007).

2. Resiko Fetal dan Neonatal


a. Anak besar dapat menyebabkan disproporsi sefalopelvik
b. Oligohidramnion, dapat menyebabkan kompresi tali pusat, gawat janin sampai bayi
meninggal.
c. Keluarnya mekonium yang dapat menyebabkan aspirasi mekonium (Manuaba IBG,
2001; Prawirohardjo S, 2006).
Morbiditas janin juga meningkat pada postterm kehamilan dan kehamilan
yang berlanjut usia kehamilan 41 minggu. Ini termasuk bagian mekonium, sindrom
aspirasi mekonium, makrosomia dan dismaturitas. Kehamilan post term juga
merupakan faktor risiko independen untuk tingkat Ph tali pusat yang rendah (asidemia
neonatal), APGAR skor yang rendah (Kitlinski et al., 2003), ensefalopati neonatal
(badawi et al., 1998), dan kematian bayi di tahun pertama kehidupan (Hilder et al.,
1998; Cotzias et al., 1999; Rand dkk., 2000) dalam (Caughey et al., 2008; Divon et
al., 1998; Mandruzzato et al., 2010; Smulian & Quinones, 2018):
Bayi postterm lebih besar dari bayi cukup bulan dan memiliki insiden
makrosomia janin yang lebih tinggi (2,5- 10% pada postterm versus 0,8-1% pada
aterm) (Spellacy et al., 1985; Rosen dan dickinson, 1992) dalam (Caughey et al.,
2008; Divon et al., 1998; Mandruzzato et al., 2010; Smulian & Quinones, 2018)
Makrosomia janin, didefinisikan sebagai perkiraan berat janin ≥ 4,5 kg (acog,
2000), dikaitkan dengan persalinan lama, disproporsi cephalo-panggul dan distosia

30
bahu. Distosia bahu dikaitkan dengan risiko cedera ortopedi (misalnya fraktur
humerus dan klavikula) sebagai serta cedera neurologis seperti pleksus brakialis
cedera dan cerebral palsy (Spellacy et al., 1985; Rosen dan dickinson, 1992). Ini
kehamilan berisiko tinggi mengalami tali pusat kompresi dari oligohidramnion,
aspirasi mekonium, dan komplikasi neonatal jangka pendek seperti itu sebagai
hipoglikemia, kejang, dan insufisiensi pernapasan.

Meskipun banyak pekerjaan di atas telah dilakukan dilakukan pada kehamilan


postterm, beberapa risikonya antara lain sebagai lahir mati, bagian mekonium, dan
neonatal asidemia telah digambarkan sebagai yang lebih besar pada 41 dan bahkan 40
minggu kehamilan dibandingkan dengan usia kehamilan 39 minggu (Caughey et al.,
2008)

Sebuah studi dari Skotlandia diterbitkan pada tahun 2010 menunjukkan


peningkatan risiko lahir mati (baik lahir mati secara keseluruhan dan tidak dapat
dijelaskan) seiring dengan kemajuan kehamilan terutama setelah 39 minggu
kehamilan (Sutan et al., 2010) Yudkin dkk. (1987) dalam (Smulian & Quinones,
2018) juga menunjukkan bahwa risiko lahir mati yang tidak dapat dijelaskan
meningkat empat kali lipat setelah 39 minggu hingga maksimum pada 41 minggu.
Tingkat aspirasi mekonium dan asidemia neonatal meningkat seiring waktu
kehamilan berkembang lebih dari 38 minggu (Bruckner et al., 2008). Morbiditas
neonatal termasuk cedera lahir nadir pada sekitar 38 minggu dan meningkat secara
terus menerus setelahnya (Nicholson et al., 2006). Oleh karena itu, usia kehamilan 42
minggu sudah cukup tidak mewakili kepemilikan di bawah ini yang risiko
didistribusikan secara seragam. Oleh karena itu, definisi dan manajemen kehamilan
postterm telah dipertanyakan dan dipertanyakan dalam beberapa penelitian baru-baru
ini tahun (Caughey et al., 2009)

2.2.6 Penatalaksanaan Post-Term


Persalinan adalah waktu yang amat berbahaya bagi janin postterm. Oleh
karena itu ibu diharapkan langsung ke rumah sakit sesegera mungkin. Adapun
penatalksanaan persalinan dengan postterm sebagai berikut (Caughey et al., 2008)
(Mandruzzato et al., 2010):

1) Setelah umur kehamilan lebih dari 40 minggu yang penting adalah monitoring janin
sebaik-baiknya.

31
2) Apabila tidak ada tanda-tanda insufisiensi plasenta persalinan spontan dapat ditunggu
dengan pengawasan ketat.
3) Lakukan pemeriksaan dalam untuk menilai kematangan serviks, kalau sudah matang
boleh dilakukan induksi persalinan dengan atau tanpa amniotomi.
4) Bila riwayat kehamilan yang lalu ada kematian dalam rahim, terdapat hipertensi, pre
eklamsi, dan kehamilan ini anak pertama karena infertilitas, atau pada kehamilan
lebih dari 40-42 minggu, maka ibu dirawat di RS.
5) Tindakan operasi sectio caesaria dapat dipertimbangkan pada kasus insufisiensi
plasenta dengan keadaan serviks belum matang, pembukaan belum lengkap,
persalinan lama, dan terjadi gawat janin, kematian janin dalam kandungan, pre
eklamsi, hipertensi menahun, infertilitas dan kesalahan letak janin (Sujiatini,
Mufdlilah, Hidayat A, 2009; h. 27).
Skor Bishop adalah suatu cara untuk menilai kematangan serviks setelah
proses yang terjadi menjelang kelahiran, dimana serviks menjadi lunak, menipis, dan
dilatasi serviks dengan skor Bishop rendah memberikan angka kegagalan yang lebih
tinggi.
Mungkin di antara semua faktor yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas
kehamilan postterm adalah salah satu faktor risiko yang dapat dimodifikasi yang
secara teoritis dapat meningkat dengan perubahan pola makan dan olahraga sebelum
atau selama kehamilan. Modifikasi tersebut akan berdampak pada hasil kesehatan
lainnya juga, tetapi karena kehamilan postterm

32
3 BAB III
SIMPULAN

Pre-term dan Post-term adalah kasus yang menyumbang angka kematian bayi di
Indonesia. Pre-term adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan kurang dari
37 minggu atau 259 hari kehamilan, sedangkan Post-term adalah usia kehamilan
yang melewati 294 hari atau lebih dari 42 minggu lengkap. Istilah yang sering dipakai
adalah postmaturitas, postdates. Kira-kira 10% kehamilan berlangsung sampai 42
minggu. Dengan berbagai etiologi maupun penyebab, patofisiologi nya, serta berbagai
faktor predisposisi yang melatarbelakangi terjadinya Pre-term dan Post-term itulah yang
harus diperhatikan. Diantara tanda dan gejala dari terjadinya Pre-term adalah terdapat
nyeri di pinggang bagian belakang, rasa tertekan pada perut bagian bawah, terdapat
kontraksi irregular sejak sekitar 24-48 jam, presntasi janin rendah, sampai mencapai spina
isiadika, terdapat pembawa tanda seperti bertambahnya cairan vagina dan terdapat lendir
bercampur darah, selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya
persalinan prematur. Untuk tanda dan gejala dari post-term adalah Stadium 1
menunjukan kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit kering, rapuh dan
mudah mengelupas. Stadium 2 Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium (kehijauan)
pada kulit. Stadium 3 Terdapat pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat.
Berbagai komplikasi dari kejadian Pre-term dan Post-term dapat terjadi pada bayi dan ibu
diantaranya untuk post-term anak besar dapat menyebabkan disproporsi sefalopelvik,
oligohidramnion dapat menyebabkan kompresi tali pusat, gawat janin sampai bayi
meninggal, keluarnya mekonium yang dapat menyebabkan aspirasi meconium, .
Sedangkan untuk pre-term bayi -bayi yang lahir prematur memiliki tingkat penyakit
yang lebih tinggi seperticerebral palsy, defisit sensorik, retinopati, dan gangguan
pernapasan dibandingkan dengan anak-anak yang lahir pada saat aterm. Sebagai calon
bidan kita dapat mengetahui bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan sehingga ibu
tidak mengalami kelahiran dan kehamilan yang Pre-term dan Post-term diantaranya
melaksanakan pengawasan antenatal yang baik dan teratur, meningkatkan status gizi ibu,
menganjurkan menikah pada usia matang (tidak terlalu muda), mencegah dan mengobati
secara tuntas infeksi intrauterine.

33
4 DAFTAR PUSTAKA

Caughey, A. B., Snegovskikh, V. V., & Norwitz, E. R. (2008). Postterm


pregnancy: How can we improve outcomes? Obstetrical and Gynecological
Survey, 63(11), 715–724. https://doi.org/10.1097/OGX.0b013e318186a9c7

Caughey, A. B., Stotland, N. E., Washington, A. E., & Escobar, G. J. (2009). Who
is at risk for prolonged and postterm pregnancy? American Journal of
Obstetrics and Gynecology, 200(6), 683.e1-683.e5.
https://doi.org/10.1016/j.ajog.2009.02.034

Divon, M. Y., Haglund, B., Nisell, H., Otterblad, P. O., Westgren, M., Caritis, S.
N., & McGregor, J. A. (1998). Fetal and neonatal mortality in the postterm
pregnancy: The impact of gestational age and fetal growth restriction.
American Journal of Obstetrics and Gynecology, 178(4), 726–731.
https://doi.org/10.1016/S0002-9378(98)70482-X

M. Kosim, S. (2006). Gawat Darurat Neonatus pada Persalinan Gawat Darurat


Neonatus pada Persalinan Gawat Darurat Neonatus pada Persalinan
Preterm. 7(4), 225–231. https://saripediatri.org/index.php/sari-
pediatri/article/view/839

Mandruzzato, G., Alfirevic, Z., Chervenak, F., Gruenebaum, A., Heimstad, R.,
Heinonen, S., Levene, M., Romero, R., Salvesen, K., Saugstad, O., Skupski,
D., & Thilaganathan, B. (2010). Guidelines for the management of postterm
pregnancy. Journal of Perinatal Medicine, 38(2), 111–119.
https://doi.org/10.1515/JPM.2010.057

Nasution, M. (2017). Angka Kejadian Kematian Neonatal pada Kelahiran


Preterm dengan Riwayat Persalinan Pervaginam di RSUP H Adam Malik
Tahun 2013-2015. http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/19833

Niswah, F. I. (2016). Faktor Risiko Kejadian Persalinan Prematur (Studi Kasus Di


Rsud Tugurejo Semarang). In Unnes Journal of Public Health (Vol. 1, Issue
1). https://lib.unnes.ac.id/28139/1/6411412135.pdf

34
Puspita, S., Santoso, S., & Djanah, N. (2019). Hubungan Paritas Dengan
Persalinan Preterm Di Rsud Wates Kulon Progo Tahun 2018. 4(2), 2–3.
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/239/

Rahmawati, D. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya persalinan


preterm di RSUD dr. moewardi surakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1, 7–16.
http://eprints.ums.ac.id/24128/10/NASKAH_PUBLIKASI.pdf

Saenab. (2010). MANAJEMEN ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL


PATOLOGI PADA NY.”Y” DENGAN PERSALINAN PREMATUR DI RSIA
SITTI FATIMAH MAKASSAR. http://repositori.uin-
alauddin.ac.id/3640/1/KTI_ SAENAB.pdf

Smulian, J., & Quinones, J. (2018). Post-term pregnancy. Evidence-Based


Obstetrics and Gynecology, 4(3), 431–439.
https://doi.org/10.1002/9781119072980.ch41

Syarif, A. B. (2017). Hubungan Usia Ibu dengan Kejadian Persalinan Preterm Di


RSUD Wonosari Tahun 2016. In Skripsi. Jurusan Kebidanan Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Tahun 2017.

Varney. (2019). Varney’s midwifery, sixth Edition (sixth). Jones & Bartlett
Learning.

Vorherr, H. (1975). Placental insufficiency in relation to postterm pregnancy and


fetal postmaturity. Evaluation of fetoplacental function; management of the
postterm gravida. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 123(1),
67–103. https://doi.org/10.1016/0002-9378(75)90951-5

Wahyuni, R., & Rohani, S. (2017). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persalinan


Preterm. Jurnal Aisyah : Jurnal Ilmu Kesehatan, 2(1), 61–68.
https://doi.org/10.30604/jika.v2i1.33

35
36

Anda mungkin juga menyukai