Anda di halaman 1dari 60

PANDUAN 6 SASARAN KESELAMATAN PASIEN

BAB I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keselamatan pasien telah menjadi issue global sejak adanya laporan dari
Institute of Medicine Amerika Serikat pada tahun 2000 dalam sebuah buku “TOO
ERR IS HUMAN, Building a Safer Health System”, yang menyatakan kematian
akibat terjadinya kejadian yang tidak diharapkan (KTD/ adverse event) di rumah
sakit melebihi angka kematian akibat kecelakaan, HIV dan kanker. Lebih dari 10
tahun, patient safety telah diperkenalkan sehingga menjadi suatu issue global yang
sangat penting dan banyak hal sudah dikerjakan untuk mencapai patient safety
tersebut.

Pada tahun 2005, keselamatan pasien mulai diperkenalkan dalam dunia


kesehatan Indonesia melalui Perhimpunan Rumah Sakit yang kemudian
membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit dan diikuti dengan
pencanangan gerakan nasional keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit oleh
Menteri Kesehatan RI. Salah satu upaya untuk meningkatkan keselamatan pasien
adalah penyusunan 6 sasaran keselamatan pasien. Penyusunan sasaran keselamatan
pasien ini mengacu kepada Nine Life Saving Patients Solution dari WHO Petient
Safety (2007) yang juga digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (KKPRS PERSI) dan dari Joint Commision International (JCI).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691


tahun 2011, setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan 6 sasaran
keselamatan pasien, meliputi tercapainya ketepatan identifikasi pasien;
peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu
diwaspadai; kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi;
pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan pengurangan risiko
pasien jatuh. Saat ini Rumah Sakit Emanuel juga berupaya melaksanakan 6 sasaran
keselamatan pasien berdasarkan pada standar yang ditetapkan.
B. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dari sasaran keselamatan pasien adalah mendorong peningkatan spesifik
dalam keselamatan pasien. Melihat hal tersebut, Rumah Sakit Emanuel secara
kolaboratif mengembangkan panduan sasaran keselamatan pasien yang dapat
diterapkan dalam pelayanan kesehatan. Panduan sasaran keselamatan pasien ini
diharapkan dapat menjadi solusi secara sistem untuk memberikan asuhan pasien
yang aman dan bermutu tinggi.

C. LANDASAN HUKUM
1. Undang- Undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit
2. Surat keputusan pengurus YAKKUM Nomor :.....................tentang
Pengangkatan Dokter Samuel Zacharias Spesialis Bedah sebagai Direktur
Rumah sakit Emanuel YAKKUM di Banjarnegara periode jabatan 2014
sampai dengan 2019
3. UU No.36 tahun 2009, tentang Kesehatan
4. MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
5. Permenkes nomer 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit
6. PPRI No.72 tahun 1998, tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
no:270/MENKES/SK/III/2007 tentang pedoman Manajerial Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi Nosokomial
BAB II. KETEPATAN IDENTIFIKASI PASIEN

A. DEFINISI
Gelang identitas pasien merupakan gelang individual yang digunakan untuk
mengidentifikasi pasien rawat inap di rumah sakit. Gelang identitas adalah alat yang
penting untuk mencegah kesalahan ketidaksesuaian antara pasien dengan
perawatannya. Gelang identitas pasien berisi informasi tentang pasien, dan penting
untuk pengecekan identitas selama proses perawatan berlangsung (Australia
Commision for Safety and Quality in Health Care, 2010 ).

B. RUANG LINGKUP
1. Panduan ini diterapkan kepada semua pasien rawat inap, pasien Instalasi Gawat
Darurat (IGD), dan pasien yang akan menjalani suatu prosedur.
2. Pelaksana panduan ini adalah para tenaga kesehatan (medis, perawat, farmasi,
bidan, dan tenaga kesehatan lainnya); staf di ruang rawat, staf administratif, dan
staf pendukung yang bekerja di rumah sakit.

C. PROSEDUR PEMAKAIAN GELANG PENGENAL


1. Semua pasien harus diidentifikasi dengan benar sebelum pemberian obat, darah,
atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan
klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan lain.
2. Pakaikan gelang pengenal di pergelangan tangan pasien yang dominan, jelaskan
dan pastikan gelang tepasang dengan baik dan nyaman untuk pasien.
3. Pada pasien dengan fistula arterio-vena (pasien hemodialisis), gelang pengenal
tidak boleh dipasang di sisi lengan yang terdapat fistula.
4. Jika tidak dapat dipakaikan di pergelangan tangan, pakaikan di pergelangan kaki.
Pada situasi di mana tidak dapat dipasang di pergelangan kaki, gelang pengenal
dapat dipakaikan di baju pasien di area yang jelas terlihat. Hal ini harus dicatat di
rekam medis pasien. Gelang pengenal harus dipasang ulang jika baju pasien
diganti dan harus selalu menyertai pasien sepanjang waktu.
5. Pada kondisi tidak memakai baju, gelang pengenal harus menempel pada badan
pasien dengan menggunakan perekat transparan/tembus pandang. Hal ini harus
dicatat di rekam medis pasien.
6. Gelang pengenal hanya boleh dilepas saat pasien keluar/pulang dari rumah sakit.
7. Gelang pengenal pasien sebaiknya mencakup 4 detail wajib yang dapat
mengidentifikasi pasien, yaitu:
i. Nama pasien dengan minimal 2 suku kata
ii. Tanggal lahir pasien (tanggal/bulan/tahun) atau Umur
iii. Nomor rekam medis pasien
iv. Alamat
8. Detail lainnya adalah warna gelang pengenal sesuai jenis kelamin pasien.
9. Nama tidak boleh disingkat. Nama harus sesuai dengan yang tertulis di rekam
medis. Jangan pernah mencoret dan menulis ulang di gelang pengenal. Ganti
gelang pengenal jika terdapat kesalahan penulisan data.
10. Jika gelang pengenal terlepas, segera berikan gelang pengenal yang baru.
11. Gelang pengenal harus dipakai oleh semua pasien selama perawatan di rumah
sakit.
12. Jelaskan prosedur identifikasi dan tujuannya kepada pasien.
13. Periksa ulang 4 detail data di gelang pengenal sebelum dipakaikan ke pasien.
14. Saat menanyakan identitas pasien, selalu gunakan pertanyaan terbuka, misalnya:
‘Siapa namaAnda?’ (jangan menggunakan pertanyaan tertutup seperti ‘Apakah
nama anda Ibu Susi?’)
15. Jika pasien tidak mampu memberitahukan namanya (misalnya pada pasien tidak
sadar, bayi, disfasia, gangguan jiwa), verifikasi identitas pasien kepada keluarga /
pengantarnya. Jika mungkin, gelang pengenal jangan dijadikan satu-satunya
bentuk identifikasi sebelum dilakukan suatu intervensi.
16. Tanya ulang nama dan tanggal lahir pasien, kemudian bandingkan jawaban
pasien dengan data yang tertulis di gelang pengenalnya.
17. Semua pasien rawat inap dan yang akan menjalani prosedur menggunakan
gelang pengenal.
18. Untuk pasien anak dan neonatus, gunakan 2 gelang pengenal pada ekstremitas
yang berbeda.
19. Pengecekan gelang pengenal dilakukan tiap kali pergantian jaga perawat.
20. Sebelum pasien ditransfer ke unit lain, lakukan identifikasi dengan benar dan
pastikan gelang pengenal terpasang dengan baik.
21. Unit yang menerima transfer pasien harus menanyakan ulang identitas pasien dan
membandingkan data yang diperoleh dengan yang tercantum di gelang pengenal.
22. Pada kasus pasien yang tidak menggunakan gelang pengenal:
i. Hal ini dapat dikarenakan berbagai macam sebab, seperti:
a. Menolak penggunaan gelang pengenal
b. Gelang pengenal menyebabkan iritasi kulit
c. Gelang pengenal terlalu besar
d. Pasien melepas gelang pengenal
ii. Pasien harus diinformasikan akan risiko yang dapat terjadi jika gelang
pengenal tidak dipakai. Alasan pasien harus dicatat pada rekam medis.
23. Jika pasien menolak menggunakan gelang pengenal, petugas harus lebih waspada
dan mencari cara lain untuk mengidentifikasi pasien dengan benar sebelum
dilakukan prosedur kepada pasien.

D. WARNA PADA GELANG PENGENAL


1. Gunakan gelang pengenal sesuai dengan jenis kelaminnya, biru untuk pria dan
merah jambu untuk wanita.
2. Semua pasien harus ditanyakan mengenai alergi yang dimiliki
3. Jika pasien memiliki alergi, diberikan kancing risiko berwarna merah. Tulis
dengan jelas alergi pada kancing tersebut.
4. Riwayat alergi pasien harus dicatat di rekam medis.
5. Untuk pasien dengan risiko jatuh, diberikan kancing dengan warna kuning.

E. PROSEDUR YANG MEMBUTUHKAN IDENTIFIKASI PASIEN DENGAN


BENAR
1. Berikut adalah beberapa prosedur yang membutuhkan identifikasi pasien:
v. Pemberian obat-obatan
vi. Prosedur pemeriksaan radiologi (rontgen, MRI, dan sebagainya)
vii. Intervensi pembedahan dan prosedur invasif lainnya
viii. Transfusi darah
ix. Pengambilan sampel (misalnya darah, tinja, urin, dan sebagainya)
x. Transfer pasien
xi. Konfirmasi kematian
2. Para staf RS harus mengkonfirmasi identifikasi pasien dengan benar dengan
menanyakan nama dan tanggal lahir pasien/ umur atau alamat , kemudian
membandingkannya dengan yang tercantum di rekam medis dan gelang
pengenal. Jangan menyebutkan nama dan tanggal lahir, atau alamat pasien dan
meminta pasien untuk mengkonfirmasi dengan jawaban ya / tidak.
3. Jangan melakukan prosedur apapun jika pasien tidak memakai gelang
pengenal. Gelang pengenal harus dipakaikan ulang oleh perawat yang bertugas
menangani pasien secara personal sebelum pasien menjalani suatu prosedur.
4. Identifikasi pasien yang menjalani prosedur pemeriksaan radiologi:
i. Operator harus memastikan identitas pasien dengan benar sebelum
melakukan prosedur, dengan cara:
 Meminta pasien untuk menyebutkan nama lengkap dan tanggal
lahirnya.
 Periksa dan bandingkan data pada gelang pengenal dengan rekam
medis.
 Jika data yang diperoleh sama, lakukan prosedur.
ii. Jika terdapat ≥ 2 pasien di departemen radiologi dangan nama yang sama,
periksa ulang identitas dengan melihat alamat rumahnya.
iii. Jika data pasien tidak lengkap, informasi lebih lanjut harus diperoleh
sebelum pajanan radiasi (exposure) dilakukan.
5. Identifikasi pasien yang menjalani tindakan operasi:
i. Petugas di kamar operasi harus mengkonfirmasi identitas pasien
ii. Jika diperlukan untuk melepas gelang pengenal selama dilakukan operasi,
tugaskanlah seorang perawat di kamar operasi untuk bertanggungjawab
melepas dan memasang kembali gelang pengenal pasien.
iii. Gelang pengenal yang dilepas harus ditempelkan di depan rekam medis
pasien

F. PROSEDUR PENGAMBILAN DAN PEMBERIAN PRODUK / KOMPONEN


DARAH
1. Identifikasi, pengambilan, pengiriman, penerimaan, dan penyerahan komponen
darah (transfusi) merupakan tanggungjawab petugas yang mengambil darah.
2. Dua orang staf RS yang kompeten harus memastikan kebenaran: data
demografik pada kantong darah, jenis darah, golongan darah pada pasien dan
yang tertera pada kantong darah, waktu kadaluwarsanya, dan identitas pasien
pada gelang pengenal.
3. Staf RS harus meminta pasien untuk menyebutkan nama lengkap dan tanggal
lahirnya / umur atau alamatnya.
4. Jika staf RS tidak yakin / ragu akan kebenaran identitas pasien, jangan lakukan
transfusi darah sampai diperoleh kepastian identitas pasien dengan benar.

G. PROSEDUR IDENTIFIKASI PADA BAYI BARU LAHIR ATAU NEONATUS


1. Gunakan gelang pengenal di ekstremitas yang berbeda
2. Untuk bayi baru lahir yang masih belum diberi nama, data di gelang pengenal
berisikan jenis kelamin bayi, nama ibu, tanggal dan jam lahir bayi, nomor rekam
medis bayi, dan modus kelahiran.
3. Saat nama bayi sudah didaftarkan, gelang pengenal berisi data ibu dapat dilepas
dan diganti dengan gelang pengenal yang berisikan data bayi.
4. Gunakan gelang pengenal berwarna merah muda (pink) untuk bayi perempuan
dan biru untuk bayi laki-laki.
5. Pada kondisi di mana jenis kelamin bayi sulit ditentukan, gunakan gelang
pengenal berwarna putih.

H. PASIEN RAWAT JALAN


1. Tidak perlu menggunakan gelang pengenal (kecuali pasien yang mengunjungi
poliklinik mata).
2. Pasien poliklinik mata yang akan menjalani prosedur berikut ini harus
menggunakan gelang pengenal.
i. Angiogram fluoresens
ii. Terapi fotodinamik (photo dynamic therapy)
iii. Infus intravena
3. Sebelum melakukan suatu prosedur/ terapi, tenaga medis harus menanyakan
identitas pasien berupa nama dan tanggal lahir/ umur atau alamat. Data ini harus
dikonfirmasi dengan yang tercantum pada rekam medis.
4. Jika pasien adalah rujukan dari dokter umum / puskesmas / layanan kesehatan
lainnya, surat rujukan harus berisi identitas pasien berupa nama lengkap, tanggal
lahir, dan alamat. Jika data ini tidak ada, prosedur / terapi tidak dapat
dilaksanakan.
5. Jika pasien rawat jalan tidak dapat mengidentifikasi dirinya sendiri, verifikasi
data dengan menanyakan keluarga / pengantar pasien.
I. PASIEN DENGAN NAMA YANG SAMA DI RUANG RAWAT
1. Jika terdapat pasien dengan nama yang sama, harus diinformasikan kepada
perawat yang bertugas setiap kali pergantian jaga.
2. Berikan label / penanda berupa ‘pasien dengan nama yang sama’ di lembar
pencatatan, lembar obat-obatan, dan lembar tindakan.
3. Kartu bertanda ‘pasien dengan nama yang sama’ harus dipasang di tempat tidur
pasien agar petugas dapat memverifikasi identitas pasien.

J. PASIEN YANG IDENTITASNYA TIDAK DIKETAHUI


1. Pasien akan dilabel menurut prosedur setempat sampai pasien dapat diidentifikasi
dengan benar. Contoh pelabelan yang diberikan berupa: Pria/Wanita Tidak
Dikenal; Mr. X1, Mr. X2 dan sebagainya.
2. Saat pasien sudah dapat diidentifikasi, berikan gelang pengenal baru dengan
identitas yang benar.

K. PROSEDUR IDENTIFIKASI PASIEN PADA UNIT GANGGUAN JIWA


a. Kapanpun dimungkinkan, pasien gangguan jiwa harus menggunakan gelang
pengenal.
b. Akan tetapi terdapat hal-hal seperti kondisi pasien atau penanganan pasien yang
menyebabkan sulitnya mendapat identitas pasien dengan benar sehingga perlu
dipertimbangkan untuk menggunakan metode identifikasi lainnya.
c. Identifikasi pasien dilakukan oleh petugas yang dapat diandalkan untuk
mengidentifikasi pasien, dan lakukan pencatatan di rekam medis.
d. Pada kondisi di mana petugas tidak yakin / tidak pasti dengan identitas pasien
(misalnya saat pemberian obat), petugas dapat menanyakan nama dan tanggal
lahir pasien (jika memungkinkan) dan dapat dicek ulang pada rekam medis.
e. Jika terdapat ≥ 2 pasien dengan nama yang sama di ruang rawat, berikan tanda /
label notifikasi pada rekam medis, tempat tidur pasien, dan dokumen lainnya

L. PASIEN YANG MENINGGAL


a. Pasien yang meninggal di ruang rawat rumah sakit harus dilakukan konfirmasi
terhadap identitasnya dengan gelang pengenal dan rekam medis (sebagai bagian
dari proses verifikasi kematian).
b. Semua pasien yang telah meninggal harus diberi identifikasi dengan
menggunakan 2 gelang pengenal, satu di pergelangan tangan dan satu lagi di
pergelangan kaki.
c. Satu salinan surat kematian harus ditempelkan di kain kafan. Salinan kedua harus
ditempelkan di kantong jenazah (body bag). Salinan ketiga disimpan di rekam
medis pasien.

M. MELEPAS GELANG PENGENAL


a. Gelang pengenal hanya dilepas saat pasien pulang atau keluar dari rumah sakit
b. Yang bertugas melepas gelang pengenal adalah perawat yang bertanggungjawab
terhadap pasien selama masa perawatan di rumah sakit.
c. Gelang pengenal dilepas setelah semua proses selesai dilakukan. Proses ini
meliputi: pemberian obat-obatan kepada pasien dan pemberian penjelasan
mengenai rencana perawatan selanjutnya kepada pasien dan keluarga.
d. Gelang pengenal yang sudah tidak dipakai harus digunting menjadi potongan-
potongan kecil sebelum dibuang ke tempat sampah.
e. Terdapat kondisi-kondisi yang memerlukan pelepasan gelang pengenal sementara
(saat masih dirawat di rumah sakit), misalnya lokasi pemasangan gelang
pengenal mengganggu suatu prosedur. Segera setelah prosedur selesai dilakukan,
gelang pengenal dipasang kembali.

N. PELAPORAN INSIDENS / KEJADIAN KESALAHAN IDENTIFIKASI


PASIEN
a. Setiap petugas yang menemukan adanya kesalahan dalam identifikasi pasien
harus segera melapor kepada petugas yang berwenang di ruang rawat /
departemen tersebut, kemudian melengkapi laporan insidens.
b. Petugas harus berdiskusi dengan Kepala Instalasi atau Manajer mengenai
pemilihan cara terbaik dan siapa yang memberitahukan kepada pasien / keluarga
mengenai kesalahan yang terjadi akibat kesalahan identifikasi.
c. Contoh kesalahan yang dapat terjadi adalah:
i. Kesalahan penulisan alamat di rekam medis
ii. Kesalahan informasi / data di gelang pengenal
iii. Tidak adanya gelang pengenal di pasien
iv. Misidentifikasi data / pencatatan di rekam medis
v. Misidentifikasi pemeriksaan radiologi (rontgen)
vi. Misidentifikasi laporan investigasi
vii. Misidentifikasi perjanjian (appointment)
viii. Registrasi ganda saat masuk rumah sakit
ix. Salah memberikan obat ke pasien
x. Pasien menjalani prosedur yang salah
xi. Salah pelabelan identitas pada sampel darah
d. Kesalahan juga termasuk insidens yang terjadi akibat adanya misidentifikasi,
dengan atau tanpa menimbulkan bahaya, dan juga insidens yang hampir terjadi di
mana misidentifikasi terdeteksi sebelum dilakukan suatu prosedur.
e. Beberapa penyebab umum terjadinya misidentifikasi adalah:
i. Kesalahan pada administrasi / tata usaha
o Salah memberikan label
o Kesalahan mengisi formulir
o Kesalahan memasukkan nomor / angka pada rekam medis
o penulisan alamat yang salah
o pencatatan yang tidak benar / tidak lengkap / tidak terbaca
ii. Kegagalan verifikasi
o Tidak adekuatnya / tidak adanya protokol verifikasi
o Tidak mematuhi protokol verifikasi
iii. Kesulitan komunikasi
o Hambatan akibat penyakit pasien, kondisi kejiwaan pasien, atau
keterbatasan bahasa
o Kegalan untuk pembacaan kembali
o Kurangnya kultur / budaya organisasi
f. Jika terjadi insidens akibat kesalahan identifikasi pasien, lakukan hal berikut ini:
i. Pastikan keamanan dan keselamatan pasien.
ii. Pastikan bahwa tindakan pencegahan cedera telah dilakukan.
iii. Jika suatu prosedur telah dilakukan pada pasien yang salah atau dilakukan
di tempat yang salah, para klnisi harus memastikan bahwa langkah-
langkah yang penting telah diambil untuk melakukan prosedur yang tepat
pada pasien yang tepat.
O. REVISI DAN AUDIT
A. Kebijakan ini akan dikaji ulang dalam kurun waktu 2 tahun
B. Rencana audit akan disusun dengan bantuan kantor audit medik dan akan
dilaksanakan dalam waktu 6 bulan setelah implementasi kebijakan. Audit klinis
ini meliputi:
i. Jumlah persentase pasien yang menggunakan gelang pengenal
ii. Akurasi dan reliabilitas informasi yang terdapat di gelang pengenal
iii. Alasan mengapa pasien tidak menggunakan gelang pengenal
iv. Efikasi cara identifikasi lainnya
v. Insidens yang terjadi dan berhubungan dengan misidentifikasi
C. Setiap pelaporan insidens yang berhubungan dengan identifikasi pasien akan
dipantau dan ditindaklanjuti saat dilakukan revisi kebijakan.
BAB II. PENINGKATAN KOMUNIKASI EFEKTIF

A. DEFINISI:
a. Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pikiran atau informasi
dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang
lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh penyampai pikiran-
pikiran atau informasi”. (Komaruddin, 1994;Schermerhorn, Hunt & Osborn,
1994; Koontz & Weihrich, 1988).
b. Komunikasi efektif adalah: tepat waktu, akurat, jelas, dan mudah dipahami
oleh penerima, sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan
(kesalahpahaman).
c. SBAR merupakan singkatan dari Situation, Background, Assesment,
Reccomendation, teknik komunikasi terstruktur ini digunakan untuk
komunikasi standar diantara dua orang atau lebih (Frenkell, 2009).

B. RUANG LINGKUP
a. Panduan ini diterapkan kepada semua pasien rawat inap, pasien Instalasi
Gawat Darurat (IGD), dan pasien yang akan menjalani suatu prosedur
operasi.
b. Pelaksana panduan ini adalah para tenaga kesehatan (medis, perawat,
farmasi, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya); staf di ruang rawat, staf
administratif, dan staf pendukung yang bekerja di rumah sakit.

C. PROSES KOMUNIKASI EFEKTIF:


a. Komunikasi dapat efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagaimana
dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan
oleh penerima pesan dan tidak ada hambatan untuk hal itu (Hardjana, 2003).
b. Prosesnya adalah:
1. Pemberi pesan secara lisan memberikan pesan, setelah itu dituliskan
secara lengkap isi pesan tersebut oleh si penerima pesan
2. Isi pesan dibacakan kembali (Read Back) secara lengkap oleh penerima
pesan.
3. Penerima pesan mengkonfirmasi isi pesan kepada pemberi pesan.
Gambar:

Yah.. benar. Dikonfirmasikan Jadi isi pesannya ini


yah pak…

Komunikator Isi pesan Ditulis Dibacakan Komunikan

c. Unsur Komunikasi
1. Sumber/komunikator (Dokter, Perawat, Petugas admission, Administrasi
Rawat Inap, kasir, dll)
Sumber (yang menyampaikan informasi): adalah orang yang
menyampaikan isi pernyataannya kepada penerima. Hal-hal yang menjadi
tanggung jawab pengirim pesan adalah mengirim pesan dengan jelas,
memilih media yang sesuai, dan meminta kejelasan apakah pesan tersebut
sudah di terima dengan baik. (Konsil Kedokteran Indonesia,
hal.8).Komunikator yang baik adalah komunikator yang menguasai materi,
berpengetahuan luas dan dalam tentang informasi yang disampaikan, cara
berbicara jelas dan menjadi pendengar yang baik saat dikonfirmasi oleh si
penerima pesan (komunikan).
2. Isi pesan
Panjang pendeknya, kelengkapan yang perlu disesuaikan dengan tujuan
komunikasi, media penyampaian, penerimanya
3. Media/saluran (Elektronic,Lisan,dan Tulisan).
Media berperan sebagai jalan atau saluran yang dilalui isi pernyataan yang
disampaikan pengirim atau umpan balik yang disampaikan penerima. Berita
dapat berupa lisan, tertulis, atau keduanya sekaligus. Pada kesempatan
tertentu, media dapat tidak digunakan oleh pengirim yaitu saat komunikasi
berlangsung atau tatap muka dengan efek yang mungkin terjadi berupa
perubahan sikap. (Konsil Kedokteran Indonesia, hal.8). Media yang dapat
digunakan: melalui telepon, menggunakan lembar lipat, buklet, VCD, LCD,
dan atau alat peraga lainnya.
4. Penerima/komunikan (Pasien, Keluarga pasien, Perawat, Dokter, Petugas
Admission, Administrasi Rawat Inap).
- Penerima berfungsi sebagai penerima berita. Dalam komunikasi, peran
pengirim dan penerima bergantian sepanjang pembicaraan. Tanggung
jawab penerima adalah berkonsentrasi untuk menerima pesan dengan baik
dan memberikan umpan balik kepada pengirim. Umpan balik sangat
penting sehingga proses komunkasi berlangsung dua arah. (Konsil
Kedokteran Indonesia, hal.8).
- Pemberi/komunikator yang baik adalah pada saat melakukan proses
umpan balik, diperlukan kemampuan dalam hal-hal berikut (Konsil
Kedokteran Indonesia, hal 42):
a) Cara berbicara (talking), termasuk cara bertanya ( kapan
menggunakan pertanyaan tertutup dan kapan memakai
pertanyaan terbuka ), menjelaskan, klarifikasi, paraphrase,
intonasi.
b) Mendengar (listening), termasuk memotong kalimat.
c) Cara mengamati (observation) agar dapat memahami yang
tersirat di balik yang tersurat (bahasa non verbal di balik
ungkapan kata/kalimatnya, gerak tubuh).
d) Menjaga sikap selama berkomunikasi dengan komunikan
(bahasa tubuh) agar tidak menggangu komunikasi, misalnya
karena komunikan keliru mengartikan gerak tubuh, raut tubuh,
raut muka, dan sikap komunikator.
Dalam menuliskan kalimat yang sulit, ,maka komunikan harus menjabarkan hurufnya
satu persatu dengan menggunakan alfabeth yaitu:
Kode Alfabet International:

Sumber: Wikipedia
E. KOMUNIKASI SAAT MEMBERIKAN EDUKASI KEPADA PASIEN DAN
KELUARGANYA BERKAITAN DENGAN KONDISI KESEHATANNYA
Proses:
Tahap asesment pasien: sebelum melakukan edukasi, petugas menilai dulu kebutuhan
edukasi pasien & keluarga berdasarkan: (data ini didapatkan dari RM):
1. Keyakinan dan nilai-nilai pasien dan keluarga.
2. Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan bahasa yang digunakan.
3. Hambatan emosional dan motivasi. (emosional: depresi, senang dan marah)
4. Keterbatasan fisik dan kognitif.
5. Ketersediaan pasien untuk menerima informasi.
Tahap Cara penyampaian informasi dan edukasi yang efektif. Setelah melalui tahap
asesment pasien, di temukan :
1. Pasien dalam kondisi baik semua dan emosionalnya senang, maka proses
komunikasinya mudah disampaikan.
2. Jika pada tahap asesmen pasien di temukan hambatan fisik (tuna rungu dan tuna
wicara), maka komunikasi yang efektif adalah memberikan leaflet kepada pasien
dan keluarga sekandung (istri,anak, ayah, ibu, atau saudara sekandung) dan
menjelaskannya kepada mereka.
3. Jika pada tahap asesmen pasien ditemukan hambatan emosional pasien (pasien
marah atau depresi), maka komunikasi yang efektif adalah memberikan materi
edukasi dan menyarankan pasien membaca leaflet. Apabila pasien tidak mengerti
materi edukasi, pasien bisa menghubungi medical information.
Tahap Cara verifikasi bahwa pasien dan keluarga menerima dan memahami edukasi
yang diberikan:
1. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, kondisi
pasien baik dan senang, maka verifikasi yang dilakukan adalah: menanyakan
kembali eduksi yang telah diberikan.
Pertanyaannya adalah: “ Dari materi edukasi yang telah disampaikan, kira-kira
apa yang bpk/ibu bisa pelajari ?”.
2. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, pasiennya
mengalami hambatan fisik, maka verifikasinya adalah dengan pihak keluarganya
dengan pertanyaan yang sama: “Dari materi edukasi yang telah disampaikan,
kira-kira apa yang bpk/ibu bisa pelajari ?”.
3. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, ada
hambatan emosional (marah atau depresi), maka verifikasinya adalah dengan
tanyakan kembali sejauh mana pasiennya mengerti tentang materi edukasi yang
diberikan dan pahami. Proses pertanyaan ini bisa via telepon atau datang
langsung ke kamar pasien setelah pasien tenang.
Dengan diberikannya informasi dan edukasi pasien, diharapkan komunikasi yang
disampaikan dapat dimengerti dan diterapkan oleh pasien. Dengan pasien mengikuti
semua arahan dari rumah sakit, diharapkan mempercepat proses penyembuhan pasien.
Setiap petugas dalam memberikan informasi dan edukasi pasien, wajib untuk mengisi
formulir edukasi dan informsi, dan ditandatangani kedua belah pihak antara dokter dan
pasien atau keluarga pasien. Hal ini dilakukan sebagai bukti bahwa pasiendan keluarga
pasien sudah diberikan edukasi dan informasi yang benar.

F. KOMUNIKASI ANTAR PETUGAS


Salah satu penyebab yang paling umum terjadi medical errors adalah
kegagalan komunikasi baik verbal/tertulis, miskomunikasi antar staf, antar shif,
informasi tidak didokumentasikan dengan baik/hilang, masalah-masalah komunikasi
tim layanan kesehatan di satu lokasi, antar berbagai lokasi, antar tim layanan dengan
pekerja non klinis, dan antar staf dengan pasien. Kesalahan juga dapat terjadi pada
ketersediaan informasi yang kritis saat akan merumuskan keputusan penting,
komunikasi tepat waktu dan dapat diandalkan saat pemberian hasil pemeriksaan
yang kritis, koordinasi instruksi obat saat transfer antara unit, informasi penting
tidak disertakan saat pasien ditransfer ke unit lain/dirujuk ke RS lain. Upaya untuk
meningkatkan komunikasi antar petugas yang efektif dapat dilakukan dengan :

a) Teknik SBAR

- Teknik ini membantu menentukan ekspektasi pembicaraan yang spesifik,


relevan, dan informasi kritis yang akan dibicarakan setiap kali kondisi
pasien didiskusikan (Frankel, dkk., 2009),

- Teknik SBAR menawarkan solusi bagi fasilitas kesehatan/ rumah sakit


untuk mengatasi celah-celah yang ada dalam komunikasi, meliputi
komunikasi pada saat hands off, transfer pasien, pembicaraan atau
panggilan telepon yang penting (ciritcal)..

- SBAR dilakukan dengan (Safer Health Care, 2014):

1. Segera mengumpulkan informasi yang ada dan menuliskannya pada


kertas menggunakan empat elemen (Situation, Background, Assesment,
Recomendation). Data yang dituliskan adalah data yang relevan.

2. Lakukan briefing selama anggota tim / petugas kesehatan dapat


memahami format SBAR, hal tersebut dapat membantu mreka lebih
efisien dan efektif untuk memahami situasi atau solusi untuk masalah
yang ada.

3. Penerima informasi akan mengkonfirmasi atau memverifikasi apa yang


dilaporkan, kemudian bekerja sama dengan pemberi informasi untuk
mengambil tindakan yang diperlukan.

- Langkah-langkah pada SBAR meliputi (Frankel., dkk., 2009):

1. Situation. Bagian dari mekanisme dimana pemberi informasi


menentukan topik yang akan dibicarakan.

2. Background. Ini mencangkup informasi yang dibutuhkan untuk


menentukan infomasi mengenai pasien, antara lain:

- Dagnosis dan tanggal saat pasien masuk rumah sakit

- Pengobatan , alergi, cairan intravena, dan lab saat ini

- Vital sign terbaru

- Hasil lab terbaru dengan tanggal dan waktu tes dilakukan, dan
juga hasil pemeriksaaan sebelumnya untuk perbandinga

- Informasi kritis lain

- Status kode

3. Assesment

Pemberi informasi dapat menyatakan assesmen mengenai


kondisi dan situasi pasien saat ini.

4. Recommendation
Pemberi informasi dapat menawarkan rekomendasi mengenai
apa yang harus dilakukan selanjutnya dan kapan itu dilakukan.

b) Komunikasi verbal dengan READ BACK / TBAK (Tulis, BAca Kembali

- The Joint Commission memiliki beberapa sasaran keselamatan pasien yang


berhubungan dengan meningkatkan komunikasi antar pemberi layanan. Salah
satu sasarannya adalah memastikan permintaan dan hasil lab kritis
dikomunikasikan secara akurat melalui telepon (Gwinett Medical Centre,
2014).

- TBAK dilakukan Saat Dokter memberi instruksi verbal dan pada saat
menerima telepon yang melaporkan hasil test kritis. Tenaga kesehatan yang
menerima instruksi verbal (telepon/ lisan/ melaporkan hasil test yang kritis,
harus menuliskan kemudian membacakan kembali permintaan yang diberikan
lewat telepon dan mengkonfirmasikannya kepada pemberi instruksi/
informasi.

1. Tulis pesan dari pengirim di catatan terintegrasi dalam Rekam


Medik pasien:

 Tanggal dan jam pesan diterima.

 Dosis obat yang akan diberikan dan waktu pemberian harus


spesifik untuk menghindari salah penafsiran / hasil test kritis
yang dilaporkan.

2. BAcakan Kembali /BAK (read back) ke pengirim pesan untuk


konfirmasi kebenaran pesan yang dituliskan, termasuk :

 Nama Lengkap Pasien, Tanggal lahir dan Diagnosis.

 Tulis nama dokter yang memberikan pesan.

 Tulis nama dan tanda tangan petugas yang menerima pesan.

 Dokter pengirim pesan akan menandatangani catatan pesan


yang ditulis penerima pesan sebagai tanda persetujuan dalam
waktu 1 x 24 jam
c) Permintaan obat yang aman

Permintaan verbal kadang lebih mudah terjadi kesalahan dibandingkan


dengan permintaan melalui tulisan atau mengirimkannyasecara elektronik.
Pembicaraan yang diinterpretasikan terkadang mengalami masalah karena adanya
perbedaan akses, dialek, dan pengucapan. Lingkungan yang berisik, adanya
interupsi dan nama obat yang tidak familiar kadang kala menjadi bagian dari
masalh tersebut (PPSRS, 2006). Permintaan obat yang aman dapat dilakukan
dengan:

- Batasi komunikasi verbal dalam peresepan ataupun permintaan obat.


Peresepan/ permintaan obat dilakukan hanya pada situasi darurat dimana
penulisan atau komunikasi elektronik tidak mungkin dilakukan, seperti
selama proses strerilisasi. Permintaan verbal dapat dikesampingkan bila
penulis resep ada dan terdapat daftar obat dari pasien
- Untuk petugas yang melakukan permintaan sebaiknya mengucapkan
permintaan verbal secara jelas. Untuk penerima permintaan sebaiknya
menuliskan semua permintaan secara komplit, membaca kembali dan
menerima konfirmasi dari pihak yang memberi permintaan. Pada saat
pemberi dan penerima permintaan tidak familiar dengan obat yang diminta,
ucapkan huruf nama obat seperti “ D untuk David”. Untuk mengurangi
kebingungan pada angka, angka setiap digit diucapkan secara terpisah seperti
“satu enam” untuk “enambelas”.
- Untuk semua permintaan obat mencangkup tujuan dari obat yang diminta
untuk memastikan pemberi permintaan memahami kondisi pasien, seperti
pada permintaan obat-obatan LASA yang memiliki indikasi berbeda.
- Pemberi permintaan menanyakan informasi pasien yang penting seperti
alergi obat, hasil lab, dan diagnosis atau kondisi komorbiditas yang dapat
mempengaruhi peresepan obat.
- Sampaikan dosis obat berdasakan unit beratnya (seperti mg, gram, mEq,
mMol). Permintaan verbal yang menyebutkan secara spesifik dosis dalam
bentuk tablet, ampul atau vial dan meminta pada volume obat tertentu tanpa
menyebutkan konsentrasi dari obat yang diminta dapat menyebabkan
kesalahan dan cidera serius pada pasien karena banyak obat ada dalam
bungkus yang bermacam-macam dengan kekuatan obat yang berbeda.
- Sebaiknya terdapat orang kedua yang ikut mendengarkan permintaan
(seandainya memungkinkan), terutama pada saat penerima permintaan
adalah mahasiswa atau petugas yang belum berpengalaman.
- Rekam permintaan verbal secara langsung pada lembar permintaan obat
pasien.
- Penerima permintaan obat dapat menandatangani, menuliskan hari dan
tanggal dan catatan terkait prosedur permintaan.
- Pemberi permintaan dapat diminta untuk memverifikasi dan menandatangani
permintaan yang telah ditulis.
- Permintaan verbal tidak boleh dilakukan pada kasus kemoterapi.
- Permintaan obat dari unit perawat tidak diperbolehkan bila permintaan verbal
tidak dituliskan pada lembar permintaan obat dan dapat terlihat oleh farmasi
sebelum obat didispensi.
- Batasi permintaan verbal hanya pada obat yang telah diformulasikan dan
familiar bagi staf.
- Batasi jumlah personil yang menerima permintaan telepon untuk membantu
memastikan penerima familiar dengan aturan fasilitas dan kemampuan
mengetahui penelepon.
- Bila dimungkinkan, apoteker yang menerima permintaan obat untuk
menuliskan kembali permintaan secara langsung pada rekam medis.

G. REVISI DAN AUDIT


a. Kebijakan ini akan dikaji ulang dalam kurun waktu 2 tahun
b. Rencana audit akan disusun dengan bantuan kantor audit medik dan akan
dilaksanakan dalam waktu 6 bulan setelah implementasi kebijakan. Audit klinis
ini meliputi:
i. Ketepatan pengisian formulir SBAR
ii. Ketepatan komunikasi dengan Tbak
iii. Jumlah pelaporan hasil kritis yang dilaporkan dan keterlambatan
pelaporan hasil kritis
c. Setiap pelaporan insidens yang berhubungan dengan komunikasi efektif akan
dipantau dan ditindaklanjuti saat dilakukan revisi kebijakan.
BAB III. PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU DIWASPADAI
(HIGH ALERT)

A. DEFINISI

a. High-alert medication adalah Obat yang harus diwaspadai karena sering


menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event) dan Obat yang
berisiko tinggi menyebabkan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD).
b. Kelompok Obat high-alert diantaranya (Kemenkes, 2014):
1. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan
Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
2. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml atau yang
lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan
magnesium sulfat =50% atau lebih pekat).
3. Obat-Obat sitostatika.
c. Medication error merupakan kegagalan dalam proses pengobatan yang mengarah
atau memiliki potensi untuk terjadinya bahaya pada pasien dan meliputi
melakukan omission atau comission. (Australian Goverment, 2014).

B. OBAT-OBATAN KATEGORI “ HIGH ALLERT”


a. Daftar obat high alert ditentukan oleh Instalasi Farmasi (daftar terlampir),
termasuk di dalamnya :
- Elektrolit Pekat,
- Narkotika,
- Sitostatika
- Obat Look Alike Sound Alike / LASA (NORUM : Nama Obat Rupa
Mirip). .
b. Setiap satelit farmasi, ruang rawat, poliklinik harus memiliki daftar obat high
alert dan panduan penanganan obat high alert.
c. Setiap satelit farmasi, ruang rawat, poliklinik harus memiliki daftar obat
LASA (daftar terlampir).
d. Setiap tenaga kesehatan harus mengetahui penanganan khusus untuk obat
high alert.
e. Obat high alert harus disimpan di tempat terpisah, akses terbatas

C. KEWASPADAAN TERHADAP ELEKTROLIT PEKAT


Menurut Mansur J (2008), terdapat strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi
risiko yang berhubungan dengan elektrolit pekat:
a. Batasi penyimpanan elektrolit di luar unit farmasi
b. Di farmasi, penyimpanan dan inventarisasi elektrolit terpisah dari obat-
obatan lain dan dibedakan terpisah dari tipe produk
c. Perawat tidak diperbolehkan memasuki farmasi bila dalam keadaan
terkunci. Simpan stok secara hati hati, meliputi campuran KCL di tempat
yang aman misalkan pada rak dengan akses terkontrol.
d. Vial sebaikanya tidak didispensing hanya untuk pasien perseorangan.
Farmasi sebaiknya menyiapkan larutan premixed atau menyiapkan
campuran yang spesifik untuk pasien bila diperlukan. Pada kasus operasi
cardiac bypass, pencampuran dapat dilakukan di area lain dengan
menggunakan minibag dengan elektrolit yang telah dipilih dan disediakan
oleh farmasi.
e. Bila larutan elektrolit harus ada pada area tertentu, maka dilakukan
pelabelan pada obat dengan label flourosens yang terlihat dan yang
menyatakan “ HARUS DIENCERKAN”.

D. KEWASPADAAN TERHADAP NARKOTIKA


Menurut Mansur J (2008), terdapat strategi yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Tahap penyiapan dan dispensing
- Penggunaan barcode atau alat dispensing otomatis
- Lakukan pencampuran obat opiat yang berbentuk larutan di farmasi dan
spesifik untuk pasien. Untuk larutan dengan konsentrasi tinggi yang
berbeda dengan konsentrasi yang biasa maka pada obat ditempeli tulisan
“obat dalam konsentrasi tinggi”
b. Tahap permintaan dan transcribing
- Membuat protokol dan kriteria pasien, dan menstandarkan langkah
permintaan menggunakan permintaan pre-print atau dengan memasukan
permintaan resep menggunakan komputer.
- Membuat daftar dosis opiat berdasarkan beratnya dan beri tanda
peringatan pada sistem masukan permintaan bila terdapat permintaan
dosis maksimum
- Pengkajian penggunaan opiat yang bersamaan ketika mengevaluasi dosis
yang cocok untuk pasien.
- Selalu meresepkan obat dengan dosis yang spesifik menggunakan
miligram
- Cegah penggunaan singkatan DTO, MSO4 dan MGSO4
- Membuat protokol untuk agen reversal yang dapat diberikan sebagai
bagian dari permintaan narkotika yang asli.

E. KEWASPADAAN TERHADAP OBAT-OBATAN LASA


a. Permintaan obat-obatan LASA diusahakan tidak melalui komunikasi verbal
atau telepon.
b. Pada saat obat-obatan LASA akan diberikan, sebaiknya label nama pada
obat dibaca pada saat pengambilan obat, daripada mengingat bentuk, lokasi
atau ciri spesifik obat tersebut.
c. Perlu adanya pengecekan tujuan dari pengobatan dengan obat-obatan
tersebut dan pada saat pemberian obat perlu dicek apakah diagnosis sesuai
dengan tujuan atau indikasi dari obat-obatan tersebut, termasuk nama obat
dan nama dagang obat pada permintaan obat dan label obat. Nonpropietary
name lebih besar dari nama dagang.
d. Simpan obat-obatan di lokasi yang terpisah atau tidak sesuai dengan alfabet,
misalkan dengan nomer rak atau laci.
e. Menggunakan teknik seperti tulisan dibuat tebal atau ada perbedaan warna
pada nama label, penyimpanan pada rak atau laci , alat dispensing otomatis,
dan catatan administrasi obat untuk mengurangi kebingungan.
f. Membuat streategi yang melibatkan pasien dan petugas kesehatan untuk
mengurangi risiko melalui:
- Menyediakan informasi obat meliputi indikasi obat, nama dagang obat
dan efek samping obat yang potensial
- Melakukan review obat dengan pasien apakah terdapat nama obat-obatan
yang hampir sama
f. Memastikan bahwa langkah-langkah management obat-obatan LASA
dilakukan oleh petugas yang terkualifikasi dan kompeten

F. PENERAPAN 7 BENAR DALAM MENUNJANG MEDICATION SAFETY


(bagi dokter, farmasis, dan perawat)
1. Benar Pasien:
- Gunakan minimal 2 identitas pasien.
- Cocokkan obat yang akan diberikan dengan instruksi terapi tertulis.
- Anamnesis riwayat alergi.
- Anamnesis kehamilan/ menyusui.
- Anamnesis lengkap riwayat obat/ penggunaan obat saat ini dan buat
daftar obatobat tersebut.
- Bandingkan pemberian obat saat ini dengan daftar obat yang
digunakan pasien dirumah (termasuk kelalaian, duplikasi,
penyesuaian, kehilangan/ menghilangkan, interaksi, atau tambahan
obat).
- Identifikasi pasien yang akan mendapat obat dengan kewaspadaan
tinggi dilakukan oleh dua orang yang kompeten (double check).

2. Benar Obat
- Beri label semua obat dan tempat obat (syringes, cangkir obat, baskom
obat), dan larutan lain.
- Obat dan larutan lain di lokasi perioperatif atau ruang prosedur yang tidak
akan segera dipakai juga harus diberi label.
- Pemberian label di lokasi perioperatif atau ruang prosedur dilakukan
setiap kali obat atau larutan diambil dari kemasan asli ke tempat lainnya.
- Pada label, tuliskan nama obat, kekuatan, jumlah, kuantitas, pengenceran
dan volume, tanggal persiapan, tanggal kadaluarsa jika tidak digunakan
dalam 24 jam dan tanggal kadaluarsa jika kurang dari 24 jam.
- Semua obat atau larutan diverifikasi oleh 2 orang secara verbal dan visual
jikaorang yang menyiapkan obat bukan yang memberikannya ke pasien.
- Pemberian label tiap obat atau larutan segera setelah obat disiapkan
jika tidak segera diberikan.
- Jangan memberi label pada syringes atau tempat kosong, sebelum obat
disiapkan/ diisi.
- Siapkan satu obat atau larutan pada satu saat. Beri label hanya untuk
satu obat atau larutan pada satu saat.
- Buang segera setiap obat atau larutan yang tidak ada labelnya.
- Buang semua tempat obat berlabel di lokasi steril segera setelah operasi
atau prosedur dilakukan (ini berarti tempat obat orisinal disimpan sampai
tindakan selesai).
- Saat pergantian tugas/ jaga, review semua obat dan larutan oleh petugas
lama dan petugas baru secara bersama.
- Ubah daftar obat/ kardeks jika terdapat perubahan obat.
- Kebenaran jenis obat yang perlu kewaspadaan tinggi di cek oleh dua
orang yang kompeten ( double check).

3. Benar Dosis
- Dosis/ volume obat, terutama yang memerlukan kewaspadaan tinggi,
dihitung & dicek oleh dua orang yang kompeten (double check).
- Jika ragu konsultasi ke dokter yang menulis resep.
- Berkonsentrasi penuh saat menyiapkan obat, dan hindari gangguan.

4. Benar Waktu
- Sesuai waktu yang ditentukan: sebelum makan, setelah makan, saat
makan.
- Perhatikan waktu pemberian:
3 x sehari tiap 8 jam
2 x sehari tiap 12 jam
Sehari sekali tiap 24 jam
Selang sehari tiap 48 jam
- Obat segera diberikan setelah diinstruksikan oleh dokter.
- Belum memasuki masa kadaluarsa obat.
5. Benar Cara/ Route Pemberian
- Cara pemberian obat harus sesuai dengan bentuk/ jenis sediaan obat:
 Slow- Release tidak boleh digerus ;
 enteric coated tidak boleh digerus.
- Obat-obat yang akan diberikan per NGT sebaiknya adalah obat cair/ sirup.
- Pemberian antar obat sedapat mungkin berjarak.
- Jadwal pemberian obat dan nutrisi juga berjarak.

6. Benar Dokumentasi
- Setiap perubahan yang terjadi pada pasien setelah mendapat obat harus
didokumentasikan.
- Setiap dokumen klinik harus ada bukti nama dan tanda tangan/ paraf yang
melakukan.
- Setelah memberikan obat, langsung di paraf dan diberi nama siapa yang
memberikan obat tersebut.
- Setiap perubahan jenis/ dosis/ jadwal/ cara pemberian obat harus diberi
nama & paraf yang mengubahnya.
- Jika ada coretan yang harus dilakukan: buat hanya satu garis dan di
paraf di ujungnya:
Contoh:
Lasix tab, 1 x 40 mg Jcmd  Lasix inj, 1 x 40 mg iv.
- Dokumentasikan respon pasien terhadap pengobatan: Efek Samping Obat
(ESO) dicatat dalam rekam medik & Form Pelaporan Insiden +
Formulir Pelaporan Efek Samping Obat. Pelaporan Insiden dikirim ke
Tim Keselamatan Pasien di Unit Pelayanan Jaminan Mutu. Pelaporan Efek
Samping Obat dikirim ke Komite Farmasi dan Terapi.
- Dokumentasikan Kejadian Nyaris Cedera terkait pengobatan dengan Form
Pelaporan Insiden ke Tim Keselamatan Pasien.
- Dokumentasikan Kejadian Tidak Diharapkan  Form Pelaporan Insiden
ke Tim Keselamatan Pasien.

7. Benar Informasi
- Semua rencana tindakan/ pengobatan harus dikomunikasikan pada pasien & atau
keluarganya, termasuk pasien di ICU (hak pasien!).
- Jelaskan tujuan & cara mengkonsumsi obat yang benar.
- Jelaskan efek samping yang mungkin timbul.
- Rencana lama terapi juga dikomunikasikan pada pasien.
- Tips: semua informasi yang telah diberikan pada pasien & keluarganya ini
ditulis dalam “Form Penjelasan & Pendidikan Dokter kepada Pasien” yang ada
di dalam paket rekam medik dan ditandatangani oleh dokter dan pasien/ keluarga
pasien.

E. DOKUMENTASI
- Instalasi Farmasi bersama dengan Departemen Medik terkait membuat daftar
obat high alert (elektrolit perkat, LASA, narkotika, sitostatika)
- Farmasi menerbitkan daftar singkatan yang tidak dipergunakan untuk
mengurangi risiko medication error
- Petugas melaporkan adanya kejadian medication error dengan menggunakan
formulir insiden keselamatan pasien kepada Tim PMKP

F. EVALUASI DAN MONITORING


a. Kebijakan ini akan dikaji ulang dalam kurun waktu 2 tahun
b. Rencana audit akan disusun dengan bantuan kantor audit medik dan akan
dilaksanakan dalam waktu 6 bulan setelah implementasi kebijakan. Audit
klinis ini meliputi:
i.Penandaan obat-obatan high alert
ii.Penyimpanan obat-obatan high alert di farmasi
iii.Penyimpangan penyimpanan obat-obatan high alert di critical/ emergency
area (IGD, ICU, OKA)
c. Setiap pelaporan insidens yang berhubungan dengan keamanan obat high
alert akan dipantau dan ditindaklanjuti saat dilakukan revisi kebijakan
BAB IV. KEPASTIAN TEPAT LOKASI, TEPAT PROSEDUR, TEPAT PASIEN
OPERASI

A. DEFINISI
- Verifikasi pra prosedur merupakan proses melihat kembali semua data yang ada
untuk memverifikasi keakuratan prosedur yang dapat diantisipasi, melibatkan
pasien dan keluarga untuk memahami prosedur operasi yang direncanakan.
- Marking site merupakan penandaan fisik dari lokasi operasi atau prosedur
invasif lain, menggunakan surgical marking pen (NHS, 2012).
- Time out merupakan jeda untuk briefing yang dilakukan sesaat sebelum
dilakukan incisi untuk mengkonfirmasi pasien, prosedur, dan lokasi operasi
(WHO, 2009).
- WHO Surgical safety cheklist adalah checklist dari WHO untuk mengidentifikasi
langkah kunci keamanan selama pelayanan perioperatif yang seharusnya
dilakukan pada setiap operasi (NHS, 2012).

B. RUANG LINGKUP
a. Panduan ini diterapkan kepada semua pasien di Instalasi Kamar Bedah
b. Pelaksana panduan ini adalah para tenaga kesehatan medis dan perawat, untuk
memastikan tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien operasi.

C. TATA LAKSANA KESELAMATAN OPERASI (TEPAT LOKASI, TEPAT


PROSEDUR, TEPAT PASIEN OPERASI
- Protokol umum yang ditetapkan untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur,
tepat pasien operasi di Instalasi Kamar Bedah meliputi 3 komponen berikut
(WHO, 2008; Stahel, dkk., 2009):
1. proses verifikasi pra prosedur
2. menandai lokasi yang akan dilakukan operasi ( surgical marking site)
3. time out sesaat sebelum memulai prosedur operasi
- Beberapa hal yang berpotensi untuk menimbulkan kekeliruan untuk wrong
surgery:
 Lebih dari satu dokter bedah terlibat
 Dilakukan lebih dari satu prosedur
 Pasien memiliki beberapa karakteristik khusus, seperti deformitas fisik
atau obesitas masif
 Ada beberapa pasien yang memiliki nama yang sama atau prosedur yang
sama atau di waktu yang bersamaan.
- Kesalahan lokasi (wrong site) dan kesalahan pasien (wrong patient) sering
disebut sebagai “never event” dimana secara teori 100 % dapat dicegah dan
seharusnya tidak pernah terjadi. Surgical never event yang dapat terjadi antara
lain:
 Pembedahan dilakukan pada bagian tubuh yang salah
 Pembedahan dilakukan pada pasien yang salah
 Prosedur operasi salah
 Tertinggalnya benda asing di dalam tubuh pasien setelah operasi
 Kematian pasien dengan ASA kelas 1 selama dilakukan operasi dan
sesaat setelah dilakukan operasi
- Intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah wrong site (Pelczarski, dkk.,
2010):
 Penjadwalan operasi
 Verifikasi informasi pasien yang penting untuk operasi
 Penandaan lokasi operasi
 Time out
 Pertimbangan ruang operasi

D. VERIFIKASI PRA PROSEDUR OPERASI (PREOPERATIVE CHECK)


- Tahap ini terdiri dari memverifikasi ketepatan pasien, lokasi dan prosedur pada
setiap tahapan dari waktu pengambilan keputusan operasi dilakukan sampai
pasien menjalani operasi. Tahap ini harus dilakukan (WHO, 2008):
 Ketika prosedur terjadwal
 Pada saat admisi atau masuk ke instalasi kamar bedah
 Saat tanggungjawab atas pelayanan pasien akan dilimpahkan ke orang
lain
 Sebelum pasien meninggalkan area preoperasi atau memasuki kamar
operasi
- Tahapan ini dilakukan sedapat mungkin melibatkan pasien dalam kondisi sadar
dan terbangun.
- Verifikasi dilakukan dengan memberi label, mengidentifikasi pasien dan selama
proses persetujuan. Lokasi, lateralitas, dan prosedur dikonfirmasi dengan
pengecekan catatan pasien dan gambaran radiograf.
- Hal tersebut adalah proses yang harus melibatkan anggota yang terkait dengan
pelayanan pasien, dan tiap pengecekan dilakukan secara terpisah. Harus
dimengerti bahwa banyaknya orang yang terlibat dalam verifikasi ini dapat
menyebabkan pelanggaran terhadap protokol ini. Ketaatan dalam prosedur
verifikasi dapat difasilitasi dengan pembuatan checklist yang sistematis tentang
prosedur tersebut.
- Verifikasi ini berdasarkan checklist preoperative yang bertujuan untuk
memastikan semua dokumen yang diperlukan dan pemeriksaan diagnostik yang
ada sebelum memulai intervensi prosedur operasi dan dokumen ini telah dicek
dan teridentifikasi dengan tepat (HAS, 2012).

E. PENANDAAN LOKASI OPERASI (SURGICAL SITE MARKING)


a. Penandaan lokasi operasi dilakukan oleh operator/ petugas medis yang
familiar dengan pasien dan merupakan anggota dari tim bedah yang akan
berada selama time out operasi dan selama prosedur operasi berjalan. Orang
tersebut adalah dokter bedah atau seseorang yang diijinkan melalui program
residen untuk berpartisipasi dalam operasi atau seseorang yang berlisesnsi
untuk melakukan tugas berkolaborasi dengan dokter bedah, misalkan perawat
atau asisten dokter. Pada kondisi ideal, penandaan lokasi dilakukan oleh
dokter bedah yang memimpin operasi (Stahel, dkk., 2009):
b. Penandaan lokasi dilakukan di ruang persiapan operasi (preoperative holding
area), sebelum memindahkan pasien ke dalam ruang operasi atau ruangan
lain dimana prosedur akan dilakukan.
c. Pada proses penandaan lokasi harus dilakukan setelah identitas pasien,
prosedur dan lokasi operasi telah dicek ulang, dengan review dokumen yang
relevan, meliputi catatan medis, rontgen diagnostik, dan pengecekan semua
informasi dilakukan oleh 2 orang. Prosedur tidak boleh dilakukan tanpa
dilakukan review tersebut (Stahel, dkk., 2009).
d. Sedapat mungkin penandaan harus melibatkan pasien untuk menghindarkan
kekeliruan.
- Pada saat penandaan pasien dalam keadaan terbangun dan sadar
- Pada pasien anak-anak, penandaan harus melibatkan orang tua pasien
- Pada pasien yang mengalami gangguan atau tidak dapat berbicara,
proses penandaan melibatkan keluarga.
e. Penandaan dilakukan pada pasien saat konfirmasi persetujuan tindakan
operasi dan pasien setuju untuk diberikan tanda (NHS, 2014). Meskipun
jarang, pasien boleh menolak penandaan setelah dijelaskan maksud dan
tujuannya.
f. Penandaan harus dibuat menggunakan surgical marking pen yang tidak
hilang bila dicuci saat persiapan area operasi. Sterilisasi surgical marking pen
tidak perlu dilakukan.
g. Tanda sebaiknya tetap terlihat setelah pasien disiapkan dan ditutup kain
h. Untuk pasien dengan warna kulit gelap, boleh digunakan warna selain hitam
atau biru gelap (biru tua) agar penandaan jelas terlihat, misalnya warna
merah.
i. Penandaan lokasi operasi dibuat pada atau berdekatan dengan area incisi.
Jangan memberikan tanda pada area bukan lokasi operasi, kecuali bila
dibutuhkan aspek perawatan lain.
j. Penandaan pada kulit pasien berupa garis lurus yang di bagian ujungnya
terdapat tulisan inisial dokter yang akan melakukan operasi terhadap pasien
tersebut.
Contoh: ________________S.Z
k. Penandaan lokasi operasi dilakukan pada kasus incisi, puncture perkutan, atau
insersi instrumen (seperti laparoscopy), yang melibatkan lateral (single limb
atau satu dari organ ganda), struktu/ permukaan multipel (flexor, extensor,
lesi, jari kaki dan tangan), ruas (levels) seperti tulang belakang (HAS, 2012).
l. Pada prosedur yang melibatkan organ lateral, lokasi harus ditandai dan ada
pencatatan mengenai sisi yang ditandai. Pencatatan dilakukan pada lembar
assesment bedah di rekam medis dengan memberikan tanda pada gambar
tubuh yang tersedia.
m. Pada kasus-kasus seperti operasi spinal, dapat dilakukan proses dua tahap
yang meliputi penandaan preoperatif per level spinal (yang akan dioperasi)
dan interspace spesifik intraoperatif menggunakan radiographic marking
(seperti penandaan level spinal dengan jarum pada gambaran radiograf,
intraopearyif arteriogram atau cholangiogram).
n. Pada operasi mata tunggal, penandaan dilakukan di atas mata dengan arah
menunjukan mata yang akan dioperasi. Penandaan dicatat dalam rekam
medis. Penandan tidak dilakukan pada operasi mata bilateral (NHS, 2012)
o. Dalam kasus-kasus di mana tidak dilakukan penandaan, alasan harus dapat
dijelaskan dan dipertanggungjawabkan.
p. Pasien yang tidak memungkinkan dilakukan penandaan, maka dibuat
penandaan pada gambar tubuh manusia di status rekam medis pasien.
q. Beberapa prosedur yang tidak memerlukan penandaan:
1. Prosedur yang dilakukan pada organ soliter (contoh: pituitary, jantung,
trakea, esophagus, lambung, pancreas, hati, limpa, kolon, rectum,
vagina, cerviks, uterus, uretra, kandung kemih, skrotum, penis atau
prostat) atau dengan pendekatan tunggal ke dalam salah satu rongga
tubuh seperti abdomen, atau mediastinum, (termasuk prosedur
invasive minimal laryngoscopy atau cystoskopi) atau prosedur
orificium alami (contoh eksisi transanal atau transvaginal), dan operasi
cesar tidak membutuhkan penandaan.
2. Kasus yang melibatkan membran mukosa dan perineum
3. kasus yang melibatkan gigi Pencatatan lokasi gigi pada rekam medis
dilakukan dengan menggunakan nomenklatur berdasarkan Federal
Dental International (FDA), angka pertama menunjukan kuadran gigi
dan angka kedua menunjukan elemen gig (Lee, dkk., 2007)
Contoh: gigi permanen geraham pertama atas kanan = 1 6
4. prosedur yang melibatkan bayi prematur/ neonatus di mana penandaan
akan menyebabkan tato permanen (Stahel, dkk., 2009).
5. semua endoscopi tanpa prosedur invasif
6. Operasi pada organ visceral seperti uterus, usus, hati, kandung kemih,
appendix (HAS, 2012)
7. sisi dengan lokasi yang tidak dketahui pasti untuk akses operasinya,
seperti cardiac catheterisation. Prosedur yang mencakup aspirasi bone
marrow, pemasangan arteri line, vena central, epidural atau tindakan
yang menggunakan cateter
8. Pada luka (misalkan luka bakar) atau lesi tunggal
9. Prosedur invasif minor seperti kanulasi intravena, injeksi IM/ IV
r. Verifikasi akhir dari tanda lokasi operasi (site mark) dilakukan selama time
out.

F. TIME OUT OPERASI


- Prosedur time out dilakukan di ruang operasi dan disampaikan oleh salah satu
tim bedah, biasanya oleh perawat sirkulasi (Stahel, dkk., 2009):
- Prosedur time out meliputi verifikasi identitas pasien, lokasi operasi dan
prosedur operasi tepat, dan persetujuan operasi (informed consent).
- Time out juga memberi gambaran mengenai keadaan pasien secara tepat,
kebutuhan antibiotik, adanya alergi, dan tersedianya dokumen dan pemeriksaan
diagnostik yang relevan, instrumen, implan dan peralatan lain yang perlu
dikonfirmasi selama waktu tersebut (WHO, 2009).
- Jika terdapat beberapa prosedur dalam satu operasi, maka time-out harus
dilakukan sebelum setiap prosedur. Apabila terjadi diskrepansi, prosedur tidak
boleh dimulai sebelum tercapai kata sepakat oleh semua anggota tim (dalam
time-out) atau sebelum semua pertanyaan atau masalah terjawab.
- Mrenurut WHO (2009), bila memungkinkan, pasien sebaiknya dalam posisi
sadar dan berpartisipasi dalam proses verifikasi identitas pasien, lokasi operasi
dan detail serta implikasi dari prosedur yang telah direncanakan (awake time
out).
- Protocol persetujan dapat dikesampingkan bila terdapat kasus yang mengancam
nyawa pasien.
- Dokter bedah, dokter anestesi dan perawat sirkulasi harus berpartisipasi aktif
dalam time out (WHO, 2009).
G. SURGICAL SAFETY CHECKLIST
Dalam mengimplementasikan checklist selama bedah, satu orang
bertanggungjawab untuk mengisi kotak pada daftar yang ada. Koordinator checklist
ini dapat berasal dari perawat sirkulasi ataupun petugas klinis yang berpartisipasi di
dalam operasi. Pada setiap fase, koordinator cheklist tersebut diperbolehkan untuk
mengkonfirmasi bahwa tim telah selesai melakukan tugasnya dan prosedur
dijalankan. Selama tim operasi familiar dengan tahapan pada checklist, mereka
dapat mengintegrasikan pengecekan ke dalam pola kerja mereka dan menyampaikan
secara verbal penyelesaian yang telah mereka lakukan sesuai tahapan yang ada di
checklist tanpa intervensi dari koordinator (WHO, 2009).
Surgical safety checklist membagi operasi menjadi tiga fase, setiap fase
menggambarkan periode waktu spesifik di dalam alur prosedur yang normal, yaitu:
periode sebelum induksi anestesi (Sign in), periode setelah induksi anestesi dan
sebelum incisi bedah (time out), dan periode selama atau sesaat setelah penutupan
luka tetapi sebelum memindahkan pasien dari ruang operasi (sign out). Koordinator
checklist yang dipilih dapat mencegah tim melakukan tahap selanjutnya bila tahap
sebelumnya belum benar-benar selesai dikonfirmasi (WHO, 2009).
a) Sign in
- Koordinator checklist bersama dengan pasien (bila memungkinkan), secara
verbal melihat kembali apakah identifikasi pasien telah dikonfirmasikan
secara tepat, prosedur dan lokasi telah tepat, dan persetujuan untuk
dilakukan operasi telah diberikan.
- Koordinator secara visual akan mengkonfirmasi apakah lokasi operasi telah
ditandai dan akan secara verbal bersama dengan dokter anestesi melihat
kembali resiko kehilangan darah, hambatan saluran pernafasan, reaksi alergi,
dan apakah pengecekan keamanan anestesi telah dilakukan. Idealnya dokter
bedah ada saat sign in untuk memberikan masukan/ saran untuk
mengantisipasi kehilangan darah, alergi, atau faktor komplikasi lain.
Keberadaan dokter bedah tidak terlalu penting dalam menyelesaikan bagian
checklist ini.
b) Time out
- Setiap anggota memperkenalkan diri mereka sesuai nama dan peran mereka.
Bila anggota bersama setiap hari dalam operasi, tim dapat secara sederhana
mengkonfirmasi bahwa setiap orang di ruangan operasi telah saling
mengetahui satu sama lain.
- Tim akan berhenti sejenak sebelum dilakukan incisi untuk mengkonfirmasi
dengan meneriakan bahwa mereka akan melakukan operasi yang tepat pada
pasien dan lokasi yang tepat
- Kemudian secara verbal memeriksa elemen kritis dari rencana mereka
terhadap operasi yang akan dilakukan, sesuai pertanyaan checklist. Mereka
juga akan mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan 60
menit sebelum tindakan dan gambaran radiologi yang penting harus
terpasang.
c) Sign out
- Tim akan meriview operasi yang mereka lakukan, penghitungan instrumen
dan kasa, serta pelabelan spesimen bedah yang diperoleh.
- Tim juga akan mereview adanya malfungsi alat atau masalah yang perlu
diatasi.
- Terakhir, tim akan mereview rencana penting dan yang berhubungan dengan
manajemen post operasi dan pemulihan sebelum memindahkan pasien dari
ruang operasi.
- Pengecekan dilakukan oleh satu orang yang sama dari tahapan sing in dan
time out.

H. DOKUMENTASI
- Penandaan lokasi operasi terdokumentasikan pada lembar marking site di rekam
medis pasien
- Time out harus didokumentasikan di surgical safety checklist
- Petugas melaporkan adanya kejadian salah pasien, salah posisi atau salah
prosedur operasi kepada Tim PMKP 2x 24 jam menggunakan formulir laporan
insiden keselamatan pasien

I. EVALUASI DAN MONITORING


a. Kebijakan ini akan dikaji ulang dalam kurun waktu 2 tahun
b. Rencana audit akan disusun dengan bantuan kantor audit medik dan akan
dilaksanakan dalam waktu 6 bulan setelah implementasi kebijakan. Audit klinis
ini meliputi:
iv. Jumlah insiden pasien yang mengalami pembedahan pada bagian tubuh
yang salah (wrong site)
v. Jumlah insiden operasi yang dilakukan pada pasien yang salah (wrong
patient)
vi. Jumlah kesalahan prosedur operasi yang dilakukan pada pasien (wrong
procedure)
vii. Jumlah prosentase pemberian tanda lokasi operasi (marking site)
viii. Jumlah prosentase pengisian formulir surgical safety checklist
c. Setiap pelaporan insidens yang berhubungan dengan kepastian tepat lokasi,
tepat prosedur dan tepat pasien operasi akan dipantau dan ditindaklanjuti saat
dilakukan revisi kebijakan.
BAB V. PENGURANGAN RISIKO INFEKSI TERKAIT PELAYANAN
KESEHATAN

A. DEFINISI
- Infeksi Nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita ketika penderita
tersebut dirawat di rumah sakit
- Mencuci tangan telah dianggap sebagai salah satu tindakan terpenting untuk
mengurangi mikroorganisme dan mencegah infeksi selama lebih dari 150
tahun. Penelitian Semmelweis (1861) dan banyak penelitia lainnya
memperlihatkan bahwa penularan penyakit menular dari pasien ke pasien
mungkin terjadi melalui tangan petugas kesehatan. Menjaga kesehatan tangan
dengan baik dapat mencegah mikroorganisme dan menurunkan frekuensi
infeksi nosokomial (Boyce 1999; Larson 1995).

B. RUANG LINGKUP
a. Panduan ini diterapkan kepada semua pasien rumah sakit dan pada semua proses
pelayanan kesehatan baik rawat inap maupun rawat jalan.
b. Pelaksana panduan ini adalah para tenaga kesehatan medis dan perawat, dan
semua karyawan rumah sakit lainnya, untuk mengurangi risiko infeksi dalam
pelayanan kesehatan rumah sakit.

C. TATA LAKSANA KEBERSIHAN TANGAN (HAND HYGIENE)


a. Kebersihan tangan dilakukan pada 5 momen (five moment) sesuai ketentuan
WHO yaitu:
1. Sebelum kontak dengan pasien
2. Sebelum melakukan tindakan aseptik.
3. Setelah kontak dengan pasien.
4. Setelah terpajan dengan cairan tubuh.
5. Setelah kontak dengan area sekitar / lingkungan pasien.
b. Teknik Membersihkan Tangan dengan Sabun dan air harus dilakukan seperti
dibawah ini:
1. Basahi tangan dengan air mengalir yang bersih.
2. Tuangkan sabun secukupnya, pilih sabun cair.
3. Ratakan dengan kedua telapak tangan.
4. Gosok punggung dan sela – sela tangan kiri dengan tangan kanan dan
sebaliknya.
5. Gosok kedua telapak dan jari – jari.
6. jari – jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci.
7. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan
sebaliknya.
8. Gosok dengan memutar ujung jari – jari di telapak kanan kiri dan
sebaliknya.
9. Bilas kedua tangan dengan air mengalir.
10. Keringkan dengan handuk sekali pakai atau tissue towel sampai benar –
benar kering.
11. Gunakan handuk sekali pakai atau tissue towel untuk memnutup kran.
12. Karena mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak pada keadaan
lembab dan air yang tidak mengalir, maka :
13. Dispenser sabun harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum pengisian
ulang.
14. Jangan membila masih ada isinya, penambahan ini akan menyebabkan
kontaminasi bakteri pada sabun yang dimasukkan.
6 Langkah Cuci Tangan menurut WHO

c. Jangan menggunakan baskom yang berisi air. Meskipun memakai tambahan antiseptic
(seperti : Dettol atau Savlon), mikroorganisme dapat bertahan dan berkembang biak
dalam larutan ini (Rutala 1996).
d. Lama pembersihan tangan dengan air dan sabun adalah 15 detik.
e. Jika tidak ada air mengalir pertimbangkanlah untuk menggunakan :
- Wadah air dengan kran dan wadah atau tempat untuk menampung air.
- Gunakan larutan berbasis alcohol tanpa air (handrub antiseptic )
a) Penggunaan handrub antiseptic untuk tangan yang bersih lebih efektif
membunuh flora residen dan flora transien daripada mencuci tangan
dengan sabun antiseptic atau dengan sabun biasa dan air. Antiseptic ini
cepat dan mudah digunakan serta menghasilkan penurunan jumlah flora
tangan awal yang lebih besar ( Girou et al.2002). handrub antiseptic
juga berisi emolien seperti gliserin, glisol propelin, atau sorbitol yang
melindungi dan melembutkan kulit.
b) Teknik untuk menggosok tangan dengan antiseptic dijelaskan dibawah
ini.
Langkah 1 : Tuangkan secukupnya handrub berbasis alcohol untuk
dapat mencangkup seluruh permukaan tangan da jari ( kira – kira satu
sendok teh).
Langkah 2: Gosokkan larutan dengan teliti dan benar pada kedua belah
tangan, khusunya diantara jari – jari jemari dan di bawah kuku hingga
kering.
Agar efektif, gunakan secukupnya larutan handrub sesuai petunjuk
pabrik ( sekitar satu sendok the, 3-5cc ).
c) Handrub antiseptic tidak menghilangkan kotoran atau zat organic,
sehingga jika tangan sangat kotor atau terkontaminasi oleh darah atau
cairan tubuh, harus mencuci tangan dengan sabun dan air terlebih
dahulu. Selain itu, untuk mengurangi “penumpukan “ emolien pada
tangan setelah pemakaian handrub antiseptic berulang, tetap diperlukan
mencuci tangan dengan sabun dan air setiap kali setelah 5-10 kali
aplikasi handrub. Larutan Alkohol untuk Membersihkan Tangan.
d) Lama penggosokan untuk pembersihan tangan dengan larutan dasar
berbahan dasar akohol minimal 10 detik
e) Cara Mencuci Tangan dengan Antiseptik Berbasis Alkohol:
f. Hal – hal yang Harus Diperhatiakan dalam Menjaga Kebersihan Tangan
1. Jari tangan
penelitian membuktikan bahwa daerah dibawah kuku (ruang subungual)
maengandung jumlah mikroba tertinggi (McGinley, Larson dan Leydon 1988 ).
Beberapa penelitian bau – baru ini telah memperlihatkan kuku yang panjang
dapat berperan sebgaia reservoir sebgai bakteri Gram negative (P.aeroginosa),
jamur dan pathogen lain (Hedderwick et al.2000). kuku panjang, baik yang alami
maupun yang buatan, lebih mudah melubangi sarung tangan (Olsen et al.1993).
oleh karena itu, kuku tetap harus dijaga pendek, tidak lebih dari 3mm melebihi
ujung jari.
2. Kuku buatan
Kuku buatan (pembungkus kuku, ujung kuku, pemanjang akrilik) yang dipakai
oleh petugas kesehatan dapat berperan dalam infeksi nosokomial (Hedderick et
al.2000.). Selain itu, telah terbukti bahwa kuku buatan dapat berperan sebagai
reservoir Gram negative, pemakaiannya oleh petugas kesehatan harus dilarang.
3. Cat kuku
Penggunaan cat kuku saat bertugas tidak diperkenankan.
4. Perhiasan
Pengguanaan perhiasaan saat bertugas tidak diperbolehkan
J. DOKUMENTASI
- Hasil audit mengenai cuci tangan akan dialporkan dalam bentuik laporan audit.
Dalam pembuatan laporan tersebut Tim PMKP bekerja sama dengan PPI dan
kantor audit medik.
- Sosialisasi cuci tangan atau kegiatan lain berkaitan dengan pengurangan infeksi
dalam pelayanan kesehatan akan dilaporkan kepada direktur menggunakan
laporan kegiatan bersama dengan PPI.

D. EVALUASI DAN MONITORING


d. Kebijakan ini akan dikaji ulang dalam kurun waktu 2 tahun
e. Rencana audit akan disusun dengan bantuan kantor audit medik dan akan
dilaksanakan dalam waktu 6 bulan setelah implementasi kebijakan. Audit
klinis ini meliputi:
ix. Ketepatan cuci tangan sesuai 6 langkah WHO
x. kepatuham petugas dalam melakukan cuci tangan pada five momen.
xi. Ketersediaan alat kebersihan tangan di unit kerja
f. Setiap pelaporan insidens yang berhubungan dengan pengurangan infeksi di
dalam pelayanan kesehatan akan dipantau dan ditindaklanjuti saat dilakukan
revisi kebijakan
BAB VI. PENGURANGAN RISIKO PASIEN JATUH

A. PENGERTIAN JATUH
1. Jatuh (J Morse, 2002 cit. Constantine, 2004) adalah suatu peristiwa di mana
seorang mengalami jatuh dengan atau tanpa disaksikan oleh orang lain, tak
disengaja/ tak direncanakan, dengan arah jatuh ke lantai, dengan atau tanpa
mencederai dirinya.
2. Kejadian jatuh tak disengaja: kejadian jatuh yang terjadi secara tidak sengaja
(misalnya terpeleset, tersandung). Pasien yang berisiko mengalami kejadian ini
tidak dapat diidentifikasi sebelum mengalami jatuh dan umumnya tidak
dikategorikan dalam risiko jatuh. Kejadian jatuh jenis ini dapat dicegah dengan
menyediakan lingkungan yang aman.
3. Kejadian jatuh yang tidak diantisipasi: kejadian jatuh yang terjadi ketika
penyebab fisik tidak dapat diidentifikasi.
4. Kejadian jatuh yang dapat diantisipasi (diperkirakan): kejadian jatuh yang terjadi
pada pasien yang memang berisiko mengalami jatuh (berdasarkan skor asesmen
risiko jatuh).
B. RUANG LINGKUP
1. Panduan ini diterapkan kepada semua pasien rawat inap, pasien Instalasi Gawat
Darurat (IGD), dan pasien rawat jalan.
2. Pelaksana panduan ini adalah para tenaga kesehatan (medis, perawat, bidan),
untuk pelaksaanaan penilaian; staf farmasi, staf di ruang rawat, staf administratif,
dan staf pendukung yang bekerja di rumah sakit untuk pelaksanaan tindakan
pencegahan dan pelaporan insiden pasien jatuh.

C. PENYEBAB RISIKO JATUH


Jatuh dapat disebabkan oleh faktor (NICE, 2013):
- Intrinsik
a. Riwayat jatuh yang pernah terjadi sebelumnya paling tidak dalam rentang
waktu 1-12 bulan terakhir
b. gangguan sistem muskuloskeletal (rheumatoid arthtritis, osteoarthtritis,
osteoporosis, kelemahan tungkai bawah)
c. gangguan mobilitas pada pasien geriatri (adanya pergerakan yang lambat
dari pasien dapat meningkatkan risiko jatuh)
d. status mental dan kognitif seperti depresi dan dementia
e. penyakit:
i. Kardiovaskuler : aritmia, stenosis aorta, sinkope sinus carotis
ii. Neurologi : TIA, stroke, serangan kejang, Parkinson,
Kompresi saraf spinal karena spondilosis, Penyakit serebelum
iii. Nyeri kepala dan atau vertigo
iv. Hipotensi orthostatic (Hipovilemia / curah jantung rendah,
disfungsi otonom, penurunan kembalinya darah vena ke jantung,
terlalu lama berbaring)
f. Masalah nutrisi, sepert defisiensi vitamin D (berkaitan dengan
osteoporosis)
g. obat-obatan seperti sedatif, hynotik, antidepresant, benzodiazepin, obat
cardiac (diuretic, antihipertensi, antiaritmia) , laxative, analgesik (opioid
dan nonopioid)
h. kebutuhan ke toilet ( frekuensi kencing atau pada kasus diare)
i. Idiopatik ( tak jelas sebabnya)
j. Dehidrasi
k. Patah tulang
l. hipoglikemia
m. Perasaan takut
n. Gangguan pendengaran

- Ekstrinsik:
a. murni kecelakaan misalnya terpeleset, tersandung
b. kondisi lingkungan seperti pencahayaan kurang, lantai licin, dll
c. alas kaki yang digunakan licin
d. alat bantu berjalan tidak sesuai

D. PROSEDUR PENILAIAN RISIKO JATUH


a. Perawat yang bertugas akan melakukan skrining risiko jatuh kepada setiap pasien
dengan menggunakan “Asesmen Risiko Jatuh Harian” dan dimasukan dalam
rekam medis pasien
b. Pada pasien rawat inap, penilaian resiko dievaluasi setiap hari selama perawatan
berjalan atau bila terdapat perubahan pengobatan maupun status mental.
c. Perubahan status resiko (terutama untuk risiko jatuh tinggi) di tulis dalam lembar
catatan terintegrasi di rekam medis pasien beserta bentuk intervensi yang akan
dilakukan, termasuk pemakaian gelang risiko dan pemasangan sigitiga penanda
risiko jatuh.
d. Adanya perubahan penilaian dikomunikasikan dengan dokter penanggung jawab
perawatan.
e. penilaian resiko jatuh dapat dilakukan dengan skala penilaian yang berbeda untuk
setiap usia, yaitu:
 pasien anak-anak (berusia 0-18 tahun): skala humpty dumpty
- Skor 7-11: Risiko Rendah Untuk Jatuh
- Skor ≥ 12: Risiko Tinggi Untuk Jatuh
 pasien dewasa: skala morse (J. Morse, 1997))
- skala ini mengidentifikasi:
1. riwayat jatuh
skor 0 : bila tidak ada riwayat jatuh selama perawatan atau riwayat
jatuh selama 3 bln terakhir
skor 25: bila terdapat kejadian satu atau dua dari yang disebutkan
diatas
2. diagnosis sekunder
skor 0 : bila hanya ada satu diagnosis medis aktif
skor 15 : bila terdapat lebih dari satu diagnosis medis aktif pada
waktu admisi
3. kebutuhan alat bantu jalan
skor 0 : bila pasien berjalan tanpa alat bantu jalan, atau kursi roda
skor 15 :bila pasien menggunakan penopang atau walker
skor30 :bila pasien berpegangan pada furniture untuk menyangga
selama berjalan
4. adanya terapi heparin lock/IV
skor 0 : pasien tidak menggunakan IV, heparin lock atau alat
terpasang pada peralatan tertentu
skor 20 : pasien menggunakan IV, heparin lock atau alat terpasang
pada peralatan tertentu (mis: alat monitor, Foley catheter)
5. cara berjalan
skor 0 :
- berjalan dengan kepala tegak
- lengan berayun bebas di samping
- melangkah tanpa ragu
skor 10 :
- bungkuk tetapi dapat menegakkan kepala tanpa kehilangan
keseimbangan
- menggunakan furniture untuk memandu berjalan
- langkah pendek dan menyeret
skor 20 :
- kesulitan berdiri dari kursi
- kepala menunduk
- tidak dapat berjalan tanpa didampingi dan memegang
furniture atau apapun yang memungkinkan untuk
pegangan
- langkah pendek dan diseret
- menggunakan kursi roda
6. status mental
skor 0 : normal
skor 15 : lupa keterbatasan diri

- kategori skor:
skor 0 : tidak beresiko
skor < 24 : resiko rendah
skor 25-50 : risiko sedang
skor ≥51 : resiko tinggi

 Pasien geriatri (> 65 th): skala jatuh pada pasien geriatri (pasien rawat inap)
dan skala penilaian time and go (pasien rawat jalan). Resiko tinggi bila skor
jatuh ≥4 dan waktu penilaian time and go lebih dari 10 detik.
f. Perawat yang bertugas akan mengidentifikasi dan menerapkan “Prosedur
Pencegahan Jatuh”, berdasarkan pada:
- Kategori risiko jatuh
- Kebutuhan dan keterbatasan per-pasien
- Riwayat jatuh sebelumnya dan penggunaan alat pengaman (safety
devices)
- Asesmen Klinis Harian
g. Pasien yang semula berisiko tinggi tetapi dalam evaluasi selanjutnya berturut-turut
memiliki 2 skor penilaian risiko rendah baru dapat dikatakan pasien memiliki
risiko jatuh rendah. Gelang risiko dapat dilepas tetapi tindakan pencegahan risiko
jatuh tetap dilakukan.
h. Komunikasi
Saat pergantian jam kerja, setiap perawat yang bertugas akan melaporkan pasien-
pasien yang telah menjalani asesmen risiko jatuh kepada perawat jaga berikutnya.
E. INTERVENSI STANDAR UNTUK PENCEGAHAN RISIKO JATUH PADA
SEMUA PASIEN RAWAT INAP
a. Lakukan orientasi kamar inap kepada pasien
b. Ajarkan pasien dan keluarga menggunakan bel tersebut
c. Dekatkan bel sehingga mudah dijangkau
d. Gunakan handrail saat berjalan di kamar mandi, atau jalan di luar ruangan
e. Posisikan tempat tidur rendah, roda terkunci, kedua sisi pegangan tempat
tidur tepasang dengan baik
f. Pada sat berhenti kursi roda dalam keadaan terkunci
g. Gunakan alas kaki yang tidak licin
h. Ruangan rapi
i. Benda-benda pribadi berada dalam jangkauan (telepon genggam, tombol
panggilan, air minum, kacamata)
j. Pencahayaan yang adekuat (disesuaikan dengan kebutuhan pasien)
k. Alat bantu berada dalam jangkauan (tongkat, alat penopang)
l. Optimalisasi penggunaan kacamata dan alat bantu dengar (pastikan bersih
dan berfungsi)
m. Pantau efek obat-obatan
n. Anjuran ke kamar mandi secara rutin
o. Sediakan dukungan emosional dan psikologis
p. Beri edukasi mengenai pencegahan jatuh pada pasien dan keluarga

F. PROSEDUR PENCEGAHAN PADA PASIEN DENGAN RESIKO JATUH


TINGGI
- Pada pasien rawat jalan/IGD
a. Pasien rawat jalan yang memiliki resiko jatuh tinggi tidak perlu menggunakan
gelang resiko jatuh.
b. Resiko jatuh dicatat oleh perawat ke dalam rekam medis rawat jalan pasien pada
lembar pemeriksaan pasien.
c. Dilakukan analisa cara berjalan pada pasien sehingga dapat ditentukan intervensi
spesifik seperti menggunakan terapi fisik atau alat bantu jalan untuk membantu
mobilisasi.
d. Meminta keluarga untuk menemani pasien selama dilakukan perawatan.
e. keselamatan ruangan: lantai rata dan tidak licin, penerangan cukup dan tidak
terlalu banyak furniture/ kabel.

- Pada pasien rawat inap (dilakukan oleh perawat)


a. Pakaikan gelang risiko jatuh berwarna kuning bersama dengan pemasangan
gelang identitas.
b. Pasang tanda risiko jatuh segitiga warna kuning pada tempat tidur pasien.
c. Bila memungkinkan lokasi kamar tidur berdekatan dengan pos perawat (nurse
station)
d. Orientasikan ruangan kepada keluarga dan pasien termasuk letak bel
e. Kunjungi pasien setiap jam oleh petugas medis dan lakukan pengawasan ketat
f. Pastikan sepanjang waktu posisi tempat tidur rendah dan terrem dengan kedua
sisi pegangan tempat tidur terpasang dengan baik/ kokoh
g. Tawarkan bantuan ke kamar mandi setiap 2 jam (terutama bila tidak ditunggu
keluarga)
h. Batasi aktivitas pasien dan berikan tindakan pencegahan pada pasien dan
keluarga
i. Perawat mengingatkan keluarga untuk membawa alas kaki yang tidak licin dan
alat bantu dari rumah (seperti tongkat, alat penopang)
j. Nilai kebutuhan akan fisioterapi
k. Nilai gaya berjalan pasien dan catat dalam bagian “Penanganan Keperawatan” di
subbagian “Masalah Jatuh”
l. Pastikan pasien menggunakan alat bantu yang sesuai
m. Kolaborasi dengan tim interdisiplin dalam merencanakan Program Pencegahan
Jatuh
n. Pastikan perangkat keselamatan pasien digunakan dan berfungsi dengan baik
(misal bel). Dekatkan bel sehingga mudah dijangkau oleh pasien
o. Pantau obat-obatan yang diberikan
p. Keselamatan lingkungan:
- hindari ruangan yang kacau balau dan terlalu banyak furniture/ kabel
- biarkan pintu terbuka sehingga mempermudah pengawasan,
- gunakan lampu saat malam hari
- Lantai kamar mandi dengan karpet anti slip/ tidak licin, serta anjuran
menggunakan tempat duduk di kamar mandi saat pasien mandi (untuk pasien
dewasa

I. PROSEDUR MENGGUNAKAN TEMPAT TIDUR RENDAH (KHUSUS)


1. Pada pasien dengan risiko tinggi, tempat tidur harus berada pada posisi
serendah mungkin. Tempat tidur hanya boleh ditinggikan saat
pemeriksaan medis, penanganan keperawatan, dan atau saat transfer
2. Bantalan diletakkan di sisi tempat tidur yang sering digunakan pasien
untuk turun dari tempat tidur. Pegangan di sisi tempat tidur harus
terpasang dengan baik.
Catatan: panjang pegangan di sisi tempat tidur < ½ panjang tempat
tidur sehingga tidak dianggap sebagai pembatas gerak (mechanical
restraint).
3. Pada pasien bukan risiko tinggi, pengaturan tinggi tempat tidur tidak
boleh melebihi 63,5 cm.

G. EDUKASI PASIEN DAN KELUARGA


Pasien dan keluarga harus diinformasikan mengenai faktor risiko jatuh dan
setuju untuk mengikuti strategi pencegahan jatuh standar yang telah ditetapkan
rumah sakit. Pasien dan keluarga harus diberikan edukasi mengenai faktor risiko
jatuh di lingkungan rumah sakit dan melanjutkan keikutsertaannya sepanjang
keperawatan pasien.
i. Informasikan pasien dan keluarga dalam menggunakan alat bantu
sebelum memulai aktivitas
ii. Ajari pasien untuk menggunakan pegangan dinding
iii. Informasikan pasien mengenai dosis dan frekuensi konsumsi obat-
obatan, efek samping, serta interaksinya dengan makanan/ obat-
obatan lain.

H. PROSEDUR PENANGANAN PASCA PASIEN JATUH


1. Perawat segera memeriksa pasien, Nilai apakah terdapat cedera akibat jatuh
(abrasi, kontusio, laserasi, fraktur, cedera kepala)
2. Dokter yang bertugas akan segera diberitahu untuk menentukan evaluasi lebih
lanjut
3. Perawat akan mengikuti tatalaksana yang diberikan oleh dokter
4. Pindahkan kamar pasien lebih dekat dengan pos perawat (nurse station)
5. Jika pasien menunjukkan adanya gangguan kognitif, sediakan alarm tempat
tidur. Jika kurang efektif, dapat dipertimbangkan untuk mengunakan tali
pengaman (non-emergency restraint)
6. Pemeriksaan neurologi dan tanda vital
7. Pasien yang diperbolehkan untuk turun dari tempat tidur harus ditemani oleh
petugas dalam 24 jam pertama, lalu dilakukan asesmen ulang
8. Dengan izin dari pasien, keluarga akan diberitahukan jika pasien mengalami
kejadian jatuh, termasuk cedera yang ditimbulkan
9. Kejadian jatuh akan dicatat dalam bagian “Penanganan Keperawatan” di
subbagian “Masalah”
10. Pengasuh yang menyaksikan kejadian jatuh atau menemukan pasien jatuh
akan mengisi laporan kejadian/insidens dan memberikannya ke perawat yang
bertugas. Kemudian perawat akan meneruskan laporan insidens ini ke
Departemen Penanganan Risiko.
11. Perawat yang bertugas akan melengkapi formulir laporan insiden yang akan
diserahkan ke Tim PMKP
12. Berikan edukasi mengenai risiko jatuh dan upaya pencegahannya kepada
pasien dan keluarga
13. Risiko jatuh pasien akan dinilai ulang menggunakan “Asesmen Risiko Jatuh
Harian”, lalu akan ditentukan intervensi dan pemilihan alat pengaman yang
sesuai.

I. DOKUMENTASI
- Skor penilaian risiko ditulis dalam formulir assesment risiko jatuh di rekam
medis. Penilaian ulang dilakukan setiap hari atau bila terjadi perubahan
pengobatan ataupun status mental pasien.
- Setiap petugas yang melakukan penilaian dan pencatatan skor risiko
membubuhkan paraf dan nama pada kolom di bawah total skor penilaian pada
formulir assesment risiko jatuh.
- Tingkat risiko/ kategori risiko dan tindakan intervensi terhadap pasien
- Kejadian jatuh dilaporkan kepada Tim PMKP menggunakan formulir laporan
insiden keselamatan pasien.
- Apabila terjadi kejadian jatuh catat di rekam medis mengenai:
 Tanggal dan waktu kejadian jatuh
 Lokasi insiden dan kondisi lingkungan
 Penyebab jatuh
 Akibat jatuh
 Apakah jatuh diketahui atau tidak, siapa yang ada di tempat kejadian
 Status pasien (medikasi yang diterima sebelum jatuh, penilaian fisik
setelah jatuh, hasil penanganan pasca jatuh)
 Penanganan/intervensi yang diberikan oleh staff medis

J. PELAPORAN INSIDENS / KEJADIAN PASIEN JATUH


a. Setiap petugas yang menemukan adanya kejadian pasien jatuh harus segera
melapor kepada petugas yang berwenang di ruang rawat / departemen tersebut,
kemudian melengkapi laporan insidens.
b. Petugas harus berdiskusi dengan Kepala Instalasi atau Manajer mengenai
pemilihan cara terbaik dan siapa yang memberitahukan kepada pasien / keluarga
mengenai kesalahan yang terjadi akibat pasien jatuh.
c. Contoh kejadian jatuh pada pasien, yaitu jatuh dari tempat tidur, jatuh di dalam
kamar perawatan, jatuh di kamar mandi, jatuh di luar kamar perawatan (masih di
lingkungan rumah sakit) yang terjadi tanpa disengaja atau bukan karena didorong
selama menjalani perawatan di rumah sakit.
d. Jatuh dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti:
1) Perlukaan (injury)
- Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau
tertariknya jaringan otot, robeknya arteri / vena
- Patah tulang (fraktur) :
o Pelvis
o Femur (terutama kollum)
o Humerus
o Lengan bawah
o Tungkai bawah
o Kista
- Hematom subdural
2) Perawatan rumah sakit
- Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi)
- Risiko penyakit-penyakit iatrogenik
3) Disabilitas
- Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik
- Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri, dan
pembatasan gerak
4) Kematian

K. EVALUASI DAN MONITORING


g. Kebijakan ini akan dikaji ulang dalam kurun waktu 2 tahun
h. Rencana audit akan disusun dengan bantuan kantor audit medik dan akan
dilaksanakan dalam waktu 6 bulan setelah implementasi kebijakan. Audit
klinis ini meliputi:
xii. Jumlah persentase pasien yang menggunakan gelang resiko jatuh
xiii. Jumlah persentase segitiga kuning yang terpasang pada tempat tidur
pasien
xiv. Upaya pencegahan jatuh yang telah dilaksanakan oleh tenaga medis dan
perawat, seperti penggunaan side rail dan alat bantu jalan
vi. Jumlah insiden pasien jatuh
i. Setiap pelaporan insidens yang berhubungan dengan penilaian dan
pencegahan resiko jatuh pada pasien akan dipantau dan ditindaklanjuti saat
dilakukan revisi kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA

Agus M. Hardjana. (2003). Komunikasi intrapersonal & Komunikasi Interpersonal,


Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Australian Commission for Safety and Quality in Health Care, 2010, Specifications for a
standard patient identification band, www.safetyandquality.gov.au (diunduh
Desember 2014)

Aw, Suranto. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Bath and North Somerset, 2009, Patient Identification Policy And Procedure

California Association for Medical Laboratory Technology Distance Learning Program,


2010, Patient identification

Constatine, 2004, Fall Assessment and Prevention, www.rn.com (diunduh Desember


2014)

Critical Management Solutions, 2009, Patient Identification Policy,


www.kraskerhc.com. (diakses tanggal 25 Februari 2012)
Departement of Health, Government of Western Australia, Western Australian2010,
Patient Identification Policy 2010

Derby Hospital, 2008, Trust Policy And Procedures For The Prevention Of In-Patient
Falls And The Use Of Bed Safety Equipment,
www.derbyhospitals.nhs.uk/EasysiteWeb/getresource.axd?.. (diunduh tanggal 5
April 2013)Mansur J., 2008, High Alert Medication- Strategis for Improving
Safety, The Joint Commision (diakses dari googlebook Desember 2014)

Frankell, dkk., 2009, The Essential Guide for Patient Safety Officer, The Joint
Commision book hal 55 (diunduh dari Googlebook, Desember 2014)

Gwinett Medical Centre, 2014, Improving Caregiver


Communication,www.gwinettmedicalcentre/caregiver-comunnication.htm
(diunduh Desember 2014)

Komaruddin, 1994;Schermerhorn, Hunt & Osborn, 1994; Koontz & Weihrich, 1988.
Manual Komunikasi. Jakarta: Bumi Aksara

Komarudin. 1994. Ensiklopedi Manajemen, Edisi kedua. Jakarta: Bina Aksara.

Konsil Kedokteran Indonesia, 2006, Jakarta

Lee, Janise S., 2007, Prevention of Wrong-Site Tooth Extraction: Clinical Guidelines,
American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons, J Oral Maxillofac Surg
65:1793-1799

Liliweri, Alo. 1997. Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

LTC Homes and the Regional Best Practice Coordinator in Toronto, 2006, Policy And
Procedure Falls Prevention And Management,
http://rgp.toronto.on.ca/torontobestpractice/Policyprocedurefallspreventionmanage
ment.pdf (diunduh tanggal 5 April 2013)

Mid Western Regional Hospital, Mid Western Regional Orthopaedic Hospital, Mid
Western Regional Maternity Hospital, 2010, Patient Identification Policy And
Procedure

NHS, 2010, Policy And Procedures For The Management And Prevention Of Slips, Trips
And Falls In Hospital, www.eastlondon.nhs.uk/misc/scripts/dl_dms.asp?
id=A39623B9, (diunduh tanggal 5 April 2013)

NHS Wales, 2012, Prevention and Management of Fall in Vulnerable Adults


Procedures,
http://www.cardiffandvaleuhb.wales.nhs.uk/sitesplus/documents/864/Falls
%20final%2005%2012%2012%20%282%29.pdf (diunduh tanggal 5 April 2013)
NICE, 2013, Assessment and prevention of falls in older people,
www.nice.org.uk/guidance/CG161 (diunduh Desember 2012)

NORTH ESSEX PARTNERSHIP NHS FOUNDATION TRUST, 2010, Prevention and


Management of Falls, http://www.nepft.nhs.uk/_uploads/documents/trust-policies-
and-procedures/falls-prevention-and-management-of-policy-2010.pdf (diunduh
tanggal 5 April 2013)
Pensylvania Patient Safety Reporting System (PPSRS), 2006, Improving the Safety of
Telephone or Verbal Orders, the PA-PSRS Patient Safety Advisory—Vol. 3, 2:1-6

Permenkes nomer 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah


Sakit, http://binfar.kemkes.go.id (diunduh Desember 2014)

Podsiadlo, D., Richardson, S., 1991. The timed ‘Up and Go’ Test: a Test of Basic
Functional Mobility for Frail Elderly Persons. Journal of American Geriatric
Society. 1991; 39:142-148

Primary Care Provision, 2009, Patient Identification Policy, www.bolton.nhs.uk (diakses


tanggal 25 Februari 2012).

Royal United Hospital Bath, 2010, Policy For The Positive Identification Of Patients
2010.

Royal Free Hampstead NHS Trust, 2008, Patient Identification Policy

http://en.wikipedia.org/wiki/NATO_phonetic_alphabet. (Diakses Maret 2013).

Safer Health Care, 2014, Why is SBAR communication so critical?,


www.saferhealthcare.htm (diunduh Desember 2014)

Size Waves, Understanding Fall Risk, Prevention, & Protection,


www.sizewise.net/getattachment/.../SW-Fall-Risk-Toolkit.aspx (diunduh
Desember 2014)

Tameside Hospital NHS Foundation Trust, 2010, Patient Identification Policy 2010.J.
Morse , 1997, Preventing Patient Falls. CA: Sage Publishing Co.

WHO, 2009, WHO Guideline for safe surgery (first edition), Amerika: WHO Press

WHO, 2005, WHO guidenlines on hand hygiene in health care (advanced draft) : A
summary, World Alliance for Patient Safety, World Health Organization
Institute for Sale Medication Practises. 2011. ISMP’s List of Confused Drud Name.

WHO Model List Of Essential Medicines. 2011. Explanatory Notes

World Health Organization Collaborating Centre for Patient Safety Solutions, 2007,
Patient Identification. Patient Safety Solutions Vol 1 Solution 2
PENTINGNYA 6 Sasaran Keselamatan Pasien
6 sasaran keselamatan pasien, keselamatan pasien, patient safety, sasaran keselamatan pasien

Keselamatan pasien (patient safety) adalah prioritas utama dalam dunia medis. Karena
itu, hal itu senantiasa disosialisasikan di setiap lingkungan fasilitas kesehatan. Nah,
inilah 6 sasaran keselamatan pasien yang wajib diketahui.

Peraturan Menteri Kesehatan Mengenai Keselamatan Pasien

Seluruh tindakan medis terhadap pasien pasti memiliki risiko tersendiri. Pastinya tidak
ada satu petugas kesehatan atau dokter pun yang menginginkan pasiennya mengalami
risiko tidak diinginkan tersebut. Oleh sebab itu, keselamatan pasien harus diutamakan
dalam setiap penanganan medis. Setiap tenaga medis harus memahaminya, sehingga bisa
menerapkannya dengan baik.

Keselamatan pasien adalah kunci penting bagi setiap fasilitas kesehatan. Hal ini pula
yang menjadi indikator sangat penting dalam penilaian sebuah rumah sakit. Terutama
dalam kepentingan akreditasinya sebagai standar mutu atas pelayanan dan kinerjanya.
Untuk menjamin hal tersebut, maka sudah ditetapkan 6 sasaran keselamatan pasien.

Secara internasional ketentuan tersebut dikenal dengan istilah IPSG (International


Patient Safety Goals). Dalam peraturan tersebut ada enam sasaran untuk menjamin
keselamatan pasien. Ketentuan itu dirilis oleh Joint Commission International atau JCI.
Lembaga ini memberikan dedikasinya untuk peningkatan kualitas layanan fasilitas
kesehatan dan juga keselamatan bagi pasien.

Misi dari JCI adalah senantiasa meningkatkan kualitas kesehatan secara berkelanjutan
untuk setiap masyarakat. Dengan cara menjalin kerjasama bersama seluruh stakeholder
terkait, melakukan evaluasi terhadap organisasi pelayanan kesehatan, dan menjadi
inspirasi untuk peningkatan pelayanan pria, efektif dan berkualitas tinggi. Saat ini baru
tercatat beberapa saja rumah sakit di tanah air yang sudah berhasil mendapatkan
akreditasi dari lembaga tersebut.

Nah, IPSG yang dirilis oleh JCI sudah diaplikasikan hampir di setiap rumah sakit di
seluruh dunia. Kemudian ketentuan itu pun menjadi pijakan pemerintah Indonesia
melalui Kementrian Kesehatan dengan menerbitkan Permenkes-RI no.
1691/MENKES/PER/VII/2011. Peraturan itu terkait dengan keselamatan para pasien
yang dirawat di rumah sakit.

Dengan dasar kuat dari JCI maka pemerintah Indonesia pun berupaya untuk melindungi
pasien dengan mengutamakan keselamatan pasien (patient safety).

Apa sajakah 6 sasaran keselamatan pasien tersebut?


Enam poin penting sebagai sasaran keselamatan bagi pasien.

1. Ketepatan identifikasi pasien

Hal ini untuk mengembangkan pola pendekatan agar bisa meningkatkan atau
memperbaiki ketelitian dalam identifikasi pasien. Aplikasinya seperti identifikasi
sebelum pemberian atau pengambilan darah, konsumsi obat dan tindakan lainnya.

Salah satu pendukung poin ini adalah penggunaan gelang identitas pasien.

2. Peningkatan komunikasi efektif

Cara ini untuk mengembangkan pola pendekatan agar komunikasi bisa berjalan dengan
efektif. Hal ini bertujuan agar komunikasi lisan terjadi dengan akurat, sehingga
informasinya bisa diterapkan secara konsisten.

3. Peningkatan keamanan obat atau high alert yang harus diwaspadai

Cara ini dilakukan agar memastikan obat tetap aman untuk diberikan kepada pasien.
Prosedur ini berkaitan dengan proses identifikasi, pemberian label, penetapan lokasi dan
penyimpanannya.

4. Kepastian terhadap lokasi, prosedur dan pasien operasi

Cara ini diaplikasikan agar pasien tercatat dengan valid sebelum mendapatkan tindakan
operasi.

5. Pengurangan terhadap risiko infeksi setelah menggunakan pelayanan kesehatan


Hal ini adalah prosedur dalam pencegahan penyakit menular dan infeksi sesuai dengan
pedomannya.

6. Pengurangan risiko jatuh

Setiap tenaga medis harus memahami dan mengaplikasikan sejumlah langkah untuk
memastikan pasien tidak mengalami risiko jatuh. Semua langkah akan diawasi untuk
memastikan keberhasilannya. Dengan begitu segala risiko tersebut tidak akan menimpa
pasien yang tengah dirawatnya.

Nah itulah, dasar peraturan dan sasaran keselamatan untuk pasien yang tentunya harus
dipahami dan diaplikasikan oleh seluruh tenaga medis. Dengan mengikuti setiap
prosedurnya maka setiap pasien akan mendapatkan pelayanan prima dan terhindar dari
beragam risiko.

Anda mungkin juga menyukai