Anda di halaman 1dari 17

SISTEM IMUN IBU NIFAS (MENYUSUI)

IGAA Novya Dewi,SST.,M.Kes

Setelah membaca slide imunologi didepan, review tentang beberapa istilah terkait imunologi,
Sistem kekebalan bayi belum matang hingga sekitar 2 sampai 3 bulan, Dalam beberapa bulan
pertama, sistem kekebalan tubuh-terutama kekebalan yang diperantarai sel-menjadi lebih
berkembang. Ini sangat penting dalam membantu tubuh anak melawan virus.
Ini berarti bahwa sistem kekebalan bayi berusia 2 minggu tidak dapat melawan virus atau
bakteri, seperti halnya bayi berusia 3 bulan. Sistem kekebalan ibu terus melindungi bayinya
dengan antibodi yang dibagikan melalui plasenta segera setelah lahir. Antibodi itu tetap aktif
selama beberapa minggu pertama kehidupan bayi.
Antibodi ini menawarkan perlindungan dari bakteri dan virus.
Selain itu menyusui juga meningkatkan kekebalan tubuh bayi.
Ada banyak cara untuk membantu mengurangi risiko bayi sakit.
Sebagai permulaan, ketahui kapan kamu benar-benar harus menghubungi dokter.
Jika bayi mengalami salah satu dari tanda-tanda berikut:
 Sulit bernafas
 Kulit kebiruan atau warna bibir
 Dehidrasi
 Demam
 Lesu atau gagal bangun
Waspadai virus yang bisa menyerang Perlu diingat bahwa bayi baru lahir rentan terhadap virus.

E. IMUNOLOGI IBU DAN JANIN


1. Perubahan imunologis akibat kehamilan
Ibu hamil sangat peka terhadap terjadinya infeksi dari berbagai mikroorganisme. Secara
fisiologik sistem imun pada ibu hamil menurun, kemungkinan sebagai akibat dari toleransi
sistem imun ibu terhadap bayi yang merupakan jaringan semi-alogenik, meskipun tidak
memberikan pengaruh secara klinik.
Bayi intra uterin baru membentuk sistem imun pada usia kemahilan sekitar 12 minggu,
kemudian meningkat dan pada kehamilan 26 minggu hampir sama dengan sistem imun pada
ibu hamil itu sendiri. Pada perinatal bayi mendapat antibodi yang dimiliki oleh ibu, tetapi
setelah 2 bulan antibodi akan menurun. Secara anatomik dan fisiologik ibu hamil juga
mengalami perubahan, misalnya pada ginjal dan saluran kencing sehingga mempermudah
terjadinya infeksi (Sarwono, 2010).  
Peningkatan pH sekresi vagina wanita hamil membuat wanita tersebut lebih rentan
terhadap infeksi vagina. Sistem pertahanan tubuh ibu selama kehamilan akan tetap utuh,
kadar imunoglobulin dalam kehamilan tidak berubah. HCG dapat menurunkan respon imun
wanita hamil. Selain itu kadar Ig G, Ig A, dan Ig M serum menurun mulai dari minggu ke-10
kehamilan hingga mencapai kadar terendah pada minggu ke-30 dan tetap berada pada kadar
ini hingga aterm. 
2. Imunologi janin dan neonatus
Kapasitas imunologis aktif dan neonatus lebih lemah daripada yang dimiliki oleh anak
yang lebih tua dan orag dewasa. Menurut Stirrat (1991), imunitas selular dan humoral janin
mulai berkembang pada 9 sampai 15 minggu. Respons primer janin terhadap infeksi adalah
pembentukan imunoglobulin M (Ig M). Imunitas aktif dihasilkan oleh IgG yang disalurkan
melalui plasenta. Pada 16 minggu, penyaluran ini mulai meningkat pesat, dan pada 26
minggu konsentrasi di janin sama dengan konsentrasi di ibunya. Setelah persalinan, air susu
bersifat protektif terhadap sebagian infeksi, meskipun proteksi ini mulai menurun pada usia 2
bulan (WHO collaborative study team, 2000).
Transmisi vertikal infeksi merujuk kepada penularan suatu infeksi dari ibu ke janin
melalui plasenta, selama persalinan atau kelahiran, atau sewaktu menyusui. Ketuban pecah
dini, partus lama, dan manipulasi obstetris dapat meningkatkan risiko infeksi neonatus.
Infeksi neonatus, khususnya pada tahap-tahap awal, mungkin sulit didiagnosis karena
neonatus sering tidak menunjukkan tanda-tanda klasik penyakit. Jika janin terinfeksi in utero,
mungkin terjadi depresi dan asidosi yang lahir tanpa sebab yang jelas. Neonatus mungkin
tidak mau makan, muntah atau mengalami distensi abdomen. Dapat terjadi insufisiensi
pernafasan, yang mungkin memberi gambaran serupa dengan sindrom distres pernafasan
idiopatik. Bayi mungkin mudah terangsang. Respon terhadap sepsis mungkin berupa
hiportermia dan bukan hipertermia, sementara hitung lekosit dan neutrofil mungkin menurun.
Infeksi yang diperoleh di rumah sakit berbahaya bagi neonatus kurang bulan, dan orang
yang merawat mereka adalah sumber utama infeksi ( Stoll dan Hansen, 2003). Sistem
ventilasi dan kateter vena dan arteri umbilikalis dapat menyebabkan infeksi yang mengancam
nyawa. Bayi dengan berat lahir sangat rendah yang bertahan hidup selama beberapa hari
pertama tetap beresiko tinggi meninggal akibat infeksi yang terjangkit di ruang perawatan
intensif.

Kolostrum sangat penting dikonsumsi oleh bayi yang baru lahir karena mengandung
beberapa nutrisi yang dibutuhkan bayi di antaranya :

1. Antibodi dan imunoglobulin yang tinggi

Imunoglobulin adalah antibodi yang didapat bayi dari ibu dan memberikan imunitas pasif pada
bayi. Imunitas pasif ini dapat melindungi bayi dari bahaya penyakit yang disebabkan oleh bakteri
maupun virus. Salah satu jenis immunoglobulin yang banyak terdapat dalam kolostrum adalah
immunoglobulin A. Immunoglobulin A berperan untuk memberikan kekebalan atau imunitas
pasif maupun aktif pada bayi yang baru lahir. Fungsi spesifik dari immunoglobulin A adalah
melindungi permukaan mukosa dan mencegah patogen-patogen dari luar (seperti bakteri dan
virus) untuk menempel pada permukaan mukosa tersebut. Immunoglobulin A bekerja pada
sistem pencernaan terutama untuk melindungi bayi dari infeksi gastrointestinal. Itu mengapa
molekul immunoglobulin A memiliki pertahanan khusus terhadap enzim-enzim pencernaan, agar
bisa bekerja dalam mukosa saluran pencernaan.

2. Banyak sel darah putih

3. Bersifat laksatif sehingga membantu melancarkan pencernaan bayi

4. Kaya akan vitamin A

5. Kadar protein yang tinggi

6. Vitamin larut lemak, mineral, antioksidan


Mengapa kolostrum sangat dibutuhkan oleh bayi?1. Dapat mencegah infeksi pada bayi karena
kolostrum kaya akan sel darah putih yang melawan infeksi bakteri dan virus

2. Tidak rentan terkena pneumonia, bronkitis, flu, infeksi perut, dan penyakit infeksi lainnya

3. Mencegah bayi kuning karena kolostrum membantu tubuh mengurangi bilirubin, sehingga
bayi tidak mengalami ikterus atau penyakit kuning

4. Membantu perkembangan organ pencernaan bayi. Kolostrum bermanfaat untuk


mempersiapkan sistem pencernaan agar dapat mencerna susu matang yang diproduksi payudara
Momy nantinya

Beberapa Faktor Risiko Terkena Penyakit Autoimun

Sejauh ini penyebab penyakit autoimun masih belum diketahui. Meski demikian, ada beberapa
faktor yang menyebabkan seseorang lebih berisiko menderita penyakit autoimun, yaitu:

 Genetik atau keturunan


Faktor risiko utama dari penyakit autoimun adalah faktor genetik. Meski demikian, faktor
ini bukan satu-satunya yang bisa memicu reaksi kekebalan tubuh.

 Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan hal penting dalam timbulnya penyakit autoimun. Faktor
lingkungan mencakup paparan zat tertentu seperti asbes, merkuri, perak dan emas, serta
pola makan yang kurang sehat.

 Perubahan hormon
Beberapa penyakit autoimun sering kali menyerang perempuan pasca melahirkan. Hal ini
menyebabkan hadirnya sebuah asumsi bahwa penyakit autoimun terkait dengan
perubahan hormon, misalnya saat hamil, melahirkan, atau menopause.
 Infeksi
Beberapa penyakit autoimun sering kali dikaitkan dengan terjadinya infeksi. Hal ini wajar
karena sebagian gejala penyakit autoimun diperburuk oleh infeksi tertentu.

Kondisi yang dialami seorang ibu nifas yang lelah, tidak bisa tidur, tidak nyaman sehingga
merasa kekebalan tubuh menurun. Menurut dr. R. Muharam, SpOG yang berpraktik di Klinik
Yasmin RS Cipto Mangunkusumo, RS. Sam Marie, ibu yang baru melahirkan memang rentan
mengalami masalah seperti nyeri, kurang tidur, dan kecemasan. "Justru menyusui dapat
membantu untuk mengurangi stres sehingga berperan dalam mencegah masalah kesehatan
mental atau depresi yang bisa terjadi pasca melahirkan," ujar dr. Muharam

Menurut pediatrician dan penulis berbagai buku parenting, dr. William Penton Sears, menyusui
sebenarnya memberikan banyak manfaat untuk para ibu. Manfaat positif menyusui di antaranya
mengurangi stres, mengurangi risiko kanker payudara, mengurangi risiko kanker rahim dan
ovarium, mengurangi risiko osteoporosis, meningkatkan kesehatan emosional, dan membantu
proses penurunan berat badan pasca melahirkan. Jadi menyusui tidak menurunkan kekebalan
tubuh selama ibu memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat. 

AIR SUSU IBU DAN KEKEBALAN TUBUH

Air susu ibu selain sebagai sumber nutrisi dapat memberi perlindungan kepada bayi melalui
berbagai komponen zat kekebalan yang dikandungnya. Berbagai telaah ilmiah telah dilakukan
oleh para ahli terhadap komposisi ASI dan pengaruhnya terhadap kesehatan bayi. Pesan yang
dapat disampaikan adalah ASI mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi walaupun ibu
dalam kondisi kurang gizi sekalipun dan mampu mengatasi infeksi melalui komponen sel fagosit
(pemusnah) dan imunoglobulin (antibodi). Komponen ASI lain yang juga mempunyai efek
perlindungan, antara lain sitokin, laktoferin, lisozim dan musin. Dalam makalah ini akan dibahas
lebih lanjut tentang komponen-komponen tersebut.

Sistem kekebalan tubuh manusia

Setiap makhluk yang lahir dibekali sistem kekebalan tubuh oleh Sang Pencipta baik makhluk
yang sangat sederhana yaitu binatang bersel satu seperti amuba maupun makhluk yang paling
sempurna seperti manusia. Tingkat kekebalan tubuh yang dimiliki juga bervariasi. Secara garis
besar sistem kekebalan tubuh manusia dibagi 2 jenis yaitu :

Kekebalan tubuh tidak spesifik

Kekebalan tubuh tidak spesifik adalah sistem kekebalan tubuh yang ditujukan untuk menangkal
masuknya berbagai zat asing dari luar tubuh yang dapat menimbulkan kerusakan/penyakit,
seperti bakteri, virus, parasit atau zat berbahaya lainnya. Yang termasuk sistem kekebalan atau
pertahanan tubuh tidak spesifik ialah

1. Pertahanan fisik : kulit, selaput lendir


2. Kimiawi : enzim, keasaman lambung
3. Mekanik : gerakan usus, rambut getar selaput lendir
4. Fagositosis : pemusnahan kuman/zat asing oleh sel darah putih
5. Zat komplemen yang berfungsi pada berbagai proses pemusnahan kuman/zat asing. 

Kerusakan pada sistem pertahanan ini akan memudahkan masuknya kuman/zat asing ke dalam
tubuh, misalnya kulit yang luka, gangguan keasaman lambung, gangguan gerakan usus atau
gangguan proses pemusnahan kuman/zat asing oleh leukosi (sel darah putih).

Kekebalan tubuh spesifik


Apabila kuman/zat asing yang masuk tidak dapat ditangkal oleh sistem kekebalan tubuh tidak
spesifik, maka diperlukan sistem kekebalan dengan tingkat yang lebih tinggi atau sistem
kekebalan spesifik . Ada 2 jenis kekebalan spesifik, yaitu (1) kekebalan selular  (sel limfosit T)
dan (2)  kekebalan humoral (sel limfosit B yang memproduksi antibodi). Kekebalan ini hanya
berperan pada kuman/zat asing yang sudah dikenal, artinya jenis kuman/zat asing tersebut sudah
pernah atau lebih dari satu kali masuk ke dalam  tubuh manusia. 

Sistim kekebalan tubuh pada ASI

Air susu ibu sering disebut sebagai darah putih karena mengandung sel-sel yang penting dalam
pemusnahan (fagosit) kuman dan merupakan perlindungan pertama pada saluran cerna bayi. Para
ahli menemukan makrofag dan limfosit di dalam ASI. Sama seperti sistim imun pada umumnya,
ASI juga memiliki sistim pertahanan (sistem imun) tidak spesifik dan spesifik. 

Pertahanan tidak spesifik ASI

Di dalam ASI terdapat banyak sel, terutama pada minggu-minggu pertama menyusui. Kolostrum
dan ASI dini mengandung 1-3 juta sel darah putih (leukosit) per ml. Pada ASI matur, yaitu ASI
setelah 2-3 bulan menyusui, jumlah sel ini menurun menjadi 1000 sel per ml yang terdiri dari
monosit/makrofag (59-63%), sel neutrofil (18-23%), dan sel limfosit (7-13%) ASI juga
mengandung faktor pelindung (protektif) yang larut dalam ASI seperti enzim lisozim, laktoferin
(sebagai pengikat zat besi), sitokin (zat yang dihasilkan oleh sel kekebalan untuk mempengaruhi
fungsi sel lain), dan protein yang dapat mengikat vitamin B12, faktor bifidus, enzim-enzim, dan
antioksidan. 

Sel makrofag

Sel makrofag ASI merupakan sel fagosit (pemusnah bakteri) aktif sehingga dapat menghambat
pertumbuhan bakteri patogen pada saluran cerna. Selain sifat pemusnah, sel makrofag juga
memproduksi enzim lisozim, zat komplemen (komponen cairan tubuh yang berperan dalam
perusakan bakteri), laktoferin, sitokin, serta enzim lainnya. Makrofag pada ASI dapat mencegah
infeksi saluran cerna melalui enzim yang diproduksinya. 
Sel neutrofil

Neutrofil yang terdapat di dalam ASI mengandung sIgA yang dianggap sebagai alat transpor IgA
dari ibu ke bayi. Peran neutrofil ASI lebih ditujukan pada pertahanan jaringan payudara ibu agar
tidak terjadi infeksi pada permulaan laktasi. 

Lisozim

Lisozim dapat menghancurkan dinding sel bakteri yang terdapat pada selaput lendir saluran
cerna. Kadar lisozim dalam ASI adalah 0,1 mg/ml yang bertahan sampai tahun kedua menyusui,
bahkan sampai penyapihan. Dibanding dengan susu sapi, ASI mengandung 300 kali lebih banyak
lisozim per satuan volume yang sama.
 
Komplemen

Komplemen adalah protein yang berfungsi sebagai penanda sehingga bakteri yang ditempel oleh
komplemen dapat dengan mudah dikenal oleh sel pemusnah. Disamping itu, komplomen sendiri
secara langsung dapat menghancurkan bakteri.  

Sitokin

Sitokin meningkatkan jumlah antibodi IgA kelenjar ASI. Sitokin yang berperan dalam sistim
imun di dalam ASI adalah IL-l (interleukin-1) yang berfungsi mengaktifkan sel limfosit T. Sel
makrofag juga menghasilkan TNF-α dan interleukin 6 (IL-6) yang mengaktifkan sel limfosit B
sehingga antibodi IgA meningkat. 

Laktoferin

Laktoferin bersifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Efek ini dicapai dengan
mengikat besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sebagian besar bakteri patogen (misalnya
Staphylococcus dan E. Coli). Kadar laktoferin dalam ASI adalah 1-6 mg/ml dan tertinggi pada
kolostrum. 
Peroksidase

Peroksidase adalah enzim yang dapat menghancurkan kuman patogen. Berbeda dengan susu
sapi,  ASI tidak mengandung laktoperoksidase yang dapat menyebabkan reaksi peradangan di
dinding usus bayi, kalaupun ada kadarnya kecil.  

Faktor protektif lain

ASI juga mengandung protein yang dapat mengikat vitamin B12 sehingga dapat mengontrol
pertumbuhan mikroorganisme di dalam saluran cerna. Makin banyak vitamin B12 yang diikat
oleh protein mengakibatkan makin sedikit vitamin B12 yang digunakan oleh bakteri patogen..    
Air susu ibu juga mengandung glikoprotein (gabungan karbohidrat dan protein), glikolipid
(karbohidrat dan lemak), dan oligosakarida yang berfungsi menyerupai bakteri pada permukaan
mukosa saluran cerna bayi, sehingga dapat menghambat perlekatan bakteri patogen. pada
mukosa saluran cerna. Gabungan makronutrien ini juga berfungsi mengikat racun kuman
(toksin).  Antioksidan dalam ASI, seperti tokoferol-α dan karotin-β merupakan faktor anti
peradangan. Di dalam ASI juga terdapat faktor ketahanan terhadap infeksi stafilokokus (faktor
antistafilokok) dan komponen yang menyerupai gangliosida yang dapat menghambat bakteri E.
Coli.  

Pertahanan spesifik ASI

Mekanisme pertahanan spesifik oleh ASI diperantarai oleh limfosit T dan antibodi.

Limfosit T

Sel limfosit T merupakan 80% dari sel limfosit yang terdapat dalam ASI. Sel limfosit T dapat
menghancurkan kapsul bakteri E. Coli dan mentransfer kekebalan selular dari ibu ke bayi yang
disusuinya. 

Imunoglobulin (antibodi)
Imunoglobulin dihasilkan oleh Sel limfosit B.  Sel limfosit B terutama memproduksi sekretori
IgA (sIgA) yang berfungsi melindungi IgA dari enzim penghancur protein (tripsin, pepsin) di
saluran cerna bayi dan keasaman lambung. Imunoglobulin M (IgM) akan ditransfer pada awal
kehidupan bayi sebagai perlindungan terhadap E.coli dan polio, bila  ibu sudah pernah terpajan
sebelumnya. Imunoglobulin G IgG) dimiliki oleh bayi dari transfer melalui plasenta.
Imunoglobulin D hanya sedikit sekali ditemukan dalam ASI, sedangkan IgE tidak ada. Kadar
sIgA, IgG, dan IgM, tidak dipengarui oleh usia ibu, jumlah anak yang pernah dilahirkan, dan usia
kehamilan.

Imunoglobulin di dalam ASI tidak diserap oleh bayi tetapi berperan memperkuat sistim imun
lokal saluran cerna. Limfosit B pada saluran cerna ibu diaktifkan oleh bakteri pada saluran
cernanya, selanjutnya limfosit aktif ini bermigrasi ke kelenjar payudara menjadi sel plasma dan
menghasilkan antibodi. Selain itu, beberapa kajian juga  memperlihatkan kandungan antibodi
terhadap jamur dan parasit pada ASI.

Air susu ibu juga dilaporkan dapat meningkatkan jumlah sIgA pada saluran napas dan kelenjar
ludah bayi usia 4 hari. Hal ini dibuktikan dengan lebih rendahnya kejadian penyakit radang
telinga tengah, pneumonia, penyebaran bakteri ke bagian tubuh lainnya, meningitis (radang
selaput otak), dan infeksi saluran kemih pada bayi yang mendapat ASI dibanding bayi yang
mendapat susu formula. Fakta ini lebih nyata pada 6 bulan pertama dan dapat terlihat sampai
tahun kedua. Demikian pula angka kematian bayi yang mendapat ASI lebih rendah dibanding
bayi yang mendapat susu formula. 

IgA Sekretori (sIgA)

Imunoglobulin A banyak ditemukan pada permukaan saluran cerna dan saluran napas. Dua
molekul imunoglobulin A bergabung komponen sekretori membentuk IgA sekretori (sIgA).
Fungsi utama sIgA adalah mencegah melekatnya kuman patogen pada dinding saluran cerna dan
menghambat perkembangbiakan kuman di dalam saluran cerna. IgA sekretori di dalam ASI
dilaporkan memiliki aktivitas antibodi terhadap virus (polio, Rotavirus, echo, coxsackie,
influenza, Haemophilus influenzae, virus respiratori sinsisial/RSV), bakteri (Streptococcus
pneumoniae; E. coli, klebsiela, shigela, salmonela, campylobacter), dan enterotoksin yang
dikeluarkan oleh Vibrio cholerae, E. coli serta Giardia lamblia.  Begitu pula terhadap protein
makanan seperti susu sapi dan kedelai (bergantung pada pajanan ibunya). Oleh karena itu, ASI
dapat mengurangi angka kesakitan infeksi saluran cerna dan saluran pernapasan bagian atas. 

Kolostrum  

Kolostrum mengandung sIgA dengan kadar sampai 5000 mg/dL yang cukup untuk melapisi
permukaan saluran cerna bayi terhadap berbagai bakteri patogen dan virus. Begitu pula dengan
antibodi lainnya, paling banyak terdapat dalam kolostrum. Selain itu, terdapat lebih dari 50
proses pendukung perkembangan imunitas termasuk faktor pertumbuhan dan perbaikan
jaringan.  Perbedaan usia ibu mempunyai pengaruh terhadap kadar antibodi yang terkandung
dalam kolostrum. Ibu yang masih remaja, kolostrumnya memiliki kadar IgA dan IgM sekretorik
lebih banyak dibanding ibu yang usianya lebih tua.

Adanya kadar antibodi yang masih tinggi terhadap virus polio dalam kolostrum perlu
dipertimbangkan pada pemberian imunisasi polio per oral. Pada keadaan ini sebaiknya ASI tidak
diberikan 2 jam sebelum dan sesudah pemberian vaksin polio per oral pertama, agar tidak terjadi
netralisasi vaksin polio oleh sIgA kolostrum. 

Hubungan ASI dengan kejadian alergi 

Mukosa saluran cerna bayi menunjukkan kemampuan serap yang tinggi terhadap molekul besar
seperti protein utuh (misalnya protein susu sapi). Pada bayi yang memiliki risiko tinggi alergi,
maka masuknya molekul besar ini menjadi proses pengenalan pertama dari alergen (molekul
penyebab reaksi alergi). Paparan molekul yang sama selanjutnya akan menyebabkan timbulnya
gejala penyakit alergi seperti gejala saluran cerna, eksema dan asma.

Pada beberapa penelitian memperlihatkan pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan
berhubungan dengan rendahnya kejadian penyakit alergi. Penelitian yang dilakukan di Australia
pada 2187 anak selama 6 tahun menyimpulkan bahwa risiko terjadinya asma berkurang pada
bayi yang mendapat ASI eksklusif. Penelitian lain menunjukkan adanya antibodi terhadap
protein susu sapi pada bayi yang mengalami diare akut. 
Air susu ibu dan penularan infeksi 

Beberapa penyakit virus ibu dapat ditularkan kepada bayi melalui ASI. Walaupun virus dapat
ditemukan dalam ASI, tetapi tidak selalu virus ini ditularkan ke bayi. Risiko tinggi penularan
melalui ASI adalah infeksi akut saat lahir, yaitu saat antibodi untuk menetralisir virus masih
sedikit terbentuk. Beberapa macam virus yang dapat ditemukan dalam ASI, yaitu : 

Cytomegalovirus (CMV)

Virus sitomegalo (CMV) dapat ditemukan dalam ASI dan ditularkan ke bayi. Dari data yang ada,
CMV yang ada di dalam ASI tidak menimbulkan efek yang membahayakan bayi. Antibodi
terhadap CMV dapat dipindahkan ke janin melalui plasenta.

Virus rubella

Virus rubella baik pada infeksi alamiah maupun pasca imunisasi pada ibu, dapat ditularkan ke
bayi melalui ASI tetapi tidak menimbulkan efek yang membahayakan. 

Virus herpes simpleks

Virus herpes simpleks dapat ditularkankan kepada bayi melalui ASI dan dapat menimbulkan
penyakit, bahkan dapat mengenai seluruh tubuh. Hal ini terjadi terutama bila luka herpes pada
permukaan payudara. 

Virus hepatitis B

Antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) dapat ditemukan pada ASI ibu pengidap hepatitis B.
Tetapi belum ada bukti kongkrit yang membuktikan bahwa virus hepatitis B tersebut dapat
ditularkan ke bayi melalui ASI. Dilaporkan, lebih kurang 40% ASI dari ibu HBsAg positif juga
menunjukkan HBsAg positif. Walaupun demikian, penelitian tersebut tidak memperlihatkan
perbedaan bermakna dari frekuensi penularan infeksi virus hepatitis B pada bayi yang mendapat
ASI dengan bayi yang tidak mendapat ASI. Penelitian menggunakan mikroskop elektron
memperlihatkan hanya partikel HbsAg yang terkandung di dalam ASI ibu dengan HBsAg positif
(tidak ada partikel Dane); hal ini menandakan bahwa ASI tidak menularkan penyakit hepatitis
B. 

Human immunodeficiency virus (HIV)

Virus HIV dapat ditemukan dalam cairan ASI. Penularan makin tinggi bila stadium infeksi ibu
makin berat. Kemungkinan penularan sekitar 10-15% bergantung lamanya pemberian ASI. Oleh
karena itu pada pencegahan penularan HIV, salah satunya adalah dengan tidak memberikan
ASI. 

Penyimpanan ASI dan kualitas kandungan sifat kekebalan

Penyimpanan ASI yang diperah memiliki risiko menurunnya kadar kandungan kekebalan.
Penyimpanan dmemakai bahan dari gelas merupakan pilihan ideal karena sifat gelas yang inert
akan membuat komponen imunoglobulin dan komponen lain tidak akan menempel pada dinding
wadah penyimpan. ASI dapat disimpan tanpa perubahan di dalam lemari pendingin selama 72
jam. Pembekuan dapat mengurangi kemampuan aktivitas sel imun, sedangkan perebusan /
pemanasan dapat menurunkan efek IgA dan IgA sekretorik.

Bahasan tambahan ,terkait kondisi ibu nifas yang mempengaruhi imun adalah kondisi luka baik
luka SC ataupun jahitan perineum, sehingga perlu dibahas juga terkait luka.

Pengertian Vulva hygiene adalah pemenuhan kebutuhan untuk menyehatkan daerah antar paha
yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang dalam masa antara kelahiran plasenta sampai dengan
kembalinya organ genetik seperti pada waktu sebelum hamil. Menjaga kebersihan pada masa
nifas untuk menghindari infeksi,baik pada luka jahitan atau kulit (Anggraeni, 2010).
Tujuan Vulva Hygiene
a) Mencegah terjadinya infeksi sehubungan dengan penyembuhan jaringan.
b) Pencegahan terjadinya infeksi pada saluran reproduksi yang terjadi dalam 28 hari setelah
kelahiran anak atau aborsi.
Perawatan Luka Perineum
Menurut APN adalah sebagai berikut :
a) Menjaga agar perineum selalu bersih dan kering.
b) Menghindari pemberian obat trandisional.
c) Menghindari pemakaian air panas untuk berendam.
d) Mencuci luka dan perineum dengan air dan sabun 3 – 4 x sehari.
e) Kontrol ulang maksimal seminggu setelah persalinan untuk pemeriksaan penyembuhan luka.
. Penyembuhan Luka
1. Pengertian Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan fungsi jaringan yang
rusak (Boyle, 2008). Pada ibu yang baru melahirkan, banyak komponen fisik normal pada masa
postnatal membutuhkan penyembuhan dengan berbagai tingkat.
2. Pada umumnya, masa nifas cenderung berkaitan dengan proses pengembalian tubuh ibu ke
kondisi sebelum hamil, dan banyak proses di antaranya yang berkenaan dengan proses involusi
uterus, disertai dengan penyembuhan pada tempat plasenta (luka yang luas) termasuk iskemia
dan autolisis. Keberhasilan resolusi tersebut sangat penting untuk kesehatan ibu, tetapi selain
dari pedoman nutrisi (yang idealnya seharusnya diberikan selama periode antenatal) dan saran
yang mendasar tentang higiene dan gaya hidup, hanya sedikit yang bisa dilakukan bidan untuk
mempengaruhi proses tersebut
3. Fisiologi penyembuhan luka
Menurut Smeltzer dan Suzanne (2002) beragam proses seluler yang saling tumpang tindih dan
terus menerus memberikan kontribusi terhadap pemulihan luka, regenerasi sel, proliferasi sel,
dan pembentukan kolagen. Respon jaringan terhadap cidera melewati beberapa fase yaitu :
a. Fase inflamasi Respon vaskuler dan seluler terjadi ketika jaringan terpotong atau mengalami
cidera. Vasokonstriksi pembuluh terjadi dan bekuan fibrinoplateler 21 terbentuk dalam upaya
untuk mengontrol perdarahan. Reaksi ini berlangsung dari 5 menit sampai 10 menit dan diikuti
oleh vasodilatasi venula. Mikrosirkulasi kehilangan kemampuan vasokontriksinya karena
norepinefrin dirusak oleh enzim intraseluler. Sehingga histamin dilepaskan yang dapat
meningkatkan permebialitas kapiler. Ketika mikrosirkulasi mengalami kerusakan, elemen darah
seperti antibodi, plasma protein, elektrolit, komplemen, dan air menembus spasium vaskuler
selama 2 sampai 3 hari, menyebabkan edema, teraba hangat, kemerahan dan nyeri. Sel-sel basal
pada pinggir luka mengalami mitosis dan menghasilkan selsel anak yang bermigrasi. Dengan
aktivitas ini, enzim proteolitik disekresikan dan menghancurkan bagian dasar bekuan darah.
Celah antara kedua sisi luka secara progresif terisi, dan sisinya pada akhirnya saling bertemu
dalam 24 sampai 48 jam.
b. Fase proliferatif Fibroblas memperbanyak diri dan membentuk jaring-jaring untuk sel-sel yang
bermigrasi. Sel-sel epitel membentuk kuncup pada pinggiran luka, kuncup ini berkembang
menjadi kapiler yang merupakan sumber nutrisi bagi jaringan granulasi yang baru. Fibroblas
melakukan sintesis kolagen dan mukopolisakarida. Banyak vitamin, terutama vitamin C sangat
membantu proses metabolisme yang terlibat dalam penyembuhan luka.
c. Fase maturasi Jaringan parut tampak lebih besar, sampai fibrin kolagen menyusun kedalam
posisi yang lebih padat. Hal ini sejalan dengan dehidrasi yang mengurangi jaringan parut tetapi
meningkatkan kekuatannya.

. Proses penyembuhan luka Proses penyembuhan luka menurut Smeltzer dan Suzanne (2002)
yaitu
: a. Per Primam yaitu penyembuhan yang terjadi setelah segera diusahakan bertautnya tepi luka
biasanya dengan jahitan.
b. Per Sekunden yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan perprimam. Proses
penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.
Biasanya dijumpai pada luka-luka dengan kehilangan jaringan, terkontaminasi atau terinfeksi.
Penyembuhan dimulai dari lapisan dalam dengan pembentukan jaringan granulasi.
c. Per Tertiam atau per primam tertunda yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari
setelah tindakan debridemen. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari).

Faktor Eksternal Penyembuhan Luka Menurut Smeltzer Smeltzer dan Suzanne (2002) faktor –
faktor eksternal yang mempengaruhi penyembuhan luka yaitu :
a. Lingkungan Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana ibu akan selalu merasa mendapatkan
perlindungan dan dukungan serta nasihat – nasihat khususnya orang tua dalam merawat
kebersihan pasca persalinan.
b. Tradisi Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca persalinan
masih banyak digunakan, meskipun oleh kalangan masyarakat modern. Misalnya untuk
perawatan kebersihan genital, masyarakat tradisional menggunakan daun sirih yang direbus
dengan air kemudian dipakai untuk cebok.
c. Pengetahuan Pengetahuan ibu tentang perawatan pasca persalinan sangat menentukan lama
penyembuhan luka perineum. Apabila pengetahuan ibu kurang telebih masalah kebersihan maka
penyembuhan lukapun akan berlangsung lama.
d. Sosial ekonomi Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi ibu dengan lama penyebuhan perineum
adalah keadaan fisik dan mental ibu dalam melakukan aktifitas seharihari pasca persalinan. Jika
ibu memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah, bisa jadi penyembuhan luka perineum
berlangsung lama karena timbulnya rasa malas dalam merawat diri.
e. Penanganan petugas Pada saat persalinan, pembersihannya harus dilakukan dengan tepat
oleh penangan petugas kesehatan, hal ini merupakan salah satu penyebab yang dapat
menentukan lama penyembuhan luka perineum.
f. Kondisi ibu Kondisi kesehatan ibu baik secara fisik maupun mental, dapat menyebabkan lama
penyembuhan. Jika kondisi ibu sehat, maka ibu dapat merawat diri dengan baik.
g. Gizi Makanan yang bergizi dan sesuai porsi akan menyebabkan ibu dalam keadaan sehat dan
segar. Dan akan mempercepat masa penyembuhan luka perineum.

Faktor Internal Penyembuhan Luka Menurut Smeltzer dan Suzanne (2002) faktor – faktor internal
yang mempengaruhi penyembuhan luka yaitu :
a. Usia Penyembuhan luka lebih cepat terjadi pada usia muda dari pada orang tua. Orang yang
sudah lanjut usianya tidak dapat mentolerir stress seperti trauma jaringan atau infeksi.
b. Penanganan jaringan Penanganan yang kasar menyebabkan cedera dan memperlambat
penyembuhan.
c. Hemoragi Akumulasi darah menciptakan ruang rugi juga sel-sel mati yang harus disingkirkan.
Area menjadi pertumbuhan untuk infeksi.
d. Hipovolemia Volume darah yang tidak mencukupi mengarah pada vasokonstriksi dan
penurunan oksigen dan nutrient yang tersedia untuk penyembuhan luka.
e. Faktor lokal edema Penurunan suplai oksigen melalui gerakan meningkatkan tekanan
interstisial pada pembuluh

Anda mungkin juga menyukai