Anda di halaman 1dari 20

OPEN ACCESS

Indonesian Journal of Human Nutrition


P-ISSN 2442-6636
E-ISSN 2355-3987
www.ijhn.ub.ac.id
Artikel Hasil Penelitian

Potensi Penggunaan Metode In Vitro dalam Memperkirakan


Pemeringkatan Indeks Glikemik In Vivo pada Beberapa Varietas Beras
yang Dimasak

Aprinia Dian Nurhayati1*), Rimbawan Rimbawan1, Faisal Anwar1, Adi Winarto2


1
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor
2
Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
*Alamat korespondensi: Email: aprinia.dn@gmail.com, Tlp : +6283834398117

Diterima: Mei 2019 Direview: Mei 2019 Dimuat: Desember 2019

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah menguji metode in vitro yang paling potensial digunakan dalam
skrining indeks glikemik (IG) pada nasi yang menurut literatur memiliki IG berbeda (rendah,
sedang dan tinggi). Metode Englyst et al. (2003) dan Argyri et al. (2016) menjadi metode in vitro
terpilih yang diuji validitasnya untuk mengetahui kemampuan keduanya dalam menggolongkan
pangan sesuai hasil pengujian IG in vivo. Sebanyak enam varietas beras dimasak menggunakan rice
cooker kemudian nasi diuji kadar proksimat (protein, lemak, air, abu, karbohidrat), serat pangan
total, amilosa, amilopektin dan pati. Sebanyak 20 orang yang memenuhi kriteria inklusi dibagi
dalam dua kelompok sebanding untuk diukur kadar gula darah 2 jam setelah mengonsumsi
makanan. Nasi hitam Cirebon, Cisokan dan Inpara 5 memiliki IG sedang, sedangkan nasi Inpari 24,
Sintanur dan ketan Grendel tergolong IG tinggi. Kadar glukosa nasi pada metode Englyst et al.
(2003) menit ke-20 dan Argyri et al. (2016) menit ke-120 apabila dibuat pemeringkatan terendah
hingga tertinggi menunjukkan urutan peringkat yang sesuai dengan urutan nilai IG in vivo.
Kesimpulan penelitian ini adalah metode Argyri et al. (2016) menunjukkan hasil yang lebih
mendekati nilai IG in vivo dan prosedur pengukuran yang dilakukan lebih mirip dengan proses
pencernaan pada tubuh manusia, sehingga metode ini lebih direkomendasikan dalam
memperkirakan pengkategorian IG in vivo pada sampel berupa nasi (r2=0,461, p<0,01).
Kata kunci: indeks glikemik, in vitro, nasi

Abstract
The aim of this study was to test the most potential in vitro methods to used in screening the
glycemic index (GI) of rice which according to the literature had different GI category (low,
medium, high). Englyst et al. (2003) and Argyri et al. (2016) became the selected in vitro method
that tested their validity by determine their ability to classify food according to the results of in vivo
GI. Six rice varieties were cooked using a rice cooker then tested for proximate analysis (protein,
fat, water, ash, carbohydrate), total dietary fiber, amylose, amylopectin and starch. A total of 20
subjects who met the inclusion criteria were divided into two comparable groups to measure their
blood glucose levels for 2 hours after consuming test food. Cirebon black rice, Cisokan and Inpara
5 have moderate GI, while Inpari 24, Sintanur and Grendel glutinous rice were classified as high
GI. Glucose levels of rice as measured by Englyst et al. (2003) at 20th minute and Argyri et al.
(2016) at 120th minute has a comparable rank with in vivo GI. The conclusion of this study is
119
DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
120 Indonesian Journal of Human Nutrition, Desember 2019, Vol. 6 No. 2, hlm. 119 - 138

method by Argyri et al. (2016) showed results that were closer to the in vivo GI and the
measurement procedure was more similar to the digestive process in the human body, thus its
became more recommended method to estimating the categorization of in vivo GI in rice samples
(r2=0,461, p<0,01).
Keywords: glycemic index, in vitro, rice

PENDAHULUAN tenaga medis dalam pengambilan


Indeks glikemik (IG) sampel darah, biaya yang relatif mahal,
menunjukkan respon kenaikan kadar inefisiensi waktu terutama jika menguji
gkukosa darah setelah mengonsumsi beberapa makanan atau jika penelitian
makanan uji yang mengandung dilakukan pada laboratorium yang tidak
sejumlah karbohidrat tersedia (available diatur untuk penelitian klinis [5,6].
carbohydrate) dibandingkan dengan Beberapa penelitian menyarankan
respon glikemik terhadap konsumsi penggunaan metode in vitro untuk
karbohidrat acuan (larutan glukosa meniru pencernaan karbohidrat dalam
murni atau roti putih) [1,2]. Pemilihan gastrointestinal sehingga dianggap
makanan berdasarkan nilai indeks dapat memprediksi respon glikemik
glikemik yang tepat dapat membantu darah in vivo [7-13]. Kelebihan metode
seseorang mencapai tujuan dietnya. in vitro yang sederhana, cepat dan
Seseorang yang memiliki tujuan diet membutuhkan biaya yang relatif sedikit
untuk menurunkan risiko menderita ini dapat dimanfaatkan pada skrining
penyakit seperti diabetes, kanker, indeks glikemik [14].
obesitas dan penyakit jantung sebaiknya Berbagai metode in vitro dalam
mengonsumsi makanan berindeks memprediksi indeks glikemik telah
glikemik rendah [3]. Sementara banyak dikembangkan. Penelitian ini
makanan berindeks glikemik tinggi memilih menguji validasi metode
sebaiknya dikonsumsi oleh seseorang Englyst et al. (2003). Metode tersebut
yang ingin mengganti kehilangan dipilih karena telah banyak dirujuk oleh
glikogen secara cepat [4]. Hal ini beberapa penelitian lain [15-22].
menunjukkan pentingnya indeks Sementara itu, Argyri et al. (2016)
glikemik menjadi salah satu kriteria menyatakan metode uji yang digunakan
dalam pemilihan makanan yang tepat dalam penelitiannya lebih sederhana,
sesuai tujuan diet, sekaligus faktor yang cepat, dan murah dibanding metode in
perlu diperhatikan dalam formulasi vitro yang telah ada sebelumnya [13].
produk pangan baru. Beberapa penelitian yang
Indeks glikemik umumnya menggali hubungan antara metode in
diketahui melalui pengujian metode in vitro dan in vivo memiliki keterbatasan
vivo yang membandingkan respon penelitian berupa penggunaan data
glikemik subjek (manusia) setelah kandungan zat gizi dan nilai indeks
mengkonsumsi 50 gram (atau pada glikemik in vivo dari data yang telah
beberapa kondisi diberikan 25 gram) terpublikasi sebelumnya sehingga
available carbohydrate [1,2]. Metode berpeluang menimbulkan bias [5,13,23].
ini memiliki beberapa kelemahan Hal ini mendasari pentingnya dilakukan
diantaranya membutuhkan banyak pengujian kandungan zat gizi serta
tenaga sukarelawan sebagai subjek, indeks glikemik in vivo dan in vitro
membutuhkan kerjasama dan motivasi secara langsung pada sampel makanan
dari sukarelawan yang bersedia yang sama dalam satu penelitian.
mengikuti penelitian dibawah Sampel makanan yang digunakan pada
persetujuan komite etik, membutuhkan pengujian indeks glikemik merupakan

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
Aprinia Dian, dkk. Potensi Penggunaan Metode In Vitro ... 121

pangan sumber karbohidrat dengan rancangan acak lengkap (RAL).


lebih dari 80% energi pangan berasal Variabel bebas (independent) adalah
dari karbohidrat [1]. Sumber jenis makanan uji (nasi), sedangkan
karbohidrat yang dikonsumsi oleh lebih variabel terikat (dependent) adalah nilai
dari setengah penduduk dunia sekaligus indeks glikemik in vivo dan in vitro.
menjadi makanan pokok yang banyak Sebanyak 24 orang yang terdiri
dikonsumsi di Indonesia adalah nasi dari 20 orang subjek minimal ditambah
[24,25]. Penelitian indeks glikemik DO 20% (sebanyak 4 orang) dibagi
menggunakan sampel nasi dilakukan dalam dua kelompok sebanding untuk
karena nasi sebagai makanan pokok terlibat dalam penelitian ini. Pembagian
bagi lebih dari setengah penduduk kelompok responden A dan B bertujuan
dunia, terutama orang Asia dan untuk mengurangi risiko pengunduran
Indonesia, pada umumnya memiliki diri responden ditengah penelitian
indeks glikemik tinggi (73+4) yang disebabkan banyaknya frekuensi
dikaitkan dengan munculnya kasus pengujian indeks glikemik dan
diabetes mellitus (RR=1,11, p<0,001) pengambilan sampel darah yang
[24-27]. Padahal Kaur et al. (2016) dilakukan. Masing-masing kelompok
menyebutkan tidak semua jenis nasi terdiri atas 12 orang responden yang
berindeks glikemik tinggi dan indeks memiliki karakteristik sama diberi nasi
glikemik antara satu jenis nasi dengan yang memiliki indeks glikemik rendah,
nasi lainnya dapat bervariasi tergantung sedang dan tinggi. Sebanyak 4 orang
varietasnya [28]. Kondisi tersebut responden keluar dari penelitian
sesuai dengan tujuan penelitian ini yang sehingga terdapat total 20 orang yang
membutuhkan pangan dengan kategori mengikuti penelitian hingga akhir.
indeks glikemik berbeda untuk menguji Subjek dipilih menggunakan purposive
kemampuan metode in vitro dalam sampling berdasarkan kriteria inklusi.
menggolongkan pangan sesuai kategori Kedua kelompok diberi enam varietas
indeks glikemik in vivo. beras yang memiliki kategori indeks
Berdasarkan uraian di atas dapat glikemik berbeda menurut literatur yaitu
disimpulkan bahwa diperlukan adanya beras berindeks glikemik rendah (beras
penelitian untuk mengetahui validitas hitam lokal Cirebon dan beras putih
metode in vitro Englyst et al. (2003) varietas Cisokan), sedang (beras putih
dan Argyri et al. (2016) dalam varietas Inpara 5 dan beras merah
memperkirakan indeks glikemik in vivo varietas Inpari 24) dan tinggi (beras
secara tepat sesuai kategori indeks putih varietas Sintanur dan beras ketan
glikemik masing-masing sampel uji. varietas Grendel). Kelompok A
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mendapatkan nasi Cisokan, Inpari 24
untuk menguji validitas metode in vitro dan Sintanur, sedangkan kelompok B
Englyst et al. (2003) dan Argyri et al. mendapatkan nasi hitam varietas lokal
(2016) terhadap metode in vivo dengan Cirebon, Inpara 5 dan Ketan Grendel.
menggunakan nasi dari beras yang Beras didapatkan dari Balai Besar
memiliki kategori indeks glikemik Penelitian Tanaman Padi (BB Padi)
berbeda (rendah, sedang dan tinggi). Subang, Jawa Barat. Analisis estimasi
indeks glikemik metode in vitro
METODE PENELITIAN dilakukan sebanyak tiga kali
Rancangan/Desain Penelitian pengulangan pada masing-masing
Penelitian ini merupakan sampel untuk mengetahui presisi
penelitian eksperimental dengan metode in vitro [29]. Sampel diambil

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
122 Indonesian Journal of Human Nutrition, Desember 2019, Vol. 6 No. 2, hlm. 119 - 138

secara acak menggunakan simple Pengujian indeks glikemik in vivo


random sampling. dengan subjek manusia dilakukan di
Laboratorium Dietetik, Jurusan Ilmu
Sumber Data Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Data primer yang digunakan Brawijaya Malang. Persetujuan etik
berupa 1) kadar proksimat (lemak, didapat dari Komisi Etik Penelitian
protein, air, abu, dan karbohidrat total yang Melibatkan Subjek Manusia
by difference) yang merujuk pada SNI Institut Pertanian Bogor dengan nomor:
01-2891-1992, 2) kadar total serat 075/IT3.KEPMSM-IPB/SK//2018.
pangan metode enzimatis AOAC Pengujian kadar proksimat nasi
991.43, 3) Kadar pati berdasarkan (protein, lemak, air, abu, karbohidrat),
metode titrimetri, 4) kadar amilosa amilosa, amilopektin dan pati dilakukan
didapat dari pengujian menggunakan di Laboratorium Departemen Ilmu dan
metode spektrofotometri dan Teknologi Pangan (ITP), Fakultas
amilopektin by difference, 5) nilai Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
indeks glikemik in vivo sesuai metode Bogor. Pengujian total serat pangan nasi
FAO/WHO (1998) yang disesuaikan dilakukan di Laboratorium Saraswanti
dengan Brouns et al. (2005) dan ISO Indo Genetech (SIG) Bogor. Pengujian
26642:2010 [1,2,30], 6) estimasi nilai indeks glikemik in vitro metode Englyst
indeks glikemik in vitro dengan metode et al. (2003) dan Argyri et al. (2016)
Englyst et al. (2003) dan Argyri et al. dilakukan di Laboratorium Biomedik,
(2016). Data sekunder mengenai nilai Fakultas Kedokteran Universitas Islam
indeks glikemik nasi yang dijadikan Malang.
dasar pemilihan varietas beras didapat
dari jurnal penelitian. Alur Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui
Subjek Penelitian beberapa tahapan secara berurutan
Subjek yang terlibat dalam yaitu: (1) tahap pemasakan beras
pengukuran indeks glikemik memenuhi menjadi nasi, (2) tahap analisis zat gizi
kriteria inklusi berupa laki-laki maupun nasi yang meliputi uji proksimat nasi
perempuan berusia 18-30 tahun dengan (karbohidrat, protein, lemak, air, abu),
indeks massa tubuh (IMT) normal kandungan serat pangan, pati, amilosa-
(18,5-22,9 kg/m2), kadar gula darah amilopektin, (3) tahap perekrutan dan
puasa (GDP) normal, tidak memiliki pemilihan subjek (manusia), (4) tahap
riwayat diabetes mellitus, tidak alergi pengujian indeks glikemik in vivo, (5)
terhadap makanan uji, tidak mengalami tahap pengujian metode in vitro yang
gangguan pencernaan, tidak terdiri dari pengujian metode Englyst et
mengkonsumsi obat-obatan yang al. (2003) dan Argyri et al. (2016), (6)
mempengaruhi kadar glukosa darah, analisis data dan pembahasan hasil.
tidak mengkonsumsi alkohol, tidak
merokok, bersedia mengikuti penelitian Prosedur Pemasakan Beras
hingga selesai dan menandatangani Beras dimasak dengan metode
informed consent. pemasakan modern menggunakan rice
cooker sebelum diuji kandungan gizi,
Pengembangan Instrumen dan Teknik indeks glikemik dan kadar glukosanya.
Pengumpulan Data Setiap varietas beras ditimbang
Penelitian dilaksanakan pada kemudian dicuci menggunakan air kran
bulan Juli 2018 hingga Januari 2019. dan ditiriskan. Beras ketan Grendel

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
Aprinia Dian, dkk. Potensi Penggunaan Metode In Vitro ... 123

mendapat perlakuan berbeda dari lima (iAUC) pangan uji dan pangan acuan
varietas beras lainnya yaitu perendaman dengan mengabaikan kurva yang berada
selama satu jam (1 jam) sebelum dibawah kadar gula darah puasa [1].
penirisan. Beras yang telah ditiriskan
kemudian ditimbang untuk mengetahui Prosedur Pengujian Metode Englyst et
perubahan berat beras sebelum dan al. (2003)
sesudah pencucian. Sampel yang telah Metode Englyst et al. (2003)
ditiriskan kemudian dimasukkan ke menggunakan sampel nasi sebanyak
dalam panci rice cooker dan diberi air 500 mg available carbohydrate dengan
dengan perbandingan beras dibanding porsi berkisar antara 1,70126 g sampai
air adalah 1:2 (b/v). Beras ketan 2,13038 g. Metode ini mengukur kadar
Grendel memiliki perbandingan beras glukosa pada menit ke-20 dan 120.
dan air yang berbeda dengan beras Sampel diinkubasi dengan 10 ml
lainnya yaitu 5:7 (b/v). Pemasakan pepsin-guar gum (porcine pepsin, P-
beras dihitung lama waktu masak 7000, >250 units/mg, Sigma-Aldrich)
menggunakan stopwatch dan dianggap selama 30 menit dengan suhu 370C.
telah matang jika lampu indikator Sebanyak 10 ml 0,25 mol/L natrium
berpindah dari posisi “cook” (memasak) asetat dicampurkan pada sampel.
ke posisi “warm” (menghangatkan) Sampel, standar dan blanko diinkubasi
[31]. selama 2 jam menggunakan campuran
enzim dari pankreatin (porcine
Prosedur Pengujian Indeks Glikemik pancreatin from porcine pancreas, 4x
In Vivo USP specifications, P-1750, Sigma-
Jumlah available carbohydrate Aldrich), amiloglukosidase (>260
didapatkan dari hasil pengurangan U/mL, A-7095, Sigma-Aldrich) dan
karbohidrat by difference dengan kadar invertase (200-300 units/mg, I9274,
total serat pangan. Masing-masing Sigma-Aldrich). Kadar glukosa
bahan makanan dihitung jumlah dianalisis menggunakan metode glucose
available carbohydrate yang oxidase (GOD) pada 510 nm [11].
terkandung didalamnya kemudian
dihitung porsi makanan uji pada metode Prosedur Pengujian Metode Argyri et
in vivo (setara dengan 50 g available al. (2016)
carbohydrate) [1,2,30]. Responden Metode Argyri et al. (2016)
yang telah mengonsumsi makanan uji menggunakan sampel nasi sebanyak
setara 50 gram available carbohydrate 250 mg available carbohydrate.
diambil sampel darahnya oleh tenaga Pengujian kadar glukosa diawali dengan
medis (dokter dan perawat) untuk proses pencernaan karbohidrat di mulut.
diukur kadar glukosa darah. Sampel nasi dipertemukan dengan α-
Pengambilan darah menggunakan amilase yang meniru pencernaan
finger-prick capillary blood samples pertama karbohidrat dalam tubuh
method atau penusukan pada jari tangan manusia. Sampel yang telah
subjek dengan alat EasyTouch®. dihomogenisasi dengan air kemudian
Pengambilan dilakukan sebanyak 7 kali diinkubasi dengan α-amilase (185 U/g
dengan waktu pengambilan pada menit available carbohydrate, α-amilase dari
ke 0, 15, 30, 45, 60, 90 dan 120 setelah saliva manusia, tipe XIII-A, 300-1.500
konsumsi makanan. Penghitungan nilai units/mg, A1031-1KU, Sigma-Aldrich).
indeks glikemik berdasarkan Sampel direaksikan dengan 0,1M HCl
perbandingan luas area dibawah kurva sampai pH menjadi 2,5 [13]. Proses ini

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
124 Indonesian Journal of Human Nutrition, Desember 2019, Vol. 6 No. 2, hlm. 119 - 138

bermaksud untuk menirukan terhambat sekaligus memulai hidrolisis


pencernaan pati dalam lambung. pati oleh kondisi asam [14]. Sampel
Lambung memiliki suasana asam akibat kemudian diinkubasi dengan 0,1 ml
adanya sekresi HCl oleh sel parietal pepsin (porcine pepsin, 4 g/100 ml
yang mengakibatkan aktivitas α-amilase
dalam 0,1M HCl, porcine pepsin, >250 darah puasa (incremental area under
units/mg, P-7000, Sigma-Aldrich). curve atau iAUC). Nilai IG nasi
Sebanyak 2 ml 0,1M PIPES buffer pH didapatkan dari rerata nilai indeks
6,5 (P-3678, Sigma-Aldrich) glikemik seluruh subjek. Hasil
ditambahkan pada sampel kemudian pengukuran IG dikategorikan menjadi
dipasang membran dialysis (MWCO 6- rendah (<55), sedang (56-69), dan
8 kDa, spectrum laboratories). Aliquotes tinggi (>70) [30,32-34].
diambil setelah inkubasi 30 menit Kadar glukosa pada Englyst et
dengan suhu 370C. Amiloglukosidase al. (2003) didapat berdasarkan
3260 U/ml AMG (>260 U/mL, A-7095, persamaan:
Sigma-Aldrich dari Aspergillus niger) 𝐴(𝑡)𝑉𝐶
Glukosa (%) =
dan 0,5 ml campuran garam empedu- 𝐴(𝑠)𝑊

pankreatin (0,2 g porcine pancreatin A(t) = absorbansi larutan uji menit ke-x
from porcine pancreas, 4 x USP V = volume larutan uji
specifications, P-1750, Sigma-Aldrich C = konsentrasi standar
dan 1,2 g ekstrak empedu yang A(s) = absorbansi larutan standar pada
dilarutkan dalam 100 ml 0,1M NaHCO3, menit ke-x
B-8631, Sigma-Aldrich) ditambahkan W = berat sampel
pada sampel. Sampel diinkubasi selama x = menit ke-20 dan 120
2 jam dan diambil aliquots setiap 30
menit (t = 30, 60, 90, 120). Analisis Argyri et al. (2016) mendapatkan kadar
kadar glukosa dilakukan pada 575 nm glukosa berdasarkan persamaan:
𝑎
menggunakan metode dinitrosalicylic DGR = 𝑏
acid (DNS 98%, 12,884-8, Sigma). DGR = dialyzable glucose ratio
Metode Argyri et al. (2016) menguji a = glukosa yang mampu melalui
kadar glukosa nasi dengan selang waktu dialysis pada menit ke-x setelah inisiasi
30 menit yang dimulai dari sebelum tahap kedua in vitro makanan uji
penambahan enzim amiloglukosidase b = glukosa yang mampu melalui
dan garam empedu-pankreatin (menit dialysis pada menit ke-x setelah inisiasi
ke-0) hingga 120 menit setelah tahap kedua in vitro makanan standar
penambahan tersebut [13]. x = menit ke-0, 30, 60, 90, dan 120

Teknik Analisis Data Karakteristik responden pada


Kadar gula darah subjek kelompok A dan B diuji normalitasnya
dimasukkan dalam grafik dengan sumbu menggunakan uji Shapiro-Wilk
x sebagai waktu pengambilan glukosa (p>0,05). Karakteristik kelompok yang
darah (dalam menit) dan sumbu y terdistribusi normal diuji beda
sebagai kadar glukosa darah dalam menggunakan uji independent t-test.
mg/dl. Nilai indeks glikemik (IG) setiap Nilai indeks glikemik in vivo dan in
subjek didapat dari perbandingan luas vitro dinyatakan dalam rerata+SEM
area dibawah kurva pangan uji terhadap (standar error mean). Pengolahan
pangan acuan dengan mengabaikan secara deskriptif untuk menjelaskan
kurva yang berada dibawah kadar gula hasil indeks glikemik yang didapat dari

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
Aprinia Dian, dkk. Potensi Penggunaan Metode In Vitro ... 125

ketiga metode. Uji korelasi antara lebih besar. Analisis data dan
metode in vitro Englyst et al. (2003) pengolahannya menggunakan program
dan Argyri et al. (2016) dengan hasil Microsoft excel 2016, software
metode in vivo dilakukan dengan statistical program for social science
korelasi univariat. (SPSS) versi 24 dan R-statictical
Penghitungan RMSE (Root program.
Mean Square Error), nilai r2 (r squared)
dan nilai p (p-value) dilakukan untuk HASIL PENELITIAN
mengetahui metode in vitro yang lebih Karakteristik Sampel Nasi
mendekati hasil metode in vivo. Metode Seluruh varietas mengalami
yang memiliki nilai RMSE lebih kecil penambahan berat yang berkisar antara
dianggap sebagai metode estimasi yang 12,5% hingga 40,5% dari berat semula.
lebih akurat dibandingkan metode Hasil pengujian kandungan gizi nasi
estimasi lain yang memiliki nilai RMSE tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Nasi
Kandungan gizi (b/b)
Serat
Amilo
Varietas Nasi Protein Lemak Air Abu KH Pangan Amilosa Pati
pektin
(%) (%) (%) (%) (%) Total (%) (%)
(%)
(%)
Hitam Cirebon 4,20 0,22 65,22 0,41 29,95 6,48 4,88 23,83 18,95
Cisokan 2,98 0,27 66,25 0,20 30,30 5,81 5,48 19,17 13,69
Inpara 5 3,70 0,27 62,15 0,20 33,68 6,85 8,31 23,59 15,28
Inpari 24 4,44 0,23 56,44 0,40 38,50 9,11 5,18 19,02 13,84
Sintanur 3,53 0,41 66,44 0,47 29,15 4,23 5,32 23,40 18,08
Ketan Grendel 3,31 0,51 65,12 0,49 30,57 2,79 2,55 25,79 23,24
Karakteristik Responden kelompok dianggap sama dan tidak
Hasil uji beda t-test akan mempengaruhi hasil pengukuran
menunjukkan karakteristik responden indeks glikemik. Karakteristik kedua
kelompok A dan B tidak berbeda kelompok responden tercantum dalam
signifikan (p>0,05) sehingga kedua Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian
Kelompok
Karakteristik Rerata
A B *P
Subjek (n=20)
(n=10) (n=10)
Umur (tahun) 22,40+2,066 22,1+2,68 22,25+2,337 0,783
Jenis kelamin
Perempuan 8 orang 7 orang 15 orang 0,615
Laki-laki 2 orang 3 orang 5 orang
Berat badan (kg) 52,29+5,95 52,42+4,73 52,36+5,23 0,957
Tinggi badan (cm) 158,06+6,10 157,3 (152,3-167,3) 157,68+5,39 0,762
IMT (kg/m2) 20,87+1,25 21,16+1,23 21,01+1,21 0,609
Data dinyatakan sebagai rerata + standar deviasi;
*P-value berdasarkan t-test, kecuali jenis kelamin menggunakan Mann Whitney karena data terdistribusi
tidak normal

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
126 Indonesian Journal of Human Nutrition, Desember 2019, Vol. 6 No. 2, hlm. 119 - 138

Respon Glikemik In Vivo Indeks Glikemik In Vivo


200 Nasi Cisokan, Inpara 5 dan nasi
180 hitam Cirebon memiliki nilai indeks
160 glikemik yang tergolong sedang. Nasi
Kadar Gula Darah

140 Sintanur, Inpari 24, dan ketan Grendel


120 tergolong berindeks glikemik tinggi.
100 Hasil pengujian nilai indeks glikemik
80 tercantum dalam Tabel 3.
60
40 Tabel 3. Nilai Indeks Glikemik Nasi
20 Indeks Glikemik (%)
0 Varietas (rerata+SEM)
0 15 30 45 60 75 90 105 120 135
(n=10)
Waktu Hitam Cirebon 63,60+4,82
Cisokan 64,05+6,74
Glukosa Hitam Cirebon Inpara 5 67,59+3,63
Inpara 5 Ketan Grendel Inpari 24 76,46+7,06
Sintanur 81,65+5,54
Keterangan: respon glikemik responden saat
Ketan Grendel 88,93+4,00
mengonsumsi makanan uji dan acuan pada
Data dinyatakan sebagai rerata + SEM (standar
menit ke 0, 15, 30, 45, 60, 90 dan 120
error mean)
Gambar 1. Respon Glikemik
terhadap Nasi Hitam Cirebon, Inpara Metode Englyst et al. (2003)
5, Ketan Grendel dan Glukosa Murni Pengukuran kadar glukosa pada
menit ke-20 menunjukkan nasi ketan
200 lokal varietas Grendel memiliki kadar
180 glukosa tertinggi (89,75+2,08),
160 sedangkan kadar glukosa terendah
Kadar Gula Darah

140 terdapat pada nasi hitam Cirebon


120 (31,17+2,48). Hasil pengukuran kadar
100 glukosa pada menit ke-120
80 menunjukkan kadar glukosa tertinggi
60 masih dimiliki oleh ketan lokal varietas
40 Grendel (123,05+4,03), sedangkan
20 terendah pada nasi Cisokan
0 (43,51+2,72). Hasil pengukuran glukosa
0 15 30 45 60 75 90 105 120 135
menggunakan metode Englyst et al.
Waktu (2003) secara lebih terperinci terdapat
pada Tabel 4.
Glukosa Cisokan
Inpari 24 Sintanur

Keterangan: respon glikemik responden saat


mengonsumsi makanan uji dan acuan pada
menit ke 0, 15, 30, 45, 60, 90 dan 120

Gambar 2. Respon Glikemik


terhadap Nasi Cisokan, Inpari 24,
Sintanur dan Glukosa Murni

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
Aprinia Dian, dkk. Potensi Penggunaan Metode In Vitro ... 127

Tabel 4. Hasil Pengukuran Glukosa Metode Argyri et al. (2016)


Metode Englyst et al. (2003) Hasil pengukuran kadar glukosa
nasi pada menit ke-0, 30, 60, 90 dan
Kadar Glukosa (%)
120 menggunakan metode Argyri et al.
Nasi Menit ke-20 Menit ke-120
(rerata+SEM) (rerata+SEM) (2016) tercantum dalam Tabel 5.
(n=6) (n=6)
Hitam 31,17+2,48 54,30+1,49
Cirebon
Cisokan 41,06+2,06 43,51+2,72
Inpara 5 43,27+0,16 49,73+1,47
Inpari 24 54,54+1,20 55,43+1,74
Sintanur 83,73+4,88 93,60+2,22
Ketan 89,75+2,08 123,05+4,03
Grendel
Data dinyatakan sebagai rerata + SEM (standar
error mean)

Tabel 5. Hasil Pengukuran Glukosa Metode Argyri et al. (2016)


Kadar Glukosa (%) pada Menit ke-
Nasi 0 30 60 90 120
(rerata+SEM) (rerata+ SEM) (rerata+ SEM) (rerata+ SEM) (rerata+ SEM)
Hitam
62,24+4,08 38,79+8,94 35,07+2,68 55,97+18,24 47,34+4,88
Cirebon
Cisokan 59,56+7,21 61,33+14,09 59,96+5,05 59,26+2,50 66,13+4,81
Inpara 5 29,87+2,12 66,51+2,92 66,86+3,98 65,59+4,97 67,97+2,29
Inpari 24 15,71+1,78 22,75+10,14 70,48+9,57 62,81+7,97 77,16+2,52
Sintanur 60,36+3,20 53,82+7,68 73,71+8,26 67,70+7,77 90,22+22,89
Ketan Grendel 61,98+6,42 84,51+25,33 72,65+7,94 78,91+5,91 94,32+7,85
Data dinyatakan sebagai rerata + SEM (standar error mean)

Peringkat hasil uji metode in vivo dan in vitro dengan urutan dari terendah
in vitro hingga tertinggi dicantumkan secara
Hasil uji nilai indeks glikemik terperinci pada Tabel 6 berikut.
dan kadar glukosa pada kedua metode

Tabel 6. Pemeringkatan Kadar Glukosa Nasi


Urutan kadar glukosa terendah hingga tertinggi
Metode Englyst Metode Argyri
Nasi Indeks Glikemik
menit ke- menit ke-
In Vivo
20 120 0 30 60 90 120
Hitam Cirebon 1 1 3 6 2 1 1 1
Cisokan 2 2 1 3 4 2 2 2
Inpara 5 3 3 2 2 5 3 4 3
Inpari 24 4 4 4 1 1 4 3 4
Sintanur 5 5 5 4 3 6 5 5
Ketan Grendel 6 6 6 5 6 5 6 6
Penghitungan RMSE, r2 dan Nilai p Argyri et al. (2016) menggunakan
Metode In Vitro software R-statistical program
Hasil analisis RMSE, r2 dan nilai tercantum pada tabel 7 berikut.
p dari metode Englyst et al. (2003) dan

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
128 Indonesian Journal of Human Nutrition, Desember 2019, Vol. 6 No. 2, hlm. 119 - 138

Tabel 7 Hasil Penghitungan RMSE, r2 dan Nilai p Metode In Vitro


Metode Nilai RMSE r2 p
Englyst et al. (2003)
Menit ke-20 21.32 0.906 p<0.01*
Menit ke-120 21.01 0.831 p<0.01*
Argyri et al. (2016)
Menit ke-0 33.09 0.004 p>0.01
Menit ke-30 32.85 0.060 p>0.01
Menit ke-60 17.02 0.339 p=0.01*
Menit ke-90 16.39 0.187 p>0.01
Menit ke-120 16.63 0.461 p<0.01*
*P-value berdasarkan analisis regresi (p<0.01)
PEMBAHASAN kadar amilosa tertinggi dibanding nasi
Pemasakan Beras lainnya (8,31%), tetapi masih tergolong
Beras dicuci terlebih dahulu sangat rendah. Keempat varietas nasi
sebelum dimasak dengan tujuan lainnya juga memiliki kadar amilosa
menghilangkan benda maupun kotoran yang sangat rendah. Amilosa
yang berbahaya [28]. Setelah pencucian, merupakan salah satu komponen
seluruh varietas beras mengalami penyusun pati dengan struktur rantai
penambahan berat yang berkisar antara yang berbeda dengan amilopektin
12,5% hingga 40,5% dari berat semula. [39,40]. Rasio amilosa dan amilopektin
Perbedaan penambahan berat pada dapat mempengaruhi proses pemasakan
setiap varietas beras dipengaruhi oleh dan kualitas nasi [28]. Kedua komponen
banyaknya air yang terserap setelah penyusun pati ini memiliki ikatan
pencucian [35]. Beras yang telah dicuci hidrogen di dalam molekulnya yang
kemudian dimasak menggunakan rice mengatur integritas granula pati. Ikatan
cooker. Pemilihan metode pemasakan hidrogen dapat melemah akibat proses
dengan rice cooker bertujuan untuk gelatinisasi yang terjadi saat pemasakan
menyesuaikan dengan kondisi nasi sehingga terbentuk gugus hidroksil
masyarakat saat ini yang telah banyak bebas yang mampu menyerap molekul
beralih dari metode memasak nasi air dan mengakibatkan granula pati
tradisional ke metode rice cooker. mengalami pembengkakan [37]. Inilah
sebabnya semakin tinggi kadar
Kandungan Gizi Nasi amilopektin pada nasi maka semakin
Nasi merupakan salah satu tinggi pula kadar air pada nasi.
sumber utama pati alami di Indonesia Nasi merah Inpari 24 memiliki
[36,37]. Berdasarkan kandungan kadar protein tertinggi (4,44%),
amilosanya, nasi dapat digolongkan sedangkan kadar protein terendah
menjadi lima yaitu waxy apabila terdapat pada nasi putih Cisokan
mengandung amilosa 0-2%, sangat (2,98%). Hasil ini berbeda dengan
rendah jika amilosa 5-12%, rendah jika penelitian lain yang justru menunjukkan
amilosa 12-20%, sedang jika amilosa kadar protein tertinggi terdapat pada
20-25%, tinggi jika amilosa 25-33% beras putih (8,70% b/b), sedangkan
[38]. Hasil uji amilosa pada nasi kadar protein terendah terdapat pada
menunjukkan ketan Grendel memiliki beras merah (6,93% b/b) [41].
kadar amilosa paling rendah (2,55%) Perbedaan ini diduga disebabkan
yang tergolong waxy. Inpara 5 memiliki perbedaan bentuk sampel ketika diuji.

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
Aprinia Dian, dkk. Potensi Penggunaan Metode In Vitro ... 129

Penelitian ini menguji kadar protein pangan serta keberadaan amilosa-


pada nasi, sedangkan literatur tersebut amilopektin diketahui dapat
menggunakan sampel uji berupa beras. mempengaruhi respon glikemik suatu
Penggunaan suhu tinggi pada proses makanan [20]. Semakin tinggi
pemasakan beras dapat mengakibatkan kandungan serat pangan, amilosa, serta
kerusakan protein sehingga kadar rasio amilosa-amilopektin maka respon
protein nasi lebih rendah dibanding glikemik dan indeks glikemiknya akan
beras [42]. semakin rendah. Serat pangan mampu
Kadar lemak tertinggi terdapat menurunkan kecepatan pengosongan
pada nasi ketan lokal varietas Grendel lambung, sehingga respon glikemik
(0,51%), sedangkan lemak terendah menurun. Keberadaan amilosa yang
pada nasi hitam varietas lokal Cirebon sulit dicerna oleh enzim pencernaan
(0,22%). Indrasari et al. (2008) menyebabkan respon glikemik semakin
menyebutkan beras Cisokan memiliki rendah [20,28].
kadar lemak sebesar 0,56%, sedangkan Hasil uji kandungan zat gizi
hasil penelitian Ikhwani et al. (2017) enam jenis nasi menunjukkan ketan
menunjukkan hasil yang lebih besar Grendel memiliki kadar total serat
yaitu 1,90% b/k [43,44]. Nasi Cisokan pangan yang paling rendah (2,79%)
yang digunakan pada penelitian ini kemudian diikuti oleh Sintanur (4,23%).
mengandung lemak sebesar 0,27% yang Sementara pada pengujian nilai indeks
lebih rendah dibanding literatur. glikemik, ketan Grendel justru memiliki
Kondisi serupa ditemukan pada sampel nilai indeks glikemik tertinggi
nasi Sintanur dan ketan Grendel. Lemak (88,93%+4,00%) yang diikuti oleh
dapat mencair dan menguap (volatile) Sintanur (81,65%+5,54%). Kondisi ini
menjadi komponen lainnya ketika didukung oleh Gambar 1 yang
melewati pemanasan sehingga kadarnya menunjukkan respon glikemik yang
lebih rendah pada makanan yang telah tinggi saat mengonsumsi ketan Grendel.
matang, tetapi hal ini sangat Hal ini sesuai dengan literatur yang
dipengaruhi suhu dan lama pemasakan menyebutkan bahwa keberadaan total
[42]. serat pangan dapat mempengaruhi
respon glikemik makanan [47]. Secara
Respon Glikemik In Vivo fisiologis, serat pangan mampu
Penelitian ini meminta membentuk gel kental dalam saluran
responden mengonsumsi sejumlah cerna yang dapat mencegah interaksi
makanan uji dan makanan acuan yang enzim α-amilase dengan makanan
menyebabkan perubahan kadar glukosa sehingga menurunkan pemecahan
darah responden. Perubahan konsentrasi glukosa dan menurunkan kecepatan
gula darah yang disebabkan oleh absorbsi karbohidrat sekaligus
makanan yang telah dicerna dikenal meningkatkan kecepatan makanan
sebagai respon glikemik [45]. Hasil dalam melewati saluran cerna. Seluruh
penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme tersebut pada akhirnya
setiap varietas nasi memiliki respon menyebabkan penurunan respon
glikemik yang berbeda seperti tampak glikemik [20,47]. Oleh karena itu,
pada Gambar 1 dan 2. Respon glikemik makanan dengan kandungan serat
dapat dipengaruhi oleh banyak hal, pangan rendah akan memiliki respon
salah satunya adalah kandungan zat gizi glikemik dan indeks glikemik yang
dalam makanan itu sendiri [46]. cenderung tinggi [43].
Kandungan zat gizi terutama kadar serat

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
130 Indonesian Journal of Human Nutrition, Desember 2019, Vol. 6 No. 2, hlm. 119 - 138

Berdasarkan teori diatas, nasi amilopektin. Berbeda dengan amilosa,


Inpari 24 yang memiliki kadar serat amilopektin memiliki karakteristik yang
pangan tertinggi (9,11%) seharusnya lebih mudah dipecah sehingga
memiliki nilai indeks glikemik menghasilkan kadar glukosa yang lebih
terendah. Nasi Inpara 5 memiliki kadar tinggi dan meningkatkan nilai indeks
serat pangan yang berada di urutan ke-2 glikemik [28, 43]. Semakin tinggi rasio
tertinggi setelah nasi Inpari 24 amilosa-amilopektin pada makanan
seharusnya juga memiliki nilai indeks maka respon glikemiknya akan semakin
glikemik yang berada di urutan ke-2 rendah [20]. Gambar 2 menunjukkan
terendah. Hasil penelitian ini nasi Sintanur memiliki respon glikemik
menunjukkan indeks glikemik terendah yang lebih tinggi dibanding Inpari 24.
justru dimiliki oleh nasi Hitam Cirebon Hal ini didukung oleh hasil penelitian
yang diikuti oleh nasi Cisokan. Artinya ini yang menunjukkan rasio amilosa-
terdapat faktor selain kadar serat pangan amilopektin nasi Sintanur lebih rendah
yang juga berperan penting dalam dibanding Inpari 24.
menentukan indeks glikemik nasi. Salah
satunya adalah kadar pati dan Indeks Glikemik In Vivo
keberadaan amilosa-amilopektin. Penelitian ini menguji indeks
Pati terdiri dari dua penyusun glikemik nasi dari beras hitam lokal
utama yaitu amilosa dan amilopektin varietas Cirebon yang belum diteliti
[28]. Amilosa memiliki beberapa sebelumnya. Hasil uji menunjukkan
karakteristik yang mengakibatkan indeks glikemik nasi hitam Cirebon
amilosa bersifat sulit tercerna oleh tergolong sedang dengan nilai sebesar
enzim pencernaan manusia. Struktur 63,60+4,82. Hasil penelitian ini sejalan
amilosa berbentuk lurus dan terikat kuat dengan penelitian Auliya (2017) yang
oleh ikatan hidrogen sehingga relatif menunjukkan indeks glikemik beras
sulit dipecah. Selain itu, amilosa hitam non-pratanak dan pratanak
memiliki ukuran granula yang kecil tergolong sedang dengan nilai indeks
(105) sehingga strukturnya lebih mudah glikemik berturut-turut sebesar
bergabung, mengkristal dan sulit 65,45+19,48 dan 58,70+24,30 [49].
tergelatinisasi yang menyebabkan Terdapat perbedaan nilai indeks
amilosa sulit dicerna oleh enzim glikemik Cisokan pada penelitian ini
pencernaan [28,39,40,48]. Karakteristik dibandingkan dengan nilai yang
amilosa ini menyebabkan semakin tercantum dalam literatur. BB Padi
tinggi kandungan amilosa maka (2010) menyatakan Cisokan memiliki
semakin rendah respon glikemiknya. nilai indeks glikemik yang rendah (34),
Berdasarkan karakteristik amilosa sedangkan pada penelitian ini Cisokan
seharusnya nasi Inpara 5 yang memiliki memiliki indeks glikemik sedang
kadar amilosa tertinggi (8,31%) akan (64,05+6,74) [50]. Nilai indeks
memiliki respon glikemik yang paling glikemik yang dicantumkan oleh BB
rendah, tetapi pada Gambar 1 justru Padi tersebut merujuk pada penelitian
Inpara 5 tampak memiliki respon yang dilakukan oleh Indrasari et al.
glikemik yang cenderung lebih tinggi (2008) [43]. Berdasarkan telaah pustaka
dibanding nasi Hitam Cirebon pada didapatkan beberapa faktor yang diduga
menit ke-90 dan 120. Hal ini menjadi penyebab perbedaan nilai
menunjukkan adanya faktor lain yang indeks glikemik tersebut, diantaranya
juga berperan menentukan respon adanya perbedaan metode pemasakan,
glikemik yaitu rasio amilosa- perbedaan jumlah responden dan

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
Aprinia Dian, dkk. Potensi Penggunaan Metode In Vitro ... 131

perbedaan metode pengukuran gula belum ditemukan literatur mengenai


darah. nilai indeks glikemiknya. Hasil
Indeks glikemik nasi Inpara 5 penelitian ini menunjukkan nilai indeks
tergolong sedang dengan nilai sebesar glikemik ketan Grendel tergolong tinggi
67,59+3,63. Meskipun nilai indeks yaitu sebesar 88,93+4,00. Penelitian
glikemik dalam penelitian ini lebih lain yang meneliti ketan putih varietas
tinggi dibandingkan temuan Wahab et Ketonggo mendapatkan nilai indeks
al. (2017) yang menyebutkan nilai glikemik sebesar 79 [43]. Meskipun
indeks glikemik Inpara 5 sebesar 59, berbeda varietas, namun dapat ditarik
namun keduanya masih berada dalam kesimpulan bahwa ketan putih memiliki
satu kategori yaitu indeks glikemik indeks glikemik yang tinggi.
sedang [50].
Nasi merah Inpari 24 memiliki Pengukuran Glukosa Metode Englyst
nilai indeks glikemik sebesar et al. (2003)
76,46+7,06 yang tergolong tinggi. Hasil Hasil uji korelasi univariat
ini berbeda dengan nilai indeks menunjukkan pembacaan glukosa
glikemik Inpari 24 menurut BB Padi metode Englyst et al. (2003) pada menit
dalam Septianingrum et al. (2016) ke-20 memiliki urutan pemeringkatan
sebesar 64 dan tergolong indeks yang sesuai dengan peringkat nilai
glikemik sedang [46]. Beberapa faktor indeks glikemik pada metode in vivo.
diketahui dapat memengaruhi respon Berdasarkan kadar glukosa yang terbaca
glikemik, diantaranya varietas beras, pada menit ke-20 didapatkan
komponen monosakarida (glukosa, pemeringkatan sampel dari terendah
fruktosa, dan galaktosa), komponen pati hingga tertinggi dengan urutan yaitu
(amilosa, amilopektin, interaksi pati nasi hitam varietas lokal Cirebon, nasi
dengan zat gizi lain, pati resisten), Cisokan, nasi Inpara 5, nasi merah
pengolahan pangan (tingkat gelatinisasi Inpari 24, nasi Sintanur dan ketan
pati, ukuran partikel, bentuk makanan, Grendel. Urutan peringkat ini sesuai
struktur sel), komponen zat gizi lain dengan urutan nilai indeks glikemik
(lemak, protein, serat pangan, zat anti terendah hingga tertinggi yang
gizi dan asam organik) [2,28]. didapatkan pada metode in vivo. Oleh
Nasi varietas Sintanur berindeks karena itu, pengukuran glukosa metode
glikemik tinggi dengan nilai sebesar Englyst pada menit ke-20 dianggap
81,65+5,54. Nilai ini lebih tinggi mampu menjadi prediktor nilai indeks
dibanding hasil penelitian Widowati et glikemik yang baik. Hasil ini sesuai
al. (2009) sebesar 76,32, tetapi lebih dengan beberapa literatur yang
rendah dibanding hasil penelitian menyebutkan pengukuran glukosa pada
Suprihatno et al. (2010) sebesar 91 menit ke-20 mampu menjadi prediktor
[48,51]. Meski nilai indeks glikemik nilai indeks glikemik yang baik
Sintanur pada penelitian ini berbeda [9,11,17,52,53,54]. Hal ini
dengan literatur, tetapi ketiganya masih menunjukkan semakin tinggi nilai
berada dalam satu kategori yaitu indeks indeks glikemik sampel maka kadar
glikemik tinggi. glukosa sampel yang terukur pada menit
Ketan selama ini diketahui ke-20 juga semakin meningkat [53].
memiliki amilosa rendah sehingga Pengukuran glukosa nasi pada
menghasilkan nilai indeks glikemik menit ke-120 menggunakan metode
yang tinggi. Penelitian ini menggunakan Englyst et al. (2003) menunjukkan
ketan putih lokal varietas Grendel yang kadar glukosa nasi hitam Cirebon lebih

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
132 Indonesian Journal of Human Nutrition, Desember 2019, Vol. 6 No. 2, hlm. 119 - 138

tinggi dibanding nasi Cisokan dan tercerna sekaligus menunjukkan


Inpara 5. Urutan peringkat kadar pelepasan glukosa yang lambat [53].
glukosa nasi hitam Cirebon pada menit Kadar protein yang rendah serta
ke-120 berbeda dengan urutan rasio amilosa-amilopektin dalam pati
peringkatnya pada pengukuran indeks diduga menyebabkan pati dari nasi
glikemik in vivo, namun urutan Cisokan mudah tergelatinisasi. Hal ini
peringkat untuk kelima varietas nasi mengakibatkan pada menit ke-20 nasi
lainnya sesuai dengan hasil nilai indeks Cisokan telah mengalami gelatinisasi
glikemik in vivo. Perbedaan urutan sempurna sehingga tidak mengalami
peringkat kadar glukosa pada menit ke- perubahan kadar glukosa yang
120 dibandingkan dengan IG in vivo signifikan hingga menit ke 120. Saat
pada nasi hitam Cirebon kemungkinan pencernaan pati telah mencapai titik
disebabkan kadar protein nasi hitam cabang polisakarida, maka kecepatan
Cirebon (4,20%) yang lebih tinggi hidrolisis amilase dan amiloglukosidase
dibanding nasi Cisokan (2,98%) dan mengalami penurunan [14].
Inpara 5 (3,70%).
Diduga masih terdapat banyak Pengukuran Glukosa Metode Argyri et
protein pada nasi hitam Cirebon saat al. (2016)
pembacaan glukosa menit ke-20 Hasil penelitian ini
sehingga enzim yang bertugas memecah menunjukkan ketika dilakukan
pati menjadi glukosa sulit menjangkau pemeringkatan kadar glukosa nasi yang
molekul pati dan kadar glukosa menit terukur pada menit ke-0 dan menit ke-
ke-20 yang terbaca menjadi yang paling 30 dari terendah hingga tertinggi
rendah (31,17+2,48) dibanding kadar didapatkan urutan peringkat yang
glukosa menit ke-20 pada nasi lainnya. berubah-ubah. Pengukuran kadar
Hal ini dapat dikaitkan dengan teori glukosa pada menit ke-60 menunjukkan
yang menyebutkan secara urutan peringkat yang hampir
supramolekuler, protein tampak seperti mendekati peringkat IG pada metode in
menyelimuti molekul pati [14]. Protein vivo. Meskipun demikian pada menit
dapat membentuk jaringan seperti ke-60 sampel nasi Sintanur memiliki
pelindung di sekitar molekul pati yang kadar glukosa yang lebih tinggi
dapat mencegah interaksi enzim dibanding nasi ketan Grendel sehingga
glikolisis dengan pati. Penghambatan urutan peringkat pada keduanya berbeda
kinerja enzim glikolisis mengakibatkan dengan hasil peringkat IG in vivo.
penurunan jumlah karbohidrat yang Kondisi serupa ditemukan pada
dipecah sehingga kadar glukosa yang pengukuran glukosa menit ke-90.
didapat juga akan turun [34]. Peringkat kadar glukosa nasi pada menit
Kadar glukosa nasi hitam ke-90 menunjukkan kemiripan dengan
Cirebon (54,30+1,49) justru berada di urutan nilai IG in vivo, namun
urutan ke-3 yang artinya enzim sayangnya terdapat perbedaan pada
glikolisis telah menjangkau lebih sampel Inpara 5. Sampel Inpara 5
banyak molekul pati sehingga jumlah memiliki kadar glukosa yang lebih
glukosa yang terlepas pada saat ini tinggi dibanding Inpari 24 saat
menjadi lebih banyak dibanding dilakukan pengukuran glukosa pada
Cisokan (43,51+2,72) dan Inpara 5 menit ke 90 sehingga urutan keduanya
(49,73+1,47). Kadar glukosa yang berbeda dengan urutan nilai IG in vivo.
terukur pada menit ke-120 Metode Argyri et al. (2016)
menggambarkan jumlah pati yang sulit menyarankan hasil pengukuran kadar

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
Aprinia Dian, dkk. Potensi Penggunaan Metode In Vitro ... 133

glukosa menit ke-120 untuk Hasil pengujian metode Englyst


memperkirakan nilai indeks glikemik in et al. (2003) pada menit ke-20 dan
vivo [13]. Hasil penelitian ini metode Argyri et al. (2016) pada menit
menunjukkan kadar glukosa nasi pada ke-120 menunjukkan kesesuaian
menit ke-120 memiliki urutan peringkat peringkat dengan nilai indeks glikemik
terendah hingga tertinggi berturut-turut metode in vivo. Perangkingan tersebut
yaitu nasi hitam Cirebon, nasi Cisokan, mampu menunjukkan kesesuaian urutan
nasi Inpara 5, nasi Inpari 24, nasi hasil pengujian in vitro terhadap in vivo,
Sintanur dan ketan Grendel. Secara namun belum menggambarkan
keseluruhan, kadar glukosa seluruh kedekatan nilai hasil pengukuran. Oleh
sampel nasi yang terukur pada menit ke- karena itu, dibutuhkan penghitungan
120 memiliki kesesuaian urutan RMSE (root mean squared error) untuk
peringkat dengan indeks glikemik in mengetahui metode in vitro yang lebih
vivo. mendekati hasil metode in vivo. Hasil
penghitungan RMSE menunjukkan
Perbandingan Pengukuran Indeks metode Argyri et al. (2016) pada menit
Glikemik In Vivo dan Respon ke-90 memiliki nilai RMSE terendah.
Glikemik In Vitro Berdasarkan nilai RMSE seharusnya
Secara teori, indeks glikemik metode Argyri et al. (2016) menit ke-90
menggambarkan hasil pengukuran menjadi metode dengan titik
respon glikemik terhadap makanan yang pengambilan sampel yang paling sesuai
berasal dari hasil seluruh mekanisme digunakan untuk memperkirakan hasil
didalamnya, baik dari faktor makanan indeks glikemik manusia, namun hasil
maupun dari faktor fisiologis manusia pengukuran yang didapat pada menit
[1]. Hasil pengukuran metode Englyst ke-90 memiliki kedekatan yang rendah
dan Argyri hanya menggambarkan dengan nilai IG in vivo dan tidak
jumlah glukosa yang dilepaskan pada signifikan secara statistik (r2=0,187,
proses hidrolisis karbohidrat setelah p>0,01). Oleh karena itu, diambil nilai
masa inkubasi oleh enzim pencernaan RMSE terendah berikutnya yang
dalam kondisi terstandar [9,53]. Kadar terdapat pada hasil pengukuran metode
glukosa yang terukur pada metode Argyri et al. (2016) pada menit ke-120.
Englyst et al. (2003) menit ke-20 Hasil pengujian metode Argyri et al.
menggambarkan jumlah glukosa yang (2016) pada menit ke-120 menunjukkan
cepat diabsorbsi dalam saluran cerna kedekatan sebesar 46% dengan hasil
sehingga mampu menggambarkan pengukuran in vivo dan signifikan
respon kenaikan gula darah secara tepat, secara statistik (r2=0,461, p<0,01). Hal
sedangkan kadar glukosa menit ke-120 ini menunjukkan metode Argyri et al.
menggambarkan jumlah glukosa yang (2016) pada menit ke-120 metode
dilepaskan secara lambat dalam dengan titik waktu pengambilan sampel
pencernaan karbohidrat. Semakin tinggi yang paling sesuai dengan hasil IG in
kadar glukosa menit ke-120, maka vivo. Faktor lain yang perlu
semakin banyak jumlah glukosa yang dipertimbangkan selain nilai RMSE,
lambat dilepas. Konsumsi makanan nilai r2 dan nilai p adalah kesesuaian
yang mengandung karbohidrat lambat urutan atau perangkingan hasil
cerna dalam jumlah yang tinggi akan pengukuran kadar glukosa metode in
membantu mengendalikan kadar vitro terhadap nilai indeks glikemik in
glukosa darah dan respon insulin yang vivo. Berdasarkan hasil perangkingan
lebih baik [53]. kadar glukosa yang didapat dari metode

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
134 Indonesian Journal of Human Nutrition, Desember 2019, Vol. 6 No. 2, hlm. 119 - 138

in vitro yang paling sesuai dengan hasil pada penggunaan enzim invertase oleh
in vivo adalah hasil pengukuran metode metode Englyst et al. (2003) dan
Englyst et al. (2003) pada menit ke-20 penggunaan α-amilase, garam empedu,
dan Argyri et al. (2016) menit ke-120. serta membran dialisis pada metode
Hal ini menyebabkan hanya nilai RMSE Argyri et al. (2016). Perbedaan jenis
dari keduanya yang dipertimbangkan. dan jumlah enzim yang digunakan
Nilai RMSE hasil pengujian metode berpengaruh terhadap hasil pembacaan
Argyri et al. (2016) menit ke-120 kadar glukosa sampel yang diuji.
(RMSE=16,63) lebih rendah dibanding Metode Argyri menggunakan
Englyst et al. (2003) menit ke-20 enzim α-amilase yang berasal dari
(RMSE=21,32). Semakin rendah nilai saliva manusia dengan aktivitas enzim
RMSE maka estimasi kesalahan sebesar 185 U/g available
pengukuran dari metode tersebut carbohydrate. Enzim α-amilase dapat
semakin rendah pula [55]. Oleh karena menghidrolisis ikatan α-(1-4) pada
itu, metode Argyri et al. (2016) pada polisakarida seperti pati menjadi
menit ke-120 dianggap lebih sesuai maltosa, dekstrin, hingga glukosa. Satu
untuk memperkirakan nilai indeks unit α-amilase mampu melepaskan 1 mg
glikemik manusia berdasarkan nilai maltose dari pati dalam waktu 3 menit
RMSE yang rendah yaitu 16,63 pada pH 6,9 dengan suhu 200C. Hal ini
(r2=0,461, p<0,01) dan kesesuaian menunjukkan dalam kondisi pH netral
perangkingan terhadap nilai IG yang dan suhu 20oC akan terdapat sekitar 46
didapat. unit maltose yang terlepas dari pati
Perbedaan hasil pengukuran dalam waktu 3 menit. Meskipun
metode in vitro dengan in vivo demikian metode Englyst tidak
kemungkinan disebabkan adanya faktor melibatkan enzim ini dalam prosedur
lain di dalam makanan yang lebih ujinya sehingga diperkirakan hal ini
dominan mempengaruhi respon menyebabkan hasil pembacaan glukosa
glikemik. Kadar glukosa yang terukur pada metode Argyri relatif lebih tinggi
pada menit ke-20 dan 120 sangat dibanding Englyst.
ditentukan oleh karakteristik makanan, Metode Argyri et al. (2016)
khususnya yang berkaitan dengan jenis memang menggunakan jumlah sampel
dan kekuatan granula pati, rasio nasi dan enzim yang lebih sedikit
amilosa-amilopektin, keberadaan dibandingkan dengan metode Englyst et
dinding sel tumbuhan dalam bahan al. (2003) sehingga dari segi biaya
pangan, serta matriks pangan (meliputi memang akan membutuhkan biaya yang
varietas dan pengolahan pangan) [54]. relatif lebih rendah. Ditinjau dari proses
Jumlah sampel yang digunakan pengerjaan di laboratorium memang
pada Metode Englyst et al. (2003) metode Argyri et al. (2016) lebih mirip
adalah setara 500 mg available dengan proses pencernaan dalam tubuh
carbohydrate, sedangkan metode Argyri manusia dibanding metode Englyst et
et al. (2016) menggunakan sampel al. (2003) karena sudah menggunakan
dengan jumlah setengah dari jumlah proses homogenisasi yang menirukan
sampel pada metode Englyst et al. proses mengunyah pada manusia,
(2003) yaitu 250 mg available menggunakan membran dialisis yang
carbohydrate [11,13]. Kedua metode berfungsi seperti dinding usus manusia,
tersebut menggunakan enzim pepsin, serta proses yang stimultan. Metode
pankreatin, amiloglukosidase, dan asam Englyst et al. (2003) apabila ditinjau
HCl. Perbedaan kedua metode terdapat dari segi waktu, membutuhkan waktu

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
Aprinia Dian, dkk. Potensi Penggunaan Metode In Vitro ... 135

yang lebih singkat dalam pengerjaannya DAFTAR RUJUKAN


yaitu 2 jam 55 menit, sementara metode 1. Brouns F, Bjorck I, Frayn KN,
Argyri et al. (2016) membutuhkan Gibbs AL, Lang V, Slama G,
waktu 5 jam 25 menit. Wolever TMS. Glycemic Index
Methodology. Nutr Res Rev. 2005;
SIMPULAN 18 (1):145-71.
Hasil pengukuran kadar glukosa 2. Food and Agriculture Organization
nasi menggunakan metode in vitro pada (FAO). Carbohydrates in human
Englyst et al. (2003) menit ke-20 dan nutrition: Report of A Joint
Argyri et al. (2016) menit ke-120 FAO/WHO Expert Consultation. 66.
memiliki urutan peringkat yang sesuai Rome: FAO; 1998. 1-40.
dengan urutan nilai indeks glikemik in 3. Larsson SC, Giovannucci EL, Wolk
vivo, sehingga keduanya dapat A. Prospective study of glycemic
digunakan untuk memperkirakan index load, glycemic index, and
pengkategorian indeks glikemik in vivo. carbohydrate intake in relation to
Metode Argyri et al. (2016) risk of biliary tract cancer. Am J
menunjukkan hasil yang lebih Gastroenterol. 2016; 111 (6): 891-
mendekati nilai indeks glikemik in vivo 96.
(RMSE=16.63, r2=0.461, p<0.01) dan 4. Kaviani M, Chilibeck PD, Jochim J,
prosedur pengukuran yang dilakukan Gordon J, Zello GA. The glycemic
lebih mirip dengan proses pencernaan index of sport nutrition bars affects
pada tubuh manusia, sehingga metode performance and metabolism during
Argyri et al. (2016) menjadi metode cycling and next-day recovery.
yang lebih direkomendasikan dalam Journal of Human Kinetics. 2019;
memperkirakan pengkategorian indeks 66:69-79.
glikemik in vivo pada sampel berupa 5. Hettiaratchi UPK, Ekanayake S,
nasi. Meskipun demikian pengkajian Welihinda J. Prediction of
lebih lanjut mengenai ketepatan metode glycaemic indices (GI) of meals by
Englyst et al. (2003) dan metode Argyri starch hydrolysis indices. Int Food
et al. (2016) dalam memperkirakan Res J. 2012; 19 (3): 1153-59.
indeks glikemik in vivo dengan 6. Woolnough JW, Monro JA,
menggunakan sampel yang memiliki Brennan CS, Bird AR. Simulating
karakter berbeda dengan nasi perlu human carbohydrate digestion dari
dilakukan. metode in vitro: A review of
methods and the need for
UCAPAN TERIMAKASIH standardization. Int J Food Sci
Peneliti menyampaikan terima Technol. 2008; 43 (12): 2245-56.
kasih kepada Lembaga Pengelola Dana 7. Snow P dan O’Dea K. Factors
Pendidikan (LPDP) yang telah affecting the rate of hydrolysis of
memberikan pendanaan pada penelitian starch in food. Am J Clin Nutr.
ini. Peneliti juga berterima kasih atas 1981; 34 (12): 2721-27.
bantuan Balai Besar Penelitian 8. Goñi I, Garcia-Alonso A, Saura-
Tanaman Padi (BB Padi) Subang, Jawa Calixto F. A starch hydrolysis
Barat yang telah memberikan sampel procedure to estimate glycemic
beras. index. Nutrition Research. 1997; 17
(3): 427-37.
9. Englyst KN, Englyst HN, Hudson
GJ, Cole TJ, Cummings JH. Rapidly

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
136 Indonesian Journal of Human Nutrition, Desember 2019, Vol. 6 No. 2, hlm. 119 - 138

available glucose in foods: an in plain sweet biscuits: relationship to


vitro measurement that reflects the in vitro starch digestibility. Journal
glycemic response. Am J Clin Nutr. of the American College of
1999; 69 (3): 448-54. Nutrition. 2005; 24 (6): 441-47.
10. Englyst KN, Hudson GJ, Englyst 18. Chung HJ, Shin DH, Lim ST. In
HN. Starch analysis in food. vitro starch digestibility and
Encyclopedia of analytical estimated glycemic index of
chemistry. 2000; 1 (1): 4246-62. chemically modified corn starches.
11. Englyst KN, Vinoy S, Englyst HN, Food Research International. 2008;
Lang V. Glycemic index of cereal 41(6):579–85.
products explained by their content 19. Al-Mssallem MQ, Hampton SM,
of rapidly and slowly available Frost GS, Brown JE. A study of
glucose. Br J Nutr. 2003; 89 (3): 29- Hassawi rice (Oryza sativa L.) in
339. terms of its carbohydrate hydrolysis
12. Frei MP, Siddhuraju K, Becker. (in vitro) and glycaemic and
Studies on the in vitro starch insulinaemic indices (in vivo). Eur J
digestibility and the glycemic index Clin Nutr. 2011; 65 (5): 627-634.
of six different indigenous rice 20. Meynier A, Goux A, Atkinson F,
cultivars from the Philippines. Food Brack O, Vinoy S. Postprandial
Chemistry. 2003; 83 (3): 395-402. glycaemic response: how is it
13. Argyri K, Anthnasatou A, Binga M, influenced by characterictics of
Kapsokefalou M. The potential of cereal products?. Br J Nutr. 2015;
an in vitro digestion method for 113 (12): 1931-39.
predicting glycemic response of 21. Fujiwara N, Hall C, Jenkins AL.
foods and meals. Nutrients. 2016; 8 Development of low glycemic index
(4): 209-20. (GI) foods by incorporating pulse
14. Dona AC, Pages G, Gilbert RG, ingredients into cereal-based
Kuchel PW. Digestion of starch: in products: use of in vitro screening
vivo and in vitro kinetic models and in vivo methodologies. Cereal
used to characterize oligosaccharide Chem J. 2016; 94 (1): 110-16.
or glucose release. Carbohydr 22. Shumoy H, Raes K. In vitro starch
Polym. 2010; 80 (3): 599-617. hydrolysis and estimated glycemic
15. Araya H, Contreras P, Alvina M, index of tef porridge and injera.
Vera G, Pak N. A comparison Food Chem. 2017; 229 (1): 381-87.
between an in vitro method to 23. Akerberg AKE, Liljeberg HGM,
determine carbohydrate digestion Grandfelt YE, Drews AW, Bjork
rate and the glycemic response in IME. An in vitro method, based on
young men. Eur J Clin Nutr. 2002; chewing, to predict resistant starch
56 (8): 735-39. content in foods allows parallel
16. Flint A, Moller BK, Raben A, determination of potentially
Pedersen D, Tetens I, Holst JJ, available starch and dietary fiber. J
Astrup A. The use of glycaemic Nutr. 1998; 128 (3): 651-660.
index tables to predict glycaemic 24. Kubo M, Purevdorj M. The future of
index of composite breakfast meals. rice production and consumption. J
B J Nutr. 2004; 91 (6): 979-89. Food Dist Res. 2004; 35(1): 129-
17. Garsetti M, Vinoy S, Lang V, Holt 142.
S, Loyer S, Brand-Miller JC. The 25. Badan Ketahanan Pangan
glycemic and insulinemic index of Kementrian Pertanian RI. Roadmap

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
Aprinia Dian, dkk. Potensi Penggunaan Metode In Vitro ... 137

diversifikasi pangan 2011-2015. Developments and Its Impact on


Kementrian Pertanian. 2012. Diabetes and Obesity. Smith
26. Seah JYH, Koh WP, Yuan JM, Dam Gordon. 2011; 15 (2): 154-75.
RMV. Rice intake and risk of type 2 35. Subarna, Suroso, Budijanto S,
diabetes: the Singapore Chinese Sutrisno. Pengembangan metode
Health Study. Eur J Nutr. 2018. menanak optimum untuk beras
27. Hu EA, Pan A, Malik V, Sun Q. varietas Sintanur, IR 64 dan
White rice consumption and risk of Ciherang. Balai Besar Penelitian
type 2 diabetes: meta-analysis and dan Pengembangan Pascapanen
systematic review.. BMJ. 2012; Pertanian. 2005; 1: 376-86.
344:1-9. 36. Pudjihastuti I. Pengembangan
28. Kaur B, Ranawana V, Henry J. The proses inovatif kombinasi reaksi
glycemic index of rice and rice hidrolisis asam dan reaksi
products: a review, and table of GI photokimia UV untuk produksi pari
values. Critical Reviews on Food termodifikasi dari tapioka. [tesis].
Science and Nutrition. 2016; 56: Semarang: Universitas Diponegoro;
215-36. 2010.
29. Magnusson B, Ornemark U. 37. Herawati H. Potensi pengembangan
Eurachem guide: the fitness for produk pati tahan cerna sebagai
purpose of analytical methods – a pangan fungsional. Jurnal Litbang
laboratory guide to method Pertanian. 2011; 30(1): 31-9.
validation and related topics. Edisi 38. Juliano BO. Rice in human
2. 2014. nutrition. Collaboration IRRI and
30. ISO 26642:2010. Food products – FAO. Rome.
determination of the glycemic index 39. Brody T. Nutritional Biochemistry
(GI) and recommendation for food 2nd Ed. Academic Press. 1999. ISBN
classification. British Standard. 0-12-134836-9.
Switzerland. ISBN 978 0 580 56630 40. Singh J, Dartois A, Kaur L. Starch
1. 2010. digestibility in food matrix: a
31. Hidayati N, Aisuwarya R, Putri RE. review. Trends in Food Science &
Sistem control kestabilan suhu Technology. 2010; 21(4):168-180.
penghangat nasi menggunakan 41. Hernawan E, Meylani V. Analisis
metode fuzzy logic. Jurnal UMJ. karakteristik fisikokimia beras putih,
2017. beras merah, dan beras hitam (Oryza
32. Wolever TMS, Brand-Miller JC, sativa L., Oryza nivara dan Oryza
Abernethy J. Measuring the sativa L. indica). Jurnal Kesehatan
glycemic index of foods: Bakti Tunas Husada. 2016; 15 (1):
interlaboratory study. Am J Clin 79-91.
Nutr. 2008; 87(suppl): 247S-57S. 42. Sundari D, Almasyhuri, Lamid A.
33. Brand-Miller JC, Stockmann K, Pengaruh proses pemasakan
Atkinson F, Petocz P, Denyer G. terhadap komposisi zat gizi bahan
Glycemic index, postprandial pangan sumber protein. Media
glycemia, and the shape of the curve Litbangkes. 2015; 25 (4): 235-42.
in healthy subjects: analysis of a 43. Indrasari SD, Purwani EY, Wibowo
database of more than 1000 foods. P, Jumali. Nilai indeks glikemik
Am J Clin Nutr. 2009; 89: 97-105. beras beberapa varietas padi.
34. Henry CJK dan Thondre PS. The Sukamandi (ID): Balai Besar
Glycaemic Index: Concept, Recent

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6
138 Indonesian Journal of Human Nutrition, Desember 2019, Vol. 6 No. 2, hlm. 119 - 138

Penelitian Tanaman Padi. 2008; [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian


27(3):127-134. Bogor; 2017.
44. Ikhwani, Wardhana P, Priatmodjo 50. Wahab MI, Satoto, Rahmat R,
B, Purwani EY. Pengembangan Guswara A, Suharma. Deskripsi
varietas padi karakteristik khusus di Varietas Unggul Baru Padi. Badan
lahan sawah irigasi [Internet]. Penelitian dan Pengembangan
Balitbangtan Kementan. [diunduh Pertanian Kementrian Pertanian.
2018 Januari 20]. 2017; Tersedia 2017.
pada: http://pangan. 51. Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto,
litbang.pertanian.go.id/files/seminar Baehaki, Suprihanto, Setyono A,
/2017/Seminar%20Puslitbang%20Ik Indrasari SD, Wardana IP,
hwani%2009022017.pdf Sembiring H. Deskripsi Varietas
45. Jones JM. Glycemic response Padi. Subang: Balai Besar Penelitian
definitions. AACC International. Tanaman Padi. 2010; 4.
2007; 27 (2): 54-55. 52. Grabitske HA, Slavin JL.
46. Septianingrum E, Liyanan, Gastrointestinal effects of low-
Kusbiantoro B. Review indeks digestible carbohydrates. Crit Rev
glikemik beras: faktor-faktor yang Food Sci Nutr. 2009; 49: 327-60.
mempengaruhi dan keterkaitannya 53. Al-Mssallem MQ, Frost GS, Brown
terhadap kesehatan tubuh. Jurnal JE. The metabolic effects of two
Kesehatan. 2016; 9: 1-9. meals with the same glycaemic
47. Ali A, Al-Kindi YSM, Al-Said F. index but different slowly available
Chemical Composition and glucose parameters determined in
glycemic index of three varieties of vitro: a pilot study. Ann Nutr Disord
Omani dates. Int J Food Sci Nutr. & Ther. 2014; 1(1): 5.
2008. 60(S4): 51-62. 54. Englyst KN, Englyst HN.
48. Widowati S, Santosa BAS, Astawan Carbohydrate bioavaibility. BJN.
M, Akhyar. Penurunan Indeks 2005; 94(1):1-11.
Glikemik Berbagai Varietas Beras 55. Widayati CSW. Komparasi
Melalui Proses Pratanak. J beberapa metode estimasi kesalahan
Pascapanen. 2009; 6: 1-9. pengukuran. Jurnal Penelitian dan
49. Auliya SS. Sifat fisikokimia serta Evaluasi Pendidikan. 2009; 13(2):
penurunan indeks glikemik beras 182-197.
hitam dan beras merah pratanak.

DOI: https://dx.doi.org/10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.6

Anda mungkin juga menyukai