Anda di halaman 1dari 9

Inisiasi Menyusu Dini : Sebuah Definisi

Inisiasi menyusu dini (IMD) adalah proses menyusu segera yang dilakukan dalam satu jam
pertama setelah bayi lahir.  Satu jam pertama kelahiran bayi adalah saat paling penting, karena di
masa satu jam pertama ini terjadi fase kehidupan yang mempengaruhi proses menyusui. Setelah
bayi lahir, semua bayi dari ras manapun akan mengalami fase yang sama, yakni fase untuk
mempertahankan fungsi kehidupannya yaitu insting untuk mencari sumber makanan (menyusui).

Manfaat dalam melakukan Inisiasi Menyusu Dini banyak sekali, diantaranya adalah:

1. Mencegah perdarahan pada ibu pasca bersalin, karena hisapan bayi pada puting akan
merangsang hormon oksitosin sehingga otot rahim akan berkontraksi
2. Termoregulasi, suhu tubuh ibu akan naik untuk menghangatkan bayi sehingga mencegah bayi
mengalami hipothermia.
3. Pembentukan koloni bakteri baik pertama, pada saat IMD bayi akan menjilati kulit ibunya,
sehingga terjadi pemindahan bakteri dari kulit ibunya ke sakuran cerna bayi
4. BONDING , terbentuk ikatan yang kuat antara ibu, bayi dan ayah yang mendampingi proses IMD
5. Membantu keberhasilan proses menyusui, karena pada saat IMD bayi akan belajar menghisap
dan melekat pada payudara. Pada satu jam pertama, insting bayi yang terbentuk akan terlatih
dan diingat oleh bayi.
6. Bayi mendapatkan KOLOSTRUM yang banyak mengandung protein anti infektif sehingga
melindungi bayi dari infeksi.

Proses Inisiasi Menyusu Dini ini berlangsung minimal satu jam, bahkan bisa sampai 2 jam
pertama, semua tergantung pada kondisi bayi, proses persalinan apakah persalinan normal atau
operasi (sectio caesaria), dan kondisi ibu. Sebelum melakukan proses IMD sebaiknya diketahui
dulu syaratnya. Inisiasi Menyusu Dini dapat dilakukan jika ibu dan bayi dalam keadaan SEHAT,
BUGAR, TIDAK GAWAT DARURAT. Jika ketiga syarat tersebut terpenuhi, maka bayi dan ibu
berhak mendapatkan IMD, meskipun kelahiran dilakukan melalui operasi caesar.

Fase-fase yang terjadi saat IMD akan dialami oleh semua bayi di dunia. Setelah bayi lahir, bayi
dipotong tali pusatnya, kemudian dikeringkan, KECUALI punggung tangannya. Kepala bayi
dipasangkan topi, bayi diletakan di dada ibu dimana akan terjadi perlekatan kulit ke kulit (skin to
skin contact). Punggung bayi saja yang diselimuti, sementara bagian badan bayi dibiarkan
telanjang.
Fase-fase Inisiasi Menyusu Dini :

 Bayi diletakan bertelanjang dada di atas dada ibunya


 Selama kurang lebih 30 menit bayi akan diam namun bayi dalam kondisi siaga. Fase ini
merupakan fase peralihan  dari dalam kandungan ke luar kandungan
 Bayi akan mulai menggerakan kepalanya, bayi akan menoleh ke kiri dan kanan
 Bayi akan membaui dan menjilati punggung tangan yang masih basah oleh air ketuban, karena
bau air ketuban menjadi penunjuk bagi bayi untuk bisa mencari payudara ibunya
 Bayi akan bergerak menuju payudara ibunya, kaki akan dihentak-hentakan agar badan
terdorong ke arah payudara
 Bayi akan menjilati puting, mengulum kemudian menghisap payudara

Proses IMD tersebut dapat dilakukan dengan kerjasama dari berbagai pihak. Dukungan RS,
dokter, suster, bidan, orang tua dalam melakukan IMD akan memberikan bayi hak mereka untuk
bisa mendapatkan yang terbaik. Mari selamatkan SATU JUTA bayi dengan SATU pesan,
berikan kesempatan bayi SATU jam pertama setelah mereka lahir melalui Inisiasi Menyusu Dini.

(Disarikan dari presentasi dr. Utami Roesli, Sp.A, FABM, IBCLC pada pelatihan konseling
menyusui WHO-Unicef 40 jam)

Air Susu Ibu dan Pengendalian Infeksi

Efektivitas ASI dalam mengendalikan infeksi dapat dibuktikan dengan berkurangnya kejadian beberapa penyakit
spesifik pada bayi yang mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula. Penelitian oleh Badan
Kesehatan Dunia (WHO) membuktikan bahwa pemberian ASI sampai usia 2 tahun dapat menurunkan angka
kematian anak akibat penyakit diare dan infeksi saluran napas akut.  

Sistim kekebalan tubuh pada bayi saat lahir masih sangat terbatas dan akan berkembang sesuai dengan
meningkatnya paparan mikroorganisme di dalam saluran cernanya. Berbagai faktor perlindungan ditemukan di dalam
ASI, termasuk antibodi IgA sekretori (sIgA). Saat menyusui, IgA sekretori akan berpengaruh terhadap paparan
mikroorganisme pada saluran cerna bayi dan membatasi masuknya bakteri ke dalam aliran darah melalui mukosa
(dinding) saluran cerna. Peran perlindungan ASI terdapat pada tingkat mukosa. Pada saat ibu mendapat kekebalan
pada saluran cernanya, kekebalan di dalam ASI juga terangsang pembentukkannya.

Keadaan ini yang menerangkan mengapa menyusui dapat melindungi bayi baru lahir terhadap berbagai infeksi
secara efektif. Berbagai penelitian juga melaporkan bahwa ASI dapat mengurangi kejadian dan beratnya penyakit
diare, infeksi saluran napas, radang telinga tengah (otitis media), radang selaput otak (meningitis), infeksi saluran
kemih, dan infeksi saluran cerna yang disertai kematian jaringan (enterokolitis nekrotikan). 

Perlindungan ASI terhadap infeksi bakteri


Imunoglobulin A yang terdapat di dalam ASI memiliki aktivitas antitoksin terhadap enterotoksin (racun) yang
dihasilkan oleh bakteri E. Coli dan V. Cholerae,  dan antibodi terhadap beberapa tipe E. Coli. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan ditemukannya titer antibodi  E. Coli yang tinggi pada tinja bayi yang mendapat ASI. Suatu
penelitian  prospektif di Bangladesh menunjukkan kadar antibodi kolera yang bervariasi di dalam kolostrum dan ASI.
Adanya hubungan antara kolonisasi, kejadian penyakit, dan antibodi dalam ASI menunjukkan bahwa antibodi
terhadap kolera tidak melindungi anak dari kolonisasi V. cholerae, tetapi melindungi terhadap terjadinya penyakit.
Respons yang cepat dari kolostrum dan ASI serta kemampuan melawan kuman melalui pertahanan tubuh non-
spesifik juga ditemukan pada infeksi salmonella.

Strain (jenis) bakteri E. coli yang ditemukan pada tinja bayi menyusui berbeda dengan bayi yang mendapat susu
formula. Jenis E. coli pada bayi menyusui lebih sensitif terhadap efek bakterisidal (mematikan bakteri) serum
manusia, meskipun kurang sensitif terhadap reaksi spontan seperti yang terjadi pada tempat lain, yaitu kemaluan
atau saluran kemih. Hal ini merupakan salah satu cara ASI melindungi tubuh terhadap infeksi.

Penelitian di Swedia menemukan bakteri E. coli jenis 0111 pada 6 anak yang mengalami diare; 2 diantaranya hanya
mendapat ASI dan memperlihatkan gejala klinis yang ringan. ASI ibu kedua anak tersebut ternyata tidak
mengandung antibodi terhadap E.coli 0111. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada faktor lain di dalam ASI yang
berperan melindungi bayi dari penyakit berat.  

Perlindungan ASI terhadap infeksi virus


Air susu ibu mengandung antibodi terhadap berbagai jenis virus, antara lain  poliovorus, coxsakievirus, echovirus,
influenza virus, reovirus, respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus dan rhinovirus. Telah terbukti bahwa ASI
menghambat pertumbuhan virus-virus tersebut. 

Kolostrum mempunyai aktivitas menetralisasi terhadap RSV.  Virus ini mengancam jiwa dan sering sebagai
penyebab bayi dirawat di beberapa negara berkembang. Bayi yang dirawat karena menderita infeksi RSV jauh lebih
sedikit pada kelompok yang mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula (7% vs 28%). 

Penelitian prospektif tentang respon kekebalan terhadap RSV memperlihatkan antibodi IgM dan IgG jarang
ditemukan dalam kolostrum atau ASI, tetapi IgA spesifik RSV ditemukan pada  40-75%  spesimen (contoh) ASI. Dua
orang ibu yang terinfeksi RSV memiliki IgG, IgM dan IgA di dalam serum dan sekresi hidung/tenggorokannya, tetapi
hanya IgA yang ditemukan dalam ASInya. Keadaan ini membuktikan bahwa antibodi IgA spesifik terhadap
mikroorganisme patogen saluran napas terdapat dalam ASI. Oleh karena RSV hanya bereplikasi (bertambah
banyak) di saluran napas, maka antibodi spesifik RSV yang terdapat di dalam kelenjar payudara dapat berasal dari
jaringan limfoid saluran napas (bronkus). 

Enterokolitis nekrotikan merupakan ancaman serius pada bayi khusunya  prematur. Penelitian prospekti terhadap
bayi berat lahir rendah di India dengan menggunakan ASI  donor dari manusia, didapatkan kejadian infeksi lebih
sedikit secara bermakna dan tidak terdapat infeksi berat pada kelompok yang diberi ASI manusia, sedangkan bayi
pada kelompok yang tidak mendapat ASI (kontrol) banyak mengalami diare, pneumonia, sepsis dan meningitis.

Peran IgA sekretori di dalam ASI juga dapat dilihat pada kejadian radang telinga tengah (otitis media purulenta).
Kejadian otitis media purulenta lebih sedikit pada kelompok bayi yang mendapat ASI eksklusif dibanding bayi yang
hanya mendapat susu formula.  

Perlindungan ASI terhadap protozoa


Di dalam ASI terkandung bile salt stimulated lipase (BSSL) yang diduga berperan sebagai mematikan protozoa.
Walaupun demikian mekanisme kerja secara pasti belum diketahui. Nonlipase (faktor non-imunoglobulin) juga telah
diidentifikasikan di dalam ASI dan dapat menginaktivasi Giardia Lamblia.

Transmisi penyakit infeksi melalui air susu ibu 


Air susu ibu memberikan perlindungan kepada bayi melalui beberapa mekanisme, antara lain memperbaiki
pertumbuhan mikroorganisme non-patogen, mengurangi pertumbuhan mikroorganisme patogen saluran cerna,
merangsang perkembangan barier mukosa saluran cerna dan napas, faktor spesifik (IgA sekretori, sel kekebalan), 
mengurangi reaksi inflamasi (peradangan), dan sebagai imunomodulator (perangsang kekebalan). 

Beberapa  virus (HIV1, human T-limfofotrophic virus I/HTLV-I, CMV) ditransmisi melalui ASI sehingga dapat
menyebabkan infeksi pada bayi dan anak. Meskipun jarang, bakteri Streptococcus grup B dilaporkan dapat
menginfeksi bayi melalui ASI. Walaupun demikian, menyusui jarang menjadi kontra-indikasi saat ibu mengalami
infeksi. Segala keputusan tentang kemungkinan infeksi pada bayi dan anak harus mempertimbangkan keuntungan
ASI dan kerugian risiko penularan penyakit.

Saat terjadinya infeksi pada ibu dan bayi dapat menentukan mekanisme penularan. Infeksi saat persalinan dapat
terjadi akibat paparan darah/cairan tubuh atau kontak dengan mikrorganisme patogen. Infeksi yang terjadi setelah
persalinan melalui orang yang merawatnya (misalnya orangtua, saudara, pengunjung, petugas kesehatan) atau
lingkungan (alat kedokteran, muntahan). Paparan pada bayi umumnya terjadi sebelum penyakit pada ibu
terdiagnosis (misalnya campak, infeksi virus Coxakie) atau sebelum ibu tampak sakit (cacar air, hepatitis). Oleh
karena itu, menghentikan ASI  tidak akan mencegah infeksi pada bayi, bahkan akan mengurangi efek ASI untuk
membatasi penyakit pada bayi. 
 
Beberapa penyakit ibu dengan gejala demam (misalnya payudara membangkak, atelektasis (paru kempis),
peradangan pembuluh darah, dan infeksi saluran kemih) bukan merupakan alasan untuk memisahkan bayi dari
ibunya. Pertimbangan penting lain yang berhubungan dengan ASI dan infeksi adalah kadar obat dalam ASI. Kadar
obat dalam ASI yang tertelan oleh bayi umumnya tidak bermakna dibanding kadar obat yang diminum bayi secara
langsung. 
Infeksi Bakteri
Infeksi bakteri sering terjadi pada neonatus dan bayi, dengan frekuensi 1-5 episod per 1000 kelahiran. Saat
terjadinya infeksi dibagi menjadi early onset (sebelum usia 7 hari, terutama kurang dari 24 jam), late onset (usia 7-30
hari), dan very late-onset (usia lebih dari 30 hari). Mikroorganisme yang sering ditemukan pada early onset adalah
Streptococci group B dan E. Coli, disamping beberapa mikroorganisme patogen lainnya, seperti Streptococci,
Enterococcus spp. Listeria spp, Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, Chlamydia spp, dan
mikroorganisme genital ibu. Mikroorganisme tersebut juga dapat menyebabkan infeksi late- atau very late-onset.
Transmisi mikroorganisme melalui ASI sangat jarang terjadi dibanding penularan saat persalinan atau melalui kontak
langsung dengan lingkungan setelah melahirkan. . 

Infeksi Clamydia merupakan infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual. Kolonisasi yang terjadi saat bayi
melalui jalan lahir dapat menyebabkan konjungtivitis (infeksi pada mata) dan pneumonitis (infeksi pada paru).  Di
dalam kolostrum dan ASI terkandung IgA sekretori spesifik terhadap Clamydia.  Sampai sejauh ini, tidak ada bukti
penularan infeksi Clamydia melalui ASI.

Escheria coli dapat menyebabkan bakteremia dan infeksi sistemik pada neonatus. Meskipun E.coli sering ditemukan
pada lingkungan ibu dan bayi, belum pernah dilaporkan bahwa ASI sebagai sumber infeksi E. Coli. Infeksi
Haemophilus influenzae dapat terjadi melalui kontak langsung atau droplet pernapasan. Begitu pula, belum ada bukti
transmisinya melalui ASI, bahkan dilaporkan ASI dapat membatasi kolonisasi H. Influenzae di tenggorokan bayi.
Neisseria gonorrhoeae ditransmisi melalui jalan lahir dan jarang melalui kontak setelah lahir. Risiko penularan melalui
ASI tidak pernah dilaporkan, sehingga  ASI dapat terus diberikan.  

Infeksi Staphylococcus sering terjadi lambat pada periode neonatus. Empat puluh sampai sembilan puluh persen
bayi yang dirawat inap mengalami kolonisasi Staphylococcus aureus pada hari ke-5 dengan sumber infeksinya
adalah kontak dengan ibu, petugas kesehatan, atau donor ASI yang terkontaminasi. Bakteri ini sering pula sebagai
penyebab mastitis (infeksi kelenjar payudara) pada ibu. 

Infeksi coagulase-negative staphylococcus menyebabkan infeksi late-onset pada bayi. Prematuritas, berat lahir
rendah/sangat rendah, pengobatan invasif (infus,  pembedahan, cuci darah), pemakaian antibiotik dan perawatan
yang lama merupakan faktor risiko terjadinya infeksi ini. Tidak ada perbedaan kejadian infeksi pada bayi yang
mendapat susu formula dan ASI. Oleh karena itu, ASI tetap diberikan dan diharapkan dapat memberikan manfaat
dari kandungan lainnya. 

Streptococcus group B (GBS) ditransmisi  terutama saat dalam kandungan dan saat persalinan. American Academy
of Pediatrics merekomendasi pemberian antibiotik profilaksis intrapartum pada bayi dengan risiko tinggi. Kolonisasi
pada bayi terjadi saat pasca persalinan dan menyebabkan penyakit GBS late-onset. Penelitian menemukan GBS di
dalam hidung, tenggorokan bayi, dan payudara ibu pada saat yang sama.  Penularan lebih disebabkan melalui
kontak. Ibu yang terinfeksi dan mendapat pengobatan, perlu dipisahkan dari bayinya selama 24 jam dengan tetap
memberikan ASI perah untuk bayinya.

Begitu pula tidak ada bukti tentang penularan Clostridium botulinum atau toksinnya melalui ASI. Pertumbuhan
Clostridium botulinum di dalam saluran cerna dapat dihambat dengan suasana asam yang ditimbulkan akibat
mengkonsumsi ASI.

Tuberkulosis kongenital dan mastitis tuberkulosis (TB) jarang terjadi. Penularan TB  setelah lahir dapat terjadi melalui
droplet dari ibu atau anggota keluarga lainnnya yang menderita TB aktif. Bayi menyusui atau yang mendapat susu
formula memiliki risiko yang sama untuk tertular melalui saluran napas. Apabila ibu sudah mendapat pengobatan
yang adekuat dan sudah dinyatakan tidak menular, maka ibu dapat kontak langsung dengan bayinya.

Pemantauan terhadap ibu dan bayi harus terus dilakukan sampai ibu selesai mendapat pengobatan. Transmisi TB
dari ASI belum pernah dilaporkan pada kasus tanpa mastitis TB. ASI dapat diberikan secara aman pada bayi, karena
obat anti TB pun dapat diberikan kepada bayi.  Satu-satunya kontraindikasi pemberian ASI adalah jika ibu menderita
mastitis TB. Pengobatan profilaksis isoniazid yang diberkan kepada bayi dapat mencegah terjadinya infeksi TB.
Apabila baik ibu maupun bayi mendapat terapi TB, maka ibu dapat kontak langsung dengan bayinya.

Infeksi virus
Infeksi virus pada bayi dapat terjadi saat di dalam kandungan dan saat persalinan. Transmisi infeksi melalui ASI telah
dilaporkan pada CMV, HIV1, dan HTLV-1. Cytomegalo virus merupakan infeksi kongenital tersering di Amerika.
Sekitar 1% bayi mengekskresi CMV dari urinnya saat setelah lahir ( kurang dari usia 3 minggu).  Kurang lebih 5%
bayi yang terinfeksi kongenital  akan mengalami gejala saat lahir dan 15% akan memperlihatkan gejala di kemudian
hari (seperti kehilangan pendengaran dan gangguan belajar). Infeksi pada bayi dapat melalui kontak langsung atau
cairan tubuh saat melahirkan. Infeksi saat setelah lahir dapat terjadi melalui ASI atau kontak dengan cairan tubuh
dari individu yang terinfeksi. Infeksi melalui ASI jarang menyebabkan penyakit pada bayi cukup bulan. Antibodi pada
ibu yang terinfeksi CMV dapat melalui plasenta dan melindungi bayi cukup bulan dari infeksi CMV. 

Infeksi primer CMV yang terjadi pada ibu saat melahirkan atau selama laktasi jarang meningkatkan risiko penyakit
pada bayi. Virus ini dapat diidentifikasi dalam ASI ibu dengan CMV positif dengan jumlah yang bervariasi. Penelitian
melaporkan kejadian infeksi CMV berkurang pada bayi prematur yang mengkonsumsi ASI dengan CMV positif yang
disimpan pada suhu -20OC atau dipasteurisasi. Ibu dengan CMV positf dapat memberikan ASI kepada bayinya yang
cukup bulan dengan aman. Sebaliknya, bayi prematur dengan CMV negatif harus dihindarkan dari ASI dengan CMV
positif. 

Virus hepatitis (A, B dan C), CMV, dan virus Epstein Barr merupakan virus penyebab hepatitis terbanyak. Transmisi
hepatitis A  (HAV) dalam ASI  hanya dilaporkan pada satu kasus dan paparan biasanya telah terjadi sebelum
diagnosis pada ibu ditegakkan. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menghentikan menyusui. Bayi dari ibu yang
terinfeksi HAV harus mendapat imunoglobulin dan imunisasi HAV. 

Infeksi hepatitis B (HBV) kronis berkembang pada 90% bayi yang terinfeksi saat dalam kandungan dan saat
kelahiran. Meskipun transmisi HBV dapat melalui ASI, (+40% ASI dari ibu HBsAg positif juga menunjukkan HBsAg
positif) tetapi tidak ada perbedaan kejadian infeksi pada bayi yang mendapat susu formula maupun ASI. Penelitian
menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan hanya partikel HBsAg  yang terkandung di dalam ASI ibu dengan 
HBsAg positif  (tidak ada partikel Dane); hal ini menandakan bahwa ASI tidak menularkan penyakit hepatitis B.

Pemberian Imunoglobulin Hepatitis B (HBIg)  dan  vaksin HBV segera setelah bayi lahir dari ibu penderita hepatitis B
dapat mencegah  penularan  pada  lebih dari 95% kasus, tanpa memandang bagaimana pemberian makanannya
dan ASI dapat terus diberikan.  

Infeksi virus hepatitis C  (HCV) dapat menjadi infeksi kronik pada 70%-85%  kasus, tanpa memperhatikan kapan
infeksi terjadi. Menyusui bukan merupakan kontraindikasi  bagi ibu dengan infeksi HCV, walaupun diduga bahwa
puting lecet atau berdarah dapat meningkatkan risiko penularan.

Virus herpes simpleks tipe 1 dan 2 (HSV-1,HSV-2)  dapat menyebabkan infeksi saat dalam kandungan dan
persalinan. Penelitian melaporkan bayi yang mendapat ASI terinfeksi oleh HSV dari ibu HSV positif akibat luka pada
payudara.  Menyusui atau ASI perah tanpa ada lesi pada payudara ibu dan tanda lain infeksi HSV dapat diberikan
dengan menggunakan perlindungan yang aman, seperti menutupi daerah lesi/luka, menggunakan baju khusus dan
rajin mencuci tangan. 

Ibu dengan HIV-1 positif yang menyusui bayinya dapat meningkatkan risiko penularan melalui ASI sebesar 4%-22%. 
Walaupun demikian, menghentikan pemberian ASI pada negara miskin justru akan meningkatkan angka kesakitan
dan kematian akibat asupan nutrisi yang kurang atau akibat infeksi lain. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk
membatasi penularan HIV1 dari ibu ke bayi, antara lain memenuhi kriteria AFASS menyusui eksklusif, penghentian
dini (6 bulan), edukasi untuk mengurangi terjadinya mastitis atau lesi pada puting, terapi antivirus untuk ibu dan bayi,
mengurangi jumlah virus di ASI (dengan sinar ultraviolet, pembekuan, dan thawing), menstimulasi sistim kekebalan
tubuh bayi dengan imunisasi. Semua upaya tersebut harus diuji kemampu laksanaannya (feasibility), diterima oleh
budaya setempat, manfaat gizi, dan efikasi dengan efek terbaik. Virus HIV2 menyebabkan penyakit dengan gejala
klinis mirip dengan HIV1. Oleh karena belum cukup data mengenai transmisi virus tersebut, maka pedoman
menyusui atau memberi ASI sama dengan infeksi HIV1.   

Respiratory syncytial virus (RSV) sering menyebabkan  penyakit saluran napas akut pada bayi dan anak. Sampai
sejauh ini tidak ada bukti penularan RSV melalui ASI, sehingga menyusui pada ibu yang terinfeksi RSV dapat
dilanjutkan. ASI perah dapat digunakan bila bayi mengalami kesulitan mengisap akibat adanya distres pernapasan.

Infeksi virus varicella-zoster (VZV) menyebabkan varicella (cacar air) pada infeksi primer dan Herpes Zoster pada
infeksi reaktivasi. Bayi yang menyusu pada ibu terinfeksi VZV mempunyai risiko tertular yang sama dengan bayi
yang mendapat susu formula. Bayi harus dipisahkan dan dirawat oleh orang lain selama ibu masih dalam periode
menular. ASI perah dapat diberikan kepada bayi jika tidak ada lesi kulit pada payudara atau setelah imunoglobulin
varicella-zoster telah diberikan kepada bayinya.

Virus rubella baik pada infeksi alamiah maupun pasca imunisasi pada ibu, dapat ditularkan ke bayi melalui ASI tetapi
tidak menimbulkan efek yang membahayakan.

Virus dengue (serotipe 1-4) menyebabkan demam berdarah dengue. Tidak ada bukti ilmiah adanya penularan virus
dengue melalui ASI. Ibu dengan penyakit dengue dapat tetap menyusui. Human T Lymphoma virus (HTLV) yang
dilaporkan dapat menyebabkan leukemia dilaporkan ditransmisi melalui ASI.

Kesimpulan
Air susu ibu bukan merupakan tempat penularan dari sebagian besar infeksi virus pada ibu, oleh karena itu
meneruskan menyusui merupakan tindakan terbaik bagi ibu dan bayi. Virus CMV, HIV, dan HTLV-1 merupakan virus
yang sering dilaporkan sebagai penyebab infeksi pada bayi akibat penularan dari ASI. Infeksi bakteri pada ibu jarang
mengakibatkan penularan infeksi melalui ASI kepada bayi. Pada sebagian kasus ibu menyusui dengan tersangka
infeksi, menghentikan menyusui hanya akan mengurangi masukan nutrisi dan manfaat kekebalan dari ASI.
Keputusan untuk menyusui harus mempertimbangkan manfaat tak ternilai ASI dibanding risiko tertularnya penyakit.

Sumber : Buku Bedah ASI IDAI

Penulis : Alan R. Tumbelaka dan Mulya R. Karyanti

2
Tips Menyimpan ASI yang Baik
Category: Parenting
-

Artikel Popular

 Panduan Kehamilan
 Cara Cepat Hamil
 Tanda-Tanda Kehamilan
 Proses Melahirkan
 Perkembangan Janin
 Menghitung Masa Subur
 Perkembangan Bayi
 Kanker Serviks
 Dongeng Anak
 Keputihan
 Makanan Bayi
 Masa Subur Wanita
 Proses Kehamilan
 Nama Bayi
 Arti Nama

 Semua ibu didunia pasti ingin menyusui anaknya dengan ASI yang
terbaik. Ibu-ibu merasa beruntung jika ASI dapat keluar dengan
lancar. Namun anda pasti sangat kesulitan memberi ASI kepada
anak anda jika anda seorang wanita karir. Anda tidak perlu khawatir
karena anda bisa memeras ASI dan kemudian menyimpan
asi tersebut dengan cara yang baik. Bagaimanakah cara-cara untuk
menyimpan air susu dengan maksimal tanpa mengurangi nilai gizi
dan nutrisi dalam ASI tersebut? Banyak ibu yang menyimpan air
susunya di kulkas. Ini akan membuat ASI bertahan lebih lama. Anda
harus membaca panduan sebelum menyimpan asi anda sehingga
tidak akan berbahaya bagi anak anda:
     ASI yang anda peras hanya bisa bertahan di suhu ruangan selama 10 jam jika anda memilih
menyimpannya di suhu ruangan.
     ASI yang disimpan di kulkas, harus segera digunakan dalam setengah jam setelah berada
di suhu ruangan.
     ASI dapat disimpan di kulkas untuk 5 sampai 7 hari kedepan
     Jika anda menggunakan Freezer, ASI bisa bertahan hingga 6 bulan. Anda harus menyimpan
nya di bagian yang paling dingin.
     Anda bisa memindahkan ASI dari kulkas ke Freezer tetapi jangan pindahkan jika ASI telah
ada di kulkas selama 48 jam.
     Jangan memenuhi semua isi botol dengan ASI sisakan minimal 4 cm dari bagian atas botol
karena ASI akan mengembang. Anda bisa menggunakan tutup dari plastic dan karet. Pastikan
penutup rapat.
     Jangan lupa memberi label tanggal sehingga ASI yang sudah lama bisa dipakai terlebih
dahulu dan tidak basi.
     Jika anda tidak menyimpan asi dalam kulkas atau freezer, anda bisa saja menyimpan dalam
kotak pendingin tetapi ini bukan alternative untuk jangka waktu yang lama. Ini hanya bisa
digunakan untuk beberapa jam saja.

Anda bisa menggunakan ASI dalam kulkas atau Freezer setelah menghangatkan ASI yang telah
disimpan. Bagaimana cara untuk menghangatkan dan mencairkan ASI? Berikut tipsnya:
     Ambil botol ASI dan kemudian letakkan dalam suhu ruangan atau anda bisa letakkan diatas
mangkok dengan air panas.
     Jangan pernah mencairkan ASI dimicrowave karena akan merusak kandungan dalam ASI
yang anda berikan.
     Aduk merata untuk memisahkan krim dalam ASI
     Jangan memberikan air susu tersebut jika belum benar benar telah cair dan menjadi susu.
     Jangan pernah memberikan ASI yang telah berbau asam
     ASI hanya bisa bertahan 24 jam setelah dicairkan.

Anda harus benar-benar mempelajari cara menyimpan asi yang benar demi kualitas asi untuk buah hati
anda yang tercinta.
Sumber : Tips Menyimpan ASI yang Baik http://bidanku.com/tips-menyimpan-asi-yang-
baik#ixzz3BVUAbz89

Tips Menyimpan ASI Perah

Image by : Dokumentasi Ayahbunda

Memerah dan menyimpan ASI memang menjadi solusi tepat untuk ibu bekerja yang ingin tetap
memberikan ASI untuk bayinya. Ini rahasia menyimpan ASI perah agar tetap aman diminum bayi.

 Siapkan wadah penampung ASI yang mudah disterilkan, biasanya berupa botol bertutup rapat
yang terbuat dari gelas tahan panas.
 Gunakan wadah yang volumenya sesuai dengan kebutuhan bayi untuk sekali minum, misalnya
125 ml.
 Bila ASI perah akan diberikan kurang dari 6 jam, maka tidak perlu di simpan di lemari pendingin.
Sebaiknya jangan menyimpan ASI di suhu kamar lebih dari 3 atau 4 jam.
 Bila perlu disimpan selama 24 jam, segera masukkan ASI perah ke dalam lemari pendingin pada
suhu 4 derajat celcius (jangan sampai beku).
 Bila ASI perah akan digunakan dalam waktu 1 minggu atau lebih, maka ASI perah tersebut harus
segera didinginkan dalam lemari pendingin selama 30 menit, lalu dibekukan pada suhu -18
derajat celcius atau lebih rendah. ASI yang sudah dibekukan dapat disimpan antara 3 – 6 bulan.
 Bila mungkin, simpanlah ASI di lemari pendingin bagian tengah, atau di bagian terdalam freezer,
karena lokasi-lokasi tersebut memiliki temperatur yang lebih dingin dan konstan.
 Jangan menyimpan ASI pada rak yang menempel di pintu lemari pendingin karena temperatur di
tempat ini mudah berubah ketika pintu dibuka dan ditutup.
 Beri label setiap wadah ASI yang berisi keterangan kapan ASI tersebut diperah.
 Jangan mengisi penuh wadah penampung ASI, karena ASI akan memuai saat membeku. Sisakan
kurang lebih ¼ bagian kosong.
 ASI yang telah dihangatkan tidak boleh didinginkan lagi untuk diberikan pada bayi di waktu
minum berikutnya.
 Pembekuan yang lama (lebih dari 6 bulan) dapat mengubah komposisi kimia ASI, seperti terjadi
penguraian beberapa senyawa lemak dan hilangnya beberapa senyawa yang berfungsi melawan
organisme berbahaya. Risiko kontaminasi juga tinggi, jika tiba-tiba listrik padam sehingga susu
cair dan dibekukan kembali.  
 Simpan ASI beku sebagai cadangan untuk keadaan darurat. Jika sedang di rumah, susui bayi.
(me)

Anda mungkin juga menyukai