Anda di halaman 1dari 696

PEDOMAN DIAGNOSIS DAN TERAPI

ILMU PENYAKIT DALAM

Editor:
Prof.Dr.dr. Tjok Raka Putra, SpPD-KR
Dr.dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM
dr. IGN Bagus Artana, SpPD

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP SANGLAH
2013
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

ENDOKRINOLOGI
Diabetes Melitus
 DM Tipe 2
 DM Tipe 1
 Diabetes Melitus Gestasional (DMG)
Krisis Hiperglikemia pada Diabetes
 Ketoasidosis Diabetik dan hiperglikemia hyperosmolar
Hipoglikemia
Obesitas dan Sindrom Metabolik
 Obesitas
 Sindroma Metabolik
Tiroid
 Hipertiroidisme
 Hipotiroidisme
 Nodul Tiroid
Adrenal
 Sindroma Cushing
 Insufisiensi Adrenal
 Diabetes Insipidus
Paratiroid
 Hipokalsemia
 Hiperkalsemia
 Hiperparatiroidisme
Akromegali
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Hepatitis Virus Akut
Hepatitis Kronik
Sirosis Hepatis
Kanker Hati Primer
Ensefalopati Hepatik
Kolitis
Kolesistitis Akut
Pankreatitis Akut
Gastritis
 Gastritis Akut
 Gastritis Kronis
Ulkus Peptikum
Kanker Lambung
Perdarahan Saluran Makanan
 Perdarahan Saluran Makanan Bagian Atas (SMBA)
 Perdarahan Saluran Makanan Bagian Bawah (SMBB)
HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK
Anemia Defisiensi Besi
Anemia Akibat Penyakit Kronik
Anemia Aplastik
Anemia Hemolitik Autoimun
Polisitemia Vera
Leukemia Mieloid Akut
Leukemia Limfoblastik Akut
Leukemia Mieloid Kronik (LMK)
Sindroma Mielodisplastik (Myelodisplastic Syndrome = MDS)
Limfoma Maligna
 Limfoma Hodgkin
 Limfoma Non-Hodgkin
Mieloma Multipel
Idiopathic Thrombositopenic Purpura (ITP)
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Reaksi Transfusi Akut
Trombosis Vena Dalam
PULMONOLOGI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Tuberkulosis
Hemoptisis
Pneumotoraks
Emboli paru
Gagal Napas
Efusi Pleura
Pneumonia Komunitas CAP ( Community – acquired Pneumonia)
Pneumonia Nosokomial
Asma Bronkial
Kanker Paru
Bronkiektasis
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
GINJAL DAN HIPERTENSI
Acute Kidney Injury (AKI)
Asidosis Metabolik
Gangguan Keseimbangan Kalium
Chronic Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Nefritis Lupus
Nefropati Diabetik
Batu Saluran Kemih
Infeksi Saluran Kemih
Sindrom Nefrotik Dan Penyakit Glomerulus Lainnya
REMATOLOGI
Artritis Pirai
Osteoartritis
Lupus Eritematosus Sistemik
Artritis Rematoid
Rematik Non Artikuler
Nyeri Pinggang (Low Back Pain)
Demam Rematik Akut
Hiperurisemia
Arthritis Septik
IMUNOLOGI
Anafilaksis / Reaksi Hipersensitivitas Akut
Alergi Obat
Alergi Makanan
GERIATRI
Pengkajian Komprehensif Pada Geriatri
Depresi Pada Geriatri
Inkontinensia Urin Pada Geriatri
Inkontinensia Alvi Pada Geriatri
Polifarmasi Pada Pasien Geriatri
Imobilisasi Pada Lanjut Usia
Jatuh Pada Lanjut Usia
Sindrom Delirium (Acute Confusional State)
TROPIK DAN PENYAKIT INFEKSI
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Disentri Ameba
Demam Berdarah Dengue
Flu Burung (Avian Flu)
Demam Tifoid
Acqiured Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
Keracunan Akut
Intoksikasi Metanol
Intoksikasi Opiat
Keracunan Organofosfat
Leptospirosis
Malaria
Sepsis
KARDIOLOGI
Diagnosis Dan Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Tanpa ST Elevasi (UAP/NSTEMI)
Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Dengan Elevasi SEGMEN ST
Gagal Jantung Akut
Gagal Jantung Kronik
Kor Pulmonal
Demam Rematik
Syok Kardiogenik
ENDOKRINOLOGI
Tim Penyusun
1. Prof. Dr.dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD
2. Prof.Dr.dr. AAG Budhiarta, SpPD-KEMD
3. dr. Wira Gotera, SpPD-KEMD
4. dr. Made Ratna Saraswati, SpPD-KEMD
5. dr. Pande Dwipayana, SpPD
Diabetes Melitus

Klasifikasi etiologis DM
1. Tipe 1
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut
- autoimun
- idiopatik
2. Tipe 2
Bervariasi mulai dari dominant resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai
yang terutama defek sekresi insulin disertai dengan resistensi insulin
3. Tipe lain
- defek genetik fungsi sel beta
- defek genetik kerja insulin
- penyakit eksokrin pancreas
- endokrinopati
- karena obat atau zat kimia
- infeksi
- sebab imunologi yang jarang
- sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
4. Diabetes melitus gestasional

DM tipe 2

Penyebab
Penyebab DM tipe 2 adalah multifaktorial. Resistensi insulin terjadi beberapa tahun
sebelum diabetes terdiagnosis, dan hiperglikemia terjadi setelah respon sekresi insulin tidak
adekuat terhadap kebutuhan metabolic. Baik resistensi maupun defisiensi insulin berkembang
sejalan dengan waktu. Faktor genetic berperan pada terjadinya resistensi insulin. Obesitas,
khususnya adipositas visceral, usia, dan kurangnya aktivitas fisik, secara epidemiologis terbukti
memberi kontribusi pada terjadinya diabetes tipe 2. Resistensi insulin dapat diperburuk oleh
kehamilan, gangguan hormone lainnya seperti sindroma cushing, penggunaan steroid eksogen,
penyakit lain yang berat baik bedah maupun non bedah, dan beberapa obat-obatan.

Patofisiologi
Sebelum onset diabetes, pada resistensi insulin akan didapatkan peningkatan kadar
insulin dan C-peptida, dan keadaan hiperinsulinemia relatife ini bertahan selama fase pre-
diabetes. Defisiensi insulin relatif pada keadaan resistensi insulin akan mengakibatkan
hiperglikemia dan diagnosis diabetes ditegakkan. Awalnya terjadi defek fase pertama sekresi
insulin. Defek awal ini mengakibatkan terjadinya hiperglikemia setelah makan (post prandial).
Menurunnya sekresi insulin lebih lanjut akan mengakibatkann berkurangnya penekan produksi
glukosa hati, dan secara klinis akan terjadi peningkatan gula darah puasa dan setelah makan
(post prandial)

Gejala
Keluhan klasik: poliuri, podipsi, polifagi, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan. Keluhan lain dapat berupa: badan lemah, kesemutan, gatal, penglihatan kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulva pada wanita.

Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena.
Kriteria diagnosis DM untuk penderita dewasa tidak hamil (salah satu dari tersebut di bawah
ini):
1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu  200 mg/dL (11,1 mmol/L)
2. Gejala klasik DM + glukosa darah puasa  126 mg/dL (7,0 mmol/L)
3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO  200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal dan DM, maka dapat
digolongkan dalam kelompok pre diabetes, yaitu:
- TGT (toleransi glukosa terganggu): glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara
140 – 199 mg/dL (7,8 – 11 mmol/L), sedangkan gula darah puasa dalam batas
normal ( < 100 )
- GDPT (glukosa darah puasa terganggu): glukosa darah puasa antara 100 – 125 mg/dL
(5,6 – 6,9 mmol/L), sedangkan gula darah 2 jam setelah beban glukosa adalah < 140
Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir. Puasa diartikan: pasien tidak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam. TTGO (tes toleransi glukosa oral) dilakukan dengan standar WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam
air.

Laboratorium dan pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan laboratorium penunjang yang perlu dilakukan pada penderita DM:
- Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
- A1C
- Profil lipid dalam keadaan puasa (kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL,
trigliserida)
- Kreatinin serum
- Urine: protein (bila perlu mikroalbuminuri), keton, sediment urin
- Elektrokardiogram
- Foto roentgen dada

Penatalaksanaan
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
1. Edukasi yang diberikan kepada penderita diabetes meliputi pemahaman tentang:
- perjalanan penyakit diabetes
- makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan diabetes
- penyulit dan risikonya
- intervensi farmakologis dan non farmakologis
- cara pemantauan glukosa darah mandiri dan pemahaman tentang hasil pemantauan
- mengatasi sementara keadaan darurat antara lain hipoglikemia
- pentingnya latihan jasmani yang teratur
- pentingnya perawatan diri
- keadaan khusus yang dihadapi: seperti hiperglikemia pada kehamilan

2. Terapi gizi medis (TGM)


Prinsip pengaturan makanan pada diabetisi adalah makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Perlu ditekankan tentang
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jumlah dan jenis makanan.
Jumlah kalori yang dibutuhkan dihitung berdasarkan kebutuhan kalori basal 25-30 kalori/kg
BBI, ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan.

Berat badan ideal (BBI) menurut rumus Brocca yang dimodifikasi:


BBI = 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg

Bagi pria dengan TB di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi
menjadi:
BBI = (TB dalam cm – 100) x 1 kg
Klasifikasi:
Normal = BBI ± 10%
Kurus = kurang dari BBI – 10%
Gemuk = lebih dari BBI + 10%
Perhitungan lain adalah dengan indeks massa tubuh (IMT).
Rumus IMT = BB (kg) / TB (m2).
Klasifikasi BBI berdasarkan IMT menurut The Asia-Pacific Perspective: Redefining obesity
and its treatment:
BB kurang IMT < 18,5
BB normal 18,5 – 22,9
BB lebih  23,0
Dengan risiko 23,0 – 24,9
Obese I 25,0 – 29,9
Obese II  30

Faktor yang menentukan perhitungan kalori:


a. Jenis kelamin
Kebutuhan kalori wanita 25 kal/kg BB, pria 30 kal/kg BB
b. Umur
Pasien berusia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk usia 40 – 59 tahun,
dikurangi 10% untuk usia 60 – 69 tahun, dan dikurangi 20% untuk usia 70 tahun atau
lebih
c. Aktivitas fisik atau pekerjaan
Penambahan 10% dari jumlah basal diberikan pada saat keadaan istirahat, 20% pada
pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas
sangat berat.
d. Berat badan
Bila kegemukan dikurangi 20 – 30% sesuai dengan tingkat kegemukan. Bila kurus
ditambah 20 – 30%. Untuk tujuan menurunkan berat badan, jumlah kalori yang
diberikan paling sedikit 1000 – 1200 kal per hari untuk wanita dan 1200 – 1600 kalori
per hari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang
(30%), dan sore (25%), serta 2 – 3 porsi makanan ringan (10 – 15%). Untuk diabetisi yang
menderita penyakit lain, makanan diatur dengan menyesuaikan dengan penyakit
penyertanya.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
- karbohidrat 45 – 65% total asupan kalori
- lemak 20 – 25% kebutuhan kalori
- protein 15 – 20% total asupan kalori

3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari seperti berjalan kaki, menggunakan tangga, berkebun, harus
tetap dilakukan. Latihan jasmani dilakukan secara teratur 3 – 4 kali seminggu selama 30
menit. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobic seperti: jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani ini disesuaikan dengan usia dan
status kesegaran jasmani.

4. Intervensi farmakologis
a. Obat hipoglikemik oral (OHO), 4 golongan:
1. Pemicu skeresi insulin (insulin secretogogue): sulfonylurea dan glinid
2. Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin dan thiazolidinedione
3. Penghambat glukoneogenesis: metformin
4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

b. Insulin:
Diberikan pada keadaan:
- penurunan berat badan yang cepat
- hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- ketoasidosis diabetiK
- hiperglikemia hiperosmolar (non ketotik)
- asidosis laktat
- gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
- stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- kehamilan (diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan TGM)
- gangguan fungsi hati atau ginjal yang berat
- kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

c. Terapi kombinasi
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi sjak dini. Terapi OHO kombinasi
dipilih dari kelompok obat yang memiliki mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran belum
tercapai, dapat dikombinasi 3 macam OHO dari kelompok berbeda atau kombinasi OHO
dan insulin.

Penilaian hasil terapi


Pemantauan hasil terapi dilakukan dengan:
1. Pemeriksaan kadar glukosa darah (puasa dan 2 jam setelah makan)
Untuk menilai apakah target terapi telah tercapai dan penyesuaian dosis terapi.
Dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
2. Pemeriksaan A1C
Untuk menilai efek perubahan terapi 8 – 12 minggu sebelumnya. Pemeriksaan ini
dianjurkan dilakukan sebanyak 4 kali dalam setahun.
3. Pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM)
PGDM dianjurkan bagi diabetisi dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin.
Waktu pemeriksan bervariasi sesuai dengan terapi. Waktu yang dianjurkan adalah
sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), dan
menjelang tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk
menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala).
Kriteria pengendalian
Tabel 1. Kriteria pengendalian diabetes menurut Perkeni 2006
Baik Sedang Buruk
Glukosa darah puasa (mg/dL) 80 – 100 100 – 125  126
Glukosa darah 2 jam (mg/dL) 80 – 144 145 – 179  180
A1C (%) < 6,5 6,5 – 8 >8
Kolesterol total (mg/dL) < 200 200 – 239  240
Kolesterol LDL (mg/dL) < 100 100 – 129  130
Kolesterol HDL (mg/dL) > 45
Trigliserida (mg/dL) < 150 150 – 199  200
2
IMT (kg/m ) 18,5 – 23 23 – 25 > 25
Tekanan darah (mmHg)  130/80 130 – 140/80 – 90 > 140/90
Untuk diabetisi berusia lebih dari 60 tahun, sasaran kendali gula darah dapat lebih tinggi dari
biasa (puasa 100 – 125 mg/dL, dan setelah makan 145 – 180 mg/dL).

Penyulit
A. Penyulit akut
1. Ketoasidosis diabetic
2. Hiperglikemia hiperosmolar (non ketotik)
3. Asidosis laktat
4. Hipoglikemia
B. Penyulit menahun
1. Makroangiopati
Melibatkan pembuluh darah jantung, pembuluh darah otak dan pembuluh darah
tepi (penyakit arteri perifer).
2. Mikroangiopati
Meliputi retinopati diabetik dan nefropati diabetik
3. Neuropati
Meliputi neuropati perifer dan neuropati otonom.
DM tipe 1

Definisi
Diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) adalah penyakit yang disebabkan oleh destruksi sel beta
pankreas karena proses autoimun sehingga mengakibatkan defisiensi insulin dan hiperglikemia.
Defisiensi insulin dapat mencetuskan keadaan dekompensasi metabolik akut yang disebut
ketoasidosis diabetik (KAD), dan juga mengakibatkan komplikasi mikrovaskular akibat
hiperglikemia kronik.

Epidemiologi
Prevalensi DMT1 adalah 0,25-0,5% dari populasi, merupakan 5-10% dari seluruh kasus
diabetes. Onset umumnya terjadi pada usia 10-12 tahun, namun bisa terdiagnosis pada saat
usia beberapa bulan sampai dekade 9. Perbandingan laki-laki dan wanita sama.

Penyebab dan patogenesis


Proses autoimun melalui sel-T dengan stimulus yang tidak jelas diketahui secara selektif
merusak sel beta pankreas. Diduga faktor yang berperan adalah faktor lingkungan, termasuk
virus coxsackie dan rubella, faktor diet seperti paparan susu sapi pada usia dini.
Pada fase awal terjadi insulitis (infiltrasi limfositik pada pulau pankreas), diikuti oleh
apoptosis sel beta. Pada sebagian penderita dapat dideteksi adanya antibodi terhadap antigen
sel beta, yaitu antibodi terhadap glutamic acid decarboxylase (GAD65), tyrosine phosphatase
IA-2 dan IA-2 beta, dan antibody terhadap insulin (IAA). GAD65 terdeteksi pada 80% penderita
DMT1 anak dan dewasa pada saat terdiagnosis. Bila tidak ada bukti adanya autoimunitas
sebagai penyebab, dimasukkan sebagai DMT1 idiopatik.
Beberapa kelainan autoimun di organ lain dapat menyertai pada DMT1, antara lain
tiroiditis autoimun (Hashimoto’s dan Graves’ disease), Addison’s disease, anemia perniciosa,
celiac sprue, vitiligo, alopesia, dan hepatitis kronik aktif. Risiko adanya tiroiditis autoimun
meningkat sejalan dengan usia, sehingga perlu dilakukan skrining periodik untuk kelainan ini.
Gejala klinis
DMT1 umumnya terdiagnosis pada usia anak-anak, namun juga dapat ditegakkan pada
usia berapapun. Karena 80% penderita tanpa disertai riwayat diabetes dalam keluarga, gejala
biasanya tidak disadari sampai hiperglikemia mencapai kadar yang kritis. Gejala awal adalah
penurunan berat badan, poliuria, polidipsi, polifagi, dan penglihatan kabur. Jika terjadi
ketoasidosis, penderita mengeluh nyeri abdomen, mual, muntah, mialgia, dan sesak, disertai
dengan gangguan hemodinamik dan pada keadaan berat dapat terjadi gangguan kesadaran.

Laboratorium
1. Menegakkan diagnosis DM sesuai dengan kriteria diagnosis DM
2. Menentukan DMT1 dengan pemeriksaan antibodi terhadap GAD65, IA-2B (atau juga
disebut islet cell antibody/ICA), atau IAA
3. Kadar C peptida
4. Skrining antibodi terhadap tiroid, dan pemeriksaan TSH setiap tahun jika didapatkan
antibodi positif atau bila ada goiter.
5. Monitoring HbA1C setiap 3 bulan
6. Rasio mikroalbumin:kreatinin setiap tahun
7. Kreatinin serum dan elektrolit
8. Profil lipid

Diagnosis
Diagnosis DMT1 ditegakkan bila kadar gula darah >200 mg/dL, disertai dengan gejala
dan tanda diabetes (misalnya KAD). Jika diagnosis DMT1 dan DMT2 sulit dibedakan dapat
dilakukan pemeriksaan antibodi terhadap GAD65, IA-2B (atau juga disebut islet cell
antibody/ICA), atau IAA, atau dengan pemeriksaan C peptida. Kadar C peptida umumnya
rendah atau tidak terdeteksi pada DMT1.
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan DMT1 adalah untuk menormalkan kadar glukosa darah dengan
terapi insulin yang mendekati keadaan fisiologis, serta menghindari terjadinya hipoglikemia,
dengan melakukan pemantauan gula darah sendiri (self monitoring blood glucose/SMBG), diet,
dan terapi insulin.
1. Pemantauan gula darah sendiri (self monitoring blood glucose/SMBG)
Setiap penderita disarankan untuk melakukan pemantauan gula darah sendiri untuk
dapat menyesuaikan dosis insulin. Monitoring dilakukan lebih sering pada keadaan sakit,
olah raga atau kegiatan fisik yang berat, saat kehamilan. Monitoring pada malam hari
dilakukan pada keadaan hipoglikemia malam hari.
2. Diet
Perhitungan diet pada DMT1 ditentukan sesuai dengan kebutuhan secara individual.
3. Terapi insulin.
Terapi insulin bersifat individual, namun DCCT dan beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa control glukosa darah yang mendekat target dapat dicapai dengan
terapi insulin yang intensif menggunakan komponen basal dan bolus. Hal ini dilakukan
dengan injeksi harian multipel (multiple daily injection/MDI) atau continuous
subcutaneous insulin injection/CSII dengan insulin pump. Pilihan ini disesuaikan dengan
kemampuan pasien.
Secara umum penderita memerlukan insulin kerja menengah (intermediate) atau kerja
panjang (long acting) untuk memenuhi kebutuhan insulin basal dan insulin kerja cepat
(rapid) atau kerja singkat (short acting) untuk memenuhi kebutuhan insulin saat makan
(prandial). Saat memulai terapi, perlu dihitung perkiraan dosis insulin total yang
dibutuhkan. Umumnya kebutuhan insulin adalah antara 0,5 -1 unit/kg/hari, dan
umumnya pasien membutuhkan 0,6 unit/kg/hari.
Diabetes melitus gestasional (DMG)

Definisi
Diabetes melitus gestasional (DMG) adalah suatu toleransi karbohidrat (TGT, GDPT, atau
DM) yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan sedang berlangsung.

Penyebab
Faktor risiko DMG antara lain: obesitas, adanya riwayat pernah mengalami DMG,
glukosuria, adanya riwayat keluarga dengan diabetes, abortus berulang, adanya riwayat
melahirkan bayi dengan cacat bawaan atau melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram, dan
adanya riwayat preeklamsia

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan TTGO dengan beban 100 gram
glukosa anhidrus setelah berpuasa 8-14 jam. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa, 1 jam, 2 jam, dan 3 jam setelah beban.
DMG ditegakkan bila ditemukan dua atau lebih hasil pemeriksaan dari TTGO seperti tersebut di
bawah ini:
- hasil glukosa darah puasa  95 mg/dL, 1 jam setelah beban  180 mg/dL, 2 jam
setelah beban  155 mg/dL, dan 3 jam setelah beban  140 mg/dL
Diagnosis DMG dapat juga ditegakkan dengan TTGO menggunakan beban glukosa 75 gram
glukosa anhidrus, tetapi tidak sebaik dengan beban 100 gram glukosa untuk menilai faktor
risiko pada ibu dan anak.

Penatalaksanaan
Dilakukan secara terpadu oleh spesialis penyakit dalam, spesialis obstetri ginekologi, ahli
diet, dan spesialis anak. Sasaran normoglikemia DMG adalah: kadar glukosa darah puasa  95
mg/dL dan atau 2 jam setelah makan  120 mg/dL. Apabila sasaran tersebut tidak terdapat
dengan diet dan latihan jasmani, maka langsung diberikan insulin.
Krisis Hiperglikemia pada Diabetes

Ketoasidosis Diabetik dan hiperglikemia hiperosmolar


Definisi
Ketoasidosis diabetes (KAD) atau diabetic ketoacidosis (DKA) dan hiperglikemia
hiperosmolar atau hyperosmolar hyperglycemic state (HHS) adalah komplikasi metabolik akut
yang paling berat pada diabetes. Keadaan ini dapat terjadi baik pada DM tipe1 maupun tipe 2.

Epidemiologi
Mortalitas pada KAD di pusat Penanganan diabetes yang baik kurang dari 5%, sedangkan
kematian pada HHS lebih tinggi, yaitu sekitar 15%. Prognosis keduanya memburuk bila terjadi
pada usia tua, terjadinya koma, dan hipotensi.

Patofisiologi
Meskipun patogenesis KAD lebih dipahami disbanding HHS, pada prinsipnya kedua
keadaan ini adalah akibat langsung dari defisiensi insulin efektif di sirkulasi, dan diperberat oleh
dehidrasi dan pengeluaran hormon counterregulatory yang berlebihan (glukagon, epinefrin,
kortisol, dan growth hormone). Keadaan ini mengakibatkan peningkatan produksi glukosa
hepatik dan renal dan terganggunya penggunaan glukosa di jaringan perifer, yang
mengakibatkan hiperglikemia disertai dengan gangguan osmolalilas cairan di ekstraseluler.
Umumnya didapatkan faktor pencetus, yang paling sering adalah infeksi. Sedang
pencetus lainnya adalah diabetes yang baru terdiagnosis, penghentian terapi insulin, infeksi,
kehamilan, stress emosional, konsumsi alkohol yang berlebihan, infark miokard, stroke,
penyakit yang berat, hipertiroidisme, cushing’s disease, atau pheochromacytoma (jarang).
Patofisiologi KAD diawali oleh kadar insulin yang tidak cukup untuk mendukung
terjadinya ambilan glukosa darah perifer dan untuk menekan glukoneogenesis hepatic. Kadar
glukosa darah makin meningkat dengan dipacu oleh hormon counterregulatory (glukagon,
epinefrin, kortisol, dan growth hormone). Katabolisme yang terjadi di otot dan lemak
menghasilkan asam amino dan asam lemak, yang menjadi bahan untuk glukoneogenesis
hepatic dan produksi keton. Hiperglikemia mengakibatkan terjadinya diuresis osmotic dan
mengakibatkan terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit, yang memacu keluarnya
katekolamin. Katekolamin bersifat antagonis terhadap kerja insulin dan memacu lipolisis
sehingga asam lemak bebas meningkat di darah, dan kemudian mengalami oksidasi menjadi
benda keton (-hidroksibutirat dan asetoasetat), yang mengakibatkan ketonemia dan asidosis
metabolik.
Penurunan volume cairan tubuh mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal yang
mengakibatkan berkurangnya ekskresi glukosa dan keton, serta meningkatnya kadar kreatinin
dan kalium. Asidosis terjadi bila kadar acetone, acetoacetat, dan beta hidroksibutirat melebihi
kapasitas kemampuan buffer bikarbonat dan respon respirasi.
Kadar PaCO2 yang rendah menunjukkan upaya respirasi dan beratnya asidosis metabolik yang
terjadi.
Pada HHS, konsentrasi insulin tidak adekuat untuk memfasilitasi utilisasi glukosa di
jaringan perifer tapi masih adekuat untuk mencegah lipolisis dan ketogenesis, meski bukti
terhadap keadaan ini tidak kuat.

Gejala klinis
Gejala klinis KAD tidak spesifik, meliputi anoreksia, mual, muntah, nyeri perut, mialgia
atau badan lemah. Pada awal hiperglikemia, gejala polidipsi dan poliuri dapat ditemukan,
namun menjadi tidak jelas pada keadaan dehidrasi akibat muntah dan menurunnya kliren
ginjal. Pada keadaan yang lebih berat dapat disertai dengan penurunan kesadaran.
Pada keadaan asidosis ringan, dapat dijumpai sesak nafas dan hiperpnea, namun pada
keadaan yang berat dijumpai pernafasan kussmaul. Pemeriksaan fisik menunjukkan takikardia,
hipotensi atau hipotensi postural, mukosa kering, turgor kulit menurun, nyeri abdomen, dan
perubahan status mental. Mungkin juga didapatkan gejala dan tanda pencetus.
Diagnosis
Tabel 2. Kriteria diagnosis KAD dan HHS
Kriteria KAD HHS
Ringan Sedang Berat
Kadar glukosa plasma (mg/dL) >250 >250 >250 >600
pH arterial 7,25 – 7,00 – 7,24 <7,00 >7,30
Bikarbonat serum (mEq/L) 7,30 10 – <15 <10 >15
Keton dalam urine 15 – 18 + + - /+
Keton serum + + + ringan
Osmolalitas efektif serum + bervariasi bervariasi -/+
(mOsm/kg) bervariasi >12 >12 ringan
Anion gap >10 Sadar/menurun Koma >320
Kesadaran Sadar >10
Sadar
Penghitungan anion gap = Na+ - (Cl + HCO3) (mEq/L)
Penghitungan osmolalitas efektif = Na (mEq/L) + glukosa (mg/dL) : 18

Diagnosis banding
Asidosis metabolik dengan anion gap tinggi yang terjadi pada KAD perlu dibedakan dengan :
1. Intoksikasi methanol, paraldehida, iron, isoniazid, alcohol (ethylene glycol), salisilat.
2. Uremia
3. Asidosis laktat

Penatalaksanaan
1. Terapi Cairan
Pada keadaan tidak ada gagal jantung, cairan diberikan (NaCl 0,9%) 15-20 ml/kg
berat badan/jam atau lebih pada 1 jam pertama (1-1,5 L). Pilihan cairan ditentukan oleh
kadar elektrolit serum dan produksi urine. Bila kadar natrium serum meningkat,
diberikan NaCl 0,45% 4-14 ml/kg berat badan/jam. Terapi cairan ini diupayakan sudah
mengganti deficit cairan dalam 24 jam.
Pada keadaan gagal jantung dan gangguan fungsi ginjal, perlu dilakukan monitor
terhadap fungsi jantung, ginjal dan status kesadaran lebih ketat untuk mencegah
terjadinya kelebihan cairan iatrogenic.

2. Terapi insulin
Pilihan terapi adalah insulin regular secara infuse intravena kontinyu. Bila tidak
terjadi hipokalemia (K<3,3 mEq/L), diberikan bolus awal insulin regular 0,15 unit/kg
berat bedan, diikuti oleh infus kontinyu 0,1 unit/kg/jam (5-7 unit/jam). Dosis insulin ini
diharapkan menurunkan kadar glukosa 50-75mg/dL/jam. Bila tidap dicapai penurunan
ini, periksa kembali status hidrasi. Bila hidrasi baik namun penurunan kadar glukosa
belum dicapai, dosis insulin dapat ditingkatkan.
Setelah kadar glukosa mencapai 250mg/dL pada KAD atau <300mg/dL pada HHS,
dosis insulin diturunkan menjadi 0,05-0,1 mg/kg berat badan/ja, (3-6 unit/jam), dan
ditambahkan infuse glukosa (5-10%)
Kriteria resolusi untuk KAD adalah: kadar glukosa <200 mg/dL, bikarbonat serum
 18mEq/L, dan pH darah>7,3. Setelah terjadi resolusi, insulin intravena diteruskan dan
ditambahkan insulin subkutan bila diperlukan setiap 4 jam. Pada pasien dewasa,
penambahan ini sekitar 5 unit setiap 50mg/dL peningkatan dari 150 mg/dL, sampai
maksimal 20 unit bila bula darah  300 mg/dL. Bila pasien sudah bisa makan, diberikan
insulin subkutan dosis multiple, kombinasi antara kerja singkat (atau kerja cepat) dan
kerja menengah (atau kerja panjang). Insulin intravena diteruskan selama 1-2 jam
setelah terapi subkutan dimulai. Pada pasien yang sudah pernah mendapat insulin, dosis
insulin dapat dimulai sejumlah dosis insulin sebelumnya. Sedangkan pada penderita
yang belum pernah mendapat insulin, perkiraan dosis insulin total adalah 0,5 – 1 unit/kg
berat badan/hari, dosis terbagi.
3. Kalium
Untuk mencegah hipokalemia, terapi kalium diberikan bila kadarnya <5,5mEq/L
bila produksi urine adekuat. Insulin terapi ditunda bila kadar kalium <3,3mEq/L untuk
mencegah aritmia atau henti jantung dan kelemahan otot-otot pernafasan.

4. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversi. Bila pH >7,0 tidak perlu
diberikan bikarbonat. Bikarbonat diberikan bila pH<6.9 setelah koreksi cairan, yaitu 100
mmol sodium bikarbonat dalam 400 cc air, diberikan 200 cc/jam. Sedangkan bila pH 6,9-
7,0, diberikan 50 mmol dalam 400 cc cairan.

5. Antibiotika
Antibiotika diberikan pada dugaan adanya infeksi sebagai faktor pencetus.

Komplikasi
- Hipoglikemia karena dosis terapi insulin yang berlebihan
- Hipokalemia karena terapi insulin dan bikarbonat
- Hiperglikemia sekunder karena penghentian terapi insulin setelah gula darah
membaik
- Hiperkloremia karena penggunaan cairan salin, namun keadaan ini bersifat
sementara dak tidak signifikan secara klinis, kecuali pada keadaan gagal ginjal akut
atau oligouria.
- Edema serebri, jarang namun fatal
- Hipoksemia dan edema paru non-kardiogenik (jarang), akibat berkurangnya tekanan
osmotic koloid yang mengakibatkan peningkatan volume cairan dalam paru.
Hipoglikemia

Definisi
Hipoglikemia terjadi bila gula darah <50mg/dL. Hipoglikemia diklasifikasikan menjadi
hipoglikemia reaktif (reactive or postprandial hypoglycemia) bila terjadi setelah makan dan
hipoglikemia puasa (fasting hypoglycemia).

Penyebab
Hipoglikemia puasa (fasting hypoglycemia)
Penyebab paling sering hipoglikemia puasa adalah obat, yaitu insulin, sulfonylurea,
alcohol. Penyebab lain adalah infeksi berat (sepsis), defisiensi hormone kontra insulin
(insufisiensi adrenal, defisiensi growth hormone), malignansi seperti limfoma, leukemia,
teratoma, insulinoma.
Hipoglikemia reaktif (reactive or postprandial hypoglycemia)
Hipoglikemia ini terjadi setelah makan. Umumnya terjadi pada penderita dengan
riwayat operasi lambung, akibat tidak sejalannya kecepatan pengosongan lambung,
penyerapan glukosa, dan keluarnya insulin.
Penyebab lain dari hipoglikemia adalah: penyakit sistemik yang berat (gagal ginjal atau
hepar, penyakit jantung, malnutrisi), kehamilan, olah raga.

Patofisiologi
Gejala klinis neurogenik muncul akibat aktivasi sistem saraf simpatis, sedangkan gejala
neuroglikopenik muncul akibat kurangnya glukosa yang masuk ke otak.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan triad Whipple:
1. Gejala hipoglikemia
2. Kadar glukosa darah plasma rendah
3. Gejala membaik dengan peningkatan kadar glukosa plasma.
Gejala klinis
Tabel 3. Gejala klinis hipoglikemia
Gejala neurogenik (otonomik) Gejala neuroglikopenik
palpitasi kebingungan
tremor fatigue
ansietas kejang
berkeringat dingin penurunan kesadaran
lapar defisit neurologik fokal
parestesia

Penatalaksanaan
Pada hipoglikemia yang berat, diberikan dektrosa IV 40%, diikuti dengan infuse dengan
D5% untuk mempertahankan kadar gula >100mg/dL, atau dapat diberikan glukagon 1mg IM
atau subkutan. Bila pasien sadar, dapat diberikan karbohidrat yang mudah diserap (seperti jus
buah, tablet glukosa). Selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap penyebab hipoglikemia.
Obesitas dan Sindrom Metabolik

Obesitas
Definisi
Secara sederhana obesitas didefinisikan sebagai keadaan penumpukan lemak yang
berlebihan di dalam jaringan lemak sehingga mengganggu kesehatan.

Epidemiologi
Peningkatan jumlah penduduk yang mengalami obesitas terjadi hampir di seluruh
negara di dunia maka masalah obesitas kini merupakan masalah global, bahkan WHO 1998
menyebutnya sebagai ‘wabah global (the global epidemic)’

Penyebab
1. Genetik
Peranan genetik dalam kejadian obesitas terbukti dari adanya risiko obesitas sekitar dua
sampai tiga kali lebih tinggi pada individu dengan riwayat keluarga obesitas dan meningkat
sesuai dengan beratnya obesitas.
2. Lingkungan
faktor demografi:
- umur
- jenis kelamin
- etnik
faktor sosiokultural:
- tingkat pendidikan
- penghasilan/profesi
- status perkawinan
faktor biologi: paritas
faktor perilaku:
- nutrisi (jumlah lemak dalam makanan)
- merokok
- konsumsi alkohol
- aktivitas fisik

Patofisiologi
Obesitas disebabkan oleh ketidak-seimbangan antara energi yang masuk dan yang digunakan
tubuh sehingga berat badan menjadi bertambah.

Diagnosis
Ada beberapa metoda yang dipakai untuk menentukan lemak tubuh, diantaranya
adalah dengan metoda hidrostatik (sebagai baku emas), pengukuran lipatan kulit (dengan skin-
fold caliper), bioelectric impedance, computed tomography, magnetic resonante imaging,
berat badan relatif, dan indeks masa tubuh (IMT). Untuk tujuan klinis, dikatakan bahwa IMT
merupakan cara pengukuran yang paling sederhana dan mendekati pengukuran lemak tubuh
secara hidrostatik. IMT merupakan hasil pembagian berat badan dalam kg dan tinggi badan
dalam meter kuadrat [Bb/Tb2 (kg/m2)].

Klasifikasi
Tabel 4. Klasifikasi berat badan berdasarkan IMT pada penduduk Asia dewasa
Klasifikasi IMT (kg/m2) Risiko ko-morbiditas
Kurus < 18.5 Rendah (risiko penyakit lain meningkat)
Normal 18.5-22.9 Rerata
Kelebihan berat badan ≥ 23 Meningkat
At risk (Berrisiko) 23-24.9 Menengah
Obese I 25-29.9 Berat
Obese II ≥ 30 Sangat berat
The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and Its Treatment, 2000
Penatalaksanaan
Pencegahan dan pengelolaan yang efektif difokuskan kepada:
1. Faktor lingkungan meliputi elemen sosial, budaya, politik, dan struktural yang
berpengaruh terhadap berat badan penduduk dalam skala besar
2. Program untuk perorangan maupun kelompok yang berisiko tinggi untuk mendapatkan
obesitas dan penyakit yang menyertainya
3. Protokol pengelolaan bagi mereka yang sudah obese.
Menurut WHO, 1998, ada tiga tingkat pencegahan, yaitu:
1. Pencegahan universal
Ditujukan kepada penduduk secara keseluruhan, bertujuan untuk menstabilkan tingkat
obesitas bahkan menurunkan kejadian obesitas. Berat badan diturunkan dengan
memperbaiki pola hidup seperti mengatur makanan dan olah raga, dan menurunkan
konsumsi rokok dan alkohol.
2. Pencegahan terseleksi
Ditujukan untuk subkelompok penduduk dengan risiko tinggi obesitas. Strateginya dapat
dimulai di tempat yang mudah mengenal kelompok risiko tinggi seperti di sekolah, pusat
pelayanan masyarakat, dan pusat kesehatan masyarakat
3. Pencegahan tersasar
Bertujuan untuk mencegah penambahan berat badan dan menurunkan
jumlahpenduduk yang menderita penyakit terkait kelebihan berat badan pada mereka
yang telah menderita kelebihan berat badan dan yang belum namun ditemukan
petanda biologis akan adanya kecenderungan kelebihan berat badan. Kelompok ini
mempunyai risiko tinggi untuk obesitas dan berkembangnya penyakit terkait obesitas.

Pengelolaan obesitas dapat berupa:


1. Pendekatan pola hidup yang meliputi diet dan olah raga
Prinsip umum nutrisi bagi penderita obesitas adalah: jumlahnya secukupnya tanpa
kudapan, 20-30% atau kurang dari jumlah energi total yang dimakan berupa lemak dan
minyak, karbohidrat sejumlah 55-65% dari energi total, protein tidak lebih dari 15%
energi total, cukup buah segar, sayur dan makanan biji-bijian, dan batasi alkohol.
Olah raga dapat berupa aerobik seperti jalan kaki, naik tangga dan sebagainya. Tidak
dianjurkan orang obese untuk berolah raga berat, cukup intensitasnya rendah sampai
sedang.
2. Obat-obatan antiobesitas
Secara garis besar, dibagi dua yaitu:
a. Bekerja di pusat susunan saraf pusat untuk mempengaruhi nafsu makan
- melalui jalur serotoninergik (Fenfluramine, Dexfenfluramin, Flouxitene)
- melalui jalur noradrenergik (Ephidrine, Caffeine, Phentermine, Diethylproprion)
- melalui jalur serotoninergik dan noradrenergik (Sibutramine)
- Ephidrine dan Coffeine juga digolongkan dalam obat yang bekerja di pusat dan
perifer melalui termogenik dan anoretik.
b. Bekerja di saluran cerna untuk mengurangi penyerapan makanan:
- Metformin
- Orlistat
3. Pembedahan.

Sindroma Metabolik

Definisi
Menurut NCEP ATP III, 2001, sindroma metabolik adalah: sekelompok kelainan
metabolik baik lipid maupun non-lipid yang merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner,
terdiri dari kombinasi antara obesitas sentral, hipertensi, intoleransi glukosa, dan gangguan
lipid. Obesitas adalah kelainan akibat penimbunan jaringan lemak tubuh yang berlebihan.
Obesitas sentral adalah penimbunan lemak di abdomen (perut), baik subkutan maupun viseral
Epidemiologi
Diabetes tipe 2 (DMT2), yang pada dasarnya juga akibat resistensi insulin merupakan
salah satu komponen terpenting dari sindroma metabolik. Prevalensi keduanya meningkat
tajam tidak hanya di negara maju tetapi juga di negara berkembang seiring dengan peningkatan
prevalensi obesitas.
Penyebab
Walaupun belum sepenuhnya benar, resistensi insulin dianggap penyebab sentral dari
sindrom ini.
Diagnosis
Pertemuan Federasi Diabetes Internasional (International Diabetes Federation/IDF)
pada tanggal 14 April 2005 telah membuat definisi tentang sindrom metabolik, yaitu:
obesitas sentral ditambah dengan penyakit penyerta yang multipel
Tabel 5. The new International Diabetes Federation (IDF) definition
According to the new IDF definition, for a person to be defined as having the metabolic
syndrome they must have:
Central obesity (defined as waist circumference* with ethnicity specific values)
plus any two of the following four factors:
Raised triglycerides ≥ 150 mg/dL (1.7 mmol/L)
or specific treatment for this lipid abnormality
Reduced HDL cholesterol < 40 mg/dL (1.03 mmol./L) in males< 50 mg/dL (1.29 mmol./L) in
females or specific treatment for this lipid abnormality
Raised blood pressure Systolic BP ³ 130 or diastolic BP ≥ 85 mmHg
or treatment of previously diagnosed hypertension
Raised blood sugar (FPG) ≥ 100 mg/dL (5.6 mmol/L)
or previously diagnosed type 2 diabetes
If above 5.6 mmol/L or 100 mg/dL, OGTT is strongly recommended
but is not necessary to define presence of the syndrome
*untuk Asia Pasifik, disebut obesitas sentral bila lingkar pinggang laki-laki >90 cm atau wanita >
80 cm
Penatalaksanaan
Untuk mencegah terjadinya penyakit kardiovaskuler dan diabetes tipe 2, dilakukan
penilaian risiko kardiovaskuler termasuk kebiasaan merokok, bersamaan dengan:
1. Intervensi primer, yaitu perubahan gaya hidup, meliputi:
- restriksi kalori sedang (untuk menurunkan berat badan 5-10% pada tahun
pertama)
- peningkatan sedang aktivitas fisik
- perubahan komposisi diet
2. Intervensi sekunder
Pada penderita sindroma metabolik yang tidak berhasil dengan perubahan gaya hidup
dan juga penderita dengan risiko tinggi untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler, maka
dilakukan intervensi dengan obat-obatan. Rekomendasi IDF adalah sebagai berikut:
- Untuk dislipidemia atherogenik: target terapi adalah menurunkan trigliserida dan
kolesterol LDL serta meningkatkan kolesterol HDL dengan fibrat atau statin, atau
kombinasi keduanya
- Hipertensi

antihipertensi. Pilihan terapi adalah ACE inhibitor atau yang lainnya. Tidak ada
pilihan jenis obat tertentu yang lebih sesuai untuk sindroma metabolik
- Resistensi insulin dan hiperglikemia dapat diterapi dengan metformin, acarbose,
atau orlistat. Obat-obat ini dapat memperlambat perjalanan menjadi diabetes.
Tiroid

Hipertiroidisme

Definisi
Hipertiroidisme adalah hiperfungsi kelenjar tiroid. Gejala-gejala yang muncul diakibatkan oleh
kelebihan ekskresi hormone tiroid.

Epidemiologi
Hipertirodisme terjadi pada 2% wanita dan 0,2% laki-laki.

Penyebab
1. Grave’s disease
Merupakan penyebab hipertiroidisme yang paling sering (60-80%)
2. Goiter multinodular toksik
Biasanya terjadi pada usia di atas 50 tahun
3. Adenoma toksik
4. Iodin dan obat-obatan yang mengandung iodine (contoh: amiodaron, bahan kontras)
5. Thyroiditis subakut
6. Hormon tiroid
7. Jaringan tiroid ektopik, seperti struma ovarii
8. Adenoma pituritari yang mengekskresikan TSH

Patofisiologi
Grave’s disease adalah kelainan autoimun yang disebabkan oleh antibodi terhadap
reseptor TSH, yang merangsang hipersekresi dan juga hipertrofi dan hyperplasia folikel kelenjar
tiroid sehingga menyebabkan hipertiroid. Infiltrasi limfositik mengakibatkan goiter difus.
Manifestasi ocular (grave’s ophthalmopathy)
Gejala klinis
Tabel 6. Gejala dan Tanda Hipertiroidisme
Gejala Tanda
Hiperaktivitas, gelisah (nervousness) Takikardia sinus, fibrilasi atrial
Tidak tahan suhu panas, keringat berlebihan Goiter – multinodular atau difus
Lemah Tremor halus, hiperrefleksia
Penurunan berat badan, bersamaan dengan Kulit hangat, basah
nafsu makan meningkat Bruit di atas kelenjar tiroid
Palpitasi Grave’s ophthalmopathy
Gangguan pada mata (mata kering, Rambut rontok
membonjol) Kelemahan otot,
Sesak Gagal jantung kongestif (high output)
Peningkatan frekuensi buang air besar Eritema palmaris, onikolisis
Oligomenore atau amenore, penurunan libido Paralisis periodik (terutama pada laki-laki Asia)
Psikosis
Laboratorium
1. TSH Merupakan tes yang paling sensitif dan terbaik untuk penapisan awal. Nilai TSH >0,1
mIU/L menyingkirkan hipertirodisme klinis
2. FT4 (free thyroxine) atau T4 bebas
Membantu menentukan derajat hipertiroidisme
3. T3
Diperlukan untuk menentukan T3 (triiodothyronine) toksikosis.
4. Antibodi anti tiroid: TSI (thyroid stimulating immunoglobulin) dan TRAb (TSH receptor
antibodies)
Dapat terdeteksi pada grave’s disease, membantu diagnosis pada sebagian besar kasus.

Diagnosis
Diagnosis hipertiroidisme didasarkan atas hasil pemeriksaan laboratorium,yaitu adanya
penurunan TSH dan peningkatan T4 bebas atau peningkatan T3 (pada T3 toksikosis).
Diagnosis banding
Diagnosis banding penyebab hipertiroidisme di atas penting untuk memilih terapi yang tepat.

Penatalaksanaan
Terapi definitif:
1. Ablasi dengan RAI (radioactive iodine)
2. Obat-obat anti tiroid
- Golongan thionamide:
Methimazole: dosis 10-40 mg/hari
Propiltiourasil (PTU): dosis 200 – 600 mg/hari, terbagi 3 atau 4
3. Thyroidektomi subtotal
Dewasa ini pembedahan dipilih pada keadaan khusus seperti:
- atas keinginan pasien
- wanita hamil yang tidak berespon terhadap obat antitiroid
- goiter yang besar dan simptomatik
- ada dugaan keganasan.
Terapi simptomatik:
Penghambat beta adrenergik
Obat ini menghilangkan gejala takikardi dan tremor. Jenis penghambat beta adrenergic yang
dipilih adalah propranolol, atenolol, atau metoprolol.

Komplikasi
1. Hipotiroidisme
Akibat terapi, mudah diterapi.
2. Krisis tiroid
Jarang, tapi mengancam nyawa. Ditandai oleh hipermetabolisme dan respon adrenergic
yang berlebihan. Gejalanya meliputi: demam, konfusi, delirium, gejala gastrointestinal
(mual, muntah, diare, kadang-kadang jaundice), aritmia, gagal jantung kongestif, atau
koma.
Faktor pencetus: pembedahan (terutama pada kelenjar tiroid), bahan kontras yang
mengandung iodine, terapi iodin radioaktif pada penderita hipertiroidisme yang belum
diterapi, dan penyakit akut (stroke, infeksi, ketoasidosis diabetes).
Terapi:
- PTU: 300 mg PO (atau lewat pipa nasogastrik) setiap 6 jam
- 1-2 jam kemudian diberikan larutan kalium iodide 1-2 tetes tiap 12 jam
- Propranolol 40-60mg oral, diulang setiap 6 jam (atau 2 mg intravena pelan-pelan,
diulang setiap 4 jam. Pada keadaan asma atau gagal jantung, dapat dipilih verapamil
intravena
- Terapi tambahan:
 Glukokortikoid (hidrokortison) dapat diberikan.
 Antibiotika (pada kecurigaan adanya infeksi)
 Hidrasi dan pendinginan
 Terapi pencetus
Keadaan khusus
1. Grave’s Ophtalmopathy
2. Goiter multinodular toksik
3. Adenoma toksik
4. Hipertiroidisme subklinis
5. Hipertiroidisme dan kehamilan
Pada wanita hamil dengan Grave’s disease, RAI merupakan kontraindikasi.

Hipotiroidisme

Definisi
Hipotiroidisme adalah defisiensi produksi hormon tiroid dari kelenjar tiroid. Penyebab
paling sering dari hipotiroidisme primer adalah faktor yang berhubungan dengan kelenjar tiroid
itu sendiri, sehingga terjadi penurunan T4 bebas dan peningkatan TSH (thyroid stimulating
hormone).
Epidemiologi
Resistensi terhadap hormone tiroid jarang terjadi. Hipotiroidisme sentral yang
diakibatkan oleh defisiensi TSH dari pituitary atau gangguan hypothalamus juga jarang
didapatkan. Sebaliknya, hipotiroidisme primer cukup sering didapatkan. Hipotiroidisme klinis
didapatkan pada 2% wanita dan 0,2% laki-laki dewasa.

Penyebab
A. Hipotiroidisme primer
1. Kehilangan jaringan kelenjar tiroid yang fungsional
 Tiroiditis Hashimoto
 Radiasi (terapi I131 pada Grave’s disease, radiasi eksternl.
 Tiroidektomi subtotal
 Tiroiditis subakut
 Disgenesis kelenjar tiroid
2. Defek fungsional pada biosintesis dan sekresi hormon tiroid
 Defek congenital
 Defisiensi iodine dan iodine kelebihan iodine
 Obat-obat: obat antitiroid, lithium, interferon-alpha, interleukin-2
B. Hipotiroidisme sentral (hypothalamus atau pituitary)
1. Kehilangan jaringan yang fungsional
 Tumor (adenoma pituitary, cranipharingioma, metastase)
 Trauma
 Vaskular
 Infeksi
 Penyakit infiltratif
 Chronic lymphocytic hypophysitis
 Kongenital
2. Defek fungsional pada biosintesis dan sekresi TSH
 Mutasi genetic pada reseptor TRH
 Obat-obat: dopamine, glukokortikoid
C. Lain-lain: resistensi terhadap hormon tiroid.

Patofisiologi
Tiroiditis autoimun (Hashimoto’s thyroiditis) yang merupakan penyebab tersering
hipotiroidisme, terjadi akibat destruksi kelenjar tiroid akibat proses autoimun. Lebih dari 90%
kasus didapatkan dengan autoantibody terhadap thyroid peroxidase (TPO) atau thyroglobulin.

Gejala klinis
Tabel 7. Gejala dan Tanda Hipotiroidisme
Gejala Tanda
Fatigue, rasa lelah, lemah, nyeri otot Kulit kering, kasar
Kulit kering Bengkak pad wajah dan ekstremitas
Rambut rontok Bradikardia
Tidak tahan terhadap suhu dingin Hipertensi diastolic
Peningkatan berat badan Refleks tendon lambat
Konstipasi Sindrom carpal tunnel
Kesulitan konsentrasi Efusi pleural dan pericardial
Suara serak Edema nonpitting (miksedema)
Menstruasi tidak teratur Alopesia areata
Parestesia Vitiligo

Laboratorium
Fungsi tiroid: TSH meningkat, T4 bebas menurun
Temuan laboratoris lain:
- Anemia megaloblastik, sebagai bagian dari penyakit autoimun, seperti anemia
pernisiosa, tiroiditis autoimun, enteropati gluten)
- Peningkatan kolesterol dan trigliserida
- Peningkatan keratin kinase
- Hiponatremia
- Peningkatan serum prolaktin (pada keadaan hipotiroid berat)

Diagnosis
Hipotiroidisme dapat diduga pada penderita berdasarkan riwayat, dan kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan laboratorium:
TSH merupakan pemeriksaan penapisan yang paling baik. Jika hasilnya tinggi, dilanjutkan
dengan pemeriksaan T4 bebas. Namun pemeriksaan TSH ini tidak dapat dipakai patokan pada
hipotiroidisme sentral, pasien yang sakit berat (bukan karena penyakit tiroid), dan penderita
yang minum obat yang menurunkan sekresi TSH.
Interpretasi:
- TSH normal menyingkirkan hipotiroidisme
- Hipotiroid primer: TSH tinggi disertai dengan FT4 rendah
- Hipotiroid subklinis: TSH tinggi, FT4 normal
Pada tiroiditis Hashimoto sering didapatkan autoantibodi terhadap TPO atau thyroglobulin.
Hipotiroidisme sentral dapat diduga pada pasien berdasarkan riwayat, seperti penyakit
pada pituitary atau hypothalamus (pembedahan, trauma, atau iradiasi), defisiensi hormon-
hormon pituitari yang lain, atau adanya massa di daerah pituitari atau sella. Pada keadaan ini
TSH normal atau rendah, diagnosis didasarkan pada kadar FT4 rendah. Untuk membedakan
apakah kelainan terletak di pituitari atau di hipothalamus, dilakukan MRI.

Penatalaksanaan
Hormon tiroid sintetik: levotiroksin
Dosis pada dewasa: 1-2 mcg/kg/hari, dosis awal berkisar 50-100 mcg/hari, tergantung pada
berat badan, usia, dan status jantung. Penyesuaian dosis dilakukan setiap 6-8 minggu, dapat
ditingkatkan 25-50 mcg.
Kadang-kadang insufisiensi adrenal terjadi bersamaan dengan hipotiroidisme. Bila hal ini tidak
terdiagnosis dan levotiroksin diberikan, kegagalan adrenal dapat terjadi.
Komplikasi
Koma miksedema
Terjadi pada hipotiroidisme jangka panjang yang tidak diterapi. Biasanya terjadi pada usia tua
dan dicetuskan oleh penyakit lain atau cuaca dingin. Gejalanya: hipotermia, bradikardia,
hipotensi berat, kejang, dan koma.
Keadaan khusus
1. Hipotiroidisme ringan (subklinis)
Tidak ada manifestasi klinis hipotiroidisme, kadar FT4 normal, TSH meningkat ringan.
Keadaan ini dapat berkembang menjadi hipotiroidisme dengan gejala klinis, yaitu pada usia
tua (>60 tahun), goiter, TSH>10 mIU/L, wanita hamil, dan adanya antibodi di sirkulasi.
2. Hipotiroidisme dan pembedahan
Pembedahan urgen dapat dilakukan pada pasien hipotiroid tanpa terapi, tapi pembedahan
berencana dilakukan setelah tercapai status eutiroid.
3. Hipotiroidisme pada kehamilan
Pada kehamilan trimester pertama kadar T4-binding globulin meningkat. Penderita
hipotiroidisme dengan kehamilan umumnya membutuhkan peningkatan dosis levotiroksin
pada trimester pertama sekitar 40-50% dari dosis sebelum kehamilan. Dosis ini kembali
diturunkan ke dosis semula segera setelah melahirkan.
4. Sick euthyroid syndrome
Tes fungsi tiroid pada keadaan penyakit akut sebaiknya tidak dilakukan kecuali pada
keadaan kecurigaan adanya kelainan tiroid. Interpretasi hanya dilakukan bersamaan
terhadap TSH dan FT4. Keadaan ini harus dievaluasi ulang setelah penyakitnya membaik.
5. Efek penyakit lain: seperti sindrom cushing (T3 rendah dan TSH rendah)
6. Tiroiditis:
- Autoimun tiroiditis (Hashimoto’s thyroiditis)
- Tiroiditis postpartum (silent thyroiditis)
- Tiroiditis subakut
- Tiroiditis infeksius akut
- Tiroiditis Reidel (Reidel’s thyroiditis)
Nodul tiroid

Definisi
Goiter eutiroid adalah pembesaran kelenjar tiroid dengan parameter biokimia normal. Ada 3
bentuk, yaitu:
1. Goiter difus
2. Nodul tiroid soliter
3. Goiter multinoduler atau multinoduler goiter (MNG).

Gejala klinis
1. GOITER DIFUS
Diperkirakan merupakan fase awal perkembangan menjadi goiter multinoduler.
Umumnya didapatkan di daerah defisiensi iodine. Penyebab tersering goiter difus adalah
tiroiditis hashimoto.
Penderita umumnya asimptomatik. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan
adalah thyroid stimulating hormone (TSH) dan thyroid peroxidase (TPO) antibody untuk
menegakkan diagnosis tiroiditis hashimoto. Pembedahan diindikasikan untuk kepentingan
kosmetik.
2. NODUL TIROID SOLITER
Pertanyaan yang perlu dijawab bila teraba nodul tiroid adalah ganak atau tidak?
Peningkatan ukuran yang cepat, laki-laki, adanya gejala penyerta seperti disfagi, disfoni, nyeri,
atau ada riwayat keluarga dengan sindroma MEN (multiple endocrine neoplasia), merupakan
risiko malignansi. Ukuran nodul >4cm, terfiksir dengan struktur jaringan sekitar, dan adanya
pembesaran kelenjar, meningkatkan kecurigaan nodul ganas.
3. GOITER MULTINODULER
Evaluasi yang dilakukan sama seperti nodul soliter, biopsi/FNAC dilakukan pada nodul
yang dominant atau yang dicurigai ganas.
Evaluasi diagnostik
1. FNAC (fine-needle aspiration cytology)
Merupakan tindakan diagnostik paling penting untuk evaluasi nodul tiroid. Secara
sitologi dapat diklasifikasikan menjadi benigna, maligna, indeterminate, atau curiga
suatu neoplasma folikuler, atau mungkin juga sampel tidak mencukupi untuk evaluasi.
Kelemahan FNAC adalah negatif palsu.
2. USG tiroid
Dapat digunakan untuk menuntun FNAC. USG dapat menemukan nodul incidental
3. Radionucleid thyroid scan
Tabel 8. Kategori diagnostik sitologi bahan FNAB tiroid
Jinak (negatif)
- Tiroid normal
- Nodul koloid
- Kista
- Tiroiditis subakut
- Tiroiditis Hashimoto
Suspicious (indeterminate)
- Neoplasma sel folikuler
- Neoplasma sel Hurthle
- Curiga tapi tidak konklusif untuk lesi ganas
Ganas (positif)
- Kanker tiroid papiler
- Kanker tiroid meduler
- Kanker tiroid anaplastik
Castro and Gharib. Postgraduate Medicine 107:113-124, 2000
Laboratorium
Skrining tes pertama adalah TSH, karena nodul tiroid dengan hipertiroidism jarang maligna. Bila
ada riwayat sindrom MEN dalam keluarga, perlu dilakukan pemeriksaan calcitonin.
Pemeriksaan tiroglobulin dan antibodi terhadap tiroglobulin tidak rutin dilakukan.
Diagnosis banding
Diagnosis banding nodul tiroid soliter:
1. Adenoma
2. Nodul dominan pada goiter multinoduler
3. Karsinoma tiroid
4. Tiroiditis Hashimoto
5. Kista koloid
6. Kista atau adenoma paratiroid
7. Kista tiroglosus
8. Lesi nontiroid: laringocele, aneurisma, pembesaran kelenjar limpa akibat inflamasi atau
neoplasia, higroma kistik

Penatalaksanaan
1. Nodul dengan risiko rendah (tidak ada riwayat radiasi, usia muda)
Jika nodul berukuran kurang dari 1 cm dilakukan palpasi atau USG setiap 6 bulan – 1
tahun, jika lebih dari 1 cm dilakukan FNAC
2. Pada penderita dengan riwayat kanker tiroid dalam keluarga atau riwayat radiasi di
daerah kepala dan leher, dilakukan FNAC. Penanganan selanjutnya sesuai dengan hasil
sitologi.
Pembedahan diindikasikan pada:
1. Kanker
2. Peningkatan ukuran dengan gejala penekanan
3. Alasan kosmetik
Adrenal

Sindroma Cushing

Definisi
Sindroma cushing adalah keadaan kelebihan hormone glukokortikoid kronik yang bersumber
endogen maupun eksogen. Dideskripsikan pertama oleh Harvey Cushing tajim 1932.

Penyebab
Penyebab paling sering adalah iatrogenic (eksogen), akibat pemberian terapi steroid.
Penyebab endogen bisa bersifat ACTH-dependent (70% kasus) atau ACTH-independent
(meliputi adenoma adrenal 10% kasus dan karsinoma adrenal 8% kasus). Sindrom ACTH-ektopik
didapatkan pada 12-15% kasus, sebagian bersumber dari kanker paru sel kecil (small cell lung
cancer). Penyebab yang lain jarang, seperti sindrom CRH-ektopik.

Gejala klinis
Gejala sindrom cushing nonspesifik, bervariasi, dan tergantung beratnya kelebihan hormon
kortikosteroid, mineralokortikoid, dan androgen. Gejala yang mengarah ke sindrom cushing
adalah :
- obesitas sentral dengan penebalan bantalan lemak (buffalo hump, moon facies,
supraklavikular fat pad, eksoftalmus)
- Striae keunguan, lebar
- Hiperpigmentasi (pada ACTH sindrom ektopik)
- Atrofi kulit
- Ekimosis spontan
- Virilisasi (pada adenoma adenal)
- Penurunan berat badan atau anoreksia (pada sindrom ACTH-ektopik yang berhubungan
dengan malignansi)
- Miopati proksimal dan berkurangnya massa otot
- Kegagalan pertumbuhan pada anak-anak
- Osteoporosis dan osteopenia
- Alkalosis hipokalemia

Laboratorium
Pemeriksaan terbaik untuk menentukan sindrom cushing adalah pengukuran hormone
kortisol bebas dalam urine 24 jam. Peningkatan nilai 2 sampai 3 kali normal pada 2 kesempatan
berbeda sangat menunjang diagnosis.
Setelah sindrom cushing endogen dipastikan, untuk menentukan ACTH dependent atau
ACTH independent dilakukan pengukuran kadar ACTH. Kadar ACTH tidak terdeteksi atau
rendah (<5mcg/dL) menunjukkan penyebabnya primer di kelenjar adrenal. Kadar ACTH >15
mcg/dL biasanya ACTH-dependent. Bila kadar ACTH antara 5-15mcg/dL, pemeriksaan diulangi.
Untuk membedakan ACTH dependent akibat Cushing’s disease dan sindrom ACTH ektopik
diperlukan beberapa pemeriksaan lainnya.

Diagnosis banding
1. Pseudo cushing’s syndrome:
- Gangguan depresi mayor
- Alcoholism
2. Peningkatan kadar kortisol tanpa sindrom cushing
- Obesitas
- Anoreksia nervosa
- Stres, trauma, penyakit yang berat
- Peningkatan cortisol binding protein (kehamilan, terapi estrogen, hipertiroidism)
- Resistensi glukokortikoid familial

Penatalaksanaan
Sindrom Cushing iatrogenik diatasi dengan menghentikan pemberian glukokortikoid eksogen,
dan Penanganan sesuai dengan gejala yang timbul.
ACTH-independent Cushing’s syndrome
Adenoma adrenal atau karsinoma diatasi dengan adrenalektomi unilateral. Bila
didapatkan mikro atau makronodular bilateral, dilakukan adrenalektomi bilateral. Selama dan
setelah adrenalektomi unilateral, diberikan terapi pengganti glukokortikoid untuk memulihkan
aksis HPA yang lama tertekan. Sedangkan pada adrenalektomi bilateral diperlukan terapi
pengganti glukokortikoid dan mineralokortikoid seumur hidup
Cushing’s disease
Adenomektomi transsphenoidal dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada
cushing’s disease. Bila dilakukan reseksi inkomplit, dapat dilakukan pembedahan ulangan atau
iradiasi pituitary. Bila tetap refrakter, diperlukan adrenalektomi bilateral. Selama dan setelah
dilakukan reseksi transspenoidal, diberikan terapi pengganti glukokortikoid sampai aksis HPA
pulih kembali.
Sindrom ACTH dan CRH ectopic
CT, MRI, dan bila perlu skintigrafi dilakukan utnuk mencari tumor asalnya di daerah
dada, abdomen, pelvis atau leher. Penanganan dilakukan sesuai tumor asalnya (dengan
pembedahan).

Komplikasi
Sindrom cushing yang tidak ditangani akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas sesuai
dengan gejala yang muncul. Di samping itu penderita dapat mengalami komplikasi
thromboemboli.

Insufisiensi Adrenal

Definisi
Aksis adrenal adalah kompleks yang menjaga keseimbangan hormon adrenal, dari hipotalamus,
pituitari, dan kelenjar adrenal. Defek salah satu dari lokasi ini dapat menyebabkan insufisiensi
adrenal. Insufisiensi adrenal primer berhubungan dengan kelainan di tingkat kelenjar adrenal,
insufisiensi adrenal sekunder berhubungan dengan kurangnya kadar ACTH (adrenocorticotropic
hormone) dari pituitary, insufisiensi adrenal tersier berhubungan dengan kurangnya CRH
(corticotrophin-releasing hormone).

Epidemiologi
Onset keadaan ini insidious dengan gejala yang nonspesifik, sehingga umumnya tidak
terdiagnosis sampai suatu saat ada faktor pencetus yang menyebabkan pasien mengalami
insufisiensi adrenal berat.

Penyebab
1. Primer
- Idiopatik (autoimun)
- Tuberculosis
- Infeksi oportunistik yang berhubungan dengan HIV
- Karsinoma metastatik
- Perdarahan adrenal
- Sepsis
- Infark
- Hiperplasia adrenal congenital
- Hipokortisolism familial
2. Sekunder
- Penggunan steroid jangka panjang
- Infeksi (tuberculosis)
- Neurosarcoidosis
- Metastasis
- Infark (seperti: sindrom Sheehan peripartum)
- Perdarahan/apopleksia
- Massa primer di kelenjar pituitary (adenoma pituitary, craniopharingioma)
- Trauma
- Defisiensi ACTH

Gejala klinis
1. Insufisiensi adrenal akut
Ditandai oleh hipotensi berat, mual, muntah, dan sering disertai nyeri perut (bila
penyebabnya adalah infark atau perdarahan)
2. Insufisiensi adrenal kronik
Pada pasien dengan insufisiensi adrenal primer di mana terjadi destruksi kelenjar adrenal
umumnya akan terjadi defisiensi kortisol dan aldosteron. Rendahnya kadar hormone
adrenal ini akan menyebabkan peningkatan ACTH. Kombinasi hal ini akan memberikan
gejala meliputi: mual, muntah, anoreksia, berat badan menurun, fatigue, dan
hiperpigmentasi kulitn dan mukosa akibat stimulasi reseptor melanokortin oleh ACTH.
Aldosteron yang rendah mengakibatkan renal salt wasting. Secara laboratories akan
didapatkan hiponatremia dan hiperkalemia. Seringkali keadaan ini disertai juga dengan
penyakit autoimun yang lain seperti: hipo- atau hipertiroidism, diabetes tipe 1, vitiligo.
3. Insufisiensi adrenal sekunder
Disebabkan oleh defisiensi ACTH, jarang sekali berdiri sendiri, biasanya disertai dengan
defisiensi hormon pituitari lainnya. Hal lain yang membedakan dengan insufisiensi adrenal
primer adalah tidak adanya hiperpigmentasi kulit dan tidak ada gangguan sekresi aldosteron
(tidak dijumpai hiperkalemia).

Laboratorium
1. Kadar kortisol serum basal <3 mcg/dL mendukung dugaan insufisiensi adrenal
2. Tes stimulasi kortisol dengan cosyntropin
Interpretasi: kadar serum kortisol >18 mcg/dL (500 nmol/L) sampai 20 mcg/dL (550 nmol/L)
yang didapatkan 30 atau 60 menit setelah injeksi (IV atau IM) cosyntropin sintetik 250 mcg
menyingkirkan diagnosis insufisiensi adrenal primer.
3. ACTH
Pemeriksaan ACTH bersamaan dengan kortisol basal digunakan untuk membedakan
insufisiensi adrenal primer dan sekunder. Bila kadar kortisol rendah, sedangkan ACTH
meningkat tinggi kemungkinan insufisiensi adrenal primer.
3. Insulin tolerance test (ITT)

Radiologis
1. CT adrenal
Dilakukan pada dugaan insufisiensi adrenal primer, untuk membuktikan adanya infeksi,
perdarahan, atau malignansi.
2. MRI pituitari
Dilakukan pada pasien dengan dugaan insufisiensi adrenal sekunder.

Penatalaksanaan
1. Glukokortikoid: dibutuhkan pada insufisiensi adrenal primer maupun sekunder
Hidrokortison 15-30 mg PO/hari atau dosis ekuivalen: prednisone 5 – 7,5mg PO total/hari,
deksametason 0,75 – 1,25 mg PO total/hari. Dosis dapat diberikan sekali sehari (pagi) atau
terbagi dengan dosis pagi lebih banyak dari sore hari.
2. Mineralokortikoid
Diberikan pada insufisiensi adrenal primer, yaitu: fludrocortisone 0,05-0,2 mg PO/hari.
Jika penderita mengalami hipotiroidism bersamaan dengan insufisiensi adrenal, maka terapi
glukokortikoid harus adekuat sebelum diberikan terapi hormone tiroid untuk mencegah krisis
adrenal.

Komplikasi
Krisis adrenal adalah keadaan insufisiensi adrenal akut. Keadaan ini membutuhkan Penanganan
segera:
1. Terapi cairan dengan saline atau D5% in saline.
2. Steroid dosis tinggi
Bila diagnosis sebelumnya tidak jelas, dapat diberikan deksametason 4 mg IV, kemudian
dilanjutkan dengan tes stimulasi cosyntropin.
Bila riwayat pasien sebelumnya jelas dengan insufisiensi adrenal, diberikan
hidrokortison IV 50 – 100 mg setiap 6 – 8 jam sampai kondisinya stabil. Biasanya pada
krisis adrenal perbaikan terjadi dengan cepat dalam 1 – 2 jam. Setelah faktor pencetus
diatasi, dosis steroid dapat ditapering kembali ke dosis glukokortikoid sebelumnya.

Keadaan khusus
1. Peningkatan kebutuhan steroid pada keadaan stress
Stres fisik dapat meningkatkan kebutuhan hormone glukokortikoid, biasanya ditandai
oleh gejala: mual, muntah, hipotensi orthostatik. Pada keadaan ini dosis glukokortikoid
dapat dilipatgandakan. Setelah keadaan membaik, dosis dapat dikembalikan ke dosis
awal dalam 1-2 hari.
2. Perioperatif

Diabetes Insipidus

Definisi
Diabetes insipidus (DI) adalah gangguan keseimbangan cairan tubuh yang disebabkan oleh
kehilangan cairan nonosmotik.

Penyebab
Defisiensi arginin vasopressin (AVP) atau antidiuretik hormone (ADH) sentral, atau tidak adanya
respon terhadap AVP (nefrogenik). Berdasarkan penyebabnya, dibagi menjadi DI sentral dan
nefrogenik
DI sentral:
- Trauma kepala
- Pasca operasi (biasanya terjadi pada hari 1-6 setelah operasi, dapat menghilang
spontan, berulang, atau menjadi kronik
- Tumor
- Infeksi (TB, sifilis, mikosis, toksoplasmosis, ensefalitis, meningitis)
- Penyakit granulomatosis (sarkoidosis, histiositis, granulomatosis Wagener)
- Penyakit serebrovaskular (aneurisma, trombosis, sindrom Sheehan, cerebrovascular
accident)
- Idiopatik
DI nefrogenik:
- Kongenital
- Didapat, disebabkan oleh:
 Obat: lithium, amphotericin, cisplatin, aminoglikosida, rifampin, vincristin
 Gangguan elektrolit: hiperkalsemia, hiperkalsiuria, hipokalemia
 Penyakit tubulointerstisial kronik
 Penyakit sel sabit
 Mieloma multipel
 Sarkoidosis

Patofisiologi
AVP atau ADH dikeluarkan oleh sel kelenjar pituitary posterior dan berperan meningkatkan
permeabilitas air di tubulus distalis dan duktus kolektivus nefron, serta meningkatkan
reabsorpsi air di tempat ini. Penurunan produksi atau aktivitas AVP akan mencegah reabsorpsi
air di nefron sehingga terjadi kehilangan urine dan cairan.

Gejala klinis
 Poliuria, volume urine per hari >3 L
 Haus
 Gejala hipernatremia: lemak, gangguan mental, koma, kejang
 Pemeriksaan fisik dalam batas normal, kecuali bila telah terjadi dehidrasi.
Laboratorium
- Urine mengalami dilusi: BJ <1,010, osmolalitas <300 mOsm/kg, pada kondisi
hipertonisitas dan poliuria.
- Hipernatremia: biasanya ringan, kecuali ada abnormalitas rasa haus atau hambatan
untuk minum.
Diagnosis
1. Ukur osmolalitas urine dan plasma. Pada DI osmolalitas urine <300 mOsm/kg, BJ urine
<1,010, osmolalitas plasma >295 mOsm/kg.
2. Ukur kadar kalsium dan kalium plasma. Hipokalemia dan hiperkalsemia mengarahkan
diagnosis DI
3. Pada poliuria, perlu dilakukan fluid deprivation test untuk membedakan DI dan
polidipsia primer. Bila hipertonisitas sudah terjadi, tes ini kurang bermanfaat dan
potensial berbahaya karena dapat mengakibatkan hipernatremia simptomatik.
Prosedur tes
Pemeriksaan dimulai pagi hari: timbang berat badan, osmolalitas plasma dan kadar
natrium, osmolalitas urine dan volume urine diukur setoap jam.
Penderita tidak diberi minum sampai berat badan menurun 5%, kadar osmolalitas
serum dan natrium serum mendapat batas atas kadar normal, atau sampai didapatkan
osmolalitas urine stabil (variasi <5% dalam 3 jam).
Interpretasi
Jika osmolaliltas urine tidak mencapai 300 mOsm/kg sebelum keadaan di atas tercapai,
maka polidipsia primer dapat disingkirkan. Pada DI parsial, osmolalitas urine akan lebih
besar dari osmolalitas plasma meski urine tetap dalam konsentrasi submaksimal. Pada
DI yang berat, osmolalitas urine lebih rendah dari osmolalitas plasma.
4. Setelah diagnosis DI ditegakkan, untuk membedakan DI sentral dan DI nefrogenik,
penderita diberikan desmopresin.
Interpretasi
Pada DI sentral, osmolalitas urine akan meningkat >50%, sedangkan DI nefrogenik tidak
berespon terhadap desmopresin atau bila ada respon sangat kecil.
Diagnosis banding
Diagnosis banding poliuria:
- Polidipsia primer
- Diuresis solute: biasanya disebabkan oleh obat diuretik, hiperglikemia
Diagnosis banding hipernatremia:
- kehilangan cairan oleh penyebab lain: insensible loss dari kulit atau saluran nafas, muntah-
muntah, diare, atau penggunaan diuretic

Penatalaksanaan
1. Penggantian cairan
Defisit cairan dihitung dengan rumus berikut:
Deficit cairan (L) = [0,6 (laki) atau 0,5 (wanita)] x berat badan (kg) x [(Na plasma – 140)/140
Koreksi natrium bertahap (0,5mEq/L/jam) dilakukan untuk mencegah edema otak.
2. Terapi penyebab
DI sentral:
- analog AVP, yaitu DDAVP (desmopresin), dapat diberikan intranasal (dosis 5-20 mcg satu
atau dua kali sehari) atau oral (dosis yang dibutuhkan 0,1 – 0,8 mg/hari dengan dosis
terbagi, tablet yang tersedia 0,1-0,2 mg)
- chlorpropramide (diabenese)
DI nefrogenik:
- bila penyebabnya iatrogenic, stop obat pencetus
- Diet rendah garam
- Thiazide
- Amiloride, merupakan pilihan untuk DI nefrogenik yang dicetuskan oleh lithium
- Terapi tambahan: NSAID

Komplikasi
Dehidrasi dan gangguan elektrolit.
Paratiroid

Hipokalsemia

Definisi
Hipokalsemia adalah penurunan kadar kalsium ion dengan menyingkirkan pseudohipokalsemia
pada penderita hipoalbuminemia.

Epidemiologi
Diperkirakan angka kejadiannya mencapai 88% pada pasien yang dirawati di ruang intensif,
sedangkan di pada penderita poliklinis tidak diketahui.

Penyebab
1. Insufisiensi hormone paratiroid (PTH)
2. Kurangnya respon terhadap PTH
3. Insufisiensi vitamin D
4. Kurangnya respon terhadap vitamin D.
Hipokalsemia akut terjadi sebagai respon terhadap keadaan metabolik akut, seperti pelepasan
fosfat yang berlebihan pada rabdomiolisis.
1. Hipoparatiroidisme
Ditandai oleh hipokalsemia dan hiperfosfatemia dengan fungsi ginjal normal, ekskresi
kalsium 24 jam dalam urine rendah, kadar kalsitriol rendah.
Penyebabnya: bedah, familial, autoimun, atau idiopatik. Hipoparatiroidisme pasca
pembedahan dapat terjadi 1 – 2 hari setelah pembedahan di daerah leher, namun dapat
terjadi beberapa tahun setelahnya.
Hipokalsemia pasca operasi juga dapat dijumpai pada transfusi masif, di mana sitrat
mengikat kalsium. Pasca operasi hiperparatiroidisme dapat terjadi hipokalsemia akibat
hungry bone syndrome, di mana terjadi presipitasi cepat kalsium setelah koreksi
hiperparatiroid.
2. Pseudohipoparatiroidisme
Pada keadaan ini terjadi hipokalsemia, hiperfosfatemia, namun PTH meningkat.
Keadaan ini disebabkan oleh penurunan respon terhadap PTH, dan merupakan kelainan
herediter.
3. Defisiensi vitamin D
Defisiensi vitamin D menyebabkan sindrom ricketsia dan osteomalasia. Ricketsia terjadi
pada tulang yang sedang tumbuh, khas pada anak-anak, akibat kalsifikasi abnormal
kartilago. Osteomalasia terjadi setelah pertumbuhan terhenti, dan secara klinis sulit
dibedakan dengan osteoporosis.
Defisiensi vitamin D terjadi akibat kurangnya paparan sinar matahari, kurangnya asupan
vitamin D, atau malabsorpsi asam lemak di intestinal.
4. Penyebab hipokalsemia akut lain
Hipokalsemia dapat terjadi bersama dengan hipomagnesemia pada penderita dengan
intake kurang. Penyebab lain adalah keganasan, rhabdomiolisis, gagal ginjal akut, dan
sebagainya.

Gejala klinis
1. Gejala neuromuscular
Gejala neuromuskuler berhubungan dengan kecepatan dan beratnya derajat
hipokalsemia. Gejala paling utama: tetani, sirkumoral parestesia, spasme karpopedal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Chvostek’s sign dan Trousseau’s sign.
2. Gejala CNS
Meliputi: kejang, iritabilitas, konfusi, dan delirium. Penderita dapat mengeluh kram otot,
terutama di tungkai bawah, kaki, dan punggung bawah. Kalsifikasi di basal ganglia dapat
menyebabkan gangguan gerakan.
Laboratorium
Hasil pemeriksaan kadar kalsium harus diinterpretasikan bersama dengan kadar albumin
serum. Perhitungan dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

[4 - serum albumin (g/dL)] x 0,8 + serum Ca2++ (mg/dL) = Ca2++ terkoreksi

Penatalaksanaan
1. Kalsium
Indikasi untuk penanganan segera terhadap hipokalsemia adalah adanya gejala tetani
yang berat, stridor, atau kejang. Kalsium dapat diberikan dalam bentuk injeksi kalsium
glukonat atau kalsium klorida, bolus intra vena. Kalsium glukonat 10% dapat diberikan
dalam dosis 10-20 ml (1 -2 ampul standar) dalam 10 menit. Injeksi yang cepat dihindari
karena dapat mengakibatkan gangguan jantung.
Pada terapi yang urgen dapat diberikan dosis 1 mg/kg/jam dalam bentuk drip. Kadar
kalsium serum diperiksa setiap 4-6 jam, dosis disesuaikan untuk mencapai kadar kalsium
8-9 mg/dL.
Untuk pemberian kalsium selanjutnya, diberikan kalsium per oral. Target terapi adalah
kadar kalsium mencapai kadar normal rendah.
2. Suplemen vitamin D yaitu dalam bentuk D2 (ergokalsiferol) 50.000 – 100.000 IU per oral
per hari (1,25 – 2,5 mg/hari). Perlu dilakukan pemantauan berkala kadar vitamin D.
3. Kalsitriol, dosis 0,25 – 0,5 mcg per oral per hari

Hiperkalsemia

Epidemiologi
Hiperkalsemia sering didapatkan, prevalensi di populasi berkisar 0,2 – 4%. Penyebab paling
sering adalah hiperparatiroidisme primer dan malignansi. Sekitar 90% hiperkalsemia
asimtomatik disebabkan oleh hiperparatiroidisme.
Penyebab
1. Hiperparatiroidisme (parathyroid related hypercalcemia)
Hormon paratiroid (PTH) meningkatkan kadar kalsium melalui 3 mekanisme, yaitu:
a. meningkatkan kalsitriol yang mengakibatkan peningkatan ambilan kalsium dari saluran
cerna
b. meningkatkan absorpsi kalsium dari tulang
c. meningkatkan reabsorpsi kalsium di ginjal.
Hiperparatiroidisme disebabkan oleh adenoma, hyperplasia, atau karsinoma paratiroid.
2. Malignansi (malignansi related hypercalcemia)
3. Kelebihan vitamin D (vitamin D related hypercalcemia)
4. Penyebab lain dari bidang endokrin:
a. penyakit kelenjar tiroid
b. pheochromacytoma
c. insufisiensi adrenal
d. tumor islet cell pancreas.
5. Lain-lain:
a. imobilisasi
b. milk alkali syndrome
c. kelebihan asupan vitamin A
d. obat-obatan: diuretic thiazide, estrogen, hormon pertumbuhan, metilxantin.

Gejala klinis
Gejala hiperkalsemia berhubungan dengan kadar kalsium. Secara umum, kadar kalsium <12
mg/dL biasanya asimptomatik, dan kadar >15 mg/dL mengakibatkan gejala yang berat, seperti
koma, dan henti jantung. Gejala yang timbul adalah sebagai berikut:
1. Renal
Poliuri dan polidipsi, karena kalsium menyebabkan ginjal kurang berespon terhadap
hormone antidiuretik. Penderita mungkin juga mengeluhkan nyeri pinggang bila ada batu
saluran kencing.
2. Skeletal
Penderita hiperparatiroidisme dapat mengalami osteoporosis atau osteitis fibrosa cystica.
Penderita hiperkalsemia pada malignansi mungkin mengalami nyeri tulang akibat metastase
ke tulang atau karena fraktur patologis. Selain itu, dapat terjadi kalsifikasi metastatik di
jantung dan jaringan lunak.
3. Neurologis
Gejala neuropsikiatri bervariasi. Penderita hiperkalsemia kronik dan ringan biasanya
mengalami fatigue dan kesulitan berkonsentrasi. Pada hiperkalsemia yang lebih berat dapat
terjadi kelemahan, bingung, dan kadang-kadang koma. Keluhan lain adalah nyeri kepala,
emosi labil, dan iritabel.
4. Gastrointestinal
Mual, muntah, konstipasi, dan anoreksia. Di samping itu hiperkalsemia bisa berhubungan
dengan pankreatitis dan ulkus peptikum.
5. Jantung
Hiperkalsemia menyebabkan pemendekan interval QT pada EKG, meskipun gambaran tidak
spesifik dan tidak sensitif. Gambaran EKG yang lain adalah bradikardi, blok AV derajat 1,
ataupun variasi gelombang T abnormal seperti notch, inversi, dan penurunan amplitude.

Penatalaksanaan
Bila kadar kalsium <12 mg/dL biasanya asimptomatik dan tidak diperlukan penanganan
khusus, namun perlu dimonitor munculnya gejala atau perburukan hiperkalsemia.
Bila kadar kalsium >12 mg/dL perlu dilakukan terapi. Prinsipnya adalah meningkatkan
ekskresi kalsium melalui urine, yaitu dengan melakukan hidrasi dengan cairan NaCl 0,9% secara
agresif dalam 24-48 jam. Tindakan ini dapat menurunkan kadar kalsium 1-3 mg/dL. Bila
didapatkan ancaman terjadinya kelebihan cairan, dapat diberikan loop diuretic. Penting untuk
diingat, diuresis pada keadaan kekurangan cairan dapat memperburuk hiperkalsemia. Diuretik
tiazid adalah kontra indikasi karena meningkatkan reabsorpsi kalsium. Bila penderita
mengalami oliguria atau anuria, atau bila muncul gejala yang berat, perlu dilakukan
hemodialisis.
Penanganan jangka panjang didasarkan pada penyebab atau penyakit dasarnya.
Misalnya pada hiperkalsemia yang disebabkan oleh peningkatan resorpsi dari tulang, diberikan
bifosfonat. Obat lain yang dapat digunakan adalah kalsitonin, baik injeksi maupun spray.
Pada hiperkalsemia yang diakibatkan oleh insufisiensi adrenal, terapi definitif adalah
kortikosteroid. Kortikosteroid juga dapat digunakan pada hiperkalsemia yang disebabkan oleh
kelebihan vitamin A atau D. Kortikosteroid bekerja dengan menghambat ambilan kalsium di
saluran cerna, biasanya digunakan hidrokortison 200 mg per oral selama 3-5 hari.
Obat lain adalah ketokonazole, khususnya pada hiperkalsemia yang disebabkan oleh
kelebihan vitamin D.

Hiperparatiroidisme

Epidemiologi
Hiperparatiroidisme adalah penyebab tersering hiperkalsemia. Perbandingan wanita dan lelaki
adalah 3:1, umumnya ditemukan pada usia 60-an.
Penyebab
1. Hiperparatiroidisme primer
Disebabkan oleh sekresi PTH yang berlebihan dari satu atau lebih kelenjar paratiroid.
Sekitar 80% penyebabnya adalah adenoma benigna salah satu kelenjar tiroid.
2. Hiperparatiroidisme sekunder
Pada pasien CKD terjadi hiperparatiroidisme sekunder. Diduga pada CKD, sejalan dengan
penurunan laju filtrasi ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat dan penurunan kadar kalsium.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan sekresi PTH dalam upauya tubuh secara fisiologis
menjaga keseimbangan homeostasis kadar kalsium dan fosfat tubuh. Di samping itu
berkurangnya massa ginjal mengakibatkan penurunan produksi kalsitriol sehingga ambilan
kalsium di usus berkurang.
Patofisiologi
Hormon paratiroid (parathyroid hormone/PTH) disekresikan oleh kelenjar paratiroid
dalam bentuk peptide dengan 84 asam amino. Pengeluaran hormone ini menurun pada
peningkatan kadar vitamin D, sedangkan penurunan kadar kalsium serum akan meningkatkan
kadar PTH dalam hitungan detik. Hal ini diatur melalui reseptor kalsium di kelenjar paratiroid.
Reseptor PTH-1 juga didapatkan di ginjal, intestin, dan osteoklas.
Molekul PTH dimetabolisme di hati dan ginjal menjadi amino, segmen karboksi tengah
dan segmen karboksi terminal. Hanya segmen terminal yang aktif secara biologis

Gejala klinis
Hiperparatiroidisme lebih sering didapatkan secara incidental. Gejala yang muncul, biasanya
berhubungan dengan gejala hiperkalsemia.
Laboratorium
Hiperparatirodisme ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Pada peningkatan
kadar ion kalsium, dalam keadaan normal akan didapatkan kadar PTH intak rendah atau normal
rendah. Jika ternyata kadar PTH normal atau meningkat berarti penderita mengalami
hiperparatiroidisme.
Untuk mengetahui kemungkinan hiperparatiroidisme sekunder diperlukan pemeriksaan
fungsi ginjal BUN dan kreatinin serum, serta perlu ditanyakan tentang penggunaan obat yang
mengandung lithium dan diuretic thiazid.

Penatalaksanaan
Pembedahan
Penanganan hiperparatiroidisme primer adalah pembedahan. Indikasi pembedahan adalah:
a. Usia <50 tahun
b. Kadar kalsium serum >1 mg/dL dari batas atas kadar normal
c. Penanganan medis tidak memuaskan
d. Hiperkalsiuri berat (>400 mg/hari)
e. Penurunan densitas massa tulang sampai T score kurang dari -2,5
f. Penurunan Clcr sampai 70% dari normal.
Non pembedahan
Dilakukan penanganan terhadap hiperkalsemia, antara lain dengan hidrasi.
Akromegali

Definisi
Akromegali adalah gangguan yang diakibatkan oleh kelebihan produksi hormon pertumbuhan
(growth hormone atau GH), paling sering disebabkan oleh adenoma pituitary. Bila keadaan ini
terjadi sebelum pubertas, akan mengakibatkan hipogonadisme dan gigantism. Bila terjadi
setelah masa pubertas, biasanya terjadi insidious, dan ada jarak beberapa tahun sejak terjadi
peningkatan GH dengan munculnya gejala klinis yang dapat dikenali.

Epidemiologi
Insidennya rendah, 3 kasus/juta penduduk per tahun.

Penyebab
Adenoma pituitari anterior, dengan hipersekresi GH.

Patofisiologi
GH akan menimbulkan efek melalui IGF-1, yaitu suatu faktor pertumbuhan dan diferensiasi
yang diproduksi di hati. Kelebihan produksi GH akan mengakibatkan pertumbuhan tulang dan
kartilago yang berlebihan dan mengakibatkan terjadinya gangguan toleransi glukosa serta
perubahan metabolisme protein dan lemak.

Gejala klinis
Pertumbuhan berlebihan dari tulang skelet dan jaringan lunak akan menimbulkan gejala-gejala
berikut:
- Penderita umumnya mengeluh membutuhkan ukuran sepatu dan cincin yang lebih
besar.
- Kulit: keringat berlebihan, kulit berminyak, dan skin tag
- Muskuloskeletal: artralgia, osteoarthritis, jarang antara gigi melebar, kiposkoliosis.
- Endokrin: hipotiroidisme, termasuk gejala tidak tahan terhadap suhu dingin,
peningkatan berat badan, fatigue; hipogonadisme, termasuk menstruasi tidak teratur,
turunnya libido, infertilitas; diabetes mellitus
- Neurologi: nyeri kepala, sindrom carpal tunnel, parestesia perifer, gangguan penglihatan
- Paru: obstructive sleep apneu
- Jantung dan kardiovaskular: peningkatan massa ventrikel kiri, hipertensi
- Gastrointestinal: polip, organomegali
- Ginjal: hiperkalsiuria

Laboratorium
Untuk pemeriksaan awal: GH dan IGF-1. Bila kadar GH <0,4 mcg/L dan IGF-1 dalam batas
normal, diagnosis akromegali dapat disingkirkan.
Jika kedua tes ini abnormal, selanjutnya dilakukan tes toleransi glukosa oral 2 jam, sebagai
berikut:
1. Periksa kadar awal glukosa dan GH
2. Penderita minum 75 gram glukosa
3. Periksa kadar glukosa dan GH setiap 30 menit selama 2 jam.
Jika kadar GH menurun <1 mcg/L selama test tersebut, akromegali dapat disingkirkan. Positif
palsu dapat terjadi pada penderita diabetes, hepatitis kronis, gagal ginjal, dan anoreksia.
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan adalah MRI kepala tanpa dan dengan tanpa
kontras godalium untuk mengevaluasi adenoma pituitary.

Diagnosis banding
Diagnosis banding akromegali adalah hal-hal lain yang mengakibatkan peningkatan kadar GH,
antara lain: penggunaan GH untuk terapi, non pituitary GH-secreting tumor (sangat jarang).

Penatalaksanaan
Target terapi adalah GH <2 mcg/L atau IGF-1 dalam batas normal. Modalitas terapi:
1. Pembedahan
Merupakan pilihan terapi pada mikroadenoma, dengan tingkat keberhasilan
penyembuhan 90%.
2. Obat
- Analog somatostatin, yaitu octreotide(sandostatin) dan lanreotide (somatuline)
dalam bentuk injeksi depo setiap bulan
- Agonis dopamine, yaitu bromokriptin (parlodel) dan cabergolin (dostinex)
- Antagonis reseptor GH, yaitu pegvisomant (somavert)
3. Radioterapi
- Radioterapi fractionated konvensional dan radioterapi stereotactic (gamma knife)
Radioterapi tidak dipilih sebagai terapi primer kecuali bila pasien tidak dapat atau
menolak untuk tindakan operasi.

Komplikasi
Penderita akromegali berisiko untuk mengalami kematian dini, dan sering disertai dengan
terjadinya resistensi insulin, hipertrofi ventrikel kiri, hipertensi, karsinoma kolon, dan kematian
akibat penyakit kardiovaskular.

Keadaan khusus
Bentuk familial dari akromegali yang termasuk dalam neoplasi endokrin multiple, yaitu:
McCune-Albright syndrome dan Carney’s syndrome.
DAFTAR PUSTAKA

Akromegali

Reeds, DN. Acromegaly. In: Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The Washington
Manual Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis: Lippincott William & Wilkins, 2005. p.15-7.

Diabetes Insipidus

In: Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The Washington Manual Endocrinology
Subspecialty Consult. St Louis: Lippincott William & Wilkins, 2005. p.

Diabetes mellitus

American Diabetes Association 2004. Hyperglycemic crisis in Diabetes. Clinical Practice


Recommendation 2004. Diabetes Care;27:S94-102

Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2006, Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PERKENI).

McGill JB, DeRosa MA. Diabetes Mellitus Type 1. In: Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE
(editors). The Washington Manual Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis: Lippincott William &
Wilkins, 2005. p. 169-79.

McGill JB, Smiley DD. Diabetes Mellitus Type 2. In: Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors).
The Washington Manual Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis: Lippincott William & Wilkins,
2005. p. 180-89.

McGill JB, DeRosa MA. Diabetes Mellitus Type 1. In: Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE
(editors). The Washington Manual Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis: Lippincott William &
Wilkins, 2005. p. 169-79.

Raju B. Hypoglycemia. In: Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The Washington Manual
Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis: Lippincott William & Wilkins, 2005. p. 169-79.

Sindroma Metabolik

The IDF consensus worldwide definition of the metabolic syndrome. 2005.

Suastika K, Aryana IGPS, Saraswati IMR, Budhiarta AAG, Sutanegara IND, Kajiwara N, Taniguchi H.
Metabolic syndrome in rural population of Bali (Abstract). Intern J Obesity 2004; 28: S55.

Suastika K and Budhiarta AAG. Metabolic Syndrome in Normoglycemic Subjects (Abstract). JAFES
2005; 23 (Suppl.): S103

Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of diabetes. Estimates for the year
2000 and projections for 2030. Diabetes Care 2004; 27: 1047-1053

Hyperlipidemia

Jakoby M, Flood KL, Henderson KE. Diagnosis and standards of care and treatment for
Hyperlipidemia. In: Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The Washington Manual
Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis: Lippincott William & Wilkins, 2005. p.
Obesitas

Anonim, 1985. National Institutes of Health Consensus Development Panel on the Health
Implications of Obesity. Health Implications of Obesity. National Institutes of Health Consensus
Development Conference Statememnt. Ann Intern Med 103: 1073-1077.

Anonim, 2000. The Asia-Pacific Perspective: Obesity and Its Treatment. Health Communications
Australia Pty Limited. 2000.

Becker ES, Margraf J, Turke V, Soeder U, Neumer S, 2001. Obesity and Mental Illness in a
Representative Sample of Young Women. Int J Obes 25 (Supll 1): S5-S9.

Blundell JE, Goodson S, Halford JCG, 2001. Regulation of Appetite: Role of Leptin in Signalling
System for Drive and Satiety. Int J Obes 25 (Suppl 1): S29-S34.

Bornstein SR, Uhlmann K, Haidan A, Bornstein ME, Scherbaum A, 1997. Evidence for a Novel
Peripheral Action of Leptin as a metabolic Signal to the Adrenal Gland. Leptin Inhibits Cortisol
Release Directly. Diabetes 46: 1235-1238.

Bray GA and Greenway FL, 1999. Current and Potential Drug for Treatment of Obesity. Endocr Rev
20: 805-875.

Carey DGP, 1998. Abdominal Obesity. Curr Op Lipidol 9; 35-40.

Caro JF, Sinha MK, Kolaczynski JW, Zhang PL, Considine RV, 1996. Leptin: The Tale of an Obesity
Gene. Diabetes 45: 1455-1462.

Chagnon YC, Perusse L, Bouchard C, 1997. Familial Aggregation of Obesity, Candidate genes and
Quantitaive Trait Loci. Curr Opin Lipidol 8: 205-211.

Chinn S and Rona RJ, 2001. Prevalence and Trends in Overweight and Obesity in Three Cross
Sectional Studies of British Children, 1974-1994. BMJ 322: 24-26.

Chua S and Leibel RL, 1997. Obesity genes: Molecular and Metabolic Mechanisms. Diabetes Rev 5:
2-7.

Gortmaker SL, Must A, Perrin JM, Sobol AM, Dietz WH, 1993. Social and Economic Consequences
of Overweight in Adolescence and Young Adulthood. NEJM 329: 1008-1012.

Han TS, van Leer EM, Seidlel JC, Lean MEJ, 1995. Waist Circumference Action Levels in the
Identification of Cardiovascular Risk Factors: Prevalence Study in a Random Sample. BMJ 311:
1401-1405.

Heshka S and Allison DB, 2001. Is Obesity a Disease? Int J Obes 25: 1401-1404.

Kieffer TJ, Heller RS, Leech CA, Holz GG, Habener JF, 1997. Leptin Supression of Insulin Secretion
by the Activation of ATP- -Cells. Diabetes 46: 1087-1093.

Kissebah AH, 1997. Central Obesity: Measurement and Metabolic Effects. Diabetes Rev 5: 8-20.

Kolotkin RL, Crosby RD, William GR, Hartey GG, Nicol S, 2002. The Relationship between Health-
Related Quality of Life and Weight Loss. Obe Res 9: 564-571.
Kopelman PG, 2000. Obesity as a medical Problem. Nature 404: 635-643.

Kopelman PG and Finer N, 2001. Reply: Is Obesity a Disease? Int J Obes 25: 1405-1406.

Larsson U, Karlsson J, Sullivan M, 2002. Impact of Overweight and Obesity on Health-Related


Quality of Life- A Swedish Population Study. Int J Obe Rel Meta Disord 26: 417-424.

Leaf DA, 1990. Overweight: Assesment and management Issue. Am Family Physician 42: 653-659.

Lean MEJ, Han TS, Morrison CE, 1995. Waist Circumference as a Measure for Indicating Need for
Weight Management. BMJ 311: 158-161.

Mokdad AH, Bowman BA, Ford ES, Vinicor F, Marks JS, Koplan JP, 2001. The Continuing Epidemics
of Obesity and Diabetes in The United States. JAMA 286:

Ravussin E and Swinburn BA, 1996. Energy Expenditure and Obesity. Diabetes Rev 4: 403- 422.

Seidell JC, 1995. Overweight in Europe. Int Mon on EP & WC 4: 2-6.

Suastika K, Dwi Sutanegara, N Arhya, H Askandar Tjokroprawiro, 1999. Trp64Arg Mutation for 3-
Adrenergic Receptor Gene Among Type 2 Diabetes Mellitus Patients. The 4th International Diabetes
Federation Western Pacific region Congress. Sydney, 25-28 August 1999.

Suastika K, Tjokroprawiro HA, Andi Wijaya, 2001. Leptin levels Among Newly Diagnosed Type 2
Diabetes Mellitus Patients. 11th Asean Federation of Endocrine Societies Congress, Denpasar,
November 7-11th, 2001. JAFES 20 (Suppl.): 92.

Suastika K dkk., 2002. Data Penelitian Desa Sembiran. Belum diterbitkan.

Suastika K, Aryana IGPS, Saraswati IMR, Budhiarta AAG, Sutanegara IND, Kajiwara N, Taniguchi H.
Metabolic syndrome in rural population of Bali (Abstract). Intern J Obesity 2004; 28: S55.

Taylor SI, Barr V, Reitman M, 1996. Does Leptin Contribute to Diabetes caused by Obesity? Science
274: 1151-1152.

Van Gaal, 1994. Hyperinsulinism, Insulin Resistance and Syndrome X. Relation with Diabetes and
Atherosclerosis. Department of Endocrinology, Metabolism and Clinical Nutrition. University of
Antwerp, Belgium; 1994.

Walston J, Silver K, Bogardus C, Knowler WC, Celi FS, Austin S, Manning B, Strosberg AD, Stern
MP, Raben N, Sorkin JD, Roth J, Shuldiner AR, 1995. Time Onset of Non-Insulin-dependent
-Adrenergic-Receptor Gene. N Engl J Med 333:
343-347.

WHO, 1998. Obesity Preventing and Managing The Global Epidemic. Report of a WHO Consultation
on Obesity. Geneva, 3-5 June 1997.

Widen E, Letho M, Kanninen T, Walston J, Shuldiner AR, Groop LC, 1995. Association of a
-Adrenergic-Receptor Gene with Features of the Insulin Resistance
Syndrome in Finns. N Engl J Med 333: 348-351.

Tiroid
In: Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The Washington Manual Endocrinology
Subspecialty Consult. St Louis: Lippincott William & Wilkins, 2005. p.

Nodul tiroid

In: Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The Washington Manual Endocrinology
Subspecialty Consult. St Louis: Lippincott William & Wilkins, 2005. p.

Hipertiroidisme

Subramaniam S, Folt AF. Hypothyroidism.In: Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The
Washington Manual Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis: Lippincott William & Wilkins,
2005. p. 39-46.

Hipotiroidisme

Subramaniam S, Folt AF. Hypothyroidism. In: Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The
Washington Manual Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis: Lippincott William & Wilkins,
2005. p. 47-53.

Insufisiensi adrenal

Eng GS. Adrenal insufficiency. In: Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The Washington
Manual Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis: Lippincott William & Wilkins, 2005. p. 61-6.

Sindrom Cushing

Chen J. Cushing’s syndrome. In: Henderson, KE, Baranksy TJ, Bickel PE (editors). The Washington
Manual Endocrinology Subspecialty Consult. St Louis: Lippincott William & Wilkins, 2005. p. 76-83
GASTROENTEROHEPATOLOGI
Tim Penyusun:
1. Prof.Dr.dr. IDN Wibawa, SpPD-KGEH
2. dr. Nyoman Purwadi, SpPD-KGEH
3. dr. IGA Suryadarma, SpPD-KGEH
4. dr. Ketut Mariadi, SpPD
Hepatitis Virus Akut

Definisi
Hepatitis adalah istilah umum untuk keradangan hati yang dapat diakibatkan oleh
berbagai penyebab seperti virus, bakteri, toksin, obat, atau alkohol berlebihan. Hepatitis virus
akut adalah keradangan hati yang disebabkan virus hepatotropik. Hepatitis virus akut adalah
penyebab penyakit hati paling sering di dunia. Spektrum klinik bervariasi mulai dari
asymptomatic (inapparent), anicteric sampai gagal hati akut (hepatitis fulminan), dengan
perkecualian hepatitis akut C.

Penyebab
Penyebab hepatitis virus saat ini dikenal :
1. Virus hepatitis A, B, C, D, E.
2. Virus lain : virus Cytomegalo, Eptein-Barr, Herpes simplex.
Virus hepatitis A dan E ditularkan terutama secara enteral (feko-oral), sedangkan virus hepatitis
B,C, dan D ditularkan melalui darah atau produk darah, kontak seksual, jalur mukosa lain dan
perinatal.

Patofisiologi
Mekanisme imun yang mencakup respon sel T CD8+ dan CD4+, produksi sitokin lokal
dan sistemik, terutama bertanggung jawab terhadap kerusakan hepatosit. Virus hepatitis A dan
B tidak bersifat sitopatik. Kerusakan hepatosit yang terjadi adalah akibat respon imun inang
terhadap masuknya virus. Virus hepatitis D bersifat sitopatik. Kerusakan hepatosit akibat infeksi
virus hepatitis C terutama melalui mekanisme imun, meskipun virus hepatitis C juga bersifat
sitopatik. Virus hepatitis E belum jelas diketahui sifat sitopatogeniknya.
Gambaran patologis adalah sama yaitu : inflamasi akut pada seluruh hati berupa
nekrosis hepatosit disertai reaksi dan infiltrasi leukosit dan histiosit. Kerusakan sel hati lebih
nyata pada daerah centrilobuler. Infiltrasi mononuklear dan polimorfonuklear dijumpai pada
seluruh parenkim hati dan dapat bersifat fokal terutama sekitar hepatosit yang mengalami
degenerasi asidofilik. Juga tampak proliferasi sel Kupffer.

Gejala Klinis
Manifestasi klinik dari hepatitis virus akut dapat berupa :
A. Hepatitis virus akut khas (Typical Acute Viral Hepatitis) :
Inapparent (Asymtomatic) Hepatitis:
1. Hepatitis akut asimptomatik
Symptomatic Acute Viral Hepatitis:
1. Hepatitis akut anikterik
2. Hepatitis akut ikterik
B. Hepatitis akut yang tidak khas (Atypical Viral Hepatitis):
1. Hepatitis akut kholestatik
2. Hepatitis akut fulminant
Tanpa memandang virus penyebabnya, gambaran klinik hepatitis akut adalah hampir sama.
Secara klasik hepatitis virus akut simptomatik memberi gambaran klinik mencakup ikterus,
demam, anoreksia, nausea, muntah, arthralgia, malaise/lesu dan nyeri abdomen kanan atas.
Demam jarang dijumpai kecuali pada beberapa kasus infeksi akut virus hepatitis A. Beberapa
pasien cenderung mendapat gejala seperti flu ringan (flu-like symptoms). Ikterus dijumpai pada
30-50% kasus. Onset munculnya keluhan cenderung mendadak pada hepatitis virus akut A dan
E, sedangkan yang lainnya biasanya onset insidious. Gambaran klinik sesuai perjalanan
penyakitnya (terutama tipe ikterik)

Masa inkubasi
1. Hepatitis virus A : 15 - 45 hari
2. Hepatitis virus B : 40 - 180 hari
3. Hepatitis virusC : 30 - 150 hari
4. Hepatitis virus D : 21 - 90 hari
5. Hepatitis virus E : 22 - 60 hari
Fase preikterik (prodromal)
Biasanya berlangsung 3 - 4 hari, kadang sampai 2 - 3 minggu, dimana pada fase ini pasien
merasa tidak enak badan, mual, anoreksia, dan disertai demam ringan. Keluhan lain: nyeri perut
kanan atas, kadang utikaria, ras makulopapuler atau eritematus.
Fase ikterik
Urine berwarna kuning tua, diikuti ikterus pada sklera dan mukosa lainnya. Suhu tubuh
menurun dan keluhan berkurang seperti nafsu makan bertambah, nyeri perut dan muntah
menghilang. Gatal-gatal mungkin muncul selama beberapa hari.
Hati teraba membesar, nyeri tekan, permukaan rata pada lebih kurang 70% kasus. Pada ± 20%
penderita dijumpai splenomegali. Fase ini berlangsung 1 - 4 minggu.
Fase penyembuhan (konvalesen)
Keluhan dan gejala klinik mulai menghilang. Fase ini berlangsung 2 - 6 minggu, sedangkan
penyembuhan klinik dan biokimia biasanya berlangsung dalam waktu 6 bulan sesudah onset
penyakit.
Hepatitis akut tipe kholestatik
Muncul mendadak, ikterus lebih berat dan berlangsung lebih lama, pasien mengeluh
gatal-gatal. Berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan. Prognosis umumnya baik.
Kebanyakan dijumpai pada infeksi virus hepatitis A akut.
Hepatitis fulminant
Berlangsung sangat cepat dalam beberapa hari, sering berakhir fatal akibat terjadinya
ensepalopati hepatik, edema serebri, koagulopati, dan gagal organ multipel. Dapat terjadi pada
n hepatitis
fulminant adalah : infeksi virus hepatitis B sendiri atau bersama dengan infeksi virus hepatitis D
atau C, sedangkan virus hepatitis A lebih jarang mengakibatkan hepatitis fulminant. Pada
wanita hamil terutama trimester III, infeksi akut hepatitis virus E, sebanyak 10-20% bisa
mengalami hepatitis fulminan.

Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Rutin : darah, urine dan faeces.
b. Tes faal hati : Serum transminase (ALT dan AST), Bilirubin total dan direk, alkalifosfatase.
Penanda serologis untuk menentukan virus penyebab pada fase akut : IgM anti-HAV, IgM
anti-HBc dan HBsAg, IgM anti-HCV, IgM anti-HDV, IgM anti HEV. Bila diperlukan dapat
diperiksa IgM anti CMC dan IgM anti EBV. Untuk hepatitis C akut perlu pemeriksaan RNA-
VHC, yang mulai positip 2 minggu sesudah terpapar, sedangkan anti HCV umumnya tidak
terdeteksi sebelum 8-12 minggu.

Diagnosis Banding
a. Pada stadium pre ikterik: penyakit infeksi akut lain seperti appendicitis akut. Penanda
serologis penting untuk membedakan dengan Mononukleosis infeksiosa.
b. Pada ikterik, diagnosis banding perlu dipikirkan terhadap penyebab ikterus lain seperti :
Leptospirosis, Ikterus obstruktif ekstra hepatik, Toksoplasmosis, Hepatitis Akut karena obat,
alkohol, iskemik nekrosis dan malaria.

Penyulit
Hepatitis virus A akut biasanya sembuh sempurna.
a. Penyulit benigna dapat berupa hepatitis kronik dan pembawa virus tanpa gejala.
b. Penyulit serius dapat berupa hepatitis kronik aktif, sirosis hepatis, karsinoma hati primer.
Penyulit serius lain tetapi relatip jarang dijumpai adalah: anemia aplastik, glomerulonefritis,
vaskulitis nekrotikans, mixed cryoglobulinemia, polyarteritis nodosa. Perubahan ke arah
hepatitis virus menahun pada hepatitis akut B (dewasa) dapat terjadi pada ± 5 - 10% kasus serta
lebih dari 85% kasus Hepatitis Virus akut C. Kematian sering terjadi pada hepatitis fulminant.

Penatalaksanaan
Tidak ada terapi spesifik pada hepatitis virus akut. Hindari bahan/obat hepatotoksik dan
alkohol. Istirahat, tirah baring sampai klinik dan laboratorium membaik. Diit: kalori adekuat, bila
nafsu makan membaik : diberikan diit tinggi protein. Pada tipe fulminant dengan ensefalopati
hepatik perlu perawatan khusus dan intensif. Hepatitis virus akut B fulminan atau berat dan
berkepanjangan dapat diberi anti virus oral. Pasien infeksi hepatitis akut C dipertimbangkan
terapi anti virus dengan interferon.

Pencegahan
Program pencegahan infeksi hepatitis virus akut adalah sebagai berikut :
1. Program pencegahan non-Imunisasi
a. Pencegahan penularan infeksi non parenteral:
pendidikan kesehatan baik kepada petugas kesehatan maupun masyarakat umum yaitu
tentang cara penularan dan cara pencegahannya.
b. Pencegahan penularan infeksi parenteral:
Penyediaan fasilitas untuk sterilisasi, cairan anti septik dan alat-alat medis sekali pakai
(disposible). Seleksi donor sangat penting untuk mencegah hepatitis pascatranfusi.
2. Program pencegahan dengan Imunisasi :
a. Imunisasi aktif dengan vaksin: saat ini tersedia vaksin untuk hepatitis A dan B.
b. Imunisasi Pasif:
Imunisasi pasif menggunakan globulin serum imun (IsG) untuk hepatitis A dan HBIG
(Hepatitis B Imun Globulin) dengan titer anti HBs yang tinggi untuk Hepatitis virus B.
c. Dengan HBIG dapat mencegah infeksi VHB bila diberikan sebelum virus masuk ke dalam
tubuh atau segera setelah kontak dengan virus Hepatitis B. Untuk mendapatkan
perlindungan yang lama, maka sebaiknya pemberian HBIG segera dengan vaksinasi
hepatitis B.
d. Imunisasi pasif – aktif:
Untuk mencegah infeksi VHB vertikal atau perinatal serta pencegahan infeksi hepatitis B
setelah kontak parenteral atau kontak seksual atau melalui mukosa, maka dapat
diberikan gabungan antara HBIG (imunisasi pasif) dan vaksin hepatitis B.
e. Pemberian HBIG sebaiknya dilakukan paling lambat dalam 24 jam setelah kontak,
dengan dosis 0,06 ml HBIG per kg BB secara intra muskuler. Segera setelah itu diberikan
vaksin hepatitis B sesuai dengan protokol. Bila mungkin pemberian HBIG diulang
sebulan kemudian.
Hepatitis Kronik

Definisi
Hepatitis kronik adalah penyakit hati dengan gambaran histologis bercorak inflamasi
persisten, nekrosis dan fibrosis dalam berbagai tingkat, yang berlangsung lebih dari 6 bulan.

Klasifikasi
Klasifikasi hepatitis kronik didasarkan atas etiologi, derajat klinik, aktivitas nekro-inflamasi
(grade) dan stadium atau luasnya fibrosis (stage).

Penyebab
Virus Hepatitis, obat-obatan, alkohol, autoimun (lupoid), penyakit Wilson, defisiensi
alfa-1-antitripsin, infeksi E. Histolitika, Salmonella, Kolitis ulserosa, penyakit Crohn.

Patofisiologi
Untuk virus Hepatitis B, terjadinya berdasarkan respon imun inang terhadap virus.
Apabila respon immun adekuat, penderita akan sembuh, sedangkan bila respon imun tidak
adekuat, akan terjadi hepatitis kronik. Untuk virus Hepatitis C, etiopatogenesisnya diperkirakan
kombinasi antara respon imun inang dan efek sitopatik langsung virus pada hepatosit. Pada
hepatitis kronik autoimun kerusakan hepatosit diperantarai cell-mediated immunity.

Gejala Klinis
Pada permulaan, keluhan ringan dan tidak khas, kadang-kadang hanya lekas lelah, perut
sebah, kembung, anoreksia ringan. Sedangkan gejala-gejala seperti asites, perdarahan varises
esofagus terdapat pada fase lanjut.
Pemeriksaan Fisik
Pada permulaan fisik tidak menunjukkan gejala yang khas, kecuali yang dari permulaan
menderita hepatitis yang belum sembuh. Terdapat ikterus yang ringan, hepatomegali dengan
konsistensi kenyal, normal atau keras, lien tidak teraba. Gejala peningkatan tekanan portal:
edema, asites, perdarahan esofagus terdapat pada fase lanjut.
Pada penderita hepatitis kronik perlu dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologis guna
menentukan tipenya, berat-ringannya serta akan menetukan perjalanan penyakitnya:
Gejala Sistemik Dapat Dijumpai
artralgia atau artritis, perubahan pada kulit, pleuritis, kolitis ulserosa, perikarditis,
glomerulonefritis, miokarditis, purpura trombositopeni, kelainan kelenjar tiroid, amenore, akne,
hirsutisme.

Pemeriksaan Penunjang
1. Lab. rutin : DL, UL, FL
2.
Protein elektroforesis, Cholinesterase.
3. Penanda virus: Hepatitis B : HBsAg, HBeAg dan anti HBe, DNA-HBV;
3. Hepatitis C : Anti-VHC dan RNA-VHC kwantitatif dan genotip VHC.
4. Faal hemostasis.
5. Labortatorium spesifik sesuai etiologi misalnya ANA (anti-nuclear antibody), SMA (Smooth
muscle antibody) untuk hepatitis kronik lupoid (autoimun), dll.
6. USG hati, peritoneoskopi dengan biopsi
7. Biopsi hati untuk pemeriksaan histopatologi.

Penatalaksanaan
1. Istirahat tergantung keadaan penderita. Diit, tidak ada yang khusus, tinggi kalori, tinggi
protein, simptomatis, menghindari obat- obatan yang hepatotoksik.
2. Hepatitis kronik B, indikasi terapi antiviral :
a. Pasien hepatitis B kronis:
- HBeAg (+) dan kadar ALT> 2x batas atas normal, DNA VHB (+) > 20.000 IU/ml (≥105
kopi/mL) .
- HBeAg (-), ALT > 2x batas atas normal, DNA VHB (+) > 2.000 IU/ml ((≥104 kopi/mL)
- sebelum terapi dimulai dapat diobservasi 3 bulan untuk melihat kemungkinan adanya
serokonversi spontan.
b. Pilihan terapi: interferon konvensional atau interferon pegylated atau nukleosid analog.
Pada kasus dokompensasi hati maka pilihannya adalah nukleosid analog
3. Hepatitis kronik C, indikasi terapi anti viral:
a. Histologi biopsi hati: sedang-berat, RNA-VHC positip.
b. Pilihan terapi: kombinasi interferon pegylated dan ribavirin.
c. Antiviral tidak diberikan pada sirosis dekompensata
4. Hepatitis kronik autoimun, indikasi terapi:
a. hepatitis yang berat (AST > 10x batas atas normal atau AST > 5x batas atas normal
dengan serum globulin 2x normal; bridging nekrosis atau multilobular nekrosis pada
biops hati).
b. Prednisone 60 mg/hari, kemudian di turunkan bertahap dalam 1 bulan untuk mencapai
dosis pemeliharaan 20 mg/hari. Alternatif lain kombinasi prednisone 30 mg/hari dengan
azatioprin 50 mg/hari.
Sirosis Hepatis

Definisi
Adalah suatu penyakit hati menahun berupa kerusakan parenkhim difus yang ditandai
oleh perubahan sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sistim arsitektur
hati yang disebabkan oleh fibrosis difus, penumpukan jaringan ikat kolagen, serta regenerasi
noduler hepatosit.

Klasifikasi
A. Klasifikasi morfologis :
 Sirosis mikronoduler
(S. ireguler, septal, uniform, monolobuler, nutritional, Laeneck): septa tebal, seragam,
nodul kecil (< 3 mm)
 Sirosis makronoduler (post nekrotik)
septa bervariasi, sering lebar, nodul bervariasi : 3 - 5 mm.
 Sirosis mikro + makronoduler
merupakan bentuk campuran 1 dan 2, paling sering dijumpai.
B. Klasifikasi Etiologik :
 Sirosis oleh karena hepatitis kronik
Hepatitis virus kronik : VHB, VHC, VHD, VHG.
 Sirosis alkoholik
 Sirosis pada penyakit metabolik :
Galaktosemia, penyakit glikogen storage, defisiensi antitripsin, hemokromatosis,
penyakit Wilson, diabetes millitus, tyrosinemia, non-alcoholic steatohepatitis (NASH)
 Sirosis oleh karena bahan kimia: dose-dependent dan non-dose dependent.
 Sirosis karena gangguan nutrisi.
 Sirosis oleh karena kholestatik lama
Sirosis bilier primer dan sekunder, kholangitis sklerosing primer, atresia bilier, fibrosis
kistik.
 Sirosis kongestif/vaskuler
Sindrom Budd-Chiari, penyakit veno-oklusif: idiopatik, drug/toxin induced, dan sirosis
kardiak.
 Sirosis kriptogenik
 Sirosis sarkoid (granulomatosa)
 Indian childhood cirrhosis

Patofisiologi
Sirosis terjadi akibat nekrosis sel-sel hepatosit. Apapun penyebabnya, maka gambaran
histologis akhir adalah sama berupa perubahan arsitektur hati yang “irreversibel”. Respon hati
terhadap nekrosis bersifat terbatas berupa: kolaps lobulus hati, septa jaringan ikat fibrus yang
difus, dan terbentuknya nodul regeneratif oleh hepatosit.
Bila terjadi nekrosis hepatosit, maka jaringan retikulin kolaps terutama di daerah portal
dan zona centralis. Regenerasi sel-sel hepatosit ini mengakibatkan distorsi pembuluh darah
hati mengganggu sirkulasi portal sehingga terjadi hipertensi portal. Basal membran yang
terbentuk pada celah Disse (perisinusoidal) menyebabkan pertukaran metabolit antara darah
pada sinusoid dan hepatosit terganggu. Kerusakan arsitektur hati yang difus juga mengganggu
fungsi metabolisme hati secara keseluruhan (kegagalan faal hati).

Gejala Klinis
Manifestasi klinis sirosis dapat berupa :
A. Sirosis hepatis kompensata (Clinically latent cirrhosis)
Biasanya dijumpai pada pemeriksaan fisik dan laboratorium rutin.
Kegagalan faal hati dan hipertensi portal belum tampak nyata. Kecurigaan sirosis apabila
dijumpai penderita dengan demam ringan, spider nevi, eritema palmaris atau edema kaki
dan epistaksis yang tidak dapat diterangkan.
B. Sirosis hepatis dekompensata
Disertai dengan manifestasi klinik kegagalan faal hati dan hipertensi portal.
Gejala subjektif: non-spesifik sesuai derajat kerusakan hati.
Perut membesar, kaki bengkak, badan lemah, nafsu makan berkurang mudah kenyang, badan
mengurus, rasa tidak enak di epigastrium, kembung, mual, kelemahan otot, sakit perut kanan
atas, berak hitam atau muntah darah.
Gejala objektif
A. Manifestasi akibat kegagalan faal hati :
Spider nevi, eritema palmaris, ikterus, ginekomastia, bulu ketiak, dada dan pubis rontok,
atrofi testis, libido menurun, ensepalopati hepatik, gangguan haid dan kesuburan pada
wanita, anemia, perdarahan, hipoproteinemia, edema, asites serta efusi pleura.
B. Manifestasi klinik akibat hipertensi portal :
Varises esofagus, splenomegali, asites, hemorrhoid, sirkulasi kolateral, caput meducae.

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium rutin: urine (urobilin, bilirubinurie dan eksresi natrium menurun < 3 mEq/I)
Faeces: pemeriksaan benzidine
Darah: anemia, tanda hipersplenisme, faal hemostatik.
• Tes biokimia: serum transaminase, bilirubin, alkali fosfatase, electroforesis protein,
hipoprothrombinemia, hipokolesterolemia, waktu prothrombin memanjang, BSP,
kholinesterase dan asan empedu.
• Sero-immunologik: hipoalbumin, hiperglobulin terutama globulin gama, Ig G meningkat.
 Petanda serologis: VHB, VHC, VHD.
• Pemeriksaan penunjang lain : endoskopi dan X - foto dengan barium pada saluran makan
bagian atas, ultrasonografi, sidik hati, tomografi, analisis asites dan laparoskopi /
peritoneskopi.
• Diagnosisi pasti: diagnostik morfologik (patologi anatomi) dengan biopsi.
Penyulit
a. Akut: Ensepalopati hepatik, perdarahan saluran cerna atas (hematemesis dan melena),
peritonitis bakteriil spontan, sindrom hepato-renal, sindroma hepato-pulmonal, infeksi
lain, thrombosis vena portal.
b. Kronis: Karsinoma hepatoseluler.

Penatalaksanaan
Pengobatan bersifat non-spesifik dan suportif:
1. Eliminasi bahan toksik : alkohol, obat hepatotoksik.
2. Diit cukup kalori, vitamin dan protein, rendah garam.
3. Istirahat yang cukup.
4. Batasi asupan cairan bila edema dan asites menonjol.
5. Koreksi anemia, hipoproteinemia serta atasi infeksi.
6. Untuk edema dan asites diberi diuretik spironolakton atau amilorid, bila belum berhasil
dapat dikombinasi dengan furosemid atau asam etakrinat.
7. Asites derajat 1 /ringan (Grade 1/asites mild: hanya terdeteksi dengan USG): belum
perlu terapi, asites derajat 2/sedang (grade 2/asites moderat: distensi perut simetri dan
moderat): cukup terapi diit rendah garam dan diuretik, asites derajat 3/berat atau gross
ascites (grade 3/ asites berat/gross ascites:distensi perut berat/tegang): paracentesis
volume besar diikuti diit rendah garam dan diuretic (kecuali asites refrakter).
8. Terapi komplikasi dan terapi spesifik sesuai etiologinya bila diketahui penyebabnya.

Pemantauan
a. Kesadaran
b. Diuresis
c. Berat badan
d. Kemungkinan perdarahan SMBA dan komplikasi lainnya seperti peritonitis bakterial
spontan, ensefalopati hepatik, sindrom hepato-renal, dan sindrom hepato-pulmonal.
e. Surveilance hepatoma secara periodik dengan pemeriksaan USG dan AFP (Alfa Feto
Protein).

Prognosis
Klasifikasi Sirosis hepatis berdasarkan kriteria Child Turcotte Pugh (CTP) dapat dipakai tuntunan
untuk memperkirakan prognosis (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria Child Turcotte Pugh (CTP)


Poin CTP (modifikasi) 1 poin 2 poin 3 poin
Bilirubin (mg/dl) <2 2-3 >3
Albumin (g/dl) >3,5 2,8-3,5 <2,8
Ascites Tidak ada Ringan Sedang-berat
Encephalopathy (derajat) Tidak ada I,II III,IV
INR <1,7 1,8-2,3 >2.3
Jumlah score: klas CTP 5-6: CTP: A 7-9: CTP: B 10-15: CTP: C
Survival rate: 1 dan 2 tahun 100% & 85% 80% & 60% 45% & 35%
Kanker Hati Primer

Definisi
Kanker hati primer adalah tumor maligna dari hepatosit.

Klasifikasi
Klasifikasi sesuai dengan gambaran Patologi Anatomi :
1. Soliter (= masif; sering dengan nekrosis sentralis) : 64,4%
2. Noduler : 23%
3. Difus : 12,6%
Klasifikasi lain:
• tipe infiltratip
• tipe ekspansip
• tipe campuran infiltratip dan ekspansip
• tipe difus.
Tabel 2. Klasifikasi Sistem staging Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC)
Stadium Status Stadium Tumor Stadium Status
Performance Okuda Child-Pugh
(PS)
O (very early) Tunggal < 2cm 1 A
A (early) O Tunggal atau 3 nodul < 3cm 1-2 A-B
B (intermediate) O Multinodular 1-2 A-B
C (Advanced) 1-2 Invasi portal, N1, M1 1-2 A-B
D (Terminal) >2 3 C
Keterangan: M, metastasis; N, nodul; PS, performance status

Patogenesis
Mekanisme molekuler hepatokarsinogenesis belum diketahui dengan jelas.
Karsinogenesis tampaknya melalui beberapa tahapan proses mencakup inisiasi, promosi dan
progresi. Hepatokarsinogenesis adalah proses kompleks, mencakup multimekanisme, multistep
mulai dari sel hepatosit normal, melalui hepatitis kronis atau sirois hepatis, dan terbentuknya
nodul displastik sampai kanker hati primer. Hepatocarsinogenesis berhubungan erat dengan
perubahan kromosom, genetik dan epigenetik. Mayoritas kasus melalui sirosis hepatis, namun
efek hepatokarsinogenesis langsung juga dapat terjadi. Dua proses utama yang mengakibatkan
transformasi maligna hepatosit adalah kerusakan hati menahun dan perubahan genetik.
Gambaran histopatologis :
a.Trabekuler (sinusoidal) : bentuk terbanyak
b. Asiner (pseudoglanduler)
c. Soliter (compact)
d. Scirrhous

Gejala Klinis
Manifestasi klinis KHP sesuai dengan perkembangan penyakitnya :
I’ Stadium subklinis dini:
Keluhan belum ada, berlangsung ± 10 bulan, kadar AFP rendah.
I Stadium subklinis (Potentially curable stage):
berlangsung ± 8 - 9 bulan, ± < 4 cm (small/minute KHP), keluhan tidak spesifik. Diagnosis
dengan ultrasonografi, kadar AFP, tomografi komputer dan angiografi.
II Stadium moderat:
Manifestasi klinik nyata berupa ikterus, asites, kakheksia, metastasis.
Berlangsung ± 4 bulan, ± tumor > 9 cm.
III Stadium lanjut:
Biasanya penderita datang dalam keadaan ini. Gejala klinik khas. Stadium ini berlangsung ± 2 - 3
bulan dan diakhiri kematian.
Keluhan yang sering dijumpai:
Lemah, nyeri perut kanan atas, anoreksia, perut terasa penuh, berat badan menurun,
perut membesar, kaki bengkak, demam, mata kuning, hematemesis melena dan nyeri tulang.
Pemeriksaan fisik:
Asites dapat dijumpai, teraba massa berbenjo-benjol di perut kanan atas
(hepatomegali), ikterus, splenomegali dan oleh karena sering berasal dari sirosis hati, maka
gejala hipertensi portal dan kegagalan faal hati dapat dijumpai. Yang bukan berasal dari sirosis
hepatis maka pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai tanda hipertensi portal dan kegagalan faal
hati.

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium rutin: DL, UL, FL.
• Tes faal hati: bilirubin total, direk, transaminase, alkalifosfatase, gama glutamyl- transpeptidase;
HBsAg, HBsAb, HBcAb, Anti-HCV, Alfa fetoprotein, Prothrombin time, activated partial
thromboplastine time, faal koagulasi lain, pemeriksaan biokimia darah lengkap, X-foto thorak.
• Pemeriksaan imaging: ultrasonografi hati, CT scan abdomen, MRI Hati, sidik hati.
• Bila massa positip, maka untuk memperkirakan kemungkinan reseksi: arteriografi hepatik.
• Biopsi hati: memastikan diagnosis.

Kriteria Diagnosis
• Diagnosis sitohistologi (terutama lesi < 2 cm)
• Diagnosis radiologis pada pasien sirosis (lesi hipervaskular >2 cm fase arteri pada 2 modalitas
imajing berbeda)
• Diagnosis radiologi/ biomarker pada pasien sirosis (lesi hipervaskular > 2 cm fase arteri pada 1
modalitas imajing ditambah serum alfa fetoprotein > 400 mg/ml).

Diagnosis Banding
• Abses hati
• Tumor hati lain

Penyulit
• Metastasis
• Ruptura hati spontan
• Sindrom paraneoplasia
Penatalaksanaan
Modalitas terapi pada penatalaksanaan KHP:
a.Pembedahan:
• Reseksi
• Transplantasi
b. Terapi loko-regional:
• Injeksi etanol perkutan (PEI)
• Ablasi radiofrequensi (RFA)
• TransArterial Chemo Embolisation (TACE).
• TransArterial Radio Embolisation
• Internal radiation (I131, Y90)
c. Terapi sistemik:
• Terapi molekuler target.
• Terapi simtomatik.

Terapi sesuai stadium penyakit:


1. Terapi stadium O (very early stage) dan A (early stage) (curative treatments): Pilihan: reseksi,
transplantasi hati, RFA (radiofrequency ablation) atau PEI (percutaneous ethanol injection),
sesuai dengan kondisi klinik yang menyertai;
2. Terapi stadium B (intermediate stage): TACE Trans Arterial Chemo Embolisation
3. Terapi stadium C (Advanced stage): sorafenib. Terapi stadium B dan C tergolong paliatif.
4. Terapi stadium D (Terminal stage): simtomatik (lihat Gambar)
Gambar 1. Pilihan terapi kanker hati primer sesuai sistim staging BCLC (Barcelona Clinic Liver
Cancer)
PST: performance status test; RFA: radiofrequency ablation; PEI percutaneous ethanol injection;
TACE: Trans Arterial Chemo Embolisation.

Prognosis
Ketahanan hidup 5 tahun adalah 50-70% pada stadium 0 dan A yang mendapat terapi
kuratif (20-30% pasien), ketahanan hidup 3 tahun sebesar 10-40% pada stadium B dan C yang
mendapat terapi paliatif (50-60%), serta ketahanan hidup kurang dari 3 bulan pada stadium D
dengan terapi simtomatik (10-20%).
Ensefalopati Hepatik

Definisi
Suatu sindrom neuropsikiatrik yang ditandai oleh perubahan kesadaran, penurunan
fungsi intelektual dan kelainan neurologis yang dapat dijumpai pada kegagalan sel-sel hati akut,
kegagalan faal hati fulminant atau pada penyakit hati menahun, ensepalopati porto-sistemik,
dengan atau tanpa sirkulasi kolateral yang spontan atau pasca bedah.

Klasifikasi
Terdapat tiga tipe Ensefalopati hepatik (EH) yaitu:
Tipe A: EH berhubungan dengan gagal hati Akut.
Tipe B: EH dengan pintasan (Bypass) porto-sistemik dan tanpa penyakit hepatoseluler intrinsik.
Tipe C: EH berhubungan dengan sirosis (Cirrhosis) atau hipertensi portal atau pintasan porto-
sistemik.
Tabel 3. Klasifikasi EH
Tipe Diskripsi Subkategori Subdivisi
A EH berhubungan dengan gagal hati Akut. - -
B EH dengan pintasan (Bypass) porto- - -
sistemik dan tanpa penyakit
hepatoseluler intrinsik.
C EH berhubungan dengan sirosis EH Episodik Precipitated
(Cirrhosis) atau hipertensi portal/ Spontaneous
pintasan porto-sistemik. Recurrent
EH Persisten Mild
Severe
Treatment dependent
EH Minimal -

Patofisiologi
Bersifat multifaktorial, belum seluruhnya dipahami secara rinci. Retensi metabolit yang
bersifat toksik, yang berasal dari pemecahan protein oleh bakteri usus, diduga memegang
peranan penting. Akibat kerusakan sel-sel hati serta terbentuknya sirkulasi kolateral, baik intra
maupun ekstra hepatal, mengakibatkan bahan-bahan toksik dalam sirkulasi portal tidak dapat
dimetabolisir di hati dan dengan mudah mencapai serta tertimbun dalam otak sehingga
akhirnya mengakibatkan gejala-gejala neuropsikiatrik.
Ensepalopati hepatik adalah suatu gangguan metabolisme atau neurofisiologik, tidak
dijumpai lesi struktural pada susunan saraf pusat. Bahan-bahan yang diduga bersifat toksik
seperti amoniak, merkaptan, asam lemak dan lainnya berperan dan bekerjasama dalam
menimbulkan gejala-gejala ensepalopati hepatik (EH).
Mekanisme ensepalopati porto-sistemik diduga akibat peranan toksin melalui :
a. perubahan transmisi neurosinaps
b. perubahan fungsi membran neuron
c. gangguan metabolisme energi otak
Pada kegagalan faal hati fulminant proses terjadinya begitu cepat, sehingga diduga
faktor berperan adalah masuknya bahan toksik ke otak secara tiba-tiba, menghilangnya bahan
pelindung serta perubahan permeabilitas dan integritas seluler pembuluh darah otak serta
adanya edema serebri.
Hipotesis EH:
1) Hipotesis intoksikasi: substansi yang mengganggu atau merusak fungsi dari susunan saraf
pusat tidak didetoksifikasi secara adekuat oleh hati yang sakit dan atau melewati hati tanpa
dimetabolisme karena adanya pintasan sirkulasi kolateral.
2) Hipotesis neurotransmitter: bagian dari kelainan pada reseptor postsinap: pembentukan
neurotransmitter palsu seperti oktopamin dan feniletanolamin akibat akumulasi fenilalanin
dan tirosin, penurunan neurotrasmiter eksitatoris seperti dopamine dan noradrenalin, dan
peningkatan neurotransmiter inhibisi seperti GABA dan serotonin
3) Hipotesis defisiensi: tidak tersedianya substansi yang penting untuk berfungsinya sistem
saraf pusat atau tersedia dalam jumlah yang tidak cukup akibat kerusakan hati yang berat.
Hipotesis ini berhubungan dengan branched-chain amino acid (BCAA), defisit selular
terhadap Zinc, potassium, Mg dan asam lemak tidak jenuh.
4) Neurotoksisitas sinergis: tidak satupun substansi ini atau mekanismenya tidak komagenik,
namun jika ada pada waktu yang bersamaan, meskipun dalam jumlah yang sedikit, dapat
menyebabkan terjadinya EH. Neurotoksisitas ammonia dapat ditingkatkan oleh substan lain,
seperti merkaptan, fenol, asam lemak rantai pendek.
5) Hipotesis gliopati primer: detoksifikasi ammonia di serebral dengan pembentukan
glutamine terjadi pada astrosit. Ammonia berikatan dengan α-ketoglutarat untuk
membentuk glutamate atau dirubah secara enzimatis melalui glutamine sintetase untuk
membentuk glutamine. Hanya astrosit yang memiliki glutamine sintetase untuk
detoksifikasi ammonia. Kelebihan ammonia dan glutamine menyebabkan sel glia bengkak
karena meningkatnya intake air. Di sisi lain akan terjadi defisiensi glutamate yang
mengganggu neurotransmisi glutamatergik. Sehingga aktivitas inhibisi lebih dominan dari
eksitasi.

Gejala Klinis
Gambaran klinis EH:
a. Gangguan neuropsikiatrik berupa perubahan kesadaran dan intelektual dalam berbagai
tingkat, kelainan neurologis seperti astereksis (flapping tremor) serta kelainan
elektroensefalografi (EEG).
b. Tanda-tanda kegagalan faal hati.
c. Gejala-gejala yang berhubungan dengan faktor pencetus.

A. Gejala neuropsikiatrik:
a. Tingkat/derajat kesadaran:
Fase awal hipersomnia, selanjutnya irama tidur berubah menjadi terbalik.
Tanda dini lain: berkurangnya gerakan spontan, sering melamun, apatis, respon lambat dan
pendek. Perubahan lebih lanjut berupa respon yang terbatas hanya terhadap rangsang kuat
dan selanjutnya berakhir dengan koma.
b. Kepribadian:
Perubahan kepribadian pada ensepalopati porto-sistemik bervariasi. Perhatian terhadap
orang dan sekitar berkurang, bersikap seperti anak-anak. Perubahan kepribadian antara
euforia dan depresi. Psikosis jarang merupakan manifestasi awal.
c. Fungsi intelektual
Bervariasi dari ringan sampai berat. Penderita tidak dapat membedakan benda dengan
bentuk, ukuran serta fungsi serupa.
d. Bicara:
Bicara lambat dan tidak jelas, suara lemah dan monoton.
B. Gejala neuromuskuler:
a. Fase dini (awal):
Sering dijumpai astereksis (flapping tremor), hiperefleksi, klonus.
b. Perubahan lebih lanjut:
Sering meyeringai, timbul refleks menggenggam dan mengisap, serta gangguan penglihatan
c. Stadium akhir:
Astereksis menghilang, refleks tendon melemah, refleks kornea dan pupil melemah sampai
menghilang.

Tabel 4. Kriteria EH West-Haven

C. Faktor Pencetus :
a. Adanya infeksi, sepsis
b. Perdarahan SMBA
c. Gangguan keseimbangan elektrolit akibat :
a. pemberian diuretik berlebihan
b. pengeluaran cairan asites berlebihan
d. Obat: penenang atau antidepressant.
e. Azotemia, alkalosis, diet protein yang berlebihan, konstipasi, pembedahan, hepatitis akut,
penghentian obat.

Pemeriksaan Penunjang
1. Ammoniak: peningkatan kadar ammoniak tidak sebanding dengan derajat ensepalopati.
Pemeriksaan ammoniak darah tidak selalu diperlukan dalam menegakkan diagnosis EH.
2. Tes faal hati :
Pada kegagalan faal hati fulminan terjadi disfungsi hati yang berat. Tes faal hati sesuai
dengan derajat kelainan parenkhim hati.
3. Elektroensefalografi (EEG) :
Bersifat sensitif tetapi tidak spesifik. Aktivitas elektrik otak melambat, mungkin dijumpai
adanya voltase tinggi dan kadang-kadang ada gelombang lambat “slow wave”.
4. Pemeriksaan laboratorium lain :
Biasanya dikerjakan untuk mencari adanya komplikasi, memisahkan diagnosis banding serta
melihat gangguan metabolisme lain: pemeriksaan darah lengkap, PT, PTT, elektrolit, ureum,
kreatinin, glukosa darah, serum amilase, kalsium, fosfor, magnesium dan urinalisis.

Penyulit
Kegagalan faal ginjal, septikemia, gangguan hemodinamik dan faal koagulasi.

Penatalaksanaan
Target terapi pada EH overt:
1) EH episode akut:
a) Mengatasi faktor pencetus.
b) Perbaikan status mental
c) Evaluasi untuk kemungkinan transplantasi hati
2) Penatalaksanaan rawat jalan setelah episode EH:
a) Pencegahan episode EH berulang.
b) Perbaikan aktivitas sehari-hari.
c) Evaluasi untuk kemungkinan transplantasi hati

I. Tatalaksana Umum
Secara umum penanganan EH pada kegagalan faal hati fulminan dan ensepalopati porto-
sistemik adalah sama. Standar pengobatan adalah mencari, menghindari dan mengatasi
faktor pencetus, memberi vitamin dan kalori yang cukup. Penatalaksanaan pasien EH di
Rumah Sakit terutama tertuju pada upaya suportif, mengatasi faktor pencetus, dan terapi
laktulosa dan atau rifaximin. Untuk pasien rawat jalan disamping mencegah kekambuhan,
laktulosa dan rifaximin terbukti bermanfaat. Pertahankan keseimbangan cairan, elektrolit
serta kebutuhan energi.
Terdapat beberapa opsi terapi untuk EH yaitu: mengurangi produksi amonia, meingkatkan
fiksasi dan atau ekskresi ammonia, direct neurological action dan modifikasi kolateral porto-
sistemik.
II. Tatalaksana Khusus
a. Penanggulangan faktor pencetus
b. Nutrisi: minimal 1600 kalori per hari ( 25-35 kcal / kgBB dan ≥ 200 g karbohidrat untuk
mencegah katabolisme protein), lewat jalur oral, parenteral atau intra-gaster.
Sumber nutrisi utama biasanya glukosa, perlu diberi tambahan vitamin
c. Mengurangi produksi amonia dan jumlah substansi nitrogen :
• Mengurangi diit protein: pada kegagalan hati berat diberi diit bebas protein, untuk
selanjutnya dinaikkan 10 - 20 gram setiap 2 - 5 hari, bila keadaan klinik membaik.
• Diit protein khusus: pilih protein nabati. Untuk mengoreksi gangguan keseimbangan
asam amino rantai cabang dan asam amino aromatik diberi cairan yang kaya akan
asam amino rantai cabang.
• Lavement: membersihkan saluran cerna merupakan langkah esensial. Diusahakan
defekasi 2 - 3 sehari.
• Mengubah flora kolon:
- Antibiotika: neomisin 3 - 6 gram dalam 24 jam, kemudian diturunkan 1-2 gram
sehari. Pilihan lain metronidazol 2x250mg selama 7 hari atau aminoglikosida lain.
Pilihan lain: paramomisin 4x500mg atau rifaximin 3x200mg/hari.
- Laktulosa: 4x 15-30ml.
d. L-ornithine-L-aspartate (LOLA) menurunkan kadar ammonia darah dengan menyediakan
substrat untuk perubahan metabolik intraseluler dari ammonia menjadi urea dan
glutamine. Dari hasil uji klinis menunjukkan LOLA menurunkan kadar ammonia dan
memberikan keuntungan pada pasien EH kronis derajat ringan sampai sedang.

Gambar 2. Algoritme penatalaksanaan EH


KOLITIS

Batasan
Kolitis adalah keradangan mukosa kolon.

Etiologi
1. Infeksi, antara lain: Amebiasis, shigellosis, tuberkulosis, kolitis pseudomembran, parasit,
dan lain lain.
2. Non infeksi, antara lain: Kolitis ulserosa, penyakit Crohn, radiasi, isekemia, dan non
spesifik.
3. Sindroma kolon iritatif.

Patofisiologi
Sebab-sebab di atas akan memberi gejala diare dan segala akibatnya. Diare terjadi, karena:
1. Motilitas usus yang meningkat.
2. Permiabilitas mukosa/vaskuler yang meningkat.
3. Absorbsi mukosa yang terganggu.
4. Adanya “solute” intra luminal yang secara osmotik tidak terserap.

Gejala Klinis
Gejala pokok adalah diare dengan segala ikutannya.
Gejala tambahan anata lain: Nyeri perut, perut kembung, demam, obstipasi, anoreksia,
tenesmus, menurunnya berat badan, dan lain-lain.
Gejala yang “agak khas”:
1. Amebiasis
Sebelum defekasi nyeri pada perut, tinja sedikit tetapi sering, bercampur lendir, darah,
dan nanah, keadaan umum baik.
2. Shigellosis
Kadang nyeri perut, demam tinggi, diare cair yang banyak, keadaan umum sakit berat.
3. Tuberkulosis
Ada proses Tuberkulosis di tempat lain, pemeriksaan perut: chess board like
phenomenon.
4. Pseudomembranosa
Terjadi diare dan demam umumnya setelah pemberian antibiotika selama 6 minggu.
5. Radiasi
Diare umumnya terjadi setelah 2 minggu pemberian radio terapi, dan membaik setelah
radiasi dihentikan.
6. Sindroma kolon iritatif
Nyeri perut yang diffus, diare atau konstipasi dengan tinja “pencil stool”.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan penderita bervariasi tergantung etiologi dan beratnya penyakit. Kadang-kadang
ditemukan nyeri tekan pada abdomen, suara peristaltik dapat meningkat atau menurun.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan lab rutin
2. Kultur tinja
3. Elektrolit, serologis
4. Foto - X dengan barium enema
5. Kolonoskopi dan biopsi - PA

Diagnosis
Diagnosis disimpulkan atas gabungan dari anamnesis, fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Pasti
1. Ditemukan kuman penyebab pada tinja/kultur
2. PA yang khas pada penyakit tertentu antara lain: Tuberkulosis, penyakit Crohn, Kolitis
Ulserosa
3. Terapi percobaan
Diagnosis Banding
1. Peradangan usus yang lain seperti: appendisitis
2. Gangguan pada organ di rongga panggul umpama: keradangan panggul
3. Nyeri perut pada kolik ureter sering diikuti defikasi yang agak sering.
Diferensial Yang Lain
Dari sifat tinja penderita antara lain:
1. Bentuk cair (air lebih banyak dari isi tinja) sering terjadi pada gangguan emosi, peradangan,
usus yang pendek.
2. Bentuk lembek (“semi formed”), warna pucat, tidak berbentuk, bau amis, sering terdapat
pada malabsorbsi.
3. Tinja berdarah, disertai nyeri perut, tenesmus, sering terjadi pada amebiasis, shigellosis,
enteritis regionalis, kolitis ulserosa, proktitis, anusitis.
4. Tinja dengan banyak lendir, tanpa darah dan pus, sering terdapat pada gangguan peristaltik
kolon yang meningkat.

Penyulit
Umum
Akibat diarenya, dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit, defisiensi mineral, under
nutrisi, daya tahan menurun, infeksi sekunder. Defisiensi vitamin K, C bisa menyebabkan
perdarahan.

Spesifik
Amebiasis, dapat menyebabkan infeksi/abses organ lain, ameobama; intususepsi, perforasi,
peritonitis, striktur, megakolon, prolaps rekti, hemorrhoid, fistula, artritis, konjunktivitis.

Penatalaksanaan
Umum
1. Istirahat, tergantung keadaan penderita
2. Diit, tidak spesifik:
a. Cukup cairan, elektrolit, bila perlu tambah oralit
b. Cukup kalori dan protein
c. Konsistensi lunak, tidak merangsang peristaltik
3. Obat-obatan:
a. Tetrasiklin 4 kali 500 mg
b. Ko-trimokzasol 2 kali 400 mg
c. diberikan selama 3-5 hari
4. Anti diare dipertimbangkan
5. Bila diagnosis pasti sudah tegak, maka diberi obat-obatan yang spesifik untuk penyakit
tersebut.

Spesifik
1. Amebiasis: Metronidazol, klorokuin, tetrasiklin
2. Tuberkulosis: Rifampicin, Ethambutol, INH
3. Shigellosis: Sulfonamid, tetrasiklin, neomisin, kanamisin, ampisilin, dan lain sebagainya.
4. Kolitis ulserosa: Kortikosteroid, sulfa salazin, azathioprin.
Kolesistitis Akut

Definisi
Kolesistitis akut adalah radang akut pada kandung empedu.

Patofisiologi
Lebih dari 90% berhubungan dengan sumbatan batu empedu pada duktus sistikus.
Radang akut pada kandung empedu diakibatkan efek toksik garam empedu dan kemungkinan
infeksi bakteriil sekunder. Adanya obstruksi dan sekresi berlanjut dari kandung empedu
mengakibatkan tekanan intraluminal meningkat. Tekanan yang menigkat mengakibatkan
iskemia, nekrosis dan gangren pada dinding kandung empedu. Enzim pankreas yang mengalami
regurgitasi dapat mengakibatkan kholesistitis akut. Infeksi bakteriil pada septikemia pasca
operasi abdomen juga dapat menjadi penyebabnya.
Sedikitnya 3 faktor berperan pada patogenesis kolesistitis yaitu :
1. Keradangan mekanis, akibat peningkatan tekanan
2. Keradangan kimiawi, disebabkan pelepasan lisolesitin karena kerja enzim fosfolipase pada
lesitin empedu
3. Keradangan bakteriil
Gambaran patologi kandung empedu tampak membesar, berwarna merah keabu-abuan
dengan cairan empedu yang keruh atau bahkan purulent. Adhesi pembuluh darah tampak pada
organ berdekatan. Apabila sebelumnya pernah meradang, maka dinding menebal dan
kontraksi. Secara histologis tampak perdarahan, edema, infiltrat dan berubah menjadi fibrosis
setelah penyembuhan.

Gambaran Klinis
Gejala klinis bervariasi dari radang ringan sampai bentuk gangren yang berat pada
dinding kandung empedu. Serangan akut sering merupakan eksaserbasi dari radang menahun.
Sering dijumpai pada wanita gemuk, usia pertengahan. Keluhan utama adalah nyeri perut
mendadak di hipokhondrium kanan atau epigastrium dan menyebar ke angulus scapula kanan
dan bahu kanan dan jarang sekali ke bahu kiri. Nyeri biasanya datang tengah malam atau pagi
hari. Serangan nyeri sering didahului makan terlalu banyak terutama makanan berlemak. Sering
disertai mual dan perut kembung, tetapi jarang sampai muntah. Muntah timbul bila terdapat
batu pada saluran empedu bagian distal.
Pemeriksaan fisik: demam tidak terlalu tinggi, bila ada kholestasis dapat disertai
menggigil dan ikterus. Pergerakan perut terbatas, nafas tertahan, distensi abdomen lokal dan
otot dinding perut kanan atas mengalami kekakuan. Kandung empedu yang tegang dan
membesar menyebabkan pemeriksaan tanda Murphy positif. Juga tanda “fist percusion”,
kepalan tangan kanan yang dipukulkan pada punggung tangan kiri yang diletakkan diatas arcus
costarum kanan, menimbulkan rasa nyeri dianggap sebagai tes positif.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah: leukositosis lebih dari 10.000/cmm dengan gambaran lekosit
polimorfonuklear.
2. Tes faal hati: serum bilirubin bias meningkat ringan, serum aminotransferase juga bias
meningkat ringan, tetapi biasanya kurang dari 5 kali harga normal.
3. Pemeriksaan penunjang :
4. Foto sinar tembus abdomen; mungkin ditemukan batu empedu
5. Kholesistogram: pada serangan akut kandung empedu non-fungsionil.
6. Ultrasonografi: mungkin dijumpai batu, gambaran “double layer” dan penebalan dinding
kandung empedu.

Diagnosis Banding
1. Pankreatits akut
2. Abses hepar
3. Divertikulitis pada fleksura hepatika
4. Ulkus peptikum dengan perforasi
5. Appendicitis retrocecal
6. Infark miokard akut
7. Pleuritis diafragmatika
Penyulit
Komplikasi yang mungkin timbul: empiema kandung empedu, gangren dan perforasi,
kholangitis, abses hepar, peritonitis dan septikemia.

Penatalaksanaan
A. Terapi Konservatif:
a) Umum :
i) Istirahat atau tirah baring mutlak.
ii) Diit: lunak, mudah cerna, cukup cairan, kalori dan elektrolit, rendah atau bebas
lemak.
iii) Bila muntah hebat diberi nutrisi parenteral
b) Obat-obatan :
i) Simptomatik: Antipiretik untuk demam, analgetik atau petidin, atropin untuk
mengatasi rasa nyeri.
ii) Antibiotika: Spektrum luas terutama untuk bakteri enterik.
Tetrasiklin, ampisilin, sefalosporin parenteral atau kalau perlu dikombinasi dengan
aminoglikosida atau metronolidazol.
B. Terapi pembedahan:
Tindakan pembedahan yaitu Kolesistektomi.
Pankreatits Akut

Definisi
Radang akut pankreas.

Patofisiologi
Penyebab terbanyak di USA adalah Cholelithiasis dan alkohol. Penyebab lain bisa:
trauma perut, post operasi dan post ERCP, metabolik (hipertrigliceridemia, hipercalcemia dan
gagal ginjal), infection (mump, viral, bacterial, ascariasis ), obat (azathioprine, sulfonamide,
thiazide). Pada penyebab cholelithiasis, terjadi sumbatan saluran empedu sehingga terjadi
peningkatan tekanan intra duktus dan terjadi aktivasi enzim pankreas di level acinus yang
menyebabkan “auto digestion”. Mekanisme pada penyebab lain, belum diketahui dengan pasti,
masih dijelaskan dengan berbagai hipotesis.

Gambaran Klinis
Bervariasi mulai dari yang ringan (local edematous pancreatitis) sampai yang berat
disertai dengan gagal organ dan syok (diffuse necrotizing pancreatits). Penderita biasanya
datang dengan keluhan nyeri mendadak di perut atas (epigastrium) yang dirasakan tembus ke
punggung, dapat disertai mual dan muntah.
Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan: sub febris, takikardia dan hipotensi disertai
dengan nyeri perut atas/epigastrium, menurunnya suara peristaltic usus dan kadang teraba
massa di perut atas. Juga bisa didapatkan Cullen’s sign dan Turner’s sign.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pada pemeriksaan laboratorium bisa didapatkan: Peningkatan amylase dan lipase,
hipercalcemia, hipertriglicerida, hiperglicemia, gangguan tes faal hati, hipoalbuminemia,
dan hipoksemia.
2. Foto polos abdomen: Bisa menunjukkan gejala ilius yang tidak spesifik untuk pankreatitis
akut
3. Ultrasonografi bisa menunjukkan lesi di pankreas, tapi seringkali gagal oleh karena
banyaknya gas di saluran cerna.
4. CT Scan dapat memastikan jenis dan luasnya lesi di pankreas.

Differential Diagnosis
Beberapa hal yang bisa menimbulkan nyeri perut atas antara lain: ulkus peptikum, cholecystitis
akut, akut intestinal obstruksi, ureter kolik, appendicitis akut (retro caecal), infark miokard.

Penatalaksanaan
1. Hal hal yang perlu dilakukan:
2. Berikan analgesik, misalnya meperidine
3. Berikan cairan elektrolit atau koloid
4. Puasa
5. Dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik bila ada tanda-tanda infeksi atau profilaksis
pada pankreatitis akut necrotican
6. Faktor pencetus hendaknya di eleminasi
7. Dapat dipertimbangkan pemberian somatostatin drip.

Penyulit
Penting sekali untuk mendeteksi pasien yang akan mengalami risiko mendapat komplikasi.
Beberapa kriteria berat ringannya Pankreatis bisa didapatkan di buku ajar, seperti Kriteria
Ranson, Apache II dan lain sebagainya.
Penyulit sistemik yang bisa terjadi: syok, perdarahan saluran cerna, ilius, obstructsi saluran
empedu, pleural effusion DIC, ARDS.
Penyulit focal: pancreatic necrosis, pancreatic pseudocyst, pancreatic abses dan pancreatic
ascites.
Gastritis

Definisi
Gastritis adalah peradangan mukosa lambung, dibedakan menjadi gastritis akut dan gastritis
kronik.

GASTRITIS AKUT
Etiologi
1. Obat-obatan : aspirin, fenilbutason, alkohol, dan bahan korosif
2. Infeksi H-pylori
3. Penyakit berat : luka bakar, pembedahan, sepsis
4. Refluks cairan empedu

Gejala Klinis
1. Mual dan muntah
2. Nyeri epigastrium
3. Hematemesis, melena (pada kasus yang berat)

Pemeriksaan Fisik
1. Nyeri tekan epigastrium
2. Gejala komplikasi : anemia, perdarahan

Pemeriksaan Penunjang
1. Endoskopi (esofagogastroduodenoskopi) pada kasus yang berat: tampak berbagai erosi
sampai perdarahan (karena erosi akut).

Patogenesis
1. Aspirin menurunkan produksi prostaglandin (merubah sitoproteksi)
2. Alkohol merusak lapisan mukus dari mukosa lambung
3. Infeksi : H pylori menyebabkan peradangan akut mukosa lambung
4. Patologi, ditemukan infiltrasi sel radang akut (kebanyakan netrofil) pada mukosa
lambung

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis (seperti riwayat minum NSAID, peminum alkohol yang
berat), pada pemeriksaan fisik dijumpai nyeri epigastrium (walaupun tidak khas), Untuk kasus
yang berat gambaran endoskopi dijumpai erosi superficial.

Penatalaksanaan
1. Terapi penyebab dan terapi simtomatik
2. Pada perdarahan gastrointestinal : diberikan Inhibitor pompa proton (omeprazol)

GASTRITIS KRONIS
Etiologi
1. Infeksi H pylori ( pada kebanyakan kasus)
2. Pemakaian NSAID yang lama
3. Peminum alkohol yang lama
4. Terkait dengan penyakit autoimun
5. Kelanjutan dari gastritis akut

Gambaran Klinis
1. Kebanyakan keluhannya minimal (rasa tidak nyaman saat makan)
2. Rasa nyeri di perut bagian atas dalam jangka lama (Dispepsia)
3. Anemia (perniciosa)
4. Mirip dengan gejala gastritis akut (yang berlangsung lama)

Pemeriksaan Penunjang
1. Endoskopi dan biopsi (histopatologi)
2. Antibodi sel parietal

Patogenesis
Infeksi H pylori menyebabkan peradangan kronis pada mukosa lambung (terjadi infiltrasi sel
plasma dan limfosit yang dominan).
Pada gastritis kronis dominan antrum: terjadi peningkatan asam lambung. Sedangkan pada
gastritis kronis yang dominan pada korpus: terjadi keadaan asam lambung yang rendah.

Diagnosis
1. Klinis Dispepsia
2. Endoskopi (EGD) : mukosa lambung hiperemis, edema
3. Anemia perniciosa dan antibodi sel parietal positif (pada gastritis autoimun)

Komplikasi
1. Adeno karsinoma
2. Ulkus lambung
3. Ulkus duodenum
4. Perdarahan gastrointestinal
5. Maltoma

Penatalaksanaan
1. Pengobatan terhadap penyebab (Eradikasi H pylori)
2. Pengobatan teradap komplikasi
3. Vitamin B12 (pada anemia perniciosa)
Ulkus Peptikum

Definisi
Merupakan penyakit saluran cerna bagian atas, ditandai oleh kerusakan atau hilangnya jaringan
yang berbatas tegas dari mukosa, submukosa dan lapisan otot, yang langsung berhubungan
dengan asam lambung dan pepsin.

Lokalisasi
Tempat yang sering terjadi ulkus peptikum:
- Esofagus bagian bawah
- Lambung :
 Kurvatura minor
 Antrum
 Pilorus
- Duodenum :
 Bulbus duodenum
 Divertikel Meckle (mengandung kelenjar lambung)
 Pasca operasi Billrot I/II

Patofisiologi
Terjadinya ulkus umumnya karena ketidakseimbangan antara faktor yang merusak dan faktor
yang melindungi mukosa lambung dari paparan asam lambung. Faktor lain yang berperan
adalah: gangguan motilitas lambung-usus, infeksi Helikobakter pylori, autoimun, dan lain-lain.
Terdapat dalam 2 bentuk:
1. Ulkus ventrikuli, akibat ketahanan lambung yang berkurang
2. Ulkus duodeni, akibat asam lambung yang berlebihan

Gejala Klinis
Keluhan utama adalah nyeri epigastrium, dengan tanda khas :
 Kronik (bulanan/tahunan)
 Periodik (remisi dan eksaserbasi)
 Iramanya ritmik (seperti : lapar-nyeri–makan-nyeri hilang)
 Kualitasnya (menetap/kontinyu)
Pada keadaan yang berat, pola tersebut berubah, nyeri dapat lebih lama dan lebih berat,
kadang-kadang dirasakan pada tengah malam. Sering dijumpai gejala dari komplikasinya.
Pemeriksaan fisik:
 Umumnya minimal
 Nyeri tekan tidak khas pada epigastrium
 Gejala komplikasi

Pemeriksaan Penunjang
 Endoskopi esofagogastroduodenal dan biopsi
 Foto saluran cerna dengan kontras (upper gastrointrointestinal study)
 Petanda infeksi H pylori : (serologi H pylori, Tes nafas urea (urea breath test, “stool
antigen”)

Diagnosis Banding
 Kholesistitis akut
 Pankreatitis akut
 Abses hati
 Infark jantung akut

Penyulit
 Perdarahan
 Perforasi
 Striktur/stenosis
 Kanker lambung
Penatalaksanaan
 Diet lunak yang tidak merangsang pengeluaran asam lambung, diberikan dalam porsi
kecil, dengan beberapa kali sajian.
 Makanan/obat yang dihindari : alkohol, kopi, coklat, merokok, obat golongan Xanthin,
OAIN, kortikosteroid, salisilat, makanan tinggi serat, makanan tinggi lemak, bumbu
pedas
 Medikamentosa : antasid, antikholinergik, reseptor H2 antagonis (cimetidin, ranitidin,
famotidin), pengatur motilitas (metoklopramid, domperidon, cisaprid), pelindung
mukosa (sukralfat, setraksat, teprenon, bismuth), inhibitor pompa proton dan
antibiotika (untuk eradikasi H.pylori), antioksidan (rebamipid).
 Terapi endoskopik: injeksi adrenalin intragastrik, elektrokoagulasi, hemoclip.
 Terapi terhadap penyulit: seperti pembedahan.
Kanker Lambung

Definisi
Merupakan keganasan yang berasal dari sel-sel lambung. Kebanyakan berupa adenokarsinoma
dan yang jarang adalah limfoma, leiomiosarkoma, dan liposarkoma.

Patogenesis Adenokarsinoma Lambung


Beberapa faktor risiko yang meningkatkan terjadinya keganasan lambung :
1. Makanan yang mengandung banyak nitrat, makanan diasap, ikan asin, dan asbestosis
2. Gastritis kronis dengan infeksi H-pylori
3. Akhlorhidria
4. Gastritis atrofikan dengan intestinal metaplasia
5. Polip adenomatus
6. Penyakit Menetrier
7. Pasca gastrektomi
8. Familier (predisposisi genetik)

Gejala Klinis
1. Keluhan umum: anoreksia, badan lemah, mengurus, keluhan anemia, dan kedaan umum
menurun.
2. Keluhan gastrointestinal: mual, muntah, hematemesis, melena, disfagi, nyeri epigastrium,
dan adanya tumor abdomen.
3. Nyeri seperti ulkus lambung
Pemeriksaan fisik
1. Nyeri tekan epigastrium
2. Anemia
3. Tumor epigastrium
4. Virchow node
5. Gejala lain yang terkait dengan stadium lanjut : dapat dijumpai hepatomegali, ikterus,
ascites
Pemeriksaan Penunjang
1. Endoskopi (esofagogastroduodenoskopi) dan biopsi
2. Endosonografi
3. Foto saluran cerna bagian atas dengan barium
4. Petanda tumor (carsinoembryogenic antigen/CEA)
5. Biopsi kelenjar
6. Untuk tujuan staging (foto dada, USG abdomen, CT-scan abdomen)
Stadium Adenokarsinoma
1. Stadium Dini: kanker belum mencapai lapisan muskularis dari dinding lambung. Dibagi
menjadi tiga tipe (tipe I, tipe II, tipe III) atau (protruted, superficial, dan excavated).
2. Stadium Lanjut: dimana kanker telah mencapai lapisan muskularis. Dibagi menjadi tiga
tipe (polipoid, infiltrasi difus, dan ulserasi).

Diagnosis Banding
1. Ulkus ventrikuli
2. Tumor jinak lambung
3. Karsinoma esofagus

Penyulit
1. Perdarahan
2. Obstruksi
3. Perforasi

Penatalaksanaan
1. Simtomatis (analgetik opiate)
2. Stadium Dini: Operasi kuratif (dengan atau tanpa radioterapi/khemoterapi).
3. Stadium Lanjut: Khemoterapi (dengan atau tanpa operasi paliatif/radiasi).
Perdarahan Saluran Makanan

Definisi
Perdarahan saluran makanan adalah perdarahan yang terjadi pada mulut, esophagus, lambung,
usus halus, kolon sampai anus.
Berdasarkan klinis dibedakan menjadi perdarahan saluran makanan bagian atas (SMBA) dan
perdarahan saluran makanan bagian bawah (SMBB), dan sebagai pembatasnya adalah
Ligamentum Treitz.
Perdarahan dapat berupa :
 Hematemesis : Muntah darah berwarna merah kehitaman.
 Melena : Buang air besar dengan kotoran seperti ter, lengket, bercampur dengan
darah kehitaman.
 Hematokhesi : Keluar darah merah segar dalam jumlah banyak melalui rektum.
 Perdarahan terselubung : Warna tinja normal, tetapi pada pemeriksaan kimiawi
mengandung darah.
Perdarahan SMBA hal di atas dapat semua terjadi, tetapi pada perdarahan SMBB umumnya
tidak terjadi hematemesis.

Perdarahan Saluran Makanan Bagian Atas (SMBA)


Etiologi
Untuk kepentingan terapi dibedakan menjadi:
 Perdarahan Varises : berasal dari pecahnya varises esofagus atau pecahnya varises
lambung.
 Perdarahan non-varises :
- Perdarahan ulkus peptikum
- Perdarahan gastritis erosif
- Perdarahan lesi Mallory-Weiss
- Perdarahan Esofagitis
Diagnosis
1. Anamnesis
a. Harus dipastikan muntah darah atau bukan
b. Apakah disertai berak darah
c. Sejak kapan dan berapa perkiraan jumlah perdarahan
d. Riwayat penyakit sebelumnya: panas badan, sakit kuning, ambient, desentri
e. Nyeri uluhati yang berkaitan dengan makanan
f. Riwayat minum alkohol, jamu, dan obat tertentu
g. Riwayat muntah-muntah berlebihan yang tidak ada hubungannya dengan
makanan
h. Kejang perut
2. Pemeriksaan fisik
a. Pertama yang harus dinilai adalah status hemodinamik
b. Bila syok harus segera ditanggulangi tanpa melakukan formalitas pemeriksaan
fisik yang sempurna, lakukan evaluasi perkiraan perdarahan.
c. Kemudian dicari tanda-tanda penyakit yang mendasarinya :
i. Stigmata penyakit hati kronis/sirosis hati
ii. Tanda demam tifoid
iii. Tanda demam berdarah
iv. Tanda penyakit hematologi
v. Tanda ulkus peptikum
vi. Tanda akut abdomen
d. Lakukan pemeriksaan colok dubur
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium rutin : Darah lengkap, faal hemostasis, dan tes golongan darah.
b. Periksa faal hati, faal ginjal, dan gula darah.
c. Elektrokardiografi : terutama pada usia tua, atau dilakukan pembedahan.
d. Radiologi : Foto polos abdomen bila perlu foto setengah duduk, ultrasonografi.
e. Endoskopi : esofagogastroduodenoskopi.
Penatalaksanaan Perdarahan Non-Varises
Indikasi rawat: Penderita hematemesis dan melena dengan aspirasi lambung
mengandung darah, syok ataupun dengan tanda akut abdomen. Pada saat penderita dirawat,
segera tentukan jumlah perdarahannya dan tentukan risiko perdarahan lebih lanjut, apakah
termasuk perdarahan major atau perdarahan minor.
Pada perdarahan major segera lakukan resusitasi aktif, sedangkan pada perdarahan
minor penderita dapat dipindah ke ruang rawat, dan selanjutnya dilakukan endoskopi elektif.

Alat untuk Stratifikasi risiko perdarahan SMBA: rockall skor klinis = 0 atau rockall skor komplit =
2, merupakan risiko rendah untuk perdarahan ulang dan kematian. Semakin besar skor, risiko
semakin besar.
A. Tatalaksana perdarahan major
Jumlah perdarahan ditentukan dengan memakai pendekatan klinis, sedangkan risiko
perdarahan ulang ditentukan dengan sistem skor dari Rockall. Skor Rockall nilainya <3 :
prognosis baik, skor Rockall >8 : prognosis jelek dengan risiko perdarahan ulang dan kematian
tinggi. Penentuan jumlah perdarahan secara klinis ditentukan dengan ada tidaknya gangguan
hemodinamik .
1. Resusitasi aktif :
a.Perdarahan < 750cc :
Tanda klinisnya: Nadi < 100, tekanan darah normal, tekanan nadi meningkat, respirasi
14-20, produksi kencing > 30cc/jam, sedikit gelisah.
Resusitasi dengan: cairan kristaloid (iv line)
b. Perdarahan 750-1500cc :
Tanda klinisnya: Nadi > 100, tekanan darah normal, tekanan nadi menurun, respirasi
20-30, produksi kencing 20-30cc/jam, status mental: gelisah.
Resusitasi dengan:
- Cairan kristaloid (tetesan cepat),
- Persiapan tranfusi
c. Perdarahan 1500-2000cc :
Tanda klinis : Nadi > 120, Tekanan darah menurun, tekanan nadi menurun, respirasi
30-40, produksi urin 10-20 cc/jam, status mental : gelisah dan kebingungan
Resusitasi dengan :
- Cairan kristaloid/koloid (tetesan cepat) dan tranfusi darah
- Pemantauan vena sentral.
d. Perdarahan > 2000cc :
Tanda klinis : Nadi > 140, syok, tekanan nadi lemah, respirasi >40, produksi urin < 10
cc/jam, status mental : lemas
Resusitasi dengan :
- Cairan kristaloid 1 liter dalam 1 jam.
- Bila tetap syok berikan koloid tetesan cepat dan tranfusi darah.
- Pemantauan vena sentral.
- Oksigen masker 5 liter/menit.
2. Kumbah lambung:
Setelah berhasil melakukan resusitasi, kalau keadaan umum lebih baik segera pasang pipa
nasogastrik untuk kumbah lambung dengan air es 150 cc setiap 2, 4, 6 jam tergantung
aktivitas perdarahannya untuk tujuan persiapan melakukan endoskopi agar dapat
menentukan sumber perdarahan dengan tepat.
3. Inhibitor pompa proton dosis tinggi:
Pada perdarahan ulkus peptikum segera berikan inhibitor pompa proton (PPI) dosis tinggi
: omeprazol 80 mg dilanjutkan dengan drip 8 mg setiap jam sampai 72 jam.
4. Obat lain yang masih ada tempatnya adalah : Antacid, sukralfat.
5. Terapi endoskopi :
Jika perdarahan masih aktif dalam 24 jam dan endoskopi menunjukkan adanya stigmata
perdarahan aktif (forrest I, IIa, IIb), maka indikasi untuk melakukan terapi endoskopi dan
dikombinasi dengan PPI dosis tinggi.
Jika pada endoskopi ditemukan forrest IIc, III maka diberikan terapi ulkus peptikum pada
umumnya.
6. Pembedahan :
Jika terapi endoskopi gagal, perforasi, striktur/stenosis berat.

B. Tatalaksana perdarahan minor :


1. Kumbah lambung dengan air es.
2. Inhibitor pompa proton.
3. Obat lain yang masih ada tempatnya: antacid, sukralfat.
4. Endoskopi dilakukan secara elektif.
Penatalaksanaan Perdarahan Varises
1. Penilaian awal :
Pada perdarahan SMBA secara umum dilakukan penilaian awal berupa evaluasi :
 Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik (tanda vital).
 Pemeriksaan laboratorium : Darah lengkap dan faal hemostasis, tes fungsi hati.
 Tentukan kriteria Child-Pug untuk menilai prognosis.
 Dilakukan pemasangan iv line
 Dilakukan pemasangan pipa nasogastrik (Untuk kumbah lambung dengan air es, setiap 2,4,6
jam).
 Dilakukan lavement setiap 12 jam
2. Resusitasi :
Dilakukan tranfusi darah dengan hati-hati dan secara konservatif dengan menggunakan sel
darah merah untuk mempertahankan Hb sekitar 8 gram % atau hematokrit sekitar 27%.
Antibiotika harus diberikan sejak masuk rumah sakit, dianjurkan memberikan siprofloksasin 1
g/hari selama 7 hari.
3. Penentuan status hemodinamik.
Setelah penilaian awal, ditentukan apakah termasuk hemodinamik stabil atau hemodinamik
tidak stabil dengan perdarahan aktif.
a.Pada hemodinamik yang stabil, tanpa perdarahan aktif: diberikan terapi empirik, seperti:
vitamin K, obat anti sekresi, antacid dan sukralfat.
Jika perdarahan berhenti, dilakukan evaluasi elektif (esofagogastroduodenoskopi), untuk
selanjutnya mendapat terapi definitive.
b. Pada hemodinamik tidak stabil, dengan perdarahan aktif:
Dilakukan resusitasi dengan kristaloid, koloid,transfusi darah dan koreksi faktor koagulasi.
Jika perdarahan masih berlangsung (tensi 90/60mmHg, nadi > 100X/menit, Hb 9 g/dl dan Till
tes positif): maka dilakukan pemberian obat vasoaktif (octreotid atau somatostatin).
Jika perdarahan terus berlangsung, maka dilakukan endoskopi gastrointestinal bagian atas
emergensi/ secara dini untuk dilakukan ligasi atau skeroterapi, jika disertai perdarahan ulkus
dilakukan endoskopi terapi, apabila sumber perdaran sulit ditentukan maka dilakukan terapi
radiologi intervensi. jika tidak ada sarana endoskopi akan dilakukan pemasangan SB
tube/balon tamponade. Pemasangan SB tube juga dikakukan pada perdarahan masif sebagai
(temporary bridge) sampai tindakan definitive dapat dilakukan (maksimum dalam waktu 24
jam).
Jika perdarahan terus berlangsung, maka indikasi melakukan pembedahan urgent.
Jika perdarahan dapat diatasi dengan obat vaso-aktif, maka dilakukan evaluasi endoskopi
elektif, untuk menentukan apakah perdarahan varises esophagus atau perdarahan varises
lambung.
c. Pada perdarahan varises esophagus :
Dilakukan terapi ligasi endoskopi atau skleroterapi. Jika gagal maka dilakukan TIPSS
(transjugular intrahepatic porto systemic shunt) atau pembedahan.
d. Pada perdarahan varises lambung :
Tentukan klasifikasinya, apakah termasuk varises gastroesofagial (GOV tipe I atau GOV tipe II)
atau termasuk varises lambung terisolasi (IGV tipe I atau IGV tipe II).
Pada GOV terapinya dengan ligasi varises, Pada IGV tipe II (varises fundus) dengan
perdarahan aktif, hanya efektif dengan injeksi N-butyl cyanoacrylate (histoacryl glue). Atau
dapat pertimbangkan melakukan TIPSS.

Perdarahan Saluran Makanan Bagian Bawah (SMBB)

Etiologi
- Divertikulosis
- Hemorrhoid interna
- Kolitis iskemik
- Ulkus rectum/ proctitis
- Penyakit peradangan usus (IBD) : kolitis ulseratif, penyakit crohn.
- Polip kolon
- Kanker kolon
- Angioma kolon
- Disentri
- Demam tifoid
- Demam berdarah dengue
- Intususepsi
Diagnosis
1. Anamnesis
- Pada Perdarahan SMBB umumnya tidak terjadi hematemesis.
- Berak darah segar.
- Riwayat penyakit, seperti ambient.
- Jumlah perdarahan.
- Riwayat diare kronis.
- Tenesmus ani.
- Riwayat keluarga kanker kolon.
2. Pemeriksaan fisik
- Evaluasi tanda-tanda penyakit ekstraintestinal, seperti fistula anal/perianal.
- Pembesaran kelenjar limfe (Virchow node).
- Evaluasi adanya tumor krukenberg.
- Lakukan pemeriksaan colok dubur, untuk evaluasi adanya hemorrhoid, tumor rektum.
3. Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium rutin dan pemeriksaan golongan darah.
- Radiologi : foto polos abdomen, ultrasonografi, CT-scan dengan kontras, angiografi.
- Endoskopi : kolonoskopi (dicari tanda perdarahan baru : perdarahan aktif, perdarahan
dengan pembuluh darah yang masih tampak, dan adanya klot yang masih melekat).
Tatalaksana
A. Tindakan Umum:
1. Resusitasi.
Pada evaluasi awal, yang terpenting adalah menentukan beratnya perdarahan. Salah satu
prediktor hematokhesia berat pada SMBB adalah : Hematokrit < 35%, adanya kelainan tanda
vital dalam evaluasi 1 jam pertama, dan adanya darah segar pada colok dubur.
Pada hematokhesia berat, harus segera dilakukan resusitasi agresif.
Lakukan pemasangan pipa nasogastrik untuk mengevaluasi adanya sumber perdarahan dari
SMBA.
- JIka kumbah lambung positif darah disertai hematokhesia, maka sumber perdarahan
adalah pada SMBA.
- Jika pada kumbah lambung ditemukan cairan empedu tanpa darah disertai hematokhesia,
maka sumber perdarahan diproksimal ligamentum Treitz masih perlu dipertimbangkan.
- Walaupun pada kumbah lambung bersih, tanpa cairan empedu adanya lesi di duodenum
masih tetap dipertimbangkan, 1-2 % perdarahan berasal dari perdarahan duodenum.
2. Endoskopi.
Endoskopi dilakukan setelah hemodinamik stabil.
- Jika kumbah lambung negatif, segera dilakukan pencucian kolon untuk melakukan total
kolonoskopi disertai EGD.
- Jika tidak menemukan kelainan pada EGD dan kolonoskopi maka direkomendasi
melakukan “push enteroscopy”
- Jika push enteroscopy tidak ditemukan kelainan, maka direkomendasi melakukan selektif
arteriografi atau scintigrafi
- Video capsul endoscopy direkomendasi pada pasien tertentu yang mengalami perdarahan
berulang, sedangkan kolonoskopi, enteroskopi dan scaning tidak ditemukan sumber
perdarahan.
B. Tindakan Khusus:
- Injeksi epinephrine secara endoskopi
- Koagulasi multipoler endoskopi
- Heater probe
- hemoclip
- Ligasi endoskopi
- Pembedahan reseksi.
DAFTAR PUSTAKA

Hepatitis Virus Akut

Kurstak E. Viral Hepatitis. Current Status and Issues. New York : Springer - Verlag/Wien, 1993.

Sherlock S and Dooley J. Viral Hepatitis. Diseases of the Liver and Biliary System. 11th Edition. Oxford :
Blackwell Publication, 2002.

Zekry A, Mchutchison JG. The hepatitis viruses.IN: Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC. Eds. Schiff’s
Diseases of the Liver.10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2007.

Perillo RP. Acute Viral Hepatitis, Viral Hepatitis. In : Gitnick G., LaBrecque DR, Moody FG. Diseases of
the Liver and Biliary Tract. St. Louis, Missiori : Mosby Year Book, Inc., 1992 : 277 - 288.

Koff RS. Acute viral hepatitis. In: Friedman LS, Keeffe EB. Handbook of liver disease. Second edition.
Philadelphia:Churchil Livingstone, Elsevier, 2004: 29-44.

Ghany MG, Strader DB, Thomas DL, Seeff LB. Diagnosis, Management, and Treatment of Hepatitis C:
An Update. AASLD Practice guidelines. Hepatology, 2009; 49: 1335-74.

Lok ASF, McMahon BJ. Chronic Hepatitis B: Update 2009. AASLD Practice Guideline Update Hepatology
2009;50:1-33

Hepatitis Kronik

Dienstag JL, Isselbacher KJ. Chronic hepatitis. in: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, et al. eds.
Harrisons principles of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2005: 1844-55

Sherlock S and Dooley J. Viral Hepatitis. Diseases of the Liver and Biliary System. 11th Edition. Oxford :
Blackwell Publication, 2002.

S Manns MP, Bahr MJ, Bantel H. autoimun hepatitis. in: Schiff ER., Sorrell MF, Maddrey WC, Eds.
Schiff’s Diseases of the Liver.10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2007. 865-74.

Schiff ER. Viral hepatitis. in: Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC, Eds. Schiff’s Diseases of the Liver.10th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2007: 707-83.

Dove LM, Wright TL. Chronic viral hepatitis. In: Friedman LS, Keeffe EB. Handbook of liver disease.
Second edition. Philadelphia:Churchil Livingstone, Elsevier, 2004: 29-44.

Ghany MG, Strader DB, Thomas DL, Seeff LB. Diagnosis, Management, and Treatment of Hepatitis C:
An Update. AASLD Practice guidelines. Hepatology, 2009; 49: 1335-74.

Lok ASF, McMahon BJ. Chronic Hepatitis B: Update 2009. AASLD Practice Guideline Update Hepatology
2009;50:1-33.

Liaw YF, Leung N, Kao J-H, et al. for the Chronic Hepatitis B Guideline Working Party of the Asian-Pacific
Association for the Study of the Liver. Asian-Pacific consensus statement on the management of chronic
hepatitis B: a 2008 update. Hepatol Int 2008; 2:263–283.
Dove LM, Wright TL. Chronic viral hepatitis. . In: Friedman LS, Keeffe EB. Handbook of liver disease.
Second edition. Philadelphia:Churchil Livingstone, Elsevier, 2004: 45-58.

Czaja AJ. Autoimmune hepatitis. . In: Friedman LS, Keeffe EB. Handbook of liver disease. Second
edition. Philadelphia:Churchil Livingstone, Elsevier, 2004: 59-83

Sirosis Hepatis

Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and its complications. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, et al.
eds. Harrisons principles of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2005: 1858-68.

Sherlock S and Dooley J. Diseases of the Liver and Biliary System. 11th Edition. Oxford : Blackwell
Publication, 2002.

Choudhury J,and Sanyal AJ. Cirrhosis and Its Complications. In: Reddy KR, Faust T., Eds. The clinician’s
guide to liver disease. New Jersey: SLACK incorporated, 2006: 32-53.

Cheney CP, Goldberg EM, Chopra S. Cirrhosis and portal hypertension: an overview. In: Friedman LS,
Keeffe EB. Handbook of liver disease. Second edition. Philadelphia:Churchil Livingstone, Elsevier, 2004:
125-137.

European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines on the management of
ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Hepatol 2010, 53:
397–417.

Kuntz E, Kuntz HD. Hepatology Textbook and Atlas. Wurzburg: Springer Medizin Verlag Heidelberg,
2008:414-15.

Kanker Hati Primer

Di Bisceglie AM. Hepatic tumors. In: Friedman LS, Keeffe EB. Handbook of liver disease. Second edition.
Philadelphia:Churchil Livingstone, Elsevier, 2004: 339-348.

Cabrera R, Nelson DR. The management of hepatocellular carcinoma. Aliment Pharmacol Ther 2010, 31:
461–476.

Bruix J., Sherman M. AASLD Practice guideline management of Hepatocellular Carcinoma: An update.
Hepatology. 2011; 53: 1021-22.

Sherlock S. Hepatic Tumours. Diseases of the Liver and Biliary System. 8th Edition. Oxford : Blacwell
Scientific Publication, 1989 : 584 - 617.

Bolondi L, Cheng AL, Di Biceglie AM. Handbook of hepatocellular carcinoma. London: Evolving medicine
Ltd, 2009.

Bruix J., Sherman M., Llovet JM, et al. Clinical management of hepatocellular carcinoma of the
Barcelona-2000 EASL conference. European Association for the Study of the Liver. J Hepatol 2001; 35
(3):1-30.
Bruix J, Branco FS, Ayuso C,. Hepatocelluler Carcinoma. in: Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC. Eds.
Schiff’s Diseases of the Liver. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2007: 1253-77.

World Gastroenterology Organisation Global Guideline. Hepatocellular carcinoma (HCC): a global


perspective, 2009.
Ensefalopati Hepatik

Bajaj JS. Review article: the modern management of hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther
2010; 31: 537-47.

Kuntz E, Kuntz HD. Hepatic encephalopathy. Hepatology Textbook and atlas. 3rd edition. Wurzburg:
Springer medizin verlag, 2008: 272-89.

Greenberger NJ. Portal systemic encephalopathy & Hepatic encephalopathy. In:Greenberger NJ,
Blumberg RS, Burakoff R, Eds. Current Diagnosis and treatment gastroenterology, hepatology,
endoscopy. New York: McGraw Hill, 2009: 473-6

Mullen KD. Review of the final report of the 1998 Working Party on definition, nomenclature and
diagnosis of hepatic encephalopathy Aliment Pharmacol Ther 2006;25 (Suppl.1):11–16

Bass NM. Review article: the current pharmacological therapies for hepatic encephalopathy. Aliment
Pharmacol Ther 2006;25 (Suppl.1):23–31.

Cordoba J., Blei AT. hepatic encephalopathy. In: Schiff ER., Sorrell MF, Maddrey WC. Eds. Schiff’s
Diseases of the Liver. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2007: 569-99.

Kolitis

Glickman RM. Inflammatory Bowel Disease: Ulcerative Colitis and Crohn’s Disease. In : Wilson JD,
Brauwald E, Isselbacher KJ, Peterdorf RG, Martin JB, Fauci AS, Root RK, Eds. Harrison’s Principle of
Internal Medicine. 12th Ed. New York: Mc Graw Hill Inc.; 1992:. 1268.

Daldiyono. Kolitis Ulserosa. Dalam: Sulaiman HA, Daldiyono, Akbar HN, Rani HA, Eds. Gastroenterologi-
Hepatologi. Jakarta: Infomedika; 1990: 197.

Garud S, Peppercorn MA.Ulcerative colitis: current treatment strategies and future prospects

Therapeutic Advances in Gastroenterology March 2009 vol. 2 no. 2 99-108

Alfadda AA, Storr MA. Eosinophilic colitis: epidemiology, clinical features, and current management.
Therapeutic Advances in Gastroenterology September 2011 vol. 4 no. 5 301-309

Kolesistitis Akut

Roslyn JL, Pitt HA. Acute Cholecystitis. In : Bayless MT, Current Therapy in Gastroenterology and Liver
Disease-2. Philadelphia : B. C. Decke Inc., 1986 : 433 - 437.

Carbore JV, Brandborg LL, Aute cholecystitis. In: Marcus AK, Milton JC, Eds. Current Medical Diagnosis
and Treatment. Los atos, California : Lange Medical Publication, 1979 : 384 - 8.

Summerfield JA. Disease of The Gall Bladder and Biliary Tract. In : Weathral DJ, Ledingham JG, Warrell
DA, Eds. Oxford Texbook of Medicine. London : Oxford University Press, 1984 : 12. 171 - 172.

Sherlock S. Gallstone and Inflammatory Gallbladder Diseases, Acute Cholecystitis. Diseases of The Liver
and Biliary System. 8th Edition. Oxford : Blackwell Scientifis Publication, 1989 : 666 - 670.

Macaron C, Cadeer MA, Vargo JJ. Recurrent abdominal pain after laparoscopic
cholecystectomy Cleveland Clinic Journal of Medicine, Mar 2011; 78: 171 - 178.

Browning JD, Sreenarasimhaiah J. In : Gallstone Disease; Feldman: Sleisenger &

Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease, 8th ed. 2006 Saunders: 1387-1413. Paumgartner G.
Gallstone Diseases. In : Current Diagnosis & Treatment Gastroenterology Hepatology & Endoscopy. Mc
Graw Hill.2009 : 537-546

Pankreatitis Akut

Grendell JH. Acute Pancreatitis. In Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. Lange Medical
Book, 2004; 435-440

Karper DL, Braunwald E, Fauci AS et al. Acute Pancreatitis, In : Harrison Manual of Medicine, Mc Graw
Hill Book, 2005;750-755

Singh V, Conwell DL, Banks PA. Acute Pancreatitis. In Current Diagnosis & Treatment in
Gastroenterology & Hepatology. Lange Medical Book, 2009; 291-297

Greer SE, Burchard KW.Acute Pancreatitis and Critical Illness; CHEST November 2009 vol. 136 no. 5
1413-1419

Gastritis

Weistein WM. Chronic gastritis. . In : Advanced therapy in gastroenterology and liver disease. 5th
edition.BC Decker Inc, London: 2005,p. 178

Genta RM. Gastritis. . In: Clinical gastroenterelogy and hepatology. First edition. Mosby, Spain. 2005.p.
223.

Liee EL and Feldman M. Gastritis and other gastropathides. In: Sleisenger and Fordtrans gastrointestinal
and liver disease.Pathophysiology/Diagnosis/Management. 7th edition. Sounders. 2002.p. 810

Genta RM. Gastritis and gastropathy. In : Textbook of gastroenterology. 5th edition, USA.2003,p. 1394

Graham DY, Lu H, and Yamaoka Y. African, Asian or Indian enigma, the East Asian Helicobacter pylori:
facts or medical myths. J Dig Dis. 2009 ; 10 : 77–84.

Agreus L, Kuipers EJ, Kupcinskas L, Malfertheiner P. Rationale in diagnosis and screening of atrophic
gastritis with stomach-specific plasma biomarkers. Scandinavian Journal of Gastroenterology. 2012; 47:
136–147

Malfertheiner P, Megraud F, O’Morain CA, Atherton J, Axon ATR, Franco Bazzoli F, Gensini GF, Gisbert
JP, Graham DY, Rokkas T, El-Omar EM, Kuipers EJ. Management of Helicobacter pylori infection the
Maastricht IV/ Florence Consensus Report European. The Helicobacter Study Group (EHSG). Gut
2012;61:646-664.

Chey WD, Wong BCY. American College of Gastroenterology Guideline on the Management of
Helicobacter pylori Infection .Am J Gastroenterol 2007;102:1808–1825

Ulkus Peptikum
Fox C and Lambard M. Stomach. In : Crash course gastroenterology. 2nd edition. Mosby, Toronto.
2004.p. 73

Long RG and Scott BB. Upper gastrointstinal diseas. In : Specialist training in gastroenterology and liver
disease. First edition. Elsevier. 2005,p. 14

Chey WD, and Scheiman JM. Peptic ulcer disease .In: Current diagnosis and treatment in
gastroenterology. 2nd edition. McGrow Hill. Singapore. 2003,p. 232

Valle JD, Chey WD and Scheiman JM. Acid peptic disorders. In : Textbook of gastroenterology. 5th
edition, USA.2003,p. 1321

Spechler ST. Peptic ulcer disease and its complication. In: Sleisenger and Fordtrans gastrointestinal and
liver disease.Pathophysiology/Diagnosis/Management. 7th edition. Sounders. 2002.p. 747

Pesegna JR. Peptic ulcer disease. In : Advanced therapy in gastroenterology and liver disease. 5th
edition.BC Decker Inc, London: 2005,p. 147

Hawkey CJ and Atherton JC. Peptic ulcer. . In: Clinical gastroenterelogy and hepatology. First edition.
Mosby, Spain. 2005.p. 207.

Goldie L. Peters GL, Jennifer L. Rosselli J,Kerr JL. Overview of Peptic Ulcer Disease. Pharm D, 2011.

Newton EB, Versland MR, Sepe TE. Giant duodenal ulcers . Protocol for Diagnosis and Treatment of
Peptic Ulcer in Adults. W J G, 2008 :28; 14: 4995-4999

Kanker Lambung

Ho SB. Tumor of stomach and small intestine. In: Current diagnosis and treatment in gastroenterology.
2nd edition. McGrow Hill. Singapore. 2003,p. 389

Antillon MR and Chen Y. Endoscopic therapy for gastric neoplasms. In : Clinical gastrointestinal
endoscopy. First edition. Sounders. China. 2005,p. 505.

Leung WK, Enders KWN and Sung JJY. Tumors of the stomach .In : Textbook of gastroenterology. 5th
edition, USA.2003,p. 1416

Koh TJ and Wang TC. Tumor of stomach. In: Sleisenger and Fordtrans gastrointestinal and liver disease.
Pathophysiology/ Diagnosis/ Management. 7th edition. Sounders. 2002.p. 829

McKenlay AW and Omar ME. Adenocarcinoma. In: Clinical gastroenterelogy and hepatology. First
edition. Mosby, Spain. 2005.p. 233.

Labow DN and Brennan MF. Gastric cancer. In : Advanced therapy in gastroenterology and liver disease.
5th edition.BC Decker Inc, London: 2005,p. 207

Okines, Verheij M, Allum W,Cunningham D & Cervantes A. Gastric cancer: ESMO Clinical Practice
Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Ann Oncol 2009; 20 : 34–36.

Ibuya HC, Yamazaki H, Inoue K, Fukao A, Saito H, and Sobue T. The Japanese Guidelines for Gastric
Cancer Screening. Jpn J Clin Oncol 2008; 10 : 1-9
Japanese Gastric Cancer Association. Japanese gastric cancer treatment guidelines 2010, Gastric
cancer. 2011; 10 : 26- 39

Perdarahan Saluran Makanan

Thuluvath PJ. Management of acute variceal bleeding. In : Advanced therapy in gastroenterology and
liver disease. 5th edition.BC Decker Inc, London: 2005,p. 119

Lau JYW and chung SCS. Hematemesis and Melena. In: Clinical gastroenterelogy and hepatology. First
edition. Mosby, Spain. 2005.p. 121

Kovacs TOG and Jensen DM. Acute lower gastrointestinal bleeding. In: Clinical gastroenterology and
hepatology. First edition. Mosby, Spain. 2005.p. 127

Rockey DC. Gastrointestirnal bleeding. In: Sleisenger and Fordtrans gastrointestinal and liver
disease.Pathophysiology/Diagnosis/Management. 7th edition. Sounders. 2002.p. 211

Elta GH.Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding. In : Textbook of gastroenterology.
5th edition, USA.2003,p.698

Khan YI and Gunaratram NT. Acute nonvariceal bleeding. In : Clinical gastrointestinal endoscopy. First
edition. Sounders. China. 2005,p. 145

Sarin SK and Sharma BC. Portal hypertensive bleeding. In : Clinical gastrointestinal endoscopy. First
edition. Sounders. China. 2005,p. 165

Savides TJ. Lower gastrointestinal bleeding. In : Clinical gastrointestinal endoscopy. First edition.
Sounders. China. 2005,p.185

Intabha R and Jensen DM. Acute Upper gastrointestinal bleeding. In: Current diagnosis and treatment in
gastroenterology. 2nd edition. McGrow Hill. Singapore. 2003,p. 53

Savides TJ and Jensen DM. Acute lower gastrointestinal bleeding. In: Current diagnosis and treatment in
gastroenterology. 2nd edition. McGrow Hill. Singapore. 2003,p. 70

Long RG and Scott BB. Gastrointestinal bleeding acute and chronic. In : Specialist training in
gastroenterology and liver disease. First edition. Elsevier. 2005,p. 159

Bosh J, D’amino G, Juan C, Pagan G. Portal hypertension and nonsurgical management. In: Schiff’s
disease of the liver, 10th edition. Lippincott and Wilkin’s. Philadelphia, 2007.p. 419

Grace ND and Tilson RS. Pharmacologic therapy for the management of esophageal varices. In: Portal
hypertension. Humana Press, New Jersey. 2005,p. 199

Fox C and Lambard M. Haematemesis and Melena. In : Crash course gastroenterology. 2nd edition.
Mosby, Toronto. 2004.p. 37

Pongprasobchai S, Nimitvilai S, Chasawat J, Manatsathit S. Upper gastrointestinal bleeding etiology


score for predicting variceal and non-variceal bleeding.World J Gastroenterol 2009; 15 : 1099-1104

Holster IL & Kuipers EJ. Update on the Endoscopic Management of Peptic Ulcer Bleeding. Curr
Gastroenterol Rep,2011; 13: 525–531
Srygley FD, Gerardo CJ,Tran T, Fisher DA. Does This Patient Have a Severe Upper Gastrointestinal
Bleed? JAMA. 2012; 307:1072-1079

Greenspoon J, Barkun A. Recent recommendations on the management of patients with nonvariceal.


upper gastrointestinal bleeding. Pol Arch Med. 2010; 120 : 341-346

Holster IL, Kuipers EJ. Management of acute nonvariceal upper gastrointestinal bleeding: Current policies
and future perspectives.World J Gastroenterol 2012; 18 : 1202- 1207

Trawick EP, Yachimski PS.Management of non-variceal upper gastrointestinal tract hemorrhage:


Controversies and areas of uncertainty World J Gastroenterol 2012, 21; 18 :1159-1165.

Barkun AN, Bardou M, Kuipers EJ,Sung J, Hunt RH,Martel M, and Sinclair P. International Consensus
Recommendations on the Management of Patients With Nonvariceal Upper Gastrointestinal Bleeding.
Ann Intern Med. 2010;152:101-113.

Hayes SM, Murray S, Dupuis M, Dawes M. Barriers to the implementation of practice guidelines in
managing patients with nonvariceal upper gastrointestinal bleeding: A qualitative approach. Can J
Gastroenterol 2010; 24 :289-296.

Khaderi S, Barnes D. Preventing a first episode of esophageal variceal hemorrhage.Clev Clin J Med.
2008, 75: 235-243

Bittencourti PL, Fariaz AQ, Strauss E, de mattos AA. Variceal Bleeding: consensus meeting report from
the Brazilian Society of Hepatology. Arq Gastroenterol. 2010, 47: 202-216
HEMATOLOGI
ONKOLOGI MEDIK
Tim Penyusun:
1. Prof.Dr.dr. Made Bakta, SpPD-KHOM
2. Dr.dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM
3. dr. Tjok. Dharmayudha, SpPD-KHOM
4. dr. Wayan Losen Adnyana, SpPD
5. dr. Ni Made Renny A Rena, SpPD
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat menurunnya jumlah besi total dalam
tubuh sehingga cadangan besi menjadi kosong dan penyediaan besi untuk berbagai jaringan
termasuk eritropoesis berkurang.

Etiologi
1. Kehilangan besi berlebihan sebagai akibat dari perdarahan menahun, yang dapat berasal
dari:
a. saluran cerna: akibat tukak peptic, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker
lambung,kanker kolon, divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing tambang
b. saluran genetalia perempuan : menorrhagia atau metrorhagia
c. saluran kemih: hematuria
d. saluran nafas: hemoptoe
2. Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah total besi dalam makanan atau biovailibilitas besi
dalam makanan rendah.
3. Kebutuhan besi yang meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan
dan kehamilan
4. Gangguan absorpsi besi: seperti misalnya pada penyakit tropical sprue atau kolitis kronis
Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di klinik sebagian besar disebabkan
oleh perdarahan menahun. Untuk penderita laki penyebab utama ialah perdarahan
gastrointestinal, di daerah tropis penyebab tersering ialah infeksi cacing tambang.
Sedangkan pada wanita penyebab tersering ialah menometrorrhagia.
Epidemiologis
Diperkirakan penderita anemia defisinsi besi di seluruh dunia lebih kurang sebanyak 500
juta orang. Dapat mengenai semua umur dan golongan ekonomi, walaupun yang terbanyak
pada anak dalam masa pertumbuhan dan terutama di negara berkembang.
Di Indonesia ada perbedaan yang nyata antara pedesaan dan perkotaan.Berdasarkan hasil
penelitian desa-desa di Sumatra barat, Jawa Tengah dan Bali penduduk yang menderita anemia
50 % disebabkan anemia defisiensi besi dan 40% dari anemia defisiensi besi ini disertai dengan
infestasi cacing tambang.
Patofisiologi
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin
menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron depleted state. Apabila
kekurangan besi terus berlanjut maka penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehungga
menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemi secara klinis belum terjadi, keadaan
ini disebut sebagai iron defecient erythropoiesis. Selanjutnya muncullah anemia hipokromik
mikrositer sehingga disebut sebagai iron deficiency anemia. Kekurangan besi pada epitel serta
enzim menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.

Gejala klinis
1. Gejala umum anemia (sindroma anemia): lemah , mata berkunang , telinga
mendenging dan lain- lain , yang timbul secara perlahan- lahan.
2. Gejala khas akibat defisiensi besi : atrofil papil lidah, stomatitis angularis, disfagia
dan kuku sendok (koilonychia). Kumpulan gejala ; anemia hipokromik mikrositer,
disfagia, atrofi papil lidah disebut sebagai Plummer- Vincent syndrome atau
Patterson Kelly syndrome
3. Gejala penyakit dasar yang menyebabkan anemia defisiensi besi :gejala penyakit
cacing tambang, gejala kanker kolon dan lain-lain.

Komplikasi
Disamping pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen penting dari mioglobin dan
berbagai enzim yang dibutuhkan dalam penyediaan energi dan transport electron. Oleh karena
itu defisiensi besi di samping menimbulkan anemia juga menimbulkan berbagai dampak
negatif, seperti misalnya pada:
1. Sistem neuromuscular yang mengakibatkan gangguan kapasitas kerja.
2. Gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan
3. Gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi
4. Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya.
Gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan atau bahkan sebelum anemia manifest.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pengukuran kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokromik
mikrositer dengan MCV (mean corpuscular volume) menurun dan RDW (red cell
distribution widht) meningkat
2. Kadar besi serum menurun <50µg/dl,total iron binding capacity (TIBC) meningkat
>350µg/dl
3. Saturasi transferin menurun kurang dari 15%
4. Kadar feritin serum < 20 ng/dl
5. Pada laboratorium yang maju dapat diperiksa reseptor transferin : kadar reseptor
transferin meningkat.
6. Pengecatan besi sumsum tulang negatif
7. Pemeriksaan untuk mencari penyebab (sangat penting untuk memeriksa cacing tambang
pada faeces dengan teknik kuantitatif (Kato-Katz)

Diagnosis
Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi yang merupakan modifikasi dari Kerlin et al adalah:
Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV<80 fl dan MCHC<31%
dengan salah satu dari a,b,c,d
a. Dua dari tiga parameter dibawah
1. Besi serum <50 µg/dl
2. TIBC >350 µg/dl
3. Saturasi transferin :<15 %
Atau
b. Serum feritin <20 µg/dl
Atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan butir-butir
hemosiderin negatife
Atau
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara)
selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.

Diferensial Diagnosis
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik mikrositer yang lain :
1. Thalassemia major
2. Anemia akibat penyakit menahun
3. Anemia sideroblastik

Pencegahan
1. Pendidikan kesehatan
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang
3. Suplementasi besi
4. Fortifikasi besi

Penatalaksanaan
1. Pengobatan pengganti untuk kekurangan besi:
Obat pilihan ialah preparat besi per oral: ferous sulfat.
Preparat lain: ferous fumarat, ferous glukonat.
Dosis ferous sulfat: 3 x 200 mg/hari. Diberikan sampai kadar Hb normal kembali.
Dilanjutkan paling sedikit selama 3 bulan dengan dosis pemeliharaan: 3 x 100 mg.
Pengobatan dengan preparat besi parenteral hanya diberikan atas indikasi khusus yaitu :
i. intoleransi oral berat
ii. kepatuhan berobat kurang
iii. kolitis ulserativa
iv. perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester
akhir)
Preparat yang tersedia: iron dextran complex, iron sorbitol citric acidcomplex.
Dosis besi parenteral harus dihitung dengan tepat, oleh karena besi berlebihan akan
membahayakan pasien. Besarya dosis dapat dihitung dengan rumus sbb:
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 3
2. Pengobatan untuk penyakit dasar. Seperti pada infeksi cacing tambang yaitu dengan
Mebendasole 1 x 400 mg
3. Transfusi darah
4. Anemia difisiensi besi jarang sekali memerlukan transfusi darah.
5. Indikasi transfusi darah:
a. Gejala anemia yang sangat simtomatik
b. Ancaman payah jantung kiri
c. Jika direncanakan tindakan operasi segera
d. Ibu hamil dengan Hb< 7 g/dl pada 2 minggu terakhir masa kehamilan

Monitoring
1. Retikulosit tiap minggu pada 2 minggu pertama
2. Hemoglobin tiap 5-7 hari sampai kadar Hb > 7 g/dl
3. Penderita dipulangkan dari rumah sakit untuk kontrol rawat jalan setelah kadar Hb > 7
g/dl dan atau kondisi umum baik
4. Kontrol rawat jalan setiap minggu sampai kadar Hb> 10 g/dl
5. Kontrol rawan jalansetiap minggu sapai hemoglobin normal
6. Kontrol rawat jalan setiap bulan selama 4-6 bulan
7. Penderita yang memberikan respon mula-mula akan menunjukkan peningkatan kadar
retikulosit, diikuti peningkatan kadar Hb, kemudian retikulosit kembali normal setelah 8-
10 hari, sedangkan Hb akan naik terus. Kenaikan rata-rata Hb adalah 0,15 g per hari.
Hemoglobin menjadi normal setelah 4-8 minggu.
8. Jika respon terhadap terapi tidak baik (peningkatan hemoglobin tidak sesuai dengan
yang diharapkan) maka perlu dipikirkan:
a. Diagnosis salah
b. Dosis besi kurang
c. Kepatuhan penderita kurang (tablet besi tidak diminum)
d. Masih ada perdarahan yang cukup banyak.
e. Ada penyakit lain bersama-sama: seperti penyakit kronik atau defisiensi asam folat
(terutama pada wanita hamil)

Prognosis
Prognosis anemia defisiensi besi pada umumnya baik, jika sumber perdarahan dapat
dihilangkan.
Anemia Akibat Penyakit Kronik

Definisi
Anemia akibat penyakit kronik atau anemia of chronic disorder (ACD)/Anemia of inflamation
ialah anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang ditandai oleh gangguan
metabolisme besi.yang khas yaitu adanya hipoferemia disertai cadangan besi sumsum tulang
normal atau meningkat.

Etiologi
1. Infeksi (akut dan kronik ):
Tuberkulosa paru, bronkhiektasis, pneumonia, abses paru, kolitis kronik, osteomielitis
kronik, penyakit radang panggul kronik, pielonefritis kronik, HIV-AIDS, endokarditis
bakterialis.
2. Inflamasi kronik :
Artritis rematoid, SLE, inflamatory bowel disease, sarkoidosis,vaskulitis.
3. Keganasan :
Karsinoma, limfoma dan sarkoma.
Epidemiologi
Angka kejadian dan beratnya anemia berkorelasi dengan stadium penyakit yang mendasari dan
meningkat dengan bertambahnya usia.Dilaporkan dalam sebuah studi 77% laki-laki dan 68%
wanita yang berusia lanjut yang menderita kanker adalah anemia.

Patofisiologi
 Gangguan pelepasan besi oleh makrofag ke plasma
 Pemendekan masa hidup eritrosit
 Respon terjadap eritropoetin tidak adekuat
 Gangguan produksi eritropoitin
 Produksi hepcidin oleh hepar
Gejala klinik dan Pemeriksaan Penunjang
a. Gejala penyakit dasar sering lebih menyolok
b. Anemia ringan sampai sedang dan tidak progresif
c. Hemoglobin sekitar 8-10 d/dl
d. Anemia bersifat normokromik normositer atau hipokromik
e. Besi serum dan TIBC menurun, saturasi transferin sedikit menurun
f. Feritin serum normal atau meningkat
g. Hemosiderin sumsum tulang : normal atau meningkat dengan butir-butir kasar.
Komplikasi
Tergantung penyakit yang mendasari
Diagnosis
Anemia ringan sampai sedang, normokromik atau hipokromik mikrositer, besi serum rendah,
TIBC rendah, hemosiderin sumsum tulang normal, pada penyakit kronik yang sudah disebutkan
di atas, dan menyingkirkan adanya penyakit gagal ginjal kronik,penyakit hati kronik dan
hipotiroid.
Diagnosis banding
1. Anemia defisiensi besi
2. Thallasemia
3. Anemia sideroblastik
Penatalaksanaan
1. Paling penting ialah mengatasi penyakit dasar
2. Transfusi jarang diperlukan
3. Pemberian preparat besi tidak ada gunanya kecuali bersamaan dengan anemia defisiensi
besi
4. Eritropoietin rekombinan memperbaiki keadaan anemia pada beberapa kasus.

PROGNOSIS
Tergantung pada penyakit yang mendasari.
Anemia Aplastik

Definisi
Anemia aplastik ialah anemia yang ditandai oleh pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan
oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya
infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang.

Etiologi
1. Primer :
a. Kelainan kongenital : tipe Fanconi, Non-Fanconi dan dyskeratosis congenita
b. Idiopatik yang didapat (acquired) : merupakan 50-70% dari anemia aplastik yang
didapat.
2. Sekunder :
a. Akibat radiasi
b. Akibat obat-obatan
i. Yang bersifat dose-dependent : siklofosfamid, chlorambucil, busulphan, 6
mercaptopurin, cytosine arabinosid, daunorubicine dan sitostatika
lainanya.
ii. Yang bersifat idiosinkrasi : chlorampenicol, phenylbutazone, sulfa,
preparat emas.
c. Akibat bahan kimia : bahan pelarut (benzen) dan insektisida
d. Akibat infeksi: virus hepatitis.
e. Kehamilan

Epidemiologi
Insiden anemia aplastik bervariasi diseluruh dunia dan berkisar antara 2 sampai 6 kasus per
1 juta penduduk pertahun dengan variasi geografis. Anemia aplastik didapat umumnya muncul
pada usia 15 sampai 25 tahun,puncak insidens kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60
tahun
Patofisiologi
Tiga faktor penting untuk terjadinya aplasia ialah : gangguan sel induk hemopoetik, gangguan
lingkungan mikro sumsum tulang dan mekanisme imunologik.

Gejala Klinis
1. Sindroma anemia
2. Perdarahan kulit : petechie dan echymosis
3. Perdarahan mukosa: epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis / melena dan menorrhagia
pada wanita.
4. Tanda-tanda infeksi: ulserasi mulut / tenggorok, selulitis leher, febris sampai sepsis.
5. Tidak dijumpai organomegalis seperti: splenomegali, hepatomegali atau limfadenopati.

Komplikasi
Infeksi berat dan fatal, perdarahan, gagal jantung pada anemia berat.
Pemeriksaan Penunjang
1. Anemia normokromik normositer, derajat anemia dari ringan sampai berat.
2. Retikulositopenia
3. Leukopenia
4. Trombositopenia
5. Hapusan darah tepi tidak menunjukkan sel-sel muda
6. Sumsum tulang : hipoplasia sampai aplasia, jaringan sumsum tulang diganti oleh lemak
7. Pemeriksaan flowsitometri :CD 34 (3)yaitu penurunan CD 34

Diagnosis
Dijumpai pansitopenia pada darah tepi yang dipastikan dengan adanya aplasia / hipoplasia
sumsum tulang. Sebaiknya dilakukan biopsi tulang, bukan hanya aspirasi sumsum tulang.
Kriteria diagnosis menurut International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study
Group(IAASG) adalah sebagai berikut:
A. Satu dari tiga :
- Hemoglobiin kurang dari 10 g/dl,atau hematokrit kurang dari 30%
- Trombosit kurang dari 50 x 109/L
- Leukosit kurang dari 3,5 x 109/L atau netrofil kurang dari 1,5 x 10/L
B. Dengan retikulosit <30 x 10/L
C. Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada specimen adekuat):
- penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hemopoitik atau
selularitas normal oleh karena hyperplasia eritroid fokal dengan deplesi seri granulosit dan
megakariosit
- tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik
D. Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus diekslusi.
Derajat anemia aplastik menurut criteria Camitta et al :
A. Tergolong anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) bila memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. Paling sedikit dua dari tiga:
i. granilosit < 500 x 109/L
ii. trombosit < 20 x 1012/L
iii. corrected reticulocte < 1%
b. Selularitas sumsum tulang <25%, atau seluratis <50% dengan <30% sel-sel hematopoetik
B. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila netrofil ,200 x 109/L. Anemia aplastik yang lebih
ringan dari anemia aplastik berat disebut anemia aplastik tidak berat (non –severe aplastic
anemia).
Diagnosis Banding
1. Sindrom mielodisplatik
2. Leukemia aleukemik
3. Anemia mioloptisik
4. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
5. Pansitopenia karena sebab lain
Penatalaksanaan
 Terapi kausal : terapi untuk menghindari agen penyebab
 Tindakan suportif :
 Transfusi sel darah merah jika anemia < 7 g/fl, Hb cukup dinaikkan sampai Hb sekitar 10
g/dl, tidak perlu sampai normal.
 Transfusi trombosit konsentrat jika terdapat perdarahan atau trombosit 10.000-20.000/
mm3
 Usaha untuk mengatasi infeksi : hygiene mulut, pemberian antibiotika yang tepat dan
jika perlu / tersedia dapat dipertimbangkan transfusi granulosit konsentrat.
 Usaha untuk merangsang sumsum tulang :
 Anabolik steroid : oksimetolon atau stanozolol
 Kortikosteroid : dapat dicoba prednison 40-60 mg selama 4 minggu, jika ada respon
dapat diteruskan.
 Growth factor yaitu penggunaan granulocyte colony stimulating factor(G-CSF,Filgastrim
dosis 5 ig/kg/hari ) atau GM-CSF,Sargamostrim dosis 250 ig/kg/hari.
 Terapi ideal :
 Jika tersedia dapat dipertimbangkan :
 Pemberian anti lymphocyte globulin/anti tymocyte globulin yaitu dengan dosis 20 mg
/kg berat badan perhari selama 4 hari
 Transplantasi sumsum tulang : merupakan terapi ideal yang hanya dapat dikerjakan di
pusat yang lebih besar.

Prognosis
Tergantung dari berat ringannya penyakit. Kasus berat dan progresif meninggal dalam 3 bulan.
Kasus yang berjalan kronis meninggal dalam waktu setahun.
Anemia Hemolitik Autoimun

Definisi
Anemia hemolitik autoimun (AIHA) adalah suatu anemia hemolitik yang timbul karena
terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan destruksi
(hemolisis) eritrosit penderita sendiri.

Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi karena
gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.
Klasifikasi
Berdasarkan karakteristik autoantibody
A. Tipe panas (warm autoantibodi type): auotoantibodi aktif maksimal pada suhu tubuh 37oC
1. Idiopatik
2. Sekunder
- Penyakit limfoproliferatif
- Penyakit kolagen seperti SLE dll
- Penyakit-penyakit lain
- Obat (tipe hapten :penisilin,tipe komplek imun,tipe autoantibodi
B. Tipe dingin (cold autoantibody type) : autoantibodi aktif pada suhu <37oC
1. Idiopatik
2. Sekunder
- Penyakit limfoproliferatif
- Infeksi :Mycoplasma pneumonia,infectious mononucleosis,virus Ebstein Bar dll.
C. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria
1. Pada sifilis stadium III
2. Pasca infeksi(self limited)
D. Campuran tipe panas dan tipe dingin
Patofisiologi
Karena sebab yang belum diketahui, mungkin akibat gangguan regulasi imun, terbentuk
antibodi terhadap eritrosit sendiri (autoantibodi). Eritrosit yang diselimuti antibodi ini(sering
disertai komplemen ,terutama C3b) akan mudah difagositir oleh makrofag terutama pada lien
dan juga hati,oleh karena adanya reseptor Fc pada permukaan makrofag yang kontak dengan
porsi Fc dari antibodi.Hemolisis terutama dalam bentuk hemolisis ekstravaskuler akan
menimbulkan anemia dan ikterus hemolitik.Pada AIHA tipe dingin juga terbentuk krioglobulin

Gejala Klinis
1. Gejala anemia dapat timbul perlahan-lahan tetapi dapat juga timbul dalam waktu
pendek.AIHA merupakan salah satu penyebab anemia berat yang timbul dalam waktu
kurang dari 2 minggu.Derajat anemia pada umumnya sedang sampai berat.
2. Keluhan utama dapat juga berupa ikterus.
3. Pada pemeriksaan fisik sering dijumpai splenomegali ,tetapi tidak selalu ada. Ikterus sering
dijumpai pada anemia yang agak berat.
4. Pada AIHA sekunder dapat dijumpai gejala penyakit dasar, contohnya SLE
5. Pada AIHA dengan antibodi tipe dingin dapat dijumpai sindroma Raynaud
(akrosianosis,dingin, dan kesemutan pada ujung kaki dan tangan, ujung hidung dan daun
telinga).
Pemeriksaan Penunjang/Laboratorium
1. Anemia bervariasi dari sedang sampai berat.
1. Anemia bersifat normokromik normositer
2. Dijumpai polikromasi. Pada kasus berat dijumpai normoblast pada darah tepi,
mikrosferosit dan eritrofagositosis oleh monosit.
3. Dijumpai retikulositosis dengan leukosit dan trombosit normal kadang-kadang disertai
leukositosis ringan.
4. Gabungan AIHA dengan trombositopenia autoimun disebut sindroma Evans.
5. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik dengan rasio M:E sering <1
6. Bilirubin indirek serum sering meningkat tetapi bilirubin total jarang >5 mg/dl.
7. Bilirubin urine negatif tetapi urobilin urine positif kuat.
8. Haptoglobulin serum biasanya menurun dan LDH meningkat.
Tes Serologi
Diagnosis AIHA memerlukan pembuktian adanya imunoglobulin dan atau komplemen
yang terikat dengan eritrosit penderita.Tes baku adalah dengan Direct Antiglobulin Test (DAT)
atau Coomb test.Dapat dipakai antiserum polivalen (campuran anti-Ig G dan C3) kemudian
dilanjutkan dengan tes spesifik terhadap IgG atau komplemen (C3).
Pada sebagian kecil penderita titer antibodi rendah sehingga memberi hasil negatif
palsu. Pemakaian steroid atau obat imunosupresif lain juga mempengaruhi hasil DAT. Pada
AIHA tipe dingin,DAT polivalen sering negatif tetapi Anti C3 positif.
Diagnosis
Diagnosis AIHA dibuat jika terdapat :
1. Tanda anemia hemolitik didapat (gejala klinis, anemia normokromik normositer,
hemolisis ektravaskuler, kompensasi sumsum tulang)
2. Tes antiglobulin direk positif.Hanya sebagian kecil penderita menunjukkan tes negatif.
3. Pada AIHA tipe dingin dijumpai sindrom Raynaud, anti C3 positif dan titer aglutinin
dingin meningkat.
Dianosis Banding
1. Anemia hemolitik lain: sperositosis herediter, anemia hemolitik mikroangiopatik,sepsis
clostridial. Disini DAT negatif.
2. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria : adanya hemoglobinuria, DAT negatif,tes sukrose
atau tes HAM positif.
Penatalaksanaan
1. Pengobatan penyakit dasar : menghentikan obat yang dicurigai sebagai penyebab
AIHA.Kelola penyakit dasar penyebab AIHA sehingga dapat menghentikan hemolisis.
2. Pada AIHA dengan antibody panas :
a. Pengobatan baku adalah dengan pemberian kortikosteroid oral. prednison 1-1,5
mg/kgbb perhari (60-120 mg). Steroid akan memblok reseptor Fc makrofag, sehingga
mengurangi hemolisis. Jika respon baik maka retikulosit dan hemoglobin akan
meningkat dalam 1-2 minggu.Pada AIHA berat respon biasanya sangat kecil atau tidak
sama sekali.Jika respon baik dan hemoglobin mendekati normal maka steroid
diturunkan pelan-pelan, maksimum 10 mg dalam seminggu.Dicari dosis pemeliharaan
yang minimal.Jika dapat dicapai dosis prednisone 15 mg/hari maka diganti dengan
pemberian tiap 2 hari sekali (alternate dose). Jika hemoglobin turun lagi, segera naikkan
dosis steroid.Jika dosis pemeliharaan memerlukan lebih dari 30 mg prednisone/hari,
maka dicari terapi alternative lain.
b. Jika pada AIHA dengan anemia berat respon steroid tidak adekuat dalam minggu ke 2
atau 3 maka dipertimbangkan pemberian obat imunosupresif lain seperti azathioprim
atau siklofosfamid. Siklofosfamid diberi dalam bentuk pulse dose 100 mg iv sebanyak 2
atau 3 kali
c. Pada AIHA yang refrakter terhadap steroid, dalam jangka panjang dapat
dipertimbangkan splenektomi.
d. Pada AIHA panas dengan anemia berat yang disertai payah jantung dipertimbangkan
pemberian “washed rd cell’ .Sering timbul kesulitan dalam cross match, jika terpaksa
dapat diberikan at least compatible blood dengan pengawasan ketat. Dapat diberikan
metilprednisolon intravena dosis tinggi, atau pemberian hipergamaglobulin: 400
mg/kgbb/hari selama 5 hari.Tindakan lain adalah dengan melakukan plasmapheresis.
3. Pada AIHA dengan antibody dingin
a. Steroid tidak memberi respon yang baik oleh karena itu tidak dipakai.
b. Hindari kontak dengan dingin
c. Jika anemia berat dapat diberikan trasfusi washed red cell dengan darah yang
dipanaskan mendekati 37oC atau pertimbangkan plasmapharesis.
d. Kadang-kadang alkylating agent(siklofosfamid) memberikan respon.

PROGNOSIS
Tergantung penyebab dari AIHA dan berat ringannya proses hemolitik.
Polisitemia Vera

Definisi
Kelainan yang ditandai peningkatan absolut jumlah sel darah merah dan pada total
volume darah, biasanya diikuti lekositosis, trombositosis dan splenomegali. Juga dikenal dengan
polisitemia rubra vera, eritremia, spenomegalic policitemia, vaquez dissease, Osler’s dissease
Etiologi
Polisitemia merupakan kelainan klonal stem sel yang ditandai hiperproliferasi linease sel
eritroid, myeloid, dan megakaryosit. Pathogenesis molekuler tidak jelas diketahui. Paparan
radiasi, benzena dan petroleum meningkatkan risiko. Mutasi Janus Kinase 2 (JAK 2) suatu
Cytoplasmisc tyrosin kinase untuk instigating signal intraceluler untuk eritropoeitin,
trombopoetin, interleukin-, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF)
didapatkan pada 95% pasien dengan PV.
Epidemiologi
Insiden 2,3 per 100.000 penduduk, dengan median umur saat diagnosis 60 tahun,
sedikit lebih dominan pada laki-laki. Kejadian PV jarang pada kulit hitam dibanding Kaukasus,
relatif banyak pada Yahudi
Manifestasi Klinis
 Gejala yang berhubungan dengan hiverviscousitas, hambatan aliran darah, seperti sakit
kepala, pusing, tinnitus, gangguan penglihatan, angina pectoris, claudicatio intermitent
 Komplikasi perdarahan: epistaksis, perdarahan gusi, ekimosis, perdarahan
gastrointestinal.
 Trombosis: stroke, arterial trombosis.
 Abdominal pain karena peptic ulcer
 Spenomegali
 Pruritus
 Plethora : pada wajah, telapak tangan, dasar kuku, mukosa dan konjungtiva
Komplikasi
Vascular accidant, transisi menjadi leukemia akut
Diagnosis
Berdasarkan International Polycythemia Vera Study Group, menetapkan 2 kriteria dalam
menegakkan diagnosis PV
 Kriteria mayor
Massa sel darah merah pd laki-laki >36/kg, > 32 ml/kg pada wanita
Saturasi oksigen arterial >90%
Splenomegali
 Kriteria minor
Leukosit alkaline pospatase (LAP) > 100unit ( tnp demam dan infeksi)
Lekositosis > 1200 x 109(tnp demam/infeksi)
Serum vit B12 > 900 pg/ml
atau
Unbounded Vit B12 binding capacity >2200 pg/ml
Trombositosis, hitung trombosit > 400,000 x 109/L
Pasien dengan polisitemia vera jika
 Terpenuhi ketiga kriteria mayor
 Terdapat 2 kriteria mayor yang pertama + 2 kriteria minor

Kriteria diagnostik yang dimodifikasi :


A1 : peningkatan sel darah merah (PCV > 0,60 pada laki-laki dan >0,56 pada wanita)
A2 : tidak ada penyebab eritrositosis sekunder
A3 : palpable splenomegali
A4 : marker klonal ( abnormal kariotipe sumsum tulang didapat)
B1 : trombositosis ( hitung trombosit > 400 x 109/L)
B2 : netrofil lekositosis ( netrofil > 10 x 109/L, pd perokok > 12,5 x 109/L)
B3 : splenomegali berdasarkan USG
B4 : penurunan serum EPO
Polisitemia vera jika : A1 + A2 + A3 atau A4 ATAU A1 + A2 + 2 B
Diagnosis Banding
1. Familial polisitemia
- Kadar eritropoeitin tinggi
- Kadar eritropoeitin rendah atau normal
2. Polisitemia sekunder
- Respons terhadap hipoksia
penyakit paru kronis, pickwickian syndrom, sleep apneu, hidup di dataran tinggi,
perokok dan polisitemia diinduksi CO2
- Innapropriate physiologically
 Tumor: renal cell carcinoma, wilms tumor, hepatoma, fibroma uteri, hemangioma
cerebeller, myxoma atrial
 Penyakit ginjal jinak: penyakit ginjal polikistik, hidronefrosis, stenosis arteri renalis
 Eritrositosis pasca transplantasi ginjal
 Kelainan endokrin: feokromositoma, hiperaldosteronisme primer,barter syndrome,
cushing syndrome
 Pemakaian hormon yang menstimulasi eritropoeisis : eritropoeitin, androgen

Penatalaksanaan
1. Flebotomi : hematokrit < 47 % pada laki-laki dan pada wanita 42 %
Indikasi flebotomi :
a. Pada polisitemia Vera ditujukan pada semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada
pasien masih dalam usia subur.
b. Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika HT > 55% dengan target Ht < = 55%
c. Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang
ditimbulkan oleh hiperviscousitas dan penuunan shear rate, atau sebagai
penetalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom paraneoplastik.
2. Fosfor radioaktif (P32) : dosis 2-3 mci/ m2 scr intravena, dosis oral dinaikkan 25%
3. Kemoterapi sitostatika
Indikasi sitostatika pada :
a. Hanya untuk polisitemia vera
b. Flebotomi pemeliharaan > 2kali/bulan
c. Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis
d. Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin
e. Splenomegali simptomatik/ mengancam ruptur limpa
Cara pemberian sitostatika:
- Hidroksiurea: dosis 800-1200 mg/m2/hr, atau sehari 2 kali dengan dosis 10-15
mg/kgBB/kali
- Chlorambucil: dosis induksi 0.1-0.2 mfg/kg/hr selama 3-6 minggu, dosis
pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu
- Busulfan: 0.06 mg/kg/hr, sampai tercapai target dilanjutkan pemberian intermitten
untuk pemeliharaan.
Pemberian obat dihentikan jika hematokrit :
- Hematokrit pada pria <= 47%, diberikan lagi jika >52%
- Pada perempuan hematocrit <= 42%, diberikan lagi jika > 49%
4. Pengobatan suportif
- Hiperurisemia diobati dengan allupurinol 100 –600 mg/hr
- Pruritus dan urtikaria diberikan psoralen
- Gastritis akut dengan penghambat H2
- Antitrombosit anegrilide turunan quinazoline dapat menekan trombopoesis

Monitoring
Komplikasi dan transisi leukemia akut
Prognosis
Median survival rate tanpa pengobatan adalah 6 sampai 18 bulan, dengan pengobatan
survival > 10 tahun.
Leukemia Mieloid Akut

Nama lain:
1. Leukemia mieloblastik akut
2. Leukemia non-limfoblastik akut

Definisi
Leukemia mieloid akut ialah suatu proliferasi neoplastik yang bersifat sistemik dari sel induk
mieloid ataupun turunannya yang mengakibatkan ekspansi progresif clone sel ganas dan
penekanan sistem hemopoetik normal dalam sumsum tulang serta infiltrasi ke dalam organ
lain. Perjalanan penyakit bersifat akut, tanpa pengobatan penderita meninggal dalam 2-4 bulan.

Etiologi
Faktor-faktor etiologi yang diperkirakan bertanggungjawab ialah :
1. Environtmental agent yang merusak DNA : ionizing radiation,bahan kimia(benzene dll),obat-
obatan (alkylating agent)
2. Virus misalnya HTLV 1 untuk T cell leukemia
Klasifikasi
Klasifikasi yang umum dipakai ialah klasifikasi dari FAB (French, American, British Cooperative
group) yang membagi LMA berdasarkan morfologi sel dan sel yang dominan.
1. M1 : mieloblastik tanpa maturasi
2. M2 : mieloblastik dengan maturasi
3. M3 : leukemia progranulosit akut
4. M4 : Leukemia mielomonositik akut
5. M5 : Leukemia monositik akut
M5a : tanpa maturasi
M5b : dengan maturasi
6. M6 : Eritroleukemia
7. M7 : Leukemia megakariositik akut
Epidemiologi
Insiden leukemia di Negara barat adalah 13 per 100.000 penduduk,lebih sering ditemukan pada
uimur dewasa.

Patofisiologi
Adanya faktor etiologi dan faktor pencetus menyebabkan mutasi somatik sel induk mieloid
yang mengakibatkan gagal diferensiasi (diferentiation arrest) sehingga terjadi akumulasi sel
leukemia dalam sumsum tulang yang berakibat:
- Supresi sistem hemopoietik  gagal sumsum tulang :
- anemia
- menurunnya fungsi leukosit  infeksi
- trombositopenia
- Infiltrasi ke dalam organ lain :
1. Darah
2. RES
a. hepatomegali
b. splenomegali
c. limfadenopati
3. Tempat lain : kulit, testis, meningen, tulang / periost
- Gejala hiperkatabolik

Gejala Klinis
- Anemia : pucat dan lemah
- Netropenia : infeksi  demam, ulcus pada mulut dan faring, infeksi saluran nafas sampai
sepsis
- Trombositopenia : perdarahan kulit (petechie dan echymosis), perdarahan mukosa, gusi,
epistaksis atau menoragi
- Hiperkatabolik : kaheksia, keringat malam dan hiperuria
- Infiltrasi ke organ : nyeri tulang (nyeri sternum), limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali, hipertrofi gusi dan sindroma meningial.

Komplikasi
Sindroma lisis tumor,infeksi neutropenia dan perdarahan trombopenia/koagulasi intravaskular
diseminata

Pemeriksaan Penunjang
1. Hb menurun, bisa berat dan timbul cepat, anemia jenis normokromik normositer
2. Leukosit umumnya meningkat, bisa normal atau menurun (subsistemik atau aleukemik)
3. Trombositopenia
4. Hapusan darah tepi : sel muda blast > 5%. Jika tampak Auer rod diagnosis ke arah LMA.
Anemia normokromik normositer disertai trombosit menurun.
5. Technicon H-1 : anemia normokromik normositer, trombositopenia, granulosit meningkat,
blast ++, mieloperoksidase meningkat
6. Sumsum tulang: hiperseluler, myeloid hiperplasia, blast > 30%, Auer rod positif
menandakan mieloblast.

Diagnosis
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis, adanya sel blast (non limfoblast) dalam darah tepi >
5%, dipastikan dengan ditemukannya sel blast > 30% dalam sumsum tulang.
Diagnosis Banding
1. ALL
2. Sindrom mielodisplasia
3. Reaksi leukemoid
4. Leukemia kronis yang mengalami trasformasi akut
Penatalaksanaan
- Terapi suportif:
- Anemia  tranfusi packed red cell
- Trombositopenia (< 20 x 109/1)  tranfusi konsentrat trombosit. Tranexamic acid
dapat mengurangi fibrinolisis
- Infeksi :
Pencegahan :
- Ruangan antibiotika / isolasi
- Mengurangi flora usus / kuman komensal lain : kotrimoksasol oral, anti fungal :
nystatin dan fluconazole.
- Diit khusus
Pengobatan :
- Terapi antibiotika intensif
- Sebelum ada hasil biakan, tikarsilin kombinasi dengan aminoglikosida atau
cephalosporin.
- Jika ada hasil sensitivitas sesuaikan dengan hasil kepekaan.
- Terapi sitostatika:
Terapi minimal: Kombinasi 6-MP dan prednison, terapi pemeliharaan dengan 6-MP saja.
Terapi ideal:
- Remisi induksi dengan:
 kombinasi Daunorubicin : 60 mg/m2/hari, iv, hari 1-3, dengan Cytosine arabinoside
100 mg.m2/hari, iv, kontinyu selama 7 hari (three plus seven regimen)
 dapat juga diberikan kombinasi DAT (Daunorubicin, Cytosin arabinose dan 6
thioguanin)
 untuk kasus resisten diberikan “high dose Ara C atau kempterapi dosis tinggi lainnya.
- Terapi post remisi
 konsolidasi /intensifikasi:
o 2-6 siklus Ara-C + 6 TG dengan atau Daunorubicin.
o Ara C dosis tinggi
 Terapi pemeliharaan: masih kontroversial
- Transplantasi sumsum tulang:
Merupakan terapi ideal yang dapat dilakukan pada pusat perawatan yang maju
a. Alogeneik: dari donor sedarah yang cocok atau donor lain.
b. Autolog : donor dari penderitaan sendiri
Diberikan pada remisi pertama atau kedua.
Persiapan : iradiasi seluruh tubuh dan sitostatika (siklofosfamid) dosis tinggi.
Pasca transplantasi : terapi suportif intensif selama belum terjadi “engraftment” dan
pengawasan komplikasi seperti penyakit graft versun host dan penyulit lain.

Prognosis
Dengan terapi intensif: 60-80% kasus AML mencapai remisi, sekitar 30% tetap hidup bebas
penyakit selama 3-5 tahun dan sebagian darinya dapat sembuh sempurna.
Leukemia Limfoblastik Akut

Definisi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) atau Acute Lymphoblastioc Leukemia (ALL) adalah leukemia
akut dengan sel muda yang dominan ialah sel turunan limfoid.
Insiden :
- Paling sering pada anak umur 3-4 tahun
- Pada orang dewasa lebih jarang

Etiologi
Penyebab LLA dewasa sebagian besar tidak diketahui. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi
klinis yg berhubungan dgn LLA :
- Radiasi ionik;
- Paparan benzene kadar tinggi;
- Merokok;
- Obat kemoterapi;
- Infeksi virus Epstein Barr;
- Pasien sindrom Down atau Wiskott-Aldrich

Epidemiologi
Insiden LLA adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia kurang dari 15 tahun.
Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih sering ditemukan pada pria dibandingkan wanita.

Patogenesis
Mekanisme pembentukan kanker adalah hilangnya gen supresor tumor yang mengontrol
progresi siklus sel. Kejadian yang sering adalah delesi, mikrodelesi, dan penyusunan kembali
gen . Kelainan sitogenetik yang sering ditemukan adalah t(9;22)/BCR-ABL dan t(4;1)/ALL1-AF4.
Manifestasi klinis
Sama dengan LMA.
Komplikasi
Anemia, perdarahan, infeksi.

Diagnosis
Sama dengan diagnosis AML, tetapi sel muda yang dijumpai dari jenis limfoblast.
Klasifikasi LLA
1. Klasifikasi menurut FAB
a. L1 – sel-sel kecil dan homogen
b. L2 – sel lebih besar dan heterogen
c. L3 – bervakuola dengan sitoplasma basofil – tipe Burkitt
2. Klasifikasi menurut petanda imunologik.
Jika fasilitas memungkinkan dilakukan klasifikasi ini :
a. Berasal dari prekursor sel – B (tdt +) :
i. Common – ALL (CD 10+) :
ii. Null Cell – ALL (CD 10 -) :
iii. Pre – BALL (intracytoplasmic chain +)
b. T – ALL (T – cell antigen +)
c. B – ALL (surface immunoglobulin +, tdt -)
Diagnosis Banding
1. Limfositosis, limfadenopati dan hepatosplenomegali yang berhubungan dengan infeksi
virus dan limfoma.
2. Anemia aplastik.

Prognosis
Bila pada analisa sitogenetik ditemukan gen BCR-ABL maka merupakan suatu prognosis yang
buruk.
Penatalaksanaan
Prinsip sama dengan LMA, hanya berbeda dalam pilihan kemoterapi.
Terapi LLA dibagi menjadi : 1) Induksi remisi; 2) Intensifikasi atau konsolidasi; 3) Profilaksis
susunan saraf pusat; 4) Pemeliharaan jangka panjang.
Regimen Royal Adelaide Hospital:
1. Induksi
Daunorubicin 30 mg/m2 IV lebih dari 30 menit Hr ke 1,2,3,15 & 16
Vincristine 2 mg IV lebih dari 10 menit Hr ke 1,8,15 & 22
Cyclophospamide 750 mg/m2 IV lebih dari 30 menit Hr ke-1 & 8
Prednisolon 60 mg/m2 oral Hr ke 1-7 & 15-21
Tripel terapi IT Hr ke-2,8,15,22,35,120,150 & 180
Biopsi Sumsum tulang Hr ke – 28

2. Induksi fase 2
Mitozantrone 10 mg/m2 lebih dari 30 menit Hr ke-3,4,5
Cytosine Arabinose 1 gm/m2 tiap 12 jam Hr ke 1-4

3. Konsolidasi
Methotrexate 1500 mg/m2 lebih dari 30 menit Hr ke 65
Setelah alkalinisasi urin diikuti dgn
Folinic acid 25 mg/m2 tiap 6 jam setelah 24 jam (12 dosis)
Asparaginase 10,000 unit/m IV/IM lebih dari 1 jam Hr ke 66
Methotrexate 1500 mg/m2 lebih dari 30 menit Hr ke 80
Setelah alkalinisasi urin diikuti dgn
Folinic acid 25 mg/m2 tiap 6 jam setelah 24 jam (12 dosis)
Asparaginase 10,000 unit/m2 IV/IM lebih dari 1 jam Hr ke 81
Cyclophospamide 1000 mg/m2 IV lebih dari 30 menit Hr ke 95
Cytosine Arabinose 500 mg/m2 tiap 12 jam Hr ke 95
4. Radiasi kranial pada hari ke 120
5. Re-induksi
VAD 2x pada hari ke 150 &180
6. Maintenance
Mercaptopurine & Methotrexare

Monitoring
1. Metabolik
Hiperurikemia, hiperfosfatemia dan hipokalemia sekunder dapat terjadi pada pasien dengan
jumlah sel leukemia yang sangat banyak.
2. Infeksi
Selain mielosuresi terapi LLA juga dapat menekan imunitas seluler sehingga ada yang
memberikan pencegahan terhadap infeksi virus herpes dan Pneumocystic carinii.
3. Hematologik
Tranfusi darah bila anemia. Pada keadaan hiperleukosistosis (leukosit >100.000/mm3)
dilakukan leukoferesis atau pemberian prednison selama 7 hari atau vinkristin sebelum
terapi induksi remisi dimulai.
Leukemia Mieloid Kronik (LMK)

Definsi
LMK ialah leukemia kronik dengan sel yang dominan ialah sel seri mieloid. Leukemia
Granulositik Kronik (LGK) ialah leukemia mieloid kronik dengan Philadelphia chromosome
positif. LGK merupakan 95% dari seluruh LMK.
Fase perjalanan penyakit :
1. Fase kronik : berjalan pelan sampai sekitar 4 tahun.
2. Fase akselerasi / transformasi akut : secara pelan-pelan atau tiba-tiba berubah menyerupai
leukemia akut.

Etiologi
Etiologi pasti belum diketahui.

Epidemiologi
Merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling sering dijumpai
di Indonesia. Insiden di Negara barat 1-1,4/100.000/tahun. Umumnya mengenai usia
pertengahan dengan puncak pada umur 40-50 tahun. Pada anak-anak dapat dijumpai juvenile
CML.

Patogenesis
Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Phl chr) suatu reciprocal translocation
9,22 (t, 9:22). Sebagai akibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric oncogen) yaitu abl-
acr oncogen. Gen baru akan mentranskripsikan chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric
protein. Timbulnya protein baru ini akan mempengaruhi transduksi signal pada inti sel sehingga
terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel-sel myeloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini
menyebabkan proliferasi pada seri myeloid.
Manifestasi klinis
A. Fase kronik
1. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia dan berkeringat malam.
2. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan
4. Anemia pada fase awal sering hanya ringan
5. Gejala gout, gangguan penglihatan dan priapism
6. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan.
B. Fase transformasi akut
1. Anemia dan demam semakin progresif
2. Respon penurunan lekosit terhadap kemoterapi mula-mula baik menjadi menurun
3. Splenomegali kambuh lagi dan refrakter terhadap kemoterapi
4. Anemia progresif dan timbul trombositopenia
5. Pada akhirnya timbul gambaran klinik yang menyerupai leukemia akut
Komplikasi
Ruptur lien

Diagnosis
Dibuat berdasarkan adanya splenomegali, leukositosis berat dan gambaran darah tepi yang
khas. Pada kasus LMK dapat dijumpai kelainan laboratorium :
1. Darah tepi :
a. Leukositosis, biasanya antara 20-60.000/mm3
b. Hapusan darah tepi : menunjukkan spektrum lengkap seri granulosit. Yang paling
dominan ialah netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 5%.
c. Anemia normokromik – normositer, ringan sampai sedang
d. Trombosit pada fase awal sering normal atau meningkat.
e. Fostatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phospatase) rendah.
f. Peningkatan kadar sel basofil mendukung diagnosis LMK.
2. Sumsum tulang: hiperseluler dengan dengan hiperplasia mieloid.. Gambarannya sangat
mirip dengan gambaran darah tepi. Megakariosit sering meningkat dengan
mikromegakariosit.
3. Sitogenetik: Pada 95% kasus dijumpai Philadelphia chromoson (Ph1) positif, yang
translokasi respiprokal antara chr 9 dan 22 (19, 22).
4. Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat
5. Pemeriksaan PCR dapat mendeteksi adanya chimeric protein ABL-BCR pada 99% kasus.
Tanda-tanda transformasi akut :
a. Demam dan anemia semakin progresif, sering disertai trombositopenia
b. Respon penurunan leukosit terhadap kemoterapi menurun
c. Splenomegali refrakter terhadap kemoterapi
d. Blast dalam sumsum tulang meningkat > 10%.

Diagnosis Banding
1. Mielosklerosis dengan metaplasia : leukositosis, splenomegali massif, tear drop cell,
sclerosis sumsum tulang.
2. Penyakit myeloproliferatif yang lain : polisitemia vera dan trombositemia esensial

Penatalaksanaan
Pilihan kemoterapi:
1. Fase kronik
o Busulphan (Myleran)
0,1 – 0,2 mg/kg BB/hari. Leukosit diperiksa setiap minggu,
Dosis obat diturunkan setengahnya jika leukosit menjadi setengah dari semula. Obat
dihentikan jika leukosit menjadi 20.000/mm3. Obat dimulai lagi jika leukosit menjadi
50.000/mm3. Dapat juga diberikan terapi pemeliharaan dengan dosis kecil, atau
diberikan dosis lebih besar tiap 4-6 minggu. Awasi efek samping obat :
Aplasia sumsum tulang - - pansitopenia
Fibrosis paru, pigmentasi kulit dan keganasan hematologik sekunder
o Hydoxurea
Merupakan pilihan kedua (di negara maju merupakan pilihan pertama), efek samping
lebih kecil. Dosis ialah 0,5-3 gram secara kontinyu dengan titrasi dosis
o Imatinib mesylate (Glivec)
Dosis 400 mg/hr setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 600 mg/ hari bila:
progresifitas dari penyakit, tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan,
hilangnya respon hematology yg telah dicapai sebelumnya.
Penyesuaian dosis imatinib mesylate :
 Bila terjadi peningkatan bilirubin > 3x batas atas normal atau transaminase > 5x
batas atas normal, imatinib mesylate ditunda sampai bilirubin < 1,5 x batas atas
normal dan transaminase 2,5 x batas atas normal, dapat diberikan kembali dengan
penurunan dosis.
 Penurunan jumlah netrofil < 1 x 109/l dan atau jumlah platelet < 50 x 109/l stop
pemberian sampai terjadi peningkatan netrofil > 1,5 x 109/l dan platelet ≥ 7,5 x 109/l
terapi dilanjutkan dengan dosis 400 mg. Bila terjadi penurunan jumlah netrofil < 1 x
109/l atau jumlah platelet < 50 x 109/l yang berulang, dosis diturunkan menjadi 300
mg.
o Interferon
Sering digabung dengan kemoterapi atau diberikan setelah remisi hematologik. Dosis :
5-10 juta unit/hari, diberi selama 5 hari dalam seminggu. Obat ini dapat menimbulkan
remisi sitogenik: kromososm phliladelphia menghilang, tetapi sering muncul lagi jika
obat dihentikan. Apakah interferon dapat menunda transformasi akut: masih
kontroversial.
2. Fase transformasi akut
Sama dengan terapi leukemia akut tapi respon sangat rendah.
Untuk fase akselerasi dosis imatinib mesylate 800 mg/hari (400 mg b.i.d).
Penyesuaian dosis imatinib mesylate:
 Bila terjadi peningkatan bilirubin > 3x batas atas normal atau transaminase > 5x
batas atas normal, imatinib mesylate ditunda sampai bilirubin < 1,5 x batas atas
normal dan transaminase 2,5 x batas atas normal, dapat diberikan kembali dengan
penurunan dosis (misal : 600 mg atau 400 mg).
 Penurunan jumlah netrofil < 0,5 x 109/l dan atau jumlah platelet < 10 x 109/l
dilakukan pengecekan apakah sitopenia berhubungan dgn lekemi (aspirasi atau
biopsy sutul). Bila sitopenia tidak berhubungan dengan lekemi dosis imatinib
mesylate diturunkan 400 mg/hari, bila sitopenia menetap selama 2 minggu dosis
diturunkan menjadi 300 mg. Bila sitopenia menetap selama 4 minggu dan tidak
berhubungan dgn lekemi, stop imatinib mesylate sampai netrofil > 1 x 109/l dan
platelet ≤ 20 x 109/l, terapi dilanjutkan dgn dosis 300 mg.
3. Transplantasi sumsum tulang
Memberikan harapan penyembuhan jangka panjang terutama pada penderita yang
berumur kurang dari 40 tahun.
4. Obat penunjang lain :
- Allupurinol : untuk menurunkan asam urat
- Iradiasi lien : jika splenomegali tidak responsif pada kemoterapi

Monitoring
Efek samping obat
Pemeriksaan darah lengkap dan Fungsi liver berkala pada penderita dengan terapi Imatinib
Mesylate

Prognosis
Harapan hidup rata-rata 3-4 tahun, sekitar 10% hidup lebih dari 10 tahun.rbau
Dengan pengobatan terbaru (Glivec) diharapkan adanya perpanjangan angka harapan hidup
penderita LMK.
SINDROMA MIELODISPLASTIK
(MYELODISPLASTIC SYNDROME = MDS)

Definisi
Nama lain :
- Sindroma preleukemia
- Sindroma dismielopoetik
Sindroma mielodisplastik adalah sekelompok kelainan hematologik klonal yang ditandai oleh
sitopenia dalam darah tepi serta tanda-tanda displastik pada darah tepi dan sumsum tulang
yang disebabkan oleh gangguan maturasi (displasia) satu atau lebih garis sel (cell line)
hemapoetik.

Etiologi
MDS primer sebab pasti belum diketahui, meliputi: preleukemia, smouldering leukemia,
oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia, primary acquired sideroblastic anemia.
MDS sekunder, bila penyebabnya diketahui, seperti: defisiensi vitamin B12, defiseinsi asam
folat, pengobatan sitostatik, dan sebagainya.

Epidemiologi
MDS adalah penyakit yang relatif baru sehingga data mengenai insiden penyakit ini
belum banyak diketahui. Pada pertengahan 1982 Leukemia Research Fund di Inggris
mendapatkan insiden 3,6/100.00o/tahun. Studi dari Dusseldorf, insiden periode 1986-1990
sebesar 4,1/100.000.tahun. Soebandiri et al yang meneliti di Surabaya tahun 1981-1986
mendapatkan sejumlah 38 kasus. Suega et al, melaporkan MDS merupakan 14% dari 86 kasus
yang dirawat pada Divisi Hematologi Bagian Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar, dan
merupakan urutan kedua setelah anemia aplastik.
MDS merupakan penyakit usia lanjut, dengan > 80% kasus berusia lebih dari 60 tahun
dengan umur rerata 65 tahun. Rasio laki-laki:wanita = 2:1.
Patogenesis
Penyebab MDS belum diketahui secara pasti dan sulit dipisahkan dari penyebab
leukemia dan penyakit mieloproliferatif lainnya.Diajukan hipotesis bahwa pengaruh factor
lingkungan, kelainan genetic dan interaksi sel menimbulkan mutasi pada tingkat sel induk
sehingga menimbulkan ketidakseimbangan proses proliferasi dan diferensiasi. Onkogenesis
pada MDS bersifat multistep dimana terjadi proses akumulasi perubahan genetic yang pada
akhirnya menuju suatu neoplasma ganas, setelah sebelumnya melewati fase premaligna.

Manifestasi klinis
- Sering timbul perlahan-lahan, dapat juga asimtomatik
- Gejala sering timbul akibat pansitopenia : anemia, infeksi dan perdarahan
- Organomegali seperti splenomegali, hepatomegali atau limfadenopati jarang dijumpai ,
kecuali pada CMML dimana splenomegali masif kadang-kadang disertai hepatomegali
dan limfadenopati.

Komplikasi
Dalam kondisi berat dapat menimbulkan: infeksi dan perdarahan yang fatal.

Diagnosis
Klinis: Anemia, perdarahan dan infeksi, pansitopenia pada daerah tepi dengan sumsum tulang
hiperseluler yang disertai tanda-tanda dishemopoetik, organomegali antara lain limadenopati,
splenomegali, hepatomegali.
Pemeriksaan Penunjang
• Anemia sering disertai leucopenia atau trombositopenia (bisitopenia) atau ketiganya
menurun (pansitopenia)
• Pada CMML dijumpai monositosis dengan monosit darah tepi > 1,0 x 109/L dan sel
darah putih total dapat melebihi 100 x 109/l
• Retikulosit: normal atau meningkat.
• Sumsum tulang: hiperseluler, dengan tanda-tanda dishemopoetik:
-
- -Huet
- -kecil atau binuklear atau polinuklear
- Ring sideroblast positif pada RARS Sel blast meningkat tetapi < 30%.
• Sitogenetik: kelainan sitogenetik pada MDS termasuk delesi, trisomi, monosomi dan
anomali struktur.
Klasifikasi menurut FAB
1. Refractory Anemia (RA)
2. Refractory Anemia With Ring Sideroblast (RARS)
3. Refractory Anemia With Excess Blast (RAEB)
4. Chronic Myelomonocyte Leukemia (CMML)
5. Refractory Anemia With Excess Blast in transformation (RAEB-t)

Diagnosis Banding
1. Anemia Aplastik
2. penyakit mieloproliferatif
3. MDS dan AML
4. Mielodisplasia pada HIV

Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung dari usia, berat ringannya penyakit dan progresivitas penyakitnya.
Pasien dengan klasifikasi RA dan RAEB pada umumnya bersifat indolen sehingga tidak perlu
pengobatan spesifik, cukup suportif saja.
• Cangkok sumsum tulang
Cangkok sumsum tulang alogenik merupakan pengobatan utama pada MDS terutama
dengan usia <30 tahun dan merupakan pengobatan kuratif.
• Kemoterapi
Umumnya diberikan pada tipe RAEB, RAEBt, CMML. Pengobatan dengan Ara-C dosis rendah
20 mg/m2/hari secara drip atau 10 mg/m2 secara subkutan setiap 12 jam selama 21 hari.
• GM-CSF atau G-CSF
Pada pasien MDS yang mengalami pansitopenia dapat diberikan GM-CSF atau G-CSF untuk
merangsang deferensiasi dari hematopoetic progenitor cells. GM-CSF diberikan dengan
dosis 30-500 mcg/m2/hari atau G-CSF 50-1600 mcg/m2 (0,1-0,3 mcg/kgBB/hari) subkutan
selama 7-14 hari.
• Lain-lain
Piridoksin 200 mg/hari selama 2 bulan. Danazol 600 mg/hari peroral selama 3 bulan dapat
meningkatkan trombosit terutama pada MDS tipe trombopeni. 13-cis retinoic acid dengan
dosis 1 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.

Monitoring
Efek samping obat
pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah tepi setiap minggu.

Prognosis
Pada sebagian besar MDS mempunyai perjalanan klinis menjadi kronis dan secara bertahap
terjadi kerusakan pada sitopeni. Survival sangat bervariasi dari beberapa minggu sampai
beberapa tahun. Kematian dapat terjadi pada 30% pasien yang progresif menjadi AML atau
bone marrow failure.
Limfoma Maligna

Definisi
Limfoma maligna ialah tumor padat yang berasal dari jaringan limfoid.
Secara klinis dan biologik limfoma maligna dibagi 2 golongan besar:
 Limfoma Hodgkin
 Limfoma Non-Hodgkin
Di Indonesia Limfoma Non-Hodgkin dijumpai lebih sering dibandingkan dengan limfoma
Hodgkin.

Limfoma Hodgkin = Penyakit Hodgkin

Definisi
Limfoma Hodgkin ialah limfoma maligna yang khas ditandai oleh adanya sel Reed Sternberg.

Etiologi
Faktor resiko untuk penyakit ini adalah :
1. Infeksi virus onkogenik : virus onkogenenik diduga berperan dalam menimbulka lesi
genetic. Virus-virus tersebut : virus Epstein-Barr, Sitomegalovirus, HIV, dan Human
Herpes Virus-6.
2. Defisiensi imun, pada pasien cangkok organ dengan pemberian imunosupresif atau
pasien cangkok sumsum tulang.
3. Keturunan

Epidemiologi
Di Amerika Serikat kasus baru berkisar 7500 kasus setiap tahun. Rasio laki-laki dan perempuan
1,3-1,4 berbanding 1. Distribusi usia antara 15-34 tahun dan di atas 55 tahun.
Patogenesis
Keganasan limfoproliferatif oleh agen infeksius melalui 2 mekanisme :
- Aktivasi jalur ekstrinsik reseptor antigen limfosit
- Aktivasi jalur intrinsic tanpa melalui antigen reseptor limfosit
Pada LH karena virus, protein virus mencegah apoptosis pada sel tumor.

Manifestasi klinis
1. Pembesaran kelenjar limfe asimetris, tidak nyeri, padat kenyal seperti karet. Urutan
kelenjar terkena : leher, aksila, inguinal, hilus paru, mediastinum dan abdominal.
2. Splenomegali pada 30-40% kasus, hepatomegali lebih jarang
3. Kadang-kadang muncul pada jaringan ekstranodal secara primer : kulit, paru, otak dan
sumsum tulang belakang.
4. Gejala konstitusional : demam, berat badan menurun dan berkeringat malam

Kelainan Laboratorium
1. Anemia ringan sampai sedang, normokromik normositer
2. Leukositosis moderat dijumpai pada 30% kasus
3. Eosinofilia dan basofilia
4. Laju endap darah meningkat
5. Sumsum tulang terkena pada 5-15% kasus

Diagnosis
Pemeriksaan klinis: pembesaran kelenjar asimetrik, yang dipastikan oleh adanya sel Reed-
Stenberg dengan latar belakang sel radang yang sesuai pada pemeriksaan histopatologi
kelenjar.
Klasifikasi staging Ann Arbor (diringkaskan):
• Derajat I
Terkenanya suatu regio kelenjar getah bening atau satu situs ekstralimfatik
• Derajat II
Terkenanya 2 atau lebih regio kelenjar getah bening pada satu sisi diafragma
• Derajat III
Terkenanya regio kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma
• Derajat IV
Terkenanya secara diseminata jaringan atau organ ekstralimfatik
A : tanpa gejala konstitusional
B : dengan gejala konstitusional

Prosedur staging :
1. Evaluasi awal
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik
- Lab rutin, faal hati, faal ginjal dan fosfatase alkali, asam urat dan LDH
- Pemeriksaan sumsum tulang
2. Evaluasi torak :
- Foto torak
- Jika perlu / fasilitas ada : scanning torak
3. Evaluasi abdomen :
- USG abdomen
- Limfangiografi
- Scanning abdomen
- Staging laparatomi (sekarang banyak ditinggalkan)
Klasifikasi histopatologik
Dipakai klasifikasi Rye:
1. Lymphocyte predominance
2. Mixed cellularity
3. Lymphocyte depleted
4. Nodular sclerosis

Penatalaksanaan
1. Penyakit Hodgkin derajat I dan IIA
Radioterapi : 4000 – 5000 rad dengan mantle field untuk lesi atas diafragma atau inverted Y
untuk lesi di bawah diafragma
2. Derajat IIB dengan risiko standar :
Radioterapi
3. Derajat IIB dengan simtom B lengkap atau derajat IIB dengan risiko tinggi (bulky disease,
dan tipe lymphocte depleted atau mixed cellularity)  kemoterapi
4. Derajat IIB dengan masa mediastinal besar atau bulky disease :
Radioterapi kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi
5. Penyakit Hodgkin derajat IIIA :
IIIA1 (lesi abdomen atas)  radioterapi (total nodal irradiation)
IIIA2 (lesi abdomen bawah)  kemoterapi atau kombinasi kemoterapi dan radioterapi
6. Derajat IIIB dengan derajat IV :
Kemoterapi dengan atau tanpa radioterapi

Jenis dan cara pemberian kemoterapi :


1. Regimen MOPP
 Mustargen (nitrogen mustard) : 6 mg/,2, iv, hari 1,8
 Oncovin (vincristin) : 1,4 mg/m2, iv, hari 1,8
 Procarbazine : 100 mg/m2, oral, hari 1-14
 Prednison : 40 mg.m2, oral, hari 1-14
2. Regimen ABVD
 Adriamycin : 25 mg/m2, iv, hari 1, 15
 Bleomycin : 10 mg/m2, iv, hari 1, 15
 Vinblastin : 6 mg/m2, iv, hari 1, 15
 Dacarbazine : 375 mg/m2, iv, hari 1, 15

Monitoring
Awasi efek samping obat dan respon terapi

Prognosis
Tergantung derajat penyakit, umur penderita, volume lesi dan tipe histologik.
Harapan hidup pasca terapi :
- derajat I – II : 85%
- derajat IIIA : 70%
- derajat IIIB-IV : 50%
Limfoma Non-Hodgkin

Definisi
Limfoma non-Hodgkin ialah tumor padat yang berasal dari limfosit pada berbagai tingkat
perkembangannya.

Etiologi
Sebagian besar etiologi LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa faktor resiko terjadinya
LNH, antara lain:
1. Imunodefisiensi : 25% kelainan herediter langka berhubungan dengan terjadinya LNH,
antara lain : severe combined immunodeficiency, hypogammaglobulinemia, common
variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia.
2. Agen infeksius : EBV DNA ditemukan 95% pada kasus limfoma Burkitt endemik.
3. Paparan lingkungan dan pekerjaan : peternak, petani dan pekerja hutan sering dihubungkan
dengan resiko tinggi disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut arganik.
4. Diet dan paparan lainnya : risiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan
tinggi lemak hewani, merokok dan yang terkena paparan ultraviolet.

Epidemiologi
Pada tahun 2000 di Amerika Serikat terdapat 54.900 kasus baru dan 26.100 orang meninggal
karena LNH. Angka kejadian kasus baru di Amerika Serikat, 5% pada pria dan 4% pada wanita.
Insidensi LNH meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan mencapai puncak pada usia
80-84 tahun.

Patogenesis
Defek pada imunoregulasi mengakibatkan gangguan produksi sitokin dan defek genetik
menyebabkan inefektif rearrangement pada immunoglobulin dan gene reseptor sel T selama
proses limfopoesis.
Kronik stimulasi dan obat imunosupresan merupakan penyebab NHL pada pasien tranplantasi
organ.

Manifestasi Klinis
1. Pembesaran kelenjar getah bening asimetrik dan tidak nyeri
2. Gejala konstitusional (simtom B) : demam, keringat malam, berat badan enurun
3. Gejala nasofaringeal : nyeri menelan, atau nafas ngorok
4. Hepatosplenomegali dapat dijumpai.
5. Terkenanya alat lain (ekstranodal) : kulit, otak, testis, dan kelenjar tiroid

Kelainan Laboratorium
1. Dapat terjadi anemia
2. Dapat terjadi pansitopenia jika sumsum tulang terkena
3. Sellimfoma atau limfoblast kadang-kadang dapat dijumpai dalarn darah tepi
4. Lesi sumsum tulang dijumpai pada 20% kasus
Pemeriksaan laboratorik lanjutan (jika fasilitas ada) :
1. Petanda imunologik
2. Sitogenik

Diagnosis
Harus berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dari biopsi kelenjar getah bening atau
jaringan ekstralimfatik.

Penderajatan penyakit (staging)


Memakai klasifikasi Ann Arborr
Prosedur penderajatan penyakit :
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan khusus pada cincin Waldeyer (konsul THl)
3. Laboratorium: darah rutin, hapusan darah tepi, faa! hati dan ginjal
4. Foto torak
5. Pemeriksaan sumsum tulang
6. Jika ada lesi pada cincin Waldeyer atau dugaan lesi saluran cerna, dilakukan foto saluran
cerna.
Pemeriksaan ideal jika fasilitas tersedia:
1. Limfangiografi
2. Scanning: torak dan abdomen

Klasifikasi histopatologik
Perumusan praktis untuk penggunaan klinis (Working formulation for clinical age)
- Low - grade malignancy
a. Small lymphocytic
b. Follicular, small cleaved
c. Follicular, mixed small cleaved and large cell
- Intermediate - grade malignancy
a. Follicular, large cell
b. Diffuse, small cleaved
c. Diffuse, mixed small and large cell
d. Diffuse, large cell
- High - grade malignancy
a. Large cell – immunoblastic
b. Lymphoblastic
c. Small non cleaved cell
- Burkitt
- non - Burkitt
Dianjurkan untuk memakai perumusan praktis ini
Klasifikasi Menurut REAL/WHO
B-Cell neoplasm
I. Precusor B-cell neoplasm: precusor B-acute lymphoblastic leukemia/lymphoblastic
lymphoma (B-ALL, LBL)
II. Peripheral B-cell neoplasm
a. B-cell chronic lymphocytic leukemia /small lymphocytic lymphoma
b. B-cell prolymphocytic leukemia
c. Lymphoplasmacytic lymphoma/immunocytoma
d. Mantle cell lymphoma
e. Follicular lymphoma
f. Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT type
g. Nodal marginal zone B-cell lymphoma (monocytoid B-cell)
h. Splenic marginal zone lymphoma (villous lymphocytes)
i. Hairy cell leukemia
j. Plasmacytoma/plasma cell myeloma
k. Diffuse large B-cell lymphoma
l. Burkitt’s lymphoma
T-cell and putative NK-cell neoplasms
I. Precusor T-cell neoplasm: precusor T-acute lymphoblastic leukemia/lymphoblastic
lymphoma (T-ALL, LBL)
II. Peripheral T-cell and NK-cell neoplasms
a. T-cell chronic lymphocytic leukemia /prolymphocytic leukemia
b. T-cell granular lymphocytic leukemia
c. Mycosis funguides/sezary syndrome
d. Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise characteristic
e. Hepatosplenic gamma/delta lymphoma
f. Subcutaneus panniculitis-like T-cell lymphoma
g. Angiomunnoblastic T-cell lymphoma
h. Extranodal T/NK-cell lymphoma, nasal type
i. Enteropathy-type intestinal T-cell lymphoma
j. Adult T-cell lymphoma/leukemia (HTLV 1+)
k. Anaplastic large cell lymphoma, primary systemic type
l. Anaplastic large cell lymphoma, primary cutaneus type
m. Aggressive NK-cell leukemia

Penatalaksanaan
1. Derajat keganasan rendah stadium I dan II :
- Mungkin observasi saja
- Atau radioterapi lokal
2. Derajat keganasan rendah stadium I dan II :
- Tumbuh lambat :
Obat tunggal dengan chlorambucil atau siklofosfamid, secara kontinyu atau intermitten.
- Tumbuh cepat :
Kemoterapi kombinasi (CVP) atau radioterapi (TNI)
3. Derajat keganasan menengah stadium I dan II :
- Radioterapi
- Dengan jangkitan luas : kemoterapi (CVP)
4. Derajat keganasan menengah stadium III dan IV :
- Kemoterapi kombinasi : CHOP
- Jika fasilitas memungkinkan :
Kemoterapi generasi II (M-Bacod, COP-BLAM, Promace-MOPP) atau generasi ketiga
(ketersediaan obat dan fasilitas pengawasan/pengelolaan efek samping abat yang baik
sangat menentukan keberhasilan terapi).
5. Derajat keganasan tinggi :
- Imunoblastik: kemoterapi kombinasi sarna seperti butir nomor 4.
- Limfoblastik: sama seperti terapi LLA
- Limfoma Burkitt: kemoterapi kombinasi intensif
Pengobatan baru/ideal:
- Transplantasi sumsum tulang
- Interferon alfa
- Anti CD-20 Antibodi : Rituximab

Kemoterapi:
Regimen CVP:
- Cyclophosphamid: 400 mg/m2, oral, hari 1 - 5.
- Oncovin (Vincristin) : 1,4 mg/m2, iv, hari 1.
- Prednison: 100 mg/hari, oral, hari 1 - 5.
Ulang siklus setiap 21 hari
Regimen CHOP:
- Cyclophosphamid : 750 mg/m2, IV, hari 1.
- Doxorubicin: 50 mg/m2, iv, hari 1.
- Oncovin : 1,4 mg/m2, iv, hari 1.
- Prednison: 100 mg/hari, oral, hari 1- 5.
Ulang siklus setiap 21 hari

Tabel Penyesuaian dosis terhadap angka leukosit dan trombosit


Lekosit / mm3 Trombosit / mm3 C V P
> 4000 > 100.000 100% 100% 100%
3000 - 4000 > 100.000 50% 100% 100%
2000 - 3000 50 - 100.000 25% 100% 100%
1000 – 2000 < 50.000 25% 50% 100%
< 1000 < 50.000 0% 0% 0%

Anti CD-20 antibodi: Rituximab (Mabtera®)  Sebagai terapi tunggal atau kombinasi.
Regimen RCHOP:
- Rituximab : 375/m2, IV, hari 1
- Cyclophosphamid : 750 mg/m2, IV, hari 1.
- Doxorubicin: 50 mg/m2, iv, hari 1.
- Oncovin : 1,4 mg/m2, iv, hari 1.
- Prednison: 100 mg/hari, oral, hari 1- 5.
Ulang siklus setiap 21 hari

Monitoring
Awasi efek samping obat dan respon terapi

Prognosis
Tergantung derajat penyakit, umur penderita, volume lesi dan tipe histologik.
Harapan hidup pasca terapi :
- derajat I – II : 85%
- derajat IIIA : 70%
- derajat IIIB-IV : 50%
Mieloma Multipel

Definisi
Mieloma multipel ialah keganasan hematologik yang berasal dari sel plasma dan dapat
dikelompokkan sebagai gamopati monoklonal.

Etiologi
Kejadian keganasan sel plasma mungkin merupakan suatu proses multi langkah. Faktor
genetik mungkin berperan pada orang-orang yang rentan untuk terjadinya perubahan yang
menghasilkan proliferasi sel plasma sebagai prekusor, membentuk klon yang stabil dari sel
plasma yang memproduksi protein M seperti pada MGUS. Suatu kelainan genetic yang spesifik
belum teridentifikasi. Kromosom yang sering terlibat hanya kromosom 1, 13 (13q-), dan 14
(14q+) menimbulkan dugaan bahwa gen-gen yang terlokalisasi pada kromosom ini telah
terganggu regulasinya.

Epidemiologi
Diagnosis myeloma multiple di Amerika berkisar 15.000 pasien pertahun sedangkan di kanada
berkisar 1800 pasien per tahun. Median survivalnya berkisar anatara 3-4 tahun. Angka
kejadiannya tergantung dari usia, laki-laki lebih sering terkena dibandingkan wanita.

Patoflsiologi
Perkembangan sel plasma maligna mungkin merupakan suatu proses multi langkah,
diawali dengan adanya serial perubahan gen yang mengakibatkan penumpukan sel plasma
maligna, adanya perkembangan perubahan di lingkungan mikro sumsum tulang, dan adanya
kegagalan system imun dalam mengontrol penyakit. Dalam proses multi langkah ini melibatkan
aktivasi onkogen selular, hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor, dan gangguan regulasi
gen sitokin.
1. Akibat produk sel mieloma :
a. Paraprotein (imunoglobulin) dalam darah mcningkat
b. Pelepasan free light chain dalam urine : protein Bence – Jones
c. Pelepasan. Osteolytic activating factor: timbul lesi tulang.
2. Pendesakan sel-sel ganas terhadap :
a. Sistem hemopoetik : timbul, anemia, leukopenia atau trombositopenia.
b. Tulang: lesi osteolitik dan hiperkalsemia

Manifestasi Klinis
1. Nyeri tulang, terutama tulang belakang. Dapat terjadi fraktur patologik. Kompresi
fraktur pada tulang hdakang dapat menimbulkan paraplegia.
2. Gejala anemia
3. Infeksi berulang, terutama infeksi paru dan saluran kencing.
4. Gejala gagal ginjal (uremia)
5. Gejala hiperkalsemia : anoreksia, mual, muntah, poliuria, kesadaran menurun.
6. Perdarahan : karena jumlah dan faal trombosit menurun.
7. Sindroma hiperviskositas : gangguan penglihatan vertigo, gagal jantung dan penurunan
kesadaran

Komplikasi
Fraktur patologis, gagal ginjal, hiperviskositas, diatesis hemoragik, anemia, infeksi.

Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1. Anemia normokromik normosilcr, bisa sampai anemia beral. Laju endap darah
meningkat. Leukopenia dan trombositopenia. Pada hapusan darah dijumpai Roulleaux,
dan mungkin sel plasma.
2. Sumsum tulang : hiperseluler dengan sel plasma abnormal (sel mieloma) lebih dari 10%.
3. Elektroporesis protein : spike pada fraksi gamma globulin. Pada imunoelektroforesis :
dijumpai peningkatan IgO : 59%, IgA: 23% dan light chain saja : 16%.
4. Urine: protein Bence Joncs positif. Jika dapat dikerjakan imunoelektroforesis : dijumpai
light chain dalam urine.
5. Hiperkalsemia, hiperurikemia, ureum dan kreatinin meningkat
b. Foto tulang
Dilakukan bone survey (tengkorak, torak, femur dan humerus proksimal, tulang belakang,
dan pelvis) : dijumpai lesi osteolitik (punched out) pada tulang pipih, tulang belakang dan
pangkal tulang panjang.

Kriteria diagnosis
I. Jika sel plasma (malignant looking plasma cell) dalam sumsum tulang lebih dari 10%.
atau
II. Memakai kriteria Wintrobe :
1. Kriteria sitologik :
- Sel plasma sumsum tulang lebih dari 10%
- Biopsi jaringan lain: adanya plasmasitoma
2. - Dijumpai protein mieloma secara elektroforesis dalam serum
- Protein mieloma dalam urine
- Dijumpai lesi osteolitik
- Dijumpai sel plasma dalam hapusan darah tepi
Diagnosis dibuat jika:
a. la dan Ib positif.
b. 1a atau 1b ditambah salah satu dari 2.
c. Sel plasma sumsum tulang > 30% + lesi osteolitik.

Penderajatan penyakit (menurut Durie dan Salmon)


- Stadium 1
o Rontgen: normal atau lesi osteolitik soliter.
o Laboratorium :
 Hb > 10 g/dl
 Kalsium serum: < 12 mg/dl
 IgG serum < 5 g/dl, IgA < 2g/dl.atau light chain urine < 4 g/24 jam.
- Stadium 2: terletak di antara stadium 1 dan 2
- Stadium 3
o Rontgen: lesi osteolitik luas.
o Laboratorium :
 Hb < 8,5 g/dl.
 Kalsium serum> 12 mg/dl
 IgG> 7 g/dl, IgA> 5 g/dl dan light chain urine> 12 g/24 jam
A : jika kreatinin serum < 2 mgldl
B : jika kreatinin serum> 2 mgldl

Penatalaksanaan
Terapi suportif/darurat:
1. Uremia:
- Rehidrasi
- Atasi faktor pencetus : hiperkalsemia, hiperurikemia dan infeksi
- Jika perlu hemodialisis
2. Hiperkalsemia akut :
- Rehidrasi dengan nacl 0,9%
- Kortikosteroid iv atau oral
- Jika tersedia dapat diberi Mithramycin atau kalsitonin
3. Paraplegia akibat fraktur kompresif:
- Dekompresi (laminektomi)
- Radiasi
4. Anemia bcrat : transfusi PRC
5. Infeksi: antibiotika adekuat
Kemoterapi :
1. Standar:
- Melphalan 9 mg/m2, oral hari 1 – 4
- Predinison 80 mg/hari, oral, hari 1 – 4
Siklus ulang setiap 28 hari
2. Terapi baru :
Pada penderita umur < 60 tahun : tetapi kombinasi dengan ABCM (adriamycin, BCNU,
cyclophosphamid dan melpahalan).
Terapi lain (dalam pengembangan):
- Interferon alfa
- Transplantasi sumsum tulang

Monitoring
- Fraktur patologis
- Fungsi ginjal
- Hemoglobin

Prognosis
Faktor prognostik yang berpengaruh dalam perkembangan MM adalah : kadar hemoglobin,
kalsium, kreatinin serum, β2-mikroglobulin, albumin, FISH kromosom 13 dan 11 pada
sitogenetik sumsum tulang, CRP, sel plasma indeks labelling, dan IL-6 serum.
Idiopathic Thrombositopenic Purpura (ITP)

Definisi
Suatu gangguan autoimun yang ditandai trombositopenia menetap, angka trombosit
darah kurang dari 150.000/uL, disebabkan autoantibodi yang mengikat antigen trombosit
menyebabkan destruksi prematur trombosit dalam system retikuloendotelial, terutama limpa.
ITP dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu :
- ITP akut:
o Terjadi pada umur 2-5 thn
o Sering dicetuskan infeksi
o Sering remisi spontan
- ITP kronis:
o Terjadi pada usia dewasa muda
o Jarang dicetuskan infeksi
o Jarang remisi spontan
Etiologi
Tidak diketahui diduga proses autoimun. Penyebab trombositopenia eksogen/sekunder
dieksklusi.
Epidemiologi
Insiden pada anak antara 4,0 – 5,3 per 100.000. ITP akut umumnya terjadi pada anak
usia 2 – 6 tahun, dan 7-28% dapat menjadi kronis. Insiden ITP kronis pada dewasa adalah 58 –
66/1000.000 populasi pertahun, dengan median usia 40 -45 tahun. Rasio antara laki-laki dan
perempuan 1 : 1 untuk ITP akut dan 1 : 2-3 untuk ITP kronis. ITP refrakter dimaksudkan sebagai
ITP yang gagal diterapi dengan steroid dosis standard dan splenektomi yang selanjutnya
mendapat terapi karena trombosit dibawah normal atau perdarahan
Patofisiologi
Gangguan sistem imunologik  pembentukan antibodi (lgG) terhadap trombosit sendiri 
kompleks trombosit dan antibodi difagositir oleh makrofag dalam limfa  trombositopenia
pada darah tepi. Kompensasi sumsum tulang  megakariosit sumsum tulang meningkat.
Manifestasi klinis
1. Adanya pcrdarahan kulit : petechie, echymosis dan "easy bruising".
2. Perdarahan mukosa : epistaksis, perdarahan gusi dan menorhagia
3. Perdarahan organ seperti perdarahan otak dapat bersifat fatal.
4. Splenomegali dijumpai walaupun jarang ( 10 – 30%)
Pemeriksaan Penunjang
1. Waktu perdarahan memanjang, waktu pembekuan normal
2. Tes Rumple - Leede (tes tornikuet) positif.
3. Trombosit menurun: 10 - 50.000
4. Technicon H - I : platelet menurun dengan platelet volume meningkat
5. Hapusan darah tepi : trombosit menurun dcngan bentuk trombosit abnormal (besar-
besar).
6. Sumsum tulang: megakariosit meningkat (dengan lobulasi inti bertambah).
Pemeriksaan tambahan jika fasilias tersedia :
7. Adanya antibodi anti - platelet.

Komplikasi
Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang paling serius, terjadi pada 1 % kasus.
Perdarahan berupa subarachnoid bleeding multipel dengan ukuran bervariasi.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan jika didapatkan gambaran perdarahan mukokutan dengan
trombositopenia (< 100.000/mm3) dan megakariosit sumsum tulang meningkat serta dengan
menyingkirkan penyebab trombositopenia sekunder. Jadi diagnosisnya adalah by exclutionum,
karena tidak ada kriteria tunggal yang pasti. Fabris Et al membuat kriteria diagnostik :
a. Trombosit < 100.000
b. Megakariosit sumsum tulang meningkat, atau sedikit-dikitnya normal.
c. Mengekslusi adanya hipersplenisme dan atau splenomegali (periksa leukosit, eritrosit,
dan USG)
d. Eksklusi obat- obat yang menyebabkan trombositopenia
e. Eksklusi sepsis dan mikroangiopati
f. Eksklusi trombositopeni familial atau herediter
g. Antibodi anti-platelet ( IgG) tidak mutlak dalam diagnosis standar

Berdasarkan American Society Hematology, diagnosis ITP jika :


a. Didapatkan trombositopeni, tanpa anemia, tidak ada perdarahan, dan tanpa
abnormalitas sel lekosit.
b. Tidak didapatkan penyebab trombositopeni yang lain ( penyakit vaskuler kolagen, atau
penyakit limfoproliferatif.
c. Tidak didapatkan infeksi, terutama infeksi HIV

Diagnosis Banding
- Trombositopenia sekunder
- Gangguan faal trombosit
- Leukemia akut
- Anemia aplastik
- Disseminated intravascular coagulation
- Thrombotic Thrombocytopenic Purpura-Hemolitic Uremic Syndrome ( TTP-HUS)
- Antiphospolipid Antibody Syndrome ( APS )
- Myelodisplastik syndrome
Penatalaksanaan
Tujuan: mempertahankan jumlah trombosit dalam kisaran aman supaya tidak terjadi
perdarahan mayor.
1. Terapi awal (Standar)
 Predison/prednisolon dosis 1-1,5 mg/kgBB/hr selama 2 minggu, bila respon baik
dilanjutkan selama 1 bulan, kemudian di tappering off
 Imunoglobulin intra vena : Imunoglobulin intravena (IgIv)dengan dosis 1 gr/kg/hr selama
2-3 hari berturut-turut bila terjadi perdarahan internal atau purpura yang progresif.
Dapat diikuti gagal ginjal dan insufisiensi paru serta reaksi anafilaktik pada pasien
dengan defisiensi IgA congenital
 Splenektomi: sebagai terapi lini kedua ITP dewasa yang gagal berespon dengan steroid
atau perlu tambahan trombosit yang terus-menerus.
Indikasi splenektomi:
a. Jumlah trombosit < 50.000 setelah 4 minggu
b. Jumlah trombosit tidak menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu
( karena problem efek samping)
c. Angka trombosit normal tetapi terus menurun saat dosis steroid diturunkan.
2. Terapi konvensional lini kedua :
 Steroid dosis tinggi: deksametasone oral dosis tinggi 40 mg/hr selama 4 hari, diulang
setiap 28 hari untuk 6 siklus
 Metylprednisolon 30 mg/kg iv, dosis diturunkan setiap 3 hr smp 1 mg/kb
 IgIV dosis tinggi, 1mg/kg/hr dua hari berturut-turut, sering dikombinasi dengan
kortikosteroid
 Anti D intravena: 50-75 mg/kg/hari iv
 Akaloid vinka: vincristin 1-2 mg iv, vinblastin 5 – 10 mg, setiap minggu selama 4-6
minggu
 Danazol 200 mg peroral 4x/hr selama 6 bulan dengan monitor fungsi hati setiap
bulan
 Immunosupresif dan terapi kombinasi : azatioprin 2 mg/kgBB/hr maksimal 150
mg/hr atau cyclofosfamide sebagai obat tunggal. Pemakaian siklofosfamide , vinkristin,
prednisone sebagai kombinasi efektif seperti pada limfoma. Siklofospamide 50 –100 mg
p.o, atau 200 mg /IV/ bulan selama 3 bulan. Azatiprin 50 –100 mg p.o, bila 3 bulan tidak
ada respon obat dihentikan, bila ada respon sampai 3 bulan turunkan sampai dosis
terkecil.
3. Rekomendasi terapi ITP yang gagal terapi lini pertama dan kedua: compath-1H dan
rituximab. Mikofenolat mofetil tampak efektif pada beberapa ITP refrakter, tetapi perlu
studi yang lebih besar untuk konfirmasi efikasi dan keamanannya. Dosis yang sudah pernah
dicobakan adalah 1,5 – 2 g/hari minimal selama 12 minggu.
4. Terapi suportif: transfusi konsentrat trombosit jika terjadi perdarahan mengancam jiwa,
disertai pemberian kortikosteroid dosis tinggi parenteral.

Monitoring
Evaluasi trombosit hasil pengobatan.

Prognosis
Respon terapi dapat mencapai 50 -70% dengan kortikosteroid. Pasien ITP dewasa hanya
sebagian kecil mengalami remisi spontan. Penyebab kematian pada ITP adalah intrakranial
bleeding ( 2,2%).
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Nama lain:
- Koagulasi konsumtif (consumptive coagulopathy)
- Sindroma defebrinasi
- Consumptive thrombohemorrhagic disorder
Batasan
Merupakan suatu keadaan dimana system koagulasi dan atau fibrinolitik teraktivasi
secara sistematik, menyebabkan koagulasi intravaskuler luas dan melebihi mekanisme
antikoagulan alamiah. DIC merupakan kejadian antara yang disebabkan oleh kelainan yang jelas
dengan manifestasi klinis yang bervariasi.

Etiologi
Berbagai kondisi klinis umum berhubungan dengan DIC :
a. Sepsis : gram negatif (endotokasin), gram positif (mukopolisakarida)
b. Viremia : HIV,hepatitis, varisela, citomegalovirus.
c. Trauma : injuri jaringan yang luas cedera kepala, emboli lemak
d. Keganasan : myeloproliferative disease, keganasan hematology (akut promyelocitic
leukemia /APL/M3, myelomonositik (M4) ), solid tumor (carsinoma pancreas, karsinoma
prostat)
e. Komplikasi Obstetry : emboli air ketuban, abruptio plasenta, retained fetus syndrom,
eklampsia,abortus
f. Kelainan vaskuler : giant hemangioma (Kassabach-Merrit syndrome), aneurisma oarta.
g. Reaksi terhadap toksin : bias ular,obat,amphetamine
h. Reaksi immunology : reaksi alergi berat, reaksi hemolytic tranfusi, rejeksi transplantasi .
i. Penyakit hati akut: ikterus obstruktif, gagal hati akut
Epidemiologi
Overt DIC terjadi pada 25 –50% penderita sepsis, dan merupakan prediktor kematian
yang kuat. Pada trauma yang berat disertai respon SIRS , kejadian DIC 50-70%. Pada penderita
dengan keganasan yang sudah metastase, kejadian DIC 10 –15%, pada solutio plasenta dan
emboli air ketuban 50%. Pada Giant hemangioma 25% menjadi DIC sedangkan pada aneurisma
aorta yang besar sebanyak 0.5 –1%.
Patogenesis/Patofisiologi
Diawali masuknya aktivitas prokoagulan kedalam peredaran darah  aktivasi koagulasi
sistemik  deposisi fibrin intravaskuler, mengakibatkan terjadinya trombosis pada pembuluh
darah kecil dan sedang, serta gagal organ. aktifasi sistem koagulasi sistemik disisi lain
mengakibatkan penurunan jumlah platelet dan faktor koagulasi, menyebabkan terjadi
perdarahan pada saat yang bersamaan. Akifitas prokoagulan dapat berupa jaringan atau enzim
dari plasenta, endotoxin, lipopolisakarida atau exotoxin bakteri.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis DIC yang dapat dijumpai, pada setting klinis tersebut diatas:
1. Perdarahan :kulit, mukosa, easy bruising dan perdarahan organ
2. Hemorrahagic tissue necrosis dan oklusi multiple pembuluh darah sehingga
menimbulkan multiple organ failure:
 Ginjal: gagal ginjal
 Adrenal dan kulit: Waterhouse-fredricksensyndrome
 Pembuluh darah tepi: menimbulkan gangrene
 kulit: purpura, perdarahan pada lokasi injuri, bulla hemorragic, nekrosis fokal
 Hati: menimbulkan ikterus dan gagal hati.
 Otak: koma, konvulsi, lesi fokal, perdarahan.
 Paru: hipoksemia, ARDS
Manifestasi laboratorik DIC terdiri dari:
 Trombositopenia : pada hitung trombosit dan hapusan darah tepi
 APTT, PTT dan trombin time memanjang, nilai APTT lebih sensitive dibandingkan dengan
PTT pada DIC
 Penurunan kadar fibrinogen plasma
 Fibrin degradation product (FDP) meningkat
 Penurunan factor V dan factor VIII
 Pada hapusan darah tepi: anemia mikroangiopatik-fragmentosit dan mikrosferosit
 D-Dimer positif
 Tes parakoagulasi positif

DIC dibedakan menjadi 3 fase, menurut keparahannya yaitu :


 Fase I : Tidak dijumpai gejala klinis, tetapi terdapat penyakit dasar yang sesuai .
 Fase II : terjadi pemanjangan protrombin time dan APTT, trombin time, fibrinogen
normal, FDP tdk terlalu tinggi platelet, factor VII, AT III dan PC menurun
 Fase III : Full-blown DIC ditandai pemanjangan extrem protrombin time, APTT. Jumlah
pletelet sangat rendah, aktifitas factor koagulasi dan kadar plasma protein antikoagulan
50% dibawah milai normal. FDP sangat tinggi.

Diagnosis
Tidak ada tes laboratorium tunggal atau kombinasi yang spesifik atau sensitif untuk membuat
diagnosis definitif. Diagnosis dibuat jika didapatkan penyakit dasar yang sesuai dan kombinasi
kelainan laboratorium.
Algoritme untuk diagnosis overt DIC :
Harus didapatkan penyakit dasar yang sesuai,
Skor hasil tes koagulasi global :
- Jumlah platelet : (>100 = 0, <100 =1, < 50 =2)
- peningkatan marker berkaitan fibrin ( soluble fibrin monomerFDP : tdk meningkat = 0,
meningkat sedang = 2, meningkat tinggi : 3)
- Pemanjanganprotrombin time : ( <3 dtk = 0, >3dtk, tp <6 dtk =1, > 6 = 2)
- kadar Fibrinogen : > 1.0 g/L = 0, < 1.0 g/L =1
skor >= 5 : sesuai untuk overt DIC, ulang scoring setiap hari
skor <5 : suggestive ( tidak affirmative) untuk non overt DIC, ulang scoring 1-2 hari kemudian.
Bick membuat criteria diagnosis berdasarkan kriteria klinis dan laboratorik. Kriteria klinis
minimal adalah:
1. Bukti klinis adanya perdarahan, trombosis atau keduanya
2. gejala tersebut terjadi pada setting klinis tertentu, seperti yang disebutkan didepan.
Kriteria laboratorik adalah :
1. Tes group I ( bukti adanya aktivitas prokoagulasi)
- Peningkatan fragmen prothrombin 1 dan 2
- Peningkatan fibrinopepeptida A,
- Peningkatan fibrinopeptida B
- Peningkatan komplek TAT ( trombin-antitrombin)
- Peningkatan D dimmer
2. Tes Group II ( Bukti adanya aktivasi system fibrinolitik )
- Peningkatan D-Dimer
- Peningkatan FDP
- Peningkatan plasmin
- Peningkatan kompleks plasmin antiplasmin
3. Tes group III ( Bukti adanya konsumsi inhibitor)
- Penurunan AT III
- Penuruna alpha 2 antiplasmin
- penurunan heparin kofaktor II
- Penuruna protein Cdan S
- peningkatan kompleks TAT
4. Tes group IV ( bukti adanya kerusakan atau gagal end organ )
- Peningkatan LDH
- Peningkatan kreatinin serum
- Penurunan pH
- Penurunan pAO2
Untuk menegakkan diagnosis laboratorik DIC diperlukan satu dari masing-masing group I,II,III
dan paling sedikit 2 dari group IV. D-Dimer yang paling reliable untuk pemeriksaan tes group I
dan II jika diperiksa secara benar.

Diagnosis Banding
DIC harus dibedakan dari berbagai gangguam hemostasis lain : defisiensi vit K, gagal
hati akut, perdarahan hebat, pengobatan dengan heparin. hipersplenisme, gangguan produksi
platelet.
Penatalaksanaan
Manajemen penderita dengan DIC bersifat sekuensial :
1. Perhatikan umur, jenis kelamin, kondisi komorbid
2. Atasi penyakit dasar
3. Terapi antikoagulan
4. Terapi subsitusi, tergantung komponen yang kurang.
Subtitusi yang relatif aman diberikan adalah trombosit konsentrat, PRC dan koloid.
Hati-hati memberikan faktor-faktor koagulasi, termasuk FFP.
5. Anti fibrinolitik

Pilihan terapi masa depan


Terapi logis DIC adalah melawan aktifitas faktor jaringan.
- Antikoagulan recombinan nematoda protein c2, merupakan inhibitor yang potent dan
spesifik untuk komplek yang dibentuk factor jaringan dan factor viia dengan factor x,
sedang dalam uji klinis
- Protein C teraktifasi (APC), menurunkan mortalitas pd DIC karena sepsis

Monitoring
Monitor terhadap kondisi klinis, FH, kadar trombosit dan fungsi organ.
Prognosis
Prognosis DIC bervariasi tergantung penyakit dasar dan intensitas gangguan koagulasi.
Beberapa temuan menandakan DIC meningkatkan risiko gagal organ atau kematian berupa
histologis menunjukkan iskemia atau nekrosis yang berhubungan dengan deposisi fibrin dalam
vaskulature organ. DIC berhubungan dengan outcome yang buruk dan merupakan predictor
kematian yang kuat.
Reaksi Transfusi Akut

Definisi
Komplikasi yang dapat timbul akibat tranfusi darah.
Etiologi
Reaksi imunologi disebabkan rangsangan aloantigen asing yang terdapat pada eritrosit,
lekosit, trombosit dan plasma protein. Bila resipien mendapat darah yang menagndung antigen
tersebut maka terjadi pembentukan antibody, sehingga kelak bila mendapat transfusi terjadi
reaksi yang dimediasi imunologi, misalnya reaksi hemolitik, panas, alergi, reaksi anafilaksis yang
disebabkan antibodi yang bereaksi dengan antigen terlarut didalam bahan transfusi, biasanya
protein plasma.
Epidemiologi
Potensi komplikasi transfusi darah cukup besar, tapi pada saat ini masalah komplikasi
hanya terdapat pada pasien transfusi berulang-ulang atau perlu trasfusi darah yang banyak.
kesalahan identifikasi di USA yang bersifat fatal terjadi antara 1/600.000 – 1/800.000 kasus
transfusi, dan yang bersifat non fatal terjadi pada 1/12.000 – 1/19.000 kasus. DiInggris
komplikasi serious terkait transfusi insidennya pada 335/5.5 juta unit transfusi PRC.
Komplikasi dapat digolongkan menurut :
Komplikasi Imunologi
 Aloimunisasi : antigen eritrosit, antigen HLA
 Reaksi teransfusi hemolitik : segera, tertunda (delayed)
 Reaksi febris transfusi
 Kerusakan paru karena transfusi
 Purpura pasca transfusi
 Pengaruh imunosupressi
 Penyakit graft versus host
Komplikasi non imunologi
 Kelebihan volume
 Transfusi masif : Metabolik, hipotermi, pengenceran, mikroembolisasi paru
 Lainnya : plasticizer, hemosiderosis transfusi
 Infeksi : hepatitis A,B,C, delta, HIV, EBV. Kontaminasi bakteri : sifilis, malaria, babesia,
tripanosoma, organisme lain .

Reaksi Hemolitik Segera ( immediate hemolytic reaction)


Reaksi hemolitik segera merupakan reaksi hemolitik yang relatif jarang terjadi (1 : 100.000),
tetapi sangat berbahaya dan sebetulnya dapat dicegah.
Patogenesis
penyebab utama adalah kesalahan klerikal( kekeliruan dalam memasang label atau identifikasi
penderita). Timbulnya karena ketidakcocokkan (mismatched) dalam system ABO. Terjadi reaksi
antibodi (Ig M) dengan antigen (eritrosit), sehingga timbul hemolisis intravaskuler yang massif,
yang berakibat :
 Hemoglobinemia, hemoglobinuria, kerusakan ginjal karena produk hemoglobin,
sehingga terjadi gagal ginjal akut.
 pelepasan Chemical substances sehingga menimbulkan syok
 Pelepasan bahan tromboplastin dari eritrosit yang pecah, sehingga timbul DIC.
Gejala Klinis
 Gejala sangat bervariasi tergantung dari berat ringannya reaksi. Timbul beberapa menit
sampai jam setelah transfusi mulai.
 Rasa panas pada tempat infus, demam. rasa berat didada, muka merah,mual, muntah,
nyeri pinggang.
 Gejala syok dengan segenap manifestasinya
 Gejala perdarahan karena DIC : perdarahan pada tempat infus, luka operasi, atau
prdarahan sistemik lainnya.
 Gejala gagal ginjal akut : oliguria sampai anuria
 Gejala pada penderita yang sedang menjalani anestesi sangat sulit diketahui. Salah satu
petunjuki ialah syok tanpa sebab yang jelas, yang sulit dikoreksi serta perdarahan
merembes dari luka operasi.
Laboratorium
1. Anemia
2. Hemoglobin bebas dalam serum
3. Hemoglobinuria
4. Retikulositosis
5. Faal hemostasis : tanda-tanda DIC
6. Faal Ginjal ;tanda- tanda gagal ginjal akut
Diagnosis
Diagnosis dibuat dari gejala klinis diatas pada, penderita yang mendapat transfusi. Dapat juga
dikonfirmasi dengan adanya hemoglobinemia dan hemoglobinuria serta bilirubin indirek dalam
serum.
Penatalaksanaan
1. Segera hentikan transfusi, kerusakan yang timbul sebanding dengan volume darah yang
masuk.
2. Atasi syok dengan pemberian cairan : kristaloid, plasma ekspander, atau darah. Jika
dengan pemberian cairan yang cukup tekanan darah belum naik, dapat diberikan
dopamine 5 – 10 mikro/kg/mnt
3. Pemberian hidrokortison 100 mg atau preparat steroid parenteral yang lain yang setara.
4. Jika terjadi anemia berat, dapat dilakukan transfusi dengan pengawasan ketat.
5. Untuk gagal ginjal akut dapat diberikan furosemid 1-2 mg/kg intravena, pengobatan
suportif, memelihara keseimbangan elektrolit, kalau perlu dialysis.
6. Jika terjadi perdarahan sistemik dapat diberikanplasma segar beku, atau kriopresipitat.
7. Berikan oksigen dan tindakan gawat darurat lainnya.
Tindakan investigasi
Simpan sisa darah, ambil contoh darah penderita, kirim kembali ke dinas transfusi darah untuk
pengecekan ulang kecocokan darah. periksa serum untuk melihat adanya hemoglobin bebas
serta bilirubin indirek dalam serum. Ulangi pemeriksaan setelah 8 – 10 jam.
Pencegahan
Dengan meningkatkan ketelitian dan kecermatan petugas (perawat, petugas transfusi)
Prognosis
Tergantung beratnya reaksi. Angka kematian 10% atau lebih.

Reaksi hemolitik lambat


Reaksi hemolisis yang menimbulkan gejala 3–14 hari pemberian transfusi, pada penderita yang
telah mengalami aloimunisasi ( kehamilan atau transfusi sebelumnya). Reaksi yang timbul
karena Ig G dan menimbulkan hemolisis ekstravaskuler.
Gejala : demam. ikterus, anemia ( kadar hemoglobin kembali pada kadar sebelum transfusi atau
malah lebih rendah).
Laboratorium : anemia, retikulositosis, hiperbilirubinemia indirek, tes comb direk positif.
Penatalaksanaan : Observasi karena sebagian besar akan sembuh sendiri. Steroid masih
kontroversial.

Reaksi febril non hemolitik


a. Timbul karena reaksi aloantibodi terhadap lekosit (HLA atau netrofil) atau trombosit.
b. Panas timbul 30 menit sampai 2 jam setelah tansfusi. Gejala lain berupa menggigil, sakit
kepala, flushing dan mual.
c. Jika tidak terdapat gejala reaksi hemolisis segera, lambatkan transfusi, berikan
paracetamol atau injeksi xylomidon. Jika ragu-ragu akan adanya reaksi hemolisis, atau
panas tidak turun setelah pemberian antipiretika, transfusi segera dihentikan.
d. Untuk pencegahan diberikan “leucocyte depleted blood component” dengan memakai
infuset dengan filter khusus, atau pemeberian washed red cell.

Reaksi Alergi
a. Timbul karena plasma protein antibodies, terutama anti IgA pada orang yang mengalami
defisiensi IgA
b. Gejala klinis: urtikaria, edema angioneuritik, bronkospasme, kadang-kadang syok
anafilaktik
c. Pada urtikaria transfusi dilambatkan dan berikan antihistamin, sambil observasi ketat.
Jika tidak berhasil transfusi dihentikan.
d. Pada edema angioneuritik, bronkospasme, atau syok anafilaktik transfusi dihentikan.
penanganannya dengan pemeberian adrenalin dan kortikosteroid, sedangkan pada
bronkospasme dapat diberikan aminofilin intravena.
Syok anafilaktik merupakan keadaan gawat darurat yang harus ditangani seperti halnya
syok anafilaktik karena sebab lain.
Trombosis Vena Dalam
(Deep Veins Trombhosis)

Batasan
Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam pembuluh darah. tombosis vena dalam
adalah terbentuknya bekuan dalam pembuluh darah vena, umumnya terbentuk pada kaki,
tetapi juga dapat terbentuk pada sinus cerebri, lengan, retina, mesenterium.
Etiologi
Faktor risiko terjadinya trombosis vena dalam:
Operasi umum maupun operasi orthopedic, artroskopi, trauma, keganasan, immobilasi, sepsis,
gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, obesitas, pemakaian kontrasepsi oral, estrogen,
polisitemia, riwayat trombosis dalam keluarga, sindrom antifosfolipid, resistensi protein C,
sticky platelet syndrome, gangguan protein C dan S, gangguan anti trombin, gangguan heparin
kofaktor II, gangguan plasminogen, gangguan plasminogen activator inhibitor, gangguan factor
XII, disfibrinogenemia, homositeinemia, sindrom hiperviscousitas, sindrom leukostasis.
Epidemiologi
Insiden di negara berkembang 1/1000 orang. Kepustakaan lain melaporkan 50 per 100.000
penduduk, sedangkan pada usia lebih dari 70 tahun diperkirakan 200 per 100. 000 penduduk.
Demikian pula pada populasi dengan resiko tinggi insiden DVT jauh lebih tinggi. Pada pasien
yang menjalani operasi, di Eropa kejadian DVT 30%, 16 % di Amerika. Kejadian DVT subklinik
pada kohort resiko tinggi seperti operasi umum, stroke atau pasien ortopedi berkisar antara 14-
84%.
Patogenesis
Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme protektif
terganggu. Trombus vena terutama terbentuk pada daerah yang stasis dan terdiri dari eritrosit
dengan fibrin dalam jumlah besar dan sedikit trombosit.
Manifestasi klinik
Tanda-tanda klinis yang klasik jarang ditemukan. Gambaran klasik DVT adalah edema tungkai
unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superficial.
Pemeriksaan penunjang
1. Pada pemeriksaan hematology didapatkan peningkatan D-dimer dan peningkatan anti
trombin. Sensitif tapi tidak spesifik, lebih berperan untuk untuk menyingkirkan adanya
trombosis jika hasilnya negatif.
2. Pemeriksaan radiologis: venograpfi/plebografi, USG doppler (duplex scanning), USG
kompresi, Venous Impedance Plethysmography ( IPG) dan MRI. MRI umumnya untuk
diagnosis DVT pada perempuan hamil atau DVT didaerah pelvis, iliaka, dan vena kava
dimana USG dopler menunjukkan hasil negatif.

Tabel 1. Model Klinis untuk memprediksi pretest probability DVT


karakteristik klinis skor
Kanker aktif ( dlm pengobatan atau paliatif) 1
Paralisis, paresis, atau immobilisasi ektremitas bawah 1
Bed ridden > 3 hari, operasi besar dlm waktu < 12 mggu yang memerlukan anestesi 1
general atau regional
Nyeri tekan lokal sepanjang distribusi system vena dalam tertentu 1
Pembengkakan pada seluruh kaki 1
Pembengkakan > 3 cm drpd sisi yang tidak sakit (pengukuran dilakukan 10 cm di 1
bawah tuberositas tibia)
Pitting edema pada sisi yang sakit 1
Kolateral vena superfisial (bukan varises) 1
Riwayat dvt sebelumnya 1
Diagnosis alternative sama halnya seperti dvt -2

skor 2 atau lebih = kemungkinan DVT


skor < 2 = kemungkinan bukan DVT
pada pasien dengan simptom pada kedua kaki, digunakan ekstremitas yang lebih simptomatis.
Algoritme diagnosis DVT memakai test D-dimer dan USG pada pasien dengan kecurigaan DVT
Pretest
Probabiliti

DVT unlikely DVT likely


score <= 1 score >1

tes D-dimer test D-dimer

+ -
+ -

USG bukan DVT USG USG

+ -
- + + -

obati dg bukan Ulang USG obati dengan


DVT bukan
1 Minggu antikoagulan
anti DVT

koagulan
- +

bukan

DVT

Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Dugaan DVT berdasarkan Skor


Komplikasi
Kematian karena emboli paru, post trombotic syndrome berupa hipertensi vena kronis
menyebabkan nyeri tungkai, pembengkakan, hiperpigmentasi, ulkus, gangrene vena,
lipodermatosclerosis.

Diagnosis Banding
Penyebab pembengkakan tungkaik bawah adalah :
Vena : deep vein trombosis, suferficial tromboflebitis, post trombotic syndrome, chronic venous
insufficiency,venous obstruction.
Dari sumber lain : cellulitis, baker’s cyst, Torn Gastrocnemius muscle, fracture, hematome,
acute arterial ischemia, lymphoedema, hypoproteinemia (liver chirrosis, nefrotik sindrom).

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan DVT pada fase akut :
- menghentikan bertambahanya trombus,
- membatasi bengkak progresif pada tungkai
- melisiskan atau membuang bekuan darah ( trombektomi)dan mencegah disfungsi vena
atau sindrom pasca trombosis dikemudian hari
- mencegah emboli
1. Antikoagulan
 Unfractinated heparin : bolus 80 IU/kgbb/jam iv dilanjutkan 18 iu/kgBB/jam dengan
 Pemantauan activated partial tromboplastin time (APTT) sekitar 6 jam setelah bolus,
 Target APTT 1,5 – 2,5 kali nilai kontrol, selanjutnya dipantau setiap hari.
 Sebelum memulai terapi heparin , APTT, masa protrombin (Prothrombin time/PT) dan
jumlah trombosit diperiksa, terutama pada pasien d4engan gangguan faal hati dan ginjal
 Heparin berat molekul rendah ( LMWH) diberikan 1 –2 kali perhari secara subkutan,
 Antikoagulan oral, warfarin atau coumarin/derrivatnya bersama-sama saat awal terapi
heparin dengan pemantauan INR ( international normalised ratio).
 LMWH minimal 5 hari dan dihentikan jika antikoagulan oral mencapai target INR 2-3
dalam 2 hari berturut-tururt.
 Lama pemberian antikoagulan bervariasi tergantung faktor resiko DVT.
Faktor risiko reversibel : minimal 6 minggu sampai 3 bulan
Faktor resiko idiopatik : minimal 6 bulan
Faktor risiko diturunkan : sampai seumur hidup.
2. Terapi trombolitik
 Bertujuan untuk melisiskan trombus secara cepat.
 Efektif hanya pada fase awal,
 Risiko perdarahan 3x lebih besar dibanding dengan antikoagulan.
 DVT dengan oklusi total terutama daerah ileofemoral.
3. Trombektomi
 Pilihan pada trombosis ileofemoral akut , kurang dari 7 hari
4. Filter vena kava Inferior
 Pada DVT diatas lutut,
 Pada kasus dimana antikoagulan merupakan kontra indikasi
 Gagal mencegah tromboemboli berulang.

Prognosis
 Dapat fatal bila terjadi emboli paru,
 Kemungkinan reccurent jika faktor risiko tidak diatasi atau diketahui.
Monitoring
 Monitoring INR , PTT, APTT selama terapi antikoagulan
 Monitoring tanda-tanda rekurensi.
DAFTAR PUSTAKA

Anemia Defisiensi Besi

Hoffbrand AV, Pettit JE. dan Moss P.A.H. Anemia Hipokrom dan Penimbunan besi dalam Kapita
Selekta Hematologi. Edisi 4. Alih Bahasa; dr Dewi Asih Mahanani. Penerbit Buku Kedokteran,
Jakarta. 2005, hal. : 25-34

Benjamin Djulbegovic, M.D., Ph.D. Iron Defeciency Anemia dan Reasioning and Decision Making in
Hematology. Penerbit : Churchill Livingstone, New York. 1992, Page 21-24.

Tambunan Karnel L, Zubairi D, Muthalib A dan A Harryanto R. Anemia

Defisiensi Besi dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1998, hal : 404-9

Bakta, I Made; Ketut Suega dan Tjokorde Gde Darmayuda. Anemia Defesiensi Besi dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi IV. Editor Sudoyo Aw dkk. Jakarta. 2006, Hal:644-50.

5.Lee et al. Wintrobe’s Clinical Hematology. 9th ed. Lea & febiger, Philadelphia, 1993.

Anemia Akibat Penyakit Kronik

Weiss Guenterand and Lawrence T. Goodnough, M.D. Anemia of Chronic Disease dalam The New
England Journal of Medicine. 2005; 352, page 1011-23

Hoffbrand AV, Pettit JE. dan Moss P.A.H. Anemia Hipokrom dan Penimbunan besi dalam Kapita
Selekta Hematologi. Edisi 4. Alih Bahasa; dr Dewi Asih Mahanani. Penerbit Buku Kedokteran,
Jakarta. 2005, hal. : 34-35

Supandiman Iman dan Heri Fadjari. Anemia pada Penyakit Kronis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
dalam Jilid II Edisi IV. Editor Sudoyo Aw dkk. Jakarta. 2006, Hal:651-652

Lee et al. Wintrobe’s Clinical Hematology. 9th ed. Lea & febiger, Philadelphia, 1993.

Anemia Aplastik

Hoffbrand AV, Pettit JE. dan Moss P.A.H. Anemia Aplastik dan Kegagalan Sumsum Tulang dalam
Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Alih Bahasa; dr Dewi Asih Mahanani. Penerbit Buku Kedokteran,
Jakarta. 2005, hal. : 83-9

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Anemia Aplastik dalam Panduan
Pelayanan Medik. Editor A. Azis Rani dkk. Penerbit Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, Jakarta. 2006, Hal.: 187-8

Supandiman Iman dan Heri Fadjari. Anemia Aplatik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi
IV. Editor Sudoyo Aw dkk. Jakarta. 2006, Hal:637-43

Neal S. Young, M.D. and Jaroslaw Maciejewski, M.D. The Pathophysiology of Acquired Aplastic
Anemia dalam The New England Journal of Medicine. 1997 vol. 336, Page 1365-90

Anemia Hemolitik Autoimun


Hoffbrand AV, Pettit JE. dan Moss P.A.H. Anemia Hemolitik. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Alih
Bahasa; dr Dewi Asih Mahanani. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2005, hal. : 51-63

Elias Parjono dan Kartika Widayati. Anemia Hemolitik Autoimun dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
dalam Jilid II Edisi IV. Editor Sudoyo Aw dkk. Jakarta. 2006, Hal:660-2

Polisitemia Vera

Turgeon M.L.Cronic Myeloproliferative disorders, in : Clinical Hematology theory and procedures,


fourth edition, lipincot William & Wilkins,2005: p 293-320

Schafer A.I. Molecular basis of diagnosis and treatment of polycythemia vera and essential
thrombocytemia;Blood,1 june 2006.Vol 107,number 11

Spivak J.L, Polycythemia vera: myths, mechanisms, and management, Blood,15 December 2002. vol
13

Campbell P.j,Green A.R,et all. The myeloproliferative Dissorders,N Engl J Med 2006 ;355: 2452-66

PahlH.l. Towards a molecular understanding of polycythemia rubra vera.Eur J Biochem. 267, 3395-
3401 (2000)

Stuart B.J, Viera A.J. PolycythemiaVera, www. aafp.org/afp,Vol 69,number 9/ may 2004

Athens J.W. Polycthemia Vera, in Wintrobe’s Clinical hematology, ninth edition, Philadelphia London,
1993

Leukemia Mieloid Akut

Hoffbrand AV, Pettit JE. dan Moss P.A.H. Leukemia Akut dalam Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4.
Alih Bahasa; dr Dewi Asih Mahanani. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2005, hal. : 150-166

Johan Kurniada Leukemia Mieloblastik Akut dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi IV.
Editor Sudoyo Aw dkk. Jakarta. 2006, Hal:716-9

Leukemia Limfoblastik Akut

Sumantri R. Sindrom Dismielopoetik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Edisi IV, editor
Sudoyo A.W. 720-2.

Bakta IM. Leukemia dan penyakit myeloproliferatif. Dalam: Hematologi klinik ringkas. UPT Penerbit
Universitas udayana, 119-41. 2001.

Robinowitz I, Larson RS. Chronic Myeloid Leukemia. In: Wintrobe’s Clinical Hematology. 11st Edition.
Baltimore: Williams & Wilkins, 2005; 2235-58.

Cullough J.M ; Tranfusion Medicine; in : Blood principles and practice of Hematology,second edition :
Robert I.Het al, Lippincot William & Wilkins2003;p2011-67

Leukemia Mieloid Kronik

Sumantri R. Sindrom Dismielopoetik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Edisi IV, editor
Sudoyo A.W. 720-2.
Bakta IM. Leukemia dan penyakit myeloproliferatif.. Dalam: Hematologi klinik ringkas. UPT Penerbit
Universitas udayana, 119-41. 2001.

Robinowitz I, Larson RS. Chronic Myeloid Leukemia. In: Wintrobe’s Clinical Hematology. 11st Edition.
Baltimore: Williams & Wilkins, 2005; 2235-58.

Sindroma Mielodisplastik

Sumantri R. Sindrom Dismielopoetik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Edisi IV, editor
Sudoyo A.W. 720-2.

Bakta IM. Sindroma Mielodisplastik (Myelodysplastic Syndrome). Dalam: Hematologi klinik ringkas.
UPT Penerbit Universitas udayana, 142-80, 2001

List AF, Sanberg AA, Doll DC. Myelodysplastic syndrome. In: Wintrobe’s Clinical Hematology 11st
Edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 2004. 2207-34.

Limfoma Hodgkin

Meyer RM, Ambinder RF, Stroobants S. Hodgkin’s Lymphoma: Evolving Concepts with Implications
for Practice. Hematology. 184-202, 2004.

Poppema S. Immunobiology and Pathophysiology of Hodgkin Lymphomas. Hematology. 232-8, 2005.

Connors JM. Evolving Approaches to Primary Treatment of Hodgkin Lymphoma Hematology. 239-44,
2005.

Sumantri R. Penyakit Hodgkin. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Edisi IV, editor Sudoyo
A.W. 735-7, 2005.

Bakta IM. Limfoma Maligna. Dalam: Hematologi klinik ringkas. UPT Penerbit Universitas udayana,
181-202, 2001.

Stein RS, Morgan DS. Hodgkin Disease. In: Wintrobe’s Clinical Hematology. 11st Edition. Baltimore:
Williams & Wilkins, 2004; 2521-54

Limfoma Non Hodgkin

Ghielmini M, Friedberg JW, Leonard JP. Monoclonal Antibody Therapy for Lymphoma: Targeting
CD20. Hematology. 321-9, 2005.

Reksodiputro AH, Irawan C. Limfoma Non-Hodgkin, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II,
Edisi IV, editor Sudoyo A.W. 727-34, 2005.

Vose JM, Chiu BC, Cheson BD, Dancey J. Wright J. Update on Epidemiology and Therapeutics for
Non-Hodgkin’s Lymphoma. Hematology. 241-63, 2002.

Bakta IM. Limfoma Maligna. Dalam: Hematologi klinik ringkas. UPT Penerbit Universitas udayana,
181-202, 2001.

Mc Curley TL, Macon WR. Diagnosis and Classification of Non-Hodgkin’s Lymphomas. In: Wintrobe’s
Clinical Hematology. Edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 2004. 2301-24.
Williams Hematology. Edition. New York: McGraw Hill Inc, 2007.

Mieloma Multipel

Reece ED. An Update of the Management of Multiple Myeloma: The Changing Landscape.
Hematology: 2005. 353-9.

Syahrir M. Mieloma multipel dan penyakit gamopati lain, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid
II, Edisi IV, editor Sudoyo A.W. 749-55, 2005.

Bakta IM. Limfoma Maligna. Dalam: Hematologi klinik ringkas. UPT Penerbit Universitas udayana,
181-202, 2001.

Mc Curley TL, Macon WR. Diagnosis and Classification of Non-Hodgkin’s Lymphomas. In: Wintrobe’s
Clinical Hematology. Edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 2004. 2301-24.

Williams Hematology. Edition. New York: McGraw Hill Inc, 2007.

Idiopatik Trombositopenik Purpura

Purwanto I. Purpura Trombositopenia purpura.dalam : Buku Ajar IlmuPenyakit Dalam Jilid II, Edisi IV,
Editor : Sudoyo AW,dkk, Jakarta, 2006,hal 669-74

Turgeon M.L, Disorder of hemostasis and thrombosis, In : Clinical Hematologytheory and


procedure,fourth edition,Lippincot William Wilkis, 2005 p 369-79

Bithel l T.C. Thrombocytopenia caused by immunologic platelet destruction: Idiopathic


thrombocytopenic purpura (ITP), Drug induced thrombocytopenia, and miscellaneous forms; in
Wintrobe’s Clinical hematology, ninth edition, Philadelphia London, 1993, p 1329-47

George N.J, El-harake M,Raskob G.E. Chronic Thrombocytopenic Purpura, NEJM volume 331 :
1207-1211, November 3, 1994

Arnold D.M, Dentalli F, et all. Systematic Review: Efficacy and Safety of rituximab for adults With
Thrombocytopenic purpura, Ann Intern Med. 2007;146:25-33

Kojori K, Vesely S.K, Terrel D.R. Splenectomy for Adult patients with idiopathic thrombocytopenic
purpura : a systematic review to asses long term platelet count responses, prediction of respone and
surgical complication, Blood, 1 november 2004.vol 104, number 9

Vesely S.K,et all. Management of adult Patients With persistent Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
Following SplenectomyAnn Intern Med. 2004;140:112-120

Hou M, Peng J, Shi Y, et all. Mycophenolatemofetil ( MMF) for treatment of steroid resistant idiopathic
thrombocytopenic purpura: Eur J haematol 2003; 70:353-357

Howard j, Hoffbrand V, Prentice G, et all; Mycophenolate mofetil for treatment of refractory auto-
immune thrombocytopenic purpura, British Journal of haematology,2002. 117.712-15

Disseminated Intravascular Coagulation

I Made Bakta.Hematologi Klinik Ringkas, jakarta,EGC, 2006, hal 251-4


Sukrisman L, Koagulasi Intravaskuler Disseminata, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II,
edisi IV, Jakarta, 2006, hal 777-9

Turgeon M.L. Disorder of Hemostasis and thrombosis: in : Clinical Hematology theory and Procedure,
Lippincot William & wilkins,2005, p382-5

Levi M, Erik C.M, Cate H. Disseminated Intravascular Coagulation; in : Blood, in : Blood principles
and practice of Hematology,second edition : Robert I.Het al, Lippincot William & Wilkins2003; p 1276-
93

Zeerleder S, Hack E, Wuillemin W.A. Disseminated Intravascular Coagulation in Sepsis, Chest 2005;
128:2864-2875

Toh C.H, Dennis M. Disseminated Intravascular Coagulation : Old disease, new hope; BMJ vol 327,
25 oktober 2003, p 974-7

Levi M, Cate H.T. Disseminated Intravaskular Coagulation; NEJM; august 1999;341;8:586-92

Reaksi Transfusi

Harmono M.T; Pencegahan dan penangan Komplikasi Transfusi darah, Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Dasar, jilid II, edisi IV, Jakarta 2006, hal 691-7

I Made Bakta, Hematologi Klinik Ringkas, UPT Penerbit UniversitasUdayana, 201,hal244-50

Regan F, Taylor C. Recent Development: Blood Transfusion Medicine: BMJ 2002;325;143-147

Madjpour C,Sphan D.R:allogeneic Red Blood Cell Transfusion : Efficacy,Risk, Alternatives and
Indications, British Journal of anaesthesia 95(1) :33-42 (2005)

Schoefer M.L.Transfusion of Blood and Blood Component; in Wintrobe’s Clinical hematology, ninth
edition, Philadelphia London, 1993, p651 – 89

Cullough J.M ; Tranfusion Medicine; in : Blood principles and practice of Hematology,second edition :
Robert I.Het al, Lippincot William & Wilkins2003;p2011-67

Trombosis Vena Dalam

Sukrisman L. Trombosis Vena Dalam danEmboli Paru, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid
II, Edisi IV, editor Sudoyo A.W

Joffe H.V, Goldhaber S.Z, Upper Extremity Deep Vein Thrombosis, Circulation,2002;106:1874-1880

Kelly J, Rudd A, Lewis R.R,Hunt B.J. Screening for subclinical deep vein thrombosis. QJ Med
2001;94:511-519

Scarvelis D, Wells P.S. Diagnosis and treatment of deep vein trombosis. CMAJ. October
24,2006.175(9)/1087

Tovey C,Wyatt S. Diagnosis, investigation,and management of deep vein


thrombosis.BMJvolume326,31 may 2003
Well P.S, Owen C, Doucette S, et all. Does this patient have deep vein thrombosis?. JAMA, january
11,2006vol 295 no. 2

Mustafa B.O, Rathbun S.W, et all . Sensitifity and specificity of ultrasonography in diagnosis of
deepvein trombosis, Arch Intern Med.2002;162:401-404
PULMONOLOGI
Tim Penyusun
1. Prof.Dr.dr. IB Ngurah Rai, SpP(K)
2. dr. Dewa Made Artika, SpP(K)
3. dr. IB Suta, SpP(K)
4. dr. Made Bagiada, SpPD-KP
5. dr. Putu Andrika, SpPD-KIC
6. dr. IGK Sajinadiyasa, SpPD
7. dr. IGN Bagus Artana, SpPD
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Definisi
PPOK adalah yang bersifat preventable dan treatable dengan beberapa efek
ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan pasien. Komponen
pada paru ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak seluruhnya reversible. Hambatan
aliran udara tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal
paru terhadap gas dan partikel noxious.

Epidemiologi
PPOK penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Banyak pasien PPOK mati
prematur oleh penyakit atau komplikasinya. PPOK penebab kematian ke-4 di dunia, dan
prevalensi serta angka mortalitasnya dapat diprediksi meningkat di dekade akan datang terkait
dengan masih tingginya angka kebiasaan merokok dan pencemaran udara.

Penyebab
1. Genetik
Faktor genetik utama yang telah dibuktikan adalah defisiensi alfa-1 antitripsin,
menyebabkan terjadinya emfisema usia muda yang berekselerasi cepat. Faktor genetik
lainnya masih dalam penelitian.
2. Pajanan partikel
- Asap rokok
- Debu lingkungan kerja, organik dan anorganik
- Polusi dalam ruangan
- Polusi luar ruangan
3. Faktor lainnya: tumbuh kembangparu, stres oksidatif, gender, usia, infeksi respirasi, status
ekonomi, nutrisi, komorbiditas
Asap rokok sejauh ini merupakan faktor risiko utama PPOK, sifat dose-related. Usia mulai
merokok, total per-tahun merokok, masih merokok merupakan faktor prediksi mertalitas PPOK.
Merokok pasif juga berkontribusi terhadap PPOK, juga merokok saat kehamilan karena
mempengaruhi tumbuh kembang paru dalam uterus.
Patofisiologi
Beberapa keadaan yang terjadi pada PPOK adalah hambatan aliran udara dan air trapping,
abnormalitas pertukaran gas, hipersekresi mukus, hipertensi pulmonal, dan kelainan sistemik.
Tingkat inlamasi, fibrosis, dan eksudat intraluminal saluran napas kecil berhubungan dengan
penurunan VEP1/KVP. Obstruksi jalan napas perifer menyebabkan keterperangkapan udara
selama respirasi menimbulkan hiperinflasi, yang pada akhirnya menurunkan kapitas inspirasi.
Abnormalitas pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan heperkania. Batuk produktif pada
pasien PPOK berkaitan dengan hipersekresi. Hipertensi pulmonal terjadi pada fase lanjut PPOK
disebabkan oleh vasokonstriksi hipoksik arteri pulmonalis kecil disertai hiperplasia intim dan
hipertropi/hiperplasia otot polosnya. Manifestasi sistemik PPOK antara lain kaheksia,
pengecilan otot skeletal. Osteoporosis, depresi, anemia, nonnokrom normositik, dan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.

Diagnosis
Diagnosis klinis PPOK dipertimbangkan pada setiap pasien dengan keluhan sesak, batuk
kronik dengan atau tanpa produksi sputum, dan terpajan atau riwayat terpajan oleh faktor
risiko PPOK. Diagnosis dikonfirmasi dengan spirometri. Nilai VEP1/KVP post-bronkodilator < 0,7
dan VEP1 < 80% prediksi mengkonfirmasi adanya hambatan aliran udara yang tidak seluruhnya
ireversibel.

Assesment PPOK
GOLD tahun 2011 memperkenalkan suatu system assessment PPOK yang mencakup segala
aspek PPOK pada diri pasien. Assesment ini mencakup:
 Assessment keluhan (symptom)
Dengan menggunakan the COPD Assessment Test(CAT) atau mMRCBreathlessness scale
untuk menilainya.
 Assessment derajat hambatan aliran udara
Dengan menggunakan hasil spirometri post bronkodilator. Pedoman klasifikasinya
adalah :
o Derajat I : VEP1 ≥80% prediksi
o Derajat II : 50%≤VEP1<80% prediksi
o Derajat III : 30%≤VEP1 <50% prediksi
o Derajat IV : VEP1<30% prediksi atau VEP1 <50% prediksi ditambah gagal napas
kronik
 Assessment risiko serangan eksaserbasi
Untuk menilai eksaserbasi dilihat riwayat eksaserbasi dalam satu tahun terakhir dan
atau hasil spirometri. Risiko tinggi eksaserbasi disimpulkan dari dua kali ekseserbasi
atau lebih dalam setahun terakhir atau VEP1<50%
 Assessment komorbid

Gambar 1. The Modified British Medical Research Council (mMRC) dan kuesioner COPD Assesment Test
(CAT)

Setelah dilakukan keempat assessment di atas, semua data dimasukkan ke dalam matriks
(Gambar 2). Matriks ini akan memberikan informasi mengenai kondisi personal pasien PPOK,
serta membantu kita untuk memilih jenis terapi jangka panjangnya (Tabel 1).
Risk
(GOLD
Classifi
cation 4
of
Airflow (C) (D) >2 Risk
(Exacerbati
Limitati
on)
3 on history) /
year

2 1
(A) (B)
1 0
mMRC 0-1 mMRC > 2
CAT < 10 CAT > 10
Gambar 2. Matriks Combined Assesment PPOK
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pasien PPOK adalah:
• Mengatasi keluhan
• Mencegah progresivitas penyakit
• Meningkatkan toleransi eksersais
• Meningkatkan status kesehatan
• Mencegah dan mengobati komplikasi
• Mencegah dan mengobati eksaserbasi
• Mengurangi mortalitas
Tujuan ini dicapai melalui 4 komponen penatalaksanaan yaitu:
1. menilai dan memonitor penyakit
2. mengurangi faktor risiko
3. penatalaksanaan PPOK stabil
4. penatalaksanaan PPOK eksaserbasi
Tabel 1. Terapi Farmakologi untuk PPOK stabil
Pasien Pilihan I Pilihan II Pilihan Alternatif

SAMA prn LAMA


or
A or LABA Theophylline
SABA prn or
SABA and SAMA

LAMA
B SABA and/or SAMA
or LAMA and LABA
Theophylline
LABA

ICS +LABA PDE4-inh.


C or LAMA and LABA SABA and/or SAMA
LAMA Theophylline
ICS andLAMA or
ICS + LABA ICS + LABA and LAMA or Carbocysteine
D or ICS+LABA and PDE4-inh.or SABA and/or SAMA
LAMA LAMA and LABA or Theophylline
LAMA and PDE4-inh.
Keterangan:
SAMA short acting Anticholinergic; SABA short acting β2 agonist; LAMA Long acting anticholinergic;
LABA Long acting β2 agonist; ICS inhaled corticosteroid; PDE4 IPhosphodiesterase 4 inhibitor

Penilaian tingkat keparahan PPOK berdasarkan pada tingkatan keluhan pasien,


abnormalitas spirometri, dan adanya komplikasi. Pemeriksaan PaO2 dipertimbangkan pada
pasien dengan VEP1<50% nilai prediksi atau pasien dengan kecurigaan gagal napas atau gagal
jantung kanan. PPOK bersifat progresif dan akan terjadi penurunan fungsi paru berkelanjutan
meskipun dengan penatalaksanaan terbaik. Keluhan pasien dan penilaian objektif obstruksi
jalan napas harus selalu dimonitor untuk menentukan kapan perlu dilakukan modifikasi terapi.
Mengurangi atau kalau mungkin meniadakan sama sekali pajanan faktor risiko untuk mencegah
onset dan progresifitas PPOK. Pemutusan kebiasaan merokok merupakan satu-satunya
intervensi yang efektif dan murah untuk mencegah pemunculan dan progresifitas PPOK.
Secara umum, penatalaksanaan pasien PPOK stabil mempergunakan pedekatan
individual untuk mengurangi keluhan dan memperbaiki kualitas hidup. Tidak ada pengobatan
spesifik yang dapat memperlambat progresivitas penyakit. Bronkodilator merupakan obat
simtomatik utama pada pasien PPOK, dapat diberikankalau perlu saja atau secara teratur.
Agonis β-2, antikolinergik, dan teofilin dapat diberikan sendiri-sendiri atau dalam kombinasi.
Terapi teratur dengan bronkodilator kerja-panjang lebih efektif dibandingkan dengan
bronkodilator kerja singkat. Penambahan kortikosteroid inhalasi pada pemberian bronkodilator
bermanfaat pada pasien PPOK dengan VEP1 <50% nilai prediksi (PPOK derajat III dan IV) dan
Pada mereka yang mengalami seksaserbasi berulang. Terapi kronik dengan kortikosteroid
sistemik sebaiknya dihindarkan oleh karena menunjukkan kerugian yang lebih besar daripada
keuntungannya. Vaksin influenza dapat mengurangikeparahan penyakit. Vaksin polisakarida
peumokokal direkomendasi pada pasien PPOK usia 65 tahun atau lebih tua dan pada pasien
yang lebih muda apabila VEP1< 40% nilai prediksi. Program latihan eksersais, dan mengurangi
keluhan serta keletihan. Pemberian oksigen jangka panjang (> 15 jam sehari) pada pasien
dengan gagal napas kronik, telah terbukti meningkatkan harapan hidup. Pada pasien dengan
defisiensi α-1 antitripsin, terapi pengganti dapat meningkatkan kadar antiprotease plasma dan
paru, tetapi manfaatnya pada fungsi paru dan harapan hidup masih kontroversial. Pembedahan
untuk pengurangan volume paru atau transplantasi dapat diindikasikan pada PPOK sangat berat
tetapi efikasi jangka panjangnya belum terbukti.
Eksaserbasi PPOK adalah suatu kejadian yang merupakan perjalanan natural penyakit
ditandai oleh peningkatan derajat sesak napas, batuk, dan atau produksi sputum di luar dari
variasi hari ke hari, onsetnya akut, dan memerlukan perubahan pengobatan yang telah biasa
dipergunakan. Penyebab tersering eksaserbasi adalah infeksi saluran napas da polusi udara,
tetapi sepertiga dari pasien eksaserbasi PPOK, penyebabnya tidak diketahui. Bronkodilator
inhalasi, terutama β-2 agonis dengan atau tanpa antikolinergik, dan glukokortikosteroid oral
(prednisolon 30-40 mg perhari selama 7-10 hari) merupakan terapi efektif pada eksaserbasi
PPOK. Antibiotik diberikan bila terdapat tanda infeksi (sputum purulen). Ventilasi mekanik
noninvasif memperbaiki asidosis respirasi, meningkatkan pH, menurunkan keperluan intubasi
endotrakeal, menurunkan PaCO2, frekuensi napas, tingkat keparahan sesak napas, lama tinggal
dirumah sakit, dan mortalitas. Pengobatan dan edukasi untuk mencegah eksaserbasi berikutnya
selalu dilakukan karena eksaserbasi berefek pada kualitas hidup dan prognosis.
Tuberkulosis

Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium
tuberculosis. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi oleh mycobacterium tuberculosis yang
menyerang jaringan parenkim paru.

Epidemiologi
Pada tahun 1990, hampir sepertiga penduduk dunia terinfeksi tuberkulosis dan
diperkirakan ada 9 juta pasien tuberkulosis baru dan 3 juta kematian akibat penyakit
tuberkulosis. Sekitar 95% kasus dan 98% kematian akibat tuberkulosis dunia, terdapat di
negara-negara berkembang.
Indonesia adalah penyumbang pasien tuberkulosis ketiga terbesar dunia, setalah India
dan Cina. Berdasarkan hasil survey prevalensi 2004, setiap tahun di Indonesia terjadi sekitar
345.000 kasus tuberkulosis baru, dengan jumlah tuberculosis menular (BTA+) sejumlah 107.000
kasus, sedangkan kematian karena TBC sekitar 46.000 setiap tahunnya. Tuberkulosis
menyerang sebagian besar kelompok usia produktif, kelompok ekonomi lemah dan
berpendidikan rendah.

Patogenesis
1. Tuberkulosis primer.
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonia, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian saja dalam paru. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus(limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfangitis regional) Afek
primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Komplek
primer ini dapat mengalami: sembuh dengan tidak meninggalkan cacat, sembuh dengan
meninggalkan sedikit bekas( sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran hilus) dan dapat
menyebar dengan cara perkontinuatum, menyebar kesekitarnya, penyebaran secara bronkogen
baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan dan penyearan secara
hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan
virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh spontan, dan bila imunitas tidak
adekuat penyebaran ini dapat menjadi berat seperti TB milier, meningitis dan dapat mengenai
alat tubuh lainnya seperti tulang, ginjal, anak ginjal genetalia dan sebagainya.
2. Tuberkulosis postprimer.
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberculosis
primer. Biasanya terjadi pada usia15-40 tahun. Bentuk tuberculosis ini yang terutama menjadi
masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis
postprimer dimulai dengan sarang dini yang umumnya terletak di segmen apical lobus superior
maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonia kecil. Sarang
pneumonia ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut: 1).Diresopsi kembali dan
sembuh tanpa meninggalkan cacat, 2).Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses
penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrous. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan
akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali denga
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar.3).
Sarang pneumonia meluas membentuk jaringan kaseosa. Kavitas akan muncul dengan
dibatukkannya jaringan keju. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal. Kavitas dalam perjalannya dapat menjadi:- Meluas kembali dan menimbulkan
sarang pneumonia baru. Sarang pneumonia ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan diatas. –Memadat dan membungkus diri dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma
dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi
kavitas lagi. –Bersih dan meyembuh yang disebut open healed cavity atau kavitas menyembuh
dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang
terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang.
Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan pada gejala klinis, pemeriksan fisik,
pemeriksaan bakteriologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Gejalala klinis.
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik. Bila paru yang terkena akan muncul gejala respiratorik.
Gejala respiratorik diantaranya: batuk-batuk ≥ 2 minggu, Batuk darah, sesak nafas, nyeri dada.
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tanpa gejala sampai gejala yang cukup berat
tergantung dari luas lesinya.
Gejala sistemik: demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terkena.
2. Pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai terantung organ yang terlibat. Pada
tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal
perkembangan penyakit umumnya tidak menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah afek dan segmen posterior, serta daerah
afeks lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara nafas
brinkial, amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma
dan mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosis kelainan tergantung banyaknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara nafas melemah sampai tidak
terdengar. Pada limfadenitis terlihat pembesaran kelnjar getah bening, tersering di daerah
leher, kadang diketiak
3. Pemeriksaan bakteriologi.
Pemeriksan bakteriologi adalah untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
urin, feces dan jaringan biopsi. Pemeriksaan bakteriologi dapat dilakuakan dengan cara
mikroskopis dan biakan. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan mikroskopis biasa dengan
pewarnaan Ziehl-Nielsen, mikroskopis fluoresen dengan pewarnaan auramin-rhodamin.
Interprestasi hasil pemeriksan dahak dari 3 kali pemeriksaan (3 kali pengambilan SPS) adalah
bila:
 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 negatif berarti BTA positif.
 1 kali positif, 2 kali negatif, lakukan penglangan pemeriksaan BTA 3 kali, bila
kemudian 1 kali positif, 2 kali negatif bertarti BTA positif.
 3 kali negative bearti BTA negatif.
Pemeriksaan biakan M. tuberkulosis dapat dengan metode egg base media ( Lowenstein-
jensen, ogawa, kudoh), agar base media ( middle brook). Melakukan biakan adalah untuk
mendapatkan diagnosis pasti dan dapat mendeteksi M. tuberkulosis dan juga dapat
mengetahui mikobakterium selain tuberkulosis.
4. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lai atas indikasi: foto lateral,
top lordotik, oblik, CT scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberculosis dapat memberikan
gambaran bermacam-macam. Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi aktif:
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
 Kavitas, terutama lebih dari satu dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
 Fibrotik pada segmen apical dan atau posterior lobus atas
 Nodul kalsifikasi atau parenkimal kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura dan fibrothorak
 Komplek ranke
Destroyed Lungs
 Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik
destroyed lungs
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktivitas proses penyakit

Luas proses yang tampak pada foto toraks dapat dinyatakan sebagai berikut:
 Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan
prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak
dijumpai kavitas.
 Lesi luas proses lebih luas dari lesi minimal.
5. Pemeriksan lainnya.
 Pemeriksaan serologi dengan berbagai metode (ELISA, Mycodot, Uji peroksidase anti
peroksidase (PAP), Dot-EIA TB, IgG TB)
 PCR (Polymerase chain reaction)
 RFLP (Restrictive fragment length polymorphysms)
 Light producing mycobacteriophage
 Pemeriksaan darah. Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis.
Laju endap darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang
normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kuran spesifik. Pemeriksaan
fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal: ureum, kreatinin dan gula darah untuk
data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
 Uji tuberkulin. Untuk mendeteksi infeksi tuberkulosis, terutama berarti di daerah
dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis
yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kuran berarti pada
orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang
dilakukan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada
malnutrisi dan infeksi HIV uji ini dapat emberi hasil negatif.
 Analisa cairan pleura. Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji rivalta cairan pleura
dilakukan pada pasien efusi pleura unruk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi
hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji rivalta positif dan kesan
cairan eksudat, serta analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah. Pemeriksan histopatologi jaringan. Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan
histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi.
Suspek TB Paru

Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Sewaktu – Pagi – Sewaktu(S-P-S)

Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA


+++ +-- ---
++-
Antibiotika non OAT

Tidak ada Ada


perbaikan perbaikan

Foto toraks dan Pemeriksaan dahak


pertimbangan dokter mikropis

Hasil BTA
HasilBTA
___
+++
++-
+--

Foto toraks dan


pertimbangan dokter

Bukan TB
TB

Gambar 1. Alur Diagnosis TB Paru (WHO, 2003)


Klasifikasi penyakit TB paru.
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi atas:
a. TB paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil
pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak
menunjukkan BTA positif dan biakan positif.
b. TB paru BTA (-).
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan
radiologi menunjukkan TB aktif. Hasil pemeriksan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M. TB positif.
2. Berdasarkan tipe pasien.
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien:
a. Kasus Baru.
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah mendapat OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps).
Adalah pasien TB yang sebelumnnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap kemudian kembali lagi berobat dengan
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif
tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis
maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan:
 Lesi non-TB (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan).
 TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten
menangani kasus TB.
c. Kasus putus obat (drop out)
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat 2
bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai.
d. Kasus gagal.
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif pad akhir bulan ke-5 atau akhir
pengobatan.
e. Kasus kronik.
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
f. Kasus bekas TB.
Hasil pemeriksaan BTA negatif dan biakan juga negatif dan gambaran radiologi paru
menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan
gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta foto
toraks ulang tidak ada gambaran radiologi.
3. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu bentuk ringan dan berat. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan
gambaran kerusakan paru yang luas.

PENGOBATAN TB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT.
Perinsip pengobatan TB dilakukan dengan perinsip-perinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup an dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Paduan obat OAT dan peruntukannya
1. Kategori 1 (2HRZE/4RH) / (2HRZE/4H3R3)
Paduan obat ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien baru TB paru BTA positif.
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.
 Pasien TB ekstra paru.
2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Paduan obat ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya :
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien dengan pengobatan setelah terputus.
3. OAT sisipan (HRZE).
Paket sisipan adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selama sebulan.
Pengggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida dan golongan kuinolon
tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat
tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga
meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
Pada kasus-kasus kambuh, gagal terapi, kasus putus obat dan kasus kronik sebaiknya
dilakukan uji resistensi terhadap OAT. Jika telah ada hasil uji resistensi sesuaikan dengan
hasil uji resistensi . Pada kasus kronis, obat sesuaikan dengan hasil resistensi (minimal
terdapat 4 macam obat OAT yang masih sensitif) ditanbah dengan obat lini 2 seperti
kuinolon, makrolid dll). Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup dan
pertimbangan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.

Pengobatan TB pada kasus khusus.


1. Kehamilan.
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB
pada umumnya. Umumnya OAT aman pada kehamilan kecuali streptomisin.
Streptomisisn bersifat permanen ototoxic dan dapat menembus barier plasenta,
keadaan ini dapat mengaibatkan terjadinya gangguan pendengaran dankeseimbangan
yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan.
2. Ibu menyusui dan bayinya.
Ibu menyusui dengan TB harus mendapat OAT yang adekuat. Pemberian OAT tidak
berbeda pada umumnya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan danbayi tersebut dapat
terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut
sesuai dengan berat badannya.
3. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS.
Tatalaksana TB pada pasien HIV/AIDS sama seperti pada pasien TB lainnya. Prinsip
pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Penggunaan
suntikan streptomisin harus memperhatikan prinsip-prinsip univesal precaution. Pasien
TB yang berisiko terhadap infeksi HIV perlu rujuk ke pelayanan VCT.
4. Pasien TB dengan hepatitis akut.
Pemeberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut sebaiknya ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB
sangat dierlukan dapat diberikan streptomisin dan etambutol maksimal 3 bulan sampai
hepatitisnya menyembuh dan lanjutkan dengan rifampisin dan isoniasid selama 6 bulan.
5. Pasien TB dengan kelainan hati kronis.
Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dai 3 kali OAT tida diberikan dan bila sudah
dalam pengobatan harus dihentikan. Kalau meningkatnya kurang dari 3 kali, pengobatan
dapat dilakukan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan
hati, pirazinamid tidak boleh diberikan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
6. Pasien TB dengan gagal ginjal.
Isoniazid, rifampisin dan pirazinamid dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-
pasien dengn gangguan ginjal. Streptomisin dan etambutol hindari penggunaannya.
Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gangguan injal adalah 2HRZ/4HR.
7. PasienTB dengan DM.
Penggunaan rimfanpisin dapat mengurangi efektivitas obat oral anti diabetes (sulfonil
urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan.. Pasien DM sering mengalmi
komplikasi retinopati diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol
karena dapat memperberat kelainan tersebut.
8. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid.
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien
seperti:
 Meningitis TB
 TB milier
 TB dengan pleuritis eksudativa
 TB dengan perikarditis konstriktiva
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap.
Hemoptisis

Definisi
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah atau dahak berdarah yang dibatukkan, berasal
dari saluran pernapasan bagian bawah ( mulai dari glotis kearah distal). Perdarahan bervariasi
dari dahak disertai bercak atau lapisan darah hingga batuk berisi darah saja.

Etiologi
Penyebab utama hemoptisis dapat dibedakan ke dalam 3 kategori menurut lokasinya:
 Penyakit saluran nafas seperti: bronkitis akut, bronkitis kronis, bronkiektasis, karsinoma
bronkogenik da tumor endobronkial lainnya.
 Kelainan parenkim paru seperti: TB, abses paru, pneumonia, fungus ball dll
 Kelainan vaskuler seperti: emboli paru, gagal jantung kiri, mitral stenosis, malformasi
pembuluh darah.
Penyebab lain yang jarang diantaranya: gangguan koagulasi, endometriosis paru.

Patogenesis
Dengan meningkatnya tekanan intra torakal seperti pada batuk yang keras, mengejan,
pembuluh darah di Paru bisa pecah dan darah akan keluar bersama dahak melalui saluran
napas menuju mulut.
Patogenesis hemoptisis tergantung dari tipe dan lokasi dari kelainan.Secara umum bila
perdarahan berasal dari lesi endobronkial, maka perdarahan adalah dari sirkulasi bronkiali,
sedang bila lesi di parenkim maka perdarahan adalah dari sirkulasi pulmoner.
Pada karsinoma bronkogenik perdarahan berasal ari nekrosis tumor serta terjadinya
hipervaskularisasi pada tumor atau bisa juga berhubungan dengan dengan invasi tumor ke
pembuluh darah besar.
Pada bronkiektasis perdarahan terkadi akibat iritasi oleh infeksi dari jaringan granulasi yang
menggantikan dinding bronkus yang normal.
Mekanisme hemoptisis pada stenosis mitral dan gagal jantung diduga berasal dari pecahnya
varises dari vena bronkialis di submokosa bronkus besar akibat dari hipertensi vena pulmonalis.
Pada tuberkulosis penyebab perdarahan sangat beragam. Pada lesi akut, perdarahan bisa
akibat nekrosis percabangan arteri / vena. Pada lesi kronik, lesi fibroulseratif parenkim paru
dengan kavitas bisa memiliki tonjolan aneurisma arteri ke rongga kavitas yang mudah berdarah.
Pada tuberkulosis endobronkial, perdarahan dapat akibat ulserasi granulasi dari mukosa
bronkus.

Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis hendaknya dilakukan anamnesis yang baik, pemeriksan
fisik dan pemeriksan penunjang.
 Anamnesis.
Pada anamnesis perlu ditanyakan:
1. Batuk darah berwana merah segar / kehitaman, bercampur busa ataukah makanan
perlu bedaan dengan hematemesis.
2. Batuk sebelumnya, dahak, demam tidak, sesak, nyeri dada, riwayat penyakit paru,
anoreksia, BB menurun.
3. Penyakit komorbid, riwayat penyakit sebelumnya.
4. Kelainan perdarahan, penggunaan obat-obatan.
5. Kebiasaan: merokok
 Pemeriksaan fisik:
1. Pemeriksaan untuk megetahui sumber perdarahan: orofaring, nasofaring
2. Pemeriksaan paru: ronki basah atau kering, pleura frktion rub, apah ada keredupan.
3. Pemeriksaan terhadap jantung: tanda-tanda mitral stenosis, gagal jantung.
 Pemeriksaan penunjang:
1. Pemeriksaan radiologi (foto toraks) : menentukan lesi paru (lokal/difus)atau kardiak
untuk mengetahui penyebab dan lokasi hemoptisis
2. Laboratorium: darah lengkap, LED, ureum, kreatinin, urin lengkap, faal hemostasis.
Pemeriksaan sputum: BTA untuk mengetahui kemungkinan adanya TB Paru Sitologi
untuk mengetahui kemungkinan adanya Ca paru. Gram dan kultur untuk mengetahui
kemungkinan adanya penyebab infeksi.
3. Bronkoskopi bila perlu, yang dilanjutkan dengan washing, brushing , biopsi untuk
mengetahui kemungkinan adanya ca, peradangan dan menentukan lokasi sumber
perdarahan.
4. CT Scan dada, dilakukan bila pemeriksaan diatas tidak didapat kelainan yang jelas,
menemukan bronkiektasis, malformasi AV
5. Angiografi: menemukan emboli paru,malformasi AV.

Penatalaksanaan
 Hemoptisis yang tidak masif :
Tujuan terapi adalah mngendalikan penyakit dasar.
Diberikan terapi konservatif sesuai penyakit dasar
 Hemoptisis masif ( volume darah yang keluar > 600 cc/24 jam )
Tujuan terapi adalah mempertahankan jalan nafas, memproteksi paru yang sehat,
mengentikan perdarahan.
Istirahat baring dengan posisi trendelenberg dan miring kearah sisi yang sakit. Bersihkan jalan
napas dari bekuan darah denga suction, dan dilanjutkan dengan pemberian oksigen. Pasang
infus cairan, bila perlu berikan tranfusi darah Obat-obatan: anti perdarahan, anti biotika bila
perlu, anti tusif / ekspectoran
Bila dengan cara-cara diatas batuk darah tidak dapat berhenti, dipertimbangkan untuk
dilakukan tindakan operasi berupa lobektomi atau segmentektomi sesuai dengan luasnya
sumber perdarahan. Tentunya didahului dengan bronkoskopi sehingga dapat melihat lokasi
sumber perdarahan.
Pneumotoraks
Definisi
Keadaan dimana terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Pada keadaan
normal rongga pleura tidak berisi udara. Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan dan
traumatik.

Epidemiologi
Insiden pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui.
Pria lebih banyak daripada wanita dengan perbandingan 5:1. Pneumotoraks spontan primer
sering juga dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat penyakit paru sebelumnya
Pneumotoraks spontan primer banyak dijumpai pada pria dengan usia antara dekade 3 dan 4.
Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81% kasus berusia 45 tahun. Dilaporkan juga bahwa
pasien TB paru aktif mengalami komplikasi pneumotoraks sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas
paru komplikasi pneumotoraks meningkat lebih dari 90%.

Patogenesis
Patogenesis pneumotoraks spontan sampai sekarang belum jelas. Pneumotoraks
spontan sebagian besar disebabkan oleh karena robeknya kavitas atau bleb yang terletak sub
pleura. Biasanya didahului oleh peningkatan tekanan intra torakal seperti batuk yang keras,
mengejan atau habis meniup alat musik. Dengan robeknya kavitas atau bleb, udara akan keluar
menuju rongga pleura melalui robekan pleura visceralis
Etiologi
Pneumotoraks spontan primer
- Pecahnya bula tau bleb
Pneumotoraks spontan skunder
- TB Paru yang prosesnya sudah lama, dengan multipel cavity, fibrosis
- Bronkitis kronis yang mengalami eksaserbasi
- Emfisema yang mudah mengalami ruptur dindingalveoli
- Asma bronkial yang mengalami eksaserbasi
Klasifikasi
Menurut kejadiannya Pneumotoraks dibagi atas:
- Pneumotoraks spontan, yang dibagi lagi menjadi primer dan sekunder
- Pneumotoraks traumatika, yang disebabkan karena adanya trauma dada.
Menurut jenis fistelnya Pneumotoraks dibagi menjadi
- Pneumotoraks ventil, dimana udara dapat masuk tetapi tidak bisa keluar
- Pneumotoraks terbuka, Pneumotoraks yangada hubungan dg dunia luar
- Pneumotoraks tertutup, tidak ada hubungan dg dunia luar

Diagnosis
Anamnesis biasanya dijumpai sesak napas yang terjadi tiba-tiba, nyeri dada yang seperti
menususuk, batuk-batuk namun kadang tidak menunjukan gejala yaitu sekitar 5-10% kasus. Bila
berat bisa gelisah, keluar keringat dingin, sianosis dan syok.
Pemeriksaan fisik, Sisi yang terdapat pneumotoraks lebih cembung, tertinggal, hipersonor,
fremitus melemah, suara napas melemah. Pneumotoraks tension dicurigai apabila didapatkan
adanya takikardia berat, hipotensi dan pergeseran mediastinum atau trakea.
Pada foto toraks, terlihat paru kolap dengan garis kolap. Celah antara garis pleura tampak
lusens oleh karena berisi udara dan tidak didapatkan corakan vaskuker pada daerah tersebut.
Pada tension pneumotoraks gambaran foto dada tampak jumlah udara pada hemitoraks yang
cukup besar dan susunan mediastinum yang bergeser kontralateral.
Pemeriksaan dengan Pneumometer, untuk mengetahui jenis fistel dari pneumotoraks. Bila
tidak ada pneumometer, bisa dilakukan aspirasi dengan spuit kosong.
Pemeriksaan CT scan mungkin diperlukan apabila dengan pemeriksaan foto dada diagnosis
belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bulosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner
serta untuk memdedakan antara pneumotoraks spontan primer atau skunder.
Diagnosis banding
Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti emboli paru yaitu terdapat sesak yang tiba-tiba,
seperti nyeri pada infark miokard yaitu nyeri dada kiri yang disertai dengan sesak napas, juga
mirip dengan pneumonia, dimana ada nyeri, sesak dan panas serta batuk-batuk, PPOK yaitu
dengan gejala yang menonjol sesak napas dan efusi pleura dengan gejala nyeri, sesak dan dada
yang kena lebih cembung.

Penanganan
Untuk pneumotoraks fistel tertutup, bila luasnya pneumotoraks < 15-20% dan tidak sesak,
cukup dengan perawatan konservatif. Dengan istirahat, diharapkan terjadi resorbsi udara 1,25
% per hari. Obsevasi dilakukan dalam beberapa hari (minggu) dengan foto dada serial tiap 12-
24 jam selama dua hari bisa dilakukan dengan atau tanpa harus rawat di rumah sakit.
Untuk pneumotoraks ventil, segera pasang kontra ventil atau WSD (water sealed drainase).
Pada pneumotoraks dengan fistel terbuka, dilakukan pemasangan WSD dengan continues
suction. Obati penyakit dasar dan simtomatis seperti analgetika, anti tusif/ekspectoran,
bronkodilator, antibiotika, oral anti TB.

Penyulit
Tension pneumotoraks, gagal napas, hemopneumotoraks, penebalan pleura, atelektasis,
pneumotoraks rekurens, emfisema mediastinum.
Emboli paru

Definisi
Emboli paru adalah kelainan jaringan paru yang disebabkan oleh karena obstruksi oleh embolus
pada arteri pulmonalis atau cabang-cabangnya

Epidemiologi.
Penyakit ini sering terjadi namun jarang terdiagnosis sehingga laporan di Indonesia
jarang ditemukan. Survei epidemiologi di AS menunjukan bahwa kira-kira terdapat 50.000 kasus
ini tiap tahunnya. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa kurang dari 10% pasien emboli
paru meninggal karena penyakit ini. Oleh karenanya di AS dapat diperkirakan insiden penyakit
ini lebih dari 500.000 kasus tiap tahunnya.
Emboli paru sering mengalami pencairan dan tidak dijumpai pada autopsi, sehingga
perkiraan jumlah pasien emboli paru hanya berdasarkan jumlah pasien emboli paru yang mati
dan berhsil ditemukan pada autopsi saja jauh lebih kecil daripada angka sebenarnya. Lebih sulit
lagi untuk menentukan angka kejadian penyakit ini karena diagnosis emboli paru antemortem
sulit ditegakkan.

Etiologi
Penyebab emboli paru adalah oleh karena adanya trombus pada pembuluh darah.
Umumnya tromboemboli berasal dari lepasnya trombus di pembuluh vena tungkai bawah atau
dari jantung kanan. Sumber lainnya adalah tumor yang telah menginvasi sirkulasi vena, amnion,
udara, lemak, sumsum tulang, fokus septik dll.
Faktor predisposisi terjadinya emboli paru adalah: adanya aliran darah yang lambat,
kerusakan dinding pembuluh darah, keadaan darah yang mudah membeku.
Patogenesis
Trombus dapat berasal dari pembuluh darah arteri dan pembulus darah vena. Trombus
arteri terjadi karena rusaknya dinding pembuluh darah arteri, trombus vena terjadi karena
aliran darah vena yang lambat, dan dapat pula karena pembekuan darah dalam vena bila ada
kerusakan endotel vena.
Secara umum dapat dikatakan bahwa tromboemboli paru merupakan komplikasi
trombosis vena dalam pada tungkai bawah atau ditempat lain. Trombus yang lepas ikut aliran
darah vena ke jantung kanan dan sesudah mencapai sirkulasi pulmonal tersangkut pada
beberapa cabang arteri pulmonalis,

Diagnosis
Gejala klinik; sesak yang tidak diketahui penyebabnya, nyeri dada yang terasa di dada bagian
belakang dan sulit dibedakan dengan infark miokard. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya
sianosis sentral, konstriksi vaskular perifer, tatikardi dan hipotensi, peningkatan CVP, takipnea,
irama galop. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak ada yang spesifik. Dicurigai adanya emboli bila
terdapat hipovaskularisasi pada paru dan terdapatnya bayangan baji dengan basis di pleura
yang disebut dengan tanda dari ”Hamptom’s” yang khas untuk infark paru karena emboli.
Diagnosis pasti adalah dengan pemeriksaan angiografi arteri pulmonalis, dimana terdapat
adanya oklusi dan filling defect dari arteri pulmonalis.
Dengan pemeriksaan pletismograf dan USG Real Time, Doppler ektremitas bawah, merupakan
pemeriksaan non invasif dimana dapat mengetahui adanya trombus di daerah ektremitas
bawah. Sedang dengan pemeriksaan Ventilation – Perfusion scaning dan Helical CT dapat
mengetahui adanya emboli secara cepat.

Pemeriksaan penunjang lain


Pada Analisa gas darah, didapatkan PaO2 yang menurun dengan PaCO2 normal atau meningkat.
Pada Pemeriksaan darah lengkap, didapatkan adanya leukositosis dan LED yang meningkat.
Pada pemeriksaan ECG didapatkan adanya gambaran korpulmonale akut seperti : RBBB, P
Pulmonal di II, III, AVF, RV strain.

Diagnosis banding
Infark miokard. Pneumonia, PPOK, Asma bronkial, Pneumotoraks.
Penatalaksanaan
1. Tatalaksana untuk memperbaiki keadaan umum pasien.
Mempertahankan fungsi vital tubuh dengan pemberian oksigen, cairan infus dan intubasi
bila diperlukan.
2. Pengobatan untuk indikasi khusus.
Pengobatan untuk gangguan tehadap organ lain, misalnya gangguan pada jantung, maka
diperlukan obat-obat vasopresor, inotropik, antiaritmia dan sebagainya.
3. Pengobatan untuk emboli paru / infark paru.
Pengobatan utama terhadap emboli paru adalah: a).Pengobatan antikoagulan dengan
heparin dan warfarin. b).Pengobatan trombolitik.
4. Pengobatan lainnya adalah pembedahan.
Dilakukan bagi pasien yang tidak adekuat atau tidak dapat diberikan terapi heparin.

Penyulit
Gagal napas, juga bisa terjadi syok
Gagal Napas

Definisi
Suatu keadaan darurat dimana Paru tidak mampu mempertahankan nilai PH (keasaman),
Oksigen (O2), karbondioksida (CO2) darah arteri dalam batas normal. Secara praktis klinis dari
analisa gas darah didapatkan PO2 < 60 mmHg atau PCO2 > 50 mmHg.

Epidemiologi
Kejadian gagal nafas di AS tidak diketahui dengan pasti. Kematian yang berhubungan
gagal nafas bervariasi sesuai dengan penyebabnya. Untuk ARDS kematian sekitar 50%,
kematian oleh eksaserbasi akut PPOK adalah sekitar 30%. Angka kematian untuk kasusa lainnya
tidak diketahui dengan pasti.

Etiologi
1. Penyakit saluran napas: Bronkitis kronik, Emfisema, Asma Bronkial, Bronkiektasis
2. Penyakit Parenkim Paru: Pneumonia, Edema Paru, Inhalasi gas beracun
3. Gangguan pada jaringan Interstitial: ARDS
4. Penyakit Pembuluh Darah: Emboli, Syok Kardiogenik,
5. Trauma: Dada, Leher, Kepala
6. Gangguan Neuromuskuler: Poliomyelitis, Syndrome Guilan Barre, Paralisis
diapragma.
7. Overdosis Obat: Barbiturat, Narkotika, Sedatif.
8. Kelainan dinding dada: Kiposkoliosis, Ankilosing Spondilitis

Klasifikasi.
Gagal nafas dapat dibedakan menjadi gagal nafas hipoksemia dan hiperkapnia atau akut
dan kronik.
Gagal nafas hipoksemia (tipe I) ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal
atau rendah. Ini adalah bentuk gagal nafas yang sering berhubungan dengan penyakit paru
akut.
Gagal nafas hiperkapnia (tipe II) ditandai dengan PaCO2 > 50 mmHg. Keadaan ini sering
diakibatkan oleh: overdosis obat, penyakit neuromuskuler, kelainan dinding dada dan penyakit
saluran nafas berat (PPOK, asma).

Patofisiologi
Ada 2 mekanisme pokok yang menyebabkan terjadinya kegagalan pernapasan akut adalah:
Kegagalan pernapasan yang bukan disebabkan oleh kelainan parenkim paru seperti kelainan
pada pusat pernapasan, otot pernapasan atau struktur rongga toraks. Keadaan ini dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar CO2 darah, sehingga disebut juga dengan
kegagalan pernapasan hiperkapnia. Disamping hiperkapnia dapat juga terjadi hipoksemia. Bila
hipoventilasi alveolar ini disertai dengan ketidakseimbangan antara ventilasi dengan perfusi
atau disertai dengan adanya shunt atau disertai dengan adanya blok difusi, maka dalam
keadaan ini hipoksemia dapat terjadi sekalipun penyebab primernya adalah hipoventilasi
Kelainan pada parenkim paru sehingga paru tidak dapat mendifusikan gas dengan baik.
Dalam keadaan normal daya difusi gas O2 lebih tinggi dari CO2, maka pada setiap kegagalan
difusi gas,akan yang pertama terjadi adalah hipoksemia yang kemudian diikuti juga dengan
hiperkapnia.

Diagnosis
Gejala klinis: Sesak napas, gelisah, kadang sianosis.
Ditemukannya murmur, gallop menunjukkan kemungkinan adanya gagal jantung. Adanya bising
mengi, kemungkinan suatu asma berat. Adanya ronki disertai sputum yang banyak dengan
demam, mungkin ada infeksi paru. Adanya gejala neurologis, mungkin karena Stroke,
Miastemia gravis.
Pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan PaO2 < 60, Sedang PaCO2 > 50 mmHg
Pemeriksaan penunjang lain: Foto toraks, ECG, sputum Gram
Terapi
 Non Medikamentosa: Oksigenasi, Fisioterapi, Bronkoskopi untuk bronkial toilet
 Medikamentosa: tergantung penyakit yang mendasari; Antibiotika, Bronkodilator,
Steroid, Kardiotonika
 Terapi khusus: Ventilator dan bronkoskopi
Efusi Pleura

Definisi
Pengumpulan cairan abnormal dalam kavum pleura. akibat ketidak-seimbangan produksi-
reabsorpsi.
Epidemiologi
Efusi pleura cukup banyak dijumpai. Di Indonesia TB paru merupakan penyabab utama
efusi pleura disusul keganasan. Distribusi berdasarkan jenis kelamin, efusi pleura didapatkan
lebih banyak pada wanita daripada pria. Efusi pleura yang disebabkan oleh TB lebih banyak
dijumpai pada pria daripada wanita. Umur terbanyak untuk efusi pleura oleh karena TB adalah
21-30 tahun.
Penyebab :
1. Peningkatan tekanan hidrostatik
2. Penurunan tekanan koloid osmotik
3. Gangguan drainase limfatis
4. Peningkatan permeabilitas mikrovaskuler
5. Penurunan tekanan kavum pleura.
6. Perembesan cairan dari peritonium / abnormal lain

Perbedaan Transudat – Eksudat


Transudat Eksudat
Test Rivalta –/ + +
Berat Jenis < 1.016 > 1.016
Protein < 3 gr/100cc > 3 gr/100cc
LDH < 200 iμ > 200 iμ
Protien pleura : serum < 0.5 > 0.5
LDH pleura : serum < 0.6 > 0.6
Leukosit < 1000 /mm3 > 1000 /mm3
Transudat :
Cairan transudat terjadi pada penyakit-penyakit :
 PJK
 Sirosis hepatis
 Neprotik Sindrum
 Hipoalbumin
 Dialisis Peritoneal
 Emboli Paru
 Sarkoidosis
Eksudat :
Cairan Eksudat terjadi pada penyakit-penyakit :
 Malignansi :
► Metastasis tumor
► Limfoma
► Mesotelioma
 Infeksi :
► Bakterial
► Tuberkulosis
► Fungal
 PenyakitKolagen :
► SLE
► Rematoid Artritis
► Peny. Gastrointestinal:
 Pankreatitis
 Obtetri – ginecologi :
► Meig’s Syndrome
Gambaran Klinis
 Gejala :
► Gejala utama:
 Nyeri dada (Pleuritic pain)
 Batuk
 Sesak nafas
► Gejala penyakit dasar
 Tanda fisik :
► Efusi minimal → tidak tampak tanda fisik
► I : asimetris, cembung, pendorongan organ sekitar
► P : Asimetris, fokal premitus menurun
► P : Redup – Pekak ( dapat ditentukan garis Ellis Damaseau )
► A : Suara nafas menurun
 Radiologis :
► Cairan 300 cc → Sudut prenikokostalis TUMPUL
► Bayangan radio opaque dengan pendorangan organ sekitar
► USG dapat menentukan lokasi cairan (pocketed)
► CT Scan toraks :
 Dapat menentukan cairan minimal dan penebalan pleura.
 Dapat menentukan lokasi cairan (pocketed)
 Membantu mencari penyebab efusi

Parasentesis / Pungsi Pleura :


 Diagnostik :
► Keluar cairan memastikan efusi pleura.
► Periksa :
 Warna, kekentalan
 Preparat gram
 Kultur & sensitivitas
 BTA
 Sitologi
 Analisa cairan pleura. (PH, Hitung sel, Revalta, Protein, LDH, Glukosa)
► Cairan transudat atau eksudat ?
► Biopsi pleura (tidak rutin)
 Terapeutik :
► Keluarkan cairan 1000 cc pada pungsi pertama kali
► Bila reakumulasi ciran cepat, empiema → WSD
► Pleurodesis (tetra, talk, bleomicin)
► Efusi Transudat → pungsi pleura dilakukan apabila sesak hebat
► Bila evakuasi cairan tidak baik → Shwarte Pleura
 Komplikasi:
► Oedema paru
► Pneumotoraks
► Infeksi
► Emfisema kutis
PNEUMONIA KOMUNITAS
CAP ( Community – acquired Pneumonia)

Definisi
Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia
komunitas merupakan masalah kesehatan krena angka kematian yang tinggi
Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komunitas banyak disebabkan oleh kuman
gram positif kemudian kuman atipik dan sebagian kecil oleh kuman gram negatif.

Tabel 1. Kuman penyebab yang sering pada pneumonia komunitas.


Tipe pasien Kuman Penyebab
Rawat jalan Streptococcus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Haemophilus influenzae
Clamydophila pneumoniae
Virus respirasi
Rawat inap( ruang biasa) S. pneumoniae
M. pneumoniae
C. pneumoniae
H. influenzae
Legionella
Aspirasi
Virus respirasi
Rawat inap (ICU) S. pneumoniae
Staphylococcus aureus
Legionella
Basil gram negatif
H. influenzae.

Diagnosis
Diagnosis pneumonia komunitas didapatkan dari anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik,
foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakan jika pada foto
toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrate progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini:
 Batuk-batuk betambah berat
 Perubahan karakteristik dahak/purulen
 Suhu tubuh ≥ 37,5 0C oral / ada riwayat demam
 Pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi dan ronki
 Leukosit ≥ 10.000 atau < 4500

Gambaran Klinis pneumonia yang disebabkan oleh kuman atipik tidak sama dengan pneumonia
oleh karena kuman tipik. Untuk membantu merpermudah gambaran perbedaan gejala klinis
atipik dan tipik dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Perbedaan gambaran klinis pneumonia tipik dan atipik
Tanda dan Gejala Pneumonia tipik Pneumonia atipik
Onset Akut Gradual
Suhu Tinggi menggigil Kurang tinggi
Batuk Produktif Non-produktif
Dahak Purulen Mukoid
Gejala lain Jarang Nyeri kepala, mialgia, sakit
tenggorokan
Gejala diluar paru Lebih jarang Sering
Pewarnaan gram Kokus gram (+) atau (-) Flora normal atau spesifik
Leukosit Lebih tinggi Leukosit normal kadang
rendah
Radiologik Konsoldasi lobar Patchy
Gangguan fungsi hati Jarang Sering meningkat

Diagnosis banding
 Bronkhitis akut
 TB Paru
 Edema paru
 Emboli
Pemeriksaan Penunjang
 Foto toraks
 Pulse oxymetry
 Laboratorium rutin: Darah lengkap, glukosa darah, ureum, kreatinin, SGOt, SGPT
 Analisa Gas Darah, Elektrolit
 Gram sputum
 Kultur Sputum dan test resistensi
 Kultur Darah dan resistensi
 Bila diperlukan (Pemeriksaan serologi, Antigen urine untuk Legionella, Pemeriksaan
antigen, PCR)
 Tes invasif (torakosintesis, aspirasi trantrakeal, bronkoskopi, aspirasi jarum transtorakal,
biopsi paru)

Tata laksana dan Terapi


Setelah pneumonia komunitas ditegakkan kemudian kita menentukan tempat
perawatan pasien apakah pasien dapat rawat jalan atau rawat inap, dengan menilai derajat
keparahan penyakit. Penentuan ini dapat dilakukan dengan skor PORT(Pneumonia Patient
Outcome Research Team)/ PSI(neumonia Severe Index dan CURB-65 seperti pada tabel
berikut

Tabel 3. Derajat skor risiko dan rekomendasi tempat perawatan menurut PORT /PSI
Kelas risiko Total Skor Mortality(%) Perawatan
I Tidak diprediksi O,1 Rawat jalan
II ≤ 70 O,6 Rawat jalan
III 71 - 90 2,8 Rawat inap singkat
IV – 130 8,2 Rawat inap
V ˃ 130 29,2 Rawat inap
Tabel 4. Sistem scoring pada pneumonia komunitas berdasar PORT untuk PSI
Karakteristik penderita Jumlah poin
Faktor demografi
Usia : laki-laki Umur (tahun)
Perempuan Umur tahun – 10
Perwatan di rumah/panti jompo + 10
Penyakit Penyerta
Keganasan + 30
Penyakit Hati + 20
Gagal jantung kongestif + 10
Penyakit cerebrovaskuler + 10
Penyakit ginjal + 10
Pemeriksaan fisik
Perubahan status mental + 20
Pernafasan ≥ 30 x / menit + 20
Tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg + 20
Suhu tubuh < 35 0C atau ≥ 40 0C + 15
Nadi ≥ 125 x / menit + 10
Hasil laboratorium / Radiologik
AGD: pH < 7,35
Bun > 35 mg / dL + 30
Natrium < 130 mEq / Liter + 20
Glukosa > 250 mg/dL + 10
Hematokrit < 30 % + 10
PO2 ≤ 60 mmHg + 10
Efusi pleura + 10
Tabel 5. Skor CURB-65.
Prediktor Nilai point
C (confusion) Disorentasi 1
U (uremia) BUN > 20 mg/dL 1
R (respiratory rate) Frekw. nafas ≥ 30x/mnt 1
B (blood pressure) TD sitolik < 90 mmHg 1
atau diastolik ≤ 60 mmHg
65 (age) Umur ≥ 65 tahun 1

Tabel 6. Stratifikasi pneumonia bedasarkan skor CURB-65, mortalitas dan tempat rawat
Nilai skor Mortalitas (%) Tempat perawatan
0 0.7 Rawat jalan
1 2.1 Rawat jalan
2 9.2 Rawat inap ruang biasa
3 14.5 Rawat inap (ICU)
4 40 Rawat inap(ICU)
5 57 Rawat inap(ICU)

Menurut AmericanThoracic Society (ATS) criteria pneumonia berat bila dijumpai salah satu
atau lebih kriteria di bawah ini.
Kriteria minor:
 Frekuensi napas > 30 x /menit
 PaO2 /. FiO2 < 250 mmHg
 Kelainan rontgen parumenunjukan kelainan bilateral
 Gambaran rontgen paru melibatkan > 2 lobus
 Tekanan sistolik < 90 mmHg
 Tekanan diastolic < 60 mmHg
Kriteria mayor :
 Membutuhkan ventiasi mekanik
 Infitrat bertambah 50%
 Membutuhkan vasopresor > 4 jam (syok septic)
 Serum kreatinin ≥ 2 mg /dl atau peningkatan ≥ 2mg/dl. Pada penderita riwayat penyakit
ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialysis

Kriteria perawatan intensif


Penderita memerlukan perawatan intensif adalah penderita yang mempunyai paling sedikit 1
dari 2 gejala mayor tertentu (Membutuhkan ventiasi mekanik dan Membutuhkan vasopresor >
4 jam (syok septic) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (PaO2 /. FiO2 < 250 mmHg, Kelainan
rontgen paru menunjukan kelainan bilateral dan tekanan sistolik < 90 mmHg) Kriteria minor dan
mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan ruang intensif.

Terapi suportif / simptomatik


 Pemberian oksigen
 Pemasangan infuse untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
 Pemberian obat simtomatik antara lain antipiretik, mukolitik

Terapi antibiotika
Berbagai petunjuk terapi empirik pneumonia komunitas dibuat untuk memudahkan dokter
memulai pemberian antibiotika sebagai terapi awal. Setelah diagnosis pneumonia ditegakkan
pemberian antibiotika sudah diberikan dalam waktu kurang dari 4 jam. Pemberikan antibiotika
yang terlambat dapat memperburuk prognosis Pemeilihan antibiotika empiris pada pasien
dengan pneumonia komunitas dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Rekomendasi antibiotika empiris untuk pneumonia komunitas
Terapi pasien rawat jalan
1. Sebelumnya sehat dan tidak menggunakan AB dalam 3 bulan sebelumnya.
a. Makrolid
b. Doxicilin
2. Ada komorbid (penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, alkohol, keganasan,
asplenia, obat imunosupresi, AB 3 bulan sebelumnya).
a. Fluoroquinolon respirasi (moxifloxacin, gemifloxacin, /levofloxacin 750 mg)
b. -lactam + makrolid
3. Pada daerah dengan angka infeksi tinggi dan dengan resisitensi tinggi
makrolid terhadap S. Pneumonia, pertimbangkan AB sesuai poin 2.
Rawat inap tidak di ICU
-Fluoroquinolon respirasi atau
--lactam + makrolid
Rawat inap di ICU
-lactam (cefotaxim, ceftriaxon, atau ampicilin sulbaktam) + azitromisin atau
flouroquinolon respirasi
(untuk pasien alergi pinisilin, fluoroquinolon dan aztreonam)
Bila diperkirakan pseudomonas
- -lactam antipseudomonas ( piperasilin-tazobactam, cefepime, imipenem atau
meropenem) + ciprofloxasin atau levofloxacin (750 mg)
Atau
- -lactam diatas + aminoglikosid dan azitromisin
Atau
- -lactam diatas + aminoglikosid dan fluoroquinolon antipneumococal (untuk
pasien alergi pinisilin ganti -lactam dengan astreonam)
Bila dipertimbangkan CA-MRSA tambahkan vancomysin / linezolid

Terapi Sulih
Masa perawatan dirumah sakit sedapat mungkin dipersingkat dengan perubahan obar
suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan
mencegah infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan
ketersediaan antibiotic yang diberikan secara IV dan antibiotika oaral yang efektivitasnya
mampu mengimbangi efektivitas antibiotika IV yang telah digunakan. Perubahan ini dapat
diberikan secara sekuential (obat sama potensial sama), switch over (obat berbeda, potensi
sama) dan step down ( obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah)
Contoh
 Terapi sekuensial: Levofloksasin IV, Moksiflokssin IV, Gatifloksasin IV ke obat yang sama
per oral
 Swith over : Seftazidim IV ke cifroflosasin oral
 Step down : moksisilin, Cefotaxim IV ke cefiksim oral.
Obat suntik dapat diberikan 3 hari kemudian pada hari ke 4 diganti obat oral dan penderita
dapat berobat jalan.
Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komunitas :
 Tidak ada indikasi untuk pepberian suntik lagi
 Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
 Penderita sudah tidak panas > 8 jam
 Gejala klinis membaik ( frekuensi nafas, batuk membaik)
 Leukosit menuju normal / normal
Evaluasi pengobatan
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan, kita harus
meninjau kembali diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat yang telah diberikan dan kuman
penyebabnya seperti terlihat pada Gambar 1

Komplikasi
Gagal napas, Sepsis(syok sepsis), parapneumonik effusion, gagal ginjal akut

Prognosis
Tergantung pada derajat berat penyakit, penyakit komorbid, status imun.
Penderita yang tidak respon
dengan pengobatan empirik
yang telah diberikan

Salah Diagnosis Diagnosis sudah benar

Gagal jatung Faktor penderita Faktor obat Faktor kuman


Emboli -Kelainan local -Salah memilih obat -Resisten terhadap
Keganasan (sumbatan benda -Salah dosis / cara obat
Sarkoidosis asing) pemberian obat -Kuman pathogen
Reaksi obat -Respon Penderita -Reaksi obat yang lain
Perdarahan tidak adekuat (mikobakteria atau
-Komplikasi(super nokardia)
infeksi, empiema) -Non bakterial
(jamur/virus)

Gambar 1. Penderita yang tidak respon dengan pengobatan empiric yang telah diberikan.
Pneumonia Nosokomial

Definisi
Pneumonia Nosokomial adalah pneumonia yang terjadi pada waktu penderita dirawat di rumah
sakit, yang infeksinya tidak timbul atau tidak sedang dalam masa inkubasi pada waktu masuk
rumah sakit yang biasanya t terjadi setelah 48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit.
Menurut waktu terjadinya dapat dibedakan dengan pneumonia nosokomial onset dini < 5 hari
dan onset lambat/lanjut > 5 hari.
Beberapa definisi pneumonia yang terkait dengan patogen nosokomial adalah:
 HAP ( Hospital-acquired pneumonia),
 VAP (Ventilator-associated pneumonia), pneumonia yang terjadi dalam 48-72 jam
setelah intubasi endotrakeal.
 HCAP (Healthcare-associated Pneumonia) meliputi pasien yang:
o Pernah dirawat dalam perawatan akut selama 2 hari atau lebih karena infeksi dalam
90 hari terakhir
o Tinggal di panti wreda atau fasilitas perawatan jangka lama lainnya
o Mendapat terapi intravena di rumah (termasuk antibiotika, khemoterapi)
o Mendapatkan hemodialisis
o Perawatan luka di rumah dalam waktu 30 hari terakhir

Etiologi
Pada pasien imunokompeten, HAP, VAP, dan HCAP dapat disebabkan oleh spektrum bakteri
yang luas dan bersikap, namun jarang oleh oleh virus dan jamur. Berbagai patogen penyebab
berdasarkan onset timbulnya pneumonia sebagaimana pada table berikut.
Diagnosis
Diagnosis pneumonia nosokomial adala sebagai berikut:
1. Onset pneumonia timbul lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit, yang infeksinya
tidak timbul atau tidak sedang dalam masa inkubasi pada waktu masuk rumah sakit.
2. Pmriksaan fisik menunjukan tanda konsolidasi (kepekakan, ronki) dan adanya infiltrate
pada foto toraks ditambah adanya satu atau lebih dari gejala berikut:
a. Sputum purulen
b. Didapatkan isolasi pathogen dari darah, aspirasi trakea, specimen yang berasal dari
biopsy atau sikatan bronkus
c. Didapatkan isolasi virus pada sekresi pernapasan
d. Titer antibody terhadap suatu pathogen
e. Pemeriksaan histopatologi membuktikan adanya pneumonia
Tabel 1. Patogen penyebab Pneumonia Nosokomial
Patogen pada onset dini Patogen pada onset lanjut
Streptococus pneumonia Pseudomonas aeruginosa
Haemophilus influenza Enterobcter sp
Moraxella catarrhalis Acinetobacter sp
Klebsiella pneumonia
Staphylococcus aureus Aerobic Serratia marcescens
GBN (Gram negative bacilli) GNB
S. aureus, termasuk MRSA

Pemeriksaan penunjang
 Foto toraks
 Pulse oxymetry
 Laboratorium rutin: Darah lengkap, glukosa darah, ureum, kreatinin, SGOt, SGPT
 Analisa Gas Darah, Elektrolit
 Gram sputum
 Kultur Sputum dan test resistensi
 Kultur Darah dan resistensi
 Bila diperlukan (Pemeriksaan serologi, Pemeriksaan antigen, PCR)
 Tes invasif (torakosintesis, aspirasi trantrakeal, bronkoskopi, aspirasi jarum transtorakal,
biopsi paru)
Stategi dan pendekatan diagnosis

Dugaan HAP, VAP, HCAP

Ambil kultur dan pemeriksaan mikroskopis sekret saluran napas bawah

Kecuali bila secara klinis tidak curiga pneumonia dan hasil mikroskopis sekret saluran napas bawah negative,
terapi antimicrobial emperik dimulai dengan menggunakan algoritme dan data mikrobilogi lokal

Hari ke 2 dan 3 : cek hasil kultur dan keadaan klinis (temperature, leukosit, foto
rontgen dada, oksigenasi, sputum, perubahan hemodinamik dan fungsi organ)

Perbaikan klinis dalam 48 sampai 72 jam

Tidak Ya

Kultur (-) Kultur (+) Kultur (-) Kultur (+)

Car
Cari infeksi Sesuaikan jenis Pertimbangan De-eskalasi,obati
dan antibiotika dan penghentian apsien selama 7-
penyulitnya di cari kuman lain antibiotika 8 hari dan
tempat lain dan evaluasi
komplikasinya
Terapi
Terapi suportif:
 Berikan oksigen bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dengan tujuan
mempertahankan saturasi oksigen (Sa02) > 92%
 Dapat diberikan cairan intra vena
 Nutrisi
 Bila demam atau nyeri pleuritik kasi antipiretik analgetik
 Dapat diberikan mukolitik/ekspektoran
Terapi antibiotika

Dicurigai HAP, VAP,HCAP


(untuk semua derajat penyakit)

Awitan lambat (> 5 hari), atau adanya faktor risiko untuk


pathogen MDR (tabel 2)

Tidak Ya

Terapi antibiotika Terapi antibiotika dengan


dengan spektrum spektrum luas untuk patogen
terbatas (tabel 3) bakteri MDR (tabel 4)
Tabel 2. Faktor risiko untuk kejadian HAP, VAP, HCAP yang disebabkan oleh pathogen bakteri
MDR
Terapi antibiotika dalam waktu 90 hari sebelumnya
Dirawat di Rumah sakit selama 5 hari atau lebih
Prevalensi kuman yang resisten terhadap antibiotika di masyarakat atau pada unit rumah sakit
spesifik yang tinggi
Adanya factor risiko untuk HCAP seperti:
Pernah dirawat selama 2 hari atau lebih dalam 90 hari terakhir
Tinggal di panti wreda atau fasilitas perawatan jangka lama lainnya
Mendapat terapi intravena di rumah (termasuk antibiotika, khemoterapi)
Mendapatkan hemodialisis dalam waktu 30 hari terakhir
Perawatan luka di rumah
Anggota keluarga dengan infeksi pathogen bakteri MDR
Penyakit dan atau terapi immunosupresif

Tabel 3. Terapi antibiotika emperik awal pasien HAP atau VAP tanpa risiko pathogen bakteri
MDR, awitan awal dan dengan berbagai derajat beratnya penyakit.
Patogen potensial Antibiotika yang direkomendasi
Streptococus pneumonia Ceftriaxon
Haemophilus influenza
Methicillin sensintive staphylococcus aureus atau
Basil gram negative enteric sensitive terhadap
antibiotika Levofloxacin, Moxifloxacin, atau Cifrofloxacin
Escherichia coli
Klebsiela pneumonia atau
Enterobacter spp
Proteus spp Ampicillin / Sulbactam
Serratia marcesens
atau

Ertapenem
Tabel 4. Terapi antibiotika emperik awal pasien HAP, HCAP atau VAP awitan lanjut atau dengan
faktor risiko bakteri MDR, dan dengan berbagai derajat beratnya penyakit
Patogen potensial Kombinasi antibiotika yang direkomendasi
Patogen-patogen dari table 3 dan pathogen Cephalosporin antipseudomonal (cefepim,
bakteri MDR Ceftazidime)
Pseudomonas aeruginosa Atau
Klebsiella pneumonia (ESBL) Carbapenem antipseudomonal (Imipenem
Acinetobacter spp atau meropenem)
Atau
Beta lactam/beta lactamase inhibitor
(piperacillin-tazobactam

PLUS
Fluoroquinolone anti pseudomonal
(ciprofloxacin, levofloxacin)
Atau
Aminoglycoside( amikacin, gentamicin,
tobramicin)
Methicillin resistant Staphylococcus aureus PLUS
(MRSA) Linezolid / vancomycin / teicoplanin

Legionella pneumophilla

Catatan. Antibiotika yang direkomendasi harus sesuai dengan data mikrobiologis lokal. Susunan
antibiotika tidak disusun berdasarkan urutan prioritas.

Komplikasi
Gagal napas, Sepsis(syok sepsis), parapneumonik effusion, gagal ginjal akut

Prognosis
Tergantung pada derajat berat penyakit, penyakit komorbid, status imun.
Tabel 5. Dosis antibiotika intravena awal pasien HAP termasuk VAP dan HCAP dewasa, awitan
lambat atau mempunyai faktor risiko patogen MDR.
Antibiotika Dosis
Chepalosporin antipseudomonal
Cefepime 1-2 g setiap 8-12 jam
Ceftazidime 2 g setiap 8 jam
Carbapenem
Imipenem 500 mg setiap 6 jam atau 1 g setiap 8 jam
Meropenem
Betalactam / Inhibitor beta lactamase
Piperacillin-tazobactam 4,5 g setiap 6-8 jam
Aminoglycoside
Gentamycin 7 mg/kg per hari
Tobramycin 7 mg/kg per hari
Amikacin 20 mg/kg per hari
Quinolon anti-pseudomonal
Levofloxacin 750 mg perhari
Cifrofloxacin 400 mg setiap 8 jam
Vancomycin 15 mg/kg setiap 12 jam
Linezolid 600 mg setiap 12 jam
Asma Bronkial

Definisi
Asma: adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan sel-sel dan
elemen seluler. Inflamasi kronik mengakibatkan hiperresponsif saluran nafas yang
mengakibatkan terjadinya episode wising, sesak nafas, rasa berat di dada dan batuk – batuk
terutama waktu malam hari atau dini hari. Episode ini umumnya terjadi akibat berbagai
rangsangan yang ditandai dengan obstruksi saluran nafas yang dapat hilang dengan atau tanpa
pengobatan.
Epidemiologi
Asma merupakan masalah di seluruh dunia, diperkirakan mengenai 300 juta penduduk
dunia. Secara global prevalensi asma berkisar antara 1% sampai 18% dari populasi negara yang
berbeda, dan tampak prevalensi asma meningkat di beberapa negara. WHO memperkirakan 15
juta orang mengalami ketidakmampuan dalam setahun akibat asma. Kematian diseluruh dunia
akibat asma diperkirakan sebanyak 250.000 tiap tahunnya.

Faktor penyebab
1.Faktor host:
1.1.Genetik.
Data terakhir menunjukkan bahwa gene terlibat dalam patogenesis asma. Gene yang berbeda
mungkin terlibat pada kelompok etnis yang berbeda pula.
Penelitian lain telah mengidentifikasi sejumlah kromosom yang berhubungan dengan
kerentanan terjadinya asma.
1.2.Obesitas.
Obesitas juga sebagai faktor risiko asma. Mediator seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi
saluran nafas dan meningkatkan kejadian asma.
1.3.Sex.
Jenis kelamin laki-laki merupakan faktor risiko asma pada anak-anak. Kejadian asma pada usia
dibawah 14 tahun dua kali lebih bear pada laki-laki dibanding perempuan. Pada anak-anak yang
lebih tua perbedaan itu menjadi lebih sempit, dan pada usia dewasa kejadian asma lebih besar
pada wanita dibanding laki-laki. Kenapa perbedaan antra jenis kelamin ini terjadi tidak
diketahui dengan pasti, tetapi ukuran paru pada laki-laki saat baru lahir lebih kecil dibanding
wanita, sedang pada usia dewasa ukuran paru laki-laki lebih besar.

2. Faktor lingkungan:
2.1.Alergen
Alergen dalam dan luar ruangan ketahui dapat menyebabkan eksaserbasi dari asma, namun
perannya secara pasti belum seluruhnya diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwa
sensitisasi dari alergen debu rumah(dust mite), cat dander, dog dander dan aspergilus mold
merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya asma.
2.2.Infeksi
Saat usia bayi sejumlah virus dapat mempengaruhi insepsi penotif asma. Virus seperti virus
parainfluenza dan virus respiratory syncytial dapat menimbulkan gambaran gejala bronkiolitis
yang sama dengan gambaran asma pada masa kanak-kanak. Sejumlah studi prospektif pada
anak-anak yang dirawat di rumah sakit dengan infeksi virus respiratory syncytial, menunjukkan
bahwa 40% akan berlanjut dengan wising atau dengan asma pada akhir masa anak-anak.
2.3.Occupational sensitizers
Lebih dari 300 substan mempunyai hubungan dengan asma occupational. Asma ini didefinisikan
sebagai asma yang disebabkan oleh paparan substan pada lingkukan kerja. Substan tersebut
diantaranya isocyanates yaitu iritan yang dapat mengakibatkan perburukan respon saluran
nafas, imunogen seperti garam platinum yang dapat merangsang produksi IgE.
2.4.Rokok
Rokok berhubungan dengan perburukan fungsi paru pada individu dengan asma, memperberat
derajat asma, menurunkan respon terapi inhalasi dan kortikosteroid sistemik dan menurunkan
kemungkinan tercapainya asma terkontrol.
2.5.Polusi udara
Polusi udara terjadi diluar ruangan dan didalam ruangan. Peran polusi udara luar ruangan
sebagai penyebab asma masih kontroversi. Anak-anak yang tinggal pada lingkungan polusi
memiliki fungsi paru yang menurun, tapi hubungan turunnya fungsi paru dan terjadinya asma
belum diketahui. Meningkatnya kejadian eksaserbasi asma berhubungan dengan peningkatan
derajat polusi udara, dan ini mungkin berhubungan dengan meningkatnya derajat polutan atau
adanya alergen spesifik yang telah mensensitisasi sebelumnya.
2.6.Diet
Bayi-bayi yang minum susu formula dari susu sapi atau protein soy memiliki insiden lebih tinggi
terkena wising pada awal masa anak-anak dibanding dengan yang minum air susu ibu.
Beberapa data lainnya menunjukkan bahwa diet yang rendah antioksidan (buah-buahan,
sayuran) berkontribusi terhadap peningkatan kejadian asma dan penyakit atopi.

Patogenesis
Asma adalah merupakan penyakit inflamasi yang melibatkan sejumlah sel-sel radang yang
berperan dalam proses inflamasi seperti sel mast, eosinopil, limfosit T, sel dendrit, makropag
dan neutropil. Sel-sel ini menghasilkan mediator-mediator inflamasi seperti: kemokin, leukotrin,
sitokin, histamin, nitric oxide dan prostaglandin D2, yang selanjutnya menyebabkan
bronkokontriksi, kebocoran mikrovaskuler berupa edema dan eksudasi, hipersekresi mukus dan
hiperaktivasi bronkus.
Beberapa paparan non alergi seperti endotoksin bakteri, partikel polusi udara dan infeksi virus
dapat memicu terjadinya inflamasi saluran nafas oleh neutropil, obstruksi saluran nafas dan
menginduksi timbulnya gejala asma melalui mekanisme non alergi.
Dasar patogenesis dari asma berupa reaksi hiperresponsiveness dan reaksi inflamasi jalan nafas.
Dari kedua reaksi ini akan timbul obstruksi jalan nafas yang terjadi karena bronkokontriksi,
inflamasi jalan nafas, sumbatan mukus dan remodeling saluran nafas.
Kerusakan mukosa saluran nafas karena iritasi, polusi udara atau alergen menyebabkan
gangguan fungsi epitel yaitu hilangnya fungsi silier, penurunan EpDRF(epithel derived releasing
factor), berkurangnya neutral endopeptidase. Selanjutnya akan terjadi pelepasan mediator
inflamasi dari sel epitel dan perangsangan saraf kolinergik yang menyebabkan bronkokontriksi
dan sekresi mukus.
Alergen atau iritan juga akan merangsang proses inflamasi saluran nafas dengan jalan melepas
mediator inflamasi setelah menerima berbagai stimuli. Mediator seperti histamin,
prostaglandin dan leukotrin yang menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan
permiabilitas mikrovaskuler, meningkatkan sekresi sel mukus dan edema mukosa sehingga
menyebabkan diameter lumen saluran nafas menyempit dan mengakibatkan obstruksi saluran
nafas. Pengeluaran dan pelepasan berbagai sitokin oleh makrofag alveolar, sel mast, limposit
dan sel epitel bronkus juga bertanggung jawab terhadap proses inflamasi serta mengeluarkan
mediator yang menimbulkan peningkatan kepekaan saluran nafas.
Sedangkan pada mekanisme alergi, asma akan terjadi dengan didahului adanya sensitisasi dari
alergen yang akan berikatan dengan reseptor pada sel mast dan Th2 limposit. Melalui aktivasi
dari faktor transkripsi akan terjadi peningkatan sekresi dari IL5 yang berperan terhadap
pembentukan dan diffrensiasi dari eosinofil. Eosinofil akan melepas mediator disamping
mediator yang dikeluarkan oleh sel mast untuk terjadinya asma.

Diagnosis
Diagnosis asma sering mudah ditegakkan hanya dengan melihat gejala seperti episode sesak
nafas, wising/mengi, batuk-batuk dan rasa berat di dada. Gejala episodik yang terjadi setelah
paparan alergen, gejala yang musiman, riwayat keluarga dengan asma dan penyakit atopi juga
membantu mengarahkan pada diagnosis asma. Gejala-gejala tersebut berasal dari hambatan
aliran udara reversibel dan hiperaktivitas saluran nafas yang merupakan karakteristik penyakit
asma dan dapat dipropokasi oleh iritan nonspesifik seperti rokok, parfum, bau menyengat atau
exercise.
Oleh karena gejala asma sangat bervariasi (ringan sampai berat), pemeriksaan fisik sering
didapatkan dalam batas normal. Keadaan abnormal yang paling sering dijumpai pada
pemeriksaan fisik adalah terdengarnya wising pada saat auskultasi. Kadang pada eksaserbasi
akut berat wising bisa tidak dijumpai, namun penderita tampak sianosis, berkeringat dingin,
sulit bicara, nadi cepat dan dada hiperinflasi, penggunaan otot bantu nafas dan penarikan sela
iga.
Walupun diagnosis klinis asma dengan penampilan klasik biasanya tidak sulit ditegakan, namun
berat penyakit sering tidak bisa ditentukan dari gejala dan tanda saja. Pasien asma bisa tidak
merasakan kalau ada obsruksi saluran nafas dan juga dokter mengalami kesulitan
memperkirakan gradasi hambatan aliran udara. Oleh sebab itu perlu pemeriksaan faal paru
sebagai pemeriksan obyektif. Pemeriksaan faal paru mempunyai tiga kegunaan: 1) konfirmasi
diagnosis, 2) membantu menilai gradasi penyakit, 3) monitoring perjalanan penyakit. Beberapa
metode dapat dipergunakan untuk menilai hambatan aliran udara, tapi dua metode yang
secara luas dipergunakan yaitu spirometri terutama untuk mengukur volume ekspirasi paksa
detik pertama (FEV1) dan kapasitas vital paksa (FVC) dan arus puncak ekspirasi (peak expiratory
flow /PEF).
Sebagian besar pasien asma menunjukan obstruksi aliran udara intermiten. Kalau dapat
menunjukkan obstruksi yang berubah-ubah adalah suatu bukti yang kuat untuk diagnosis asma.
Variabilitas obstruksi dapat dideteksi dengan FEV1 atau PEF, dimana variabilitas diurnal FEF >
20% diagnosis asma dapat ditegakkan.
Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasi berdasarkan pada berat ringannya gambaran klinis dan derajat kontrol
1. Derajat berat ringannya asma
Klasifikasi derajat beratnya asma sesuai gambaran klinis sebelum terapi dibedakan menjadi:
 Asma intermiten
o Gejala kurang dari satu kali dalam seminggu
o Eksaserbasi ringan
o Gejala malam hari tidak lebih dari dua kali dalam sebulan
o FEV1 atau PEF ≥ 80% prediksi
o PEF atau FEV1 variabilitas < 20%
 Asma persisten ringan
o Gejala ebih dari sekali dalam seminggu tapi kurang dari sekali dalam sehari
o Eksaserbasi mengganggu aktivitas dan tidur.
o Gejala malam hari lebih dari dua kali sebulan
o FEV1 atau PEF ≥ 80% prediksi
o PEF atau FEV1 variabilitas < 20% - 30%
 Asma persisten sedang
o Gejala setiap hari
o Eksaserbasi mengganggu aktivitas dan tidur
o Gejala malam hari lebih dari sekali seminggu
o Penggunaan 2 agonis aksi cepat inhalasi tiap hari
o FEV1 atau PEF 60%-80% prediksi
o PEF atau FEV1 variabilitas > 30%
 Asma persisten berat
o Gejala setiap hari
o Sering eksaserbasi
o Sering timbul gejala malam hari
o Keterbatasan aktivitas fisik
o FEV1 atau PEF ≤ 60% prediksi
o PEF atau FEV1 variabilitas > 30%
2.Kontrol asma
Klasifikasi kontrol asma dapat dibedakan menjadi: 1) asma terkontrol, 2) asma terkontrol
sebagian, 3) asma tidak terkontrol. Derajat kontrol asma dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Kontrol Asma (GINA 2010)
Karateristik Terkontrol Terkontrol sebagian Tidak terkontrol
Gejala siang hari Tidak (≤ 2x per minggu) > 2x per minggu Tiga kali atau lebih
Keterbatasan aktivitas Tidak Ada gambaran asma
Gejala malam hari Tidak Ada terkontrol sebagian
Butuh obat Releivers Tidak (≤ 2x per minggu) > 2x per minggu terjadi dalam
Fungsi paru (PEF/ Normal < 80% prediksi seminggu
FEV1)
Eksaserbasi Tidak Sekali / lebih per Sekali dalam
tahun seminggu
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pasien asma adalah:
 Tercapainya dan mempertahankan asma terkontrol.
 Mempertahankan aktivitas nomal, termasuk exercise.
 Mempertahankan funsi paru dalam batas normal
 Mencegah terjadinya eksaserbasi
 Terhindar dari efek merugikan obat-obat asma dan mencegah angka kematian karena
asma.
Dalam penatalaksanaan asma ada lima komponen yang berkaitan dengan terapi:
 Terciptanya hubungan baik antara dokter-pasien.
 Identifikasi dan mengurangi paparan faktor risiko.
 Menilai, mengobati dan monitoring asma.
 Penanganan asma eksaserbasi
 Penanganan pada kondisi khusus ( asma dalam kehamilan, pembedahan, aspirin-
induced asthma dll)
Tujuan utama pengobatan asma adalah tercapainya dan mempertahankan keadaan klinis asma
terkontrol. Obat untuk penanganan asma dapat dibedakan menjadi controller dan relievers.
Obat controller diberikan setiap hari dalam waktu yang lama untuk mempertahankan asma
terkontrol terutama melalui efek antiinflamasi. Obat relievers digunakan obat dengan cara
kerjanya yang cepat untuk memperbaiki bronkokonstriksi dan menghilangkan gejala.
Terapi asma dapat diberikan secara inhalasi, oral dan injeksi. Keuntungan utama pemberian
obat melalui inhalasi adalah obat secara langsung kedalam saluran nafas sehingga konsentrasi
obat lebih tinggi pada saluran nafas sehingga mengurangi risiko efek samping sistemik.
Glukokortikoid inhalasi saat ini merupakan controller yang sangat efektif.  2 agonis aksi cepat
merupakan obat pilihan untuk menghilangkan bronkokonstriksi baik pada usia dewasa maupun
anak-anak. Peningkatan penggunaan obat releiver terutama bila setiap hari kemungkinan telah
terjadi perburukkan kontrol asma dan mengindikasikan perlu penilaian terhadap terapi
sebelumnya. Pengobatan asma berdasarkan pada derajat kontrol digambar sebagai berikut:
Gambar 3. Pendekatan penanganan asma berdasarkan derajat konrol asma (GINA 2010)
Gambar 4. Penatalaksanaan Serangan Asma (GINA 2010)
Kanker Paru

Definisi
Kanker paru adalah petumbuhan sel-sel ganas yang tidak terkendali pada satu ataupun
kedua paru dan pada percabangan trakeobronkial. Ini terjadi akibat iritasi karsinogenik yang
berulang sehingga mengakibatkan meningatnya replikasi dan proliperasi sel. Proliperasi sel
yang abnormal mendorong proses hyperplasia, metaplasia, dysplasia dan menjadi karsinoma in
situ.
Etiologi dan Faktor Risiko
Kanker paru terjadi melalui tahapan proses yang komplek sebagai akibat kombinasi
pajanan karsinogen dan kepekaan genetik. Faktor kebiasaan dan lingkungan berhubungan
dengan terjadinya kanker paru. Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa etiologi
kanker paru dapat berhubungan dengan:
 Pajanan asap rokok
 Asbestos
 Radasi ion
 Radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, vinil klorida
 Polusi udara
 Genetik
 Diet
Jenis kanker paru
Secara keseluruhan ada 12 jenis kanker paru, namun lebih dari 90% kanker paru hanya meliputi
2 jenis yaitu
 Kanker paru bukan sel kecil /Non Small cell lung cancer (NSCLC)75 % terdiri atas:
o Karsinoma skuamosa
o Adeno karsinoma
o Karsinoma sel besar.
 Kanker paru sel kecil / Small Cell Lung cancer (SCLC)15%
Gambaran klinis
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis. Bila sudah
menampakan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gambaran klinis dapat bersifat:
 Asimtomatis, sering terdapat pada perokok dengan PPOK yang terdeteksi secara
radiologis dan berupa nodul soliter.
 Lokal: batuk-batuk, hemoptisis, wheezing, stridor, kavitas, abses, atelektasis.
 Invasi lokal : Nyeri dada, sesak karena efusi pleura, aritmia (invasi ke perikardium),
sindrome vena cava superior, sindrom horner(facial anhidrosis, ptosis, miosis), suara
serak karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent, sindrom pancoast karena
invasi pada pleksus brakialis dan saraf simpatis servikalis.
 Gejala Penyakit Metastase: pada otak, tulang, hati dan adrenal. Linfadenopati servical
dan supraklavikula.
 Sindrom paraneoplastik; terdapat pada 10% kanker paru dengan gejala: sistemik;
penurunan berat badan, anoreksia, demam. Hematologi: leukositosis, anemia,
hiperkoagulasi. Hipertropi osteoartropati. Neurologik: dimensia, ataksia, tremor,
neuropati perifer, neuromiopati. Endokrin: hiperkalsemia. Dermatologik: eritema
multiform, hiperkeratosis, jari tabuh. Renal: SIADH
Deteksi dini
Untuk deteksi dini dapat dilakukan dengan cara memeriksa sitologi sputum dan foto rontgen
dada secara berkala. Dianjurkan skrining dilakukan setiap 4 bulan dan terutama pada laki-laki
usia > 40 tahun, perokok > 1 bungkus perhari dan atau bekerja pada lingkungan yang berpolusi
yang memungkinkan terjadinya kanker paru (pabrik cat, plastik, asbes).

Prosedur diagnostik
 Foto rontgen dada PA dan lateral. Pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi
kanker paru. Dari studi Mayo clinic didapatkan 61% tumor paru dapat terdeteksi dalam
pemeriksaan rutin dengan foto dada biasa.
 Pemeriksaan CT scan toraks dan MRI. Foto CT scan toraks lebih sensitif dari pada foto
rontgen biasa, karena bisa mendeteksi kelainan atau nodul dengan diameter minimal 3
mm, walau kadang dapat terjadi positif palsu. MRI tidak rutin dikerjakan, terbatas untuk
menilai kelainan tumor yang menginvasi ke dalam vertebra, medula spinalis,
mediastinum disamping juga biaya mahal.
 Pemeriksaan Bone scanning. Pemeriksaan ini diperlukan bila diduga adanya tanda-tanda
metastase ke tulang.
 Pemeriksaan sitologi. Sitologi sputum rutin dikerjakan terutama bila pasien ada keluhan
seperti batuk. Pemeriksaan sitologi tidak selalu memberikan hasil positif karena
tergantung dari:
o Letak tumor terhadap bronkus
o Jenis tumor
o Teknis pengeluaran sputum
o Jumlah sputum yang diperiksa. Dianjurkan pemeriksaan 3-5 hari berturut-turut.
o Waktu pemeriksaan sputum (sputum harus segar).
 Pemeriksaan Histopatologi.
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas diagnosis kanker paru. Untuk mendapat
spesimen dapat dengan cara biopsi melalui:
o Bronkoskopi.
o Transtorakal biopsi (TTB)
o Torakoskopi
o Mediastinoskopi
o Torakotomi
o Pemeriksaan Serologi / Tumor Marker.
 Sampai saat ini belum ada pemeriksaaan serologi penanda tumor untuk diagnostik
kanker paru yang spesifisitasnya tinggi. Beberapa tes yang dipakai :CEA, NSE, Cyfra 21-1.

Pemeriksaan penunjang lainnya


Darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, eletrolit, protein plasma, Pemeriksan mutasi gen.
Diagnosis
Langkah pertama adalah secara radiologis dengan menentukan apakah lesi intratorakal
tersebut kemungkinan sebagai tumor jinak atau ganas. Kemudian tentukan apakah lesi sentral
atau perifer yang bertujuan untuk menentukan bagaimana cara pengambilan jaringan tumor.
Untuk lesi yang letaknya perifer transtorakal biopsi / aspirasi dan tuntunan USG atau CT scan
akan memberi hasil yang lebih baik. Sedang untuk lesi sentral, sebaikknya dengan pemeriksaan
sitologi sputum diikuti bronkoskopi fleksibel. ( bronkoskopi dengan melakukan biopsi, sikatan,
bilasan) Secara radiologis dapat ditentukan ukuran tumor (T), kelenjar getah bening torakal (N),
dan metastase ke organ lain (M).

Stadium
Pada kanker paru bukan sel kecil (NSCLC) penentuan stadium sangat penting untuk
mentukan pilihan terapi dan meramalkan prognosis pasien. Stadium untuk Kanker paru bukan
sel kecil (NSCLC) menurut AJCC Cancer Staging Manual,2010 dan definisi TNM sebagai berikut;
Tabel 1. Stadium kanker paru (NSCLC)
Stadium TNM
Occult carcinoma Tx, N0 M0
0 Tis N0 M0
IA T1a N0 M0/T1bN0M0
IB T2a N0 M0/
II A T2b,N0,M0/T1aN1M0/T1b,N1,M0/ T2a,N1,M0
II B T2b, N1, M0/ T3, N0, M0
III A T1a, N2, M0/ T1b, N2, M0/ T2a, N2, M0/ T2b, N2, M0/ T3, N1,
M0/ T3, N2, M0/ T4, N0, M0/ T4, N1, M0
III B T1a, N3, M0/ T1b, N3, M0/ T2a, N3, M0/ T2b, N3, M0/ T3, N3,
M0/ T4, N2, M0/ T4, N3, M0
IV Sembarang T, sembarang N, M1a/ M1b
Keterangan:
Tx: Tumor terbukti ganas didapat dari sekret bronkopulmoner tapi tidak terlihat secara
bronkoskopi dan radiologis.
Tis: Karsinoma in situ.
T1a: Tumor diameter ≤ 2 cm
T1b: Tumor diameter > 2 cm ≤3 cm
T2a:Tumor > 3 cm ≤ 5 cm
T2b:Tumor > 5 cm ≤ 7 cm
T3: Tumor > 7 cm atau salah satu dari: tumor invasi ke pleura parietalis, dinding dada
(termasuk tumor pada sulkus superior), diafragma, nervus prenikus, pleura mediastinal atau
perikardium parietal. Tumor pada bronkus utama (< 2cm distal karina tapi tidak mengenai
karina). Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif atau adanya nodul lain
pada lobus yang sama
T4: Tumor ukuran apapun invasi ke mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea,
nervus laringeal recurent, esofagus, vertebra, carina atau ada nodul pada lubus berbeda
ipsilateral.
N0: Tidak ada kelenjar getah bening (KGB) yang terlibat.
N1: Metastase KGB bronkopulmoner atau ipsilateral hilus.
N2: Metastase KGB mediastinal atau sub carina.
N3: Metastase KGB mediastinal kontra lateral atau hilus atau KGB skaleneus atau
supraklavikula.
M0: Tidak ada metastase jauh.
M1a: Ditemukan tumor pada lobus kontralateral, tumor dengan nodul di pleura atau efusi
pleura /pericardial maligna
M1b = Metastase jauh ( adrenal, hati, otak, tulang)
Staging untuk SCLC:
 Stadium I : tumor terlokalisir dan tidak ada penyebaran ke KGB
 Stadium II: Tumor menyebar ke KGB hilus
 Stadium III: ada penyebaran ke KGB mediastinal
 Stadium IV: ada metastase jauh

Tabel 2. Performance status berdasarkan skala WHO, ECOG dan Karnofsky


Tampilan Skala WHO/ECOG Skala Karnofsky
Aktivitas normal 0 90 – 100
Keluhan (+), berjalan dan merawat diri sendiri 1 70 – 80
Cukup aktif, namun kadang perlu bantuan 2 50 - 60
Kurang aktif perlu perawatan 3 30 – 40
Di tempat tidur, perlu perawatan rumah sakit 4 10 - 20

Pengobatan
Tujuan pengobatan kanker:
 Kuratif: menyembuhkan atau memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan
angka harapan hidup pasien.
 Paliatif: mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.
Rawat rumah pada kasus terminal: mengurangi dampak fisik maupun psikologis kanker
baik pada pasien maupun keluarga.
 Suportif: menunjang pengobatan kuratif paliatif dan terminal seperti pemberian nutrisi,
tranfusi darah dan komponen darah, growth factor, obat anti nyeri dan obat anti infeksi.

Pengobatan kanker paru untuk jenis NSCLC:


1. Terapi bedah
 Pilihan pertama pada stadium I atau II pada pasien dengan sisa cadangan parenkim paru
yang adekuat Pada stadium III A masih kontroversi.
2. Radioterapi
 Pada kasus yang inoperable, radio terapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan juga
bisa sebagai terapi adjuvan / paliatif pada tumor dengan komplikasi seperti mengurangi
efek obstruksi / penekanan terhadap pembuluh darah / bronkus.
 Radiasi preoperasi untuk mengecilan ukuran tumor sehingga pada reseksi dapat lebih
komplit.
 Radiasi paliatif pada kasus sindrom vena cava superior atau kasus dengan komplikasi
dalam rongga dada akibat kanker seperti hemoptisis, batuk refrakter, atelektasis,
mengurangi nyeri akibat metastase kranium dan tulang juga amat berguna.
Syarat standar radiasi adalah:
o Hb > 10 g%
o Trombosit > 100.000 / mm3
o Leukosit > 3000 / dl
3. Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberian pada semua kasus kanker paru. Syarat utama harus
ditentukan jenis histologi tumor dan tampilan lebih dari 60 menurut skala Karnofsky
atau 2 menurut skala WHO. Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan beberapa obat
anti kanker dalam kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan tertentu, penggunaan
1 jenis obat anti kanker dapat dilakukan.
Prinsip pemilihan jenis anti kanker dan pemberian sebuah regimen kemoterapi adalah:
o Platinum based therapi ( sisplatin atau karboplatin)
o Respon obyektif satu obat antikanker ≥ 15%
o Toksisitas obat tidak melebihi grade 3 skala WHO
o Harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 siklus pada penilaian terjadi
tumor progresif.
Regimen untuk NSCLC:
o Paklitaksel + karboplatin atau sisplatin.
o Gemsitabin + karboplatin atau sisplatin
o Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin.
o Data terakhir pasien kanker paru dengan histologi adeno karsinoma memiliki
outcome yang lebih baik bila diberikan kombinasi cisplatin dan pemetrexed
Syarat standar yang harus dipenuhi sebelum kemoterapi
o Tampilan (perfomance status) ≥ 70 – 80, pada penderita dengan tampilan < 70 atau
usia lanjut, dapat diberikan obat anti kanker dengan regimen tertentu dan / jadual
tertentu.
o Hb ≥ 10 g%, pada penderita anemia ringan tanpa perdarahan akut, meski Hb < 10
g% tidak perlu tranfusi darah segera cukup diberikan terapi sesuai dengan penyebab
anemia.
o Granulosit ≥ 1500 / mm3
o Trombosit ≥ 100 000 / mm3
o Fungsi hati baik
o Fungsi ginjal baik (creatinin clearence lebih dari 70 ml/mnt)
4. Terapi Target
Peran terapi target pada NSCLC berkembang pesat . Terapi target bekerja
dengan menghabat aktivitas cell secara selektif pada tingkat reseptor dan kaskade intra
seluler. Obat yang merupakan terapi target diantaranya erlotinib dan gefinitib dimana
bekerja menghambat EGFR ( epidermal growth factor receptor) yang bertanggungjawab
pada peningkatan proliperasi sel dan proses metastase. Respon obat ini dikatakan lebih
baik pada pasien dengan karakteristik; wanita, tidak merokok, adenokarsinoma dan
etnis Asia. Erlotinib dapat diberikan sebagai terapi lini kedua ataupun lini ketiga pada
NSCLC. Sedangkan gefitinib sebaiknya hanya digunakan pada pasien yang terbukti ada
mutasi pada EGFR.
Tumor dalam pertumbuhannya tergantung pada pembentukan pembuluh darah
baru. Penghambatan terhadap angiogenesis merupakan hal penting untuk menekan
pertumbuhan tumor. Bevacizumab merupakan salah satu obat antibody monoclonal
yang menhambat VEGF (vascular endothelial growth factor). Pada pasien NSCLC stadium
IIIb dan IV, penambahan bevacizumab pada regimen kemoterapi berbasis platinum
menunjukan survival yang lebih baik.
Namun pemberian bevacizumab dapat menyebabkan efek samping hemoptisis yang
berat, sehingga obat ini tidak diberikan pada pasien dengan metastase ke otak, ada
riwayat hemoptisis, ada kavitas di paru atau penguna antikuagulan.

Pengobatan SCLC
Pasien dengan stadium I dan III dapat diberikan khemoterapi 4 sampai 6 siklus dengan
rigimen cisplatin-etoposide dan kombinasi dengan radioterapi. Propilaksi iradiasi kranial dapat
diberikan untuk mencegah metastase ke cerebral.
Pada pasien dengan stadium IV dapat diberikan platinum(cisplatin/carboplatin)
kombinasi dengan etoposide untuk 4-6 siklus. Propilaksis Iradiasi kranial diberikan bila respon
kemoterapi sebelumnya baik.

Komplikasi
 Obstruksi jalan napas
 Gagal napas
 Hemoptisis
 Atelektasis
 Sindrom Vena cava superior
 Efusi pleura
 Nyeri kanker
 Metastasis ke organ
 Paraneopastik syndrome

Prognosis
Tergantung tipe histology, staging (dubius ad malam)
Bronkiektasis

Definisi
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan distorsi bronkus
local yang bersifat patologis dan berjalan kronis, persiten dan ireversibel.

Epidemiologi
Di negara barat kejadian bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3% diantara polpulasi. Insiden
bronkiektasis cendrung menurun dengan adanya kemajuan pengobatan antibiotika.
Di Indonesia belum ada laporan yang pasti tentang jumlah kekerapan penyakit ini. Di RSUD Dr
Sutomo bronkiektasis merupakan kelainan nomor 7 terbanyak dari penderita rawat inap pada
tahun 1990 dan bronkiektasis didapatkan pada 221 kasus dari 11.018 pasien (1.01%).

Etiologi
 Gejala sisa infeksi paru (pertusis, pneumonia, TB paru)
 Obstruksi bronkus
 Atelektasis
 Kongenital ( Sindrom Kartagener)

Patogenesis
Terjadinya bronkiektasis dipengaruhi oeh dua fakto utama yaitu factor radang dan nekrosis
serta factor mekanik.
 Faktor radang dan nekrosis.
Radang pada saluran pernafasan menyebabkan silia dari sel epitel bronkus tidak
berfungsi. Epitelkolumnar mengalami degenerasi dan diganti menjagi epitel bertatah.
Selanjutnya elemen kartilago muskularis mengalami nekrosis dan jaringan elastis yang
terdapat disekitarnya mengalami kerusakan sehingga berakibat dinding bronkus
menjadi lemah, melebar tak teratur dan permanen.
 Faktor mekanik.
Terjadi distensi mekanis sebagai akibat dinding bronkus yang lemah, sekret yang
menumpuk dalam bronkus, adanya tumor atau pembesaran kelenjar limfe. Adanya
peningkatan tekanan intra bronkial distal dari peyempitan akibat batuk. Adanya
penarikan dinding bronkus oleh karena fibrosis jaringan paru, sebagai akibat timbulnya
perlekatan local yang permanent dari dinding bronkus.

Gambaran klinis
Gejala klinis yang paling sering pada penderita bronkiektasis adalah adanya batuk-batuk
produktif yang kronis dan produksi sputum banyak dan purulen. Tapi tidak semua pasien
bronkiektasis dengan produksi sputum, kira-kira 10-20% pasien tidak mengalami produksi
sputum dan keadaan ini disebut dengan “Dry” bronkiektasis. Keluhan lain yang sering
didapatkan pada pasien bronkiektasis adalah hemoptisis dan kadang dengan jumlah yang masif.
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan bronkiektasis , kelainan yang ditemukan
tergantung luas daerah yang terkena. Sering dijumpai ronki lokal pada daerah yang terkena dan
dapat dijumpai jari tabuh. Penderita tampak kurang gizi, sesak dan kadang sianosis.
Pada keadaan penyakit berat akan tampak kelainan pada analisa gas darah, hipoksemia dan
hiperkapnia dan komplikasi korpulmonale dapat juga terjadi.

Diagnosis
Diagnosis bronkiektasis biasanya didasarkan pada adanya riwayat batuk produktif yang
menahun, sputum purulen dan hemoptisis. Pada foto torak tampak infiltral pada paru bagian
basal dengan daerah radio lusen yang multiple menyerupai sarang lebah (Honey comb
appearance), namun tidak ditemukannya gambaran ini pada foto toraks tidak secara langsung
meniadakan diagnosis bronkiektasis. Sekitar 7 % foto toraks dalam batas normal pada pasien
dengan bronkiektasis. Diagnosis pasti adalah dengan bronkografi. Namun akhir-akhir ini CT scan
menjadi prosedur aternatif untuk menentukan adanya, lokasi dan luasnya bronkiektasis. CT
scan dengan resolusi tinggi dan dengan irisan 1-2 mm dapat menentukan detail dan terutama
mendeteksi bronkiektasis yang tersembunyi. Akhir-akhir ini bronkografi jarang lagi dikerjakan.
Penatalaksanaan
 Konservatif
1. Mengobati penyakit dasar
2. Drainase postural
3. Antibiotika yang tepat dan segera
4. Mukolotik/ekspektoran dan bronkodilator
 Suportif
1. Memperbaiki keadaan umum
2. Psikoterapi
 Pembedahan (proses ektasis yang lokal, batuk darah berulang)
ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
(ARDS)

Definisi
Suatu gejala klinis berupa gagal nafas mendadak, yang ditandai dengan infiltrat difus
pada foto toraks, hipoksemia berat dan menurunnya komplains paru.

Epidemiologi
ARDS didapatkan lebih dari 3% pada pasien-pasien yang dirawat di ruang ICU. Kematian
akibat ARDS sangat tinggi yaitu 40-60%. Angka kematian ini lebih tinggi 20% dibanding dengan
gagal nafas bentuk lainnya.

Etiologi/ faktor risiko


 Trauma langsung pada paru
1. Pneumonia
2. Aspirasi bahan lambung
3. Kontusio paru
4. Emboli lemak
5. Tenggelam
6. Trauma inhalasi
 Trauma tidak langsung pada paru
1. Sepsis
2. Trauma berat dengan syok dan tranfusi berulang
3. Bypas kardiopulmoner
4. Over dosis obat
5. Pankreatitis akut
6. Tranfusi produk darah
Patofisiologi
Dimulai dengan adanya injuri pada epitel alveoli dan endotel mikrovaskuler yang menyebabkan
peningkatan permeabelitas barier alveoler-kapiler yang ditandai adanya influk kedalam alveoli.
Cairan ini banyak mengandung protein dan eritrosit. Adanya cairan akan menambah kerusakan
epitel tipe I dan II, sehingga permeabelitas semakin meningkat dan surfaktan semakin
menurun. Adanya fibrin, plasma protein dan sel debris akan membentuk membran hyalin yang
melapisi permukaan alveoli yang menyebabkan gangguan ventilasi tetapi perfusi masih baik
sehingga terjadi shunting. Meningkatnya tegangan permukaan alveoli sebagai akibat
penurunan surfaktan dapat menurunkan komplian paru yang berakibat memperburuk ventilasi
paru.

Diagnosis
Gejala klinik : Sesak napas mendadak, Sianosis
Pemeriksaan fisik didapat adanya suara napas bronkial denga ronki
Foto toraks : didapat adanya infiltrat di kedua lapangan paru
Analisa gas darah : didapat tanda tanda gagal napas.
Kriteria diagnosis ARDS yang diterima luas adalah kriteria yang dipublikasikan oleh American
European Consensus Conference 1994. kriteria tersebut terdiri atas:
 Onset yang mendadak adanya gambaran infiltral bilateral pada foto toraks dan sesuai
edema paru.
 Tidak ada bukti gagal jantung kiri (pulmonary artery wedge pressure / PAWP ≥ 18
mmHG)
 PaO2 / FiO2 = < 200, ALI (acute lung injury) < 300

Diagnosis banding
 Edema paru kardiogenik
 Pneumonia luas
 Edema paru karena induksi obat (heroin, kokain, salisilat)
 Sindrom emboli lemak
 Vaskulitis
 Penyakit paru interstisial
 Pneumonitis radiasi

Penatalaksanaan
 Ambil alih fungsi pernafasan dengan ventilator
 Obat-obatan (antibiotika untuk sepsis, kortikosteroid masih kontroversi)
 Posisi pasien. Posisi telungkup dapat meningkatkan oksigenasi. Perhatian terutama saat
merubah posisi terlentang ke telungkup dan mencegah dekubitus.
 Cairan. Pemberian cairan harus menghitung keseimbangan kebutuhan perfusi organ
yang optimal. Saat ini penggunaan cairan agal dibatasi(restriksi cairan). Restriksi cairan
baik dimonitor dengan kateter arteri pulmonal dan cairan dipertahankan pada level
dimana tekanan hidrostaltik intravaskuler terendah, tetapi curah jantung adekuat.
DAFTAR PUSTAKA

Penyakit Paru Obstruktif Kronik

GOLD. 2011

Weinberger SE. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In, Principles of Pulmonary Medicine 4Th. Ed.
Philadelphia: Saunders; 2004. p. 92-112

Chesnutt MS, Murray JA, Prendergast TJ. Pulmonary Disorders. In. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney
LM. Current Medical Diagnosis & Treatment 47th Ed. New York: McGrraw Hill Medical; 2008. p. 203-279

Nazir SA, Al-Hamed MM, Erbland ML. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in the Older Patient. Clin
Chest Med 2007: 28; 703-715

Tuberkulosis

PDPI. Tuberkulosis Penanganan Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset
Citra Grafika; 2006

Weinberger SE. Tuberculosis and Nontuberculosis Mycobacteria. In. Principles of Pulmonary Medicine,
4th Ed. Philadelphia: Saunder; 2004. p. 310-320

WHO. Treatment of Tuberculosis: Guidelines For National Programmes 3th Ed. 2003

Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 2nd Ed. 2006

Hemoptisis

Weinberger SE. Hemoptysis. In. Principles of Pulmonary Medicine, 4th Ed. Philadelphia: Saunder; 2004.
p. 26-27

Pitoyo CW. Hemoptisis. In. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadbrata K M, Seiati S. Editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 jilid I. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2006. p.220-221

Michael E. Hanley, Caroline H. Welsh Hemoptysis. In Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary
Medicine. Lange Medical Books. Mc Graw Hill 2003, P 20 – 21

Pneumotoraks

Richard W Light. Pneumothorax In Pleural Disease. Lippincott William & Wilkins; 2001: p. 284 - 319

Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks spontan. In. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadbrata K M,
Seiati S. Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006: p.1074-1078

Emboli Paru

Patrick Nana ,Sinkam MD. Pulmonary Thromboembolism In Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary
Medicine. Ed. Michael E Hanley, Carolyn H Welsh. Lange International Edition 2003. P 195 – 203
Rahmatullah P. Tromboemboli Paru. In. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadbrata K M, Seiati S.
Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 jilid II. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006: p.1050-1056.

Gagal Napas

John Wright, Orna Molayeme, Paul Bellamy, Melvin A Welch Jr. Acute respiratory failure In Critical
Thinking in Respiratory Care. Ed. Shelly C Mishoe, Melvin A Welch Jr. Mc Graw-Hill International Edition
2002, 611 - 650

Sharma S. Respiratory Failure. eMedicine; 2006

Amin Z, Purwoto J. In. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadbrata K M, Seiati S. Editors. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 jilid I. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006: p.170-175

Efusi Pleura

Alsagaff H, Mukty HA, editors. Penyakit Pleura. In. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
university Press; 2006. p. 143-179

Light RW. Disorder of the Pleura, Mediastinum and diaphragm. In. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL,
Hanser SL, Longo DL, Jameson JL, Harrison’s Principles of Internal Medicine, 15th Ed, Newyork ,. Mc
Grow hill. 2001.

Weinberger SE. Pleural Disease. In. Principles of Pulmonary Medicine, 4th Ed. Philadelphia: Saunder;
2004. p. 202-216

Pneumonia Komunitas

Bartlett JG. Management Of Respiratory Tract Infections. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia, 2001.

Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Camphell D, Dean NC, Dowell SF, File TM, Musher
DM, Niederman MS, Torres A, Whiney CG, Infectious Diseases Society of America/American Thoracic
Society Consensus Guidelines on the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults, CID
2007; 44 (suppl 2) S27-S72.

Woodhead M. Pneumonia.In. Palange P, Simonds A. editors. ESR handbook Respiratory Medicine 1st
ed. Latimer Trend & Co. Ltd, UK, 2010 p.176-179

Soedarsono. Pneumonia. In. Wibisono MJ, Winariani, Hariadi S. editors. Buku Ajar ilmu Penyakit Paru,
Departemem Ilmu Penyakit Paru FK Unair –RSUD Dr. Sutomo, Surabaya, 2010, p.149-179

Pneumonia Nosokomial

American Thoracic Society Documents Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired,
Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. 2005, 171. pp
388–416

Blasi F.Hospital-Acquired Pneumonia. In. Palange P, Simonds A. editors. ESR handbook Respiratory
Medicine 1st ed. Latimer Trend & Co. Ltd, UK, 2010 p.180-182
PDPI, PERDICI, PAPDI, PERDOSSI, IKABDI, PERKI. Panduan tata kelola Hospital-acquired Pneumonia,
Ventilator-associated Pneumonia, Healthcare-asociated Pneumonia Pasien Dewasa. Centra
communication, Jakarta ,2009

Soedarsono. Pneumonia. In. Wibisono MJ, Winariani, Hariadi S. editors. Buku Ajar ilmu Penyakit Paru,
Departemem Ilmu Penyakit Paru FK Unair –RSUD Dr. Sutomo, Surabaya, 2010, p.149-179

Wunderink RG. Nosocomial pneumonia. In. Parson PE, Heffner JE editors. Pulmonary Respiratory
Therapy Secrets 3rd edition mosby Elsevier. Philadelphia, 2009. p191-197

Asma Bronkiale

GINA 2010

Weinberger SE. Asthma. In. Principles of Pulmonary Medicine, 4th Ed. Philadelphia: Saunder; 2004. p.
75-91

Chesnutt MS, Murray JA, Prendergast TJ. Pulmonary Disorders. In. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney
LM. Current Medical Diagnosis & Treatment 47th Ed. New York: McGrraw Hill Medical; 2008. p. 203-279

Kanker Paru

Margono B. Kanker Paru. In. Wibisono MJ, Winariani, Hariadi S. editors. Buku Ajar ilmu Penyakit Paru,
Departemem Ilmu Penyakit Paru FK Unair –RSUD Dr. Sutomo. Surabaya: 2010, p.149-179

PDPI. Kanker Paru Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
2005.

AJCC: Lung. In: Edge SB, Byrd DR, Compton CC, et al., eds.: AJCC Cancer Staging Manual. 7th ed.
New York, NY: Springer, 2010, pp 253-70.

Tufman A, Huber RM. Chemotherapy and other anti-tumour therapy for thoracic malignancies. In.
Palange P, Simonds A. editors. ESR handbook Respiratory Medicine 1st ed. Latimer Trend & Co. Ltd,
UK, 2010 p.382-387

Vansteenkiste J, Derijcke S. Lung Cancer. In. Palange P, Simonds A. editors. ESR handbook Respiratory
Medicine 1st ed. Latimer Trend & Co. Ltd, UK, 2010 p.372-381

Bronkiektasis

Alsagaff H, Mukty HA, editors. Bronkiektasis. In. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
university Press; 2006. p. 181-207

Weinberger SE. Miscellaneous Airway Disease. In. Principles of Pulmonary Medicine, 4th Ed.
Philadelphia: Saunder; 2004. p. 113-124

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

John Wright, Orna Molayeme, Paul Bellamy and Melvin A. Welch Jr. Acute Respiratory Distress
Syndrome In Critical Thinking in Respiratory care. Ed: Shelly C. Mishoe Melvin A. Welch, Jr. Mc Graw –
Hill International Edition 2002. p. 611 – 650
Palilingan JF. Stress Lung (Acute Lung Injury / Acute Respiratory Distress Syndrome) In. Ngurah Rai IB,
Suta IB Editors.Buku prosiding konker XI PDPI. 2007; p.118-124

Pitoyo CW. Acute Respiratory Distress Syndrome. IJIM. 2008 40(1); 2008: 48-52

Amin Z, Purwoto J. Acute Respiratory Distress Syndrome. In.Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata K M, Seiati S. Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 4,jilid I. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. p.181-182
Ginjal dan Hipertensi
Tim Penyusun:
1. Prof. Dr. dr. Ketut Suwitra, SpPD-KGH
2. Prof. Dr. dr. Gede Raka Widiana, SpPD-KGH
3. Dr.dr. Wayan Sudhana, SpPD-KGH
4. dr. Jodi Sidharta Loekman, SpPD-KGH
5. Dr. Dr. Yenni Kandarini, SpPD-KGH
6. dr. Paramitha Ayu, SpPD
ACUTE KIDNEY INJURY (AKI)

Pendahuluan
Acute Kidney Injury atau penyakit ginjal akut merupakan suatu kondisi klinis yang
spesifik. Manifestasi klinis AKI sangat bervariasi, mulai dari ringan tanpa gejala, hingga sangat
berat disertai gagal organ multiple. Insiden acute kidney injury (AKI) pada semua pasien yang
menjalani rawat inap dilaporkan sekitar 7% dan mencapai 30% pada pasien yang dirawat di unit
perawatan intensif. Pada pasien critically ill prevalensi AKI yang memerlukan prosedur dialisis
adalah sebesar 5.7% dengan tingkat mortalitas mencapai 60.3%. Telah terjadi peningkatan
morbiditas dan mortalitas terkait dengan AKI dan sampai saat ini pendekatan terapeutiknya
masih belum memuaskan.

Definisi
Secara konseptual AKI didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal mendadak dalam
beberapa jam sampai beberapa minggu, diikuti kegagalan ginjal dalam mengeksresikan sisa
metabolism nitrogen dengan atau tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Definisi
AKI terbaru dikeluarkan oleh Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) yaitu KDIGO
Clinical Practice Guideline for Acute Kidney Injury pada maret 2012, memberikan panduan
definisi dan klasifikasi AKI berdasarkan kriteria RIFLE dan AKIN. Menurut KDIGO, AKI
didefinisikan sebagai berikut:
 Kenaikan kreatinin serum ≥0,3 mg/dl (≥26,5 µmol/l) dalam 48 jam ATAU
 Kenaikan kreatinin serum ≥1,5 kali nilai dasar, dan diketahui/diasumsikan terjadi
dalam 7 hari ATAU
 Produksi urine menurun menjadi < 0,5 cc/kgBB/jam selama lebih dari 6 jam

Tahapan AKI
Berdasarkan kriteria RIFLE dan AKIN, KDIGO memberikan rekomendasi klasifikasi AKI sebagai
berikut : ( KDIGO, 2012)
Table 1. Klasifikasi AKI menurut KDIGO, 2012
Stadium Kriteria Kreatinin serum Kriteria Produksi Urine
(Urine Output/UO)
1 Kenaikan kreatinin serum 1.5–1.9 kali dari baseline UO≤ 0.5 ml/kgBB/jam
(nilai dasar) selama 6–12 jam
atau kenaikan ≥ 0.3 mg/dl (≥ 26.5 mmol/l)
2 Kenaikan kreatinin serum 2,0–2.9 kali dari baseline UO≤ 0.5 ml/kgBB/jam
(nilai dasar) selama ≥ 12 jam
3 Kenaikan kreatinin serum 3,0 kali dari baseline (nilai UO<0.3 ml/kg/BB/jam
dasar) selama lebih dari 24
ATAU jam, ATAU anuria
Kenaikan kreatinin serum ≥ 4.0 mg/dl (≥ 353.6 selama 12 jam
mmol/l)
ATAU
memerlukan inisiasi terapi pengganti ginjal
ATAU
pada pasien <18 tahun, terjadi penurunan eGFR
menjadi <35 ml/min per 1.73 m2
Patogenesis
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan pathogenesis AKI yaitu;
1. Prerenal
Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim
ginjal, misalnya:
 Hipovolemia
 Penurunan curah jantung
 Perubahan rasio resistensi vascular ginjal sistemik
 Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
 Sindrom hiperviskositas
2. Renal
Penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal.
 Obstruksi renovaskuler
 Penyakit glomerulus atau mikrovaskuler ginjal
 Nekrosis tubular akut
 Nefritis interstitialis
 Obstruksi dan deposisi intratubuler
3. Postrenal
Penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih, misalnya:
 Obstruksi ureter
 Obstruksi leher kandung kemih
 Obstruksi uretra

Gejala Klinis
Gejala klinis dari AKI sangat bervariasi, tergantung dari stadium AKI dan etiologinya. Mulai dari
asimptomatik sampai berat hingga memerlukan terapi pengganti ginjal. Klasifikasi klinis dari AKI
adalah sebagai berikut:
1. AKI Oligourik  terdapat oligouri (produksi urin 24 jam < 400 cc)
2. AKI non oligourik  produksi urin normal
3. AKI pada Gagal Ginjal Kronik (Acute on Chronic Renal Failure): AKI yang terjadi pada pasien
yang sudah mengalami CKD

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang diagnostis yang mahal untuk menegakkan diagnosis
AKI. Pemeriksaan penunjang lebih sering dilakukan dalam penegakan etiologi dari AKI.
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan biokimia darah
Saat ini yang digunakan sebagai penanda biologis (biomarker) diagnosis adalah kadar
kreatini serum atau Urea-N, padahal kedua parameter diagnosis ini sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya.
b. Pemeriksaan urin
Produksi urin persatuan waktu adalah cara menegakkan diagnosis menurut kriteria
RIFLE. Beberapa parameter yang sering digunakan adalah osmolalitas, fraksi
ekskresi natrium (FENa) dan pemeriksaan sedimen. Untuk menghitung FENa (fraksi
ekskresi natrium) digunakan rumus :
FENa = (kadar Na urin x kadar kreatinin serum ) x 100
(kadar Na serum x kadar kreatinin urin)
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis yang dapat dengan cepat mengetahui anatomi ginjal adalah
pemeriksaan ultrasonografi. Pada AKI pre-renal dan renal anatomi ginjal biasanya normal,
kecuali bila sebelumnya sudah ada penyakit ginjal kronis (PGK) maka ginjal dapat tampak
mengecil. Pada kecurigan adanya obstruksi post renal oleh karena batu perlu dilakukan foto
polos abdomen.
3. Penanda biologis (biomarker) baru.
a. Penanda biologi proses inflamasi: Cystatin C, NGAL, IL-18
b. Protein tubuli: Kidney Injury Molecule-1 (KIM-1), Na+/H+ Exchange Isoform 3 (NHE3),
Liver faty acid-binding protein (L-FABP)
c. Penanda biologi gangguan tubuli
Hasil pemeriksaan penunjang diagnostik yang esensial dan dapat membedakan pada ketiga
etiologi AKI sebagai berikut :
Tabel 2. Pemeriksaan penunjang diagnostik yang esensial.
Pemeriksaan penunjang Pre-renal Renal (ATN) Post-renal
diagnostik
Rasio BUN/Kreatinin >20:1 20 : 1
FENa <1% > 3%
Berat Jenis >1.020 1.010-1.020
Osmolaliti urin >500 mOsm 250-300 mOsm
Natrium urin <20 mmol/hari > 40 mmol/hari
Sedimen Granuler cast Hyalin cast Red cell cast
USG normal normal Hidronefrosis
pielonefritis
Komplikasi AKI
1. Kelebihan cairan intravaskuler
• Udema paru
• Gagal jantung kiri akut
2. Asidosis metabolik
3. Gangguan elektrolit
• hiperkalemia
4. Beberapa kompilasi AKI yang lain yang perlu diperhatikan
• hiperfosfatemia dan hipokalsemia,
• komplikasi hematologi misalnya anemia, perdarahan
• komplikasi gastrointestinal: perdarahan gastrointestinal
• infeksi
Terapi
Ada 2 jenis pengobatan dalam pengelolaan terhadap komplikasi AKI, yaitu:
1. terapi konservatif ( suportif)
2. Terapi Pengganti Ginjal (TPG)
Perlu diperhatikan selain terapi terhadap komplikasi AKI, perlu juga diberikan terapi untuk
etiologi AKI.
1. Terapi Konservatif
Terapi konservatif adalah penggunaan obat-obatan atau cairan dengan tujuan untuk
mencegah atau mengurangi progresivitas, morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi AKI.
Prinsip terapi konservatif:
a) Hindari obat nefrotoksik
b) Hindari keadaan yang menyebabkan deplesi volume dan cairan ekstraseluler dan
hipotensi
c) Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras tanpa indikasi yang kuat
d) Diit protein yang proporsional
e) Pengobatan yang sesuai terhadap etiologi AKI
Tabel 3. Terapi Konservatif (Suportif) pada GGA
Komplikasi Terapi
 Kelebihan cairan  Batasi garam (1-2 gram/hari) dan air (<1 liter/hari)
 Hiponatremia  Batasi cairan (< 1 liter/hari)
 Hindari pemberian cairan hipotonis (termasuk dextrosa
5%)
 Hiperkalemia  Batasi intake kalium (<40 mmol/hari)
 Hindari suplemen kalium dan diuretik hemat kalium
 Beri resin “potassium-binding ion exchange” (kayaxalate)
 Beri glukosa 50% sebanyak 50 cc + insulin 10 unit
 Beri natrium-bikarbonat (50-100 mmol)
 Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1 mg IV
 Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit)
 Asidosis metabolik  Batasi intake protein (0,8-1.0 g/kgBB/hari)
 Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum
bikarbonat plasma > 15 mmol/l dan pH arteri > 7,2)
 Hiperfosfatemia  Batasi intake fosfat (800 mg/hari)
 Beri pengikat fosfat (kalsium asetat-karbonat, aluminium
HCL, sevalamer)
 Hipokalsemia  Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10% (10-20
cc)
 Hiperuriksemia  Tidak perlu terapi jika kadar asam urat < 15 mg/dl

2. Terapi Pengganti Ginjal


Saat ini belum ada panduan baku berdasarkan evidence based medicine untuk
menentukan inisiasi (memulai) TPG pada pasien AKI dalam kondisi kritis. Indikasi untuk
memulai dialisis pada pasien AKI sangat berbeda dengan indikasi pada pasien PGK. Sangat tidak
tepat jika kita menggunakan kriteria LFG atau kadar kreatinin darah seperti yang digunakan
dalam melakukan inisiasi TPG pada pasien GGT.
Pada pasien AKI, indikasi TPG sangat luas, tergantung dari kondisi klinik yang dihadapi.
Saat ini kriteria yang biasa dipakai menjadi dasar untuk inisiasi dialisis pada AKI adalah gejala
klinik kelebihan (overload) cairan dan penanda biokimia tentang terjadinya ketidak seimbangan
elektrolitm misal hiperkalemiam azotemia, atau asidosis metabolik.
Indikasi TPG pada AKI adalah seperti terlihat pada tabel 4 di bawah ini:
Tabel 4 . Indikasi Inisiasi TPG pada AKI
Kelainan metabolik BUN > 76 mg/dl Relatif
BUN > 100 mg/dl Absolut
Hiperkalemia > 6 mEq/L Relatif
Hiperkelamia > 6 mEq/l (dengan kelainan EKG) Absolut
Disnatremia Relatif
Hipermagnesemia > 8 mEq/L Relatif
Hipermagnesemia > 8 mEq/l (dgn anuria atau hilang Absolut
refleks tendon
Asidosis pH > 7,15 Relatif
pH < 7,15 Absolut
Anuria/oligouria RIFLE – R Relatif
RIFLE – I Relatif
RIFLE – F Relatif
Kelebihan cairan Sensitif diuretik Relatif
(volume overload) Resisten diuretik Absolut

Indikasi TPG untuk pasien yang di rawat di ICU seperti dalam tabel 5 di bawah ini:
Tabel 5. Indikasi dan Kriteria untuk Inisiasi TPG pada AKI di ICU
1 Oligouria (output urin < 200 cc/12 jam)
2 Anuria / oligouria berat (output urin < 50 cc / 12 jam)
3 Hiperkalemia (K+ > 6,5 mmol/L)
4 Asidosis berat (pH<7,1)
5 Azotemia (urea > 30 mmol/liter)
6 Gejala klinik berat (terutama edema paru)
7 Ensefalopati uremik
8 Perikarditis uremik
9 Neuropati / miopati uremik
10 Disnatremia berat (NA > 160 atau < 115 mmol/L)
11 Hipertermia / hipotermia
12 Overdosis obat-obatan yang terdialisis jika kadar asam urat < 15 mg/dl
Dikutip dari : Bellomo R., Ronco C. Kidney Int 1998; 53(66): S106-109.
Bila didapatkan:
o Satu gejala di atas sudah dapat merupakan indikasi untuk inisiasi dialisis
o Dua gejala di atas merupakan indikasi untuk segera inisiasi dialisis, dan
o Lebih dari dua merupakan indikasi untuk segera inisiasi dialisis, walaupun kadarnya
belum mencapai yang tertera dalam tabel
Asidosis Metabolik

Pendahuluan
Untuk mempertahankan PH ekstrasel dalam batas normal (7,4 ± 0,2) maka produksi
asam non volatile tiap harinya dari metabolism protein akan diekskresikan oleh ginjal berupa
asam tertitrasi dan NH4+ urine. Sebagian kecil basa yang terbentuk juga akan hilang lewat feces
dan urine. Asidosis metabolik bisa terjadi karena produksi asam yang berlebihan, peningkatan
kehilangan basa ekstrarenal, penurunan kemampuan ginjal mensekresi ion hidrogen dan
ketidakmampuan ginjal mereabsorbsi kembali bikarbonat yang terfiltrasi. Secara karakteristik
asidosis metabolik ditandai primer berupa penurunan kadar serum bikarbonat (HCO3-),
sekunder berupa penurunan tekanan parsial arterial karbon dioksida (Pa CO2) dan penurunan
PH darah. Setiap penurunan 1 mmol/lt HCO3- akan diikuti penurunan Pa CO2 sebesar 1,2
mmHg. Kadar Pa CO2 normal adalah kadar HCO3- + 15 mmHg. Keadaan yang hanya ditandai
dengan kadar bikarbonat serum yang rendah bukanlah diagnostik untuk asidosis metabolik
karena kondisis ini bisa juga hasil dari kompensasi ginjal terhadap alkalosis respiratorik kronik.
Asidosis metabolik bisa terjadi secara akut yang timbul dalam beberapa menit sampai
beberapa hari atau bisa kronik yang berlangsung dalam beberapa minggu sampai tahun.
Asidosis metabolik akut sering didapatkan di klinik terutama pada penderita dengan penyakit
berat di ruang perawatan intensif sedangkan asidosis metabolik kronik frekuensinya lebih
jarang dan umumnya didapatkan pada penderita dengan eGFR < 30 ml/mnt/1,73 m2. Gejala
klinis asidosis metabolik sering tidak spesifik tergantung gejala penyakit dasarnya. Asidosis
metabolik baik akut maupun kronik akan berdampak pada fungsi sel dan dapat meningkatkan
angka kesakitan maupun kematian.
Pendekatan Diagnostik Asidosis Metabolik
Respon ventilasi terhadap asidosis metabolik perlu dievaluasi untuk menilai apakah
asidosis metabolik yang terjadi berdiri sendiri atau bersama dengan asidosis/alkalosis
respiratorik. Perbandingan nilai perubahan Pa CO2 (nilai normal Pa CO2 dikurangi nilai terukur
Pa CO2) dengan nilai perubahan HCO3- (nilai normal HCO3- dikurangi nilai terukur HCO3-)
berkisar antara 0,85 sampai 1,2. Nilai perbandingan yang lebih dari 1,2 menunjukkan asidosis
metabolik yang terjadi bersama dengan alkalosis respiratorik sedangkan nilai yang lebih rendah
dari 0,85 menunjukkan asidosis metabolik yang terjadi bersama dengan asidosis respiratorik 3.
Pendekatan tradisional untuk diagnostik asidosis metabolik adalah dengan menghitung serum
anion gap. Berdasarkan anion gap, asidosis metabolik dibedakan menjadi High Anion Gap
asidosis metabolik dan Normal Anion Gap atau Hiperkloremik asidosis metabolik. Serum anion
gap dihitung berdasarkan rumus :

Anion Gap = [Na+ serum] – ( [Cl- serum] + [HCO3- serum] )

Pada individu sehat nilai normal serum anion gap adalah 12 ± 2 mmol/lt. Apabila disertai
dengan hipoalbuminemia maka perhitungan serum anion gap harus dikoreksi menjadi :

Anion Gap koreksi = Anion Gap + 2,5 (4 – serum albumin)

Ketoasidosis diabetik dan asidosis laktat merupakan penyebab terbanyak High Anion Gap
asidosis metabolik akut yaitu mencapai 85 % kasus. Penyebab lain adalah ketoasidosis alkohol
dan acute kidney injury. Sedangkan High Anion Gap asidosis metabolik kronik umumnya
disebabkan oleh penyakit ginjal kronik dan bisa juga disebabkan oleh penumpukan asam
pyroglutamik hasil dari pemakaian acetaminophen berlebihan serta pada kondisi yang lebih
ringan oleh puasa yang berkepanjangan.
Normal Anion Gap atau hiperkloremik asidosis metabolik bisa disebabkan oleh kelainan renal
atau ekstra renal. Penyebab renal terjadi jika pembentukan bikarbonat oleh ginjal sebagai hasil
dari keseimbangan ekskresi asam tidak seimbang dengan kehilangan bikarbonat dan buffer
basa yang lain yang dikenal sebagai Renal Tubular Acidosis (RTA). Penyebab ekstra renal terjadi
jika masuknya asam eksogen, produksi asam endogen atau kehilangan bikarbonat endogen
melebihi keseimbangan ekskresi asam ginjal dengan penyebab terbanyak ekstra renal ini adalah
diare kronik.
Penyebab renal atau ekstra renal Normal Anion Gap asidosis metabolik dibedakan dengan
mengukur ekskresi ammonia urine. Respon primer ginjal terhadap asidosis metabolik adalah
meningkatkan ekskresi ammonia urine sehingga pada penyebab renal maka ekskresi ammonia
urine menjadi rendah sedangkan pada penyebab ekstra renal maka ekskresi ammonia urine
akan meningkat. Apabila ammonia urine tidak bisa diperiksa maka ekskresi ammonia urine bisa
dihitung secara tidak langsung dengan menghitung Urine Anion Gap (UAG) sebagai berikut :

UAG = ( Urine Na + + Urine K+ ) – Urine Cl-


Nilai UAG normalnya positif berkisar dari +30 sampai dengan +50 mmol/lt. Nilai negatif dari
UAG menunjukkan peningkatan ekskresi unmeasured cation seperti ammonia.
Secara praktis pendekatan diagnostik asidosis metabolik bisa dilihat pada skema dibawah yang
dikutip dari :
Konsentrasi HCO3- serum rendah

Cek gas darah arteri untuk


menyingkirkan alkalosis respiratorik
kronis

Hitung Anion Gap Serum

Anion Gap normal Anion Gap meningkat


Berasal dari ginjal
Asidosis uremik (GFR biasanya < 15-20 ml/min)
Berasal dari luar ginjal
Hitung Anion Gap Asidosis laktat
urine Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis oleh karena kelaparan
Ketoasidosis oleh karena alkohol
Keracunan (ethylene glycol, methanol, salicylate)
Asidosis poliglutamik

Nilai Positif Nilai Negatif

Renal Tubular Asidosis Proksimal ( RTA tipe 2) Diare


Renal Tubular Asidosis Distal hipokalemik ( RTA tipe 1) Koneksi uretra-gastrointestinal
Rrenal Tubular Asidosis Distal hiperkalemik ( RTA tipe 4) Eksternal loss dari sekresi pankreas atau
Renal Tubular Asidosis karena insufisiensi ginjal (GFR empedu
biasanya > 15-20 ml/min)

Perbedaan tipe RTA dapat dilihat pada tabel dibawah.


Tabel 1. Faktor pembeda tipe Renal Tubular Asidosis
Variabel RTA tipe 1 RTA tipe 2 RTA tipe 4
Kalium serum rendah rendah tinggi
Fungsi ginjal Normal atau Normal atau Menurun (PGK stage
mendekati normal mendekati normal 3,4 atau 5)
PH urine selama tinggi rendah Rendah atau tinggi
asidosis
HCO3- serum 10 - 20 16 - 18 16 - 22
(mmol/lt)
pCO2 urine (mmHg) < 40 < 40 > 70
Sitrat urine rendah tinggi rendah
Sindrom Fanconi negatif Mungkin ada negatif

RTA tipe 2 (RTA proksimal) khas juga ditandai dengan Fractional Excretion of HCO3 ( FE HCO3)
> 20 %. FE HCO3 dihitung berdasarkan rumus :
FE HCO3 = HCO3 urine x Kreatinin serum x 100 %
HCO3 serum Kreatinin urine

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mencari penyebab asidosis metabolik. Pada
High Anion Gap asidosis metabolik, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah 3 :
- Keton serum dan urine
- Kreatinin serum
- Laktat serum
- Osmolaritas serum
- Toksik alkohol serum
Perbedaan kadar osmolarita serum yang diukur dengan yang dihitung berdasarkan rumus 2 x
Na+ + BUN/2,8 + Glukosa/18 > 20 mmol/Kg menunjukkan adanya intoksikasi alkohol / metanol.
Pada Normal Anion Gap pemeriksaan yang diperlukan adalah :
- Kalium serum
- Kreatinin serum
- PH urine
- HCO3 urine dan serum serta Kreatinin urine dan serum untuk menghitung Fractional
Excretion HCO3-
- Natrium urine, kalium urine dan klorida urine untuk menghitung urine anion gap.
Komplikasi Asidosis Metabolik
Komplikasi asidosis metabolik dibedakan atas komplikasi berkaitan dengan asidosis
metabolik akut dan komplikasi akibat asidosis metabolik kronik. Komplikasi asidosis metabolik
akut meliputi penurunan kardiak out put dan kontraktilitas, vasodilatasi arterial sampai
hipotensi, perubahan status mental dan lethargy,peningkatan rangsangan terhadap faktor
inflamasi seperti interleukin dan penekanan fungsi limfosit sehingga lebih rentan terhadap
infeksi, respon sel terhadap insulin terganggu, produksi energi sel terganggu serta rangsangan
terhadap apoptosis meningkat 2,3. Terdapat hubungan langsung antara derajat asidemia dengan
komplikasi yang terjadi dimana komplikasi lebih banyak terjadi pada PH < 7,1 – 7,2.
Komplikasi asidosis metabolik kronik lebih banyak berpengaruh pada metabolisme
tulang dan sistem muskuloskletal. Disamping itu bisa juga didapatkan adanya gangguan
toleransi glukosa, penurunan sintesa albumin, gangguan pertumbuhan pada anak-anak,
peningkatan produksi β2 mikroglobulin, serta percepatan progresi PGK. Pada asidosis metabolik
yang kronik, derajat asidosis yang ringan saja sudah berkontribusi terhadap bone disease dan
degradasi otot.
Terapi Asidosis Metabolik
Terapi pada asidosis metabolik akut masih kontroversi.Terapi utama adalah terapi pada
penyakit dasarnya. Pada penderita dengan ketoasidosis atau laktat asidosis berat dengan PH <
7,1 pemberian natrium bikarbonat mugkin diperlukan untuk stabilisasi kardiovaskuler dengan
target untuk mencapai PH 7,2. Pemberian natrium bikarbonat dilarutkan dalam larutan isotonis
secara infusion pelan. Dosis natrium bikarbonat yang diperlukan dihitung berdasarkan rumus :
∑ nabik yang diperlukan = (kadar HCO3 yang diinginkan – kadar HCO3 terukur) x HCO3 space
Dimana HCO3 space = [ 0,4 + (2,6/HCO3-) x berat badan.

Monitor setatus asam basa harus dilakukan secara ketat untuk mencapai target PH sekitar 7,2
guna menghindari terjadinya intraseluler asidosis, volume overload dan overshoot alkalosis
metabolik. Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal atau dengan volume overload
dipertimbangkan untuk dilakukan hemofiltrasi atau dialisis sedangkan pada penderita dengan
retensi CO2 dengan fungsi ginjal masih baik bisa diberikan THAM (Trihydroxymethyl
aminomethane). THAM jarang digunakan karena efeknya toksik terhadap hati, menyebabkan
hiperkalemia dan disfungsi paru.
Terapi pada asidosis metabolik kronik kurang kontroversi dibandingkan dengan asidosis
metabolik akut. Beberapa studi pada penderita dengan asidosis metabolik kronik dengan atau
tanpa gangguan ginjal menunjukkan bahwa pemberian basa dapat memperbaiki atau
mengurangi progresi bone disease, menormalkan pertumbuhan, mengurangi degradasi otot,
memperbaiki sintesis albumin serta menghambat progresifitas PGK. Pada penderita dengan
fungsi ginjal normal atau pada penderita PGK predialisis dapat diberikan natrium bikarbonat
oral atau natrium sitrat oral untuk mencapai kadar HCO3- 22 – 23 mmol/lt. Namun pemberian
basa peroral perlu diwaspadai efek sampingnya berupa hipertensi dan volume overload. Pada
penderita PGK on dialisis penggunaan dialisat yang mengandung konsentrasi HCO3 – tinggi (40
mmol/lt) biasanya sudah cukup untuk mengkoreksi kronik asidosis metabolik yang terjadi.
Gangguan Keseimbangan Kalium

Pendahuluan
Kalium merupakan elemen penting yang diperlukan untuk mengatur fungsi enzim intraseluler,
jaringan eksitabel neuromuskuar dan kardiovaskular, seperti untuk pergerakan usus,
kontraktilitas jantung,gerakan aktif dan pasif. Kalium adalah kation utama di cairan intraseluler
( CIS ). Konsentrasi kalium di intraseluler jumlahnya mencapai 98 % dari jumlah Kalium total
tubuh. Walaupun kadar kalium di dalam Cairan ekstraselular(CES) hanya berkisar 2 % saja, akan
tetapi memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga homeostasis. Perubahan sedikit
saja pada kalium intraseluler, akan berdampak besar pada konsentrasi kalium plasma.
Keseimbangan Kalium diatur dengan menyeimbangkan antara pemasukan dan ekskresi, serta
distribusi antara intrasel dan ekstrasel. Sekitar 90 % asupan kalium diekskresikan di urin dan 10
% di feses. Besarnya jumlah Kalium yang direabsorpsi atau disekresi tergantung kepada
kebutuhan. Pada keadaan dimana bila asupan kalium tinggi maka ekskresi akan di tingkatkan
dan sebaliknya bila asupan kalium rendah maka tubuh orang normal akan mengatur nya
dengan jalan mengurangi ekskresinya. Setiap perubahan dalam distribusi kalium intraseluler
dan ekstraseluler akan menyebabkan hipo atau hiperkalemia. Konsentrasi normal kalium di
plasma adalah 3,5 – 5,3 mmol/L Bila kadar kalium kurang dari 3,5mmol/l disebut hipokalemi
dan bila kadar kalium lebih dari 5,3mmol/l disebut hiperkalemi. Hipokalemia dan hiperkalemia
jarang terjadi pada orang dengan fungsi ginjal normal, namun, pada orang tua dan penurunan
fungsi ginjal membuat kelompok ini lebih rentan terhadap ketidakseimbangan kalium.
Gangguan metabolisme kalium dapat terjadi sebelum adanya gejala klinik atau asimptomatik
dan bisa berakibat fatal atau kematian mendadak apabila keadaan ini tidak ditanggulangi
sebagaimana mestinya
Hipokalemia
Hipokalemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalium serum <3,5 mmol / L
K: 3-3,5 mmol/l  hipokalemia ringan
K: 2,5-3 mmol/l hipokalemia sedang
K: < 2,5mmol/l  hipokalemia berat
Penyebab hipokalemi :
Asupan kalium sangat rendah
- Malnutrisi berat
- Inanisi oleh berbagai sebab (kanker,umur tua dan gangguan psikiatris)
Redistrubusi

Kehilangan kalium ekstra renal


- Muntah
- Diare
Kehilangan kalium renal
- Pengunaan obat diuretik,
- Ketoasidosis diabetik (KAD)
- Hipertensi
- Hiperaldosteron primer,hipertensi maligna dan hipertensi renovaskluar
- Renal tubular asidosis(RTA)
- Hipomagnesemia (Alkoholisme)
Gejala Hipokalemi
1. Kelemahan otot
2. Lelah
3. Kejang atau kaku otot
4. Konstipasi
5. Ileus
6. Paralisis flaksid
7. Hiporefleksi
8. Rabdomiolisis
9. Tetanus
10. Perubahan EKG yang khas meliputi: depresi segmen ST, gelombang T datar, interval QT
berkepanjangan, T-gelombang inversi dan adanya U gelombang (Gambar 1)

Normal ECG 2.8 2.5 2.0 1.7

Decreasing serum potassium (mmol/L)

Gambar 1 : ECG changes associated with hypokalaemia


Diagnosis penyebab hipokalemi
Dalam evaluasi diagnosis hipokalemi, tahap pertama adalah menyingkirkan kemungkinan
adanya intake yang kurang dan redistribusi kalium dari CES ke CIS. Perlu dipikirkan sejumlah
bahan yang sering menyebabkan redistribusi kalium seperti insulin,aldosteron, theofilin,
antipsikotik. Bila sudah dapat disingkirkan maka berarti hipokalemi yang terjadi
mengambarkan rendahnya kalium total tubuh oleh karena kehilangan melalui ginjal, traktus
gastrointestinal atau melalui kulit
Pengobatan hipokalemi
Terapi hipokalemi tergantung pada kelainan yang mendasari, rendahnya kadar kalium
dan risiko yang bisa terjadi pada pasien. Pada pasien hipokalemi tidak didapatkan korelasi
antara kadar kalium serum dengan defisit kalium total. Kadar kalium serum merupakan
gambaran dari external potasium balance dan transcelular potasium shift. Prosentase kalium
eksogen yang diberikan pada pasien hipokalemi, yang tetap berada di CES amat
bervariasi,sehingga sulit untuk memprediksi berapa banyak kalium pengganti yang harus di
berikan pada pasien hipokalemi, Oleh karena itu dianjurkan memberikan kalium dosis kecil
berkali-kali dan sering melakukan monitor kalium setiap 4-8 jam. Suplementasi kalium bisa
diberikan secara oral maupun parenteral. Pemberian oral lebih aman daripada secara IV,
karena masuk ke sirkulasi lebih lambat. Hipokalemia ringan dapat diberikan kalium oral.
Sedangkan hipokalemia sedang sampai berat , simptomatis atau pasien yang tidak bisa peroral
dapat diberikan kalium intravena melalui drip. Pemberian 40-60 mmol/L dapat meningkatkan
kadar Kalium sebesar 1-1,5 mmol/L. Pemberian Kalium intravena diberikan dalam larutan KCl
dengan kecepatan 10-20 mmol/jam. Pada keadaan dengan EKG yang abnormal, KCl diberikan
dengan kecepatan 40-100 mmol/jam. KCl dilarutkan dalam NaCl isotonik dengan perbandingan
20 mmol KCl dalam 100 ml NaCl isotonik melalui vena besar. Jika melalui vena perifer, KCl
maksimal 60 mmol dilarutkan dalam NaCl isotonik 1000 ml. Bila melebihi kadar ini, dapat
menimbulkan rasa nyeri dan sklerosis vena. Drip intravena tidak dianjurkan memakai larutan
glukosa karena dapat mengakibatkan kalium masuk kedalam sel
Hiperkalemia
Hiperkalemia didefinisikan kadar kalium serum > 5,3 mmol / L
Hiperkalemia berat didefinisikan kadar kalium serum ≥ 7,0 mmol / L
Pseudohiperkalemia adalah peningkatan kalium serum oleh karena saat in vitro, kalium
dilepaskan dari sel – sel darah. Keadaan ini dijumpai pada hemolisis,trombositosis atau
leukositosis berat.
True hiperkalemia disebabkan oleh potassium balance yang positif (asupan kalium meningkat
atau ekskresi kalium rendah) atau kalium yang berpindah dari CIS ke CES meningkat. Secara
praktis sebagian besar pasien yang mengalami hiperkalemi mempunyai lebih dari 1 kontributor.
Penyebab hiperkalemi :
Pseudohiperkalemi
- Hemolisis
- Leukositosis berat (Leukosit>50.000)
- Trombositosis (Trombosit>1.000.000)
Penghancuran sel berlebihan
- Rhabdomyolysis
- Tumor lysis syndrome
Gangguan distribusi kalium
- Defisiensi insulin
- Beta blokers
- Asidosis metabolik dan respiratorik
- Familial Hiperkalemik periodik paralisis
Menurunnya ekskresi kalium di ginjal
- AKI/CKD
- Defisiensi aldosteron (RTA tipe IV,nefropati diabetik dan nefropati obstruktif)
- Insufisiensi adrenal(addison disease)
- Obat yang menghambat ekskresi kalium (ACE inhibitor,ARB,OAINS, amilorid,
spironolakton,Siklosporin,takrolimus,heparin)
- SLE dan sickle cell anemia
Gambaran klinis
Bisa berupa kelemahan otot dan aritmia jantung yang fatal oleh karena itu perhatian pada
gambaran EKG yaitu hilangnya gelombang P, melebarnya komplex QRS, hilangnya segmen ST
dan tingginya gelombang T. (Gambar 2).
Sejalan dengan tingginya kadar kalium serum, hiperkalemi berat dapat menyebabkan aritmia
ventrikel yang dapat berakibat fatal, fibrilasi ventrikel dan henti jantung dan ini merupakan
kondisi gawat darurat medik yang perlu penanganan segera, Tidak sedikit pasien hiperkalemi
berat menunjukkan gambaran EKG normal.

Normal ECG 6.5 7.0 8.0 9.0

Increasing serum potassium (mmol/L)

Gambar 2: ECG changes associated with hyperkalaemia


Pengobatan hiperkalemia
Hiperkalemi berat disertai perubahan EKG merupakan keadaan yang membahayakan jiwa
sehingga harus ditangani dengan cepat dan tepat. Bila didapatkan hasil EKG yang mengarah
pada adanya hiperkalemi, maka harus segera di terapi tanpa menunggu konfirmasi hasil
laboratorium. Bila hal ini terjadi pada pasien gagal ginjal, maka secepat mungkin dilakukan
dialisis untuk mengeluarkan kalium dari tubuh.sambil menunggu persiapan dialisis.maka yang
harus dilakukan adalah :
1. Tahap pertama adalah menstabilkan miokardium. Diberikan Ca gluconas 10%
sebanyak 10cc dalam waktu 2 menit.bila dalam waktu 3-5 menit tidak ada perbaikan
EKG. pemberian Ca glukonas bisa diulang kembali tiap 10 menit sampai EKG normal
2. Tahap kedua adalah usaha untuk mendorong perpindahan kalium dari CES masuk ke
CIS sehingga kalium serum dapat segera diturunkan
a. Insulin : Insulin diberikan 10 unit IV, untuk mencegah hipoglikemi maka diberikan
Dextosa 40% 50cc diberikan pelan selama 15-30 menit. Pada pasien DM, Bila gula
darahnya tinggi, cukup diberikan insulin saja tanpa dextrosa.
b. B2-agonist : diberikan albuterol 10-20mg dengan Nacl 0,9% 4cc melalui nebuliser
dalam waktu 10 menit. Albuterol juga dapat diberikan IV. Dosis yang dibutuhkan
untuk menurunkan kalium plasma lebih besar daripada yang digunakan untuk
asma. Efek albuterol terhadap penurunan kalium bersifat aditif terhadap insulin.
c. Sodium bicarbonat (Nabic) : banyak peneltian melaporkan bahwa pemberian
Nabic tidak atau hanya sedikit menurunkan kalium serum. Diberikan bila
didapatkan asidosis metabolik yaitu 1meq/kgbb diberikan selama 10 menit
3. Tahap tiga adalah : Mengeluarkan kalium dari tubuh.
a. Diuretik ,Hanya bisa bekerja bila fungsi ginjal masih adequat, biasanya
bermanfaat pada hiperkalemia ringan disertai retensi cairan
b. Potasium exchange resin :sodium polystyrene sulfonate(kayexalate). Resin
exchanger ini mengambil kalium dari darah ke usus untuk di tukar dengan Na,
kerjanya lebih lambat. Kalium mulai turun 1-2 jam setelah pemberian. bisa
diberikan secara oral atau rectal.
c. Hemodialisis merupakan terapi definitif untuk pasien PGK stadium lanjut yang
mengalami hiperkalemia berat. Pada pasien hiperkalemia sedang dan tidak
disertai perubahan EKG, biasanya dapat diatasi hanya dengan menghentikan
bahan atau obat yang menyebabkan hiperkalemia.
Untuk mencegah hipekalemia berulang.Beberapa hal yang harus dilakukan adalah diet
kalium dibatasi 40-60meq/hari, hindari obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar kalium
serum.
Chronic Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

Pendahuluan
Saat ini jumlah pasien penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 yang memerlukan dialisis makin
meningkat. Tidak semua pasien PGK stadium 5 mendapatkan pelayanan HD dikarenakan
keterbatasan fasilitas, kurangnya sumber daya manusia (SDM) dan mesin HD yang mahal.
Peritoneal Dialysis (PD) merupakan salah satu pengobatan pengganti ginjal yang masih kurang
dimanfaatkan di Indonesia, namun dapat menjadi pilihan utama karena : PD tidak memerlukan
investasi yang besar, pasien dapat atau harus melakukannya sendiri. Kondisi geografis
Indonesia yang berbentuk negara kepulauan, dengan medan yang luas dan sarana transportasi
yang tidak selalu tersedia, mengakibatkan tidak sedikit pasien menemui kesulitan untuk
mencapai unit HD secara rutin. Hal ini pula lah yang menjadikan PD sebagai pilihan utama
terapi pengganti ginjal. Menurut laporan IRR (Indonesian Renal Registry 2011) jumlah pasien
CAPD yang dilaporkan adalah 304 orang.

Gambar 1. Skema CAPD


Definisi
Peritoneal Dialisis (PD) adalah suatu metode dialisis dengan memanfaatkan peritoneum sebagai
membran semipermeabel.
Macam-macam PD:
 PD Akut adalah metode terapi pengganti ginjal (TPG) untuk pasien yang
mengalami kegawatan akut, bersifat sementara.
 PD Kronis adalah metode TPG untuk pasien yang mengalami penurunan fungsi
ginjal secara permanen (PGK stadium 5), bersifat berkesinambungan.

Terdapat beberapa macam PD kronis yaitu:


a. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
b. Automated Peritoneal Dialysis (APD) terdiri dari Tidal Peritoneal Dialysis:
Continuous Cycling Peritoneal Dialysis (CCPD), Nocturnal Intermittent
Peritoneal Dialysis (NIPD), Tidal with day dwell, dan Cyclers.

Indikasi dan Kontraindikasi


 Indikasi memulai PD adalah PGK stadium 5 yang memerlukan dialisis.
 Kontraindikasi Absolut PD:
o Kesulitan teknik operasi
o Luka yang luas di dinding abdomen
o Perlekatan yang luas dalam rongga peritoneum (akibat operasi daerah
abdomen, riwayat inflamasi sebelumnya)
o Tumor atau infeksi di dalam rongga abdomen (adneksitis)
o Riwayat ruptur divertikel, hernia berulang yang tidak dapat dikoreksi
o Fistel antara peritoneum dengan rongga pleura
o Tidak dapat melakukan PD secara mandiri dan tidak ada yang membantu
 Kontraindikasi Relatif PD:
o Obesitas tanpa residual renal function
o Gangguan jiwa
o Gangguan penglihatan
o Hernia
o Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
o Inflamasi kronik saluran cerna
Perlengkapan CAPD:
o Akses peritoneal dialisis adalah kateter peritoneal dialisis (kateter Tenckhoff) dan
sistem koneksi (transfer set).
o Cairan Dialisat
 Cairan dialisat, umumnya berbasis dekstrosa dengan konsentrasi: 1,5%; 2,5% dan
4,25%. Selain itu juga terdapat cairan dialisat berbasis non-dekstrosa, yaitu
icodextrin dan nutrineal.
 Cairan dialisat juga mengandung elektrolit termasuk NaCl, kalsium, magnesium,
dan laktat sebagai prekursor bikarbonat
 Pemilihan cairan dialisat bersifat individual tergantung kondisi pasien

Persiapan CAPD
1. Persyaratan calon pasien PD:
 Pasien mandiri atau ada yang membantu.
 Tinggal di tempat yang bersih dan lingkungan yang sehat.
 Bersedia menjalani pelatihan intensif dan mematuhi prosedur PD.
2. Pemilihan kateter: kateter hendaknya dipilih yang menghasilkan aliran dialisat yang
cepat, tidak mudah bocor dan infeksi. Kateter Tenckhoff adalah kateter untuk PD yang
standar dan paling banyak digunakan. Ada beberapa tipe: straight tenckhoff, curled
tenckhoff, Swan-neck, Missouri, lifecath.
3. Persiapan pasien dan implantasi kateter
 Evaluasi adanya hernia, hemorrhoid atau kelemahan pada dinding abdomen.
 Penentuan posisi exit-site kateter. Posisi sebaiknya bebas dari tekanan ikat
pinggang, hindari lipatan lemak dan disesuaikan dengan kebiasaan tangan pasien
(left atau right handed).
 Dilakukan enema atau laksan pada malam sebelum operasi.
 Antibiotika profilaksis: sefalosporin generasi pertama, diberikan satu jam
sebelum operasi dalam dosis tunggal.
 Teknik implantasi: pembedahan, perkutaneus dan peritoneoskopik.
Komplikasi
1.Technical Failure
Definisi: tidak dapat melanjutkan PD sebagai terapi pengganti ginjal.
Penyebab technical failure antara lain:
1. Migrasi atau dislokasi ujung kateter Tenckhoff
2. Omental wrapping
3. Sumbatan fibrin atau darah intraluminal kateter
4. Fistel peritoneopleural
5. Internal leakage, termasuk retroperitoneal leakage
6. Infeksi jamur
2. Membrane Failure
Membran peritoneum tidak berfungsi lagi dengan baik, menyebabkan ultrafitration failure.
Ada 3 tipe membrane failure:
1. Tipe 1 : kecepatan transpor solut yang tinggi (high solute transport) menyebabkan
kegagalan ultrafiltrasi.
2. Tipe 2 : disebabkan karena sclerosing peritonitis dan proses inflamasi kronik yang
menyebabkan permiabilitas dan area permukaan membran menurun. Hal ini
mengakibatkan penurunan ultrafiltrasi dan transpor solut.
3. Tipe 3 : disebabkan karena absorbsi limfatik berlebih yang mengakibatkan penurunan
ultrafiltrasi, tanpa penurunan transpor solut.
Pada ultrafiltration failure maupun sindrom uremik diperlukan kombinasi PD dan HD.
3. Komplikasi Infeksi
 Infeksi pada exit site – tunnel
- Infeksi exit-site dan tunnel ditandai oleh cairan purulen pada exit-site dengan atau tanpa
eritema.
- Infeksi tunnel dapat bermanifestasi eritema, edema atau nyeri di area subkutaneus.
- Infeksi exit-site dan tunnel bisa berlanjut menjadi peritonitis, oleh karena itu harus
diterapi secara agresif.
- Terapi antibiotik oral dapat diberikan kecuali pada MRSA.
 Peritonitis
- Peritonitis adalah infeksi rongga peritoneum akibat masuknya mikro-organisme melalui
kateter, celah kateter ataupun invasi dari dinding usus.
- Manifestasi klinis peritonitis dapat berupa cairan dialisat yang keruh, nyeri perut,
demam.
- Diagnosis peritonitis minimal 2 dari kriteria di bawah:
a. Cairan yang keruh
b. Hitung sel dialisat >100 µl
c. Sel PMN >50%,
Atau kultur dialisat positif
 Pemberian antibiotik pertama kali hendaknya bersifat empirik, menggunakan
antibiotik berspektrum luas terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif,
tergantung pola kuman setempat.
 Untuk bakteri Gram positif diberikan sefalosporin generasi pertama atau
vankomisin, dan untuk bakteri Gram negatif diberikan sefalosporin generasi ketiga
atau aminoglikosida.
 Syarat bahan kultur cairan dialisat:
 Cairan dialisat dengan dwell time minimal 2 jam
 Kultur dilakukan paling lambat 1 jam setelah drainase
 Kultur cairan dialisat menggunakan botol untuk kultur darah
 Indikasi pengangkatan kateter: Peritonitis refrakter, Peritonitis relaps, Infeksi exit-
site dan tunnel yang refrakter, Peritonitis jamur
 Pada peritonitis dengan kondisi tertentu diperlukan kombinasi PD dan HD.
4. Komplikasi non infeksi:
 Herniasi, Abdominal wall and pericatheter leak, Edema genital dan dinding perut,
Nyeri pinggang
 Komplikasi pernapasan, antara lain: hidrothoraks, gangguan mekanik pada
pernapasan pada pasien yang mempunyai latar belakang penyakit paru-paru,
substrate-induces changes in respiration, sleep apnea.
 Hiperlipidemia , Hiperglikemia atau peningkatan kebutuhan obat hipoglikemik pada
pasien diabetes, Gangguan asam basa dan elektrolit, Kenaikan berat badan
 Komplikasi kardiovaskular, gastrointestinal, encapsulating peritoneal sclerosis,
calcifying peritonitis, hemoperitoneum, chyloperitoneum, acquired cystic disease of
the kidney, pruritus, calciphylaxis, dialysis-associated amyloidosis.
Tabel 1. Rekomendasi Dosis Antibiotik Intraperitoneal Untuk Pasien CAPD
Intermiten Kontinyu
(setiap kali pergantian, (mg/L;
satu kali sehari) semua pergantian)
Aminoglikosida
Amikasin 2 mg/kg LD 25, MD 12
Gentamisin, netilmisin, 0.6 mg/kg LD 8, MD 4
ortobramycin
Sefalosporin
Cefazolin, cephalotin, atau 15 mg/kg LD 500, MD 125
cephradin
Cefepime 1000 mg LD 500, MD 125
Ceftazidime 1000-1500 mg LD 500, MD 125
Ceftizoxime 1000 mg LD 250, MD 125
Penisilin
Amoksisilin ND LD 250-500, MD 50
Ampisilin, oxacillin, atau nafcillin ND MD 125
Azlocillin ND LD 500, MD 250
Penisilin G ND LD 50.000 unit, MD
25.000 unit
Kuinolon
Ciprofloxacin ND LD 50, MD 25
Lain-lain
Aztreonam ND LD 1000, MD 250
Daptomycin (115) ND LD 100, MD 20
Linezolid (41) 200-300 mg
setiap sehari p.o
Teicoplanin 15 mg/kg LD 400, MD 20
Vankomisin 15-30 mg/kg setiap 5-7 hari LD 1000, MD 25
Anti jamur
Amfoterisin NA 1.5
Flukonazole 200 mg IP setiap 24-48 jam
Kombinasi
Ampisilin/sulbactam 2 g setiap 12 jam LD 1000, MD 100
Imipenem/cilastin 1 g dua kali sehari LD 250, MD 50
Quinupristin/dalfopristin 25 mg/L selang 1 kantongb
Trimethoprim/sulfamethoxazole 960 mg 2xsehari
p.o
 ND = no data; NA = not applicable; IP = intraperitoneal; LD = loading dose; MD =
maintenance dose dalam mg/L.
a
 Untuk dosis obat yang dibersihkan di ginjal pada pasien dengan residual renal
function (didefinisikan sebagai produksi urin >100 ml/hari), dosis dinaikkan sebanyak
25%.
b
 Diberikan bersama-sama dengan pemberian intravena 500 mg dua kali sehari.
Nefritis Lupus

Definisi
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit yang diperantarai oleh kompleks imun
dan ditandai dengan gangguan multisistem. Penyakit ini ditandai oleh terlibatnya berbagai
organ dengan bukti-bukti laboratorik proses otoimun yang dimanifestasikan oleh adanya
antibodi terhadap DNA. Salah satu organ penting yang terlibat adalah ginjal yang dikenal
dengan nefritis lupus (NL).

Epidemiologi
NL diderita oleh sekitar 30% sampai dengan 50% dari pasien dengan LES dengan berbagai gejala
dan tanda ginjal seperti proteinuria, sediment urin aktif dengan mikrohematuria, silinder
eritrosit dismorfik dan hipertensi. Pada banyak kasus NL berkembang menjadi sindroma
nefrotik yang disertai dengan glomerulonefritis (GN) proliferatif dan penurunan laju filtrasi
glomerulus. Dengan definisi klinis, yakni proteinuria, sedimen urin, dan fungsi ginjal abnormal,
NL dilaporkan antara 39-90% dari kasus LES
Kriteria diagnosis NL: bila ditemukan LES ditambah dengan gejala atau tanda kelainan ginjal
Kriteria American College of Rheumatology untuk diagnosis LES yaitu: Adanya empat atau lebih
kriteria sebagai berikut (memberikan sensitifitas dan spesifisitas 96% untuk diagnosis LES)
1. Malar rash
2. Discoid rash
3. Fotosensitifitas
4. Ulkus mulut
5. Artritis non-erosif
6. Pleuroperikarditis
7. Penyakit ginjal (proteinuria dan/atau silinder seluler)
8. Gangguan neurologik (kejang atau psikosis tanpa disertai factor pencetus)
9. Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia/
limfopenia, trombositopenia)
10. Sediaan sel LE positif, meningkatnya titer antibodi anti-DNA,
anti-Sm positif, tes antitreponema positif palsu)
11. Tes fluorosens ANA (antinuclear antibody) positif

Kelainan ginjal (prevalensi), sebagai berikut:


 Proteinuria 100%
• Sindroma nefrotik 45–65%
 Hematuria
• Mikrohematuria 80%
• Silinder eritrosit 10%
• Makrohematuria 1–2%
 Silinder seluler 30%
 Penurunan fungsi ginjal 40–80%
• RPGN (rapidly progressive glomerulonephritis) 10–20%
• AKI (acute kidney injury)1–2%
 Hipertensi 15–50%
 Hiperkalemia 15%
 Kelainan tubuler 60–80%
 (biasanya asimtomatik)

Patogenesis
Mekanisme otoimun dengan reaksi antigen-antibodi, adanya antibodi terhadap inti sel dan
komponen inti sel lainnya, khususnya DNA alamiah, ditunjukkan dengan adanya:
ANA (anti nuclear antibody).
Antibodi terhadap histon H1, H2B, dan H2A
Antibodi anti ds DNA (double--stranded DNA).
Antibodi anti-Sm
Antiphospholipid antibodies (APA).
Kelainan histopatologik
Berdasarkan WHO, 1995 dan ISN/RPS, 2004, lihat tabel

Terapi
Pada pasien dengan kelainan histopatologi proliferatif aktif, terapi dibagi menjadi fase induksi
untuk mengatasi penyakit organ akut dan mengancam nyawa. Fase pemeliharaan yang
ditujukan untuk manajemen jangka panjang, mencegah relaps/mempertahankan remisi dan
proteksi terhadap efek samping obat.
Hasil biopsi ginjal dapat dipakai menuntun pengobatan:
1. Pasien dengan ISN klas I dan klas II tidak memerlukan terapi, karena memiliki prognosis
jangka panjang yang baik, kecuali NL dengan minimal change syndrome ataulupus
podocytopathy, yang ber-respon baik dengan terapi kortikosteroid dosis tinggi jangka
pendek.
1. Pasien dengan ISN klas III A dan klas III A/C), klas IV A dan IV A/C,
dan klas V) memerlukan terapi kombinasi kortikosteroid dan imunosupresif. Terapi ini
terdiri dari Terapi induksi, yang bertujuannya menginduksi remisi (proteinuria kurang dari
0,5 g/24 jam atau rasio protein:kreatinin dibawah 0,5 g/g, tanpa hematuria glomeruler atau
silideruria, dan LFG yang stabil atau menjadi normal. Relaps didefinisikan peningkatan
proteinuria saja, khususnya peningkatan dua kali lipat dan di atas 1 g/24 jam (proteinuric
flare), atau timbulnya hematuria glomeruler atau silinder eritrosit dengan proteinuria yang
disertai atau tanpa disertai hipertensi dan penurunan LFG (nephritic flare).

Terapi NL proliferatif
1.Fase induksi
Kortikosteroid
Kortikosteroid dipakai bersama dengan imunosupresif lainnya. Dimulai dengan
predniso(lo)n (1 mg/kg/hari atau 60 mg/hari) atau methylprednisolon infus
(0,5 s.d. 1,0 g sehari selama 1 s.d. 3 hari), diteruskan dengan prednisone tablet
(0,5 mg/kg/hari). Dosis terapi oral kemudian dapat diurunkan secara bertahap sampai
dengan 10 mg/hari selama 3-6 bulan.
Sitotoksik
Siklofosfamid intravena adalah obat yang efektif untuk induksi remisis diberikan selama
6 bulan secara pulse (0.5 s.d. 1 g/m2/bulan) diikuti dengan infuse setiap 3 bulan, atau
terapi jang waktu yang lebih pendek 500 mg (intravena) setiap 2
Minggu sebanyak 6 dosis (dosis total 3 g), kemudian diganti dengan terapi
pemeliharaan dengan azatioprin (2 mg/kg/hari).
Mycophenolate Mofetil (MMF)
Terapi induksi remisi dengan MMF selama 12 bulan atau silkofosfamid oral selama 6
bulan yang diikuti dengan azatioprin selama 6 bulan, yang sama-sama mendapat terapi
kortikosteroid dengan dosis tapering, tidak menyebabkan angka remisi atau relaps yang
berbeda. Namun, risiko infeksi lebih kecil pada kelompok dengan terapi MMF. Semua
kematian terjadi pada kelompok yang diterapi dengan siklofosfamid (0% versus 10%).
MMF juga menyebabkan penurunan proteinuria yang lebih besar dan perbaikan biopsi
ginjal.
Terapi Imunosupresif lain
Azatioprine dan siklosporin dipakai secara kombinasi dengan kortikosteroid untuk
induksi remisi. MMF bersama dengan tacrolimus dan steroids terbukti lebih superior
dibandingkan dengan siklofosfamid bersama dengan kortikosteroid dalam menginduksi
remisi selama 6 bulan terapi atau lebih. Gama globulin intravena dapat dipakai sebagan
terapi tambahan pada LN berat.
2.Fase pemeliharaan
Kortikosteroid jangka panjang dosis rendah(predniso(lo)n 5 to 15 mg/hari setiap hari
atau setiap dua hari), dan profilaksis osteoporosis diberikan secara bersama-sama.
Azatioprin dan MMF dapat dipakai sebagai alternative terapi pemeliharaan

Terapi LN membranus
Pasien dengan LN membranus yang mengalami proteinuria subnefrotik dan LFG stabil diterapi
dengan terapi konservatif (ACE-inhibitoratau ARB dan statin) atau kortikosteroid atau
siklosporin jangka pendek).
Pasien LN membranus dengan sindroma nefrotik dan LN membranus dengan resiko progresif,
diberikan terapi ganda terdiri dari siklosporin oral atau takrolimus, setiap bulan secara
intravena, siklofosfamid secara denyut, dan MMF atau azatioprin ditambah kortikosteroid,
selama enam bulan.
Terapi suportif dengan ACE-inhibitor/ARB, antihipertensi lain
Profilaxis osteoporosis
Tindakan prevensi penyakit kardiovaskuler primer atau sekunder

Plus
Plus
Metil prednisolon i.v. 1 g selama 3 hari
atau
Predniso(lo)n 1 mg/kg perhari Predniso(lo)n dosis rendah (5-
Plus 10 mg/hari atau setiap 2 hari)
MMF oral 1-1,5 g bid selama 6 bulan plus MMF oral 0,5-1 g bid

Atau

Ganti MMF dengan Cyclofosfamid


Ganti MMF dengan azatioprin
oral 1-2 g mg/kg/hari
Atau

Ganti MMF dengan siklofosfamid 1-3


mg/kg/hari selama 3-6 bulan

Gambar 1. Terapi NL proliferatif berat (ISN klas IIIA atau II A/C atau klas IV A/C

NL proliferatif berat resisten

Ganti dengan obat lain

(bila sedang diterapi dengan siklofosfamid, coba dengan MMF atau sebaliknya

Tambahkan metil prednisolon pulse (i.v. 3 kali 1 g diulang setiap bulan

Tambahkan rituximab (1g selama 4 jam, diulang setiap 2 minggu

Tambahkan gama globulin

Gunakan obat-obat yang ada secara multiple ( MMF plus siklofosfamid plus
kortikosteroid

Gambar 2. Pengobatan NL berat resisten


Terapi suportif dengan ACE-I/ARB, obat antihipertensi lain
Subnefrotik Profilaksis osteoporosis
proteinuria Pencegahan penyakit kardiovaskuler primer atau sekunder
tanpa gejala
Plus

Predniso(lo)n 2 setiap hari atau setiap 2 hari

Terapi suportif dengan ACE-I/ARB, obat antihipertensi lain


Profilaksis osteoporosis
Pencegahan penyakit kardiovaskuler primer atau sekunder

Plus

Predniiso(lo)n 5-10 mg/hari atau setiap 2 hari

Plus
Sindroma
nefrotik MMF 1-5 g bid selama 6 bulan
simtomatik,
atau risiko Siklosporin oral 4-6 mg/kg/hari selama 4-6 bulan
tinggi
komplikasi
sindroma Azatioprin 1-2 mg/kg/hari
nefrotik
Siklofosfamid i.v. 0,5-1 g/m2 setiap bulan selama 6 bulan

Gambar 3. Terapi NL membranus (ISN Klas VI)


Nefropati Diabetik

Epidemiologi
 DM di Indonesia diderita oleh sekitar 3 % populasi. 25-30% IDDM berkembang menjadi ND
dalam 15-20 th
 Data Pernefri (2011) ND penyebab ke 2 tertinggi penyakit GGT di Indonesia
 Di Amerika ND merupakan 35% penderita GGT
 Adanya penyakit ginjal pada pasien DM mengakibatkan beban penyakit kardiovaskuler dan
morbiditas metabolik serta mortalitas yang meningkat
 Masalah pencegahan menjadi penting karena mahalnya biaya cuci darah

Definisi klinik
Pemeriksan DN meliputi:
 Pemeriksaan protein atau albumin urin 24 jam atau rasio albumin/kreatinin urin
 Dijumpai proteinuria > 0,5 g/hari tanpa disertai infeksi atau batu saluran kemih/gagal
jantung kongestif/ketonuria disebut proteinuria makro (overt)
 Bila dikumpai albuminuria >300 mg/24 jam disebut makroalbuminuria
 Disebut persisten bila 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam 6 bulan memberi hasil pos.
 Pada IDDM, ND insipien: bila dijumpai mikroalbuminuria (30-300 mg/24 jam atau 20 - 200
mikrog/menit)
 Pemeriksaan kreatinin untuk meng-estimasi LFG untuk menentukan adanya penurunan
fungsi ginjal
 Pemeriksaan tekanan darah untuk menentukan adanya hiprtensi
 Pemeriksaan optalmologi (konsul kepada Ahli Mata) untuk menentukan adanya retinopati

Stadium ND (pada IDDM)


Std I (hipertrofi-hiperfungsi)
 GFR meningkat s.d 40%, nefromegali/hipertrofi
 TD normal
 Masih reversibel, dg kendali GD
 Berlangsung 0-5 sejak diagnosis
Std II tahap tenang (silent)
 GFR masih tetap tinggi (20-39 diatas normal)
 Ekskresi albumin normal, atau meningkat pada saat stres metabolik
 Berlangsung 5-15 tahun sejak diagnosis bahkan seumur hidup
 Sekitar 5-10% mengalami hipertensi
Std III (insipien)
 Ekskresi albumin abnormal (mikroalbuminuria)
 Penebalan MBG dengan GFR tetap tinggi
 TD mulai meningkat
 Berlangsung 10-15 tahun sejak diagnosis
 Kontrol metabolik dan TD ketat dapat mencegah progresifitas penyakit
Std IV: ND klinis (overt diabetic nephropathy)
 Proteinuria atau makroalbuminuria menetap
 TD meningkat pada sebagian besar kasus
 GFR mulai menurun 12 ml/tahun
 biasanya telah dijumpai makro atau mikroangiopati
 Berlangsung 15-30 sejak diagnosis
 Biasanya ireversibel
Std V: Gagal ginjal terminal (end-stage renal failure)
 GFR <5-10 ml/menit, uremia berat
 Perlu dialisis atau cangkok ginjal

Pada NIDDM perjalanan atau tahapan ini tidak jelas. Sebanyak 3-16% NIDDM mengalami ND
karena mikroalbuminuria pada NIDDM berkaitan dengan IGT, obesitas, dislipidemia atau
hipertensi yang merupakan faktor konkomitan
Patogenesis
 Glukotoksisitas akibat hyperglycemia menahun dengan predisposisi genetik merupakan
faktor utama
 Alur metabolik non-ensimatik berupa pembentukan advanced glycosylated end-products
(AGE’s)
 Alur poliol: Meningkatnya aktivitas aldose reduktase, reduksi glukosa akan meningkatnya
sorbitol jaringan dan berkurangnya kadar mioinositol akan menyebabkan gangguan
permeabilitas BMG
 Gangguan transport sel (Na-Li counter-transport)
 Gangguan hemodinamik-hipertensi sistemik dan intra-renal
 Disfungsi endotel pemb darah yang berkaitan dengan komplikasi kardivaskuler lainnya.
 Inflamasi dan stres oksidasi

Diagnosis
 Adanya DM (klinis dan lab) dengan/tanpa hipertensi
 Asimtomatik sampai keluhan uremia
 Keluhan mikro/makroangiopati, neuropati
 Kelainan lab :GD, mikroalbuminuria atau makroproteinuria persisten
 Gangguan profil lemak

Diagnosis dan intervensi dini


Prinsip: adanya mikroalbuminuria
 merupakan marker ND atau
 Prediktor progresifitas ke arah ND klinik (std IV) atau
 Marker disfungsi endotel dan meningkatnya resiko kematian penyakit kardiovaskuler
 Perlu skrining dan intervensi mikroalbuminuria pada IDDM dan NIDDM (diagram 1 dan 2)

Pencegahan dan terapi


Perlindungan fungsi ginjal, didasarkan target terapi
Terapi tekanan darah
 bertujuan mencapai tekanan darah ≤ 130/80 mmHg
 hindari tekanan darah sistolik < 110 mmHg
 Utamakan penggunaan AEC-inhibitor atau AR, karena memiliki sifat antiproteinuria
Terapi antiproteinuria
 bertujuan menurunkan mikroalbuminuria dengan ACE-inhibitor dan/atau ARB
 sedapat mungkin menurunkan makroproteinuria dengan ACE-inhibitor dan/atau ARB
 membatasi konsumsi garam (4-6 g/hari atau Na < 100 mmol/hari) dapat meningkatkan efek
antiproteinuria ACE-inhibitor dan ARB
Kontrol glikemia
 Target terapi HbA1C≤ 6,5 %
Pencegahan AKI
 Hindari faktor risiko yang menyebabkan pemburukan fungsi ginjal (obat-obat nefrotoksik,
dehidrasi, radiokontras)
Terapi dislipidemia
 Target terapi untuk mencapai kadar LDL-kholesterol darah ≤ 100 mmg/dl
 Penggunaaan obat statin, selain sebagai obat hipolidemik juga memiliki efek pleotropik (anti
inflamasi dan anti-oksidatif)
 Pada pasien ND dengan HD penggunaan statin dibatasi untuk indikasi tertentu (misalnya
pasca AMI)
Intervensi diet
 Diet rendah protein (0,6-0,8 g/kg/hari) dan rendah garam maks 5 g/hari
 Bila GGTdialisis atau cangkok ginjal

Rujukan dini
Pasien DM dengan PGK harus segera dirujuk kepada ahli nefrologi-hipertensi untuk pengelolaan
komplikasi dan terapi anti-progresifitas penyakit ginjal.
Bila pasien mencapai PGK stadium 3, maka review harus dilakukan meliputi:
1. Anemia, karena meningkatkan komplikasi penyakit kardiovaskuler dan kematian. Terapi
anemia dapat merujuk terapi anemia pada PGK (lihat bab lain)
2. KomplikasiGMT-PGK (gangguan mineral tulang pada penyakit ginjal kronik) (terapi lihat
pada bab lain)
3. Kelainan elektrolit
4. Retensi cairan tubuh
5. Status nutrisi akibat restrik protein saat stadium pre-dialitik
Terapi Gagal ginjal terminal
 Terapi pengganti ginjal (dialisis dan transplantasi) pada ND harus dimulai lebih awal (bila
LFG sudah mencapai 30 ml/menit).
 Vaksinasi hepatitia B sudah dapat dilakukan pada saat pasien mengalami PGK stadium 3.
 Hindari melakukan suntikan pada lengan non-diminan, yang dicadangkan untuk
pemasangan AVF (A-V fistula) saat dilakukan HD nantinya.
 Pembuatan AVF dilakukan saat pasien mengalami PGK stadium 4.
 AVF alami (cimino) lebih disukai dibandingkan prostetik .

Dialisis peritoneal
Khususnya pada pasien dengan kesulitan akses vaskuler, gangguan hemodinalik, usia tua.
Perlu diperhatikan adanya asupan glukosa melalui dialisat antara100-200 mg/hari.

Kompliasi lainnya
1. Panyakit kardiovaskuler
a. Penyakit jantung koroner
b. Penyakit pembulud darah peifer
c. Disfungsi ereksi
d. Retinopati diabetik
2. Kaki diabetik
Edukasi
Pasien diberikan edukasi tentang
 Kontrol gula darah
 Pengukuran tekanan darah
 Nutrisi
 Olah raga
Contoh urine
Pertama pagi

Kadar albumin <20 mg/l dan/atau Kadar albumin ≥ 20 mg/l dan/atau


albumin/kreatinin <2,5 mg/mmol (L), albumin/kreatinin ≥ 2,5 mg/mmol (L),
< 3,5 mg/mmol (P) > 3,5 mg/mmol (P)

Normal, tak perlu periksa Periksa Ulang


contoh urine berwaktu

Periksa Ulang 1 tahun lagi Bila abnormal, periksa


contoh urine berwaktu

Kadar albumin < 20µg/mnt Kadar albumin ≥ 20µg/mnt


20µg/mnt
20µg/mnt (30 mg/24 jam)

Dua contoh urine berwaktu lain


diambil dalam 6-12 minggu

Kadar albumin ≥ 20µg/mnt (30


mg/24 jam) paling sedikit pada 1
contoh urine

Pantau seperlunya: HbA1C,


tekanan darah, kreatinin,
retinopati, PJK, PSV,PPDP, dan
neuropati

Diagram 1. Strategi program penapisan dan pemantauan albuminuria pada diabetes. Contoh urin
berwaktu diambil selama 24 jam atau semalam. Bila contoh urin berwaktu sulit didapatkan, pemantauan
dilakukan terus dengan rasio albumin/kreatinin; PJK, penyakit jantung koroner, PSV, penyakit
serebrovaskuler, PPDP, penyakit pembuluh darah perifer

Mikroalbuminuria

Tidak
Kendalikan gula darah
Memadai ? Kendalikan gula darah

Ya
Mikroalbuminuria menetap
Terapi dengan
Periksa dan kendalikan faktor resiko
inhibitor ACE

Ya
Adakah efek samping? Hentikan, ganti dengan
Adakah kehamilan? antihipertensi lain

Tidak

Tekanan darah (TD) <130/85 mmHg ? Tidak Kendalikan TD (titrasi


(penurunan mikroalbuminuria 5- inhibitor ACE atau
30%/tahun) antihipertensi lainnya)

Ya

Ulangi pemeriksaan A/C Periksa dan kendalikan


setiap 3-6 bulan faktor risiko lain

Tujuan
1. Laju filtrasi glomerulus stabil
2. Mikroalbuminuria stabil / menurun
3. TD ≤ 120-130/80-85 mmHg

Diagram 2. Alur keputusan penatalaksanaan mikroalbuminuria (dikutip dari rekomendasi rekomendasi


Advisory Board of the National Kidney Foundation from Ad Hoc Committee of the National Kidney
Foundation)
Batu Saluran Kemih

Pendahuluan
Batu saluran kemih (BSK) masih sering terjadi baik di negara berkembang maupun di Negara
maju yang banyak menimbulkan mobiditas. BSK terjadi pada 10% laki-laki dan 5% pada wanita
selama kehidupannya. BSK menurut tempatnya dapat digolongkan menjadi batu ginjal, batu
ureter dan batu buli-buli. Batu ginjal merupakan penyebab terbanyak kelainan di saluran
kemih. Menurut komposisi batunya BSK dapat dibagi menjadi batu kalsium dan batu non
kalsium.
Faktor genetik dan faktor lingkungan berperan dalam pembentukan BSK. Lebih dari 50% pasien
dengan batu ginjal mempunyai keluarga dekat menderita batu ginjal, dimana fenotipe urinnya
terbanyak adalah hiperoksaluria. Pembentukan BSK mempunyai hubungan erat dengan
penyakit diabetes mellitus, obesitas dan sindrom metabolik. Peningkatan asupan garam, oksalat
dan protein hewani akan merubah komposisi urin sehingga memudahkan terjadinya
supersaturasi urin diikuti oleh presipitasi dan pembentukan BSK.

Patofisiologi
Patofisiologi pembenukan batu ginjal dan batu ureter agak berbeda dibandingkan dengan batu
buli-buli. Proses pembentukan batu ginjal dan batu ureter dimulai dari suatu kondisi yang
disebut supersaturasi urin, disini tingkat kejenuhan zat terlarut dalam urin seperti kalsium,
oksalat, asam urat, fosfat dan ion H+ terlewati.
Supersaturasi akan diikuti oleh nukleasi sehingga akan terbentuk inti pembentukan batu.
Nukleasi bisa homogen, bisa juga heterogen. Setelah nukleasi, terjadi proses kinetik akan
terbentuk Kristal, yang selanjutnya Kristal akan beragregasi membentuk batu.
Batu buli-buli terbentuk karena adanya stasis urin yang disertai infeksi berulang, hal ini
disebabkan karena adanya obstruksi saluran urin keluar dari buli-buli atau karena neurogenik
blader.
Klasifikasi
Batu saluran kemih dibedakan dalam 2 jenis:
1. Batu kalsium, terdiri dari kalsium oksalat atau kombinasi kalsium dan oksalat, 75-80%
BSK merupakan batu kalsium
2. Batu non kalsium, terdiri dari batu asam urat, struvit (magnesium ammonium fosfat),
sistin, dan lain-lain, 20-25% BSK merupakan batu non kalsium.

Faktor risiko
Penyebab yang pasti dari BSK pada sebagian kasus tidak teridentifikasi. Beberapa keadaan
dihubungkan dengan peningkatan risiko BSK, seperti ada riwayat keluarga mempunyai BSK,
resistensi insulin, hiperparatiroidi primer, garam, oksalat, diet rendah kalsium dan menopause.
1. Batu kalsium
Sebagian besar (80%) batu kalsium didapatkan beberapa faktor metabolik sebagai faktor
risiko. Pada 20% kasus tidak ditemukan faktor metabolik (idiopatik). Faktor-faktor metabolik
tersebut adalah hiperkalsiuria, hiperurikosuria, hiperoksaluria dan hipositraturia.
 Hiperkalsiuria
Hiperkalsiuria merupakan keadaan dimana ekskresi kalsium urin pada laki-laki lebih
besar 300mg/24jam dan pada perempuan lebih besar 250mg/24jam. Hiperkalsiuria
merupakan kelainan metabolik terbanyak pada pasien dengan batu kalsium.
 Hiperurikosuria
Asam urat merupakan produk akhir metabolisme purin yang berasal dari eksogen (diit)
atau endogen (turnover sel-sel tubuh). Disebut hiperurikosuria bila jumlah asam urat
dalam urin diatas 800mg/24jam pada laki-laki dan pada perepuan diatas 750mg/24jam.
Asam urat bertindak sebagai inti untuk kristalisasi kalsium dan oksalat. Pada pH urin
yang rendah (<5.5) merupakan faktor penting untuk terjadinya endapan asam urat.
Hiperurikosuria ditemukan pada 10% kasus batu kalsium. Batu yang murni berisi asam
urat jarang ditemukan, tapi mempunyai angka kekambuhan yang tinggi.
 Hiperoksaluria
Hiperoksaluria adalah suatu keadaan dimana jumlah oksalat yang diekskresi melalui
ginjal lebih dari 45 mg/hari. Peningkatan yang kecil ekskresi oksalat menyebabkan
perubahan yang cukup besar dan dapat memacu presipitasi kalsium oksalat dengan
derajat yang lebih besar dibandingkan kenaikan absolut ekskresi kalsium.
 Hipositraturia
Sitrat dalam urin sudah lama dikenal sebagai inhibitor kristalisasi garam kalsium. Sitrat
adalah hasil disosiasi asam sitrat yaitu suatu asam lemak yang berasal dari makanan dan
diproduksi secara endogen dalam siklus tricarboxylic acid cycle. Ekskresi sitrat pada
manusia sehat 640 mg/hari.
2. Batu Struvit
Batu struvit (magnesium ammonium fosfat), disebut juga batu urease. Adanya kelainan
anatomi, menyebabkan terjadinya stasis urin yang memudahkan terjadi ISK. Adanya infeksi
oleh bakteri yang mempunyai sifat urea splitting agent (Proteus, Klebsiella, Serratia,
Mycoplasma) akan menyebabkan urea diubah menjadi ammonium, sehingga pH urin
berubah menjadi alkali, sehingga pada batu struvit didapatkan pH urin diatas 7.2 dan
ammonium urin sangat tinggi, akibatnya mudah terjadi kristalisasi magnesium ammonium
fosfat dan karbonat apatit.
Urease tidak ditemukan pada urin steril, urease akan mengkatalisis pemecahan urin
menjadi ammonia dan CO2. Dengan terbentuknya urin yang basa, memudahkan terjadinya
presipitasi magnesium, ammonium dan fosfat sehingga terbentuklah batu struvit.
3. Batu Asam Urat
Batu asam urat adalah batu non radio opak. Prevalensi batu asam urat pada pasien arthritis
pirai sebelum mendapat pengobatan anti hiperurisemia berkisar 20%. Angka kejadian batu
asam urat berkisar 5-10% dari BSK. Lebih dari 80% batu asam urat pada pasien pirai hanya
mengandung asam urat, sisanya juga mengandung kalsium oksalat atau kalsium fosfat yang
mengelilingi inti asam urat.
Beberapa faktor risiko yang memudahkan terjadinya batu asam urat adalah keadaan
hiperurisemia, pH urin yang asam, volume urin yang sedikit.
4. Batu sistin
Batu sistin, kira-kira 1-2% dari BSK, dihubungkan dengan sistinuria, yaitu suatu kelainan
autosomal resesif.
Evaluasi dasar Batu Saluran Kemih
- Stone history
- Jumlah batu saluran kemih
- Frequency pembentukan batu
- Umur pasien saat onset
- Ukuran batu bias lewat atau masih tertinggal
- Keterlibatan ginjal (kiri, kanan atau keduanya)
- Tipe batu, bila diketahui
- Perlu intervensi bedah urologi: ESWL percutaneous nephrolithotomy (PNL),dll
- Respon terhadap prosedur operasi
- Riwayat medis
- Pemakaian obat-obatan
- Riwayat keluarga
- Jenis pekerjaan, pola hidup
- Asupan cairan, diet
- Aktivitas fisik
- Data Laboratorium
- Urinalysis
- Biakan Urin
- Analisa batu
- Kimia darah
- Sodium, potassium, chloride, bicarbonate
- Creatinine, calcium, phosphorus, uric acid
- Kadar Intact parathyroid hormone bila kadar calcium tinggi
- Evaluasi Radiologic
- KUB
- CT scab
- IVP
- Ultrasonografi

Diagnosis Batu Saluran Kemih


Karakteristik pasien batu saluran kemih adalah nyeri dan hematuri
1. Anamnesis, perlu diketahui riwayat adanya BSK pada pasien dan keluarga, tentang
pencegahan, terapi yang telah dilakukan, cara pengeluaran BSK, analisis BSK dan situasi
batunya.
2. Gambaran BSK perlu dilakukan pemeriksaan: Ultrasonografi, Pemeriksaan radiografi
yaitu Foto polos abdomen, Urogram
3. Pemriksaan biokimia
Pemeriksaan laboratorium rutin, urinalisis, pemeriksaan pH, berat jenis urin, sedimen urin
untuk menentukan hematuri, leukositoria dan kristaluria. Pemeriksaan biakan kuman penting
untuk menentukan adanya ISK. Apabila batu keluar, diperlukan pencarian faktor resiko dan
mekanisme timbulnya batu.

Terapi
Terapi simtomatis
Keadaan darurat terjadi bila batu turun dalam sistem kalik dan dapat menyebabkan kolik ginjal
atau infeksi di dalam obstruksi saluran kemih. Pasien dianjurkan untuk tirah baring. Berikan
analgetik relaksan oto atau inhibitor sintesis prostaglandin.

Pengeluaran Batu.
1. Batu dapat keluar spontan.
Bila masalah akut dapat diatasi, gambaran radiologis yang ditemukan adalah merupakan
dasar penanganan selanjutnya. Berdasarkan ukuran, bentuk dan posisi batu dapat
diperkirakan batu akan keluar secara spontan atau harus dengan tindakan. Diberikan
terapi atau pencegahan kolik, dijaga defikasi tetap baik, diberikan obat anti radang dan
diberikan diuresis, serta aktivitas fisik. Tindakan pengambilan batu dilakukan bila batu
berukuran sebesar atau melebihi 6mm, disertai pelebaran pelvis renalis yang berat,
infeksi atau obstruksi sistem kalik dan keluhan pasien terhadap nyeri dan frequensi
nyeri.
2. Pengambilan batu dapat dilakukan dengan gelombang kejut litotripsi ekstrakorporeal,
perkutaneus nefrolitomi, cara lain adalah pembedahan.
Pengobatan dan pencegahan batu kalsium oksalat
a. Menurunkan konsentrasi reaktan (kalsium dan oksalat)
b. Meningkatkan konsentrasi inhibitor pembentukan batu dengan kalium sitrat 20mEq tiap
malam hari, meningkatkan masukan cairan, mengkontrol secara berkala pembentukan
batu baru.
c. Pengaturan diet
 Meningkatkan masukan cairan
 Masukan cairan terutama pada malam hari akan meningkatkan aliran kemih dan
menurunkan konsentrasi pembentuk batu.
 Hindari asupan/minum gas (soft drinks) > 1 liter per minggu.
 Kurangi asupan protein
 Batasi asuan natrium.
 Pembatasan masukan kalsium tidak dianjurkan.

Terapi Medika mentosa


Untuk mencegah presipitasi batu baru kalsium oksalat, disesuaikan kelainan metabolik yang
ada.
a) Hiperkalsiuria idiopatik. Pembatasan masukan garam dan diberikan diuretik thiazid seperti
hidroklorotiazid 25-50 mg/hari.
b) Pemberian fosfat netral (ortofosfat), yang mengurangi ekskresi kalsium dan meningkatkan
ekskresi inhibitor kristalisasi (seperti pirofosfat).
c) Hipositraturia, diberikan kalium sitrat.
d) Hiperoksaluria enterik, diusahakan pengurangan absorpsi oksalat intestinal, diberikan
banyak masukan cairan, kalium sitrat, kalsium karbonat.
e) Batu kalsium fosfat. Seperti pada pasien dengan batu kalsium oksalat juga dapat diberikan
kalium sitrat.
Pengobatan dan pencegahan batu asam urat
Batu saluran kemih asam urat terbentuk oleh tingginya kadar asam urat dalam urin dan suasana
urin yang asam. Pengobatan batu asam urat dapat dilakukan dengan 1) Meningkatkan pH urin
dengan alkalinisasi urin dengan pemberian alakali sitrat atau sodium bikarbonat. 2)
Menurunkan ekskresi asam urat diberikan alopurinol 100 sampai 300 mg/hari. 3) Melakukan
pengenceran urin dengan target urin 2 L/hari dengan asupan cairan 2,5 L/hari.

Pengobatan dan pencegahan batu struvit


Batu struvit terbentuk pada pelvis renalis dan sistem kalik. membentuk batu staghorn. Terapi
pembedahan merupakan terapi utama
Terapi ISK pada batu struvit harus dilakukan karena batu akan terus tumbuh bila penyebab
infeksinya tidak dieradikasi.

Pengobatan dan pencegahan batu sistin


Untuk mengambil atau memecah batu sistin yang besar dapat dengan cara extracorporeal
shock wave lithotripsy (ESWL) atau dengan percutaneus lithotripsy diikuti dengan irigasi cairan
alkali untuk menghilangkan fragmen batu yang tersisa
Infeksi Saluran Kemih

Batasan
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah adanya perkembang biakan mikroorganisme pada saluran
kemih, yang ditandai dengan bakteriuria bermakna, lekosituria dan adanya manifestasi klinis.

Klasifikasi
Berdasarkan lokasi infeksi, ISK dapat dibagi:
1. ISK bawah, terdiri dari uretritis, prostatitis dan sistitis
2. ISK atas, terdiri dari ureteritis dan pielonefritis
Berdasarkan klinis, ISK dapat dibagi:
1. ISK berkomplikasi, apabila ada penyulit seperti:
- batu saluran kemih
- diabetes melitus
- penyakit ginjal kronik
- refluks vesiko-ureteral
2. ISK sederhana (tidak berkomplikasi), didapatkan pada keadaan saluran kemih dan fungsi
ginjal normal.
Berdasarkan epidemiologi, ISK dapat dibagi:
1. ISK yang didapat di masyarakat (Community acquired urinary tract infection)
2. ISK nosokomial (Catheter associated urinary tract infection)
Berdasarkan ada tidaknya gejala, ISK dapat dibagi:
1. ISK simtomatik
2. ISK asimtomatik
PENYEBAB
Mikroorganisme penyebab ISK:
Dari 722 biakan urin di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2004 didapatkan :
Mikroorganisme Persentase
Bakteri gram negatif 64%
Bakteri gram positif 24,8%
Yeast 4,8%
Tidak ada pertumbuhan 6,2%

Dari 722 biakan urin di RSUP Sanglah tahn 2004 didapatkan bakteri patogen :
Mikroorganisme Persentase
E. coli 181 (25,1%)
Enterobacter sp 150 (20,8%)
Psudomonas sp 51 (7,1%)
Klebsiella sp 46 (6,4%)
Proteus sp 17 (2,4%)
Seratia sp 16 (2,2%)
Salmonella 1 (0,1%)
Staph. aureus 78 (10,8%)
Staph. coagulase-negatif 39 (5,4%)
S viridans 22 (3%)
Strep. beta-hemolytic group A 11 (1,5%)

Patogenesis
Mikroorganisme dapat mencapai dan berkembang biak pada saluran kemih melalui tiga cara,
yaitu:
1. asending, kuman yang berasal dari kolon, terutama bakteri gram negatif
2. hematogen, berasal dari infeksi di tempat jauh, terutama bakteri gram positif
3. perkontinuitatum, berasal dari infeksi disekitar saluran kemih
Tabel 1. Faktor Risiko Infeksi Saluran Kemih
 Female sex
 Previous urinary tract infection
 Sexual intercourse
 Lack of circumcision (children and young adults)
 Vesicoureteric reflux
 Urologic instrumentation or surgery
 Urethral catheterization
 Urinary tract obstruction, including calculi, prostatic hypertrophy
 Neurogenic bladder
 Polycystic kidney disease
 Renal transplantation
 Lack of urination after intercourse
 Spermicide use
 Diaphragm use
 Pregnancy
 Lower socioeconomic group
 Diabetes
 Sickle cell trait in pregnancy
 Human immunodeficiency virus with high viral load
 Neurologic disease, eg, spinal cord injury
 Older age
 Estrogen de% ciency (loss of vaginal lactobacilli)
 Bladder prolapse

Diagnosis
Adanya gejala klinis:
Pada ISK bawah (Sistitis): disuria, stranguria, polakisuria, nyeri suprapubik
Pada ISK atas (Pielonefritis akut): demam-menggigil, nyeri lumbal bilateral/unilateral, kolik
ginjal/ureter

Laboratorium:
Urinalisis: lekosituria, hematuria, pada pielonefritis akut ditemukan cast lekosit
Hematologi (Pielonefritis akut): lekositosis
Diagnosis pasti ditegakkan bila dalam biakan urin terdapat bakteriuria bermakna.
Pemeriksaan radiologi: BNO, USG, IVP dilakukan bila dicurigai adanya kelainan penyerta seperti
obstruksi saluran kemih

Gambar 1. Manajemen Sistitis Akut


KRITERIA DIAGNOSIS PIELONEFRITIS

KRITERIA DIAGNOSTIK : PIELONEFRITIS


1. Riwayat : nyeri pinggang, demam,menggigil,
disuri
2. Fisik : demam, renal tenderness
3. Piuri dan bakteriuri
4. Tidak ada diagnosis alternatif

Gejala sedang / berat Gejala ringan


Diagnosis tidak pasti
Pasien hamil

1. Lakukan observasi 1. Pertimbangkan terapi oral


2. Biakan darah dan urin,kreatinin serum 2. Biakan urin
3. Cairan intra venus 3. TMP/SMX 160-800 mg bid atau
4. Terapi parenteral regimen oral pengganti
4. Teliti kembali 48-72 jam

ADA HASIL DALAM 72 JAM (95%) TIDAK ADA HASIL DALAM 72 JAM (5%)
1. Teliti Kembali biakan dan sensitivitas Diduga infeksi terkomplikasi atau kesalahan
2. Hentikan pengobatan oral dengan tepat dalam diagnosis :
3. Lanjutkan pengobatan selama 2 minggu 1. Pemeriksaan imaging untuk menyingkirkan :
obstruksi, supurasi, batu, nekrosis papiler
2. Evaluasi ulang untuk diagnosis lain
3. Teliti kembali biakan awal
4. Ulangi biakan
5. Jika tidak ada diagnosis alternatif, terapi
dilanjutkan

FOLLOW UP
Pada 1 dan 4 minggu paska terapi dengan biakan urin
Penyulit
1. Urosepsis
2. Batu struvit
3. Penyakit ginjal kronik
4. Hidronefrosis

Penatalaksanaan
Regimen oral pada sistitis akut sederhana
Nama obat Dosis (mg) Interval
Trimethoprimsulfamethoxazole 160/800 setiap 12 jam
Trimethoprim 100 setiap 12 jam
Nitrofurantoin
Monohydrate/macrocrystals 100 setiap 12 jam
Macrocrystals 50 setiap 6 jam
Cefpodoxime proxetil 100 setiap 12 jam
Fosfomycin 3000 Dosis tunggal
Amoxicillin-clavulanate 500/125 setiap 12 jam
Amoxicillin 500 setiap 12 jam
Fluoroquinolones
Ciprofloxacin 100-250 setiap 12 jam
Ciprofloxacin extended 500 setiap 24 jam
Levofloxacin 250 setiap 24 jam
Ofloxacin 200 setiap 12 jam
Regimen Parenteral untuk Pielonefritis Akut sederhana dan Infeksi Saluran Kemih berkomplikasi
Obat Dosis (mg) Interval
Ceftriaxone 1000-2000 Setiap 24 jam
Cefepime 1000-2000 Setiap 12 jam
Fluoroquinolones²
Ciprofloxacin 200-400 Setiap 12 jam
Levofloxacin 250-750 Setiap 24 jam
Gentamicin (± ampicillin) 3±5 mg/kg BB Setiap 24 jam
1 mg/kg BB Setiap 8 jam
Ampicillin (+ gentamicin) 1000 Setiap 6 jam
Trimethoprim- 160/800 Setiap 12 jam
sulfamethoxazole²
Aztreonam 1000 Setiap 8-12 jam
Ampicillin-sulbactam 1500 Setiap 6 jam
Ticarcillin-clavulanate 3200 Setiap 8 jam
Piperacillin-tazobactam 3375 Setiap 6-8 jam
Imipenem-cilastatin 250-500 Setiap 6-8 jam
Ertapenem 1000 Setiap 24 jam
Vancomycin§ 1000 Setiap 12 jam
Penanganan Disuri Dan Frequensi

Disuri, frekuensi

Riwayat : sekret vagina, gatal, Pemeriksaan vagina, tes pH


bau busuk, tidak darurat Vaginitis sisihkan vagina, tepi basah dan preparat
KOH untuk Trichomonas vaginals,
Candida albicans

Episode sebelumnya, lesi eksternal,


gatal, kesakitan, nyeri Herpes sisihkan Pemeriksaan pelvik, HSV PCR

Negatif

Pemeriksa mikroskop urin Tidak ada kelainan

Evaluasi ulang dalam 24 jam

Piuri (> 10 WBC/ml) Pituri tapi bukan Jika belum ditemukan, berikan
bakteriuri keyakinan dan pengobatan
simptomatis saja
Bakteriuri Riwayat

Tidak darurat, nyeri suprapubik,


hematuri, kelainan vagina; ganti
Bakteri ISK Darurat : nyeri suprapubik, pasangan seksual yang terakhir,
hematuri, abrupt onset (< 4 serangan subakut
hari sebelumnya)

Terapi 3 hari Kemungkinan penularan penyakit


Kemungkinan ISK akibat hubungan seks
(C. trachomatis, N. gonnorrhoeae)

Kultur urin

Pemeriksaan pelvik, mikroskop


(Jika nyeri pinggang dan Terapi 3 hari dan swab servik atau urin untuk
demam : Pielonefritis) Chlamydia/gonnorrhea

Jika tidak ada hasil dan


Lakukan perawatan selama
14 hari

(a) biakan : > 102 bakteri/ml (b) biakan : negatif

Berikan antimikroba selama 7 hari, Tetracycline 500 mg qid 7 hari


berdasarkan tes sensitivitas Doxycycline 100 mg bd 7 hari
Sindrom Nefrotik Dan Penyakit Glomerulus Lainnya

Pendahuluan
Penyakit glomerulus dapat disebabkan oleh berbagai penyebab yang berbeda,sebagian
mekanisme tersebut telah dikenali dengan baik akan tetapi sebagian lagi masih belum jelas
benar mekanisme jejas pada jaringan yang dapat memberikan gambaran klinis yang berbeda-
beda.
Sindrom Nefrotik ( SN ) merupakan sindrom klinis dimana penderita akan segera mencari
pertolongan dibandingkan penyakit glomerulus lain oleh karena penampilan klinis penyakit ini
mudah dikenali dan dirasakan sehingga masih berpeluang untuk diobati lebih dini.

Batasan
Glomerulonefritis merupakan istilah yang menggambarkan semua kondisi klinis yang
berhubungan dengan inflamasi pada glomerulus.
Spektrum klinis pada penyakit Glomerulus meliputi:
• Glomerulonefritis asimtomatik, yang ditandai dengan adanya kelainan urinalisis berupa
proteinuria ringan, hematuria dismorfik, atau adanya silinder eritrosit.
• Sindrom nefrotik, yang ditandai dengan proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema
anasarka, dan hiperkolesterolemia akibat gangguan pada membran basal glomerulus
(MBG).
• Sindrom nefritik, ditandai dengan adanya hematuria, oligouria, edema, hipertensi, serta
peningkatan ureum dan kreatinin darah.
• Sindrom gabungan nefrotik dan nefritik
• Penyakit ginjal kronis, yaitu gangguan struktur atau fungsi ginjal lebih dari 3 bulan.

Mekanisme Cedera Glomerulus


Saat ini, mekanisme cedera glomerulus yang telah diketahui adalah mekanisme imunologis dan
non imunologis. Pada glomerulonefritis idiopatik, belum diketahui dengan pasti apa yang
menyebabkan terjadinya inflamasi pada glomerulus. Mekanisme imunologis yang
menyebabkan glomerulonefritis adalah terjadinya penumpukan antibodi atau kompleks imun
yang diakibatkan oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi. Glomerulus sangat sensitif
dan mudah terperangkap dalam proses ini, sehingga dapat terjadi gangguan yang berat pada
organ filtrasi. Penumpukan kompleks imun yang terjadi pada lapisan subepitel atau bagian luar
dari MBG akan menghalangi dan mencederai fungsi podosit dan barier filtrasi. Akibatnya,
terjadi proteinuria masif pada sindrom nefrotik.
Berbeda dengan sindrom nefrotik, pada sindrom nefritik terjadi deposisi kompleks imun di
dalam lapisan subendotelial yang berdekatan dengan ruang vaskular. Keadaan ini akan
mengakibatkan aktivasi respon inflamasi dengan peningkatan selularitas glomerulus dan
kerusakan dinding kapiler pembuluh darah.
Pada kondisi gabungan nefrotik dan nefritik, telah terjadinya defisit barier kapiler glomerulus.
Manifestasi klinis penyakit glomerulus dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Tabel 1. Manifestasi klinis penyakit glomerulus


Asimptomatik Hematuria makroskopik Sindrom Nefrotik
Proteinuria 150 mg-3 Coklat/merah, painless Proteinuria: dewasa >3,5 g/hari,
g/hari hematuria (tidak beku): anak >40 mg/jam /m2
Hematuria >2 sel darah infeksi ikutan Hipoalbuminemia <3,5 g/dl
merah/LPB atau >10x 106 Hematuria asimptomatik ± Edema
sel/liter proteinuria diantara Hiperkolesterolemia
(sel darah merah biasanya kekambuhan Lipiduria
dismorfik)

Sindrom Nefritik Rapidly Progressive Glomerulonefritis Kronik


Glomerulonephritis (RPGN)
Oligouria Gagal ginjal dalam hitungan Hipertensi
Hematuria: red cell casts hari/minggu Insufisiensi Ginjal
Proteinuria : <3g/hari Proteinuria: <3 g/hari Proteinuria >3 g/hari
Edema Hematuria: red cell casts Shrunken smooth kidneys
Hipertensi Tekanan darah sering
awitan cepat, biasanya normal
self-limiting Kemungkinan ada
gambaran lain dari
vaskulitis
Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik (SN) adalah kumpulan gejala penyakit berupa proteinuria masif,
hipoalbuminemia,edema anasarka dan hiperlipidemia.
Definisi sindrom nefrotik pada anak dan dewasa dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. Definisi sindrom nefrotik


Dewasa Anak-anak
Relaps Proteinuria ≥3,5 g / hari setelah Albu-stix 3+ atau proteinuria >
remisi lengkap lebih dari 1 bulan 40 mg selama 3 hari dalam 1
minggu
Frekuensi relaps 2x relaps dalam 6 bulan 2x relaps dalam 6 bulan
Remisi lengkap Pengurangan proteinuria ≤ 0,20 < 4 mg/m2/jam paling sedikit
g/hari dan albumin serum > 35 3x dalam 7 hari, abumin
g/l serum > 35 g/l
Remisi sebagian Pengurangan proteinuria antara Edema (-), peningkatan
0,21 g/hari dan 3,4 g/hari ± albumin serum > 35 g/l dan
penurunan proteinuria ≥ 50% proteinuria persisten > 4
dari data awal. mg/m2/jam atau > 100
mg/m2/hari
Resisten steroid Proteinuria persisten dengan Proteinuria persisten dengan
terapi prednison 1 mg/kg/hari terapi prednison 60 mg /m 2
selama 4 bulan selama 4 minggu
Dependen steroid 2x relaps muncul selama terapi 2x relaps proteinuria dalam 14
NS terulang apabila atau dalam 14 hari selama terapi hari setelah terapi dihentikan
terapi diturunkan atau steroid lengkap atau pada saat terapi steroid
dihentikan alternate
Etiologi
1. Primer atau idiopatik : gangguan pada glomerulus yang tidak diketahui secara pasti .
Tabel 3. Gambaran penyakit glomerulus sindrom nefrotik pada orang dewasa
Penyakit Faktor yang berhubungan Tes serologi untuk
membantu Diagnosis
Minimal change disease Alergi, atopi, NSAIDs, penyakit Tidak ada
(MCD) Hodgkin’s
Focal segmental Orang Afrika-Amerika -
glomerulosclerosis (FSGS) Infeksi HIV Antibodi HIV
Heroin, pamidronate -
Membranous nephropathy Obat: emas, penicilamin, NSAIDs -
(MN) Infeksi: hepatitis B, C, malaria Antigen hepatitis B,
antibodi virus anti-
hepatitis C
Nefritis Lupus Antibody anti-DNA
Keganasan: Payudara, paru, -
saluran gastrointestinal
Membranoproliferative Faktor nefritik C4 C3 , C4 
glomerulonephritis (MPGN)
(tipe 1)
Membranoproliferative Faktor nefritik C3 C3 , C4 normal
glomerulonephritis (MPGN)
(tipe 2) (Dense deposit
disease)
Cryglobulonemic Hepatitis C Antibodi virus anti-
membranoproliferative hepatitis C, faktor
glomerulonephritis reumatoid, C3 , C4 ,
CH50 
Amyloid Mieloma Elektroforesis protein
serum, elektroforesis
Artritis reumatoid, imun urin
bronkiektasis, penyakit Crohn’s
(kondisi inflamasi kronik
lainnya), demam Mediteranian
Nefropati Diabetik Mikroangiopati diabetik lain Tidak ada

2. Sekunder bila penyebabnya diketahui misalnya :


- infeksi pasca streptokokus, HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis, malaria, skistosoma,
tuberkulosis, Morbus Hansen.
- kelainan metabolik seperti DM, Amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf, refluk vesiko-
ureter
- obat anti inflamasi non-steroid, penisilamin, preparat emas, air raksa, probenesid,
heroin
- toksin binatang misalnya sengatan lebah
- penyakit jaringan penghubung seperti Lupus Eritematosus Sistemik,artritis rematoid,
mixed connective tissue disease
- keganasan seperti limfoma malignum, mieloma multipel, karsinoma ginjal, karsinoma
payudara, kolon, adeno karsinoma paru

Patofisiologi

Underfilling Overfilling

Proteinuria Tubular primer menyebabkan


retensi sodium

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik pasma


Volume plasma
onkotik 
normal/meningkat
Starling force

Penurunan volume plasma

Vasopresin  Atrial Natriuretic Sistem renin- Vasopresin ANP  Aldosteron 


Peptide (ANP) normal / angiotensi normal
rendah diaktivasi

Aldosteron 
Retensi air
Retensi natrium

Edema

Gambar 1 .Patofisiologi edema pada Sindroma Nefrotik


Proses terjadinya edema dapat dijelaskan dengan teori underfilling dan overfilling. Pada teori
underfilling, hipoalbuminemia memegang peranan penting dalam menyebabkan sangat
turunnya tekanan osmotik plasma. Akibatnya, cairan intravaskular masuk ke jaringan
interstisial sehingga terhadu penumpukan cairan dan edema. Selain itu, juga terjadi keadaan
hipovolemia sehingga ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi air dan
natrium. Retensi air dan Natrium inilah yang menimbulkan adanya teori overfilling. Laju filtrasi
ginjal yang menurun karena penyakit ginjalnya sendiri akan menambah terjadinya retensi air
dan natrium, dan secara bersamaan menambahkan edema yang sudah terjadi.

Gejala Klinis
Pada anamnesis, dapat ditemukan riwayat sembab pada kelopak mata, wajah, perut, kemaluan
tungkai, dan akhirnya seluruh tubuh. Selain itu pasien juga dapat mengeluh buang air kecil
berbuih. Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan edema di daerah periorbital, perut, asites,
edema skrotum pada laki-laki, tungkai, hingga edema anasarka. Gambaran klinis yang dijumpai
sesuai dengan penyakit dasarnya, misalnya pada systemic lupus erythematosus (SLE),
Amiloidosis, diabetes melitus (DM), dll. Pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan
proteinuria kualitatif positif 3-4, kuantitatif >3,5g/24 jam, granular cast, hialin, oval fat bodies,
hiperkolesterolemia >300mg%, kadar albumin menurun pada elektroforesis protein plasma,
alfa 1 globulin normal, alfa 2 globulin meningkat, beta globulin normal , gamma globulin
menurun.
Proteinuria juga dapat diperhitungkan dengan cara estimasi dari pemeriksaan spot urine
dengan membandingkan rasio protein total urin dalam mg/dl terhadap kreatinin urin dalam
mg/dl. Rasio tersebut menggambarkan ekskresi protein dalam gram per hari per 1,73 m2 luas
permukaan tubuh.
Pemeriksaan radiologis sering tidak memperlihatkan gambaran spesifik. Biopsi ginjal dapat
memberikan gambaran yang lebih spesifik maupun petunjuk terapi serta bantuan penilaian
prognosis. Biopsi dibaca dengan menggunakan mikroskop cahaya, imunofluoresensi atau
mikroskop elektron. Hasil yang diperoleh antara lain berupa:
 Lesi minimal, yaitu gambaran normal dengan mikroskop cahaya, akan tetapi dengan
mikroskop elektron dijumpai adanya fusi dan atau obliterasi foot processus.
 Lesi membranosa, yaitu adanya penebalan difus dan uniform dari MBG pada
pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya. Kelainan ini kemudian
dikonfirmasi dengan menggunakan mikroskop elektron dan mikroskop
imunofluoresensi.
 Lesi glomerulosklerosis fokal segmental (FSGS), yaitu adanya lesi primer fokal pada
jukstamedular berupa sklerosis hialin segmental dan perubahan matriks mesangial, sel
busa, dan atrofi sel tubulus. Dengan mikroskop elektron tampak endapan electron-
dense di subendotel yang dengan pemeriksaan imunohistokimia akan tampak sebagai
gambaran granular IgG, komplemen C3 sebagai bukti adanya circulating immune
complex.
 Lesi membranoproliperatif, yaitu gambaran proliferasi sel mesangium yang sangat luas,
tampak MBG seperti terputus dan disertai endapan electron-dense pada daerah
subendotel.

Hubungan gambaran histopatologis dengan kondisi klinis.


Pada keadaan penyakit Glomerulus bisa saja ditemukan kelainan histopatologis yang sama atau
dapat juga mengalami perubahan gambaran hasil biopsi dikemudian hari, sehingga dengan data
klinis yang terperinci serta data laboratorium yang spesifik maka hasil histopatologis dapat
berperan mempertajam diagnosis dan meramalkan prognosis.

Penyulit
1. Malnutrisi dan reaksi inflamasi kronis dengan segala akibatnya terutama hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia akan meningkatkan resiko terjadinya gagal ginjal akut akibat hipoperfusi
dan gangguan filtrasi, menyebabkan timbulnya kerentanan terhadap infeksi, dan ditandai
dengan menurunnya masa otot sehingga keseimbangan nitrogen menjadi negatif.
2. Trombosis akibat hiperkoagulasi intrinsik maupun ekstrinsik.
3. Gangguan fungsi ginjal berupa gagal ginjal akut melalui mekanisme penurunan volume
plasma atau sepsis menyebabkan nekrosis tubulus akut dan pada jenis progresif cepat
dapat menyebabkan penyakit ginjal tahap ahir.
4. Hipertensi merupakan akibat dari retensi air dan natrium.
5. Gangguan keseimbangan kalsium berupa hipokalsemia baik dalam bentuk total maupun ion
akibat adanya hiperparatiroidisme sekunder dan biasanya belum terjadi osteomalasea
6. Osteodistrofi renal pada gangguan ginjal berat.

Penatalaksanaan
1. Diet tinggi kalori (40-50 Kal/kgBB/hari ), protein moderat (0,8 - 1 g/kgBB/hari) nilai biologis
tinggi, rendah lemak , rendah garam.
2. Diuretik :
a. Furosemid 20-240 mg/24 jam.
b. HCT 25-50 mg/24 jam
c. Spironolakton 25-100 mg/24 jam, dapat diberikan tersendiri maupun kombinasi
3. Antikoagulan Warfarin dapat diberikan pada kasus dengan trombosis, sedangkan untuk
profilaksis masih merupakan kontroversi.
4. Kortikosteroid: Prednison 60-80 mg/24 jam selama 2-4 minggu, kemudian tapering off
sampai lama pengobatan 6 bulan. Apabila menggunakan metilprednisolon, dosis awal 1
mg/kgBB/hari. Pemberian megadosis intravena pada keadaan Rapidly Progressive
Glomerulonephritis (RPGN) 250-500 mg selama 3 hari, dilanjutkan separuh dosis pada 3 hari
berikutnya. Kemudian lakukan pengurangan dosis pada hari selanjutnya dengan dosis
pemeliharaan sesuai cara pemberian oral.
Hasil memuaskan dicapai pada jenis lesi minimal. Indikasi kontra pada usia lanjut,
hipertensi, ulkus ventrikuli, dan DM. Adapun komplikasi jangka panjang berupa moon face,
acne, striae alba, katarak, osteoporosis, gangguan metabolisme karbohidrat atau diabetes
sekunder.
5. Mengurangi proteinuria dengan Captopril, 2x12,5-25 mg sebagai antiproteinuria,dapat juga
diberikan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) secara bersamaan. ARB juga dapat
menghambat pembentukan tumor growth factor (TGF)-B1 yang berperan dalam
progresivitas fibrosis ginjal.
6. Obat-obat imunosupresan diberikan apabila obat-obat di atas tidak memberikan hasil.
Dapat digunakan Siklofosfamid, Siklosporin A, Methotrexat, Mycophenolate Mofetil.
7. Penggunaan albumin secara infus hanya diberikan pada kasus yang resisten terhadap
diuretik yang disertai adanya ancaman pengumpulan cairan yang berbahaya seperti efusi
perikardium, efusi pleura yang progresif atau edema otak, cara pemberian dengan diuretik
secara drip simultan memberikan hasil yang lebih baik.
8. Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS/NSAID) atau non Cox terbukti menurunkan
proteinuria. Obat-obat golongan ini bekerja melalui perbaikan hemodinamik glomerulus
dan permeabilitas MBG. Namun, harus diawasi kemungkinan terjadinya Gangguan Ginjal
Akut, hiperkalemia, serta retensi air dan garam.
9. Statin diberikan untuk mengatasi glomerular injury karena hiperlipidemia
10. Vitamin D oral diberikan bila terjadi hipokalsemia
11. Pengobatan spesifik terhadap penyebab primernya, misalnya kendali gula darah yang baik
pada penderita diabetes, atasi penyakit infeksi yang sesuai bila terdapat infeksi.

Sindrom Nefritik
Sindrom nefritik adalah keadaan klinis yang merupakan proses inflamasi pada glomerulus yang
ditandai adanya hematuria,oligouria,hipertensi dan sedimen urine aktif berupa eritrosit
dismorfik dan atau silinder eritrosit.
Etiologi
Sindrom nefritik dapat disebabkan oleh faktor intrinsik atau bagian dari penyakit sistemik yang
ditandai dengan inflamasi intraglomerulus dan gangguan fungsi ginjal yang dapat bersifat akut,
subakut, maupun kronik serta tidak selalu berahir menjadi gagal ginjal tahap akhir.
Penyebab tersering adalah Immunoglobulin A (IgA) nefropati, lupus nefropati, glomerulonefritis
post infeksi, dapat juga merupakan bagian dari penyakit Goodpasture, poliartritis nodosa,
granulomatosa Wegener, serta dapat bermanifestasi sebagai rapidly progressive
glomerulonephritis (RPGN)
Tabel 3. Perbedaan antara Sindrom Nefrotik dan Sindrom Nefritik
Gambaran Nefrotik Nefritik
Onset Insidious Abrupt
Edema ++++ ++
Tekanan Darah Normal Meningkat
Tekanan vena jugularis Normal / rendah Meningkat
Proteinuria ++++ ++
Hematuria Ada/tidak ada +++
Cast sel darah Tidak ada Ada
Albumin serum Rendah Normal / menurun

Patogenesis
Inflamasi yang terjadi dalam berbagai derajat pada glomerulus merupakan cerminan dari
gangguan fungsi ginjal maupun manifestasi klinis yang terjadi. Terdapat dua mekanisme dasar
yaitu terkumpulnya antibodi pada struktur glomerulus dan terkumpulnya antigen pada
glomerulus yang akan mengaktifkan komplemen sehingga terjadi proses inflamasi dengan
proliferasi bagian intrinsik sel glomerulus seperti sel mesangial, endotel, epitel, dan bahkan
dapat menyebabkan obstruksi lumen kapiler glomerulus sampai terjadinya ruptur glomerulus,
berakhir dengan kerusakan struktur glomerulus yang lebih luas.
Tabel 4. Gambaran penyakit glomerular pada sindrom nefritik
Penyakit Faktor yang berhubungan Tes serologi untuk
membantu diagnosis
Minimal change disease Alergi, atopi, NSAIDs, Tidak ada
(MCD) penyakit Hodgkin’s
Poststreptococcal Faringitis, impetigo Titer ASO, antibodi
glomerulonephritis streptozyme
Penyakit postinfeksi lain
Endokarditis Kardiak murmur Biakan darah, C3 
Abses - Biakan darah, C3, C4 normal
Shunt Hydrosefalus atau 
Nefropati IgA Respirasi atas atau infeksi Biakan darah, C3 
gastrointestinal Serum IgA 
Lupus sistemik Gambaran lain dari lupus Antibodi antinuclear,
antibodi anti-double-
stranded DNA, C3 , C4 
Gambaran Klinis
Gambaran klinis berupa Hematuria, cast sel darah merah, proteinuria dalam berbagai derajat,
gangguan fungsi ginjal, oliguria, hipertensi, serta edema.

Pemeriksaan Laboratorium
1. Urinalisis: Hematuria makroskopis maupun mikroskopis, cast eritrosit, proteinuria berbagai
derajat akan tetapi umumnya kurang dari 3 gram sehari
2. Pengukuran estimasi laju filtrasi glomerulus yaitu blood urea nitrogen (BUN), serum
kreatinin.
3. Anemia dan kadang-kadang trombositopenia apabila telah menjadi CKD.

Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat membantu menemukan adanya kelainan pada ginjal.
Ginjal yang mengecil merupakan tanda kerusakan ginjal yang berlangsung lama. Foto polos
toraks dapat menggambarkan adaya edema paru pada Wegener granulomatosis.

Biopsi ginjal
Biopsi ginjal sering digunakan sebagai standar diagnosis pada kelainan glomerulus.

Penyulit
Retensi air dan garam berupa edema dan hipertensi, menurunnya fungsi ginjal dengan
konsekuensi terjadi anemia renal sehubungan dengan terganggunya fungsi eritropoietin.

Terapi
A. Atasi penyakit dasar atau penyakit sistemik yang mendasari.
1. Imunosupresif: Kortikosteroid terutama akan memberikan hasil yang baik pada
penyakit ginjal primer karena IgA nefropati. Penambahan minyak ikan 6-12 gram
sehari membantu mencegah atau memperlambat laju kerusakan ginjal.
2. Obat sitotoksik: siklofosfamid, azathioprin, mycophenolate mofetil.
3. Plasmaferesis, digunakan untuk membuang autoantibodi patologis melalui prosedur
pencucian darah dengan metode khusus.
4. Pengobatan spesifik, misalnya pada hepatitis B dengan menggunakan lamivudin,
hepatitis C dengan interferon alfa dan ribavirin.
B. Atasi komplikasi
1. Edema: batasi air dan garam selain penggunaan diuretik.
2. Proteinuria dan hipertensi: ACE-I dan atau ARB
3. Gangguan fungsi ginjal: terapi umum penyakit ginjal kronis secara konservatif dan
terapi pengganti ginjal bila sudah tahap ahir.

Prognosis
Prognosis sangat ditentukan oleh penyakit dasarnya. Pada glomerulonefritis post streptokokus
penderita dewasa 70-85 % terjadi remisi spontan, dan pada separuh kasus proteinuria >10
gram sehari akan berakhir menjadi tahap akhir gagal ginjal 7 tahun kemudian.

Rapid Progressive Glomerulo Nephritis (RPGN)

Definisi
Kerusakan glomerulus akut dan berat yang disertai penurunan fungsi ginjal dalam hitungan hari
atau minggu.

Etiologi
Merupakan penyakit primer maupun sekunder pada glomerulus.
Tabel 4.Gambaran klinis dan test spesifik untuk membantu diagnosis etiologi RPGN
Penyakit Faktor yang berhubungan Test serologi untuk
menegakkan diagnosis
Sindrom Godpasture Hemoragis Paru Antibodi membran
anti-glomerular
(antineutrophyl
cytoplasmic antibody)
Vaskulitis
Wegener’s granulomatosis Sistem pernafasan bawah dan Sitoplasmik ANCA
Poliangitis mikroskopik atas Perinuklear ANCA
Imun Pauci glomrulonephritis Multisistem Perinuklear ANCA
kresentik Ginjal
Penyakit imun komplek
Lupus eritematosus sistemik Gambaran multisistem lain Antibodi anti-nuklear,
dari lupus antibodi anti-double
stranded DNA, C3,
Glomerulonephritis Faringitis, impetigo C4
poststreptokokal Titer ASO, antibodi
streptozyme, C3, C4
Karakteristik RAS±nyeri normal
IgA Nefropati/Henoch Schonlein abdomen pada HSP Serum IgA  (30%), C3
Purpura dan C4 normal
Endokarditis Murmur jantung, Gambaran Biakan darah, ANCA,
bakteremi sistemik C3, C4 normal

Patogenesis
Lesi glomerular yang terjadi merupakan gambaran kelainan primer penyakit glomerulus yang
bersifat jejas akut, dengan progresifitas menjadi gagal ginjal dalam waktu singkat

Gambaran Klinis
Pasien biasanya datang dengan kegawatan uremik yang cepat menjadi gagal ginjal dan sulit
untuk sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Pemeriksaan laboratorium
Lebih sesuai dengan etiologi RPGN (lihat tabel 4)
Terapi
Belum ada terapi yang spesifik untuk RPGN. Pasien diberi antibiotik apabila terdapat penyebab
dasar infeksi. Terapi suportif berupa pengaturan tekanan darah serta pengobatan terhadap
proteinuria, edema dan konsekuensi lain dari sindrom metabolik. Terapi suportif biasanya tidak
diperlukan pada minimal changes disease karena sifatnya remisi cepat dengan pengobatan
steroid.
Pengobatan imunosupresif diberikan untuk menghambat efek sistemik dan lokal biasa
digunakan siklosfosfamid, siklosporin A, azatioprin, takrolimus, mychophenolate mofetil,
rapamicin, dan rituximab.

Prognosis
Sebagian besar menjadi tahap ahir gagal ginjal oleh karena sering datang dalam keadaan
terlambat.

Kelainan urin asimptomatik


Definisi
Kelainan urin asimptomatik biasanya merupakan awal adanya penyakit glomerular. Kelainan ini
sering ditemukan secara kebetulan pada skrining tes kesehatan umum atau pada skrining
populasi yang berisiko tinggi seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler atau
riwayat penyakit ginjal pada keluarga. Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk
menyatakan kelainan urin ini. Hematuria mikroskopik yaitu adanya lebih dari 2 sel darah merah
pada sedimen urin/LPB. Ekskresi protein urin dikatakan normal bila kurang dari 150 mg/24 jam.
Disebut mikroalbuminuria bila eksresi albumin 30-300 mg/hari atau ekuivalen dengan rasio
albumin kreatinin 0,03-0,3. Proteinuria non nefrotik adalah ekskresi protein < 3,5g/24 jam atau
rasio protein kreatinin urin<3. Proteinuria asimptomatik dengan hematuria yang terjadi
bersamaan merupakan tanda-tanda disfungsi ginjal progresif atau peningkatan risiko jejas
glomerulus atau hipertensi yang tidak terkendali.
Etiologi
Hematuria mikroskopik biasa pada penyakit glomerular IgA Nefropati dan pada thin basement
membran nephropathy. Hematuria glomerular merupakan hasil pemecahan fraksional dari
glomerular basement membran yang mengikuti ekstravasasi sel darah urin pada urin dan pada
penyakit yang merusak mesangium disebut mesangiolisis.

Pendekatan klinis
Evaluasi hematuria mikroskopik dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis, kultur urin,
dan pencitraan (imaging) ginjal. Pencitraan diperlukan untuk menyingkirkan kelainan anatomis
lain seperti ginjal polikistik, batu, tumor, maupun kelainan arteriovenous. Sistoskopi dilakukan
untuk mengevaluasi adanya keganasan uroepitelial terutama pada usia dekade 4 ke atas.
Biopsi ginjal diperlukan apabila terdapat tanda-tanda penurunan laju filtrasi glomerulus.
DAFTAR PUSTAKA

Acute Kidney Injury


Yaqub, M. S., Molitoris, B. 2009. Acute Kidney Injury. In: Lerma, E.V., Berns, J.S., Nissenson, A.R.
editors. Curent Diagnosis and Treatment Nephrology and Hypertension. McGraw Hill; USA: p.
89-98.
Jefferson, J.A., Thurman, J.M., Schrier, R.W. 2010. Pathopisiology and Etiology of Acute Kidney
Injury. In: Floege, J., Johnson, R.J., Feehally, J. Editors. Comprehensive Clinical Nephrology. 4th
edition. Elseiver Saunders; USA: p. 797-841.
Yaqub, M.S., Molitoris, M. 2009. Acute Kidney Injury. In: Lerma, E.V., Berns, J.S., Nissenson,
A.R. editors. Curent Diagnosis and Treatment Nephrology and Hypertension. McGraw Hill; USA:
p. 89-98.
Rayner, H.C., Imai, R. 2010. Approach to Renal Replacement Therapy. In: Floege, J., Johnson,
R.J., Feehally, J. Editors. Comprehensive Clinical Nephrology. 4th edition. Elseiver Saunders;
USA: p. 1019-1030.
Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan Ginjal Akut ( acute kidney Injury) Rully MA Roesli, 2008
Bawazier LA, Definisi dan Klasifikasi Gangguan Ginjal Akut atau acute kidney injury (AKI),The
12th JNHC, 2012
Asidosis Metabolik
Szerlip HM. Metabolic Acidosis. Dalam : Greenberg A, penyunting. Primer on Kidney Disease.
Edisi ke-4. Philadelphia : National Kidney Foundation, 2005; h74-89.
Kurtz I, Kraut JA. Metabolic Acidosis. Dalam : Lerma EV, Berns JS, Nissenson AR, penyunting.
New york : Mc Graw-Hill, 2009; h45-54.
Kraut JA, Madias NE. Metabolic Acidosis : pathophysiology, diagnosis and management.
Nat.Rev.Nephrol. 2010; 6: 274-85.
Palmer BF, Alpern RJ. Metabolic acidosis. Dalam : Floege J, Johnson RJ, Feehally J, penyunting.
Comperhensive Clinical Nephrology. Edisi ke 4. St Louis Missouri : Saunders Elsevier, 2010 ; h
155-66.
Sankarapandian BP. Acid-base disorders. Dalam : Windus D, penyunting. Nephrology
Subspecialty Consult. Edisi ke-2. Washington : Lippincott Williams & Wilkins, 2008 ; h78-93.
Gangguan Keseimbangan Kalium
Schrier, Robert W. Diseases of the Kidney & Urinary Tract, 8th Ed, Philadelphia. Lippincott
Williams & Wilkins;2007.
Davison, Alex M.; Cameron, J. Stewart; Grunfeld, Jean-Pierre; Ponticelli, Claudio; Ritz, Eberhard;
Winearls, Christopher G.; Ypersele, Charles van. Oxford Textbook of Clinical Nephrology, 3th Ed.
Oxford University Press;2005.
Kelleher CL,Linas SL.The patient with hypokalemia or hyperkalemia.In:Schrier RW,editor,Manual
of nephrology 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009, p.38-48
Allon m.Disorders of potassium metabolism.In:Greenberg A,Cheung AK,Coffman TM.Falk
RJ,Jennette JC.editors.Primer on kidney disease,5th ed.Philadelphia:Sauders Elsevier;2009.p
108-17
Weiner ID,Linas SL,Wingo CS,Disorders of potassium metabolism,In;Feehally J,Floege J.johnson
RJ,editors,Comprehensive clinical nephrology.13th ed.Philadelphia:Mosby Elsevier;2007.p.111-
21
Giebisch G,Krapf R,Wagner C.Renal and extrarenal regulation of patassium kidney international
2007;72:397-410
CREST.Guideline for the treatment of hyperkalemia in adults,Januari 2006
Sood MM,Sood AR,Richardson R.Emergency management and commonly encountered
outpatient scenarios in patient with hyperkalemia.Mayo clin proc 2007;82(12):1553-61
Mount D. Clinical manifestations and treatment of hypokalemia. UpToDate 2010.
Lee W. Fluid and electrolyte disturbances in critically ill patients. Electrolyte Blood Press
2010;8(2);72-81.
Rose B. Causes of hypokalemia. UpToDate 2010.
Clausen T. Hormonal and pharmacological modification of plasma potassium homeostasis. Fund
Clin Pharmacol 2010;24:595-605.
Rose B. Evaluation of the patient with hypokalemia. UpToDate 2010.
Nyirenda M, Tang J, Padfield P, Seckl J. Hyperkalaemia. BMJ 2009;339b4114.
Lehnhardt A, Kemper MJ. Pathogenesis, diagnosis and management of hyperkalemia. Pediatr
Nephrol 2011;26:377-84.
Guidelines and Audit Implementation Network (GAIN). Guidelines for the treatment of
hyperkalaemia in adults.Ireland: 2008.
Chronic Ambulatory Peritoneal Dialysis
Konsensus Peritoneal Dialisis Pada Penyakit Ginjal Kronik.Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(PERNEFRI) tahun 2011.
Konsensus Dialisis Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2003.
ISPD-Guidelines/Recommendation 2006. Guideline on Targets for Solute and Fluid Removal in
Adult Patients on Chronic Peritoneal Dialysis.
Suhail Ahmad. (2009). Dose of Peritoneal Dialysis. In: Manual of Clinical Dialysis. 2nd Edition.
Springer Science-Bussiness Media, New York.
Nefritis Lupus
Below J. Lupus Nephritis dalam Floege F, Johnson RJ(Eds) Comprehensive Clinical
Nephrology (4th Ed) 2010 Elsevier Saunders, St Louis Missouri pp 276-80
Shilov EM, Krasnova TN, Ivanov AA, Tarejeva IA. Prognostic factor in lupus nephritis treated
with cyclophosphamide pulse. Nephron. 1994;66:488-9.
Kashgarian M Lupus nephritis: Lesson from path lab. Kidney Int. 1994;45:928-938.
Mills JA. Systemic lupus erythematosus. N Engl J Med. 1994;330:1971-1877.
Kinkaid-Smith P. Managing the difficult lupus nephritis patients. Proceedings of the 11th Asian
Colloquium in Nephrology. 1996:338-44.
Feutren G, Querin S, Noel LH et al. Effect of cyclosporin in severe systemic lupus
erythematosus. J Pediat. 1987;111:1063-68.
Tokuda M, Kurata N, Mizoguchi A et al. Effect of low dose cyclosporin A on systemic lupus
erythematosus disease activity. Arthritis and Rheumtism. 1994;37:551-8.
Enriquez R, Tovar JV, Amoros F, Cabezuelo JB, & Gonzalez C. Can Ciclosporin A be used without
steroid in systemic lupus erythematosus. Nephron. 1991;57:367-8.
Campion EW. Desperate disease and plasmaparesis. N Engl J Med. 1992;326:1425-7.
Lewis EJ, Hunsicker LG, Lan S-P, Rohde RD, & Lachin JM. A controlled trial of plasmaparesis
therapy in severe lupus nephritis. N Engl J Med. 1992;326:1373-9.
Levey AS, Lan S-P, Corwin HL et al. & The Lupus Nephritis Collaborative Study Group.
Progression and remission of renal disease in the lupus nephritis collaborative study. Ann Intern
Med. 1992;116:114-23.
Nefropati Diabetik
K/DOKI. Cnical Practice Guideline and Clinical Practice Recommendation for Diabetes and
Chronic Kidney Disease. Am J Kidney Dis 2007;49:S1-S179
Barratt J, Harris K& Topham P. Chronic kidney disease in diabetic patients dalam Chronic Kidney
Disease. Selected Material from the Oxford Desk Reference Nephrology 2009. Oxford University
Press, Bengalore India, pp84-87
Trence D, Pommer, W. Management of the Diabetic Patient with Chronic
Kidney Disease dalam Floege F, Johnson RJ(Eds) Comprehensive Comprehensive
Clinical Nephrology (4th Ed) 2010 Elsevier Saunders, St Louis Missouri pp 359-76.
Locatelli, F., Buoncristiani U., Canaud B., Kohler H., Petitclerc T., & Zucchelli P. 2005: Dialysis
dose and frequency. Nephrol Dial Transplant; 20:285-296
The European Best Practice Guideline Expert Group on Hemodialysis. European Renal;
Association Section II. 2002: Hemodialysis adequacy. Nephrol Dial Transplant;17[Suppl 7]S16-
S31.I,27
Batu Saluran Kemih
Hooton T. Urinary Tract Infection in Adults. In: Floege, J., Johnson, R.J., eehaly, J. Editors.
Comprehensive Clinical Nephrology. 4th ed. USA: Elseiver Saunders 2010; 629-640.
Weissman, S.J., Warren, J.W., Mobley, H.L.T., Donnenberg, M.S. 2007. Host-pathogen
interaction and host defanse mechanism, In: Diseases of the Kidney & Urinary Tract, editor.
Schrier. 8th ed. Wolters Kluwer 2007; 816-831.
Hesse A, Tiselius HG, Siener R, Hoppe B. Urinary Stones, Diagnosis, Treatment and Prevention of
Recurrence. Basel, Karger, 2009; 15-139.
Siener, R. Impact of dietary habits on stone incidence. Urol Res 2006; 34:131-133.
Coe Fl, Favus MJ, Asplin JR. The Kidney. 8th. Phildaelphia; Suanders Elseiver, 2008, vol 1. Pp.
1819-1866.
Rose BD, Becker MS. Uric acid and nephrolithiasis. Up to Date version 18.3. September 2010.
Monk RD, Bushinsky DA. Nephrolihiasis and Nephrocalsinosis. In: Floege, J., Johnson, R.J.,
Feehally, J. editors. Comprehensive Clinical Nephrology. 4th ed. USA: Elseiver Saunders 2010;
687-701.
Mallouf NM, Cameron MA, Moe OW et al. Low urine pH: a novel feature of the metabolic
syndrome. Clin J Am Soc Nephrol 2007; 2:883-888.
Worcester FM. Coe FL. Nephrolithiasis. In: Lerma, EV. Berns JS. Nssenson, AR. editors. Current
Diagnosis & Treatment. Nephroloy Hypertension. McGraw-Hill Lange 2009; 345-352
Wahba IM, Mah RH. Obesity and obesity-initiated metabolic syndrome: mechanistic links to
chronic kidney disease. Clin J Am Soc Nephrol 2007; 2:550-562.
Evan A, Lingeman J, Coe FL, et al. Randall’s plaque: pathogenesis and role in calcium oxalate
nephrolithiasis. Kidney Int 2006; 69:1313-1318.
Infeksi Saluran Kemih
Eisenstadt J, Washington JA. Diagnostic Microbiology for Bacteria and Yeasts causing Urinary
Tract Infections. In: Mobley HLT, Warren JW, editors. Urinary Tract Infection. Washington DC:
ASM Press 1996; 135-174.
Stamm WE. Cystitis and Urethritis. In : Schrier RW. ed. Disease of the kIdney and Urinary Tract.
7th ed. United States of America: Lipincottt Williams & Wilkins 2001; 923-965.
Stamm WE. Urinary Tract Infections and Pyelonephritis. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th .Ed.
New York: McGraw Hill 2005; 1715-1721.
Tolkoff-Rubin NE, Cotran RS, Rubin RH. Urinary Tract Infections, Pyelonephritis, and Reflux
Nephropathy. In: Brenner BM, editor. Brenner & Rector’s The Kidney. 7th.Ed. AS: WB Saunders
2004; 1513-1569.
Weissman SJ, Warren JW, Mobley HLT, Donnenberg MS. Host-pathogen interactions and host
defanse mechanism. In:Diseases of the Kidney & Urinary Tract, editor. Schrier. 8th Ed. Wolters
Kluwer 2007; 816-831.
Hooton T. Urinary Tract Infection in Adults. In: Floege, J., Johnson, R.J., Feehally, J. editors.
Comprehensive Clinical Nephrology. 4th ed. USA: Elseiver Saunders 2010; 629-640.
Singh K, Kumar S, Villareal K, Lerma EV. Urinary tract Infecton. In: Lerma, EV. Berns JS.
Nssenson, AR. Editors. Current Diagnosis & Treatment. Nephroloy Hypertension. McGraw-Hill
Lange 2009; 329-336
Sindrom Nefrotik dan Penyakit Glomerulus Lainnya
Efstathios Alexopoulos, Aikaterini et al. Induction and long –term treatment with cyclosporine
in membranous nephropathy with nephrotic syndrome , Nephrology Dialysis Transplantation
(2006) 21 : 3127-3132
Ellison H David. The edematous patient: cardiac failure,cirrhosis and Nephrotic Syndrome , in
Schrier (ed) Manual of Nephrology sixth ed Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia –
USA,(2005), pp 1-20.
Gesualdo L., Di Palma AM., Morrone LF., et al. The Italian experience of the national registry of
renal biopsies. Kidney Int 2004;66:890.
Kamil ES et al in Primary Glomerular Disease , in Lerma EV,Nissenson AR , in Nephrology
Secrets third edition , Elsevier Mosby Philadelphia (2012), pp207-234
Moorthy A.V . et al in : Glomerular Diseases , in Pathophysiology of kidney disease and
hypertension, Saunders Elsevier Inc , Phyladelphia (2009),pp 89-105
Nammalwar, BR., et al. 2005. Steroid resistant nephrotic syndrome: is sustained remission
attainable. NDT journal. 2005: 184-189.
Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik, Sudoyo Aru (ed) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2006)
, hal 558-560.
Ritz E. Pathogenesis of idiopathic nephritic syndrome. N Engl J Med 1991; 330: 61-2. Available
from: http://www.bmj.com.acced February 14, 2010.
Rivera F., Lopez-Gomez, JM., Perez-Garcia, R. et al. 2004. Clinicopathologic correlation of renal
pathology in Spain. Kidney Int 2004; 66:898.
Schnaper W., Robson AM., Kopp JB. 2007. Nephrotic Syndrome: minimal change nephropathy,
focal segmental glomerulosclerosis and collapsing glomerulopathy. In: Schrier RW, editor.
Disease of The Kidney and Urinary Tract. 8th ed. Lippincott Williams & Wilkins; Philadelphoa. P.
1585-1654.
Schrier W Robert, The Nephrotic Syndrome in Schrier (ed) Disease of the Kidney & urinary tract
eighth ed , Walters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins, Philapelphia USA (2007), pp 2206-
2213.
Simon P., Ramee MP., Boulahrouz., R., et al. Epidemiologic data of primary glomerular disease
in western France. Kidney Int 2004;66:905.
Teitelbaum, I and Kooienga L :Nephrotic Syndrome versus Nephritic Syndrome , in Glomerular
disorders in Current Diagnosis & Treatment in Lerma EV,Berns JS,Nissenson AR,Mc Graw Hill
LANGE New York Chicago San Fransisco (2009), pp211-259
REMATOLOGI
Tim Penyusun:
1. Prof. Dr.dr. Tjok. Raka Putra, SpPD-KR
2. dr. Gede Kambayana, SpPD-KR
3. dr. Pande Ketut Kurniari, SpPD
ARTRITIS GOUT

Definisi
Artritis gout adalah salah satu kelainan metabolisme asam urat ditandai dengan adanya
endapan kristal mono sodium urat (MSU) pada jaringan sendi. Artritis gout merupakan
kelompok penyakit heterogen akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau
akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraseluler.
Gout atau pirai adalah merupakan kumpulan penyakit akibat metabolisme asam urat
yang manifestasinya dapat berupa :
1. Hiperurikemia asimptomatis
2. Artritis gout
3. Topi atau penumpukan kristal urat pada jaringan
4. Nefropati asam urat
5. Batu asam urat di ginjal
Kejadian artritis gout terbanyak (90%) pada pria. Pada wanita umurnya terjadi setelah
menopause. Prevalensi gout cenderung terjadi pada usia yang lebih muda, terutama setelah
usia empatpuluhan, terbanyak pada pria.

Etiologi Dan Patofisiologi


Asam urat adalah hasil dari metabolisme purin, dua pertiga akan dikeluarkan melalui
ginjal, dan sepertiga melalui saluran cerna. Hiperurikemia adalah meningkatnya kadar asam
urat dalam darah. Hiperurikemia dapat disebabkan oleh faktor genetik atau didapat.
Tabel : Klasifikasi hiperurisemia dan Gout
Tipe Kelainan Metabolik Keturunan
1.Primer
- Kelainan molekuler yang belum
jelas (99% gout primer)
o underexcretion (80-90 %) Belum jelas Poligenik
o overproduction (10-20%) Belum jelas Poligenik
- kelainan enzim spesifik (<1%)
o ↑ aktivitas varian PRPP Overproduction AU, peningkatan PP- X-linked
sintetase ribosa-P
o Kekurangan sebagian Overproduction AU, Peningkatan X-linked
enzim HPRT biosintesis de novo karena peningkatan
jumlah PRPP (Sindrom Kelly-Seegmiller)

2.Sekunder
- Peningkatan biosintesis de novo Overproduction AU, Peningkatan X-linked
o Kekurangan seluruh biosintesis de novo (Sindrom Lesch-
enzim HPRT Nyhan)

o Kekurangan enzim Overproduction & underexcretion AU Autosomal Recessive


glukosa-6-fosfatase pada glycogen storage ds tipe I (Von
Gierke)
o Kekurangan enzim Overproduction & underexcretion AU
fruktosa-1-fosfat aldolase Autosomal Recessive

- Peningkatan degradasi ATP, Overproduction AU, pada hemolisis Bukan keturunan


peningkatan pemecahan asam kronis, polisitemia, myeloid metaplasia
nukleat
- Underexcretion AU pada ginjal Penurunan filtrasi, hambatan sekresi Autosomal dominan
tubulus dan atau perubahan resorbsi belum banyak
AU diketahui
3.Idiopatik Tidak diketahui
Tiga fase dalam terjadinya artritis gout yaitu artritis gout akut, artritis gout interkritik,
dan artritis gout kronis. Hiperurikemia asimtomatis yaitu terjadi peningkatan asam urat darah
tanpa adanya kelainan klinis.
Patofisiologi terjadi gout artritis akut mengikuti 5 fase, yaitu :
1. Presipitasi dari kristal Mono Sodium Urat (MSU)
Merupakan awal serangan akut gout artritis. Kristal MSU diselubungi oleh protein (Ig G)
yang merangsang aktivitas leukosit.
2. Reaksi dari leukosit
Presipitasi kristal merupakan faktor kemotaksis untuk reaksi mengumpulnya leukosit
pada kristal MSU.
3. Fagositosis oleh PMN
Leukosit memfagositosis kristal dan lisosom mengikat kristal MSU.
4. Pecahnya lisosom
Lisosom tidak mampu menghancurkan kristal, menimbulkan pecahnya membran
lisosom sehingga keluar enzim dan superoksid ke sitoplasma leukosit, yang
menyebabkan kerusakan sel leukosit.
5. Kerusakan dari sel leukosit
Akibat kerusakan leukosit, enzim lisosom dan zat mediator lain keluar ke jaringan sendi
sehingga terjadi keradangan akut.
Faktor pencetus untuk terjadi serangan gout artritis akut dapat terjadi akibat perubahan
kadar asam urat darah secara tiba-tiba, baik peningkatan atau penurunan, yang menyebabkan
perubahan konsentrasi kristal asam urat dalam jaringan sinovium atau tulang rawan dengan
kristal asam urat pada cairan sendi. Perubahan ini menyebabkan melarutnya kristal asam urat
ke dalam cairan sendi sehingga berlanjut menjadi serangan artritis akut.
Faktor pencetus tersebut dapat terjadi akibat : diet alkohol atau tinggi purin, trauma local,
operasi, infeksi, pengobatan yang tidak berkelanjutan atau perubahan kadar asam urat darah
yang tiba- tiba karena pemberian obat dosis tinggi, dan stres.
Skema Patogenesis gout artritis

Hiperurikemia

Penumpukan kristal monosodium urat


Faktor pencetus
di jaringan (sinovium)
- Diet purin
- Trauma lokal
- Operasi
- Infeksi, dll. Kristal lepas ke cairan
sinovium

Presipitasi Kristal MSU


(Kristal diselubungi protein)

Reaksi Leukosit

Fagositosis leukosit

Reaksi lisosom

Kerusakan leukosit

GOUT ARTRITIS AKUT


Kelainan Patologis
1. Cairan sendi
Mengandung kristal MSU berbentuk runcing, peningkatan jumlah leukosit tergantung
tingkat keradangan. Sering terlihat kristal MSU dalam leukosit yang dilihat dengan
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap dan flouresensi.
2. Tulang rawan dan jaringan sekitar sendi
Merupakan tempat penumpukan kristal MSU dengan infiltrasi seluler dan tanda keradangan
lainnya. Penumpukan kristal menyebabkan pembentukan nidus dengan besar yang
bervariasi dari yang terlihat secara mikroskopik sampai yang besar disebut topi. Topi pada
jaringan avaskuler (kartilago) tanpa adanya reaksi infiltrasi seluler. Topi biasanya terdapat
pada sinovium, tulang subkondral, bursa olekranon, tendon intrapatela, jaringan subkutan
yang sering terkena tekanan dan permukaan sendi.
3. Jaringan diluar sendi
Dapat terjadi penumpukan kristal berupa topi pada katup jantung atau pita suara dan lain-
lain walaupun jarang. Pada ginjal terjadi penumpukan kristal pada jaringan interstisial
(nefropati urat) dan nefropati asam urat, serta pada saluran kencing (batu urat).

Gejala Klinis
Gejala klinis artritis gout dapat dibagi 3 stadium :
1. Stadium Akut
Terjadi artritis akut dengan keluhan nyeri sendi akut, yang didahului adanya faktor
pencetus. Pada pemeriksaan fisik terdapat pembengkakan sendi, kemerahan, nyeri tekan,
teraba hangat pada sendi monoartikuler, terutama pada sendi metatarsofalangeal I
(podagra) sering bersama febris. Faktor pencetus serangan akut antara lain trauma lokal,
diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan operasi, obat diuretik, atau penurunan dan
peningkatan asam urat. Gejala akut ini dapat hilang sendiri dalam beberapa hari.
2. Stadium Interkritik (stadium interval)
Stadium diantara serangan akut, tanpa adanya keluhan. Pada aspirasi sendi ditemukan
kristal urat.
3. Stadium Kronis dengan pembentukan topi
Akibat hiperurikemia yang lama terjadi kelainan berupa oligo atau poliartritis, kecacatan
sendi, pembentukan topi, kelainan ginjal. Kecacatan sendi dapat terjadi karena erosi dari
tulang rawan dan tulang subkondral akibat penumpukan kristal setempat atau akibat
keradangan kronis. Akibat pembentukan topi dapat menyebabkan kerusakan tendon
sehingga menyebabkan kecacatan bentuk sendi terutama pada MTP-I, olekranon, tendon
Achilles dan jari tangan. Komplikasi dan kelainan yang sering bersama gout antara lain
kelainan parenkim ginjal (nefropati urat), batu urat, hipertensi, aterosklerosis jantung, dan
otak, diabetes mellitus, dan hiperlipidemia.

Pemeriksaan Penunjang Diagnosis


1. Laboratorium
a. Darah lengkap, terdapat peningkatan LED dan leukosit. Hitung leukosit biasanya
tidak lebih dari 15.000/mm.
b. Asam urat darah
Terjadi hiperurikemia, namun kadar asam urat tidak mrupakan diagnosis pasti
untuk artritis gout akut karena sering saat serangan akut kadarnya masih dalam
batas normal atau malah rendah.
c. Pemeriksaan lain, seperti fungsi ginjal, gula darah, atau kadar lipid darah.
d. Pemeriksaan urin rutin, terutama pemeriksaan asam urat dalam urin 24 jam dan
kreatinin urin 24 jam yang penting untuk mencari faktor penyebab kelebihan
produksi asam urat dan pemilihan pemberian obat urikosurik.
e. Pemeriksaan cairan sendi
Dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau mikroskop dengan teknik
polarisasi terlihat kristal MSU yang runcing. Terjadi peningkatan jumlah leukosit
cairan sendi. Leukosit cairan sendi biasanya antara 5000 – 50.000/mm3, dominan
neutrofil.
2. Pemeriksaan radiologis
Pada fase awal sering pemeriksaan radiologis dalam batas normal atau hanya terlihat
pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi. Pada stadium lanjut terlihat erosi dari
tulang (punched out lession). Kelainan topi dapat terlihat berupa pembengkakan
jaringan lunak yang ireguler dan sering dengan kalsifikasi.

Diagnosis
Diagnosis artritis gout ditegakkan berdasarkan kriteria “The American Rheumatism
Association, Sub Commitee on Classification Criteria for Gout” (1997), yaitu :
a. Terdapat kristal urat pada cairan sendi, dan atau
b. Terdapat kristal urat pada topi yang secara kimiawi atau secara mikroskop cahaya dengan
teknik polarisasi dan atau
c. Memenuhi paling sedikit 6 butir dari 12 kriteria dibawah ini
1. Peradangan memuncak dalam waktu sehari
2. Serangan artritis akut lebih dari satu kali
3. Artritis monoartikuler
4. Kemerahan sekitar sendi
5. Nyeri atau pembengkakan sendi metatarso-falangeal I
6. Serangan sendi metatarso-falangeal I unilateral
7. Serangan sendi tarsal unilateral
8. Dugaan adanya topi
9. Hiperurikemia
10. Foto sendi terlihat pembengkakan asimetris
11. Foto sendi terlihat kista subkortikal tanpa erosi
12. Kultur cairan sendi tanpa pertumbuhan kuman.

Diagnosis banding
Pada keadaan akut perlu didiagnosa banding dengan artritis pseudogout atau artritis
septik. Pada keadaan kronis terutama dengan topi dan mengenai sendi kecil sering dikelirukan
dengan artritis rematoid.

Prognosis
Dengan penanganan yang baik, sebagian besar pasien dapat hidup secara normal. Tanpa
penanganan akan terjadi artritis dan periartritis kronis, kelainan ginjal (nefropati urat, dan batu
asam urat) yang berakhir dengan gagal ginjal akut karena nefropati asam urat atau terus
berlanjut menjadi gagal ginjal kronis karena nefropati urat.

Penatalaksanaan
1. Terapi non medikamentosa
1.1. Pengertian bahwa artritis gout merupakan penyakit kronis progresif
1.2. Diet rendah purin
1.3. Minum air sedikitnya 2 liter per hari
2. Terapi medikamentosa
2.1 Artritis gout akut
a. Kolkisin (pilihan utama)
Penanganan saat ini dengan pemberian kolkisin mulai dengan dosis rendah untuk
mengurangi efek samping. Pemberian kolkisin dosis standar untuk artritis gout akut
secara oral 3-4 kali 0,5 – 0,6 mg per hari.
b. Kombinasi dengan OAINS
Indometasin 150 – 200mg/hari selama 2-3 hari dilanjutkan 75-100 mg/ hari sampai
minggu berikutnya atau sampai nyeri atau keradangan berkurang. Dapat juga dengan
OAINS lain.
c. Kortikosteroid
Dapat diberikan secara intraartikuler maupun secara sistemik. Pilihan yang dapat
diberikan berupa triamnisolon intrartikuler 40 mg dosis tunggal atau dengan metil
prednisolon dosis rendah per oral.
Penanganan artritis gout akut pada pasien dengan kelainan ginjal :
 Pemberian kolkisin dilakukan penyesuaian dosis sesuai dengan klirens kreatinin.
Makin rendah klirens kreatinin, dosis kolkisin makin rendah karena kolkisin sebagian
besar diekskresikan lewat urin.
 Hati-hati dalam pemberian NSAID, tetapi dapat diberikan dalam jangka waktu
singkat.
2.2 Penanganan Stadium Interkritik
Poin yang paling penting dalam penanganan stadium interkritik adalah memberikan
terapi agar kadar AU berada di level normal.
2.3 Artritis Gout Kronik
a. Kolkisin pencegahan
Oral : 0,6 mg sehari atau 2 x sehari. Mencegah serangan akut setelah pemberian alopurinol
atau obat urikosurik.
b. Obat antihiperurikemia
 Alupurinol
Menghambat enzim Xantin Oksidase yang mengubah hipoxantin menjadi xantin, dan
xantin menjadi asam urat sehingga sintesis asam urat menurun tanpa mempengaruhi
eksresi asam urat dalam urin.
 Urikosurik
Efek : meningkatkan eksresi asam urat melalui urin sehingga kadar asam urat darah
menurun. Indikasi (semuanya harus ada) :
1. Usia dibawah 60 tahun
2. Fungsi ginjal normal (kliren kreatinin lebih dari 80 ml/mnt)
3. Eksresi asam urat urin kurang dari 800 mg/hari
4. Tidak terdapat batu ginjal
Jenis urikosurik :
1. Probenesid
Dosis 250 mg 2 x sehari untuk seminggu, dosis dapat ditingkatkan 500 mg 2-3 x sehari
tergantung kadar asam urat darah.
2. Sulfinpirazon
Pilihan lain pada kasus yang intoleran terhadap probenesid. Dosis awal 50 mg 2 x sehari
untuk seminggu dosis pemeliharaan dapat sampai 100 mg 3-4 x sehari.
3. Kortikosteroid
Lokal atau intraartikuler dan aspirasi cairan sendi dapat dicoba pada penderita
dengan sinovitis kronis.
OSTEOARTRITIS

Nama lain : Osteortritis, Artrosis Deforman, Hypertropic Arthritis, Degenerative Arthritis,


Degenerative Joint Diseases.

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit akibat dari kejadian mekanik dan biokimia yaitu
ketidak seimbangan antara proses degradasi dengan sintesis kondrosit dan matriks kartilago
sendi. Kejadian ini akan menyebabkan edema, fibrilasi, ulserasi, dan hilangnya kartilago
artikular dengan sklerosis dan eburnasi dari tulang subkondral, osteofit, kista subkondral. OA
umumnya menyerang sendi penyangga berat badan seperti lutut, panggul, lumbal, tapi juga
bisa menyerang sendi lainnya.

Klasifikasi dari OA
I. Primer ( Idiopathic )
 Sendi perifer ( Pheripheral joints)
 Tulangbelakang ( Spine) : Sendi apofisial, sendi intervetebralis
 OA generalisata, OA inflamasi erosif, hiperostosis tulang difus idiopatik kondromalasia
patela
 Herediter ( mutasi gen kolagen tipe 2)
2. Sekunder
 Trauma : Akut , kronik (pekerjaan, olah raga)
 Gangguan sendi yang mendasari : lokal (fraktur, infeksi), difus (artritis reumatoid)
 Gangguan metabolik atau endokrin : Okronosis, penyakit Wilson, hemokromatosis,
penyakit Kashin-Bek, akromegali, hiperparatiroid
 Penyakit deposit kristal : pseudogout, gout
 Gangguan neurologis (Neuropathic disorder), sendi Charcot : tabes dorsalis, DM,
penggunaan yang berlebihan kortikosteroid intraartikular
 Lain-lain : Displasia tulang, Frosbite (radang dingin)
Faktor risiko
Faktor risiko yang berperan pada osteoartritis dapat dibedakan atas dua golongan besar
yaitu faktor yang pertama yaitu predisposisi umum yang meliputi umur, jenis kelamin, etnis/ras,
genetik, kegemukan, densitas tulang, hormonal, dan penyakit reumatik kronik lainnya. Faktor
yang kedua yaitu faktor mekanik antara lain meliputi trauma, bentuk sendi, penggunaan sendi
yang berlebihan oleh karena pekerjaan/aktivitas, dan kurang gerak.

Patogenesis dan patologi


Tulang rawan sendi (kartilago) terdiri dari dua komponen utama yaitu matriks
ekstraseluler yang tersusun atas kolagen (terutama kolagen tipe II, IX dan XI) serta proteoglikan
(terutama agrekan). Agrekan mempunyai komposisi protein inti dari rantai glikosaminoglikan
yang terdiri dari kondroitin sulfat dan keratin sulfat. Struktur tulang rawan ini berfungsi untuk
menahan beban kompresif berkaitan dengan fungsinya sebagai peredam tekanan dan
memudahkan pergerakan sendi. Dalam keadaan normal sintesis dan degradasi dari matriks
ekstraseluler ini berjalan dalam keadaan seimbang, namun pada osteoartritis keseimbangan ini
terganggu sehingga akhirnya membentuk matriks dengan kualitas yang tidak baik. Mekanisme
diatas saling berinteraksi yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar. Patofisiologi Osteoartritis

Mekanisme utama OA yaitu adanya gangguan biomekanik serta gangguan biokimia.


Pada mekanisme pertama faktor beban tubuh serta friksi dan kemampuan rawan sendi sebagai
bantalan mekanik yang memegang peranan utama. Mekanisme kedua adalah terjadinya
perubahan biokimiawi, yang mana hal ini mungkin dapat menjelaskan terjadinya OA pada
persendian yang bukan merupakan penopang berat badan.
Lutut sebagai sendi penyangga berat badan, menyebabkan tulang rawan pada daerah
tersebut mudah mengalami kerusakan akibat berbagai kelainan, antara lain karena trauma,
beban sendi yang abnormal, kerusakan berlebihan akibat proses usia yang menyebabkan
perubahan komposisi, struktur dan kemampuan. Kerusakan dari komponen sendi yang
menyebabkan instabilitas sendi seperti karena kelemahan ligamen atau meniscus sendi sangat
berperan pada proses terjadinya OA. Kerusakan sendi akibat overexercise atau underexercise
juga dapat menyebabkan kerusakan tulang. Pada overexercise menyebabkan pembebanan
berlebihan sedangkan pada underexercise misalnya karena imobilisasi lama dapat
menyebabkan atropi tulang rawan (cartilage disuse artrophy) yang rentan menimbulkan OA.
Patogenesis OA dibagi menjadi primer dan sekunder. Patogenesis primer yaitu adanya
gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan
kartilago yaitu ketidak seimbangan degradasi dan sintesis tulang rawan sehingga menyebabkan
terjadinya kerusakan tulang rawan dan diikuti oleh perubahan pada tulang subkondral dan
diikuti oleh pembentukan osteofit. Perubahan ini secara umum disebabkan oleh karena adanya
gabungan berbagai faktor penyebab seperti genetik, host dan lingkungan.

Peran sinovitis pada OA


Pembengkakan sendi merupakan salah satu gambaran klinis dari OA yang dikaitkan
dengan inflamasi dan menggambarkan adanya sinovitis akibat penebalan sinovium atau efusi.
Ketika pasien mengalami kekambuhan OA, biasanya terdapat efusi sendi pararel seperti yang
telihat pada artropati inflamasi klasik seperti RA. Gadolinum-enhanced Magnetic Resonance
Imaging (MRI) dan ultrasonografi merupakan alat yang valid dan reliabel untuk menunjukkan
sinovitis pada OA. Banyak studi menduga bahwa adanya sinovitis yang terlihat pada artroskopi,
MRI, atau ultrasonografi dapat merupakan penanda derajat penyakit dan dihubungkan dengan
peningkatan resiko progresifitas penyakit. Kadar high-sensitivity C-reactive protein sistemik
menggambarkan inflamasi sinovial pada pasien OA dan dihubungkan dengan tingkat nyeri.
Menariknya inflamasi sinovial seringkali terjadi pada cedera meniskal traumatik dan
dihubungkan dngan meningkatnya disfungsi dan nyeri.
Mekanisme bagaimana sinovium mengalami inflamasi pada OA masih kontroversi.
Hipotesis yang paling diterima, bahwa fragmen kartilago/tulang rawan yang terdegradasi
dilepaskan ke dalam sendi dan kemudian kontak dengan sinovium akan dianggap sebagai
benda asing. Sel sinovial akan berespon dengan menghasilkan mediator inflamasi yang
ditemukan pada cairan sinovial. Mediator ini akan mengaktifkan kondrosit yang terdapat pada
lapisan superfisial kartilago yang menyebabkan sintesis metaloproteinase dan akhirnya
meningkatkan degradasi kartilago. Mediator juga akan menginduksi angiogenesis sinovial dan
meningkatkan sintesis sitokin inflamasi dan MMPs oleh sel sinovial sendiri (lingkaran setan).

Gambar 3. Metabolisme tulang rawan pada OA dimana terdapat ketidakseimbangan antara


enzim yang menyebabkan regenerasi dan degenerasi.

Umumnya inflamasi dan angiogenesis terjadi berhubungan satu sama lainnya, dan dapat
terjadi pada sendi OA, dimana inflamasi memfasilitasi angiogenesis dan angiogenesis kemudian
meningkatkan inflamasi. Sel radang seperti makrofag tidak hanya mensekresi faktor
proangioenik tetapi juga mensekresi faktor yang menstimulasi sel lainnya seperti sel endotel
dan fibroblas untuk menghasilkan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), basic Fibroblast
Growth Factor (bFGF) dan faktor lainnya yang akan mendorong angiogenesis. Kemudian,
permeabilitas pembuluh darah dan meningkatkan regulasi molekul adesi yang merupakan
bagian dari angiogenesis akan mendukung respon inflamasi. Hal ini juga akan membantu
transpor sel inflamasi dan menyediakan nutrisi pada tempat terjadinya inflamasi.

Gejala Klinis
Keluhan biasanya terjadi setelah umur lebih dari 50 tahun. Keluhan yang biasanya
tampak adalah nyeri sendi, kaku sendi dibawah 30 menit, sendi “bersuara”, bentuk sendi
berubah, dan gangguan fungsi. Sedangkan tanda-tanda fisik didapatkan pembengkakan sendi,
krepitus, keterbatasan gerak, nyeri tekan pada sendi dan periartikular, tonjolan tulang,
pembengkakan jaringan lunak, deformitas, kelemahan otot / atrofi, kulit permukaan sendi
hangat/ efusi sendi, dan instabilitas.
Pemeriksaan fisik teraba tenderness, dapat dengan atau tanpa tanda keradangan
(adanya pembengkakan dan teraba hangat) apabila dengan sinovitis. Pembengkakan sendi
dapat akibat-akibat efusi sendi, hiperplasia sinovium atau adanya osteofit. Pembengkakan sendi
interfalangeal distal dapat berupa Herberden’s node dan interfalangeal proksimal terjadi
Bouchard’s node (OA Primer).
Pada keadaan lebih lanjut terdengar krepitasi, deformitas, atau subluksasi sendi.
Keterbatasan gerak sendi dapat disebabkan karena kerusakan permukaan sendi, kelemahan
dan kontraktur otot atau adanya osteofit atau loose bodies yang menyebabkan hambatan
mekanis sendi. Sendi yang sering diserang adalah sendi interfalang distal (DIP), interfalang
proksimal (PIP), sendi karpometakarpal, tulang belakang servikal, tulang belakang lumbosakral
sendi , pinggul, sendi lutut, metatarsofalangeal (MTP) I.

Pemeriksaan penunjang diagnosis


1. Laboratorium
1.1. Pemeriksaan darah rutin dalam batas normal
1.2. Pemeriksaan cairan sendi terlihat tipe cairan non inflamasi yaitu volume yang lebih dari
4 cc (lutut), warna xantochrome, transparan, viskositas tinggi, bekuan musin sedang
sampai baik, sering beku spontan, jumlah leukosit<3000/mm3, PMN<25%.
2. Pemeriksaan radiologis
Terlihat pembentukan osteofit (taji), penyempitan ruang sendi, eburnasi (sklerosis)
tulang subkondral dan pembentukan kiste.

Patologi OA
Kelainan patologis awal terjadi pada tulang rawan (primer) berlanjut dengan
keradangan jaringan (sinovitis sekunder). Kelainan tersebut berupa :
1. Kelainan pada tulang rawan berupa celah pada permukaan, fibrilasi, erosi fokal, atau
difus atau penipisan tulang rawan.
2. Kelainan pada tulang subkondral berupa sklerosis, pembentukan kiste, eburnasi atau
penebalan tulang, osteofit (penulangan baru pada tepi sendi).
3. Sinovitis

Osteoartritis Lutut
Diagnosis
Diagnosis OA lutut bisa ditegakkan secara klinis dengan memakai kriteria OA yang dibuat
oleh Subcommitee American College of Rheumatology (ACR). Untuk OA lutut berdasarkan
kriteria ACR yang berdasarkan klinis (tanpa rontgen) yaitu adanya ;
1. Nyeri lutut
2. Memenuhi tiga dari enam hal berikut :
a. Umur > 50 tahun
b. Kaku sendi < 30 menit
c. Krepitus
d. Nyeri tulang
e. Pembengkakan tulang (bone enlargement)
f. Tidak teraba hangat pada perabaan
Secara klinis dan radiologis (bila hasil rontgen sudah ada) diagnosis OA lutut dapat ditegakan
apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Nyeri lutut
2. Paling tidak memenuhi satu dari tiga hal berikut :
- Umur lebih dari 50 tahun
- Kaku sendi kurang dari 30 menit
- Krepitasi
3. Gambaran Osteofit pada pemeriksaan radiologi
Secara klinis dan laboratoris, ACR membuat kriteria diagnosis OA lutut apabila :
1. Nyeri sendi lutut
2. Memenuhi paling tidak 5 dari 9 kriteria berikut :
a. Umur lebih dari 50 tahun
b. Kaku sendi kurang dari 30 menit
c. Krepitasi
d. Nyeri tekan pada tulang (bony tenderness)
e. Pembengkakan tulang (bony enlargement)
f. Tidak teraba hangat pada sendi
g. Rematoid factor (RF) < 1 : 40
h. Analisis cairan synovial (SF) menunjukan gambaran OA (Jernih, viscous,
atau hitung sel darah putih < 2000/mm3
Tingkat keparahan OA lutut berdasarkan pemeriksaan radiologis dapat dibagi dalam 5 tingkatan
berdasarkan kriteria radiologis menurut Kellgren dan Lawrence (J.H. Kellgren and Lawrence,
1957) yaitu ;
- Derajat 0 : Radiologi normal
- Derajat 1 : Penyempitan celah sendi meragukan dan kemungkinan adanya osteofit
- Derajat 2 : Osteofit dan penyempitan celah sendi yang jelas
- Derajat 3 : Osteofit moderat dan multipel, penyempitan celah sendi, sklerosis moderat
dan kemungkinan deformitas kontour tulang
- Derajat 4 : Osteofit yang besar, Penyempitan celah sendi yang nyata, sklerosis yang berat
dan deformitas kontur tulang yang nyata

Osteoartritis Pinggul
Kriteria diagnosis OA pinggul (American College of Rheumatology ) :
Nyeri pinggul dengan ditambah sekurangnya dua dibawah ini
 LED < 20 mm/jam
 Radiologi femoral atau asetabular terdapat osteofit
 Radiologi terdapat penyempitan celah sendi
 Spondilosis

Penyulit OA
Pada dasarnya penyulit yang timbul tergantung dari sendi mana yang mengalami OA
serta kelainan, lokasi dan arah kelainan tersebut. Penyulit tersebut bisa diakibatkan berbagai
patologi antara lain efusi sinovial, osteofit dan degenerasi jaringan sendi. Kerusakan sendi pada
OA dapat mengakibatkan malalignment dan subluksasi. Penyempitan celah sendi asimetris
mengakibatkan varus atau valgus. Ankilosis jarang terjadi pada OA, dapat mengenai sendi
sakro-iliaka dan simfisis. Fragmentasi permukaan sendi yang terjadi berupa debris pada kavum
sinovial atau badan osteokondral yang tetap melekat pada permukaan sendi asalnya. Pada
sendi lutut, efusi sinovial dapat menyebabkan timbulnya kista Baker pada fossa poplitea.

Penatalaksanaan
Tujuan penanganan OA adalah untuk meredakan nyeri, mengoptimalkan fungsi sendi,
menghambat progresivitas penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, mengurangi
ketergantungan kepada orang lain dan meningkatkan kualitas hidup.

Penatalaksanaan OA meliputi :
1. Koreksi faktor penyebab
2. Edukasi penderita
3. Terapi fisik
 Istirahat sendi
 Pemanasan : Dengan kompres hangat, mandi hangat, infra red, diatermi, ultrasound,
guna mengurangi rasa nyeri dan spasme otot
 Latihan (senam rematik), memperbaiki gerakan sendi dan kekuatan otot
4. Terapi kerja, dengan memberikan pekerjaan atau kegiatan yang sesuai agar tidak
meningkatkan kecacatan sendi
5. Terapi medikamentosa
 Analgetik, dapat diberikan analgetik sederhana seperti parasetamol, 500 - 650 mg per
oral 3-4x sehari. OAINS dapat diberikan baik yang COX2 selektif ataupun non selektif
 Kortikosteroid, tidak dianjurkan memakai kortikosteroid sistemik. Apabila perlu dapat
diberikan kortikosteroid intra-artikuler dengan indikasi bila terdapat satu atau beberapa
sendi perifer saja yang mengalami inflamasi atau inflamasinya lebih berat dibandingkan
sendi lain yang terkena.
 Diseases modifying OA drugs ( DMOADs) atau chondroprotective agent adalah obat
obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan tulang rawan sendi pada
pasien OA. Sampai saat ini DMOADs masih kontroversi. Beberapa obat saat ini
diperdebatkan sebagai DMOADs seperti :
 Glukosamin sulfat
 Kondroitin sulfat
 Asam hialoronat
 Anti IL-1 (diaserin)
6. Operasi, indikasi :
1. Menghilangkan nyeri atau kecacatan setelah gagal dengan terapi konservatif.
2. Memperbaiki gangguan mekanis sendi yang dapat menyebabkan OA.
Jenis operasi yang dilakukan adalah Arthoscopic debridement , joint lavage, osteotomi,
artroplasti sendi total.
ARTRITIS REMATOID

Definisi
Artritis Rematoid (AR) merupakan kelainan kronik progresif dengan kelainan primer
berupa keradangan sendi perifer (sinovitis) dan bersifat simetris yang penyebabnya belum
diketahui. Kerusakan pada sendi akibat kerusakan jaringan sendi dan erosi dari tulang dan
dalam beberapa kasus dapat disertai kelainan ekstra artikuler.

Etiologi dan Patogenesis


Penyebab pasti masih belum diketahui, merupakan penyakit autoimmun yang
dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin, keturunan dan
psikologis). Diperkirakan infeksi virus, bakteri sebagai pencetus awal artritis rematoid. Sering
faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.

Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek dan reaksi
imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal, mungkin infeksi virus. Terjadi
pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi
reaksi imun komplek (autoimun).

Gambar. Patogenesis Artritis Rematoid


Proses autoimun dalam patogenesis artritis rematoid masih belum tuntas diketahui,
dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait,
antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral peran
sitokin dan berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sama lainnya saling terkait
dan pada hasil akhir menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya
atau mungkin organ lainnya.

Proses autoimun akan menimbulkan berbagai proses lanjutan, peran imunitas seluler,
humoral, berbagai mediator keradangan, terutama sitokin dan kemudian yang berkahir dengan
keradangan organ, terutama sendi. Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat
menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai
sitokin berperan dalam proses keradangan pada artritis rematoid, TNF-α, IL-1 yang terutama
dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel
fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur
jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs).
Gambar. Proses Keradangan Sendi pada Artritis Rematoid
Proses keradangan karena proses autoimun pada AR, ditunjukkan dari pemeriksaan
laboratories dengan adanya FR dan anti-CCP dalam darah. FR adalah antibodi terhadap
komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri,
akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. FR didapatkan pada 75 sampai
80% penderita AR, yang dikatakan sebagai “seropositive”. Anti-CCP didapatkan pada hampir
dua-pertiga kasus AR dengan spesifitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat pada
stadium awal penyakit. Pada saat ini FR dan Anti-CCP merupakan sarana diagnostik penting
pada AR dan mencerminkan progresifitas penyakit.

Patofisiologi
Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskuler, edema pada jaringan di bawah
sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan pembuluh darah oleh
sel radang dan trombus.
Pada artritis rematoid yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat
sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros
terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat
perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler,
daerah trombosis dan perdarahan perivaskuler.
Pada artritis rematoid kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen,
tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang
mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya
Pannus yaitu bentukan jaringan granulasi yang mengandung jaringan fibroblas yang
berproliferasi, pembuluh darah kecil dan berjenis sel radang.

Gejala Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan. Sering
pada keadaan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat berupa
keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi.
1. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun, peningkatan
panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.
2. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut dan kaki
(sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula,
panggul, pergelangan kaki. Kelainan pada tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering
berupa kaku sendi pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
3.Kelainan diluar sendi
a) Kulit. Berupa nodul subkutan (nodul rematoid)
b) Jantung. Kelainan jantung yang simptomatis jarang didapatkan, namun 40% pada
autopsi artritis rematoid didapatkan kelainan perikard.
c) Paru. Kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif, dan kelainan pleura (efusi
pleura, nodul subpleura).
d) Saraf. Kelainan berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering terjadi
berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop.
e) Mata. Terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa kekeringan mata,
skleritis atau eriskleritis, dan skleromalase perforans.
f) Kelenjar limfe. Sindrom Felty adalah artritis rematoid dengan splenomegali,
limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan neutropeni.

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
 Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C Reactive Protein (CRP) meningkat.
 Faktor rematoid (FR).: 80%AR tes FR positif namun FR negatif tidak menyingkirkan
diagnosis.
 Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Kegunaan dan peran anti CCP untuk
diagnosis dini dan penanganan artritis rematoid terus berkembang. Spesifisitas 95-98%,
sensitivitas 70%. Anti CCP dapat digunakan untuk memprediksi pasien dini,
undifferentiated sinovitis yang sepertinya terjadi artritis rematoid. Hubungan antara anti
CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten.
3. Radiologis, dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang
sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi
sendi.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria American Rheumatism Association (ARA) yang
telah diperbaiki (1987). Kriteria tersebut adalah :

1. Kaku pagi hari 1 jam atau lebih


2. Artritis pada 3 sendi atau lebih dari 14 persendian yaitun PIP, MCP, pergelangan
tangan,, siku, lutut, pergelangan kaki, dan sendi MTP kiri dan kanan
3. Artritis pada sendi-sendi tangan
4. Artritis yang simetris
5. Nodul reumatoid
6. Faktor rematoid serum positif
7. Perubahan radiologis yang khas untuk artritis reumatoid pada sendi tangan dan
pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat
Diagnosis artritis rematoid ditegakkan apabila terdapat 4 atau lebih kriteria diatas dan
keluhan tersebut terjadi sedikitnya dalam 6 minggu. Kriteria ACR 1988 diagnosis menjadi tidak
sensitif, banyak kasus artritis rematoid stadium dini tidak bisa dideteksi dan diganosa, baru bisa
ditegakkan setelah stadium lanjut, sehingga ACR dan European League Against Rheumatism
(EULAR) menyusun kriteria baru, terutama pada kasus undiffrentieted inflammatory sinovitis
atau keradangan sendi yang belum jelas penyebabnya. Pada penderita dengan keradangan
sendi (sinovitis) pada satu sendi dan keradangan masih belum jelas penyebabnya,
dipergunakan kriteria baru yang disebut : The 2010 ACR/EULAR classification criteria for
rheumatoid arthritis.

The 2010 ACR/EULAR classification criteria for rheumatoid arthritis :


Skor
Populasi target (siapa yang harus dites) : pasien dengan :
1. Dengan 1 sendi dengan sinovitis yang didefinisikan secara klinis (bengkak)
2. Dengan sinovitis yang tidak dapat dijelaskan oleh sebab lain
Kriteria klasifikasi RA (skor 6/10 menyatakan pasien dengan RA)
A. Keterlibatan sendi :
 1 sendi besar 0
 2-10 sendi besar 1
 1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 2

 4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 3

 >10 sendi (sedikitnya 1 sendi kecil) 5

B. Serologi (sekurangnya 1 hasil tes diperlukan untuk klasifikasi)


 FR negatif dan anti CCP negatif 0

 FR positif lemah atau anti CCP positif lemah 2


 FR positif tinggi atau anti CCP positif tinggi 3
C. Reaktan fase akut (sekurangnya 1 hasil tes diperlukan untuk klasifikasi)
 CRP normal dan LED normal 0
 CRP abnormal atau LED abnormal 1
D. Durasi dari gejala
 <6 minggu
 ≥6 minggu 0
1

Jadi prinsip kriteria baru ini adalah berusaha untuk bisa menentukan diagnosa sedini
mungkin sehingga dapat memberikan penanganan sedini mungkin agar bisa mencegah
kerusakan sendi yang permanen.
Gambaran radiologi pada artritis rematoid:
1. Osteoporosis periartikular
2. Pembengkakan jaringan lunak periartikular terutama disekitar PIP dan pergelangan
tangan
3. Penyempitan ruang sendi
4. Erosi marginal
5. Kerusakan permukaan sendi progresif
6. Subluksasi dan dislokasi
7. Osteoartritis sekunder dengan kista periartikular dan pembentukan osteofit
8. Fusi sendi pada stadium lanjut

Diagnosis Banding
Banyak artritis lain yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding terutama pada
kejadian akut dan mengenai beberapa sendi. Kelainan tersebut antara lain artritis psoriatik,
osteoartritis primer, lupus eritematosus sistemik, artritis gout poliartikuler, dan lain - lain.
Prognosis
Secara umum 70% kasus akan mengalami kronis dengan remisi tidak sempurna, 10-20%
akan menjadi remisi baik, dan 10-20% juga menjadi berat dengan kecacatan sendi. Prognosis
kurang baik pada wanita, kejadian mendadak, pada pemeriksaan awal terdapat FR positif, erosi,
nodul subkutan, efusi pada banyak sendi, dan dengan keluhan umum, didiagnosis dalam
keadaan berat, serta adanya kelainan ekstra artikuler (neuropati, perikarditis, scleritis dan
vaskulitis). Indikator prognostik buruk berupa : banyak sendi yang terserang, LED dan CRP tinggi,
RF (+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi pada awal penyakit, dan sosial ekonomi rendah.

Perjalanan Klinis Atritis Rematoid


Perjalanan alamiah artritis rematoid dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu:
1. Monosiklik, ditandai satu siklus serangan kemudian diikuti dengan remisi, ditemukan
pada 20% kasus.
2. Polisiklik yang terdiri dari subtype intermiten dan kontinyu, ditemukan pada 70% kasus.
3. Progresif yang ditandai oleh keterlibatan sendi yang semakin lama semakin banyak,
ditemukan pada 10% kasus.

Penatalaksanaan
Penanganan secara terpadu oleh beberapa ahli terkait serta keluarga penderita. Tujuan
penanganan :
1. Pendidikan dan motivasi
2. Mengurangi keradangan dan proses imunologi secara sistemik pada sendi dan organ
lain
3. Mempertahankan fungsi sendi dan mencegah kecacatan sendi
4. Memperbaiki kerusakan sendi
Penatalaksanaan dengan :
1. Pendidikan terhadap penderita dan keluarga
2. Terapi fisik
 Istirahat. Istirahat fisik apabila perlu “bed rest”, atau istirahat sendi, misalnya dengan
“splint”.
 Mengurangi nyeri dengan pemanasan, hidroterapi, TENS, dll.
 Regular active exercise
3. Terapi obat
 NSAID
 Kortikosteroid. Diberikan sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien
sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu. Diberikan
kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5 mg/hari.
 Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARDs). Pemberian DMARD segera
diberikan setelah artritis rematoid ditegakkan, untuk mengurangi atau mencegah
kerusakan sendi, mempertahankan integritas dan fungsi sendi, dan pada akhirnya
menurunkan total biaya pengobatan. Yang tergolong DMARD adalah hidroksiklorokuin
(HCQ), sulfasalasin (SSZ), metotreksat (MTX), garam emas (GE), D penisilamin (DP) dan
asatioprin (AZA).
Tabel. DMARD untuk terapi artritis rematoid

DMARD UNTUK TERAPI ARTRITIS REMATOID

OBAT ONSET DOSIS TOKSISITAS

Hidroksiklorokui 2-4 200 mg; 2x/hr Rash, diare, toksissitas retina


n bulan

Sulfasalasin 1-2 1000 mg; Rash, mielosupresi, intoleransi


bulan GI
2-3x/hr

Metotreksat 1-2 7,5-17,5 Gejala GI, stomatitis, rash,


bulan mg/mgg alopesia, mielosupresi,
kelainan hati dan paru

Garam emas i.m. 3-6 25-50 mg; Stomatitis,mielosupresi,


bulan proteinuri,trombositopeni,
@2-4 mgg
rash
Garam emas oral 4-6 3 mg; 1-2x/hr Sama seperti garam emas i.m.
bulan tetapi lebih jarang, diare

Asatioprin 2-3 50-150 mg/hr Mielosupresi, gangguan hati,


bulan flu-like illness, gejala GI,
peningkatan TFH

D-penisilamin 3-6 250-750 mg/hr Mielosupresi.stomatitis,


bulan dysgeusia, proteinuri, ,
kelainan autoimun, rash

Biologik DMARD
Saat ini sudah beredar Biologik DMARD (bDMARD) dengan target Anti TNF, Anti sel B
(Anti CD 20), anti IL-1. Berdasarkan rekomendasi EULAR tahun 2010 TNF inhibitor digunakan
sebagai terapi awal, setelah gagal dengan menggunakan sintetik DMARD. Perkembangan
selanjutnya pada tahun 2013 agent biologi lebih banyak pilihan, tetapi TNF inhibitor masih
menjadi pilihan dibandingkan dengan bDMARD yang lain dan anti-TNF karena lebih aman
digunakan dibandingkan dengan bDAMRD baru. Beberapa meta analisis baru menyebutkan anti
IL-6 memiliki keuntungan lebih bila dibandingkan dengan bDMARD lain. Dimana anti IL-6
memiliki respon yang baik bila dibandingkan dengan TNF inhibitor, sehingga penggunaannya
direkomendasikan sebagai terapi pertama agen biologi.
Termasuk dalam B-cell depleting agent adalah rituximab yang secara genetik
merupakan anti CD 20 monoclonal antibody yang mempunya target selektif pada CD 20 positive
B-cells. Rituximab mengikat sel B, memicu kerusakan, apoptosis dan kematian CD 20 positive
B-cells. Penggunaan rituximab telah terbukti pada beberapa penelitian menunjukkan efikasinya
pada pasien artritis rematoid dan sampai sejauh ini merupakan satu-satunya terapi biologi yang
dapat memperlambat kerusakan struktur sendi, terutama pada pasien yang gagal respon
dengan 1 atau lebih antagonis TNF-α, sehingga rituximab digunakan sebagai lini kedua pada
terapi biologi artritis rematoid.
Beberapa penelitian uji klinik besar dan dengan didukung data kohort observasi
longitudinal menghasilkan konsensus baru untuk mengoptimalkan terapi artritis rematoid,
terutama dengan munculnya agen-agen biologi. Strategi baru penatalaksanaan artritis rematoid
meliputi :

a) Penggunaan DMARDs lebih dini


b) Follow up visit yang lebih frekuen dengan monitoring hasil terapi yang sistematik
c) Eskalasi terapi yang cepat
d) Penggunaan terapi kombinasi
e) Penggunaan agen biologik pada pasien yang tidak berespon terhadap DMARDs
f) Penggunaan agen biologi lini kedua setelah penggunaan lini pertama gagal
g) Penggunaan glukokortikoid secara tepat sebagai terapi pendukung

Pada prinsipnya, semua pasien artritis rematoid harus mendapat terapi DMARD dengan
MTX sebagai lini pertama dari DMARD. Monitoring yang berkala harus dilakukan, minimal 3
bulan sekali. Monitoring disini harus meliputi penilaian kuantitatif terhadap aktivitas penyakit
berdasarkan Disease Activity Score (DAS28), yaitu penilaian bengkak dan nyeri pada 28 sendi,
penilaian pasien terhadap kesehatan umum dirinya dan nyeri dengan visual analog scale (VAS),
penilaian pemeriksa dan tes untuk reaktan fase akut. Monitoring efek samping terapi juga harus
dilakukan mengingat obat-obat yang digunakan sebfagian besar bersifat menekan sistem imun
tubuh. Bila terapi yang diberikan belum mencapai respon yang adekuat, sebaiknya terapi cepat
ditingkatkan, baik dari dosis maupun kombinasi dengan agen baru. Sebagian besar penelitian
menganjurkan untuk menggunakan terapi kombinasi dibanding monoterapi.
Penggunaan glukokortikoid dosis rendah dianjurkan sebagai kombinasi dari DMARD
karena mempunyai efek joint-protective. Permasalahan lain pada penggunaan agen biologi
adalah harga dari agen ini sangat mahal dibandingkan terapi konvensional. Hal ini perlu
dipertimbangkan dan memerlukan komunikasi yang baik antara praktisi dengan pasien, karena
pengobatan yang artritis rematoid yang tidak adekuat juga akan menambah biaya dan resiko
kecacatan.
Keberhasilan penanganan artritis rematoid, hanya mampu pada tingkat remisi tanpa
menyembuhkan penyakitnya. Kriteria remisi klinis aadalah sebagai berikut :
1. Lama keluhan kaku sendi tidak lebih dari 15 menit
2. Tanpa keluhan kelelahan
3. Tanpa keluhan nyeri sendi
4. Tanpa adanya tenderness atau nyeri gerak sendi
5. Tanpa ada pembengkakan jaringan sekitar sendi
6. LED (cara Westergren) kurang dari 30 mm pada wanita dan kurang dari 20 mm pada
jam pertama.
Pasien disebut mengalami remisi bila memenuhi 5 atau lebih kriteria diatas dan berlangsung
selama 2 bulan atau lebih secara terus-menerus.
REMATIK NON ARTIKULAR

Nama lain : Soft Tissue Rheumatism

Definisi
Rematik Non Artikuler (RNA) adalah sekelompok penyakit yang menyerang berbagai
jaringan lunak disekitar sendi yang tidak berhubungan dengan penyakit sendi atau sistemik.
Kejadian terbanyak didapatkan diantara penyakit rematik, terutama pada usia lanjut. Kedua
jenis kelamin dapat terkena dengan perbandingan pria dan wanita 1 : 2.
Klasifikasi RNA antara lain :
1. Kelainan jaringan ikat.
- Fibrositis (fibromialgia)
2. Kelainan tendon dan jaringan sekitarnya
a. Tendinitis
b. Tenosinovitis (keradangan selaput tenosinovial), misalnya Trigger Finger, Tennis Elbow,
Golfer Elbow, Carpal Tunnel syndrome, Frozen Shoulder
3. Kelainan bursa : Bursitis
4. Kelainan kapsul sendi : Kapsulitis
5. Kelainan otot :
a. Miositis
b. Mialgia
6. Kelainan fasia : Plantar Fasciitis
7. Kelainan jaringan lemak : Panikulitis

Etiologi Dan Patofisiologi


Penyebab RNA belum diketahui secara pasti. Diperkirakan beberapa faktor yang
berperan seperti trauma, beban kerja berlebihan, kelainan postur, usia lanjut dan imunologis,
gangguan metabolik (seperti kalsium atau pyrophosphate) dan infeksi. Faktor-faktor penyebab
tersebut menyebabkan keradangan lokal pada jaringan lunak sekitar sendi.
Gejala Klinis
Keluhan sering berupa nyeri atau kekakuan sendi. Pemeriksaan fisik terjadi tenderness
(kepekaan lokal), gerakan sendi terbatas pada satu sendi dan bersifat lokal. RNA juga sering
menimbulkan keluhan nyeri pinggang. Pemeriksaan laboratoris dan radiologis sering dalam
batas normal.
Diagnosis
Diagnosis RNA ditegakkan apabila ada keluhan tanpa atau dengan kelainan fisik yang
ringan dan tanpa kelainan laboratoris dan radiologis
- Fibrositis atau Fibromialgia adalah keluhan nyeri pada muskuloskletal yang bersifat non-
inflamasi yang berhubungan dengan kelelahan dan keluhan somatik yang multipel. Sering
terjadi pada wanita, (80%) adanya faktor kecemasan dan pengaruh cuaca dingin. Keluhan
berupa nyeri secara menyeluruh lebih dari 3 bulan. Pada pemeriksaan fisik terjadi tender
trigger point otot periartikuler dan sering teraba nodul. Kriteria diagnosisnya adalah nyeri
yang luas, kaku dan lelah, nyeri pada tender point, sangat sensitif pada rangsangan nyeri,
tidur malam tidak nyenyak, kepribadian perfeksionis.
- Trigger Finger adalah tenosinovitis kronis pada bagian fleksor jari tangan, sehingga
menyebabkan penyempitan selaput tendon setempat dimana kedudukan jari dalam
keadaan fleksi dan keadaan ini baru dapat diekstensikan dengan bantuan pemeriksa.
Penyebabnya adalah inflamasi oleh karena penggunaan yang berlebihan atau merupakan
bagian dari sinovitis yang meluas.
- Tenis Elbow atau epikondilitis lateralis sering terjadi pada pemain tenis. Diagnosis
ditegakkan dengan palpasi epikondilitis lateralis siku dalam posisi hampir ekstensi penuh
dengan menyuruh penderita memberikan tahanan pada tangan akan menimbulkan keluhan
sakit. Usia 20-50 tahun, lebih banyak pada laki-laki serta menyerang lengan yang dominan.
Patofisiologinya masih belum jelas diduga terjadi penekanan nervus radialis pada waktu
melewati terowongan yang terdiri dari otot dan jaringan ikat lain didaerah epikondilus
karena inflamasi dan edema. Gejalanya berupa rasa nyeri di epikondilus lateralis humeri
tanpa hambatan pergerakan sendi, kekuatan menggenggam berkurang dan terjadi
parestesia pada persarafan nervus radialis.
- Shoulder-Hand syndrome adalah suatu sindrom dengan keluhan nyeri dan pembengkakan
dari tangan yang diikuti dengan atropi otot, gangguan sirkulasi dan kontraktur (reflek
simpatik distropi). Penyebabnya belum diketahui, diperkirakan akibat kelainan transmisi
saraf (sensoris, motoris, autonomik dan medula spinalis). Sering bersama infark miokard,
trauma, spondilosis servikal, atau karsinoma bronkial).
- Frozen Shoulder Syndrome (periartritis, kapsulitis adesif) adalah suatu sindrom berupa
gerakan sendi bahu terbatas dan lengan terfiksir dalam posisi aduksi. Keluhan awal dapat
berupa nyeri pada bagian atas humeri. Terjadi inflamasi non-spesifik yang menyebabkan
perlekatan kapsul sendi dengan jaringan lunak periartikuler sendi skapulohumoral.
Penyebabnya tidak diketahui, diperkirakan faktor trauma atau kelainan patologik sendi
bahu. Beberapa penulis menghubungkan dengan penyumbatan pembuluh darah koroner,
angina pektoris, pengapuran tendon, penyakit pembuluh darah otak, sesudah operasi
tuberkulosis paru, diabetes melitus, penyakit saraf servikal, suhu dingin, immobilisasi sendi
bahu, paralisis lengan atas, hemiplegia, akibat pemberian obat seperti fenobarbital dan INH.
- Carpal Tunnel Syndrome adalah suatu sindrom yang timbul karena nervus medianus terjepit
dalam tunnel (terowongan) akibat pembengkakan tunnel tersebut atau oleh karena tumor.
Keadaan dimana terjadi penekanan ligamen karpalia transversal, adanya nodul seperti pada
rematoid artritis, gout, pseudogout, tenosinovitis, dan adanya retensi cairan seperti pada
wanita hamil dapat menyebabkan kompresi nervus medianus. Etiologi antara lain
temperamen pencemas, stres, pekerjaan, suhu, hormonal, inflamasi amiloid di tendon pada
pasien dengan hemodialisis kronis atau terjadi sekunder akibat deformitas tulang maupun
fraktur Colle’s.
- Bursitis adalah keradangan jaringan bursa. Sering mengenai bursa di sendi panggul (bursa
trokhanter, ileopsoas), lutut kaki (Baker Cyst, bursa anserin) oleh karena beban yang
berlebihan atau infeksi. Pada pemeriksaan klinis berupa nyeri tekan, pembengkakan dengan
atau tanpa kemerahan setempat. Diagnosis berdasarkan klinis dan adanya faktor penyebab
pada daerah bursa.
- Plantar fasciitis merupakan salah satu bentuk entesopati, dimana terjadi inflamasi pada
tempat insersi fasia. Sering terjadi akibat trauma, terutama pada individu yang banyak
berdiri. Gejalanya terasa nyeri pada waktu berjalan dan nyeri pada telapak kaki. Pada
pemeriksaan radiologis menunjukkan adanya spur formation.
- Polimialgia Rematika adalah sindrom dengan keluhan nyeri otot yang sering mengenai
sekitar bahu dan pelvis dan biasanya simetris. Mengenai usia diatas 55 tahun, pada kedua
jenis kelamin dan cenderung adanya pengaruh cuaca. Penyebab dan patogenesanya belum
diketahui, diperkirakan proses imunologis. Pada biopsi arteri temporalis, 30% menunjukkan
gambaran arteritis “Giant Cell”. Keluhan utama kaku sendi pagi hari, pemeriksaan laju
endap darah (LED) tinggi dan relatif baik dengan pengobatan prednison dosis rendah.

Penatalaksanaan
1. Pendidikan
Mengurangi faktor resiko seperti beban aktivitas yang berlebihan.
2. Terapi fisik
 Istirahat fisik dan mental. Kegunaannya adalah untuk mengistirahatkan sendi
sehingga mengurangi beban sendi. Istirahat dilakukan selama masa akut, 24-48 jam.
 Mengurangi nyeri dengan kompres dingin pada kasus akut dan pemanasan pada
kasus kronis. Pemanasan memberikan efek : peningkatkan aliran darah, dan
peningkatan metabolisme jaringan, meningkatkan permeabilitas membrane,
meningkatkan sensitivitas jaringan saraf, termasuk meningkatkan ambang
rangsangan nyeri, mengurangi spasme otot, meningkatkan vaskularisasi pada kulit
karena stimulasi serabut simpatis, dan meningkatkan ekstensibilitas tendon.
 Latihan ringan dan fisioterapi untuk mencegah reaksi adhesive dan kekakuan
jaringan ikat.
3. Terapi medikamentosa
 Analgetik
a. Analgetik sederhana : Parasetamol, dosis 500-650 mg, per oral 3 kali sehari
b. OAINS misalnya Na diklofenak, piroksikam, ibuprofen
c. Analgetik yang bekerja sentral misalnya tramadol, kodein
 Obat relaksasi otot. Diazepam 3 x 2 mg atau Eperison 3 x 50 mg
 Obat penenang atau antidepresan. Diazepam atau Amitriptilin
 Kortikosteroid injeksi lokal
Indikasi pada RNA seperti trigger finger, bursitis, carpal tunnel syndrome, dan lain
lain, bila pemberian medikamentosa kurang memberikan hasil yang memuaskan,
hati-hati pada penggunaan jangka panjang. Kontra indikasi bila terdapat kelainan
tendon achiles. Jenis steroid yang digunakan adalah metilprednisolon atau
triamsinolon asetonid dan dapat dicampur dengan anastetikum lokal.
4. Lain-lain
 Aspirasi cairan sendi pada bursitis.
 Operasi misalnya pada bursitis, tendenitis kronis yang tidak membaik dengan
penanganan konservatif dan sindrom tunnel carpal dan tarsal yang memerlukan
operasi dekompresi, sebaiknya dirujuk ke ahli bedah ortopedi.
NYERI PINGGANG (LOW BACK PAIN)

Definisi
Nyeri pinggang merupakan bagian dari rematik non artikular (RNA) dan menjadi
masalah sosial karena membutuhkan biaya yang banyak dan kehilangan jam kerja. Kejadian
sekitar 3% di masyarakat tetapi dapat mengenai >80% masyarakat. Nyeri pinggang akut dapat
membaik secara spontan, tetapi > 10% berlanjut menjadi kronis. Sebagian besar penderita
dengan nyeri pinggang akut dan kronis adalah nyeri pinggang”idiopathic”. Pada penderita nyeri
pinggang akut yang pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan neurologi yang
bermakna, tidak membutuhkan tes diagnostik yang lain dan akan berespon dengan
penanganan konservatif.”Red flags” untuk kemungkinan adanya nyeri pinggang yang serius.
Kriteria red flags adalah sebagai berikut:
1) Usia ≥ 50 tahun
2) Keluhan tidak membaik setelah 1 bulan terapi
3) Adanya riwayat keganasan
4) Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 4,5 kg dalam 6
bulan)
5) Keluhan tidak membaik dengan bed rest atau recumbency
6) Nyeri memberat saat malam hari
7) Awitan gejala tidak jelas
8) Ada gejala sistemik
9) Nyeri yang konstan, progresif, dan non mekanik
10) Perubahan sensorik (perubahan sensasi dari badan ke bawah)
11) Anemia
12) Demam
13) Nyeri dada
14) Peningkatan laju endap darah, C-Reactive Protein

Klasifikasi :
- Akut – kronik
- Traumatik – Non traumatik
- Primer – Sekunder
- Spesifik – Non Spesifik

Etiopatogenesis :
- Vertebral body (fraktur, osteoporosis, metastatic disease, sickle cell disease, dan infeksi)
- Diskus intervertebral (herniasi dan infeksi)
- Sendi (osteoartritis dan ankilosis spondilitis)
o Sendi apopfisis
o Sendi sakroiliak
- Ligamentum (strain dan rupture)
o Lig. longitudinal anterior dan posterior
o Lig. supraspinosus dan interspinosus
o Lig. iliolumbar
o Lig. apofisis
- Serabut saraf (hernia nucleus pulposus dan stenosis spinal)
- Muskulus paraspinalis (strain dan spasme)
- Nyeri yang berasal dari struktur yang jauh
o Ginjal (pielonefritis dan perinephric abscess)
o Struktur pelvis (Pelvic Inflammatory Disease, kehamilan ektopik, endometriosis,
penyakit prostat)
o Vaskular (aneurisma aorta dan trombosis mesenterika)
o Intestinal (divertikulitis)
- Pain amplification syndrome

Manifestasi Klinis
- Riwayat klinis : demam, menggigil, penurunan berat badan, batuk kronis, perubahan
BAB, night pain, kaku pada bagian tubuh yang lain pada pagi hari, fatigue, gangguan
tidur, morning stiffness atau nyeri tulang belakang pagi hari yang membaik dengan
aktivitas.
- Nyeri
- Onset, lokasi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
- Keluhan-keluhan neurologi
- Kelemahan, mati rasa, parestesi
- Bowel/bladder dysfunction
- LBP yang disertai panas dan keluhan neurologi
Nyeri Pinggang Akut : keluhan kurang dari 3 bulan, sering berupa single structure disorder,
sering sembuh spontan dalam beberapa hari, sembuh spontan terjadi pada 85% kasus.
Nyeri pinggang kronik : keluhan lebih dari 3 bulan, diagnosis banding seperti yang dijelaskan
pada etiopatogenesis. Penanganannya sangat kompleks dan berdasarkan pada penyakit yang
mendasarinya.

Pemeriksaan Nyeri Pinggang


1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
 Inspeksi : Pada posisi berdiri evaluasi cara jalan, berdiri dan postur,
kemampuan fleksi, hiperekstensi, rotasi dan kemiringan tulang belakang
 Palpasi : Pada posisi pronasi palpasi struktur vertebra
 Pergerakan : Pada posisi supinasi Straight leg raising (SLR) dan crossed SLR, evaluasi
pergerakan panggul dan lutut
 Pemeriksaan organ lain
 Pemeriksaan neurologi
3. Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi
Pemeriksaan laboratorium harus disesuaikan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
usia penderita dan lamanya keluhan. LED, C-RP mencerminkan reaktan fase akut dan biasanya
meningkat pada infeksi, penyakit sendi inflamasi dan metastase keganasan. Kadar kalsium,
fosfor dan alkali fosfatase yang mencerminkan penyakit tulang metabolik.
Imunnoelectrophoresis urin dan serum harus dilakukan jika dicurigai suatu multipel mieloma.
Pemeriksaan Imaging yang dilakukan : foto Rontgen polos, bone scintigraphy, MRI, CT-scan,
mielografi dan diskografi.
Penanganan Nyeri Pinggang
Prinsip penanganan nyeri pinggang harus rasional dan cost –effective.
1. Singkirkan penyakit serius
2. Hilangkan faktor pencetus
3. Edukasi
Perbaiki kebiasaan sehari-hari
- Perbaiki posture tubuh
- Berat badan ideal
- Kegiatan fisik sehari-hari
4. Bed rest. Tidur di lantai dengan kaki di kursi (90/90 position) atau resting position dalam
waktu singkat tak lebih dari 2 hari, segera dilanjutkan latihan dan manipulasi
5. Simptomatis: analgetik, muscle relaxant, OAINS, local point corticosteroid
6. Fisioterapi dan latihan
7. Pembedahan

Gambar. Skema Penatalaksanaan Nyeri Pinggang


Prognosis
Pada follow up jangka panjang, sebagian besar pasien nyeri pinggang tanpa ada penyakit
serius yang mendasari atau spinal stenosis yang bermakna akan membaik dengan istirahat,
program latihan konservatif, latihan fleksi dan ekstensi dan aerobik yang bertahap serta
mengurangi berat badan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan prognosis yang buruk seperti
keganasan, fraktur, spinal stenosis, dan lain-lain. Pasien-pasien nyeri pinggang yang tidak
terkoreksi lebih dari 3-6 bulan beberapa diantaranya memerlukan tindakan pembedahan,
tetapi komplikasi yang serius dapat terjadi pada saat maupun setelah tindakan operasi.
DEMAM REMATIK AKUT

Definisi
Demam rematik adalah penyakit multisistem diakibatkan oleh respon autoimun
terhadap infeksi Streptokokus beta hemolitikus Grup A. Gejala yang sering muncul berupa
peradangan pada sendi yang bersifat migratory. Proses rematik ini merupakan reaksi
peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem
saraf pusat. Dikatakan bahwa DR dapat ditemukan diseluruh dunia, dan mengenai semua umur,
tetapi 90 % dari serangan terdapat pada umur 5-15 tahun, sedangkan yang terjadi dibawah
umur 5 tahun adalah jarang sekali.

Patogenesis
Meskipun sampai sekarang ada hal yang belum jelas, tetapi pada penelitian
mendapatkan Penyakit Jantung Rematik (PJR) terjadi akibat sensitisasi dari antigen
Streptokokus sesudah 1-4 minggu infeksi Streptokokus di faring. Terjadinya demam rematik
kemungkinan disebabkan karena reaksi silang antibodi. Reaksi silang ini termasuk reaksi
hipersensitivitas type II yang dikenal dengan molecular mimicry. Umumnya, sel B reaktif masih
bersifat anergik pada daerah perifer tanpa kostimulasi sel T. Pada saat terinfeksi Streptokokus,
Antigen Presenting Cells yang mature seperti sel B terdapat pada antigen bakteri terhadap sel
T-CD4 yang kemudian menjadi sel helper T2. Sel helper T2 selanjutnya mengaktifkan sel B
menjadi sel plasma dan merangsang produksi antibodi terhadap dinding sel Streptokokus. Akan
tetapi antibodi ini juga bereaksi terhadap miokardium dan sendi, sehingga menyebabkan gejala
demam rematik. SGA piogen terbentuk dari percabangan polimer yang terdiri dari protein M
yang sangat antigenik. Adanya reaksi silang antibodi yang terbentuk melawan protein M pada
otot jantung. Otot polos jantung merangsang pelepasan sitokin dan kerusakan jaringan. Akan
tetapi, reaksi silang hanya terjadi pada perivascular connective tissue. Inflamasi terjadi secara
langsung antara komplemen dengan reseptor Fc. Terbentuknya Badan Aschoff merupakan
bentukan pembesaran eosinofil kolagen yang dikelilingi oleh limfosit dan makrofag. Badan
Aschoff umumnya terdapat pada septum fibrosa intervaskular di jaringan ikat perivaskular dan
di daerah subendotelial.
Manifestasi Klinik
Kriteria Jones yang pertama kali dipublikasikan tahun 1944 oleh T. Duckett Jones, MD
telah mengalami revisi beberapa kali oleh American Heart Association bekerja sama dengan
grup lain. Berdasarkan Kriteria Jones yang telah mengalami revisi, diagnosis demam rematik
dapat ditegakkan apabila terdapat 2 gejala mayor, atau 1 mayor plus 2 minor dengan bukti
adanya infeksi streptokokus.

Tabel. Gejala mayor demam rematik akut


Gejala Poin untuk Diagnosis
Mayor
Artritis  Pembengkakan pada sendi pada kondisi ditemukan 2 atau lebih
manifestasi: keterbatasan aktifitas, rasa hangat pada sendi dan/atau
nyeri sendi. demam rematik akut adalah sangat nyeri.
 Sendi yang terkena khususnya sendi yang besar seperti lutut dan
pergelangan kaki.
 Polyartitis biasanya asimetris dan berpindah-pindah ( satu sendi
mengalami inflamasi dan yang lain berkurang nyerinya ) tetapi dapat
bertambah ( banyak sendi mengalami inflamasi secara progresif tanpa
peringatan sebelumnya ).
 Diagnosis artritis pada panggul ( hip ) ditegakkan dengan riwayat nyeri
tidak termasuk sendi penyangga berat badan dan/atau keterbatasan
gerakan pada pemeriksaan.
Karditis  Valvulitis biasanya terdapat pada pemeriksaan fisik ditemukan murmur
holosistolik di apeks dengan atau tanpa murmur mid-diastolik ( Carey-
Coombs murmur ) atau pada awal murmur diastolik pada basal jantung
(regurgitasi aorta ).
 Pada awalnya menjadi regurgitasi pada katup jantung, dimana infeksi
yang berlangsung lama dan sering kambuh akan menjadi lesi stenotik.
 Jika Perikarditis terjadi, akan ditemukan friction rub yang dapat
mengaburkan pemerikasan murmur pada katup jantung.
Khorea  Suatu keadaan gerakan tidak terkoordinasi, khususnya pada tangan, kaki
Sydenham , lidah dan wajah. Gerakan ini akan menghilang pada saat tidur. Bila
terjadi hanya pada satu sisi saja disebut hemikhorea
 Tanda ini termasuk :
o The Milkmaid grip ( irama berkurang bila pasien menggenggam
jari tangan pemeriksa )
o Spooning ( fleksi telapak tangan dan ekstensi jari tangan ketika
tangan di ekstensikan )
o Pronator sign ( bergerak keluar dari telapak tangan dan lengan
ketika memegang diatas kepala )
o Ketidakmampuan menahan lidah yang dikeluarkan
Nodul  Diameter 0,5-2 cm, bulat, batas tegas, imobilisasi, tidak nyeri, sering
Subkutan terdapat pada siku, telapak tangan, lutut, pergelangan kaki, tendon
achilles dan spinal posterior processus vertebralis.
 Sering timbul pada 1-2 minggu setelah onset gejala lain, bertahan 1-2
minggu ( jarang lebih dari 1 bulan ).
Eritema  Makula merah muda atau papula yang pucat bila ditekan dan menyebar
Marginatum pada ektremitas proksimal ( hampir tidak pernah pada wajah ). Rash ini
lebih terlihat setelah pasien mandi.
 Tidak gatal atau nyeri dan tidak berespon dengan obat antinflamasi.

Tabel . Gejala Minor demam rematik akut


Gejala Minor Poin untuk Diagnosis
Artralgia  Curiga demam rematik akut jika artralgia terjadi pada saat ditemukan
juga poliartritis (berpindah-pindah, asimetris dan mengenai sendi yang
besar)
Panas Badan  Hampir semua gejala demam rematik akut disertai dengan panas badan
Peningkatan  LED pada demam rematik akut > 80 mm/jam, tetap meningkat > 4
reaktan fase minggu, dan menetap selama 3-6 bulan
akut  Konsentrasi serum CRP meningkat lebih cepat dibandingkan LED dan
turun lebih cepat dengan adanya perbaikan gejala.
Interval PR yang  EKG sebaiknya dikerjakan pada semua kasus yang dicurigai demam
memanjang rematik akut (Level IV, Grade C )
 Interval PR memanjang diperlukan penyesuaian umur :
o Umur 3-12 tahun : 0,16 detik
o Umut 12-16 tahun : 0,18 detik
o Umur 17 tahun keatas : 0,20 detik.

Diagnosis
Diagnosis demam rematik akut ditegakkan dengan kriteria WHO berdasarkan kriteria
Jones yang direvisi berikut :
Kriteria Diagnosis Kriteria

Episode primer dari demam rematik Dua manifestasi mayor, atau satu dan dua
minor ditambah dengan bukti adanya infeksi
streptokokus grup A.

Serangan berulang dari demam rematik pada Dua manifestasi mayor atau satu mayor dan
pasien tanpa penyakit jantung rematik dua minor ditambah dengan bukti adanya
infeksi streptokokus grup A

Serangan berulang dari demam rematik pada Dua manifestasi minor ditambah dengan
pasien dengan penyakit jantung rematik bukti adanya infeksi streptokokus grup A

Khorea rematik Manifestasi mayor lain atau bukti adanya


infeksi streptokokus grup A tidak diperlukan
Onset karditis rematik yang tidak jelas
Lesi katup kronik pada demam rematik (Saat Tidak memerlukan kriterialainnya untuk
awal datang, pasien datang dengan stenosis ditegakan sebagai penyakit jantung rematik.
mitral murniatau penyakit katup mitral
campuran dan atau penyakit katup aorta)

Bukti adanya infeksi SGA adalah dengan pemeriksaan ASTO dan swab tenggorok. Bila titer ASTO
> 480 IU/mL dan titer antiDNAse B > 680 IU/mL.

Tabel. Rekomendasi pemeriksaan pasien dengan kecurigaan demam rematik akut


Rekomendasi pada semua kasus
 Jumlah sel darah putih
 Laju Endap Darah
 C- Reactive Protein
 Kultur darah jika panas badan
 EKG ( diulang dalam 2 minggu dan 2 bulan jika terdapat pemanjangan
interval PR atau gangguan irama jantung yang lain )
 Thorak foto jika ada bukti carditis secara klinis atau ekokardiografi
 Ekokardiografi ( dipertimbangkan untuk diulang setelah 1 bulan jika hasilnya
negatif )
 Swab tenggorokan ( sebaiknya sebelum diberikan antibiotik ) , pada kultur
ditemukan streptokokkus grup A
 Serologi anti streptokokus : baik titer anti streptolisin O dan anti DNAse B,
jika tersedia (ulangi 10-14 hari lagi jika tes pertama belum terkonfirmasi)
Test untuk diagnosis alternatif tergantung gejala klinik
 Ulangi kultur darah bila mencurigai kemungkinan endokarditis
 Aspirasi sendi ( mikrokopik dan kultur ) untuk kemungkinan artritis septik
 Copper, ceruloplasmin, anti-nuclear antibodi, obat-obatan untuk gerakan
chorea
 Penanda serologi dan autoimun untuk arbovirus, autoimun, atau reactive
arthritis
Penatalaksanaan
Strategi terapi dapat dibagi menjadi 3 yaitu : penanganan pada serangan demam
rematik akut, penanganan pada infeksi saat ini, dan pencegahan pada infeksi lanjut. Untuk
penatalaksanaan dibagi menjadi :
1. Non medikamentosa : Bed rest, dilakukan apabila terjadi karditis/gagal jantung. Segera
dilakukan mobilisasi bila tanda-tanda karditis dan gagal jantung berkurang. Umumnya
pada gagal jantung dan kelainan katup yang berat, bed rest dilakukan selama 4 minggu
atau sampai CRP dan LED normal.
2. Medikamentosa :
a. Aspirin, diberikan dengan dosis 60-100 mg/kg/hari ( 4-8 gram/hari pada dewasa)
4-5 dalam dosis terbagi. Jika terdapat respon yang inkomplit dalam 2 minggu,
dosis dapat ditingkatkan 125 mg/kg/hari, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi
diperlukan observasi tanda-tanda toksisitas salisilat. Jika fasilitas tersedia, kadar
darah di awasi dalam beberapa hari, dan dosis ditingkatkan sampai level serum
20-30 mg/100 dL tercapai. Efek toksik ( tinitus, sakit kepala, sesak ) terjadi pada
dosis diatas 20 mg/100 dL tetapi sering berkurang setelah beberapa hari.
b. Parasetamol, diberikan pada kondisi demam dan atralgia ringan.
c. Kortikosteroid, direkomendasikan pada penderita dengan karditis berat.
d. Antibiotik, pilihan utama dengan benzatin penisilin (penisilin G) dengan dosis
tunggal 1,2 juta unit bila berat badan lebih dari 20 kg dan 600 mg pada berat
badan kurang dari 20 kg. Diberikan secara intramuskular. Frekuensi pemberian
tiap 4 minggu. Bila tidak memungkinkan pemberian secara injeksi intramuskular,
dapat diberikan penisilin V oral 2x250mg/hari selama 10 hari.
Bila terdapat alergi terhadap penisilin, dapat diberikan eritromisin dengan dosis
40mg/kgBB/hari untuk anak-anak, dan 2x500mg/hari untuk dewasa selama 10
hari.
Rekomendasi Durasi Pencegahan Sekunder
Kategori Durasi Profilaksis
Semua pasien dengan demam Minimum 10 tahun setelah selesai episode DR akut
rematik akut dengan atau tanpa atau sampai umur 21 tahun ( bisa lebih lama )
karditis ringan
Semua pasien dengan demam Minimum 10 tahun setelah selesai episode DR akut
rematik akut dengan karditis atau sampai umur 30 tahun ( bisa lebih lama )
sedang
Semua pasien dengan demam Minimum 10 tahun setelah selesai episode DR akut
rematik akut dengan karditis atau sampai umur 30 tahun ( bisa lebih lama ) dan
berat selanjutnya spesialis mereview dan
mempertimbangkan apakah diperlukan untuk
melanjutkan profilaksis, kemungkinan seumur hidup
ARTRITIS SEPTIK

Pendahuluan

Artritis septik adalah artritis yang disebabkan oleh adanya infeksi berbagai
mikroorganisme pada celah sendi. Septik atritis merupakan infeksi bakterial yang serius dan
potensial mengancam nyawa karena dapat dengan cepat terjadi sepsis dan juga berpotensi
menimbulkan kecacatan yang menetap karena dengan cepat dapat merusak kartilago hialin
artikular dan kehilangan fungsi sendi yang ireversibel. Diagnosis awal yang diikuti dengan
terapi yang tepat dapat menghindari terjadinya kerusakan sendi dan kecacatan sendi.
Insiden septik artritis pada populasi umum bervariasi 2-10 kasus per 100.000 orang per
tahun. Insiden ini meningkat pada penderita dengan peningkatan risiko seperti rematoid artritis
28-38 kasus per 100.000 per tahun, penderita dengan prostesis sendi 40-68
kasus/100.000/tahun. Puncak insiden pada kelompok umur adalah anak-anak usia kurang dari 5
tahun (5 per 100.000/tahun) dan dewasa usia lebih dari 64 tahun (8,4 kasus/100.000
penduduk/tahun).

Sumber infeksi
Kebanyakan kasus artritis bakterial terjadi akibat penyebaran kuman secara hematogen
ke sinovium baik pada kondisi bakteremia transien maupun menetap. Membran sinovium
merupakan struktur yang kaya dengan vaskular yang kurang membran basalnya sehingga
memungkinkan masuknya kuman pada saat bakterimia. Penyebaran secara hematogen ini
terjadi pada 55% kasus dewasa dan 90% pada anak-anak. Sumber infeksi lainnya melalui
inokulasi langsung melalui prostetik sendi. Sumber bakterimia adalah : (1) infeksi atau tindakan
invasif pada kulit, saluran nafas, saluran kencing, rongga mulut, (2) pemasangan kateter
intravaskular termasuk pemasangan vena sentral, kateterisasi arteri femoral perkutaneus, (3)
injeksi obat intravena.
Inokulasi langsung bakteri ke dalam ruang sendi terjadi sebesar 22-37% pada sendi
tanpa prostetik dan sampai 62% pada sendi dengan prostetik. Pada sendi dengan prostetik,
inokulasi bakteri biasanya terjadi pada saat prosedur operasi dilakukan. Pada sendi yang intak
mengalami inokulasi bakteri selama tindakan operasi sendi atau sekunder dari trauma
penetrasi, gigitan binatang, atau tusukan benda asing ke dalam ruang sendi.
Septik artritis yang terjadi dari infeksi yang berlanjut dari sumber infeksi sekitarnya, hal
ini kebanyakan pada kasus osteomielitis yang sering terjadi pada anak-anak. Pada anak-anak
kurang dari 1 tahun, pembuluh darah memperforasi diskus pertumbuhan epifisal menimbulkan
lanjutan infeksi dari tulang ke ruang sendi. Pada anak yang lebih lanjut, infeksi pada tulang
dapat merusak bagian korteks dan menyebabkan arthritis septik sekunder jika tulang berada di
dalam kapsul sendi, seperti pada sendi koksae dan bahu. Pada orang dewasa penyakit dasar
infeksi kulit dan penyakit kaki diabetik sering sebagai sumber infeksi yang berlanjut ke ruang
sendi.

Mikrobiologi
Sebenarnya setiap bakteri dilaporkan dapat menularkan artritis septik. Mikroorganisme
yang menimbulkan infeksi ini tergantung pada faktor hospes. Penyebab yang paling banyak
adalah Staphylococcus aureus. Setelah S. aureus, Streptococcus spp. merupakan penyebab
artritis septik pada dewasa. Streptococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes merupakan
streptokokus yang sering ditemukan dan sering pada penderita penyakit autoimun, infeksi kulit
sistemik, dan trauma. Basil gram-negatif sebagai penyebab berkisar 1% - 20% kasus. Pasien
dengan riwayat intra venous drug abuse (IVDA), usia ekstrim, imunokompromise sering
terinfeksi oleh basil gram negatif. Organisme gram negatif yang sering adalah Pseudomonas
aeruginosa dan Escherichia coli. Kuman anaerob dapat juga sebagai penyebab hanya dalam
jumlah kecil yang biasanya didapatkan pada pasien DM dan pemakaian prostesis sendi.

Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang sudah jelas adalah usia tua, adanya penyakit yang mendasari
sendi, dan pemakaian prostetik sendi meningkatkan risiko artritis septik.
Tabel Faktor risiko artritis bakterial akut
Patogenesis
Patogenesis artritis septik merupakan multifaktorial dan tergantung pada interaksi
patogen bakteri dan respon imun hospes. Proses yang terjadi pada sendi alami dapat dibagi
pada tiga tahap yaitu kolonisasi bakteri, terjadinya infeksi, dan induksi respon inflamasi hospes.
 Kolonisasi bakteri. Sinovium merupakan struktur yang kaya dengan vaskular tanpa
dibatasi oleh membran basal, memungkinkan mudah masuknya bakteri secara
hematogen. Di dalam ruang sendi, lingkungannya sangat avaskular (karena banyaknya
fraksi kartilago hialin) dengan aliran cairan sendi yang lambat, sehingga suasana yang
baik bagi bakteri berdiam dan berproliferasi.
 Faktor virulensi bakteri. Selain adesin, bahan lain dari dinding sel bakteri adalah
peptidoglikan dan mikrokapsul polisakarida yang berperan mengatur virulensi S. aureus.
Polisakarida kapsular mempengaruhi opsonisasi dan fagositosis.
 Respon imun hospes. Setelah terjadi kolonisasi dalam ruang sendi, bakteri secara cepat
berproliferasi dan mengaktifkan respon inflamasi akut. Awalnya sel sinovial melepaskan
sitokin proinflamasi termasuk interleukin-1 (IL-1), dan IL-6. Sitokin ini mengaktifkan
pelepasan protein fase akut dari hepar dan juga mengaktifkan sistem komplemen.
Demikian juga terjadi masuknya sel polymorphonuclear (PMN) ke dalam ruang sendi.
Peran penting dari PMN ini pada artritis septik sangat penting karena pada studi pada
binatang dengan menghilangkan PMN sementara dapat mengatasi sepsis dan sepsis
yang lebih berat.

Patologi sendi
Pada kondisi optimal, respon inflamasi hospes secara cepat melawan invasi bakteri
patogen dan menyembuhkan infeksi. Tetapi bila infeksi tidak teratasi dengan cepat, terjadi
aktivasi respon imun dengan peningkatan sitokin inflamasi dan dengan reactive oxigen species
(ROS) yang terbentuk segera menimbulkan kerusakan sendi. Sitokin inflamasi dan toksin bakteri
dalam ruang sendi menyebabkan pelepasan matriks metaloproteinase, lisozom, dan enzim
proteolitik dari PMN. Akibatnya adalah degradasi kartilago intraartikular yang cepat diikuti
dengan destruksi tulang subkondral yang dapat terjadi dalam tiga hari. Karena intensitas respon
inflamasi, kerusakan sendi tetap terjadi walupun bakteri patogen telah dibersihkan.

Gambaran Klinis
Gejala klasik artritis septik adalah demam yang mendadak, malaise, nyeri lokal pada
sendi yang terinfeksi, pembengkakan sendi, dan penurunan kemampuan ruang lingkup gerak
sendi. Evaluasi awal meliputi anamnesa yang detail mencakup faktor predisposisi, mencari
sumber bakterimia yang transien atau menetap (infeksi kulit, pneumonia, infeksi saluran kemih,
adanya tindakan-tindakan invasif, pemakai obat suntik, dll), mengidentifikasi adanya penyakit
sistemik yang mengenai sendi atau adanya trauma sendi.
Sendi lutut merupakan sendi yang paling sering terkena pada dewasa maupun anak-
anak berkisar 45%-56%, diikuti oleh sendi panggul 16-38%. Artritis septik poliartikular, yang
khasnya melibatkan dua atau tiga sendi terjadi pada 10%-20% kasus dan sering dihubungkan
dengan artritis rematoid. Bila terjadi demam dan flare pada artritis rematoid maka perlu
dipikirkan kemungkinan artritis septik.
Pada pemeriksaan fisik sendi ditemukan tanda-tanda eritema, pembengkakan (90%
kasus), hangat, dan nyeri tekan yang merupakan tanda penting untuk mendiaganosis infeksi.
Efusi biasanya sangat jelas/banyak, dan berhubungan dengan keterbatasan ruang lingkup gerak
sendi baik aktif maupun pasif. Tetapi tanda ini menjadi kurang jelas bila infeksi mengenai sendi
tulang belakang, panggul, dan sendi bahu.
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan darah tepi. Terjadi peningkatan lekosit dengan predominan neutrofil
segmental, peningkatan laju endap darah dan C-reactive Protein (CRP).
 Pemeriksaan cairan sendi.
o Aspirasi cairan sendi harus dilakukan segera bila kecurigaan terhadap artritis septik,
bila sulit dijangkau seperti pada sendi panggul dan bahu maka gunakan alat
pemandu radiologi. Kadang-kadang diperlukan tindakan artroskopi atau artrotomi
untuk mendapatkan cairan sendi. Cairan sendi tampak keruh, atau purulen, leukosit
cairan sendi lebih dari 50.000 sel/mm3 predominan PMN.
o Pengecatan gram cairan sinovial harus dilakukan, dan menunjukkan hasil positif
pada 75% kasus artritis positif kultur stafilokokus dan 50% pada artritis positif kultur
basil gram negatif. Pengecatan gram ini dapat menuntun dalam terapi antibiotika
awal sambil menunggu hasil kultur dan tes sensitivitas. Kultur cairan sendi harus
dikirim untuk kultur kuman aerobik, anaerobik, dan bila ada indikasi untuk jamur
dan mikobakterium. Kultur cairan sinovial positif pada 90% pada artritis septik
nongonokokal. Hasil positif palsu dapat terjadi bila terjadi kontaminasi pada kulit
atau teknik pengambilan bahan.
 Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR). Dalam dua dekade teakhir ini diteliti peran
pemeriksaan adanya DNA bakteri di cairan sendi dan jaringan sinovial dengan menggunakan
polymerase chain reaction (PCR). PCR bakteri dapat mendeteksi adanya asam nukleat
bakteri dalam jumlah kecil dengan sensitifitas dan spesifisitas hampir 100%. Beberapa
keuntungan menggunakan PCR dalam mendeteksi adanya infeksi antara lain :
1. mendeteksi bakteri dengan cepat,
2. dapat mendeteksi bakteri yang mengalami pertumbuhan lambat,
3. mendeteksi bakteri yang tidak dapat dikultur,
4. mendeteksi bakteri pada pasien yang sedang mendapatkan terapi,
5. mengidentifikasi bakteri baru sebagai penyebab.
Pemeriksaan Radiologi.
Pada pemeriksaan radiologi pada hari pertama biasanya menunjukkan gambaran
normal atau adanya kelainan sendi yang mendasari. Pemeriksaan awal ini dipakai sebagai
bahan perbandingan pemeriksaan berikutnya atau menyingkirkan kondisi lain seperti
osteomielitis, fraktur, atau adanya benda asing. Penemuan awal berupa pembengkakan kapsul
sendi dan jaringan lunak sendi yang terkena, pergeseran bantalan lemak, dan pelebaran ruang
sendi. Osteoporosis periartikular terjadi pada minggu pertama artritis septik. Dalam 7 sampai
14 hari, penyempitan ruang sendi difus dan erosi karena destruksi kartilago. Pada stadium
lanjut yang tidak mendapatkan terapi adekuat, gambaran radiologi nampak destruksi sendi,
osteomielitis, ankilosis, kalsifikasi jaringan periartikular, atau hilangnya tulang subkondral
diikuti dengan sklerosis reaktif.
Pemeriksaan USG dapat memperlihatkan adanya kelainan baik intra maupun ekstra
artikular yang tidak terlihat pada pemeriksaan radiografi. Sangat sensitif untuk mendeteksi
adanya efusi sendi minimal (1-2 ml), termasuk sendi-sendi yang dalam seperti pada sendi
panggul. Cairan sinovial yang hiperekoik dan penebalan kapsul sendi merupakan gambaran
karakteristik artritis septik. USG juga dapat digunakan sebagai pemandu dalam melakukan
aspirasi dan drainase cairan sendi, atau dipakai secara sekuensial untuk melihat respon terapi.
Pemeriksaan lain yang digunakan pada artritis septik dimana sendi sulit dievaluasi secara klinik
atau untuk menentukan luasnya tulang dan jaringan mengalami infeksi yaitu mengunakan CT,
MRI , atau radio nuklir.

Diagnosis
Diagnosis pasti dari artritis septik adalah ditemukannya kuman patogen dari kultur
cairan sendi. Dalam kepentingan praktis klinik, PCR tidak digunakan secara rutin sebagai
prosedur diagnostik, tetapi diindikasikan pada kasus-kasus kecurigaan artritis septik yang sudah
mendapatkan terapi parsial atau pemeriksaan kultur negatif.
Diagnosis banding
Sejumlah kelainan sendi yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding artitis
septik seperti infeksi pada sendi yang sebelumnya mengalami kelainan, endokarditis, artritis
viral, artritis terinduksi-kristal, dan artritis reaktif.

Terapi
Tujuan utama penanganan artritis septik adalah dekompresi sendi, sterilisasi sendi, dan
mengembalikan fungsi sendi. Terapi artritis septik meliputi terapi non-farmakologi, farmakologi
dan drainase cairan sendi.
1. Terapi non-farmakologi
Pada fase akut, pasien disarankan untuk mengistirahatkan sendi yang terkena.
Rehabilitasi merupakan hal yang penting untuk menjaga fungsi sendi dan mengurangi
morbiditas artritis septik. Rehabilitasi seharusnya sudah dilakukan saat munculnya artritis untuk
mengurangi kehilangan fungsi. Pada fase akut, fase supuratif, pasien harus mempertahankan
posisi fleksi ringan sampai sedang yang biasanya cenderung membuat kontraktur.
2. Terapi farmakologi
Sekali artritis septik diduga maka segera dilakukan pengambilan sampel untuk
pemeriksaan serta pemberian terapi antibiotika yang sesuai dan segera dilakukan drainase
cairan sendi. Pemilihan antibiotika harus berdasarkan beberapa pertimbangan termasuk kondisi
klinis, usia, pola dan resisitensi kuman setempat, dan hasil pengecatan gram cairan sendi.
Bila pada pengecatan gram tampak organisme gram positif yang diduga S. aureus, terapi
dengan penisilin-resisten penisilinase merupakan pilihan. Jika kecenderungan resisten dengan
metisilin maka pertimbangkan pemberian vankomisin. Jika didapatkan kuman gram negatif
yang konsisten dengan Streptokokus spp, penisilin G merupakan pilihan. Jika basil gram negatif,
maka pilihannya adalah sefalosporin generasi III (seperti seftriakson) atau quinolon (seperti
levofloksasin). Infeksi gram negatif pada pasien imun kompromise antibiotika yang diberikan
harus dapat mengatasi infeksi Pseudomonas aerugenosa dengan baik dengan sefalosporin
generasi III yang memiliki aktivitas antipseudomonas (seperti seftasidim) atau quinolon atau
penisilin spektrum antipseudomonas (seperti piperasilin), ditambah dengan aminoglikosida. Bila
tidak ada bakteri yang ditemukan pada pengecatan gram, maka pilihan sefalosporin atau
penisilin semi sintetik lebih sesuai.
Modifikasi antibiotika dilakukan bila sudah ada hasil kultur dan sensitivitas bakteri. Perlu
diingat bahwa vankomisin tidak dilanjutkan pada pasien dengan infeksi stafilokokus atau
streptokokus yang sensitif dengan B-laktam. Perjalanan klinik pasien juga perlu sebagai bahan
pertimbangan karena korelasi pemeriksaan sensitivitas dan resistensi bakteri in vitro dengan in
vivo tidak absolut sesuai.

Tabel. Ringkasan rekomendasi pemberian antibiotika awal secara empirik pada kasus dugaan
artritis septik
Drainase cairan sendi
Drainase yang tepat dan adequat dapat dilakukan dengan berbagai metode. Teknik yang
bisa dilakukan antara lain aspirasi dengan jarum, irigasi tidal, artroskopi dan artrotomi. Tidak
ada panduan yang tegas kapan teknik ini dipilih, ada beberapa panduan yang hendaknya diikuti.

Artroskopi dan artrostomi


Artroskopi memungkinkan ahli bedah untuk inspeksi secara adequat sendi untuk
diagnostik dan biopsi sendi yang terinfeksi melalui pengamatan langsung. Untuk kepentingan
terapeutik, artroskopi dapat melakukan debridemen lebih komplit melalui irigasi semua
ruangan sendi termasuk ruang posterior sendi lutut. Artroskopi juga efektif digunakan pada
sendi besar lainnya seperti sendi bahu, dan pergelangan kaki.
Artrotomi direkomendasikan untuk drainase cairan sendi panggul karena peka sekali
menimbulkan peningkatan tekanan intra artikular dan kesulitan melakukan dekompresi
komplit. Selain sendi panggul, drainase operasi terbuka sering dilakukan juga pada sendi bahu
dan pergelangan tangan dimana sering kesulitan melakukan drainase karena ruang redundant
serta anatomi yang kompleks. Artrotomi juga diindikasi pada artritis septik yang disebabkan
oleh P. aeroginosa atau bakteri gram negatif lainnya yang memerlukan terapi aminoglikosida,
membantu mengatasi rendahnya tekanan oksigen dan pH pada sendi yang terinfeksi.
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit sistemik yang bersifat kronik-
progresif. Merupakan penyakit autoimun ditandai dengan adanya antibodi terhadap inti sel.
Lupus Eritematosus Sistemik terutama mengenai wanita dengan perbandingan perempuan
dengan laki-laki sebesar 9:1, dan terjadi pada semua usia terutama dekade ke-2 dan 4. Semua
ras dapat terkena. Jumlah penderita LES yang dirawat di bangsal penyakit dalam RS Sanglah
selama kurun waktu tahun 1999 tercatat 18 orang dengan rerata umur 29,1 tahun (rentang usia
15-53 tahun). Sebanyak 16 orang (88,8%) adalah suku Bali. Perbandingan jenis kelamin
perempuan dengan laki-laki yaitu 17:1.

Etiologi dan Patofisiologi


Penyebab masih belum diketahui, diperkirakan interaksi antara faktor genetik,
lingkungan, hormonal dan sosial. Genetik, diperkirakan pada HLA-DR2 atau DR3. Diperkirakan
“slow virus” mungkin “retrovirus” sebagai pencetus patogenesis LES. Faktor hormonal,
diperkirakan pada LES terjadi gangguan metabolisme estrogen dan hiperprolaktinemia. Adanya
faktor paparan sinar matahari (ultraviolet), stres, ketidakseimbangan diet, dan merokok dapat
berperan sebagai pencetus LES.
Patogenesis, terjadi proses autoimun, dimana diperkirakan virus sebagai pencetus awal
patogenesis sehingga limfosit T tidak berfungsi yang menyebabkan pembentukan antibodi
terhadap tubuh sendiri (inti sel). Imun kompleks dalam sirkulasi diperkirakan sebagai penyebab
kelainan lokal maupun sistemik.
Gambar. Skema patogenesis LES

Gejala Klinis

Gejala klinis LES sangat bervariasi, tidak ada gejala yang spesifik yang dipakai dalam
diagnosis.
1. Gejala umum berupa febris, anoreksia, lemah, atau penurunan berat badan. Febris
merupakan menifestasi LES yang aktif.
2. Kulit, eritema pada muka (butterfly rash) sebagai tanda LES akut, dermatitis akibat sensitif
terhadap sinar matahari (fotosensitif) dan lesi bulosa. Pada keadaan subakut dapat terjadi
lesi anuler dan papuloskuamusa, pada lesi kronik terjadi diskoid dengan atrofi sentral,
depigmentasi, alopesia dengan atau tanpa jaringan parut (lupus hair). Bisa terjadi ulkus
pada jari, atau keluhan fenomena Raynaud akibat aterosklerosis. Purpura atau ekimosis
dapat terjadi karena penyakitnya atau efek samping kortikosteroid. Pada mukosa dapat
terjadi ulkus pada palatum atau perforasi septum nasalis.
3. Sendi, dapat berupa artralgia, arthritis, namun jarang sampai terjadi deformitas, miositis.
4. Kardiovaskular, dapat berupa perikarditis, penyakit jantung koroner akibat arterosklerosis,
endokarditis verukosa. Pada pembuluh darah perifer terjadi vaskulitis yang mengenai arteri
kecil sampai kapiler pada kulit.
5. Paru, dapat terjadi pleuritis dengan efusi pleura, dan pneumonitis dengan gambaran
infiltrat atau plate like atelectasis pada foto paru.
6. Gastrointestinal, keluhan nyeri abdomen sering dikeluhkan akibat stres abdominal baik
akibat penyakit atau obat. Dapat terjadi peritonitis steril, perfosi usus, pancreatitis, dan
hepatomegali.
7. Ginjal, terjadi nefritis lupoid dengan gambaran klinis berupa proteinuria, hematuria,
silinderuria, sindrom nefrotik atau sampai gagal ginjal.
8. Susunan saraf, dapat berupa kejang-kejang, psikosis, dan neuropati perifer.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan pada pasien dengan LES mencakup :
1. Anemia, ditemukan pada lebih dari 50% pasien, terutama pada fase aktif. Dapat berupa
anemia hemolitik dengan direct coombs’ test positif pada sekitar 25% pasien.
Kebanyakan anemia pada LES adalah anemia penyakit kronis (normokromik-normositer,
dengan SI/TIBC yang rendah).
2. Leukopenia, terutama pada fase aktif. Limfofenia terjadi karena adanya antibodi anti
limfosit.
3. Trombositopenia, akibat adanya antibodi terhadap trombosit.
4. Terjadi perpanjangan tes “Partial Thromboplastin Time”, akibat adanya antibodi
terhadap faktor pembekuan (F.VIII,IX,XII).
5. Peningkatan Laju Endap Darah, namun tidak selalu mencerminkan aktivitas penyakit.
6. Proteinuria,hematuria, atau silinderuria, apabila terjadi kelainan ginjal.

Pemeriksaan imunologis khusus yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis :


Pemeriksaan serologi pada SLE. Tes imunologik awal yang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis SLE adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE.
Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil
tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis
menyerupai SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya
Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun),
keganasan atau pada orang normal. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes
ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE
seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu
yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila
tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran
klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan. Beberapa tes lain
yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen
nuklear spesi ik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo.
Pemeriksaan ini dikenal sebagai pro il ANA/ENA. Antibodi anti dsDNA merupakan tes
spesi ik untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesi itasnya hampir 100%.
Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan
dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada
pasien yang bukan SLE

Diagnosis

LES merupakan penyakit sistemik, sehingga diagnosis berdasarkan kumpulan klinis dan
penunjang diagnosis. Kecurigaan akan penyakit LES bila dijumpai pasien wanita muda dengan
ditemukan kelainan dua organ atau lebih. Diagnosis LES ditegakkan berdasarkan Kriteria ARA
(American Rheumatism Association) yang telah diperbaiki tahun 1997.
1. Ruam malar : eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan
lipatan nasolabial.
2. Ruam diskoid : bercak eritama menonjol dengan gambaran SLE keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atropik.
3. Fotosensitivitas : ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari,
baik dari anamnesis pasien atau yang didapatkan pada pemeriksaan fisik
4. Ulkus mulut : ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri
5. Artritis non erosive : melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri,
bengkak atau efusi.
6. Pleuritis atau Perikarditis :
a. Pleuritis- riwayat nyeri pleuritik atau pada pemeriksaan didapatkan pleuritic
friction rub atau bukti efusi pleura dari pencitraan, atau
b. Perikarditis- pada pemeriksaan didapatkan pericardial friction rub atau bukti
rekaman EKG atau bukti efusi perikard dari pencitraan.
7. Gangguan renal :
a. Proteinuria menetap: >0,5 gram per hari atau secara kualitatif > 3
b. Silinder/cast pada urin: dalam bentuk silinder eritrosit, haemoglobin, granular,
tubular, atau gabungan.
8. Gangguan neurologi : Kejang atau psikosis tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan
elektrolit).
9. Gangguan hematologik:
a. Anemia hemolitik, atau
b. Leukopenia- < 4.000/mm2 pada dua kali pemeriksaan, atau
c. Trombositopenia- <100.000/mm2 tanpa disebabkan oleh obat-obatan.
10. Gangguan Imunologik:
a. Anti-DNA: dengan titer yang abnormal, atau
b. Adanya Anti-Sm, atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
i. Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, atau
ii. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standar, atau
iii. Hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi
antibodi treponemal
11. Antibodi antinuclear positif (ANA) IF : titer abnormal dari antibodi anti-nuklear
berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan yang setara, setiap saat
pada perjalanan penyakit dan tanpa akibat pengaruh obat.
Diagnosis LES ditegakkan apabila terdapat 4 atau lebih kriteria diatas yang terjadi secara
bersamaan atau tidak bersamaan.

Diagnosis Banding
Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat
gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:
1. Undifferentiated connective tissue disease
2. Sindrom Sjogren
3. Sindrom antibody antifosfolipid (APS)
4. Fibromialgia (ANA positif)
5. Purpura trombositopenik idiopatik
6. Artritis rematoid dini

Prognosis
Dengan menemukan kasus masih dalam derajat sedang dan mendapat penanganan
yang baik umumnya prognosisnya baik. Kemungkinan hidup dalam 5 tahun mencapai 90%.
Prognosis tergantung organ yang terkena. Kelainan ginjal atau susunan saraf pusat
memperburuk prognosis. Penyakit LES dapat ringan atau berat.
Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu organ: ginjal, paru, gastrointestinal, susunan saraf
pusat, sendi, hematologi, dan kulit
4. Tidak ditemukan tanda efek samping dan toksisitas pengobatan

Penyakit LES berat atau mengancam nyawa bila ditemukan:


1. Jantung : terjadi endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung dan hipertensi maligna
2. Paru-paru : hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark
paru, fibrosis interstitial, shrinking lung
3. Gastrointestinal : pankreatitis, vaskulitis mesenterika
4. Ginjal : nefritis persisten, RPGN, sindrom nefrotik
5. Kulit : vaskulitis, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
6. Neurologi : kejang, acute convulsion state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optic, psikosis, sindrom demielinisasi
7. Otot : miositis
8. Hematologi : anemia hemolitik, netropenia (leukosit <1.000/mm2), trombositopenia
<50.000/mm2. Purpura trombotik trombositopenik, trombosis vena atau arteri, atau
9. Konstitusional : demam tinggi yang persisten tanpa bukti infeksi

Penilaian aktivitas penyakit LES


Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan
pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna
sebagai panduan dalam pemberian terapi. Indeks untuk menilai aktivitas penyakit seperti
SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG Score, dsb. Dianjurkan untuk menggunakan MEX-SLEDAI
atau SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat kesehatan primer yang jauh dari
tersedianya fasilitas laboratorium canggih. Aktivitas penyakit ditentukan adanya kumpulan
kelainan klinis dan laboratoris, antara lain :
1. Kelainan patologi organ seperti nefritis, kelainan kardiopulmoner, ruam kulit, dan
serositis
2. Tanda inflamasi sistemik yang tidak spesifik, seperti febris, kelemahan umum, dan
penurunan berat badan
3. Adanya reaksi imunologis, seperti ANA positif, antibodi Anti-DNA positif, atau
penurunan komplemen

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan LES sangat individual dan pemilihan obat tergantung jenis dan derajat
kerusakan organ. Penanganan terutama pada penyakit yang dalam keadaan aktif. Tujuan
penanganan LES adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan dini
akan penyakitnya dan pengobatan yang paripurna.
Tujuan khusus pengobatan LES adalah:
a. Mengurangi keluhan dan memelihara fungsi organ seoptimal mungkin
b. Menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin
c. Mendapatkan masa remisi yang panjang
Pilar penanganan LES meliputi:
A. Edukasi dan konseling. Hal yang perlu diperhatikan pada penderita LES:
 Apa itu penyakitnya
 Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kekambuhan: Hindari paparan sinar
matahari
 Peranan obat terhadap penyakitnya: Hati-hati pemakaian obat-obatan, karena
mudah terjadi alergi terhadap obat. Pemakaian alat kontrasepsi sebaiknya yang non
hormonal
 Keadaan lain:
- Kehamilan: Karena penderita LES terbanyak wanita dan usia produktif, sering
penyakit LES mempengaruhi kehamilan atau sebaliknya kehamilan
mempengaruhi penyakitnya
- Perlu memperhatikan sikap hidup yang baik dan menjaga psikologis penderita
- Diet: Tidak jelas apakah ada diet pantangan
B. Latihan/program rehabilitasi

C. Terapi medikamentosa
 OAINS. Terutama pada penderita dengan fibris, keluhan sendi dan nyeri otot. Dapat
diberikan aspirin 3 x 500 mg peroral sehari atau OAINS lainnya. Parasetamol 3 x 500 mg
tidak lebih dari 4000 mg/hari.
 Kortikosteroid. Indikasi pemberian kortikosteroid adalah pada:
1. Kelainan kulit, dengan kortikosteroid topikal. Untuk mengatasi ruam (gunakan
preparat dengan potensi ringan).
2. Artritis yang gagal dengan OAINS, diberikan Prednison oral 10-20 mg perhari
3. Serositis (misalnya pada perikarditis), diberikan Prednison oral 20 mg 3 kali sehari.
4. Pneumonitis, pada LES sering bersifat sementara, sembuh tanpa pengobatan. Pada
pneumonitis fulminan, dengan perdarahan perlu kortikosteroid dosis tinggi.
Prednison 20 mg 3 kali sehari, sering digabung dengan imunosupresan lain.
5. Anemia hemolitik berat dan simptomatis, dapat diberikan Prednison 40-60 mg
perhari, dalam 2-3 dosis. Secepatnya diturunkan setelah kadar hemoglobin baik.
6. Trombositopenia imun akibat LES, diberikan dosis seperti pada anemia hemolitik.
Apabila belum berefek dalam beberapa minggu dapat dikombinasikan dengan
imunoglobulin intravena.
7. Vaskulitis, perlu prednison dosis rendah 20 mg/hari. Vaskulitis pembuluh darah
sedang atau besar memerlukan prednison 60 mg/hari, dosis terbagi.
8. Kelainan parenkim otak, diberikan Prednison 20 mg 3 kali sehari sampai terjadi
perbaikan atau sesuai saran neurologi.
9. Kelainan saraf perifer,misalnya mononeuritis akibat vaskulitis dapat diberikan
prednison 20 mg, 3 kali sehari. Apabila tidak ada hasil dapat dikombinasi dengan
azathioprin atau siklofosfamid atau sesuai saran neurologi.
10. Kelainan ginjal (nefritis lupus), pada kelainan ginjal yang aktif (proteinuria, silinduria
penurunan fungsi ginjal) diberikan prednison 60 mg per hari, sampai perbaikan dan
dosis diturunkan. Kadang-kadang dipergunakan dosis “pulse” metilprednisolon pada
keadaan yang akut. Pemakaian imunosupresan tergantung pada stadium kelainan
ginjal.
 Antimalaria. Diindikasikan pada kondisi sebagai berikut :
1. Kelainan kulit. Sering dikombinasi dengan kortikosteroid topikal. Dengan
Hidroksiklorokuin 200 mg, 2 kali sehari, atau Quinakrin 100 mg 4 kali sehari.
2. Dapat dicoba pada arthritis, efek samping: ocular toxicity (deposisi obat di kornea
dan di retina).
 Obat imunosupresan lain seperti Azatioprin dan Siklofosfamid diberikan pada :
 Pneumonitis maligna dengan perdarahan
 Trombositopenia imun pada LES yang resisten terhadap kortikosteroid
 Neuritis yang resisten terhadap kortikosteroid
 Nefritis Lupus yang resisten dengan kortikosteroid atau yang tidak tahan terhadap
efek samping kortikosteroid. Diberikan Siklofosfamid “pulse” IV 0,3-1,0 mg/mm2
luas permukaan tubuh selang 1-3 bulan atau Azatioprin diberikan 1-3 mg/kg/hari
 Obat lain :
1. Antikonvulsan (Penitoin, Penobarbital)
2. Major tranquilizer
 Tindakan lain seperti iradiasi jaringan limfoid menyeluruh dan plasmaparesis. Efikasi
tindakan ini belum memuaskan.

Gambar. Pengelolaan LES berdasarkan derajat penyakit

LES pada Keadaan Khusus dan Pengobatannya

LES dan kehamilan


Kesuburan penderita LES sama dengan wanita bukan LES. Namun selama kehamilan
atau setelah persalinan, sering kali terjadi kekambuhan sebesar 60% ataupun komplikasi
lainnya seperti keguguran atau kematian janin dalam rahim. Oleh karena itu perlu penanganan
penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan setelah persalinan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan:
a. Penderita LES dianjurkan hamil setelah minimal 6 bulan aktivitas penyakit LES-nya
terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada lupus nefritis jangka waktu lebih
lama, sampai 12 bulan remisi total.
b. Pengelolaan lainnya seperti edukasi, latihan tetap dijalankan.
c. Medikamentosa: Kortikosteroid, diusahakan dosis seminimal mungkin,
imunosupresan: Cyclosporine A dengan dosis 2,5-5 mg/KgBB dosis dibagi dua.
Penanganan LES memerlukan dokter spesialis reumatik atau penyakit dalam dan dalam suatu
tim dokter terkait.
Tabel.Obat-obat pada pasien LES dalam kehamilan

Kontraindikasi untuk hamil pada wanita dengan LES :


1. Hipertensi pulmonal yang berat (Perkiraan PAP sistolik >50 mm Hg atau simptomatik)
2. Penyakit paru restriktif (FVC <1 l)
3. Gagal jantung
4. Gagal ginjal kronis (Kr >2.8 mg/dl)
5. Adanya riwayat preeklamsia berat sebelumnya atau sindroma HELLP (Hemolitic anemia,
elevated liver function test, low platelet) walaupun sudah diterapi dengan aspirin dan
heparin
6. Stroke dalam 6 bulan terakhir
7. Kekambuhan lupus berat dalam 6 bulan terakhir
Pengaruh kehamilan pada SLE terhadap fetus adalah adanya kemungkinanpeningkatan risiko
terjadi fetal heart block (kongenital) sebesar 2%.49 Kejadian ini berhubungan dengan adanya
antibodi anti Ro/SSA atau anti La/SSB.

LES dengan Anti Fosfolipid Sindrom

Sindroma anti fosfolipid (APS) atau yang dikenal sebagai sindroma Hughes merupakan
suatu kondisi autoimun yang patologik di mana terjadi akumulasi dari bekuan darah oleh
antibodi antifosfolipid. Penyakit ini merupakan suatu kelainan trombosis, abortus berulang atau
keduanya disertai peningkatan kadar antibodi antifosfolipid yang menetap yaitu antibodi
antikardiolipin (ACA) atau lupus antikoagulan (LA). Diagnosis APS ditegakkan berdasarkan
konsensus internasional kriteria klasifikasi sindroma anti fosfolipid (Sapporo) yang disepakati
tahun 2006, apabila terdapat 1 gejala klinis dan 1 kelainan laboratorium sebagaimana tertera di
bawah ini:
Kriteria Klinis:
Trombosis vaskular:
- Penyakit tromboembolik vena (Trombosis vena dalam, emboli pulmonal)
- Penyakit tromboemboli arteri.
- Trombosis pembuluh darah kecil
Gangguan pada kehamilan:
- > 1 kematian fetus normal yang tak dapat dijelaskan pada usia ≥ 10 minggu
kehamilan atau
- > 1 kelahiran prematur neonatus normal pada usia kehamilan ≤ 3 minggu atau
- > 3 abortus spontan berturut-turut yang tak dapat dijelaskan pada usia
kehamilan < 10 minggu
Kriteria Laboratorium:
- Positif lupus antikoagulan
- Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi antikardiolipin (sedang atau tinggi).
- Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi anti-beta2 glikoprotein (anti β2 GP) I
(sedang atau tinggi).
Perbedaan waktu antara pemeriksaan yang satu dengan yang berikutnya adalah 12 minggu
untuk melihat persistensinya.
Penatalaksanaan APS pada dasarnya ditujukan terhadap kejadian trombosis
Yaitu:
1. Aspirin dosis kecil (80 mg/hari) dapat dipertimbangkan untuk diberikan kepada pasien
SLE dengan APS sebagai pencegahan primer terhadaptrombosis dan keguguran.
2. Faktor-faktor risiko lain terhadap trombosis perlu diperiksa misalnya protein C, protein
S, homosistein
3. Obat-obat yang mengandung estrogen meningkatkan risiko trombosis, harus dihindari.
4. Pada pasien SLE yang tidak hamil dan menderita trombosis yang berhubungan dengan
APS, pemberian antikoagulan jangka panjang dengan antikoagulan oral efektif untuk
pencegahan sekunder terhadap trombosis. Pemberian heparinisasi unfractionated
dengan target aPTT pada hari 1 – 10 sebesar – 2,5 kali normal. Selanjutnya dilakukan
pemberian tumpang tindih warfarin mulai hari ke-tujuh sampai ke-sepuluh, kemudian
heparin dihentikan. Target INR adalah 2 – 3 kali nilai normal.
5. Pada pasien hamil yang menderita SLE dan APS, kombinasi heparin berat molekul
rendah (LMW) atau unfractionated dan aspirin akan mengurangi risiko keguguran dan
trombosis.

Neuropsikiatri Lupus (NPSLE)

Prevalensi NPSLE bervariasi antara 15%-91% tergantung pada kriteria diagnosis dan
seleksi penderita. Manifestasi klinis NPSLE sangat beragam mulai dari disfungsi saraf pusat
sampai saraf tepi dan dari gejala kognitif ringan sampai kepada manifestasi neurologik dan
psikiatrik yang berat seperti stroke dan psikosis. Sulitnya mempelajari kasus NPSLE akibat tidak
adanya kesepakatan dalam definisi penyakit, karena itu American College of Rheumatology
(ACR) mengeluarkan suatu klasi ikasi untuk membuat keseragaman tersebut :
Berdasarkan kriteria ACR ini, beberapa penelitian mendapatkan manifestasi terbanyak NPSLE
adalah disfungsio konitif dan sakit kepala.

Penatalaksanaan NPSLE
Tidak ada standar terapi NPSLE, masing-masing pasien diterapi berdasarkan gejala
manifestasi yang dialaminya (tailored). Dalam praktek klinik ada beberapa hal penting yang
harus diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita SLE dengan gejala neuropsikiatrik.
1. Selalu pikirkan diagnosis banding karena NPSLE merupakan diagnosis eksklusi (diagnosis
ditegakkan setelah menyingkirkan diagnosis lain)
2. Tentukan apakah proses penyakit tersebut bersifat sementara (hilang timbul) atau
tampaknya (secara epidemiologi) menimbulkan kerusakan yang ireversibel.
3. Pasien SLE dengan manifestasi NP mayor (neuritis optikus, acute confusional state/
koma, neuropati kranial atau perifer, psikosis dan mielitis transverse/ mielopati)
mungkin disebabkan oleh in lamasi, pertimbangkan pemberian terapi imunosupresif.

Lupus Nefritis

Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan SLE. Lebih dari 70%
pasien SLE mengalami keterlibatan ginjal sepanjang perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis
memerlukan perhatian khusus agar tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal yang akan
berakhir dengan transplantasi atau cuci darah.
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka seyogyanya biopsi
ginjal perlu dilakukan untuk kon irmasi diagnosis, evaluasi aktivitas penyakit, klasi ikasi kelainan
histopatologik ginjal, dan menentukan prognosis dan terapi yang tepat. Klasi ikasi kriteria World
Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah diperbaharui oleh International Society
of Nephrolog dan Renal Pathology Society (ISN/RPS) tahun 200363 Klasifikasi WHO dinilai
berdasarkan pola histologi dan lokasi dari imun kompleks, sementara klasifikasi ISN/RPS juga
membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis.

Bila biopsi tidak dapat dilakukan oleh karena berbagai hal, maka klasifikasi lupus nefritis
dapat dilakukan penilain berdasarkan panduan WHO. Pemeriksaan patologi memperlihatkan
hubungan antara respon klinis dan hasil akhir. Difus proliferatif glomerulonefritis (klas IV)
mempunyai prognosis terburuk, 11-48% pasien akan mengalami gagal ginjal dalam 5 tahun.
Pemeriksaan penepis lupus nefritis penting dilakukan karena gejala sering tidak
diketahui oleh pasien, misalnya terdapat hematuria, proteinuria atau hipertensi. Pemeriksaan
penepis dan pemantauan lupus nephritis tersebut adalah pemeriksaan urin analisis,
proteinuria, serum kreatinin, serologi anti dsDNA dan C3. Terdapat beberapa variabel klinis
yang dapat mempengaruhi prognosis. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir
buruk tersebut adalah ras hitam, azotemia, anemia, sindroma antiphospholipid, gagal terhadap
terapi imunosupresi awal, kambuh dengan fungsi ginjal yang memburuk.
DAFTAR PUSTAKA
Artritis Gout

Becker,M.A, Tate,G., Schumacher,H.R.,Wallace,S.L.,and Singer, J.Z., Gout, In : Primer on


Rheumatic Diseases, Thirteenth Ed., Editor : H.R.Schumacher, Artritis Foundation, Atlanta GA,
2008, pp.195-206.

Emmerson, B.T., Hyperuricaemia and Gout in Clinical Practice, AIDS Health Science Press,
Sydney, 2013.

Gout, WHO Technical Report Series, Rheumatic Diseases, Report of a WHO Scientific Group,
WHO, Genewa, 2012,pp.55-59.

Scarpa,N.P., and Fields, T.R. Gout, In : Manual of Rheumatology and outpatient Orthopedic
Disorder, Editor : S.Paget, P.Pellici and J.F.Beary III, Third Edt., Little,Brown and Company,
Boston /Toronto/London, 2008,pp.273-279.

Fields TR. Gout, In : Manual of Rheumatology and outpatient Orthopedic Disorder 5th ed, Editor
: Pagets SA, Gibofsky A, Beary III JF, Sculco TP, Little,Brown and Company, Boston
/Toronto/London, 2005, pp.328-336.

Tehupeiory ES. Artritis Pirai, In : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Editor : Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI,
Jakarta, 2006, 1218-1220.

Putra TR. Hiperurisemia, In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Editor : Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI,
Jakarta, 2006, 1213-1217.

Suresh E. Diagnosis and Management of Gout: a Rational Approach. Postgrad Med J 2005; 81:
572-579.

Kelley WN, Wortmann RI.2007, Gout and Hyperuricemia, In : TextBook of Rheumatology, Fifth
edition. Editor : Kelley WN, Rudy S, Sledge CB. Philadelphia, WB Saunders company.1314-1350
Osteoartitis

Brain G T, Osteoarthritis, In: Harrison’s Principle of Internal Medicine 16th , Editor : Kasper,
Braunwald, Mc Graw Hill, USA, 2005, p. 2036-2045.

Hallmann DB, Stone JH, Arthritis and musculoskletal disorder In; Current Medical Diagnosis and
Treatment 43rd edition, Lawrence ( eds) Mc Graw Hill, USA, 2010, p. 779 - 781

Jamieson, T.W.,and Beary,J.F. Osteoartritis, In : Manual of Rheumatology and Outpatient


Orthopedic Disorder, Editor : S.Paget, P.Pellici and J.F.Beary III, Third Edt., Little, Brown
Company, Boston/Toronto/London, 2010, pp.323 - 334.

Konsensus Nasional; Panduan diagnosis dan pengelolaan osteoartritis

Moskowitz,R.W. Howel DS, Almant RD et al (eds) Osteoarthritis, 3rd ed. 2011. W.B. Saunders
company, Philadelphia. Pennsylvania.

Osteoarthritis, WHO Technical Report Series, Rheumatic Diseases, Report of a WHO Scientific
Group, WHO, Genewa, 2003, pp.40-51.

Ratiner B, Gramas D A, Lane N E , Osteoarthritis In : Treatment of the Rheumatic Disease 2nd


edition, Editor :Weisman M H, W.B. Saunders Company Philadelphia, USA, 2008, p.461-486

Putra TR, Osteoartritis lutut, Naskah lengkap PKB XI Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RS Sanglah
Denpasar 2003

Lupus Eritematosus Sistemik

Alarcon-Segovia D, Asherson RA, Hughes GRV, Klippel JH. Systemic Lupus Erythematosus. In:
Schumacher HR, edt. Primer on the Rheumatic Diseases, Nith Ed. Atlanta: Arthritis Foundation,
2008. p. 96-111.

Fye KH, Sack KE. Systemic Lupus Erytematosus, In: Stites DP, Stobo JD, Wells JV. Editors. Lange
Medical Book Basic & Clinical Immunology, Sixth Edition, California: Appleton & Lange, 2007. p.
356-361.
Hughes GRV. Lupus a guide for the patients, Lupus Clinic, Rheumatology Dept., St.Thomas
Hospital, London.

Salmon JE, Kimberly RP. Systemic lupus erythematosus. In: Paget SA, Gibopsky A, Beary JF,
Sculco TP, editors. Manual of rheumatology and outpatient orthopaedic disorder, diagnosis and
therapy. 5th ed. Philadelphia: lippincott William &Wilkin, 2006. p. 221-37

Systemic Lupus Erithematosus, WHO Technical Report Series, Rheumatic diseases, Report of a
WHO Scientific Group, WHO, Genewa, 1992. p. 14

Tan.EM, Cohen A.S, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothfield NF, et al. The 1982 Revised criteria
for the classification of systemic lupus eritematosus, Arthritis and Rheum 1982;25:1771-7

American Collage of Rheumatology Ad Hoc committee on systemic lupus erythematosus


guidelines. Arthritis Rheum 2012;42(9):1785-96

Susila utama, Tjok Raka Putra, Hermawan: Pola klinis penderita lupus eritematosus sistemik
yang rawat inap di bagian penyakit dalam FK Unud/RS Sanglah Denpasar tahun 1999

Petri M. Systemic lupus erythematosus: Clinical aspect. In: Koopman WJ, editor. Arthritis and
allied condition: textbook of rheumatology, 15th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkin,
2005. p. 1473-571

Petri M. Treatment of systemic lupus erythematosus: an update. Am Fam Physician


2008;57:2753-60.

Hahn BH. Pathogenesis of SLE. In: Kelley, edt. Textbook of Rheumatology, 10th ed. 2007. p.
1050

Rematoid Artritis

Feye,K.H, and Sack, K.E, Rheumatic Disease, In : Lange Medical Book Basic & Clinical
Immunology, Sixth Ed.,Edit.D.P.Stites, J.D.Stobo, & J.V.Wells, Appleton & Lange, Norwalk,
Connecticut, Los Altos Calofornia, 2007, pp.361-366.
Paget, S.and Bryan,W.Rheumatoid Arthritis, Manual of Rheumatology and Out Patient
Orthopedic Disorders, third Ed., Editor : S. Paget, P.Pellicci and J.F.Beary III, Little Brown and
Comp., Boston/Toronto/London, 2010, pp.190-212.

Wlder,L.D.,Anderson,R.J.,and Williams, H.J.,Rheumatoid Arthritis,In : Primer on Rheumatic


Diseases, Tenth Ed., Editor : H.R. Schumacher J.H.Klippel and W.J.Koopman, Arthritis
Foendation, Atlanta GA,2013,pp. 83 - 96.

Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of early rheumatoid arthritis. 2008.

Nathan J. Zvaifler, Maripat Corr. The Evaluation and Treatment of Rheumatoid arthritis, In :
Arthritis and Allied Conditions a Text book of Rheumatology, Fifteen Ed, Editor William J. K,
Larry W. M. Lippincott Williams & Wilkins, 2005,1249-61

Smolen J S, et al. EULAR Recommendations for the Management of Rheumatoid Arthritis with
Synthetic and Biological Disease Modifying Antirheumatic Drugs : 2013 Update. Ann Rheum Dis-
2013;0:1-18, 2013.

Rematik Non Artikuler

Buindo, J.J., Regional Rheumatic Pain Syndromes, In : Primer on Rheumatic Diseases, Nith Ed.,
Editor : HR.Scumacher, Arthritis Foundation, Atlanta GA, 2008, pp. 263 - 274.

Chester,A.C., and Beary III, J.F.,Fibromialgia (Febrisitis) and Psychologic Aspect of


Rheumatology, In : Manual of Rheumatology and Outpatient Orthopedic Disorder, Editor,
Editor:S.Paget,P. Pellici and J.F. Beary III, Third Edt., Little, Brown and Company,
Boston/Toronto/London, 2013, pp. 349-351.

Pellici,P., and McCormack,R.R., Bursitis and Tendinitis, In : Manual of Rheumatology and


outpatient Orthopedicn Disorder , Editor : S.Paget. P. Pellici and J.F. Beary III, Third Edt., Little,
Brown and Company, Boston/Toronto/London, 2010, pp. 156-159.

Soft tissue Rheumatism, WHO Technical Report Series, Rheumatic Diseases, Report of a WHO
Scientific Group, WHO, Genewa, 1992, pp.52 - 55.
Tay, C.H., Non Articular Rheumatism, Diagnosis and Management, Med. Progress, 6;13, 2007.

Muller D, Nonarticular Rheumatism/Regional Pain Syndrome [cited nov2009 17]. Available from
URL: http://www.emedicine.com/med/topic2934.htm.

Moehadsjah OK, Reumatisme Non Artikuler. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi ke-3,
editor Noer S, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Pp 97-107.

Nyeri Pinggang (Low Back Pain)

Whitmant H, Clauw DJ, Beary JE. Low Back Pain, In: Paget SA, Beary JF, Gibofsky A, Sculco TP.
Manual of Rheumatology and Outpatient Orthopedic Disorders. 9th ed. Lippincott Williams &
Wilkins Philadelphia.2011;144-152.

Kalim H. Nyeri pinggang. In : Kalim H, Suryana BPP, editors. Workshop Clinical Rheumatology.
Malang, 2006.

Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. Eds. Low Back Pain. In. Current Medical Diagnosis &
Treatment.18th ed. 2011;788-790

Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL. Low Back Pain. In : Harrisson,s Manual of
Medicine, 18th ed. McGraw Hill New York 2013,p.20-24.

Hasue, H. Low back Pain inspatients of midle or advanced age, Asian Med.J.,31 (50) 315 – 2008.

Demam Rematik Akut

Leman S. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Rematik. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
3 Edisi IV. 2006. 354 : 1560 – 65.

Lennon D et al, Diagnosis, Management and Secondary Prevention. Evidence-Based Best


Practice New Zealand Guidelines for Rheumatic Fever.2006. 14-72

Carapetis R J, Brown A, Wilson JW, Edwards NK. An Australia Guideline for Rheumatic Fever and
Rheumatic Heart Disease : an Abridged Outline. MJA 2007 ; 186 : 581-586.
Parrillo SJ et al, Rheumatic Fever. Available at http:// emedicine.medscape.com/ article/
1007946. Last Updated: Mar 23, 2010

WHO Expert Consultation on Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease ( 2010 : Geneva,
Switzerland) Rheumatic fever and rheumatic heart disease : report of a WHO Expert
Consultation, Geneva, 29 October — 1 November 2010.

Bowden B et al, Rheumatic Fever. Available at http://en.wikipedia.org/w /index.php ?title


=Rheumatic_fever&action =edit . Accesed May 11, 2010

Meador RJ et al, Rheumatic Fever. Available at http://emedicine.medscape.com /article/


333103. Last Updated : Jul 31, 2009

Artritis Septik

Brusch JL.Septic Arthritis. [cited 2008 April 15]. Available from: URL:http://www.emedicine.com
/med/topic3394.htm

Geirsson Á J, Statkevicius S, Víkingsson A. Septic arthritis in Iceland 1990-2002: increasing


incidence due to iatrogenic infections. Ann Rheum Dis 2008;67;638-43.

Hughes LB. Infectious Arthritis. In: Koopman WJ, Moreland LW, Ed. Arthritis and allied
conditions-a text book of rheumatology. 15th ed. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins,
2005. p 2577-2601.

Gupta MN, Sturrock RD, Field M. A prospective 2-year study of 75 patients with adult-onset
septic arthritis. J Rheumatology 2010;40:24–30.

Kaandorp CJE, Dinant HJ, van de Laar MAFJ, Moens HJB, Prins APA, Dijkmans BAC. Incidence
and source of native and prosthetic joint infection: a community based prospective survey. Ann
Rheum Dis 2007;56:470–5.

Morgan DS, Fisher D, Merianos A, Currie BJ. An 18 year clinical review of septic arthritis from
tropical Australia. Epidemiol Infect 2011;117(3):423-8.
Weitoft T, Mäkitalo S.Bacterial arthritis in a Swedish health district. Scand J Infect Dis
2009;31(6):559-61.

Dikranian AH, Weisman MH. Principle of diagnosis and treatment of joint infections. In :
Koopman WJ, Ed. Arthritis and allied conditions. 14th ed. New York: Lippincott Williams &
Wilkins, 2008. Pp 2551-67.

Shirtliff ME, Mader JT. Acute septic arthritis.Clinical microbiology reviews 2012:15;527–44.

Klein RS. Joint infection, with consideration of underlying disease and sources of bacteremia in
hematogenous infection. Clin Geriatr Med 2012;4(2):375-94.

Backstein D, Hutchison C, Gross A. Septic arthritis of the hip after percutaneous femoral artery
catheterization . The Journal of Arthroplasty 2012;17(8):1074-7.

Ewing R, Fainstein V, Musher DM, Lidsky M, Clarridge J. Articular and skeletal infections caused
by Pasteurella multocida. South Med J 2010;73(10):1349-52.

Shetty AK, Gedalia A. Septic arthritis in children. Rheum Dis Clin North Am. 2008;24(2):287-304.

Jackson MA, Burry VF, Olson LC. Pyogenic arthritis associated with adjacent osteomyelitis:
identification of the sequela-prone child. Pediatr Infect Dis J 2012;11(1):9-13.

Ryan MJ, Kavanagh R, Wall PG, Hazleman BL. Bacterial joint infections in England and Wales:
analysis of bacterial isolates over a four year period. Br. J. Rheumatol 2007;36:370-3.

Gupta M N, Sturrock R D, Field M. Prospective comparative study of patients with culture


proven and high suspicion of adult onset septic arthritis. Annals of the Rheumatic Diseases
2011;62:327-31.

Albus A, Arbeit RD, Lee JC.Virulence of Staphylococcus aureus mutants altered in type 5 capsule
production. Infect Immun 2011; 59(3): 1008-14.

Tarkowski A, Bokarewa M, Collins LV, Gjertsson I, Hultgren OH, et al. Current status of
pathogenetic mechanisms in staphylococcal arthritis. FEMS Microbiol Lett 2012;217(2):125-32.
Hultgren O, Kopf M, Tarkowski A. Staphylococcus aureus-induced septic arthritis and septic :
death is decreased in IL-4-deficient mice: role of IL-4 as promoter for bacterial growth. Journal
of Immunology 2008;160:5082-7.

McCutchan HJ, Fisher RC AU. Synovial leukocytosis in infectious arthritis. Clin Orthop Relat Res
2010;257:226-30.

Yang S, Ramachandran P, Hardick A, Hsieh Y, Quianzon S, et al. Rapid PCR-based diagnosis of


septic arthritis by early gram-type classification and pathogen identification. Journal of Clinical
Microbiology 2008;46(4):1386-90.

Burreu NJ, Cheem RK, Cardinal E. Musculoskeletal infections: US manifestations. Radiographics


2009;211(2):1585-92.

Erdman WA, Tamburro F, Jayson HT, Weatherall PT, Ferry KB, Peshock RM. Osteomyelltis:
Characteristics and pitfalls of diagnosis with MR imaging. Radiology 2011; 180:533-9.

Anonim. Traumatic arthritis [cited 2008 April 15]. Available from: URL: http://www.arthritis-
treatment-and-relief.com/traumatic-arthritis.html

Coakley G, Mathews C, Field M, Jones A, Kingsley G, et al. BSR & BHPR, BOA, RCGP and BSAC
guidelines for management of the hot swollen joint in adults. Rheumatology 2006;45:1039–41.

Donatto KC. Orthopedic management of septic arthritis. Rheum Dis Clin North Am
2008;24(2):275-86.

Huang SS, Platt R. Risk of methicillin-resistant Staphylococcus aureus infection after previous
infection or colonization. Clin Infect Dis 2013;36(3):281-5.

Lavy CB, Thyoka M. For how long should antibiotics be given in acute paediatric septic arthritis?
A prospective audit of 96 cases. Trop Doct 2007;37(4):195-7.

Sanpera I. Arthroscopy in hip septic arthritis in children. Journal of Bone and Joint Surgery
2005;87:SI.
Nusem I, Jabur MK, Playford EG. Arthroscopic treatment of septic arthritis of the hip.
Arthroscopy 2006;22(8):902-3.

Ivey M, Clark R. Arthroscopic debridement of the knee for septic arthritis. Clin Orthop Relat Res
2011;199:201-6.

Balabaud L, Gaudias J, Boeri C, Jenny JY, Kehr P. Results of treatment of septic knee arthritis: a
retrospective series of 40 cases. Knee Surg Sports

Krijnen P, Kaandorp C J E, Steyerberg E W, van Schaardenburg D, Bernelot Moens H J, Habbema


J D F. Antibiotic prophylaxis for haematogenous bacterial arthritis in patients with joint disease:
a cost effectiveness analysis. Ann Rheum Dis 2011;60;359-66.
IMUNOLOGI
Tim Penyusun:
1. Dr.dr. Ketut Suryana, SpPD-KAI
2. dr. Ketut Suardamana, SpPD
3. dr. Tjok Istri Anom Saturti, SpPD
Anafilaksis / Reaksi Hipersensitivitas Akut

Definisi
Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas sistemik, akut, yang dimediasi oleh IgE (IgE-
mediated) akibat pelepasan mediator oleh sel mast, basofil. Pada reaksi hipersensitivitas akut
manifestasi klinik hanya melibatkan kulit dan mukosa, sedangkan reaksi anafilaktoid secara
klinis sulit dibedakan dengan reaksi anafilaktik, mekanismenya tidak melibatkan IgE (Non IgE
mediated) (Terminology tradisional).
Terminology yang disarankan WAO (World Allergy Organization), 2004; anafilaksis adalah reaksi
hipersensitivitas akut, sitemik, dan mengancam nyawa. Immunologic /allergic anaphylaxis
dipergunakan bila reaksi hipersensitivitas yang terjadi dimediasi oleh mekanisme imunologis
seperti; IgE, IgG dan immune-complex-complement related. Sedangkan non-immunologic / non
allergic anaphylaxis bila reaksi yang terjadi dimediasi oleh nonimmunologic mechanism.
Sementara untuk terminologi anaphylactoid tidak dipergunakan lagi (Lieberman, 2009).
Perubahan terminologi tersebut dapat digambarkan sbb:

anaphylaxis

Immunologic Idiopathic Non-Immunologic

IgE, FcRI Other(IgG, Immune- Physical Other drugs


Foods, venoms, complex-complement exercise,
latex, drugs related) cold
(IgE mediated) Blood products,
immune aggregates,
drugs
(Non-IgE mediated)

(WAO, 2004; dikutip Lieberman,2009)


Etiologi
Penyebab reaksi anafilaktik / hipersensitivitas akut:
Anaphylaxis, allergic
IgE mediated Non-IgE mediated
- Makanan - Immune aggregate
- obat - IgG anti-IgA
- insect stings - Cytotoxic
- exercise (food dependent)
Anaphylaxis, non-allergic
Direct mediator release Activation of contact system
- Obat, seperti opiat - membrane dialysis
- Physical factors (dingin) - Radiocontrast media
- Idiopathic Gangguan metrabolisme arachidonat
- Exercise - Aspirin & NSAID lain

Imunopatofisiologi

- Fase sensitisasi : terdiri dari


presentasi antigen dan
pembentukan IgE
- Fase aktivasi : ikatan antigen yang
sama pada IgE secara berpasangan
(cross link) yang memicu
degranulasi (pelepasan mediator).
- Fase efektor : dampak klinis pada
syok organ akibat pelepasan
mediator.

Manifestasi klinis
Reaksi hipersensitivitas akut, yang melibatkan sistim kulit, jaringan bawah kulit dan mukosa.
Sedangkan reaksi anafilaksis merupakan reaksi akut, sistemik (melibatkan lebih dari 1 sistem
organ seperti; kulit dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler, sistem
gastrointestinal) serta dapat mengancam nyawa. Derajat klinis reaksi hipersensitivitas akut
generalisata / anafilaksis : ( Brown SGA . Clinical features and severity grading of anaphylaxis J.
Allergy Clin Immunol 2004, 114(2) : 371-6 )
1. Ringan (melibatkan jaringan kulit dan mukosa) : seperti eritema generalisata, urtika, edema
periorbital (angioedema)
2. Sedang (melibatkan system respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal) seperti : sesak nafas,
stridor, wheezing, mual, muntah, dizziness / presyncope, rasa tidak enak di tenggorokan dan
dada (throat / chest tightness), nyeri perut.
3. Berat (hipoksia, hipotensi, gangguan CNS) : sianosis (SpO2  92%), hipotensi (adults ; SBP <
90 mmHg), penurunan kesadaran, inkontensia.

1 = reaksi hipersensitivitas akut


2&3 = reaksi anafilaksis

Diagnosis
Diagnosis anafilaksis berdasarkan kriteria Sampson HA ( JACI 2006) ;
1. Onset akut (dalam hitungan menit sampai beberapa jam) dengan melibatkan jaringan kulit
dan mukosa, atau keduanya (pruritus generalisata, flushing, sembab bibir, lidah dan ovula).
Dan minimal salah satu yang berikut :
a. Keluhan sistem respirasi (sesak nafas, wheezing, stridor, hipoksemia)
b. Penurunan tekanan darah, kolaps, sinkope, inkontinensia.
2. Dua atau lebih dari gejala gambaran klinis berikut yang terjdi segera paska paparan :
a. Keterlibatan jaringan kulit dan mukosa (pruritus generalisata, flushing, urtika,
sembab bibir, lidah dan ovula).
b. Keterlibatan sistem respirasi (sesak nafas, wheezing, stridor, hipoksemia).
c. Penurunan tekanan darah, kolaps, sinkope, inkontinensia.
d. Gejala gastrointestinal (mual, muntah, kram perut).
3. Penurunan tekanan darah segera paska paparan : tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau
penurunan lebih dari 30% dari tekanan darah sebelumnya.
Laboratorium
Diagnosis renjatan anafilaktik adalah berdasarkan klinis. Ada beberapa pemeriksaan
laboratorium yang dianjurkan seperti : darah lengkap, faeces lengkap, hitung eosinofil, IgE, EKG,
rontgen dada dan laboratorium lainnya tergantung kondisi pasien.

Diagnosis banding
Ada beberapa keadaan yang mirip dengan renjatan anafilaktik :
1. Kondisi Syok : syok septik, syok hipovolemik, syok kardiogenik, reaksi vasovagal
2. Respiratory distress dengan wheezing atau stridor : benda asing pada saluran nafas, asma
bronkhiale, PPOK, disfungsi pita suara.

Beberapa faktor prognostik


- Umur; umumnya umur tua memberikan prognosis lebih buruk
- Alergen; obat-obatan lebih sering memberikan prognosis lebih buruk
- Atopi
- CVD (Cardiovascular Disease)
- PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
- Asma bronkial
- Gangguan kesimbangan asam basa dan elektrolit
- Obat-obatan (beta-blocker, ACE-inhibitor)
- Waktu pemberian adrenalin dari saat paparan

Penatalaksanaan
Reaksi hipersenstivitas akut dengan pemberian antihistamin (dipenhydramine injeksi 10-
20 mg IM dan dilanjutkan dengan AH-1 oral sampai 3 x 24 jam). Penatalaksanaan reaksi
anafilaksis sebagai berikut :
segera evaluasi ABC (Airway, Breathing, Circulation)

Renjatan anafilaksis
(Respirasi distress : stridor, wheezing atau syok)

Oksigen

Adrenalin (epinephrine) lar 1 : 1000


0,3 – 0,5 ml IM

Ulangi 10 - 15 menit (bila tidak ada perbaikan)

Antihistamin 10-20 mg IM

Tambahan :
• Cairan kristaloid untuk replacement
• Kortikosteroid
- Metil prednisolon 125-250 mg IV
- Dexametason 20 mg IV
- Hidrokortison 100-500 mg IM/IV plan
• dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (lebih rendah)
• Inhalasi agonis β-2 kerja pendek bila ada bronkospasme
• Vasopressor (dopamine, dobutamine) dengan dosis
titrasi

NB: Observasi umumnya dilakukan 2-3 kali 24 jam (pada kasus ringan cukup observasi 6 jam)

Adrenaline / epinephrine
Merupakan hormone kerja cepat yang disekresi kelenjar suprarenalis. Bersifat
simpatomimetik (a-adrenergic, b-adrenergic agonist), dengan indek terapi dan toksisitas yang
sempit. Tidak ada kontra indikasi absolut penggunaannya pada reaksi anafilaksis dan
merupakan pilihan utama (first-aid treatment of anaphylaxis).
Epnephrin /adrenalin

Reseptor 2-
Reseptor 1 Reseptor 2 Reseptor 1-
adrenergik
adrenergik
receptor

•  vasokontriksi •  sekresi insulin •  inotrofik •  bronkodilator


•  resistensi vaskuler •  sekresi •  kromotropik •  vasodilator
perifer noreepinephrine •  glikogenelisis
•  edema mukosa •  pelepasan
mediator

Gambar 3. Farmakologi epinephrine

Dosis dan cara pemberian


• Dosis epinephrine dan cara pemberian :
- 0,3-0,5 ml inj SC/IM sisi lateral paha / deltoid
(North American Guidelines, Indonesia)
- 0,5-1 ml inj SC/IM sisi lateral paha / deltoid
(European Literature)
Farmakokinetik dan farmakodinamik epinephrine

Gambar 4. Absorbsi epinephrine


Pencegahan
Merupakan faktor yang tidak kalah penting di dalam tatalaksana reaksi anafilaksis;
meliputi :
a. Riwayat penyakit : apakah ada reaksi alergi sebelumnya.Pemberian antibiotik dan obat-
obatan lainnya secara rasional (tepat pasien, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis dan
cara pemberian serta waspada efek samping). Pemberian oral lebih dianjurkan daripada
parenteral.
b. Informed consent / persetujuan keluarga
c. Bila terjadi reaksi, berikan penjelasan dasar kepada pasien agar kejadian tidak terulang.

Ringkasan
Reaksi hipersensitivitas akut merupakan reaksi akut akibat pelepasan mediator yang melibatkan
sistem kulit, jaringan bawah kulit dan mukosa. Sedangkan reaksi anafilaksis merupakan reaksi
akut, sistemik (melibatkan lebih dari 1 sistem organ) dan dapat mengancam nyawa.
Epidemiologi; angka kejadian sebenarnya belum diketahui.
Etiologi yang sering seperti obat-obatan, makanan, sengatan serangga, radiokontras, produk
darah dan faktor fisik serta idiopatik.
Patofisiologi: terdiri dari 3 fase (fase sensitisasi, fase aktivasi dan fase efektor). Manifestasi
klinis dapat timbul dari menit sampai jam, dan pada reaksi anafilaksis yang berat dapat timbul
segera setelah paparan.
Diagnosis berdasarkan gambaran klinis.
Penatalaksanaan: langkah awal difokuskan untuk mengevaluasi ABC dan secara simultan
pemberian modalitas dasar seperti adrenalin, antihistamin, kortikosteroid, penyekat beta-2
inhalasi, cairan, dan obat-obat lain sesuai kebutuhan.
Pencegahan; merupakan komponen kunci di dalam penatalaksanaan jangka panjang dari reaksi
anafilaksis.
Alergi Obat

Definisi
Reaksi alergi obat (drug hypersensitvity reactions) merupakan salah satu bentuk dari reaksi yang
tidak diinginkan dari obat (reaksi adversi dari obat).
Epidemiologi
Kejadian alergi obat relatif sering (6 % - 12 % dari pasien yang dirawat di RS). Penelusurannya
tidak selalu mudah serta merupakan problema kompleks di klinik.
Reaksi adversi dari obat menurut WHO : efek obat yang dapat berbahaya, tidak diharapkan
pada dosis yang digunakan untuk pencegahan, diagnosis dan terapi pada manusia.
Reaksi adversi obat manifestasi kliniknya sangat heterogen, dikelompokkan menjadi :
1. Reaksi tipe A : sering terjadi ( 80 % ), dapat diprediksi, tergantung dosis, berhubungan
dengan efek farmakologi, terjadi pada orang normal dapat berupa : toksisitas / overdosis,
efek samping, efek sekunder, interaksi obat
2. Reaksi tipe B : lebih jarang terjadi, tidak dapat diprediksi, tidak berhubungan dengan
farmakologi obat, terjadi pada orang yang peka dapat berupa intoleransi obat, reaksi
idiosinkrasi, reaksi alergi / hipersensitivitas
Manifestasi reaksi alergi obat
Alergi obat sebagian mekanismenya belum diketahui dengan pasti dan tidak mudah utk
menentukan. Jarang pada awal terapi, oleh karena memerlukan periode sensitisasi. Bila terjadi
pada awal terapi, pertimbangkan kemungkinan : bukan alergi, ada paparan sebelumnya dan
reaksi silang.

Klasifikasi
Sejak tahun 1963, Gell & Coombs mengusulkan klasifikasi reaksi alergi obat :
1. Reaksi hipersensitivitas tipe segera / Tipe I IgE mediated reaction (anaphylactic)
2. Reaksi sitotoksisitas obat / Tipe II /Antibody Mediated Disease (IgG/IgM)
3. Reaksi kompleks imun akibat obat / Tipe III (immune complex-mediated disease)
4. Reaksi mediasi sel T akibat obat / Tipe IV (T-cell mediated disease / cellular hypersensitivity)
1. Reaksi hipersensitivitas tipe segera / Tipe I IgE mediated reaction (anaphylactic)

Misalnya : anaphylaxis, urticaria


2. Reaksi sitotoksisitas obat / Tipe II (Antibody Mediated Disease)

• Antibodi IgG atau Ig


M spesifik terhadap
obat
• Anemia hemolitik,
trombositopeni,
leukopeni akibat
induksi obat

3. Reaksi kompleks imun akibat obat / Tipe III (immune complex-mediated disease)

- Antibodi Ig G spesifik
terhadap obat
- Vaskulitis,
glomerulonefritis akibat
induksi obat,
Serum sickness, drug
fever
4. Reaksi mediasi sel T akibat obat / Tipe IV (T-cell mediated disease)

• Limfosit T spesifik
terhadap obat
• Dermatitis kontak,
erupsi
makulopapular,
erupsi bulosa, fixed
drug
• Sindroma Steven
Johnson/TEN

Diagnosis
Diagnosis alergi obat relatif sulit dan sering kurang memadai (underdiagnostic)
Problema diagnostik umumnya berkaitan dengan : gambaran klinis bervariasi ( the great
imitator, kurangnya pemahaman patofisiologi dari sebagian besar reaksi alergi obat, beberapa
kelemahan pengelompokan reaksi alergi yang timbul, ke dalam klasifikasi Gell & Coombs.
Pengelompokan ini memudahkan identifikasi reaksi hipersensitivitas obat yang terjadi, tetapi
masih ada sebagian yang belum dapat dikelompokkan. Terbatasnya dan belum adanya
standarisasi dari prosedur pemeriksaan yang tersedia baik in vivo maupun in vitro.
Hal yang utama pada pendekatan diagnostik reaksi alergi obat adalah ; anamnesis / riwayat
perjalanan klinis (clinical history) dengan mengacu pada referensi yang ada, informasi dari
lembaga-lembaga yg memahami masalah reaksi alergi obat. Diagnostik mutlak diperlukan untuk
dapat menentukan terapi dan pencegahan.
Beberapa tes diagnostik yang sering dilakukan seperti : Patch test untuk reaksi tipe IV (obat
topikal); Skin prick test / tes cukit : tidak dapat dikerjakan untuk semua obat umumnya
dilakukan terhadap penisilin, obat-obat yang terlarut dalam serum; RAST (Radio Allergo
Sorbent Test) untuk mengukur kadar antibodi IgE spesifik terhadap obat jika memungkinkan;
Tes provokasi obat (Direct Drug Challenge Test) : walaupun tidak ada standar baku tetapi ENDA
(European Network of Drug Allergy) merekomendasikan tes provokasi obat masih merupakan
baku emas dan dikerjakan jika prosedur tes lain yang relatif kurang berisiko tidak dapat
mengkonfirmasi.
Penatalaksanaan
- Stop obat-obat yang diduga, demikian juga hindari pemberian obat-obatan yang
mengandung bahan yang sama.
- Terapi simtomatis dengan antihistamin, kortikosteroid.
Adrenalin dapat diberikan jika terjadi reaksi anafilaksis.

Pencegahan
- Hindari obat-obatan yang terkait riwayat alergi sebelumnya, minimalkan penggunaan
obat,
- Desintesisasi jika diketahui reaksi alergi obat yang IgE mediated. Tes dosis provokasi
(provocative dose testing) umumnya dikerjakan pada pasien dengan riwayat alergi obat
yang mana obat tersebut sangat esensial bagi penderita, dikerjakan dengan supervisi
tenaga yang mempunyai kompetensi.

Ringkasan
Reaksi alergi obat (drug hypersensitvity reactions) merupakan salah satu bentuk dari
reaksi yang tidak diinginkan dari obat (reaksi adversi dari obat). Kejadian alergi obat relatif
sering (6 % - 12 % dari pasien yang dirawat di RS). Penelusurannya tidak selalu mudah serta
merupakan problema kompleks di klinik. Reaksi adversi obat manifestasi kliniknya sangat
heterogen, dikelompokkan menjadi dua (reaksi tipe A dan reaksi tipe B).
Gell & Coombs mengusulkan klasifikasi reaksi alergi obat menjadi 4 yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe segera / Tipe I IgE mediated reaction (anaphylactic), reaksi sitotoksisitas
obat / Tipe II (Antibody Mediated Disease), reaksi kompleks imun akibat obat / Tipe III (immune
complex-mediated disease), reaksi mediasi sel T akibat obat / Tipe IV (T-cell mediated disease).
Pendekatan diagnostik berdasarkan anamnesis / riwayat perjalanan klinis (clinical history) dan
beberapa pemeriksaan penunjang lainnya seperti Skin test (Patch test, Prick test), RAST untuk
pemeriksaan IgE spesifik jika memungkinkan, Tes provokasi obat.
Penatalaksanaan : stop obat-obat yang diduga, terapi simtomatis dengan antihistamin,
kortikosteroid. Adrenalin dapat diberikan jika terjadi reaksi anafilaksis.
Pencegahan : hindari obat-obatan yang terkait riwayat alergi sebelumnya, minimalkan
penggunaan obat, desintesisasi, tes dosis provokasi (provocative dose testing).
Alergi Makanan

Definisi
Alergi makanan merupakan salah satu gambaran klinis dari reaksi yang tidak diinginkan
(adverse food reactions / AFR) setelah mengkonsumsi makanan atau bahan tambahan pada
makanan, diakibatkan oleh reaksi tubuh yang abnormal terhadap makanan atau bahan
tambahan pada makanan, yang dilandasi oleh reaksi imunologik.

Epidemiologi
Alergi makanan lebih sering dijumpai pada anak-anak. Pada studi kohort prospektif yang
melibatkan 480 batita / anak-anak bawah tiga tahu, yang diamati dari sejak lahir hingga umur 3
tahun. Bock mendapatkan sebanyak 8 % dari sample tersebut adalah mengalami alergi
makanan. Studi prospektif dari berbagai Negara umumnya melaporkan 2,5 % dari bayi
mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap susu sapi pada tahun I kehidupannya. Pada kasus
reaksi alergi susu sebanyak 60 % adalah IgE mediated. Umumnya bayi yang mengalami alergi
susu non-IgE mediated, keluhannya berkurang setelah berumur 3 tahun. 10-25% bayi yang
mengalami alergi susu sapi IgE mediated keluhannya akan berkurang setelah umur 20 tahun
dan 50% dari mereka akan mengalami alergi makanan lainnya. Di UK dan US di laporkan; reaksi
hipersensitivitas terhadap telor dijumpai pada 1,6% anak, kacang tanah 0,8%. Sedangkan anak-
anak dari kelompok atopi mempunyai kecendrungan yang lebih besar mengalami reaksi
hipersensitivitas terhadap makanan.

Patofisologi
Peranan gastrointestinal barriers pada alergi makanan ;
- Immunologic barriers
o Menghambat penetrasi dari antigen ingestan oleh
 s-IgA pada lumen saluran cerna
o Menetralisir antigen ingestan yang telah menembus barier mukosa saluran cerna
oleh
 Serum Ag-specific IgA dan IgG
 Reticuloendothelial system / RES
- Physiologic barriers
o Breakdown dari antigen ingestan, oleh;
 asam lambung dan pepsin
 ensim pankreas
 ensim intestinal
 epitel intestinal dan aktivitas lysozyme
o Menghambat penetrasi dari antigen ingestan oleh;
 mukosa intestinal / glycocalyx
 mikro villus intestinal
 peristaltik intestinal

Adverse Food Reactions

Adverse Reactions

Immunological Non Immunological Mirrobial


(hypersensitivities) (Intolerances)

IgE Non IgE Toxicological Metabolis Infections Toxins


mediated mediated Example: Example: example: Example:
Scombroid Lactose Salmonellois Staphylococcal
Poisoning Intolerance enderotoxins
Food Celiac
Allergy Disease

http://www.cfsan,fda.gov/~dms/alrgn2.html#ii
Patogenesis reaksi hipersensitivitas makanan
- IgE mediated hypersensitivity
Kegagalan dari oral toleran memberi peluang terbentuknya food specific IgE antibodies
secara berlebih. Antibodi ini yang akan berikatan pada high affinity FcεRI pada sel mast dan
basofil dan low affinity FcεRII (CD 23) pada makrofag, monosit, limfosit dan platlet. Ketika
alergen makanan dapat menembus / penetrasi barier mukosa dan selanjutnya berikatan
pada IgE yang menempel secara berpasangan pada permukaan sel mast dan basofil. Ikatan
antara alergen / antigen dengan IgE specific tsb (cross link) akan mengaktivasi intracellular
biochemical activity, calcium influx dan aktivasi PK-C (protein kinase-C) sehingga akan
terjadi degranulasi yaitu pelepasan mediator. Mediator ini (histamin) akan menginduksi
timbulnya vasodilatasi, kontraksi otot polos, sekresi mukus. Perubahan anatomis tersebut
yang mendasari timbulnya gambaran klinis alergi makanan IgE mediated / immediate
hypersensitivity.
- Non-IgE mediated hypersensitivity
Type II antigen-antibody dependent cytotoxic reaction terjadi ketika spesifik antibodi
berikatan pada surface tissue antigen atau hapten cell associated menginduksi aktivasi
komplemen. Aktivasi komplemen akan mempengaruhi produksi berbagai mediator
inflamasi yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Kerusakan jaringan ini akan
mendasari timbulnya gambaran klinis sesuai shock organ. Ada laporan walaupun terbatas,
yaitu terjadinya antibody-dependent thrombocytopenia berkaitan dengan susu.

Gambaran klinis alergi makanan


Kelainan IgE-mediated Mixed Non-IgE mediated
Generalis Anafilaksis, food dependent
exercise induced
anaphylaxis
Kulit Urtika, angioedema Atopic dermatitis, contact dermatitis,
flushing, acute contact dermatitis dermatitis herpetiformis
morbiliform rash acute
contact urticaria
Gastrointestinal Sindroma alergi oral, Esofagitis Alergi proktokolitis,
anafilaksis gastrointestinal eosinofilik alergi, food protein-induced
gastroenteritis enterocolitis syndrome,
eiosinofilik alergi penyakit celiac, kolik
infantil
Respirasi Rhinoconjuctivitis akut, asma Hemodiderosis
bronkospasme akut pulmoner (sindroma
Heiner’s)

Diagnosis AFR
- Observasi riwayat dan reaksi yang tidak dinginkan terhadap makanan
- Skin Prick Test
- IgE spesifik
- Oral food challenge
- Pemeriksaan lain :
- Tes bahan makanan tertentu
- Diet eliminasi
Penatalaksanaan alergi makanan
- Hindari makanan yang diduga kuat sebagai penyebab
- Dapat diberikan obat-obatan seperti antihistamin, kortikosteroid
- Pada kondisi anafilaksis, penanganan sesuai protap anafilaksis

Pencegahan
- Pemberian makanan hipoalergenik
- Probiotik
Daftar Pustaka

Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut


Lieberman PL. Anaphylaxis. In: Allergy principles and practice. 7th ed. Mosby 2009; 1027-1049.
Dreskin SC. Anaphylaxis. Last update October 7, 2005. Available on: http//www.emedicine.com
Krause SC. Anaphylaxis. Last update March 18, 2004. Available on: http//www.emedicine.com
Adelman DC, Casale TB, Corren J, 2002. Manual of Alergy and Immunology 4th ed. Lipincott
Williams & Wilkins; Philadelphia.
Lawlor GJ, Fischer TJ, Adelman DC, 1997. Manual of Allergy and Immunology 3rd ed. Little,
Brown and Company; USA.
Tang AW. A practical to anaphylaxis. Am Fam Physician 2003: 68: 1325-32.
McLean-Tooke APC, Bethune CA, Fay AC, Spickett GP. Adrenaline in the treatment of
anaphylaxis: what is the evidence. BMJ 2003; 327:1332-5.
Brown SGA. Clinical features and severity grading of anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol 2004;
114:371-6.
Kemp SF, Lockey RF. Anaphylaxis: a review of causes and mechanism. J Allergy Clin Immunol
2002; 110:341-8.
Roitt I. Ypersensitivity Type-I. In: Immunology 4th ed. Mosby 1996;22.3
Alergi Obat
Lieberman PL. Anaphylaxis. In: Allergy principles and practice. 7th ed. Mosby 2009; 1027-1049.
Abbas AK and Licthman AH. 2004. Hypersensitivitas Disease. In : Abbas AK and Licthman AH,
eds. Basic Immunology, Functions and Disorders of the Immune System. Philadelphia. Saunders.
Pp.193-208.
Jost BC, 2003. Drug Allergy and Desensitization. In : Abdel-Hamid KM, Friedman E and Jani AL.
eds. The Washington Manual : Subspecially Consult Series Allergy, Asthma, and Immunology
Subspecialty Consult. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. Pp.89-101.
Macy E, Hellon MH, Schatz M and Patterson R. 2002. Drug Allergy. In : Adelma DC, Casale TB
and Corren J. eds. Manual of Allergy and Immunology. Philadelphia. Lppincott Williams &
Wilkins. Pp. 219-241.
Coico R, Sunshine G and Benjamini E. 2003. Immunology : A Short Course. 5th ed. USA. Wiley-
Liss. Pp.199-225.
Alergi Makanan
Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA. Adverse reaction to foods. Med Clin North Ann 2006;90(1):97-
127.
Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol 2003; 111(2):S540-S547.
Sicherer SH, Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol 2006; 117(2):S470-S475.
Chehade M, Mayer L. Oral tolerance and its relation to food hypersensitivity. J Allergy Clin
Immunol 2005; 115(1):3-12.
Breiteneder H, Radauer C. A classification of plant food allergens. J Allergy Clin Immunol 2004;
113(5):821-830.
Sampson HA. Update on food allergy. J Allergy Clin Immunol 2004; 113(5):805-819.
Rothenberg ME. Eosinophilic gastrointestinal disorders (EGID). J Allergy Clin Immunol 2004;
113(1):11-28.
Noel RJ, Putnam PE, Rothenberg ME. Eosinophil esophagitis. N Engl J Med 2004;351(9):940-941.
Skolnick HS, Conover-Walker MK, Koerner CB, et al. The natural hystory of peanut allergy. J
Allergy Clin Immunol 2001;107(2):367-374.
Von Berg A, Koletzko S, Filipiak-Pittoff B, et al. Certain hydrolyzed formulas reduce the
incidence of atopic dermatitis but not that of asthma: three-year results of the German Infant
Nutritional Intervention Study. J Allergy Clin Immunol 2007;119(3):718-725.
NSTA Web Seminars. FDA/NSTA Web Seminar: Teach Science Concepts and Inquiry with Food.
2007. available at : http://www.cfsan,fda.gov/ ~dms/alrgn2.html#ii
GERIATRI
Tim Penyusun:
1. Dr. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer
2. dr. Nyoman Astika, SpPD-KGer
3. dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer
4. dr. IB Putrawan, SpPD
Pengkajian Komprehensif Pada Geriatri

Pendahuluan
Assessmen Geriatri komprehensif mencakup: kesehatan fisik, mental, status fungsional,
kegiatan sosial, dan lingkungan. Tujuan asesmen ialah mengetahui kesehatan penderita secara
holistik supaya dapat memberdayakan kemandirian penderita selama mungkin dan mencegah
disabilitas-handicap diwaktu mendatang. Asesmen ini bersifat tidak sekedar multi-disiplin
tetapi interdisiplin dengan koordinasi serasi antar disiplin dan lintas pelayanan kesehatan.

Pemeriksaan Penderita
Pemeriksa penderita Geriatri sama dengan pemeriksaan penderita di bidang ilmu lainnya yaitu
mulai dengan pemeriksaan:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan bantuan dengan teknologi yang tersedia, termasuk yang canggih
d. Pemeriksaan fungsi
e. Konsultasi vertical atau horisontal
f. Daftar masalah (CMOM)
g. Diagnosis diferensial (DD)
h. Diagnosis pasti
i. Penatalaksanaan holistik
j. Prognosis

Anamnesis
Untuk mendapatkan jawaban yang baik dan lengkap, seringkali diperlukan alo-anamnesis dari
orang/keluarga yang merawatnya sehari-hari. Dimulai dengan:
Identitas penderita : nama, alamat, umur, perkawinan, anak (jumlah, jenis kelamin dan berapa
orang yang masih tinggal bersama penderita), pekerjaan, keadaan sosial ekonomi. Kemudian
diikuti dengan penyakit yang diderita sekarang:
- Keluhan utama sehingga penderita mencari pengobatan
- Keluhan-keluhan tambahan yang menyertai
- Waktu dan lama tiap keluhan dengan urutan terjadinya
- Penyakit terdahulu yang pernah diderita.
Anamnesis dilengkapi dengan berbagai gangguan yang terdapat : menelan, masalah gigi, gigi
palsu, gangguan komunikasi/bicara, nyeri/gerak yang terbatas pada anggota badan dan lain-
lain.
- Penilaian sistem : Penilaian sistem dilaksanakan secara urut, mulai dari sistem syaraf pusat,
saluran nafas atas dan bawah, kardiovaskular, gastrointestinal (seperti inkontinensia alvi,
konstipasi), urogenital (seperti inkontinensia urin). Dapat dikatakan bahwa penampilan
penyakit dan keluhan penderita tidak tentu berwujud sebagai penampilan organ yang
terganggu.
- Anamnesis tentang kebiasaan yang merugikan kesehatan (merokok, minum alkohol).
- Anamnesis Lingkungan perlu meliputi keadaan rumah tempat tinggal.
- Review obat-obat yang telah dan sedang digunakan perlu sekali ditanyakan, bila perlu,
penderita atau keluarganya.
- Ada tidaknya perubahan perilaku.
Anamnesis Nutrisi:
Pada gizi perlu diperhatikan :
 Keseimbangan (baik jumlah kalori maupun makronutrien)
 Cukup mikro nutrien (vitamin dan mineral)
 Perlu macam makanan yang beraneka ragam.
 Kalori berlebihan atau dikurangi disesuaikan dengan kegiatan AHS-nya, dengan
tujuan mencapai berat badan ideal.
 Keadaan gigi geli, mastikasi dan fungsi gastro-intestinal.
 Apakah ada penurunan atau kenaikan berat badan.
Pengkajian Nutrisi
Pengkajian nutrisi dilakukan dengan memeriksa indeks massa tubuh.5
Rumus Indeks Masa Tubuh (IMT) :
Berat Badan (kg) IMT : 18 – 23 (normal)
[Tinggi Badan (m)2]2
Rumus Tinggi Badan Populasi Geriatri :
Pria : TB = 59.01 + (2.08 X Tinggi Lutut)
Wanita : TB = 75.00 + (1.91 X Tinggi Lutut) – (0.17 X Umur).
Tabel 1. Kuesioner Hidangan Sehari (Recall 24 jam).
Banyak Banyak
Makan Gram URT (Ukuran Selingan Gram URT
pagi Rumah Tangga pagi

Banyak Banyak
Makan Gram URT Selingan Gram URT
siang siang

Banyak Banyak
Makan Gram URT Selingan Gram URT
malam malam

Kal Prot Lemak Cho Ca Fe Vit.A Vit.B Vit.C


(g) (g) (g) (mg) (mg)
Rata-rata sehari
Kebutuhan

Penilaian status gizi juga dapat dilakukan dengan mempergunakan Mini Nutritional Assessment
Short Form (MNA-SF). Dalam penilaiannya hal yang harus juga dicatat adalah nama pasien, usia,
jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, tinggi lutut dan tanggal pengisian.

Tabel 2. Penilaian Status Gizi dengan MNA-SF


No. Penilaian Nilai
2
Indeks masa tubuh : BB/TB (m )
1 a. < 19 = 0 c. 21-23 = 2
b. 19-21= 1 d. >23 = 3
Lingkar lengan atas (cm)
2 a. < 21 = 0 c. >22 = 1
b. 21-22 = 0.5
Lingkar betis (cm)
3
a. ≤ 31 = 0 b. >31 = 1
BB selama 3 bulan terakhir :
a. Kehilangan > 3kg = 0
4 b. Tidak tahu = 1
c. Kehilangan antara 1-3 kg = 2
d. Tidak kehilangan BB = 3
Hidup tidak tergantung (tidak di tempat perawatan atau RS) :
5
Tidak = 1 / Ya = 0
Menggunakan lebih dari 3 obat perhari
6
Tidak = 1 / Ya = 0
Mengalami stres psikologis atau penyakit akut dalam 3 bln terakhir :
7
Tidak = 1 / Ya = 0
Mobilitas
a. Hanya terbaring atau di atas kursi roda = 0
8
b. Dapat bangkit dari tempat tidur tapi tidak keluar rumah = 1
c. Dapat pergi keluar rumah = 2
Masalah neuropsikologis
a. Demensia berat dan depresi = 0
9
b. Demensia ringan =1
c. Tidak ada masalah psikologis = 2
Nyeri tekan atau luka kulit
10
Tidak = 1 / Ya = 0
Berapa banyak daging yang dikonsumsi setiap hari ?
a. 1 x makan = 0
11
b. 2 x makan = 1
c. 3 x makan = 2
Asupan protein terpilih
a. Minimal 1x penyajian poduk-produk susu olahan (susu, keju,
yoghurt, es krim) perhari.
Ya = 1 / Tidak = 0
12 b. Dua atau lebih penyajian produk kacang-kacangan (tahu, tempe,
susu kedelai ) dan telur perminggu
Ya = 1 / Tidak = 0
c. Daging, ikan, unggas tiap hari
Ya = 1 / Tidak = 0
Konsumsi 2 atau lebih penyajian sayur atau buah-buahan per hari
13
Ya = 1 / Tidak = 0
Bagaimana asupan makanan 3 bulan terakhir
14 a. Kehilangan nafsu makan berat = 0
b. Kehilangan nafsu makan sedang = 1
c. Tidak kehilangan nafsu makan = 2
Berapa banyak cairan (air, jus, kopi, teh, susu) yang dikonsumsi per hari.
a. < 3 cangkir = 0
15
b. 3 - 5 cangkir = 0,5
c. > 5 cangkir = 1
Pola makan
a. Tidak dapat makan tanpa bantuan = 0
16
b. Dapat makan sendiri dengan sedikit kesulitan = 1
c. Dapat makan sendiri tanpa masalah = 2
Apakah mereka tahu bahwa mereka memiliki masalah gizi ?
a. Malnutrisi = 0,
17
b. Tidak tahu atau malnutrisi sedang = 1
c. Tidak ada masalah gizi = 2
Dibandingkan dengan orang lain dengan usia yang sama, bagaimana mereka
18 menilai kesehatan mereka sekarang ?
Tidak baik = 0, Tidak tahu = 0.5, Baik = 1, Lebih baik = 2
TOTAL

Interpretasi:
Skor > 24 : Gizi baik
Skor 17-23,5 : Berisiko malnutrisi
Skor < 17 : Malnutrisi
Pengkajian Status Fungsional (Kemandirian atau ketergantungan).
Penapisan status fungsional
Tabel 3. ADL Barthel (BAI)
Fungsi skor Keterangan
1 Mengontrol BAB 0 Inkontinen / tak teratur (perlu enema)
1 Kadang-kadang inkontinen (1 X seminggu)
2 Kontinen teratur
2 Mengontrol BAK 0 Inkontinen atau pakai keteter dan tak terkontrol
1 Kadang-kadang inkontinen (max 1 x 24 jam)
2 Mandiri
3 Membersihkan diri (lap muka, 0 Butuh pertolongan orang lain
sisir rambut, sikat gigi) 1 Mandiri
4 Penggunaan toilet, pergi ke 0 Tergantung pertolongan orang lain
dalam dari WC (melepas, 1 Perlu pertolongan pada beberapa aktivitas tetapi
memakai celana,menyeka, dapat mengerjakan sendiri beberapa aktivitas yang
menyiram) lain
2 Mandiri
5 Makan 0 Tidak mampu
1 Perlu seseorang menolong memotong makanan
2 Mandiri
6 Berpindah tempat dari tidur ke 0 Tidak mampu
duduk 1 Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk (2 orang)
2 Bantuan minimal 1 orang
3 Mandiri
7 Mobilisasi / berjalan 0 Tidak mampu
1 Bisa berjalan dengan kursi roda
2 Berjalan dengan bantuan satu
3 Mandiri
8 Berpakaian (memakai baju) 0 Tergantung orang lain
1 Sebagian dibantu (mis. Mengancing baju)
2 Mandiri
9 Naik turun tangga 0 Tidak mampu
1 Butuh pertolongan
2 Mandiri (naik turun)
10 Mandi 0 Tergantung orang lain
1 Mandiri
Total skor
Skor ADL (BAI)
20 : Mandiri 5–8 : Ketergantungan berat
12 – 19: Ketergantungan ringan 0–4 : Ketergantungan total
9 – 11 : Ketergantungan sedang
Tabel 4. Instrumen Activity Daily of Living (IADL)

Independen (tidak perlu bantuan Dependen (Perlu bantuan orang


No Aktivitas Nilai
orang lain) Nilai = 0 lain) Nilai = 1
 Mengoperasikan telepon
sendiri
 Mencari dan menghubungi
nomer  Tidak bisa menggunakan
1 Telepon
 Menghubungi beberapa nomer telpon sama sekali
yang diketahui
 Menjawab telpon tetapi tidak
menghubungi
 Perlu bantuan untuk
 Mengatur semua kebutuhan mengantar belanja
2 Belanja
belanja sendiri  Sama sekali tidak mampu
belanja
 Menyiapkan makanan jika
sudah disediakan bahan
makanan
Persiapan  Merencanakan, menyiapkan,
3  Menyiapkan makanan tetapi
Makanan dan menghidangkan makanan
tidak mengatur diet yang
cukup
 Perlu disiapkan dan dilayani
 Merawat rumah sendiri atau  Perlu bantuan untuk semua
bantuan kadang-kadang perawatan rumah sehari-
Perawatan
4  Mengerjakan pekerjaan ringan hari
Rumah
sehari-hari (merapikan tempat  Tidak berpartisipasi dalam
tidur, mencuci piring) perawatan rumah
 Memcuci hanya beberapa
 Mencuci semua pakaian
Mencuci pakaian
5 sendiri
Baju  Semua pakaian dicuci oleh
 Mencuci pakaian yang kecil
orang lain
 Bepergian sendiri
menggunakan kendaraan  Perjalanan terbatas ke taxi
umum atau menetir sendiri atau kendaraan dengan
6 Transport  Mengatur perjalanan sendiri bantuan orang lain
 Perjalanan menggunakan  Tidak melakukan perjalanan
transportasi umumjika ada sama sekali
yang menyertai
Pengobata  Meminum obat secara tepat  Tidak mampu menyiapkan
7
n dosis dan waktu tanpa bantuan obat sendiri
 Mengatur masalah financial
(tagihan, pergi ke bank)
Manajeme  Tidak mampu mengambil
 Mengatur pengeluaran sehari-
8 n keputusan financial atau
hari, tapi perlu bantuan untuk
Keuangan memegang uang.
ke bank untuk transaksi
penting.
Total Skor
Skor IADL :
0 : Independen
1 : Kadang kadang perlu bantuan
2 : perlu bantuan sepanjang waktu
3-8 : Dikerjakan oleh orang lain
Asesmen Kognitif, Memori dan Demensia
Ini dapat dilakukan secara sederhana dengan Mini-Mental State Examination (MMSE). Contoh:
pertanyaan: mengingat 3 macam benda yang ditunjukan dalam satu menit, menyebut 6 - 12
macam binatang dalam satu menit. Uji yang dianggap paling baik sampai sekarang ialah
menggambar jam (Drawing Clock Test).
Skor Skor Jam mulai :
Maks Lansia
ORIENTASI
5 [__] Sekarang (hari),(tanggal),(bulan),(tahun) berapa,(musim) apa?
5 [__] Sekarang kita berada di mana ?
(jalan),(nomor rumah),(kota),(kabupaten),(propinsi)
REGISTRASI
3 [__] Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda, 1 detik untuk tiap benda.
Kemudian mintalah klien mengulang ke 3 nama benda tersebut. Berikan 1
angka untuk tiap jawaban yang benar. Bila masih salah, ulangi penyebutan ke 3
nama benda tsb sampai ia dapat mengulangnya dengan benar. Hitunglah jumlah
percobaan dan catatlah (bola,kursi,sepatu)
Jumlah percobaan : ………………………………………..
ATENSI dan KALKULASI
5 [__] Hitunglah berturut-turut selang 7 mulai dari 100 ke bawah. Berilah 1 angka
untuk tiap jawaban yang benar. Berhenti setelah 5 hitungan (93,86,79,72,65).
Kemungkinan lain, ejalah kata “dunia” dari akhir ke awal (a-i-n-u-d)
MENGINGAT
3 [__] Tanyalah kembali nama ke 3 benda yang telah disebutkan di atas. Berilah 1
angka untuk tiap jawaban yang benar.
BAHASA
9 [__] Apakah nama benda-benda ini? Perlihatkan pensil dan arloji (2 angka)
Ulanglah kalimat berikut : “ Jika tidak, dan Atau Tapi ”. (1 angka)
Laksanakan 3 buah perintah ini : “ Peganglah selembar kertas dengan tangan
kananmu, lipatlah kertas itu pada pertengahan dan letakkanlah di lantai”. (3
angka)
Bacalah dan laksanakan perintah berikut “PEJAMKAN MATA ANDA”, (1
angka)
Tulislah sebuah kalimat
Tirulah gambar ini (1 angka)

Skor Jam selesai :


Keterangan :
Diluar nilai 30 yang mungkin, nilai yang kurang dari 25 mengarahkan adanya gangguan, dan nilai
yang kurang dari 20 menyatakan gangguan yang pasti.

Penapisan Depresi
Penapisan depresi berkaitan dengan personal kepribadian, perasaan hati, kesadaran, afek,
konfusio, curiga, gangguan tidur dan depresi.
Tabel 6. Kuesioner Penapisan Depresi
Skala Depresi Geriatri (Geriatric Depression Scale / GDS) Ya Tidak
1 Apakah Anda pada dasarnya puas dengan kehidupan anda? 0 1
2 Apakah Anda tidak dapat melakukan sebagian besar kegiatan Anda? 1 0
3 Apakah Anda merasa bahwa hidup Anda tidak berguna? 1 0
4 Apakah Anda sering merasa bosan? 1 0
5 Apakah Anda hampir selalu bersemangat tinggi? 0 1
6 Apakah Anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada Anda? 1 0
7 Apakah Anda merasa bahagia hampir sepanjang waktu? 0 1
8 Apakah Anda sering merasa bahwa tidak ada yang membantu Anda? 1 0
9 Apakah Anda lebih memilih untuk diam di rumah daripada keluar rumah dan 1 0
mencoba hal-hal baru?
10 Apakah Anda mera sa memiliki lebih banyak masalah dengan ingatan Anda 1 0
dibanding biasanya?
11 Apakah Anda merasa bahwa hidup Anda saat ini menyenangkan? 0 1

12 Apakah Anda merasa tidak berharga dengan keadaan Anda saat ini? 1 0

13 Apakah Anda merasa sangat kuat / bertenaga? 0 1

14 Apakah Anda merasa bahwa situasi Anda tanpa harapan? 1 0

15 Apakah Anda merasa bahwa kebanyakan orang lebih baik daripada Anda? 1 0

Total
Nilai : 3 atau lebih pada GDS 15 mendeteksi adanya kasus Depresi ( 100% sensitivitas)
Pengkajian Inkontinensia Urin dan Alvi
Pengkajian ini meliputi ada tidaknya Inkontinensia Urin dan Alvi
Tabel 7. Kuesioner Pengkajian Inkontinensia Urin dan Alvi
Pertanyaan : Apakah anda mengompol atau BAB tanpa disadari ?
0 tidak pernah
1,0 kadang-kadang kehilangan kontrol berkemih/menggunakan alat bantu untuk berkemih
& BAB
2,5 kehilangan kontrol berkemih sedikitnya sekali dalam sebulan
4,0 kehilangan kontrol berkemih sedikitnya 2 kali sebulan/kadang-kadang kehilangan kontrol
BAB
5,0 kehilangan kontrol BAB sedikitnya sekali dalam sebulan
5,5 kehilangan kontrol berkemih sedikitnya sekali dalam seminggu
6,5 kehilangan kontrol BAB sedikitnya 2 kali sebulan
8,0 kehilangan kontrol BAB sedikitnya sekali seminggu/kehilangan kontrol berkemih
sedikitnya sekali setiap hari
10 kehilangan kontrol BAB sedikitnya sekali sehari
10,5 tidak bisa mengontrol fungsi berkemih sama sekali
11,5 tidak bisa mengontrol BAB sama sekali
Total Skor
Inkontinensia dikelompokkan menjadi :
0 : tdk ada inkontinensia 1 – 2,5 : inkontinensia ringan
4,0 – 6,5: inkontinensia sedang ≥8 : inkontinensia berat

Pengkajian Nyeri
Penilaian Nyeri berdasarkan pada ada tidaknya nyeri, lokasi, intensitas dan jenisnya
Nyeri : ( ) tidak, ( ) ya: lokasi: ____Intensitas (0-10):____
Jenis : akut ( ), kronis ( )

Asesmen Lingkungan
Asesmen lingkungan merupakan asesmen yang cukup penting untuk dapat melengkapi dan
menentukan keadaan lingkungan dan tempat tinggal yang bersangkutan beserta anggota
keluarganya. Perlu ditanyakan tentang terutama keamanan dan rasa aman di rumah,
kemungkinan mendapatkan bantuan baik secara teknis maupun medik.
Penapisan Risiko Ulkus Dekubitus dengan Skala Norton
Dengan mempergunakan skala Norton maka gambaran risiko ulkus dekubitus yang
didapat pada pasieen yang mengalami imobilisasi yaitu nilai paling rendah merupakan kondisi
yang paling buruk. Total skor bervariasi dari 5-20, dengan batasan yang dipakai yaitu 14, apabila
individu memiliki nilai skala Norton ≤ 14, maka dikatakan individu tersebut berisiko untuk
mengalami ulkus dekubitus.

Tabel 8. Risiko Ulkus Dekubitus pada Imobilisasi dengan Skala Norton

Kondisi Pasien Keterangan + Skor


Kondisi Fisik Umum Baik (4), Cukup/lumayan (3)
Buruk (3), Sangat buruk (2)
Kesadaran Komposmentis (4), Apatis (3)
Confused (2), Stupor (1)
Tingkat Aktivitas Ambulatori (4)
Berjalan dengan bantuan (3)
Hanya bisa duduk (2)
Hanya bisa tiduran (1)
Mobilitas Bergerak bebas (4)
Sedikit terbatas (3)
Sangat terbatas (2)
Tidak bisa bergerak/imobil (1)
Inkontinensia Tidak ada (4)
Kadang-kadang (3)
Sering inkontinensia urin (2)
Inkontinensia urin dan alvi (1)

Pengkajian Insomnia
Pengkajian masalah insomnia dapat mempergunakan kuisioner berikut ini:
Tabel 9. Kuisioner Pengkajian Insomnia
Lingkari Jawaban Terbaik
Bulan lalu Tidak Jarang Kadang- Hampir tiap Selalu
pernah kadang hari/malam
1 Apakah anda memiliki masalah untuk
1 2 3 4 5
jatuh tertidur?
2 Apakah anda memiliki masalah untuk
1 2 3 4 5
tetap tidur?
3 Apakah anda merasa bangun pagi
1 2 3 4 5
tidak menyegarkan?
4 Apakah anda mengkonsumsi sesuatu
1 2 3 4 5
untuk membuat anda tidur?
5 Apakah anda mengkonsumsi alkohol
1 2 3 4 5
untuk membantu anda tidur?
6 Apakah anda memiliki masalah medis
1 2 3 4 5
yang menganggu tidur anda?
7 Apakah anda kehilangan minat
1 2 3 4 5
terhadap hobi atau aktivitas?
8 Apakah anda merasa sedih, mudah
1 2 3 4 5
marah, dan kehilangan harapan?
9 Apakah anda merasa gugup atau
1 2 3 4 5
khawatir?
10 Apakah anda berpikir ada yang salah
1 2 3 4 5
dengan tubuh anda?
11 Apakah anda bekerja shift atau apakah
1 2 3 4 5
jadwal tidur anda tidak teratur?
12 Apakah kaki anda gelisah dan/atau
1 2 3 4 5
tidak nyaman sebelum tidur?
13 Apakah ada yang pernah mengatakan
bahwa anda gelisah atau menendang 1 2 3 4 5
kaki anda ketika tidur?
14 Apakah anda memiliki kebiasaan atau
1 2 3 4 5
gerakan yang tidak biasa ketika tidur?
15 Apakah anda mendengkur? 1 2 3 4 5
16 Apakah ada yang pernah mengatakan
bahwa anda berhenti bernapas, sesak,
1 2 3 4 5
mendengkur, atau seperti tercekik
ketika tidur?
17 Apakah anda memiliki kesulitan untuk
1 2 3 4 5
tetap terjaga ketika siang hari?

Kuesioner skrining insomnia ini merupakan alat yang digunakan dokter untuk evaluasi klinis
insomnia. Ini digunakan untuk skrining gangguan tidur primer. Berdasarkan aturan umum di
bawah ini, dokter harus melakukan evaluasi klinis lengkap dan/atau merujuk ketika diperlukan.
Dasar diagnostik:
 Insomnia : pertanyaan 1-6
 Gangguan psikiatrik : pertanyaan 7- 10
 Kelainan ritme Sirkadian : pertanyaan 11
 Kelainan gerakan : pertanyaan 12-13
 Parasomnia : pertanyaan 14
 Gangguan bernapas saat tidur (sleep apnea): pertanyaan 15-17
Panduan umum interpretasi kuesioner skrining insomnia:
1. Pasien yang menjawab 3, 4, 5 pada banyak pertanyaan lebih mengarah ke diagnosis
insomnia. Jika mereka menjawab 3, 4, atau 5 pada dua atau lebih item dan memiliki
gangguan saat siang hari yang signifikan, maka dibutuhkan evaluasi dan tatalaksana
lebih lanjut. Jika tidak ada bukti adanya gangguan tidur primer dan/atau penyebab
sekunder insomnia tidak dapat diidentifikasi, maka disebut insomnia terkondisi.
2. Pasien yang menjawab 4 atau 5 pada pertanyaan 6-9 harus diskrining lebih lanjut untuk
kelainan psikiatri. Pertanyaan 9 merujuk ke kelainan somatisasi, dimana umumnya
berhubungan dengan insomnia dan dapat menggambarkan adanya gangguan
somotoform sebelumnya dimana hal ini membutuhkan pengobatan spesifik.
3. Pasien yang menjawab 4 atau 5 pada pertanyaan 11 lebih mengarah pada gangguan
irama sirkadian. Pertanyaan lebih lanjut dan mendalam mengenai shift kerja atau
adanya fase tidur yang terlambat harus dilakukan.
4. Jawaban 4 atau 5 pada item lainnya merupakan hal signifikan dan berkontribusi besar
pada gejala pasien insomnia atau tidur yang tidak menyegarkan. Pertanyan 12 merujuk
ke sindrom kaki gelisah dan pertanyaan 13 merujuk pada gangguan gerakan kaki
periodik.
5. Jawaban 2-5 pada pertanyaan 14 harus mendapat perhatian lebih terutama ketika
kejadian atau gerakan tersebut berpotensi menimbulkan kekerasan atau cidera pada
pasien atau pasangan tidurnya.
6. Menjawab 4 atau 5 pada pertanyan 15 atau 16 memerlukan evaluasi klinis lebih lanjut
mengenai apnea tidur. Jawaban di atas 3 pada pertanyaan 15 dan 16 atau 15 dan 17
juga memberi kecurigaan terhadap apnea tidur dan dibutuhkan evaluasi lebih lanjut.14

Impairments (Kemunduran Fungsi Organ)


Didapatkan 14 Impairments pada Geriatri
1. Immobility
2. Instability
3. Incontinence
4. Impairments of cognitive
5. Impaction
6. Impairments of Vision, Hearing, skin integrity, taste
7. Infection
8. Isolation
9. Inanition
10. Impecunity
11. Iatrogenesis
12. Insomnia
13. Impotence
14. Immunodeficiency

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan pemeriksaan tanda vital.
1. Pemeriksaan fisik tekanan darah, dilaksanakan dalam keadaan tidur, duduk dan berdiri,
masing-masing dengan selang 1-2 menit, untuk melihat kemungkinan terdapatnya hipotensi
ortostatik
2. Pemeriksaan fisik untuk menilai sistem. Pemeriksaan organ dan sistem ini disesuaikan
dengan tingkat kemampuan pemeriksa. Yang penting adalah pemeriksaan secara sistem ini
menghasilkan dapatan ada atau tidaknya gangguan organ atau sistem.
3. Pemeriksaan fisik dengan urutan seperti pada anamnesis penilaian sistem, yaitu :
 Pemeriksaan susunan saraf pusat (Central Nervous System).
 Pemeriksaan panca indera, saluran nafas atas, gigi-mulut.
 Pemeriksaan leher, kelenjar tiroid, bising arteri karotis.
 Pemeriksaan dada, paru-paru, jantung dan abdomen perlu dilakukan dengan cermat.
 Pemeriksaan ekstremitas, refleks-refleks, gerakan dan kelainan sendi-sendi perlu
diperiksa : sendi panggul, lutut dan kolumna vertebralis.
 Pemeriksaan kulit-integumen, juga perlu dilakukan.
Pemeriksaan fisik perlu dilengkapi dengan beberapa uji fisik seperti “get up and go” (jarak 3
meter dalam waktu kira-kira 20 detik), mengambil benda di lantai, beberapa tes keseimbangan,
kekuatan, ketahanan, kelenturan, koordinasi gerakan.
Bila dapat mengamati cara berjalan (gait), adakah sikap atau gerakan terpaksa. Pemeriksaan
organ-sistem adalah melakukan pemeriksaan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki secara
sistematis.

Pemeriksaan Tambahan (Penunjang)


Pemeriksaan tambahan disesuaikan dengan keperluan penegakan kepastian diagnosis, tetapi
minimal harus mencakup pemeriksaan rutin.
 X-foto thorax, EKG
 Laboratorium : - DL,UL, FL
Apabila terdapat kecurigaan adanya kelainan yang belum jelas atau diperlukan tindakan
diagnostik atau terapi, dapat dilakukan konsultasi (rujukan) kepada sub-bagian atau disiplin
lain, atau pemeriksaan dengan alat yang lebih spesifik : FNB, EKG, CT-Scan.

Sindrom Geriatri
Sindrom Geriatri meliputi Delirium,Instabilitas/Falls, Immobilisasi, Inkontinensia Urin,
Inkontinensia Alvi, Demensia, Ulkus Dekubitus, Depresi, Inanisasi, Insomnia.

Daftar Masalah
Daftar masalah berisikan kesimpulan dari berbagai hasil pemeriksaan (asesmen) yang telah
dikerjakan.

Rekomendasi

Terapi atau Tindakan

Rencana Kerja
Disposisi
Boleh pulang jam keluar dan tanggal
Kontrol di Poliklinik pada tanggal
Dirawat di ruangan dengan waktu (jam dan tanggal)

Tanda Tangan dan Nama Dokter Pengkaji

Tanda Tangan dan Nama Dokter Ruangan


RINGKASAN URUTAN PEMERIKSAAN PENDERITA

1. Anamnesis, (bila perlu dilengkapi alo-anamnesis)

2. Pemeriksaan Fisik (dari ujung rambut sampai ujung kaki)

Pemeriksaan bantuan rutin (Lab, ECG dan X-ray)

Daftar masalah sementara

3. Diagnosis sementara  terapi sementara

Diagnosis Diferensial

- Pemeriksaan bantuan khusus


- Konsultasi vertikal / horisontal
- Observasi penderita
- Teknologi cangggih
- Daftar masalah

4. Diagnosis pasti

5. Terapi Pasti  non drug treatment dan terapi obat/tindakan bedah,


dsb

Evaluasi  Perbaikan kebiasaan hidup

6. Prognosis
- Terapi aspek preventif (FR)
- Terapi Aspek Rehabilitatif
- Hasil pengobatan berupa :
- Sembuh total atau sembuh dengan Sequellae
- Impairment, Functional limitation, Activity restriction
berupa :
- Disability (objectivied)
- Handicap (Socialized)
Lampiran Data Medis Pasien Geriatri
Dokter Yang Memeriksa :................................................................ Tanda Tangan Dokter
Supervisor Jaga :................................................................

ANAMNESA
1. Keluhan Utama:

2. Riwayat Penyakit Sekarang:

3. Riwayat Penyakit Dahulu/Riwayat Inap Rumah Sakit


 Hipertensi  Kencing Manis  Jantung  Asthma  Stroke  Liver  Ginjal  TBC Paru
 Lain-lain..........................................................................................................................................................................
Riwayat inap rumah sakit :
Tgl ………… bln ………………… Thn ………… RS…………… Diagnosis ………………..….……………………
Tgl ………… bln ………………… Thn ………… RS…………… Diagnosis ………………..….……………………

4. Riwayat Pengobatan:
Nama Obat Dosis Lamanya
1. ................................................................. ....................... ...............................
2. ................................................................. ....................... ...............................
3. ................................................................. ....................... ...............................

5. Riwayat Pembedahan:
Tgl ………… bln ………………… Thn …………………. Jenis Pembedahan ………………..….……………………
Tgl ………… bln ………………… Thn …………………. Jenis Pembedahan ………………..….……………………

Penilaian Nyeri
Nyeri : ( ) tidak, ( ) ya: lokasi: ______________ Intensitas (0-10):_____
Jenis : akut ( ), kronis ( )

TANDA-TANDA VITAL Keadaan Umum:  Baik  Sedang  Lemah  Jelek GCS: E.........V.......M....... Suhu:...... oC
Tensi baring:.........mmHg, duduk:.........mmHg, berdiri:..........mmHg, Nadi:.......x/mnt Respirasi:.......x/mnt, Saturasi O2:........%
PEMERIKSAAN FISIK
Mata:  Anemis...........  Icterus.................  Reflex Pupil:....................  Oedema Palpebrae....................
THT:  Tonsil....................  Pharing...........................  Lidah............................. .............................. Bibir...............................
Leher:  JVP...................  Pembesaran Kelenjar...........................................................................................  Kaku Kuduk.+ / -
Thoraks: - Cor:  S1,S2..............................reguler/Ireguler  Murmur........................................
- Pulmo:  Suara nafas......................... Ronchi...................... Wheezing......................
 Lain-lain...........................................................................................................
Abdomen:  Distensi: + / -  Meteorismus: + / -  Peristaltik:  Normal  Meningkat  Menurun  Ascites: + / -
 Nyeri tekan: + / - Lokasi: ..........................................................................................................
- Hepar/Lien: ...............................................................................................................................
- Lain-lain: ..................................................................................................................................
Extremitas:  Hangat/Dingin  Odema......................  Lain-lain: ................................................................................................

ASSESMEN SINDROM GERIATRI


1. Penapisan Status Fungsional
1. Activity Daily Living (ADL) Barthel
 Mandiri (20)  Ketergantungan ringan (12 – 19)  K. sedang (9 – 11)  K. berat (5 – 8)  K. total (0 – 4)

2. Instrumental ADL (IADL)


 Independen (0)  Kadang-kadang perlu bantuan (1)  Perlu bantuan sepanjang waktu (2)
 Tidak beraktivitas/dikerjakan oleh orang lain (3 – 8)

2. Penapisan ACS (Acute Confusional State) / Sindrom Delirium Akut


 Ya  Tidak

3. Penilaian Status Nutrisi


 Baik (0-3)  Risiko sedang (4-5)  Risiko berat (≥6)

4. Penapisan Kognitif
a. AMT (Abviated Mental Test)
 Normal (8 – 10)  Gangguan kognitif sedang (4 – 7)  Gangguan kognitif berat (0 – 3)  Belum dapat
dievaluasi
b. MMSE (Mini Mental State Examination)
 Normal (25 – 30)  Gangguan Kognitif ringan (MCI) (20 – 25)  Gangguan kognitif pasti (< 20)  Belum dapat
dievaluasi

5. Penapisan Depresi GDS (Geriatri Depression Scale)


 Normal (0 – 9)  Depresi Ringan (10 – 19)  Depresi berat (20 – 30)  Belum dapat
dievaluasi

6. Penapisan Inkontinensia
 Tidak ada inkontinensia (0)  Inkontinensia ringan (1 – 2.5)  I. sedang (4 – 6.5)  I. berat (≥ 8)

7. Penapisan tromboemboli vena (DVT dan emboli paru) pada imobilisasi (Prediksi Klinis Wells)
 Risiko rendah (< 1)  Risiko sedang (1 – 2)  Risiko tinggi (> 3)

8. Penapisan Ulkus Dekubitus pada imobilisasi (Skala Norton)


 Risiko rendah (> 14)  Risiko sedang (12 – 13)  Risiko tinggi (< 12)

9. Penapisan Insomnia
 Tidak ada  General insomnia  Initial insomnia  Middle insomnia  Late insomnia

10. Lain-lain
…………………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………........

HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

DIAGNOSIS (NO. ICD X)

SINDROM GERIATRI  Delirium  Instabilitas/fall  Immobilisasi  Inkontinensia urin dan alvi  Demensia  Ulkus
dekubitus  Depresi  Malnutrisi  Insomnia  ……………………………………………………………..

IMPAIRMENT (ICF) / DISABILITY / HANDICAP

REKOMENDASI

RENCANA KERJA DISPOSISI


 Boleh pulang Jam Keluar:........Wita
Tanggal:....................
Kontrol Poliklinik  Ya................
Tanggal:......................
 Tidak
 Dirawat di ruang:  Intensif  MS/Ratna
 Ruang
lain:.......................
Depresi Pada Geriatri

Pendahuluan
Gangguan Depresi merupakan masalah dalam kesehatan Geriatri. Usia bukan
merupakan faktor untuk menjadi Depresi tetapi suatu keadaan penyakit medis kronis dan
masalah-masalah yang dihadapi populasi Geriatri yang membuat mereka Depresi. Selain itu
bertambahnya usia sering diiringi oleh hilangnya fungsi sosial dasar yang mendukungnya,
karena kematian pasangan, pensiun,karena kesempatan mereka dalam kondisi dan fakta yang
mengharapkan mereka untuk menahan diri.

Definisi
Depresi keadaan gangguan psikologis yang ditandai dengan adanya gejala utama dan
gejala lain yang menyertainya (PPDGJ-III) :
Gejala utama Gejala lain
- Afek Depresi - Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Kehilangan minat - Kurang percaya diri
- Berkurangnya energi (mudah lelah) - Sering merasa bersalah
- Pesimis
- Ide bunuh diri
- Gangguan tidur
- Gangguan nafsu makan
Adanya gangguan daam bentuk penurunan aktivitas kerja dan fungsi sosial
Kriteria Depresi:
1. Depresi ringan :
2 gejala utama + 2 gejala lain+ aktivitas terganggu
2. Depresi sedang :
2 gejala utama + 3 gejala lain+ aktivitas terganggu
3. Depresi berat :
3 gejala utama + 4 gejala lain+ aktivitas sangat terganggu
Untuk episode Depresif dari ketiga tingkatan keparahan diperlukan waktu sekurang-kurangnya
2 minggu untuk menegakkan dioagnosa untuk episode Depresi tunggal. Episode Depresi
berikutnya diklasifikasi sebagai gangguan Depresi berulang. Episode Depresi berulang masing-
masing rata-rata sekitar 6 bulan dan minimal 2 episode telah berlangsung dengan masing-
masing selama minimal 2 minggu.
Diagnosis gangguan mental ke-4 ada 9 kriteria Depresi : Gangguan mood, gangguan tidur, minat
menurun untuk aktivitas, merasa bersalah dan tidak berharga, kurang tenaga (tidak berdaya),
tidak konsentrasi, sulit membuat keputusan, anoreksia atau berat badan turun, gerakan
psikomotor dan keinginan bunuh diri. Penapisan pada Depresi lanjut usia dilakukan dengan GDS
(Geriatric Depression Scale).
Keterpaduan dalam perawatan kesehatan dan pelayanan kesehatan mental telah membuat
sistim yang tidak komprehensif pada pasien Geriatri dengan Depresi.
Masalah medis yang multikompleks pada Geriatri, sering memperburuk tingkat impairment/
ketidakmampuan. Geriatri dengan Depresi sering menampilkan gejala spesifik, seperti
insomnia, anoreksia, keluhan somatik dan fatigue atau kelelahan.
Pengkajian Depresi pada Geriatri di lakukan dengan menyelesaikan kuesioner Geriatric
Depression Scale
Tabel 1. GDS (Geriatric Depression Scale)
Skala Depresi Geriatri (Geriatric Depression Scale / GDS) Ya Tidak
1 Apakah Anda pada dasarnya puas dengan kehidupan anda? 0 1
2 Apakah Anda tidak dapat melakukan sebagian besar kegiatan Anda? 1 0
3 Apakah Anda merasa bahwa hidup Anda tidak berguna? 1 0
4 Apakah Anda sering merasa bosan? 1 0
5 Apakah Anda hampir selalu bersemangat tinggi? 0 1
6 Apakah Anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada Anda? 1 0
7 Apakah Anda merasa bahagia hampir sepanjang waktu? 0 1
8 Apakah Anda sering merasa bahwa tidak ada yang membantu Anda? 1 0
9 Apakah Anda lebih memilih untuk diam di rumah daripada keluar rumah dan 1 0
mencoba hal-hal baru?
10 Apakah Anda mera sa memiliki lebih banyak masalah dengan ingatan Anda 1 0
dibanding biasanya?
11 Apakah Anda merasa bahwa hidup Anda saat ini menyenangkan? 0 1

12 Apakah Anda merasa tidak berharga dengan keadaan Anda saat ini? 1 0

13 Apakah Anda merasa sangat kuat / bertenaga? 0 1

14 Apakah Anda merasa bahwa situasi Anda tanpa harapan? 1 0

15 Apakah Anda merasa bahwa kebanyakan orang lebih baik daripada Anda? 1 0

Total
Nilai : 3 atau lebih pada GDS 15 mendeteksi adanya kasus Depresi ( 100% sensitivitas)
Skor: hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal. Setiap jawaban bercetak tebal mempunyai nilai 1.

Penapisan Depresi dapat juga dilakukan dengan menggunakan Kriteria Depresi menurut DSM
IV-R :
a) Suasana jiwa murung
b) Hilangnya perasaan gembira dan perhatian
c) Perasaan salah dan tidak berharga
d) Pikiran / percobaan bunuh diri
e) Tidak dapat mengambil keputusan
f) Agitasi
g) Lelah / hilang energi
h) Gangguan tidur
i) Perubahan nafsu makan
Kedua gejala teratas adalah esensial dan salah satu harus terdapat di dalam 3–5 gejala tersebut
minimal selama 2 minggu.

Patogenesis
Berbagai studi menyatakan bahwa ada dasar Depresi genetik pada semua orang pada
semua umur, juga ada bukti yang substansial bahwa riwayat Depresi adalah faktor risiko untuk
terjadinya Depresi dimasa yang akan datang sepanjang hidupnya.
Penyebab terjadinya Depresi merupakan gabungan antara faktor-faktor psikologis, sosial dan
biologis.:
- Biologis : sel saraf yang rusak (atrofi serebri), faktor genetik, penyakit kronis seperti
hipertensi, DM, stroke, keterbatasan gerak, gangguan pendengaran / penglihatan
- Sosial : kurang interaksi sosial, kemiskinan, kesedihan, kesepian, isolasi sosial.
- Psikologis : kurang percaya diri, gaul, akrab, konflik yang tidak terselesai.3
Peran berbagai Neurotransmiter terkait depresi

Serotonin

Norepinephrine Anxietas
Iritabilitas
Energi perhatian Impulsivitas

Mood, emosi, fungsi


kognitif Sex

Nafsu makan
Motivasi
Agresi

Drive

Dopamine

Gambar 1. Peran berbagai Neurotransmiter terkait Depresi.

Evaluasi
Gejala Depresi pada Geriatri dengan orang dewasa muda berbeda, pada Geriatri
terdapat keluhan somatik, rentan untuk terjadi:
1. Episode Depresi berat dengan ciri melankolis
2. Harga diri yang rendah
3. Penyalahan terhadap diri sendiri
4. Ide bunuh diri.

Depresi pada Geriatri sering tidak terdiagnosis karena hal-hal sebagai berikut :
- Populasi Geriatri seringkali menutupi rasa sedihnya dengan menunjukannya untuk
lebih aktif
- Penyakit fisik yang diderita sering mengacaukan gambaran Depresi
- Masalah sosial sering membuat gambaran Depresi menjadi lebih rumit.
Tabel 2. Gangguan Fisik yang Berhubungan dengan Depresi.
Penyakit Addison Tumor intrakrascial
Acquired immunodeficiency syndrome Multiple sclerosis
Angina Infarction myokard
Kanker pancreas Penyakit Parkinson’s
Cerebral arteriosclerosis, infark cerebral Anemia Perniciosa
Penyakit Cushings Porphyria
Penyakit ginjal
Diabetes Rheumatoid arthritis
Ketidaknormalan elektrolit Dementia Senile
Defisiensi asam folat dan thiamin Syphilis
Hepatitis Systemic lupus erythematosus
Hypoglikemia Temporal arteritis
Hypothyroidsm, hyperthyroidism, Epilepsi
hyperparathyroidism
Influenza Penumonia

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan efektif memerlukan pendekatan bio-psiko-sosial-kultural, kombinasi
farmakoterapi dan psikoterapi. Terapi biasnya membuat kualitas hidup meningkat, kapasitas
fungsi yang membaik, kemungkinan status kesehatan medis yang meningkat, peningkatan
harapan hidup dan biaya perawatan kesehatan menurun.
Farmakoterapi
Farmakoterapi untuk episode akut Depresi biasanya efektif dan tidak ada komplikasi
dibawah pemakaian atau salah pemakaian anti depresan dan dosis yang tidak tepat adalah
kesalahan umum para dokter.
1. SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Golongan SSRI yang aman digunakan : Fluoxetine 10-20 mg/hari, Fluvoxamine10-20mg/hari,
Sertraline 25-50mg/hari. Golongan ini paling aman digunakan pada pasien Geriatri.
2. SNRI (Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitor)
Escitaloprame 5 mg/hari, Venlafaxine 37,5 mg/hari.
3. Tricyclic Antidepresant
Golongan yang sering dipakai adalah : Desipramine, Nortryptiline,Amitryptiline
Desipramine sedikit kandungan sedatifnya dan bisa diminum sepanjang hari, dosis
Nortrypiline lebih sedikit menyebabkan hipotensi ortostatik daripada Amitryptilin imipra.
Dosis dimulai dari 10-20 mg perhari dan dinaikkan tiap minggu 10-20 mg.
4. MAO Inhibitor
Golongan MAO Inhibitor cukup aman dalam penggunaannya. Respon terapi penuh bisa
dicapai setelah 5-7 minggu. Hipotensi, hipertensi masalah yang sering muncul. Pemberian
obat dari lebih 1 kelas obat bisa meningkatkan risiko perubahan síndrom Serotonin (status
mental, hipereflexia, agitasi, myoclomus, diceporesis, tremor, diare, inkoordinasi, menggigil,
demam).

Psikoterapi
Psikoterapi dianjurkan bagi pasien Geriatri dengan Depresi karena kerentaannya
terhadap efek dan tingginya rata-rata masalah medis dan medikasi, hidup stres, masalah
keluarga, tidak adanya dukungan sosial.
Kolaborasi interdisiplin harus dilakukan dalam bentuk case management depresión.
Pada populasi Geriatri dokter harus memberi pasien dan keluarganya informasi yang
berhubungan dengan penyakitnya, keluhan mental dan program gizi. Tujuannya termasuk
peningkatan fungsi sehari-hari, peningkatan keterampilan, kualitas hidup, integrasi sosial.
Waktu terapi biasanya 45-50 menit, pasien bekerjasama dengan psikiatris atau terapis
lainnya untuk mengidentifikasi, belajar merawat dirinya sendiri, menangani problema, masalah
emosi dan perilakunya.

Elektrokonvulsive Therapy (ECT)


ECT memegang peranan penting pada terapi Depresi pada Geriatri ECT merupakan
terapi medis yang dilaksanakan hanya oleh profesional kesehatan yang cukup ahli. Termasuk
dokter dan perawat dibawah supervisi langsung psikiatris.
Prioritas terapi ECT pada pasien yang tidak memiliki respon terhadap farmakoterapi,
pasien menerima anestesi umum dn relaksasi otot. ECT jika dikerjakan dengan benar
menyebabkan pasien mendapatkan relaksasi otot. Otot-otot pasien direlax-kan sehingga
kejutan yang mereka alami akan terbiasa terbatas pada gerakan kecil tangan dan kaki. Pasien
secara hati-hati dimonitor selama terapi. Pasien sadar beberapa menit kemudian tidak ingat
(acute convulsion state) terapi atau peristiwa sekitar terapi, bahkan seringkali bingung.
Kebingungan ini biasanya berlangsung sangat sebentar.
ECT diberikan 3 kali seminggu selama 2-4 minggu. Pada banyak kasus ECT dipakai hanya
jika medikasi atau psikoterapi belum efektif, tidak bisa menerima atau tidak akan membantu
pasien dengan cepat.
Inkontinensia Urin Pada Geriatri

Pendahuluan
Definisi inkontinensia urin menurut ICS (International Continence Society, 2002) adalah
keluarnya urin tanpa disadari dan tidak diinginkan dalam jumlah dan frekuensi tertentu yang
dapat mengakibatkan masalah sosial dan hygiene.

Mekanisme Inkontinensia
Untuk dapat terjadinya Inkontinensia, tekanan uretra harus melebihi tekanan intra vesika pada
setiap saat kecuali saat berkemih. Dalam keadaan normal, kandung kemih dan saluran
pengeluaran (bladder outlet) berhubungan simultan dalam penyimpanan dan pengeluaran urin.
Selama penyinpanan, leher kandung kemih dan uretra proksimal menutup, dan tekanan intra
uretra berkisar antara 20-50 cm H2O. Sementara itu otot detrusor berelaksasi sehingga tekanan
dalam kandung kemih (inta vesika) tetap rendah antara 5-10 cm H20. Uretra mempunyai empat
lapisan fingsional yang sensitif terhadap Estrogen, terdiri dari epitel, vaskuler, jaringan
penyokong, dan otot polos yang berfungsi pada pemeliharaan tekanan uretra.
Proses awal berkemih yang volunter dimulai dengan penurunan tekanan intra vesika yang
mencerminkan relaksasi otot dasar panggul dan otot para uretra. Keadaan ini diikuti oleh
pemendekan uretra secara mekanik dan pembukaan leher kandung kemih. Perubahan-
perubahan ini diikuti oleh kontrol detrusor dalam beberapa detik dan terjadi peningkatan
tekanan inta vesika yang dipertahankan sampai kandung kemih kosong.Adanya respon
penghambatan otot polos dan otot lurik uretra juga menyebabkan penurunan tahanan outlet
selama berkemih. Perubahan-perubahan ini dikoordinasi oleh jalur syaraf pada tingkat torako
lumbal dan sakral korda spinalis.
Jenis Inkontinensia Urin
Tabel 1. Jenis Inkontinensia urin.
NO TIPE
1 Akut
 reversibel
 ireversibel
2 Kronik
 fungsional
 urgensi
 stress
 overflow
 campuran
 neurogenik
3 Transient
4 Congenital

Tipe inkontinensia urin :


1. Inkontinensia Urin Tipe Fungsional
Merupakan keluarnya sejumlah urin yang tidak pada waktunya dan tidak pada tempatnya
akibat disabilitas fisik atau gangguan eksternal yang menghalangi seseorang mencapai toilet.
Kemungkinan pasien memiliki kelainan saluran kencing bagian bawah seperti hiperaktifitas
detrusor.1

Gambar 1. Inkontinensia Urine Tipe Fungsional.


2. Inkontinensia Urin Tipe Urgensi
Adalah keluarnya sejumlah besar urin pada saat yang tidak diharapkan termasuk saat tidur,
dimana ada dorongan kuat untuk berkemih tanpa adanya alasan, yang tidak dapat ditahan.
Pasien mengeluh ingin buang air kecil secara tiba-tiba yang tidak dapat ditahan. Bila dia
menahannya, maka urin akan keluar dengan sendirinya. Kelainan ini sering akibat kontraksi
yang tidak dapat dihindari karena otot-otot vesika urinaria sangat aktif berkontraksi disebut
sebagai overactive bladder (hiperaktifitas kontraksi detrusor involunter) selama fase pengisian
penyimpanan. Pada Urge Inkontinensia, urin yang keluar lebih banyak, sering buang air kecil
pada malam hari dan pada waktu tidurpun urin dapat keluar, karena otot-otot vesika
berkontraksi tergantung dari jumlah urin di dalam vesika urinaria.OverActive Bladder adalah
gejala urgensi dengan atau tanpa inkontinensia urin tipe urgensi disertai keluhan : frekuensi
(berkemih delapan kali atau lebih perhari), nokturia (berkemih dua kali atau lebih pada malam
hari).
Gejala yang paling mengganggu adalah keinginan yang sangat kuat untuk berkemih yang datang
secara mendadak dan sulit untuk ditahan.
Patofisiologi terjadinya hiperaktifitas otot detrusor idiopatik (idiopathic detrusor overactivity)
meliputi perubahan mekanisme sensorik aferen sehingga timbul aktivasi aferen yang melalui
jalur refleks akan menyebabkan pelepasan asetilkolin oleh saraf-saraf pasca ganglion dan non-
neuron.
Obstruksi kandung kemih dapat menyebabkan hiperaktifitas otot detrusor oleh karena pada
obstruksi kandung kemih akan terjadi denervasi parsial yang menginduksi peningkatan
sensitivitas asetilkolin dan penurunan respon terhadap stimulasi saraf intramural, perubahan
otot detrusor,peningkatan ekspresi neural growth factor yang dapat menyebabkan hipertrofi
neuron aferen dan eferen.

Gambar 2. Inkontinensia Urin Tipe Urgensi.


3. Inkontinensia Urin Tipe Stress
Hilangnya atau keluamya urin yang sangat erat hubungannya dengan suatu peningkatan
tekanan intra abdominal. Pasien mengeluh sering keluar air kecil saat dia bersin, batuk,
tertawa, melompat atau gerakan-gerakan lainnya.
Perubahan fisik saat kehamilan, persalinan, dan menopause sering menyebabkan Inkontinensia
urin tipe stres. Tipe ini merupakan kejadian terbesar pada inkontinensia urin pada wanita. Pada
laki-laki jarang terjadi namun dapat terjadi pasca terapi radiasi pada keganasan saluran kemih
bawah atau pembedahan trans uretra.

Gambar 3. Inkontinensia Urine Tipe Stress.

4. Inkontinensia Urin Tipe Overflow


Ditandai dengan keluarnya urin karena desakan mekanik akibat kandung kemih yang sangat
regang, yang tidak terkontrol karena kandung kemih sangat penuh urin keluar menetes terus
menerus, dan akan keluar lebih banyak bila ada tekanan intra abdominal seperti batuk, bersin,
dan tertawa. Hal ini disebabkan karena kelemahan otot-otot vesika urinaria atau kerusakan
syaraf karena penyakit diabetes melitus, atau karena ada penekanan oleh tumor atau batu atau
kelenjar prostat. Karena adanya obstruksi mekanik pada bagian distal kandung kemih maka
dapat menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter sehingga menimbulkan gejala urgensi,
frekuensi, nokturia. Keadaan ini sering terjadi pada laki-laki dan jarang terjadi pada wanita.

Gambar 4. Inkontinensia Urin Tipe Overflow.

5. Inkontinensia Urin Tipe Mixed atau Campuran.


Merupakan tipe stress dan urgensi bersama-sama, adalah keluarnya urin tanpa disengaja yang
disertai dengan urgensi dan juga pada saat batuk, bersin atau mengangkat benda berat.
6. Inkontinensia Urin Tipe Neurogenik
Berkaitan dengan penyakit neurologik misalnya lesi lobus frontal, stroke, demensia, lesi batang
otak, cedera medulla spinalis, sindroma kauda ekuina, parkinson,disfungsi buli-buli pada
penyakit medulla spinalis.

Gambar 5. Inkontinensia Urine Tipe Neurogenik.

Obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia urin:


Golongan obat Efek potensial terhadap berkemih/ mekanisme IU
Diuretika Efek diuretika: poliuria, frekuensi, urgensi; Kontraksi distimulasi
oleh aliran urin yang tinggi/banyak
Antikolinergik Menurunkan kontraksi kandung kemih yg berakibat retensi
urin; IU tipe overflow; impaksi feses
Psikotropika
Antidepresi Efek antikolinergik; Sedasi
Antipsikotik Efek antikolinergik; Sedasi; Imobilisasi
Sedatif hipnotik Menekan inhibisi sentral untuk berkemih; Sedatif; Delirium;
Imobilisasi; Relaksasi otot uretra
Analgesik narkotik Menurunkan kiontraksi kandug kemihyg berakibat retensi urin;
Impaksi feses; Sedasi; Delirium
Anatagonis adrenergik Alfa Relaksasi sfingter uretra
Agonis adrenergik alfa Kontraksi sfingter uretra dg obstruksi aliran urin yg berakibat
retensi urin
Penghambat enzim konversi Batuk yang mencetuskan IU tipe stress
angiotensin (Ace inhibitor)
Agonis adrenergik beta Dapat berkontribusi terjadinya retensi insulin
Antagonis adrenergik beta Mengganggu relaksasi uretra
Antagonis kalsium Menurunkan kontraksi kandung kemih yg dapat berkontribusi
terjadinya retensi urin
Alkohol Efek diuretika: poliuria, frekuensi, Urgensi; Sedasi; Delirium;
Imobilisasi
Kafein Poliuria; Iritasi kandung kemih
Diagnosis Inkontinensia Urin:
1. Asesmen Umum
2. Catatan berkemih
3. Asesmen klinik
4. Pemeriksaan fisik, rektal tuchae (RT)
5. Kultur urin
6. Imaging traktus urinarius, elektromiografi spincther
7. Urodinamik, uroflowmetri, Cystometry

Penatalaksanaan
Penanganan Inkontinensia urin terdiri atas intervensi perilaku, pemberian obat-obatan, dan
terapi modulasi. Pemilihan jenis pengobatan tergantung dari jenis Inkontinensia urinnya.
1. Intervensi perilaku
Latihan berkemih bertujuan memperpanjang interval berkemih, pasien dijadwalkan.
berkemih pada waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara
bertahap. Latihan ini dilakukan dengan mencatat pada buku harian berkemih setiap kali
pasien buang air kecil, yang dilakukan setiap hari sampai pasien merasakan keinginan
berkemih dengan interval 3-4 jam. Teknik ini terbukti cukup bermanfaat pada
Inkontinensia Urin tipe Urgensi.
Latihan otot dasar panggul atau Kegel exercise memegang peranan penting pada
Inkontinensia Urin tipe Urgensi dan Inkontinensia urin tipe Stres. Latihan dilakukan
dengan membuat kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul seperti jika hendak
menghentikan pancaran berkemih, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kekuatan
uretra untuk menutup secara sempurna. Latihan ini dilakukan setiap hari selama 10
menit paling tidak 2 kali sehari.
Bila didapatkan impaksi feses : hilangkan impaksi feses, gunakan pelunak feses misalnya
laksatif secara tepat dan sesuai indikasi. Berikan diet tinggi serat, lakukan mobilitas,
berikan asupan cairan yang adekuat.
2. Terapi Rumatan
1. Pengobatan untuk inkontinensia urin tipe fungsional pada laki-laki dengan
menggunakan kondom kateter, pada wanita menggunakan tampon/ pampers
dengan daya serap besar.
2. Dengan teknik toileting yang teratur
3. Farmakoterapi
1. Terapi obat Tolterodine
Digunakan pada Inkontinensia Urin tipe Urgensi.
Tolterodine, obat antagonis kompetitif anti muskarinik yang selectif.
Pada dosis : 2 mg/hari, Tolterodine terbukti secara konsisten menghasilkan
frekuensi urin yang menurun. Dari data ditemukan bahwa obat tersebut
amanpenggunaannya pada populasi Geriatri dan mempunyai keuntungan toleransi
yang lebih besar, withdrawl-nya lebih sedikit, sehubungan dengan efek
Tolterodine long acting dosis : 2 – 4 mg/1 kali sehari
Tolterodine intermediate release dosis : 1 – 2 mg/2 kali sehari
Pada pasien Geriatri dengan dosis : 2 mg sehari
Pada pasien dengan kelainan ginjal sebaiknya dengan dosis : 1 mg/hari.
2. Golongan obat Antikolinergik dan Penghambat Alfa Adrenergik
Golongan ini digunakan pada Inkontinensia Urin tipe Overflow
i. Bethanecol, dosis : 10 – 25 mg/oral tiap 6 – 8 jam pada individu Geriatri
ii. Prasozin, dosis : 1 mg/oral tiap 8 – 12 jam. Hati-hati penggunaannya pada
populasi Geriatri karena dapat mengakibatkan hipotensi postural, sebaiknya
tidak digunakan pada pasien dengan kardiovaskular, ulkus peptikum, hipotensi
postural
3. Golongan obat Oxybutinin
Oxybutinin adalah antimuskarinik yang mempunyai efek relaksasi langsung.
Metabolit utamanya pada reseptor M. Merupakan obat antagonist muskarinik yang
secara selektif bekerja pada reseptor M1, M3, dan M4.
Dosis Oxybutinin : 1 - 2 mg/ hari.
4. Golongan obat Solifenacine
Solifenacin Succinate merupakan golongan reseptor antagonis kolinergik yang
spesifik.
Dosis : 5 mg/hari (Bila memang diinginkan efek yang lebih bagus bisa diberikan
hingga dosis10mg/hr
Pada pasien-pasien dengan gagal ginjal dan gangguan hepar tidak direkomendasi
untuk memberikan dosis lebih dari 5 mg/hari
5. Golongan obat Darifenacine
Digunakan dengan dosis 7,5 – 15 mg/hari
6. Golongan obat Imipramine
Golongan ini lebih banyak penggunaannya pada Inkontinensia Urin tipe Stres.
Digunakan dengan dosis 25 – 50 mg, 3 kali/hari.
7. Golongan obat Trospium Chloride
Golongan ini lebih banyak penggunaannya pada Inkontinensia Urin tipe Urgensi.
Digunakan dengan dosis : 20 mg, 2 kali/hari
8. Terapi Estrogen
Topikal Estrogen : 0,5 – 1 gram krim vagina tiap kali pemakain setiap malam selama
1 – 2 bulan.
Untuk dosis rumatan 2 – 3 kali/minggu
4. Terapi Invasif
1. Terapi Estrogen
Biasanya digunakan pada Inkontinensia Urin tipe Stres.
Penggunaan Estrogen untuk gangguan berkemih pada wanita menopause masih
kontroversi, walaupun telah dilakukan banyak penelitian untuk hal ini. Estrogen
memperbaiki indeks maturasi epitel skuamosa uretra, meningkatkan tekanan uretra,
dan memperbaiki transmisi tekanan abdomen ke uretra proksimal. Terapi Estrogen
pada wanita menopause juga menunjukkan meningkatnya jumlah sel intermediate
dan superfisial pada vagina, uretra, dan kandung kemih. Contoh Estrogen lokal : Ring
Estrogen yang dipasang pada vagina. Satu cincin Estrogen setiap 3 bulan
2. Injeksi Peri Uretra
Biasanya dilakukan pada inkontinensia urin tipe stres dengan kelemahan uretra
intrinsik pada wanita. Dilakukan dengan injeksi kolagen periuretra. Untuk
mempertahankan efektifitasnya dilakukan beberapa kali injeksi ulangan.
3. TVT (Tention free Vaginal Tape)
Merupakan operasi pemasangan pita untuk memperkuat otot sfingter uretra yang
dilakukan pada pasien dengan Stress Inkontinensia yang tidak dapat diatasi dengan
latihan otot dasar panggul dan obat-obatan.
4. Drainase Kateter Indwelling Uretra
Penggunaan drainase kateter indwelling uretra atau suprapubik adalah cara yang
paling akhir.
5. Terapi Modulasi
1. Stimulasi klinik
2. Transeksi kandung kemih/ bladder
3. Cystoplasti
4. Akupunktur
5. Acupressure
Inkontinensia Alvi Pada Geriatri

Definisi
Suatu keadaan keluarnya feses secara individual dari rektum pada waktu dan tempat yang tidak
tepat.

Penyebab
1. Gangguan kontraksi volunter pada sfingter eksternal sebagai akibat kerusakan saraf akibat
persalinan pervaginam yang traumatik, prolapsus rektal (procidentia), pembedahan anal
sebelumnya (hemorrhoidektomi, dilatasi anal, sphincterotomi), atau cedera medulla
spinalis.
2. Diabetes dan neuropati otonomik dapat menyebabkan disfungsi sfingter internal.
3. Diare oleh tiap penyebab dapat berperan dalam inkontinensia, terutama pada orang lanjut
usia, yang seringkali mengalami penurunan tekanan sfingterik dan kontinensia untuk cairan
dibandingkan orang yang lebih muda.
4. Impaksi feses adalah penyebab yang sering untuk terjadinya diare pada populasi Geriatri;
feses proksimal dari massa feses yang mengobstruksi menjadi cair dan keluar dari sekitar
fekalit. Karena pasien tersebut biasanya mengalami konstipasi yang berlangsung lama dan
megakolon yang sering, mereka tidak dapat merasakan pergerakan feses ke ujung rektal
dan impaksi fekal secara tonik menghambat sfingter anus internal, menyebabkan
inkontinensia alvi.
5. Konstipasi atau impaksi biasanya banyak ditemukan pada populasi lanjut usia dan seringkali
menimbulkan keluhan fisik.

Tipe Inkontinensia Alvi


1. Tipe Over Flow
Pada konstipasi rektum akan terdistensi dan akan terjadi dislokasi sudut anorektal yang
mengakibatkan hilangnya tonus spincter anal sehingga terjadi inkontinensia alvi.
2. Tipe Anorektal
Kerusakan nervus Pudendus eksternus dan kelemahan otot dasar pelvis / panggul
mengakibatkan penurunan perineum sehingga refleks anal hilang, tonus spincter dan
sudut anorektal hilang dan terjadi inkontinensia alvi.
3. Inkontinensia Alvi Neurogenik
Pada penderita dengan gangguan serebral global terjadi refleks gastrokolik, sehingga
penderita tidak mampu menekan proses defekasi
4. Inkontinensia Alvi Simptomatik
Karena penyakit kolorektal misalnya akibat diare. Pada Geriatri akibat adanya
perubahan yang berkaitan dengan proses kontrol pada fungsi sfingter terhadap fases
yang cair dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan
fases yang cair.

Mekanisme Inkontinensia Alvi


Otot pada anus dan anorektal yang berperan pada mekanisme untuk mempertahankan
kontinensia alvi adalah sfingter anus (internal dan eksternal) dan otot puborektal. Keduanya
merupakan bagian dari diafragma pelvis. Sfingter internal merupakan otot polos sirkular dari
rektum. Sfingter internal ini berperan 80% pada tekanan penutupan anus saat istirahat. Sfingter
eksternal adalah otot lurik dasar pelvis (diafragma pelvis). Sfingter ini hanya berperan 20% pada
tekanan penutupan saat istirahat, tetapi meningkat sampai 40% jika rektum terus menerus
terdistensi dan sampai 65% jika rektum terdistensi secara mendadak.
Otot Puborektal juga merupakan bagian dari diafragma pelvis yang terletak antara m-levator
ani dan sfingter eksternal. Otot ini berasal dari pubis dan berinsersi ke dalam raphe pada bagian
posterior rektum. Fungsi utamanya adalah untuk mempertahankan sudut anorektal dengan
efeknya yang seperti slinglike. Jika sudut anorektal kurang dari 900, ujung atas saluran anal akan
tertutup oleh mukosa anal bagian distal, membentuk mekanisme kontinensia. Jika rektum
terdistensi, sudut anorektal membesar dan tidak lagi sebagai mekanisme kontinensia yang
efektif.
Semua otot pada dasar pelvis, termasuk sfingter eksternal, menerima inervasi somatik dari
nervus pudendus eksternus. Dengan demikian, otot-otot tersebut berada dalam kontrol yang
disadari (volunter) dan dapat mencegah melonjaknya kandungan rektal saat terjadi batuk atau
jika cairan di dalam rektum mengganggu kontinensia.
Mekanisme anatomis kontinensia lainnya adalah bentuk dari saluran anal (seperti celah dalam
arah anteroposterior pada setengah bagian atas dan berbentuk seperti huruf Y pada setengah
bagian bawah); kemungkinan mempunyai kerja sebagai katup “flutter”.
Perubahan yang berhubungan dengan menua dalam struktur anatomik masih sedikit diketahui.
Diafragma pelvis mengalami kehilangan unit motorik. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari
kerusakan nervus pudendus yang terjadi pada wanita selama persalinan yang lama atau
traumatik dan juga pada pasien yang mempunyai kebiasaan menahan feses. Walaupun
kehilangan unit motorik yang meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, tetapi keadaan ini
tidak terjadi secara umum, jadi bukan merupakan dasar perubahan yang berhubungan dengan
ketuaan (aging). Pada sejumlah orang, keadaan ini menyebabkan penurunan perineum yang
berhubungan dengan hilangnya sudut anorektal, hilangnya tonus sfingter eksternal dan
kemungkinan prolapsus rektal dan inkontinensia anorektal.

Diagnosis
1. Pemeriksaan penyebab dasar :
Konsistensi tinja, macam obat, makanan, bedah, trauma, kerusakan otot sfingter, tumor.
2. Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan gastrointestinal, neurologis, dan endokrin yang tepat harus dilakukan secara
individual. Misalnya : tumor kolorektal, Stroke, Demensia, dan refleks anal yang terganggu.
3. Pemeriksaan penunjang :
Anoskopi
Proktosigmoidoskopi
Penatalaksanaan
PenatalaksanaanUmum
1. Hindari konstipasi
2. Diit cukup serat dan cairan
3. Hindari obat pencetus konstipasi
4. Jadwal rutin ke toilet (toileting schedule)
5. Mobilisasi
6. Latihan otot dasar panggul

1. Penatalaksanaan Inkontinensia Alvi Tipe Overflow


- Latihan otot dasar panggul
- Memperbaiki dislokasi sudut anorektal
2. Penatalaksanaan Inkontinensia Alvi Tipe Anorektal
- Latihan otot dasar panggul
- Pembedahan: post anal repair
3. Penatalaksanaan Inkontinensia Alvi Tipe Neurogenik
 Induksi konstipasi dan evakuasi fekal : bergantian
 Cara: obat konstipasi (pagi hari codein fosfat 15-30 mg, dan malam hari diberikan
(laksatif).
 Pada Pagi hari : usus terkontrol,pada siang hari : menghindari peristaltik masa.
 Pada Sore/malam hari : diberikan laksatif
Diharapkan defekasi menjadi teratur .
4. Inkontinensia Alvi Tipe Simptomatik
 Temukan penyebabnya dan diterapi
 Dievaluasi dengan Kolonoskopi dan foto X-ray
Jika ada konstipasi dan impaksi feses, masa tersebut harus dikeluarkan secara digital dengan
bantuan enema air atau enema Fleet, dan pola defekasi (bowel habits) harus dikembalikan
menjadi normal dengan menggunakan zat pembentuk massa (bulking agent), pelunak feses
(misal : docusate sodium 50 sampai 200 mg/hari), atau laksatif ringan (misal : 1 sampai 2
sendok makan susu magnesia/hari atau 1 sendok makan laktulose atau sorbitol dua kali
sehari, atau laxoberon 10 tetes dicampur dalam 1 gelas kecil air perhari) untuk menghasilkan
pergerakan usus yang ringan dalam sehari.
Semua dosis ini dapat dititrasi naik untuk mengontrol konstipasi.
Jika diare sebagai faktor penyebab, diare nonspesifik dapat diobati dengan zat pembentuk
massa, obat antidiare (loperamide atau diphenoxylate), dan latihan sfingter setiap hari. Jika
tonus sfingter sangat menurun, pola enema yang teratur dapat dipertimbangkan untuk
mendapatkan pembersihan usus.

Terapi Biofeedback
 Dengan terapi ini diharapkan sfingter anus eksternal mampu untuk mengenali dan
mempunyai respon terhadap distensi rektal.
 Menggunakan sistem 3 balon rektal, terdapat gambaran fisiologis kontraksi sfingter
anal eksternal yang normal selama distensi rektal yang maksimal dan dan menghasilkan
kembali pola tersebut. Gambaran visual rekaman manometrik rektal mengatur
biofeedback.
 Beberapa jenis Inkontinensia Alvi tidak mempunyairespon terhadap biofeedback,
seperti inkontinensia alvi akibat hilangnya sensoris (pada pasien dengan Diabetes
Melitus, cedera Medula Spinalis) atau Inkontinensia Alvi akibat kelenturan rektum yang
buruk (trauma rektal, cedera radiasi).
Polifarmasi Pada Pasien Geriatri

Pendahuluan
Polifarmasi secara sederhana berarti banyak mengkonsumsi obat. Diagnosis yang kompleks
dan penanganan efek samping dari berbagai pengobatan memunculkan permasalahan yang
berbeda yaitu efek samping jangka pendek dan jangka panjang.
Polifarmasi merupakan faktor terbesar kejadian ADRS (Adverse Drugs Reactious),
interaksi obat, peningkatan kunjungan ke unit gawat darurat, masuk rumah sakit dan ijin rawat
di rumah. Semua ini menginduksi kejadian sindroma Geriatri seperti kemunduran kognitif,
delirium, jatuh/falls, hipofraktur, inkontinensia urin dan hilangnya status fungsional serta
meningkatnya biaya perawatan kesehatan pada pasien Geriatri. Mortalitas dengan perbaikan
polifarmasi akan menjadi penting dan fundamental secara efektif.

Definisi
Secara khusus polifarmasi didefinisikan sebagai pengunaan item obat > 5 pada pasien yang
sama pada satu waktu.
Kriteria untuk mengidentifikasi polifarmasi sebagai berikut:
1. Penggunaan dosis yang tidak tepat.
2. Minum obat tanpa indikasi yang jelas.
3. Menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang sama dalam satu waktu.
4. Penggunaan obat berkelanjutan walaupun ada interaksi pengobatan.
5. Menggunakan pengobatan lain untuk memperlakukan reaksi obat antagonis.
Tingkat polifarmasi yang tinggi menjadi perhatian lebih karena tingkat ADRS menunjukkan
peningkatan sejumlah pengobatan yang digunakan.

Penatalaksanaan polifarmasi pada Geriatri


1. Kaji kondisi umum pasien akan obat-obatan yang diminumnya.
2. Menilai kondisi comorbid nya.
3. Mengkaji kembali potensi interaksi obat-obatan tersebut.
Akibat polifarmasi adalah suatu penyakit Iatrogenesis yang salah satunya disebabkan
oleh perawatan medis. Jika pemberian obat membuat pasien sakit, ini juga disebut penyakit
Iatrogenik. Polifarmasi adalah jenis tertentu penyakit Iatrogenik yaitu seseorang yang terlalu
banyak minum obat yang diresepkan yang dan mengakibatkan kejadian patologis.
Tabel 1. Masalah Iatrogenik yang Sering Ditemukan pada Pasien Geriatri.
1. Polifarmasi
2. Overzealous labeling
3. Underdiagnosis
4. Ketidak-tergantungan yang dipaksa
5. Istirahat di tempat tidur
6. Trauma transfer
7. Gangguan lingkungan
8. Inkontinesia
9. Demensia

Pemberian Obat untuk Pasien Geriatri di Rumah Sakit, pada tabel 2.


Tabel 2. Prinsip Pemberian Obat untuk Pasien Geriatri di Rumah Sakit.
1. Tinjau semua obat yang diberikan dengan pasien dan keluarga dan berikan
petunjuk secara tertulis.
2. Jika memulai obat baru, pilih obat dengan sifat farmakokinetik yang jelas.
3. Hindari polifarmasi yang tidak perlu: gunakan obat yang dapat mengobati
lebih dari satu penyakit (misalnya penyekat Beta untuk hipertensi dan
Angina Pektoris)
4. Tinjau semua pengobatan yang dipakai sebelum masuk rumah sakit, nilai
kepatuhan sebelumnya.
5. Pertimbangkan efek samping obat jika pasien menunjukkan masalah medis
baru atau yang tidak diharapkan: delirium, hipotensi, disritmia, gagal
ginjal, kelainan elektrolit, konstipasi.
6. Jika pasien memerlukan pengobatan multipel, hindari obat penghambat
atau penginduksi sitokrom P450 atau golongan yang sangat kuat mengikat
albumin. Jika meragukan, konsultasikan kepada ahli farmasi, ahli
farmakologi, program farmakologi on-line.
7. Jika dosis rumatan belum berhasil, maka naikkan dosis obat dengan prinsip
”start low and go slow” sampai efek obat tercapai.
8. Gunakan obat dengan dosis yang lebih rendah jika obat diekskresikan
lewat ginjal (misalnya aminoglikosida).
9. Memulai dengan obat kerja pendek dari suatu kelas obat, saat keluar
rumah sakit diganti dengan obat yang diberikan satu dua kali sehari untuk
meningkatkan kepatuhan dan mengurangi beban pembantu (caregiver)
Pedoman untuk mengurangi terjadinya Polifarmasi:
1. Mengidentifikasi indikasi untuk semua obat yang diminum pasien
2. Mengkaji semua obat yang diberikan
3. Merekomendasi/menghilangkan semua pengobatan dengan tanpa keuntungan, dengan
tujuan atas indikasi terapi
4. Mengidentifikasi potensi efek sebaliknya untuk masing-masing pengobatan
5. Merekomendasikan penggantian obat dengan penjelasan umum akibat efek obat yang
lebih sedikit, bila memungkinkan
6. Bila memungkinkan, pilih obat dengan jadwal dosis yang tidak terlalu sering
7. Tetap mengindikasikan obat-obatan sederhana.
8. Pemanfaatan pengobatan lain dengan memperlakukan efek samping dari agen lain
9. Rekomendasikan mulai dengan dosis terendah dan meningkat secara perlahan, jika perlu.
10. Kaji semua kondisi pengobatan secara rutin
11. Dukungan pada pasien untuk mengikuti aturan terapi, terutama jika ada obat mempunyai
efek samping
12. Ajarkan pada pasien untuk tetap menyimpan semua obat yang diminum.
Imobilisasi Pada Lanjut Usia

Latar Belakang
Imobilisasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di bidang geriatri.
Prevalensi imobilisasi di RSCM pada lansia tahun 2000 didapatkan 33,6% dan tahun 2001
sebesar 31,5%. Risiko kematian pada imobilisasi sangat tinggi terutama disebabkan oleh emboli
paru. Insiden emboli paru di AS didapatkan 0,5%, sedangkan di Indonesia (RSCM) didapatkan
8,4%. Tingginya insiden imobilisasi menyebabkan seringnya komplikasi sistemiknya berat
sehingga perlu kesepahaman tatalaksana imobilisasi serta komplikasinya. Imobilisasi sering
dijumpai & merupakan hasil akhir dari berbagai penyakit. Bahkan imobilisasi tersebut sering
tidak dapat dicegah sehingga tindakan preventif untuk mencegah munculnya komplikasi sangat
diperlukan. Perbaikan sedikit saja mobilitas dapat memperbaiki kualitas hidup yang bermakna.

Definisi
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring karena kehilangan gerak anatomik
akibat perubahan fungsi fisiologis atau ketidakmampuan melakukan aktifitas di tempat tidur,
transfer, atau ambulasi selama 3 hari atau lebih.

Faktor Risiko
Faktor risiko imobilisasi sering didapatkan multipel dan kompleks, tetapi pada prinsipnya faktor
risiko tersebut dibagi menjadi:
1. gangguan muskuloskletaal (artritis, osteporosis, fraktur, dll)
2. gangguan neurologis (strok, parkison, dll)
3. penyakit kardiovaskular (gagal jantung, PJK, PAD, dll)
4. penyakit paru (PPOK)
5. faktor sensoris (gangguan penglihatan, instabilitas, takut jatuh,dll)
6. nyeri akut/kronik
7. lingkungan (imobilisasi dipaksa ok mrs/panti, alat bantu mobilitas tdk adekuat)
8. lain-lain (malnutrisi, sakit sistemik berat, depresi, efek samping obat, perjalanan lama).
Komplikasi
Komplikasi imobilisasi meliputi degenerasi dari semua sistem organ antara lain:
 Muskuloskletal berupa osteoporosis, penurunan masa tulang, kekuatan dan masa otot
menurun, kontraktur, degenerasi tulang rawan, ankilosing, tekanan intraartikular,
berkurangnya volume sendi
 Kardiopulmonal & vaskular berupa denyut nadi istirahat meningkat, perfusi miokard
meningkat, intoleran ortostatik, volume O2 max menurun, deconditioning jantung, volume
plasma menurun, uji fungsional paru menurun, atelektasis paru, pnemonia, stasis vena,
agregasi trombosit, hiperkoagulasi
 Metabolik dan endokrin berupa risiko ulkus dekubitus, keseimbangan nitrogen negatif,
hiperkalsiuri, natriuresis dan deplesi natrium, resistensi insulin, dislipidemia, penurunan
absorpsi dan metabolisme vitamin/mineral
 Neurologi & psikiatri berupa depresi, psikosis, atrofi kortek motorik dan sensorik, ggn
keseimbangan, penurunan fungsi kognitif, neuropati kompresi
 Traktus gastrointestinal & urinarius berupa inkontinen urin & alvi, infeksi saluran kemih,
refluks esofagus, aspirasi, peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal.

Evaluasi
Evaluasi pada penderita imobilisasi memerlukan pengkajian geriatri paripurna. Anamnesis
riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik penting dilakukan dalam pengkajian pasien imobilisasi.
Anamnesis riwayat dan lama imobilisasi atau disabilitas, kondisi medis /faktor risiko/penyebab
imobilisasi, kondisi premorbid, nyeri, obat-obatan, dukungan pramuwerda, interaksi sosial,
psikologis (depresi dan rasa takut), dan lingkungan penting dilakukan. Adanya nyeri penting
dikaji secara rutin karena sering menjadi penyebab utama imobilsasi. Pada pemeriksaan fisik,
hal terpenting dikaji adalah kardiopulmonal, kulit, muskuloskletal, neurologis,
gastrointestinal,dan urinarius. Status kardiopulmonal khususnya volume intravaskular,
perubahan tekanan darah dan nadi akibat perubahan posisi penting untuk diketahui sebagai
dasar penatalaksanaan imobilisasi. Pemeriksaan kulit secara rutin penting dilakukan untuk
mengetahui adanya ulkus dekubitus. Pengkajian muskuloskletal secara rinci seperti evaluasi
kekuatan otot, gerakan sendi serta adanya masalah pada kaki (lesid/deformitas). Selain itu
perlu juga diberikan pengkajian neurologis untuk mengidentifikasi adanya kelemahan fokal
masalah persepsi dan sensoris. Status imobilisasi harus dikaji secara terus menerus. Berikut
adalah pemeriksaan lain yang diperlukan untuk dalam penanganan pasien imobilisasi:
 status fungsional dengan ADL (barthel index)
 status mental dengan GDS (geriatric depresion scale)
 status kognitif dengan minimental state examination (MMSE), abbreviation mental test
(AMT)
 tingkat mobilitas dinilai dengan mengevaluasi mobilitas di tempat tidur, kemampuan
transfer, mobilitas di kursi roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, gait, nyeri saat gerak
 pemeriksaan penunjang laboratorium, rontgen, dan lain-lainnya untuk mengetahui risiko
dan komplikasi imobilisasi yang terjadi pasien.

Tatalaksana Umum
Penatalaksanaan umum imobilisasi memerlukan kerjasama tim (medis interdisiplin, pasien
keluarga, pramuwerda). Edukasi sangat penting dilakukan untuk memberikan pengertian
kepada pasien, keluarga atau pramuwerda tentang keadaan penderita dan rencana
penatalaksanaan yang akan dilakukan serta target-target yang ingin dicapai dari setiap
tindakan.
Pengkajian geriatri paripurna akan sangat membantu kita untuk mendapatkan semua
permasalahan yang ada pada pasien sehingga kita dapat melakukan penanganan secara lebih
efektif. Secepat mungkin kita menemukan, mengenali dan memberikan penatalaksanaan secara
efektif pada setiap masalah yang ada. Evaluasi obat yang dikonsumsi untuk mengetahui adanya
iatrogenesis atau menghindari terjadinya polifarmasi. Nutrisi adekuat, cairan, serat,
vitamin/mineral sangat penting untuk mempercepat fase penyembuhan dan pemulihan kondisi
pasien. Program latihan dan remobilisasi dilakukan sesegera mungkin bila sudah
memungkinkan. Latihan dan remobilisasi. Ajarkan penggunaan alat-alat bantu dan manajemen
miksi dan defikasi dengan penggunaan komod atau toilet
Penatalaksanaan Komplikasi Akibat Imobilisasi
Ada empat komplikasi utama imobilisasi yang berhubungan dengan peningkatan
morbiditas dan mortalitas, penderita dengan imobilisasi yaitu tromboemboli vena, ulkus
dekubitus, hipotensi ortostatik, dan kontraktur.

Tromboemboli Vena
Tromboemboli vena (venous thromboembolism, VTE) adalah penyakit vascular yang
kompleks yang bermanifestasi sebagai trombosis vena dalam (deep vein thrombosis, DVT) atau
emboli paru (pulmonary embolism, PE). Insidensi tromboemboli vena meningkat pada
kolompok usia 60 tahun atau lebih dan dapat berakibat fatal bila tidak dicegah atau
ditatalaksana secara optimal.
Selain imobilisasi lama, faktor risiko lain tromboemboli vena adalah pembedahan
mayor, trauma multipel, fraktur femur dan panggul, kelemahan ekstremitas bawah, usia lanjut,
penyakit kardiopulmonal, keganasan, pemakaian estrogen, serta trombofilia didapat maupun
bawaan, yang umumnya faktor-faktor risiko tersebut tidak berdiri sendiri.
Patogenesis timbulnya tromboemboli vena melibatkan tiga faktor (triad Virchow), yaitu
kerusakan dinding pembuluh darah, stasis vena, dan hiperkoagulasi. Imobilisasi secara langsung
menyebabkan stasis vena yang akan menghambat bersihan dan dilusi faktor koagulasi yang
teraktivasi sehingga mudah terjadi emboli.
Diagnosis Tromboemboli Vena
Secara klinis DVT maupun PE sulit didiagnosis. Gejala klinis klasik DVT meliputi bengkak,
nyeri dan perubahan warna kulit pada ekstremitas yang terkena. Pada pemeriksaan fisik dapat
diraba vena yang mengalami trombosis, edema unilateral, perabaan yang hangat, tanda
Homans (nyeri pada dorsofleksi pasif kaki), dan dilatasi vena superfisial, yang dapat pula timbul
pada beberapa keadaan lain seperti pada cedera musculoskeletal, selulitis, dan insufisiensi
vena.
Wells dkk. mengembangkan suatu petunjuk prediksi klinis untuk memperkirakan
kemungkinan diagnosis DVT (tabel 1a). Prediksi klinis ini bersama-sama dengan pemeriksaan
lain seperti tes d-dimer dan ultrasonografi (doppler) dapat memastikan atau menyingkirkan
diagnosis DVT. Wells dkk. juga telah mengembangkan petunjuk prediksi klinis untuk
memperkirakan kemungkinan diagnosis PE (Tabel 1b), dan bersama-sama dengan pemeriksaan
penunjang seperti CT angiografi paru, ventolin-perfusion scanning, angiografi, tes d-dimer,
maupun ultrasonografi serial dipakai untuk memastikan diagnosis PE. Algoritme diagnosis
trombosis vena dan dalam emboli paru, serta rekomendasi profilaksis tromboemboli vena
dapat dilihat pada lampiran.
Tabel 1. Petunjuk Prediksi Klinis dari Wells untuk Diagnosis DVT dan PE
a. Trombosis Vena Dalam (DVT)
Gambaran Klinis Nilai
Kanker aktif (dlm terapi atau paliatif) 1
Paralisis, paresis, atau imobilisasi ekstremitas bawah 1
Tirah baring lebih dari 3 hari karena pembedahan (dlm 4 bulan) 1
Nyeri tekan terlokalisasi sepanjang distribusi vena dalam 1
Pembengkakan seluruh tungkai 1
Bengkak pada betis unilateral lebih dari 3 cm (di bawah tuberositas tibial) 1
Edema pitting unilateral 1
Kolateral vena superfisial 1
Ada diagnosis alternatif lain selain DVT dgn kemungkinan sama atau lebih -2
Total nilai
Interpretasi risiko berdasarkan nilai (kemungkinan DVT) :
Nilai > 3 risiko tinggi (75%)
Nilai 1 – 2 risiko sedangi (17%)
Nilai < 1 risiko rendah (3%)

b. Emboli Paru (PE)


Gambaran Klinis Nilai
Gejala klinis DVT 3
Diagnosis selain PE kurang mungkin 3
Frekuensi denyut jantung lebih dari 100 kali per menit 1,5
Imobilisasi dan pembedahan (dlm 4 minggu sebelumnya) 1,5
DVT atau PE sebelumnya 1,5
Hemoptisis 1
Keganasan 1
Total nilai

Interpretasi risiko berdasarkan nilai (kemungkinan PE) :


Nilai > 6 risiko tinggi (78,4%)
Nilai 2 – 6 risiko sedang%)
Nilai < 2 risiko rendah (3,4%)
Pencegahan
Umumnya pencegahan kejadian tromboemboli vena dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu :
Metode mekanik : dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu Graduated compression
stocking (GCS), Intermitten pneumatic compression (IPC),Venous foot pump (VFP)
Metode Farmakologi : Obat-obatan antitrombotik yang diberikan meliputi antiplatelet aspirin,
dipridamol, ticlopidin, clopidogrel, cilostazol dan antikoagulan oral (coumarin) atau
antikoagulan parenteral (unfractionated heparin, low-molecular-weight heparin,
foundaparinux).
Beberapa upaya lain untuk mencegah kejadian tromboemboli vena meliputi:
 Latihan tungkai dan gerak sendi aktif maupun pasif sesuai toleransi pasien
 Elevasi kaki setinggi 15-200 dengan lutut sedikit fleksi dan posisi kepala tempat tidur rendah
atau mendatar
 Hindari duduk di kursi pada masa awal pasca operasi
 Gunakan stoking elastik anti-flebitis pada pasien dengan varises atau memiliki riwayat
flebitis
 Jalan kaki dalam waktu singkat secara teratur pasca operasi

Terapi
Sebagai terapi farmakologi dapat diberikan obat-obatan antitrombotik yang meliputi
antikoagulan parenteral (UFH, LMWH, fondaparinux) dan trombolitik (streptokinase, alteplase).
Antikoagulan
UFH
Loading dose diberikan sebesar 80 unit/kgBB secara bolus kemudian dilanjutkan dengan
dosis 18 unit/kgBB per jam melalui infus kontinu. Pemantauan dengan activated partial
tromboplastin time (APTT), yang diharapkan mencapai 1,5 sampai 2,5 kali kontrol. Insidensi
perdarahan mayor pada dosis terapeutik lebih tinggi dibandingkan profilaksis, namun
efeknya dapat diharapkan segera berhenti 2 jam setelah infus dihentikan.
LMWH
Pemberian LMWH sama efeknya dengan pemberian UFH. Enoxaparin diberikan dengan
dosis 1 mg/kgBB dua kali sehari atau 1,5 mg/kgBB sekali sehari secara subkutan. Dalteparin
dengan dosis 200 IU/kgBB per hari (sebagai dosis tunggal atau dua kali sehari). Tinzaparin
dengan dosis 175 anti-Xa/kgBB per hari untuk pengobatan DVT. Sementara untuk terapi PE,
hanya enoxaparin dan tinzaparin yang telah terbukti efektif dan diterima oleh FDA.
Fondaparinux
Untuk terapi PE maupun DVT, fondaparinux diberikan secara subkutan sekali sehari dengan
dosis 5 mg (untuk BB<50kg), 7,5 mg (untuk BB 50-100 kg), atau 10 mg (untuk BB > 100 kg).
Trombolitik
Umumnya diberikan pada pasien PE masih atau dengan keadaan hemodinamik tidak stabil.
Antara lain alteplase dengan dosis 100 mg yang diberikan secara infus intravena selama 2
jam, atau streptokinase yang diberikan dengan loading dose 250.000 IU dilanjutkan dengan
100.000 IU per jam selama 24 jam. Pemberian trombolitik langsung pada trombus melalui
kateter tidak terbukti lebih superior bila dibandingkan pemberian secara perifer. Efek
samping perdarahan pada pemakaian trombolitik lebih besar dibandingkan dengan UFH,
LMWH, maupun fondaparinux.
Fisioterapi
Setelah 48 jam heparin diberikan, latihan lingkup gerak sendi pasif sampai aktif dengan
bantuan dan pemberian stoking elastis dapat diberikan.

Pencegahan sekunder dan terapi jangka panjang


Pasien dengan faktor risiko yang belum sepenuhnya dapat disingkirkan diperlukan
pencegahan sekunder terhadap DVT maupun PE. Antikoagulan oral warfarin (atau coumarin
jenis lain) dengan dosis yang dititrasi untuk mencapai international normalized ratio (INR)
antara 2 sampai 3 terbukti dapat mencegah berulangnya DVT maupun PE hingga 90% bila
dibanding plasebo. Warfarin umumnya diberikan 3 sampai 4 hari sebelum terapi antitrombotik
lain dihentikan. LMWH tidak banyak digunakan untuk pencegahan sekunder mengingat
besarnya biaya dan efek samping osteoporosis pada pemakaian jangka panjang, namun pada
pasien keganasan yang juga mengalami DVT penggunaannya perlu dipertimbangkan karena
terbukti mengurangi risiko berulangnya DVT hingga separuhnya bila dibandingkan dengan
penggunaan warfarin.

Ulkus Dekubitus
Ulkus dekubitus timbul akibat tekanan yang terus-menerus pada bagian tubuh (tulang)
yang menonjol dalam jangka waktu yang cukup lama. Empat faktor yang berpengaruh pada
patogenesis timbulnya ulkus dekubitus adalah tekanan, daya regang, friksi/gesekan, dan
kelembaban. Berdasarkan klasifikasi Shea yang telah dimodifikasi dan dipakai sebagai panduan
klinis oleh The Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR), ulkus dekubitus dibagi
menjadi 4 stadium (Tabel 2) dan berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan ulkus
dan perbedaab temperatur antara ulkus dengan kulit sekitarnya, ulkus dekubitus dapat dibagi
menjadi tiga tipe (Tabel 3).

Tabel 2. Stadium Ulkus Dekubitus Berdasarkan Modifikasi Klasifikasi She


Stadium Manifestasi Klinis
Stadium I Eritema nonblanchable pada kulit yang masih utuh atau perubahan
warna kulit yang hangat, edema, dan berindurasi pada pasien dengan
kulit gelap
Stadium II Sudah terjadi kehilangan lapisan kulit epidermis dan/atau dermis
Stadium III Ulkus sudah berkembang ke jaringan lunak dan ke lapisan fasia dalam
Stadium IV Jaringan otot dan tulang sudah terlibat

Tabel 3. Tipe Ulkus Dekubitus


Tipe Manifestasi Klinis Perkiraan Lama
Perawatan
Normal Beda temperatur dengan kulit 6 minggu
sekitarnya hingga di bawah lebih kurang
2,50C
Arteriosklerotik Selain faktor tekanan, terdapat 16 minggu
gangguan aliran darah akibat
arteriosklerotik. Beda temperatur
dengan kulit sekitarnya <10C
Terminal Terjadi pada pasien yang akan Tidak dapat sembuh
meninggal
Komplikasi ulkus dekubitus meliputi nyeri,infeksi lokal, selulitis, osteomielitis, sepsis, dan
kematian. Selain imobilisasi dan terbatasnya tingkat aktivitas, faktor risiko lain timbulnya ulkus
dekubitus adalah kulit yang kering, meningkatnya suhu tubuh, tekanan darah yang rendah, usia
yang lanjut, inkontinensia, malnutrisi, diabetes melitus, insufisiensi vaskular, obesitas,
hipoalbuminemia, demensia berat, dan berubahnya tingkat kesadaran.

Pencegahan
Setiap pasien yang mengalami imobilisasi harus dilakukan penilaian risiko untuk
terjadinya ulkus dekubitus dengan menggunakan skala Norton (Tabel 4). Skor <14 menunjukkan
adanya risiko tinggi untuk terjadinya ulkus dekubitus. Skor <12 berkaitan dengan peningkatan
risiko 50 kali lebih besar untuk mendapatkan ulkus dekubitus, skor 12-13 memiliki risiko sedang,
sedangkan skor > 14 memiliki risiko sangat kecil.

Tabel 4. Skala Norton untuk Mengukur Risiko Ulkus Dekubitus


Kondisi pasien Keterangan Skor
Kondisi fisik umum Baik 4
Cukup/lumayan 3
Buruk 2
Sangat buruk 1
Kesadaran Kompos mentis 4
Apatis 3
Confused 2
Stupor 1
Tingkat aktivitas Ambulatori 4
Berjalan dengan bantuan 3
Hanya bisa duduk 2
Hanya bisa tiduran 1
Mobilitas Bergerak bebas 4
Sedikit terbatas 3
Sangat terbatas 2
Tidak bisa bergerak/imobil 1
Inkontinensia Tidak ada 4
Kadang-kadang 3
Sering inkontinensia urin 2
Inkontinensia urin dan alvi 1
AHPCR mensponsori suatu panduan untuk pencegahan ulkus dekubitus, yang meliputi
pengakjian faktor risiko, perawatan kulit dan terapi awal ulkus dekubitus, pencegahan/
perlindungan terhadap efek tekanan, gesekan, dan regangan, serta pemanfaatan program
edukasi tentang ulkus dekubitus.

Pengkajian faktor risiko. Individu yang harus berbaring atau duduk dalam jangka
panjang atau mereka dengan ketidakmampuan untuk berubah posisi harus dianggap sebagai
kelompok dengan risiko tinggi untuk timbulnya ulkus dekubitus. Pengkajian faktor risiko ini
dilakukan ketika masuk rumah sakit untuk perawatan akut atau rehabilitasi, panti werdha,
program perawatan di rumah, dan fasilitas perawatan kesehatan lain. Risiko ulkus dekibitus
harus dikaji ulang setiap ada perubahan dalam tingkat aktivitas atau mobilitas.
Perawatan kulit dan terapi awal. Beberapa rekomendasi dibuat sebagai petunjuk
praktis klinis untuk mencegah ulkus dekubitus berdasarkan opini para ahli karena kurangnya
bukti yang berbasis penelitian, seperti yang diuraikan pada tabel 5 berikut.

Tabel 5. Rekomendasi Perawatan Kulit dan Terapi Awal untuk Pencegahan Ulkus Dekubitus
1. Amati kulit setiap hari secara sistematis
2. Bersihkan kulit dengan bahan pembersih yang lembut secara rutin, hindari
pemakaian air panas dan minimalkan regangan dan gesekan pada kulit
3. Kurangi kekeringan kulit karena kelembaban yang rendah dan paparan terhadap
dingin, dan gunakan pelembab untuk kulit kering
4. Kurangi paparan kulit terhadap kelembaban karena inkontinensia, keringat atau
drainase luka. Jika inkontinensia tidak dapat dikendalikan, setelah pengkajian
dan terapi yang sesuai, gunakan bahan absorptif atau alas (underpad). Bahan
topikal yang bekerja menghalangi kelembaban juga dapat digunakan.
5. Kurangi cedera kulit karena gesekan dan regangan dengan cara mengubah posisi,
berpindah, dan berbalik; pelumas seperti minyak sayur atau krim; dan pelapis
protektif, pembalut, atau alas di atas tulang yang menonjol
6. Pastikan asupan gizi yan adekuat dan koreksi definisi nutrisi yang konsisten
dengan seluruh target terapi.
7. Upayakan rehabilitasi yang sesuai dengan target terapi
8. Catat seluruh intervensi dan hasil yang didapat

Pencegahan efek akibat tekanan, gesekan, dan regangan. Mengubah posisi sesering
mungkin merupakan metode utama pencegahan ulkus dekubitus.
Ubah posisi dengan punggung pasien miring 300 dari permukaan tempat tidur bergantian ke
kiri atau kanan dan telentang setiap 2–3 jam pada pasien dengan risiko tinggi dan 2-4 kali per
hari pada pasien dengan risiko lebih rendah.
Hindari posisi miring dengan punggung berada 900 terhadap permukaan karena akan
memberikan tekanan berlebihan pada trokanter mayor dan maleolus lateral.
Gunakan bantal d antara tungkai, di bawah punggung, penyangga lengan untuk
mempertahankan posisi optimal, mencegah kontak antara tonjolan tulang yang satu dengan
yang lainnya, antar ekstremitas maupun dengan alas tidur, dapat mengangkat tumit dari alas
tempat tidur, dan menopang pasien pada posisi miring lateral 300
Bagi pasien yang harus memposisikan kepala tegak (posisi duduk) di tempat tidur atau pasien
dengan kemampuan terbatas duduk di kursi roda, ubah posisinya setiap 1 jam atau pasien
diminta untuk mengubah tumpuan berat badannya setiap 15 menit.
Untuk mencegah gaya regangan, jangan mendudukkan pasien pada sudut 300, pasien sebaiknya
berbaring atau duduk tegak, karena posisi duduk dengan sudut 300 tersebut menyebabkan
lekukan (angulasi) pada pembuluh darah di daerah glutel dan sacrum sehingga aliran darah
dapat terhambat.
Untuk mencegah gesekan, gunakan pelindung pergelangan kaki dan tumit serta pasien harus
diangkat dan jangan digeser atau ditarik dari tempat tidur
Untuk mencegah maserasi kulit, jaga agar kulit tetap kering (memakai alas berdaya serap tinggi
untuk pasien dengan inkontinensia) tapi licin (lubricated) dengan mengoleskan emolien tipis-
tipis setelah mandi atau inkontinens.
Gunakan alat pengurang tekanan, gesekan, atau regangan (kasur air atau kasur udara/kasur
anti-dekubitus), pada pasien yang dengan teknik perubahan posisi saja tidak cukup atau tidak
memungkinkan
Hindari penggunaan alat bantu berbentuk seperti donat untuk kursi dan kursi roda

Edukasi dan pendekatan multidisiplin. Edukasi terhadap tenaga kesehatan di seluruh


tingkat pelayanan kesehatan di seluruh tingkat pelayanan kesehatan serta pasien, keluarga dan
pramu werdha (caregivers) mengenai faktor risiko dan perawatan pada pasien dengan faktor
risiko dapat mengurangi insidensi ulkus dekubitus, demikian pula pendekatan tim multidisiplin
diterapkan.

Terapi
Sesuai dengan panduan yang dikeluarkan oleh AHCPR, penatalaksanaan terhadap ulkus
dekubitus harus meliputi pendekatan sistemik, penggunaan kasur atau matras khusus,
perawatan luka lokal, pembedahan, dan terapi-terapi eksperimental.

Pendekatan sistemik
Perhatikan status hidrasi pasien dan tatalaksana dengan baik jika terdapat gangguan
Berikan asupan nutrisi yang adekuat dengan memperhatikan pula kebutuhan mineral dan
vitamin. Pada pasien malnutrisi yang mengalami ulkus dekubitus, nutrisi yang diberikan
setidaknya 30 sampai 35 kalori/KgBB/hari dengan protein sebanyak 1,25 sampai 1,5
g/kgBB/hari untuk mencapai keseimbangan nitrogen yang positif.
Antibiotika sistematik diindikasikan pada pasien dengan sepsis, selulitis, dan osteomielitis atau
sebagai pencegahan terjadinya endokarditis bakterial pada pasien dengan penyakit jantung
katup yang memerlukan debrideman ulkus. Antibiotika yang diberikan sebagai terapi awal
sambil menunggu hasil kultur haruslah yang berspektrum luas untuk kuman gram-positif dan
negatif, serta anaerob. Ampisilin-sulbaktam, imipenem, meropenem, tikarsilin klavulanat,
piperasililn tazobaktan, serta kombinasi klindamisin dengan siprofloksasin atau dengan
aminoglikosida merupakan pilihan yang sesuai untuk terapi inisial.

Penggunaan tempat tidur atau matras khusus


Air-fluidized bed, low-air-loss bed, atau tempat tidur khusus yang dapat mengubah posisi pasien
secara otomatis.

Perawatan lokal
Ukus dekubitus stadium I dan II umumnya tidak memerlukan pemberian terapi topikal, cukup
menjaga kelembaban dan kebersihan ulkus, dan diharapkan akan membaik dengan sendirinya.
Pada luka yang bersih namun tidak menyembuh atau tetap mengeluarkan eksudat setelah 2
sampai 4 minggu dengan perawatan yang optimal, dapat dicoba pemberian antibiotika topikal
seperti silver sulfadiazin selama 2 minggu.
Hindari penggunaan povidon-iodin, iodofor, natrium hipoklorit, hidrogen peroksid, serta asam
asetat.
Lakukan debrideman luka secara adekuat bila terdapat jaringan nekrotik, meliputi debrideman
dengan pisau atau gunting, atau pendekatan mekanik berupa pembalutan, hidroterapi, irigasi,
dekstranomer, terapi enzimatik, atau teknik autolitik.
Setelah ulkus bersih dan granulasi atau epitelisasi telah mulai, pertahankan kelembaban daerah
ulkus dan sekitarnya tanpa menghambat penyembuhan jaringan dengan menggunakan dressing
seperti transpsrent film, hydrocolloid dressing, atau cukup kasa yang dibasahi dengan normal
alin.
Tatalaksana nyeri pada luka, terutama nyeri yang timbul saat dilakukan debrideman.
Lakukan pijat manual sirkular pada tepi luka dekubitus,phonophoresis dengan transducer
ultrasound dan ZnO2, serta transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) berfrekuensi
rendah pada tepi luka untuk memperbaiki vaskularisasi daerah luka, granulasi, dan epitelisasi
jaringan.

Prosedur pembedahan
Meliputi penutupan luka, cangkok kulit (skin graft) dan flap miokutaneus, serta membuang
tulang yang menonjol sebagai penyebab ulkus.
Tindakan radikal seperti amputasi kadang diperlukan pada ulkus yang infeksinya mengalami
komplikasi atau meluas.

Terapi eksperimental
Sebagai terapi tambahan, namun umumnya masih belum cukup data untuk mendukung
penggunaanya.
Terapi oksigen hiperbarik serta beberapa jenis terapi topikal dan faktor pertumbuhan (growth
faktor) sedang dikembangkan sebagai cara untuk mempercepat penyembuhan luka.
Hipotensi Ortostatik
Salah satu akibat komplikasi imobilisasi pada sistem kardiovaskular adalah
hipotensi ortostatik yang ditegakkan bila dijumpai penurunan tekanan darah sistolik >20 mmHg
atau diastolik >10 mmHg yang diukur segera dalam waktu 2 – 3 menit dari posisi berbaring ke
posisi tegak dan dapat disertai keluhan dizziness atau sinkop (hipotensi ortostatik simtomatik).

Pencegahan
Hipotensi ortotastik dapat dicegah dengan mobilisasi bertahap secepatnya,
diutamakan agar secepatnya dapat duduk di tempat tidur dengan kaki menggantung ke bawah
sambil digerak-gerakan.

Terapi
Evaluasi obat-obatan yang dikonsumsi dan status hidrasi pasien karena penyebab
hipotensi ortostatik antara lain adalah penggunaan obat-obatan anti-hipertensi, diuretika,
antiparkinson, antipsikotik, antidepresi, dan vasodilator tertentu, serta defisit cairan tubuh atau
berkurangnya volume darah.
Bila sudah terjadi hipotensi ortostatik, atasi penyebab yang reversibel dan dapat
dilakukan latihan rekondisi sebagai berikut :
- Apabila memiliki tilt table dilakukan latihan menggunakan tilt table, yaitu secara
bertahap alas tilt table ditegakkan perlahan-lahan, mulai dari 5 derajat, kemudian
dipertahankan 5 menit pada tiap perubahan posisi. Latihan tersebut dilakukan minimal
sekali sehari sampai pasien mampu beradaptasi dengan posisi tersebut smabil perlahan
ditingkatkan menuju posisi berdiri tegak.
- Apabila alat tilt table tidak tersedia, dapat diberikan latihan rekondisi yang dimulai
dengan menegakkan sandaran tempat tidur secara bertahap, setiap 30 derajat,
dipertahankan 5 menit, sampai pasien mampu duduk tegak selama mungkin setiap hari,
terutama saat pasien dalam keadaan bangun, minimal 3 kali sehari, selama 2 jam setiap
duduk tegak (contoh : saat pasien melakukan aktivitas makan dan minum)
- Selalu perhatikan keluhan subyektif pasien, perubahan nadi dan tekanan darah.
Hentikan penambahan posisi apabila tanda-tanda hipotensi ortostatik muncul dan
segera kembalikan pada posisi terakhir yang tidak mengakibatkan tanda-tanda tersebut
muncul, pertahankan setiap perubahan posisi selama 5 menit sampai pasien kembali
dalam keadaan berbaring terlentang.
- Setelah pasien mampu duduk tegak di atas tempat tidur tanpa disertai tanda-tanda
hipotensi ortostatik, pasien mulai diminta bergeser ke sisi tempat tidur, duduk dengan
kedua lengan berpegangan atau menumpu pada tempat tidur sebagai stabilisator dan
tungkai menggantung ke bawah sambil digerakkan perlahan-lahan menekuk dan lurus
bergantian. Latihan ini dilakukan sampai pasien mampu duduk dengan punggung tegak
tanpa berpegangan. Posisi ini dilakukan terutama saat pasien sedang aktivitas makan
dan minum.
- Setelah pasien mampu duduk di sisi tempat tidur, secara bertahap pasien dicoba berdiri
berpegangan di samping tempat tidur, berlatih memindahkan berat badan atau beban
tubuh dari kaki kanan ke kiri serta sebaliknya, sehingga aktivitas duduk dapat dilakukan
di luar tempat tidur, pada kursi yang diletakkan di dekat tempat tidur
- Pasien dapat menggunakan stoking elastik pada abdomen dan ekstremitas bawah,
terutama untuk mencegah berkumpulnya darah pada daerah tersebut karena gerak
kontraksi otot untuk memompa darah balik vena ke jantung dari ekstremitas bawah
kurang adekuat.

Kontraktur
Kontraktur/deformitas terjadi akibat pemendekan serabut otot karena imobilisasi pada
posisi non fungsional, contohnya berbaring lama posisi tungkai menekuk, membuka keluar,
atau drop foot (pergelangan kaki dalam posisi plantar fleksi).

Pencegahan
Untuk mencegah kontraktur/deformitas, dapat dilakukan body positoning/stretching:
- Mobilisasi bertahap secepatnya
- Proper positioning, dengan memposisikan pasien sedemikian rupa agar dapat berbaring
dengan posisi sendi-sendi penopang tubuh pada keadaan serupa dengan saat berdiri
tegak, yaitu kepala, punggung, serta tungkai dalam keadaan lurus, sedangkan sendi
pergelangan kaki dalam posisi seperti saat berdiri tegak dimana tungkai dan kaki
membentuk sudut 90 derajat.
- Static splinting (pemberian foot board, ankle foot orthosis) agar sendi pergelangan
dipertahankan pada posisi fungsional.
- Apabila pasien mampu menggerakkan tungkai secara mandiri saat sedang berbaring,
maka dapat dilakukan gerakan-gerakan sederhana sesuai dengan kemampuan pasien;
dimulai dengan gerakan dorso fleksi-plantar fleksi pergelangan kaki yang dilanjutkan
dengan menekuk lutut secara bergantian dengan menggeser tungkai pada tempat tidur,
dari posisi lurus sampai menekuk secara berulang-ulang, minimal 3 kali sehari, 10
gerakan untuk setiap tungkai atau sesuai kemampuan pasien.

Terapi
Apabila sudah terjadi kontraktur atau keterbatasan gerak sendi, dilakukan latihan gerak
sendi ekstremitas aktif dan pasif disertai slow stretching minimal 1-2 kali sehari untuk menjaga
seluruh rentang gerak sendi. Untuk mempermudah stretching dapat diberikan ultrasound
diatermi pada otot yang hendak dilatih.
Jatuh Pada Lanjut Usia

Pendahuluan
Jatuh merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada usia lanjut akibat perubahan
fungsi organ, penyakit dan lingkungan. Fraktur kolum femoris merupakan komplikasi utama
akibat jatuh pada lansia, diderita oleh 200.000 lebih lansia di AS pertahun, sebagian besar
wanita. Di estimasikan 1% lansia yang jatuh akan mengalami fraktur kolum femoris, 5% akan
mengalami fraktur tulang lain seperti iga, humerus, pelvis dan lain-lain, 5% akan mengalami
perlukaan jaringan lunak. Perlukaan jaringan lunak yang serius seperti subdural hematom,
hemarthrosis, memar dan keseleo otot juga sering merupakan komplikasi akibat jatuh.

Definisi
Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang melihat kejadian
mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah
dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka.

Faktor risiko
Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas badan
ditentukan atau dibentuk oleh :
a. Sistem sensorik: visus (penglihatan), pendengaran, fungsi vestibuler, dan proprioseptif.
b. Sistem Saraf Pusat (SSP): respon motorik dan input sensorik.
c. Kognitif: Demensia diasosiasikan dengan meningkatnya risiko jatuh.
d. Muskuloskeletal : gangguan gaya berjalan (gait). Gangguan gait yang terjadi akibat
proses menua tersebut antara lain disebabkan oleh :
1. kekakuan jaringan penghubung - berkurangnya massa otot
2. perlambatan konduksi saraf
3. penurunan visus/lapang pandang
4. kerusakan proprioseptif
yang kesemuanya menyebabkan :
5. penurunan range of motion (ROM) sendi
6. penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremitas
7. perpanjangan waktu reaksi
8. kerusakan persepsi dalam
9. peningkatan postural sway (goyangan badan)
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang pendek,
penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan
lebih cendrung gampang goyah. Perlambatan reaksi mengakibatkan seorang lansia
susah/terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung, kejadian
tiba-tiba, sehingga memudahkan jatuh.
Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya jatuh pada lansia. Berbagai
faktor risiko tersebut diklasifikasikan menjadi 2:
1. Faktor intrinsik terdiri atas faktor lokal dan sistemik
2. Faktor ekstrinsik (faktor lingkungan)

Kondisi fisik dan


neuropsikiatrik Obat-obat yang
diminum

Penurunan visus
dan pendengaran FALLS Alat – alat bantu
(JATUH) berjalan

Perubahan neuromuskuler, gaya


berjalan, dan reflek postural
karena proses menua Lingkungan yang tidak
mendukung (berbahaya)

Faktor intrinsik Faktor ekstrinsik

Gambar 1. Faktor risiko jatuh


Penyebab-penyebab jatuh pada lansia
Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa faktor, antara lain :
1. Kecelakaan
2. Nyeri kepala dan atau vertigo
3. Hipotensi orthostatic :
a. hipovolemia/curah jantung rendah
b. disfungsi otonom
c. penurunan kembalinya darah vena ke jantung
d. terlalu lama berbaring
e. pengaruh obat-obat hipotensi
f. hipotensi sesudah makan
4. Obat-obatan
a. diuretik/antihipertensi
b. antidepresen trisiklik
c. sedativa
d. antipsikotik
e. obat-obat hipoglikemik
f. alkohol
5. Proses penyakit yang spesifik akut seperti :
a. Kardiovaskuler :
i. aritmia
ii. stenosis aorta
iii. sinkop sinus karotis
b. Neurologi :
i. TIA
ii. stroke
iii. serangan kejang
iv. parkinson
v. kompresi saraf spinal karena spondilosis
vi. penyakit cerebellum
6. Idiopatik (tak jelas sebabnya)
7. Sinkop : kehilangan kesadaan secara tiba-tiba
a. Drop attack (serangan roboh)
b. Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba
c. Terbakar matahari

Faktor-faktor lingkungan yang sering dihubungkan dengan kecelakaan pada lansia :


1. Alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak stabil, atau
tergeletak di bawah.
2. Tempat tidur atau WC yang rendah/jongkok.
3. Tempat berpegangan yang tidak kuat/tidak mudah dipegang.
4. Lantai yang tidak datar baik ada trapnya atau menurun.
5. Karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal/menekuk pinggirnya, dan
benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser.
6. Lantai yang licin atau basah
7. Penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan)
8. Alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.

Faktor-faktor situasional yang mungkin mempresipitasi jatuh antara lain :


1. Aktivitas
2. Lingkungan
3. Penyakit Akut

Komplikasi
1. Perlukaan (injury): Rusaknya jaringan lunak, patah tulang (fraktur),dan hematom
subdural.
2. Perawatan Rumah Sakit: Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi), risiko
penyakit-penyakit iatrogenik
3. Disabilitas
4. Risiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan (nursing home)
5. Mati

Pencegahan
Ada 3 usaha pokok untuk pencegahan ini, antara lain :
1. Identifikasi faktor risiko
Pada setiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya faktor risiko intrinsik
dan ekstrinsik jatuh.
 Faktor intrinsik: perlu dilakukan assesmen keadaan sensorik, neurologik,
muskuloskeletal dan penyakit sistemik.
 Faktor ekstrinsik: Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai
rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat. Peralatan
rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat bergeser sendiri) sebaiknya
diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu jalan/tempat aktifitas lansia. Kamar mandi dibuat tidak licin, sebaiknya
diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan
kloset duduk dan diberi pegangan di dinding. Obat-obatan yang menyebabkan
hipotensi postural, hipoglikemik atau penurunan kewaspadaan harus diberikan
sangat selektif dan dengan penjelasan yang komprehensif pada lansia dan
keluarganya tentang risiko terjadinya jatuh akibat minum obat tersebut. Alat bantu
berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat, tripod, kruk atau walker harus
dibuat dari bahan yang kuat tetapi ringan, aman tidak mudah bergeser serta sesuai
dengan ukuran tinggi badan lansia.
2. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)
Setiap lansia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan
gerakan pindah tempat, pindah posisi. Terdapat berbagai pemeriksaan untuk menilai fungsi
mobilitas. Namun tidak ada baku emas untuk mengukur keseimbangan dan mobilitas
fungsional. Telah dikembangkan berbagai alat ukur yaitu:
a. Uji The Time up and Go (TUG)
b. Uji menggapai fungsional
c. Uji keseimbangan Berg
3. Mengatur/mengatasi faktor situasional
Faktor situasional yang bersifat serangan akut/eksaserbasi akut penyakit yang diderita
lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lansia secara periodik. Faktor
situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan
seperti tersebut diatas. Faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai
dengan kondisi kesehatan penderita.

Pendekatan diagnostik
Setiap penderita lansia jatuh, harus dilakukan assesmen seperti tersebut dibawah ini :
A. Riwayat penyakit (Jatuh)
Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau keluarganya.
Anamnesis ini meliputi :
1. Seputar jatuh: mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset, tersandung, berjalan,
perubahan posisi badan, waktu mau berdiri dari jongkok, sedang makan sedang buang
air kecil atau besar, sedang batuk atau bersin, sedang menoleh tiba-tiba atau aktivitas
lainnya.
2. Gejala yang menyertai: nyeri dada, berdebar-debar, nyeri kepala tiba-tiba, vertigo,
pingsan, lemas, konfusio, inkontinensisa, sesak nafas.
3. Kondisi komorbid yang relevan: pernah stroke, parkinsonism, osteoporosis, sering
kejang, penyakit jantung, rematik, depresi, defisit sensorik.
4. Review obat-obatan yang diminum: antihipertensi, diuretik, autonomic blocker,
antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik, psikotropik.
5. Review keadaan lingkungan: tempat jatuh, rumah maupun tempat-tempat kegiatannya.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda vital: nadi, tensi, respirasi, suhu badan (panas/hipotermi).
2. Kepala dan leher: penurunan visus, penurunan pendengaran, nistagmus, gerakan yang
menginduksi ketidak-seimbangan, bising.
3. Jantung: aritmia, kelainan katup jantung.
4. Neurologi: perubahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer, kelemahan otot,
instabilitas, kekakuan, tremor.
5. Muskuloskeletal: perubahan sendi, pembatasan gerak sendi, problem kaki (podiatrik),
deformitas.
C. Assessmen Fungsional
Dilakukan observasi atau pencarian terhadap:
1. Fungsi gait dan keseimbangan: observasi pasien ketika bangkit, dari duduk dikursi,
ketika bejalan, ketika membelok atau berputar badan, ketika mau duduk dibawah.
2. Mobilitas: dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat bantu, memakai
kursi roda atau dibantu.
3. Aktifitas kehidupan sehari-hari: mandi, berpakaian, bepergian, kontinens.

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan menterapi
komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik, mengembalikan kepercayaan diri
penderita. Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau mengeliminasi faktor
risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus terpadu dan
membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi,
rehabilitasi medik, psikiatrik, dll), sosiomedik, arsitek dan keluarga.
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena perbedaan
faktor-faktor yang bekerjasama mengakibatkan jatuh. Bila penyebab merupakan penyakit akut,
penanganannya menjadi mudah, sederhana, dan langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh
serta efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronis, multifaktorial sehingga
diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi, perbaikan lingkungan, dan perbaikan
kebiasaan lansia itu. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh
ulangan, misalnya pembatasan bepergian/aktifitas fisik, penggunaan alat bantu gerak.
Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan penurunan fungsional terapi
difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot, sehingga memperbaiki
fungsionalnya. Sayangnya sering terjadi kesalahan, terapi rehabilitasi hanya diberikan sesaat
sewaktu penderita mengalami jatuh, padahal terapi ini diperlukan terus-menerus sampai
terjadi peningkatan kekuatan otot dan status fungsional. Penelitian yang dilakukan dalam
waktu satu tahun di Amerika Serikat terhadap pasien jatuh umur lebih dari 75 tahun,
didapatkan peningkatan kekuatan otot dan ketahanannya baru terlihat nyata setelah menjalani
terapi rehabilitasi 3 bulan, semakin lama lansia melakukan latihan semakin baik kekuatannya.
Terapi untuk penderita dengan penurunan gait dan keseimbangan difokuskan untuk
mengatasi/mengeliminasi penyebab/faktor yang mendasarinya. Penderita dimasukkan dalam
program gait training, latihan strengthening dan pemberian alat bantu jalan. Biasanya program
rehabilitasi ini dipimpin oleh fisioterapis. Program ini sangat membantu penderita dengan
stroke, fraktur kolum femoris, artritis, parkinsonisme.
Penderita dengan sindrom dizzines, terapi ditujukan pada penyakit kardiovaskuler yang
mendasari, menghentikan obat-obat yang menyebabkan hipotensi postural seperti beta
blocker, diuretik, antidepresan, dan lain-lain. Terapi yang tidak boleh dilupakan adalah
memperbaiki lingkungan, rumah/tempat kegiatan lansia seperti tersebut di pencegahan jatuh.
Sindrom Delirium (Acute Confusional State)

Pendahuluan
Sindrom delirium adalah kondisi yang sering dijumpai pada pasien geriatri di rumah
sakit. Sindrom ini sering tidak terdiagnosis dengan baik saat pasien berada di rumah (akibat
kurangnya kewaspadaan keluarga) maupun saat pasien sudah berada di unit gawat darurat
atau unit rawat jalan. Gejala dan tanda yang tidak khas merupakan salah satu penyebabnya.
Setidaknya 32%-67% dari sindrom ini tidak dapat terdiagnosis oleh dokter, padahal kondisi ini
dapat dicegah. Sindrom delirium mempunyai dampak buruk, tidak saja karena meningkatkan
resiko kematian sampai 10 kali lipat namun juga karena memperpanjang masa rawat serta
meningkatkan kebutuhan perawatan (bantuan Activities at Daily Living) dari petugas kesehatan
dan pelaku rawat. Sindrom delirium memiliki banyak nama, beberapa literature menggunakan
istilah seperti acute mental status change, altered mental status, reversible dementia, toxic /
metabolic encephalopathy, organic brain syndrome, dysergastic reaction dan acute confutional
state.

Patofisiologi
Defisiensi neurotransmitter asetilkolin sering dihubungkan dengan sindrom delirium.
Penyebabnya antara lain gangguan metabolisme oksidatif di otak yang dikaitkan dengan
hipoksia dan hipoglikemia. Faktor lain yang berperan antara lain meningkatnya sitokin otak
pada penyakit akut. Gangguan atau defisiensi asetilkolin atau neurotransmitter lain maupun
peningkatan sitoksin akan mengganggu transduksi sinyal neurotransmitter serta second
messenger system. Pada gilirannya, kondisi tadi akan memunculkan gejala-gejala serebal dan
aktivitas psikomotor yang terdapat pada sindrom delirium.

Faktor Predisposisi Dan Faktor Pencetus


Faktor predisposisi antara lain : usia sangat lanjut, gangguan faal kognitif ringan (mild cognitive
impairment = MCI) sampi demensia, gangguan ADL, gangguan sensorium (penglihatan dan
/atau pendengaran), usia lanjut yang rapuh (fragile), usia lanjut yang sedang menggunakan obat
yang mengganggu faal neurotransmitter otak (misalnya ranitiddin, simetidin, siprofloksasin,
psikotropika), polifarmasi dan komorbiditas.
Faktor pencentus yang sering dijumpai antara lain : pneumonia, infeksi saluran kemih
dan kondisi akut lain seperti hiponatremia, dehidrasi, hipoglikemia dan CVD, serta perubahan
lingkungan (perpindahan ruangan misalnya).

Tabel 1. Beberapa Kondisi yang Lazim Mencetuskan Kondisi Delirium


Iatrogenik Pembedahan, kateterisasi, urin, physical restraints
Obat-obatan Psikotropika
Gangguan Insufisiensi ginjal, dehidrasi, hipoksia, azotemia,
Metabolik/cairan Hiperglikemia, hipernatremia, hipokalemia.
Penyakit Demam, infeksi, stress, alcohol, putus obat (tidur),
Fisik/psikiatrik Fraktur, malnutrisi, gangguan pola tidur
Overstimultion Perawatan di ICU, atau perpindahan ruang rawat

Gejala Klinis
Gejala yang dapat dijumpai antara lain gangguan kognitif global berupa gangguan memori
(recent memory = memori jangka pendek), gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), atau gangguan
proses pikir (disorientasi waktu, tempat, orang).
Gejala yang mudah diamati namun justru terlewatkan adalah bila terdapat komunikasi yang
tidak relevan, atau autoanamnesis yang sulit dipahami; kadang-kadang pasien tampak seperti
mengomel terus atau terdapat ide-ide pembicaraan yang melompat-lompat. Gejala lain
meliputi perubahan aktivitas psikomotor baik hipoaktif (25%), hiperaktif (25%) maupun
campuran keduanya sekaligus (35%); sebagian pasien (15%)menunjukkan aktivitas psikomotor
normal; gangguan siklus tidur (siang hari tertidur sedang malam hari terjaga). Rudolph dan
Marcantonio (2003) memasukkan gejala perubahan aktivitas psikomotor dalam kelompok
perubahan kesadaran, yakni setiap kondisi kesadaran selain kompos mentis, termasuk di
dalamnya keadaan hipoaktivitas dan hiperaktivitas. Gejala-gejala klinik tersebut di atas terjadi
secara akut dan berfluktuatif; berarti dari hari ke hari dapat terjadi perubahan gejala secara
berganti-ganti. Dapat pula terjadi kondisi pasien yang fully alert di satu hari namun pada hari
berikutnya pasien tampak gelisah (hiperaktif). Gejala yang khas (yang membedakan dari
demensia) adalah perhatian sangat terganggu, pasien tidak mampu mempertahankan
konsentrasi maupun perhatiannya pada suatu topik pembicaraan misalnya. Tanda yang dapat
diamati antara lain terdapatnya gangguan pada uji atensi (mengurutkan nama hari dalam
seminggu, mengurutkan nama bulan dalam setahun, atau mengeja balik kata “pintu”).

Beberapa Tipe Sindrom Delirium


Klasifikasi sindrom delirium berdasarkan aktivitas psikomotor (tingkat/kondisi kesadaran,
aktivitas prilaku) yakni : 1).Hiperaktif, 2).Hipoaktif, 3).Campuran (paling sering). Pasien yang
hiperaktif paling mudah dikenali di ruang rawat karena sangat menyita perhatian. Pasien bisa
nampak gaduh gelisah, berteriak-teriak, jalan mondar-mandir, atau mengomel sepanjang hari.
Dibandingkan dengan tipe lain, pasien yang hiperaktif mempunyai prognosis lebih baik. Hal
yang perlu diperhatikan pada pasien yang hiperaktif adalah hati-hati jangan sampai disalah
artikan oleh tenaga kesehatan sebagai pasien yang “bad mood” atau jika ditenangkan dengan
memberi obat sedativum sering justru akan memperburuk sindrom delirium.

Diagnosis
Berdasarkan DSM-IV (Diagnosis and Statistical IV ), telah disusun algoritme, disebut Confusion
Assessment Methode (CAM) untuk menegakkan diagnosis sindrom delirium. CAM ditambah uji
status mental lain dapat dipakai sebagai baku emas diagnosis. (Mini-mental State Examination
(MMSE), Folstein, Delirium Rating Scale, Delirium Symptom Interview). Kombinasi pemeriksaan
tersebut dapat dikerjakan dalam waktu sekitar 15 menit oleh tenaga kesehatan yang terlatih
dan cukup andal, spesifik serta sensitive ( k= 0,95).
Proses akut dan berfluktuasi
Gambar 1. Confusion assessment
method untuk sindrom delirium

Gangguan perhatian /
konsentrasi (inattention)

Gangguan proses pikir Perubahan kesadaran

SINDROM DELIRIUM
Diagnosis Banding
Banyak gejala yang menyerupai delirium. Demensia dan depresi sering menunjukkan gejala
yang mirip delirium; bahkan kedua penyakit/kondisi tersebut acapkali terdapat bersamaan
dengan sindrom delirium. Pada keadaan tersebut maka informasi dari keluarga dan pelaku
rawat menjadi sangat berarti pada saat anamnesis.
Demensia dan delirium juga sering terdapat bersamaan; gangguan yang acap kali
tumpang tindih antara lain gangguan orientasi, memori dan komunikasi. Demensia sendiri
merupakan faktor resiko untuk terjadinya sindrom delirium terutama jika terdapat faktor
pencetus penyakit akut.
Beberapa jenis demensia seperti demensia Lewy Body dan demensia lobus frontalis
menunjukkan perubahan perilaku dan gangguan kognitif yang sulit dibedakan dari sindrom
delirium. Sindrom delirium dengan gejala psikomotor yang hiperaktif sering keliru dianggap
sebagai pasien yang cemas (anxietas), sedangkan hipoaktif keliru dianggap sebagai depresi.
Keduanya dapat dibedakan dengan pengamatan yang cermat. Pada depresi terdapat
perubahan yang bertahap dalam beberapa hari atau minggu sedangkan pada sindrom delirium
biasanya gejala berkembang dalam beberapa jam. Tingkat kesadaran pada depresi biasanya
compos mentis, proses berpikirnya utuh. Pada depresi juga biasanya terdapat kehilangan
minat, depressed mood serta faal sensorium yang normal. Berbagai gejala dan tanda pada
sindrom delirium akan berfluktuasi dari waktu ke waktu, sementara pada depresi dan demensia
lebih menetap.
Pasien dengan sindrom delirium bisa muncul dengan gejala seperti psikosis yakni
terdapat delusi, halusinasi serta pola pikir yang tidak terorganisasi. Pada kondisi seperti ini
maka sebaiknya berkonsultasi dengan psikiater.

Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan adalah menemukan dan mengatasi pencetus serta faktor
predisposisi. Comprehensive geriatric assesment (pengkajian geriatri paripurna) sangat
bermanfaat karena akan memberikan gambaran lebih jelas tentang beberapa faktor resiko yang
dimiliki pasien. Pemeriksaan tak hanya terhadap faktor fisik, namun juga psikiatrik, status
fungsional, riwayat penggunaan obat, dan riwayat perawatan/penyakit/operasi terdahulu serta
asupan nutrisi dan cairan sebelum sakit. Pemeriksaan tanda vital (kesadaran, tanda rangsang
meningeal, tekanan darah, frekuensi nafas dan denyut jantung serta suhu rektal) sangat
penting, selain untuk diagnosis namun juga bermanfaat dalam evaluasi hasil pengobatan.
Pemeriksaan penunjang dasar seperti darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas
darah, gula darah, ureum, kreatinin, SGOT dan SGPT, urin lengkap, EKG, foto thorax dan kultur
darah harus segera dilaksanakan.
Obat-obat yang tidak esensial untuk sementara dihentikan. Pengobatan/penanganan
yang diberikan tidak saja menyangkut aspek fisik, namun juga psikologi/psikiatrik, kognitif,
lingkungan, serta pemberian obat.
Data empiris manfaat obat untuk mengatasi gejala sindrom delirium masih terbatas.
Beberapa obat antipsikotik mempunyai efek yang mampu menekan berbagai gejala hiperaktif
dan hipoaktif dari sindrom delirium, haloperidol; menjadi obat pilihan utama pada fase akut
(agitasi hebat, perilaku agresif, hostility, halusinasi, atau gejala lain yang membahayakan
dirinya). Olanzapin dapat diberikan sebagai tambahan jika agresivitas masih muncul dengan
dosis maksimal haloperidol. Beberapa laporan kasus menunjukkan manfaat antipsikotik
generasi kedua seperti risperidon dan penghambat asetilkolin-esterase; masih diperlukan
penelitian intervensional lebih lanjut. Perlu dicatat bahwa penggunaan antipsikotik harus
dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan secara bertahap jika diperlukan. Walaupun
resiko efek samping yang mungkin muncul rendah namun beberapa efek serius seperti
perpanjangan QT dan torsades de pointes, gejala ekstrapiramidal dan diskinesia putus obat
dapat terjadi.
Secara umum penanganan yang bersifat suportif amat penting dalam pengelolaan
pasien dengan sindrom delirium, baik untuk pengobatan maupun dalam konteks pencegahan.
Asupan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan pasien harus diupayakan
seoptimal mungkin. Keberadaan anggota keluarga atau yang selama ini biasanya merawat akan
sangat berperan dalam memulihkan orientasi. Sedapat mungkin ruangan pasien haruslah
tenang dan cukup penerangan.
Setelah yakin bahwa kesadaran pasien compos mentis dan tidak terdapat kelumpuhan
otot menelan barulah perawat diizinkan memberikan asupan per oral. Selama perawatan,
tanda vital harus lebih sering dievaluasi, setidknya setiap empat jam, jika diperlukan dapat
dinilai setiap dua atau bahkan setiap satu jam tergantung kondisi pasien. Penilaian yang lebih
sering dengan kewaspadaan yang tinggi ini diperlukan karena gejala dan tanda klinik yang
sangat berfluktuatif. Selain tanda vital, jumlah produksi urin dari cairan yang masuk harus
diukur dengan cermat setiap empat jam.
Penatalaksanaan spesifik ditunjukan untuk mengidentifikasi pencetus dan predisposisi.
Segera setelah faktor pencetus diketahui maka dapat dilakukan tindakan yang lebih definitif
sesuai faktor pencetusnya. Memperbaiki faktor predisposisi harus dikerjakan tanpa menunggu
selesainya masalah terkait faktor pencetus.

Prognosis
Walaupun gejala dan tanda sindrom delirium bersifat akut namun ternyata dilaporkan adanya
beberapa kasus dengan gejala dan tanda yang menetap bahkan sampai bulan ke-12. Beberapa
penelitian melaporkan hasil pengamatan tentang prognosis sindrom delirium yang
berhubungan dengan mortalitas, gangguan kognitif pasca-delirium, status fungsional serta
gejala sisa yang ada.
Pasien dengan sindrom delirium mempunyai risiko 1,71 kali lebih tinggi untuk meninggal
dalam tiga tahun kedepan dibandingkan mereka yang tidak
Rockwood (1999) mendapatkan peningkatan risiko demensia sebesar 5,97 pada
kelompok dengan sindrom delirium. Besarnya perbedaan derajat perubahaan faal kognitif
dalam observasi selama 12 bulan lebih besar secara bermakna pada kelompok yang pernah
mengalami sindrom delirium dibandingkan dengan kelompok kontrol
Pada penelitian yang menilai status fungsional, ternyata delirium berhubungan dengan
status fungsional yang lebih rendah, baik pada kelompok dengan maupun tanpa demensia.
McCusker (2001) memperlihatkan bahwa pasien-pasien dengan sindrom delirium mempunyai
skor ADL Barthel (rentang 0-100) yang lebih buruk (skor 53,4 + 29,9 menjadi 80,6 + 28,2 dalam
12 bulan pasca delirium) dibandingkan dengan kontrol (62,7 + 26,2 menjadi 87,1 + 13,2 dalam
12 bulan pasca delirium).

Pencegahan
Berbagai literatur menyebutkan bahwa pengobatan sindrom delirium sering tidak tuntas.
Sembilan puluh enam persen yang dirawat karena delirium pulang dengan gejala sisa. Hanya
20% dari kasus-kasus tersebut yang tuntas dalam enam bulan setelah pulang.
Beberapa obat juga dapat mencetus delirium, terutama yang mempunyai efek
antikolinergik. Beberapa obat yang diketahui meningkatkan resiko delirium antara lain :
benzodiazepin, kodein, amitriptilin (antidepresan), difenhidramin, ranitidin, tioridazin, digoksin,
amiodaron, metildopa, procainamid, levodopa, fenitoin, siprofloksasin. Beberapa tindakan
sederhana yang dapat dilakukan di rumah sakit (di ruang rawat akut geriatri) terbukti cukup
efektif mampu mencegah delirium. Inouye et al (1999) menyarankan beberapa tindakan yang
terbukti dapat mencegah delirium seperti tertera pada tabel 2.
Tabel 2. Pencegahan Delirium dan keluarannya
Panduan Tindakan Keluaran p
Intervensi
Reorientasi Pasang jam dinding Memulihkan 0,04
Kalender orientasi
Memulihkan Padamkan lampu Tidur tanpa obat 0,001
siklus tidur Minum susu hangat atau teh herbal
Musik yang tenang
Pemijatan (massage) punggung
Mobilisasi Latihan lingkup gerak sendi Pulihnya mobilitas 0,06
Mobilitas bertahap
Batasi penggunaan restraint
Penglihatan Kenakan kacamata Meningkatkan 0,27
Menyediakan bacaan dengan huruf kemampuan
berukuran besar penglihatan
Pendengaran Bersihkan cerumen prop Meningkatkan 0,10
Alat bantu dengar kemampuan
pendengaran
Rehidrasi Diagnosis dini dehidrasi BUN/Cr<18 0,04
Tingkatkan asupan cairan oral
Kalau perlu per infus
Daftar Pustaka

Pengkajian Komprehensif Pada Geriatri


Forciea MA. Comprehensive Geriatric Assessment. In: Geriatric Secrets. 3rd ed. New York: Mc
Grawhill; 2004. p.14 – 18.
Darmojo BR. Demografi dan Epidemiology Populasi Usia Lanjut. In: Darmojo BR, Martono H,
editor. Buku Ajar Geriatri. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010
Reuben DB. Principles of Geriatric Assessment. In: Principles of Geriatric Medicine and
Gerontology. 5th ed. New York: Mc Grawhill; 2003.p. 99 – 110.
Martono H. Penderita Geriatri dan Asesmen Geriatri. In: Darmojo BR, Martono H, editor. Buku
Ajar Geriatri. 3 th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004.p. 15.
Kuswardhani, RAT. Comprehensive Assesment of The Elderly Patients. In: Buku Ajar Geriatri.
Divisi Geriatri Ilmu Penyakit Dalam FK Unud; 2011.p. 1-7.
Depkes RI. Buku Panduan Nutrisi Usia Lanjut; 2005.
Kaiser MJ, Bauer JM, Ramsch C, et al. Validation of the Mini Nutritional Assessment Short Form
(MNA-SF): A Practical Tool for Identification of Nutritional Status. J Nutr Health Aging 2009; 13:
p. 782-8.
Brocklehurst. Textbook of Geriatric Medicine & Gerontology. 6th ed. New York: Churchill &
Living Stone; 2003.
Kahana E, Lawrence RH, Kahana B, et al. Long Term Impact of Preventive Proactivity on Quality
of Life of The Old. Psychosomatic medicine 2002; 64: p. 382-94.
Folstein MF, Folstein SE. Syndrome of Alterated Mental State; 1990
Birrer RB. Depression in Later Life A Diagnostic and Therapetic Challenge. Am Fam Physician
2004; 69: p. 2375 – 829.
BPS (Badan Pusat Statistik). Proyeksi Penduduk Indonesia (Indonesia Population Projection)
2000-2025. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, BPS. Jakarta: United Nations
Population Fund; 2005: p.12-49.
Lindgren M, Unosson M, Krantz AM, et al. A Risk Assessment Scale for The Prediction of
Pressure Score Development: Reliability and Validity. Journal of Advanced Nursing 2002; 38 (2):
p. 190-199.
Top program. Adult Insomnia: Assessment to Diagnosis; 2006.p. 1-11.
Depresi Pada Geriatri
Aronson R, Offman HJ, Joffe RT, et al. Treatment of refractory depression. Arch Gen Psychiatry
2005; 53: p. 842-8.
Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK
Unika Atmajaya Jakarta. 2001.
Birrer RB. Depression in Later Life A Diagnostic and Therapetic Challenge. Am Fam Physician
2004; 69: p. 2375 – 829.
Liffe S. The role of the GP in Managing Mental Illness in Later Life. Medical Progress 2005; 32:p.
332 – 5.
American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Mannual of Mental Disorders.
Fourth Edition. Text Revision. 2000. Washington DC.
Katona CLE. Depression in older. Chichester: John Wiley & Sons; 2011.p.379-410.
Whooley MA, Kip KE, Cauley JA, et al. Depression, Falls, and Risk of Fracture in older Women.
Archives of Internal Medicine 2009;1159: p. 484.
Wells K, Sherbourne C, Duan N, et al. Quality Improvement for depression in Primary Care: Do
Patients with substreshold depression benefit inlong run? Am J Psychiatry 2005; 162: p. 1149-
57
Kuswardhani RAT. Depresi dan Imobilisasi pada Geriatri. In: Buku Ajar Geriatri. Divisi Geriatri
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unud; 2011. p. 58-65.
Wiese BS. Geriatric Depression: The Use of Antidepressant in The Elderly. Bcmj 2011;53.p. 341-
47.
Evans M, Mattram P. Diagnosis of Depression in Elderly Patient. Adv. Psychiatr. Treat 2000; 6.p.
49-56.
Inkontinensia Urin pada Geriatri
Brown JS, Wing R, Barret-Connor E, et al. Prevalence and Risk Factor for Urinary Incontinence
in Women with Type 2 Diabetes and Impaired Fasting Glucose. Diabetes Care 2006; 29(2):
p.385-90.
Abrams P, Cardozo L, Khoury S, et al. Incontinence Management. France: Health Publication
LTD; 2005.p.426 – 31.
Klovning A, Avery K, Sandvik H, et al. Comparison of Two Questionnarires for Assessing the
Severity of Urinary Incontinence: The ICIQ-UI SF Versus the Incontinence Severity Index.
Neurourol. Urodynam 2009; 28: p. 411-15.
Kuswardhani RAT. Blitzing Disturbance Management on Elderly Problem. In: Naskah Lengkap
BEU-BAGUS; 2011. p.11-12.
Kuswardhani RAT. Inkontinensia Urine pada Populasi Geriatri. In: Naskah lengkap Pertemuan
Ilmiah Nasional X PB PAPDI. Update in Diagnostic Procedures and Treatment In Internal
Medicine Workshop; 2012. p. 368-71.
Perfetto EM, Subedi P, Jumadilova Z. Treatment of Overactive Bladder A Model Comparing
Extended Release Formulations of Tolterodine and Oxybutinin. Am J. Manag Care 2005; 11: p.
s150 – 7.
Rufford, Hextall A, Cardozo L, et al. A double blind placebo-controlled trial on the effects of 25
mg estradiol implants on the urge syndrome in postmenopausal women. Tnt Urogynecol J
2010; 14: p. 78-83.
Mullins CD, Subak LL. New Perspectives on Overactive Bladder Quality of Life Impact,
Medication Persistency and Treatment Costs. Am J. Manag Care 2005; 11: p. s101 – 2.
Jachim W, Abram P, Anderson VO, et al. EAU Guidelines in Urinary Incontinence. European
Urology 2011; 59: p. 387-400.
Chiarelli PE, Mackenzie LA, Osmotherly PG. Urinary Incontinence is Associated with an Increase
Falls: a systematic review. Australian Journal of Physiotherapy 2009; 55: p. 89-95.
Inkontinensia Alvi Pada Geriatri
American Society of Colon and Rectal Surgeons (ASCRS). Constipation. Constipation Medicine
2002 Nov 7; p.1-13.
Holson, D. Constipation. Constipation Medicine 2002 May 14; p.1-14.
Kuswardhani RAT. Inkontinensia Alvi. In: Buku Ajar Geriatri. Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK Unud; 2011. p. 48-51..
Boedhi Darmojo R. Inkontinensia Alvi. In: Buku Ajar Geriatri. 4th ed. Balai Penerbit FKUI; 2010.
Landefeld CS, Lyons WL. Anorectal Disorders, Fecal Incontinence. In: Current Geriatric Diagnosis
and Treatment. International Edition; 2004. p. 229-31.
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK). Constipation. NIH
Publication 2000 May; p. 1-14.
Resnick B. Constipation. In: Adelman AM, editors. Common Problems in Geriatrics. New York:
Mc Graw-Hill; 2001: p. 311-35.
Shah BJ, Chokhavatia S, Rose S. Fecal Incontinence in The Elderly: FAQ. Am J Gastroenterol
2012; p. 1-11.
Stevens TK, Soffer EE, Palmer RM. Fecal Incontinence in The Elderly Patient: common, treatable,
yet often undiagnosis. CCJM 2003;70 (5). p. 441-8.
Rao SSC. Diagnnosis and Management of Fecal Incontinence. Am J Gastroenterol 2004;p. 1585-
1604. American Society of Colon and Rectal Surgeons (ASCRS). Constipation. Constipation
Medicine 2002 Nov 7; p.1-13.
Holson, D. Constipation. Constipation Medicine 2002 May 14; p.1-14.
Kuswardhani RAT. Inkontinensia Alvi. In: Buku Ajar Geriatri. Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK Unud; 2011. p. 48-51..
Boedhi Darmojo R. Inkontinensia Alvi. In: Buku Ajar Geriatri. 4th ed. Balai Penerbit FKUI; 2010.
Landefeld CS, Lyons WL. Anorectal Disorders, Fecal Incontinence. In: Current Geriatric Diagnosis
and Treatment. International Edition; 2004. p. 229-31.
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK). Constipation. NIH
Publication 2000 May; p. 1-14.
Resnick B. Constipation. In: Adelman AM, editors. Common Problems in Geriatrics. New York:
Mc Graw-Hill; 2001: p. 311-35.
Shah BJ, Chokhavatia S, Rose S. Fecal Incontinence in The Elderly: FAQ. Am J Gastroenterol
2012; p. 1-11.
Stevens TK, Soffer EE, Palmer RM. Fecal Incontinence in The Elderly Patient: common, treatable,
yet often undiagnosis. CCJM 2003;70 (5). p. 441-8.
Rao SSC. Diagnnosis and Management of Fecal Incontinence. Am J Gastroenterol 2004;p. 1585-
1604.
Polifarmasi Pada Pasien Geriatri
Braunwald E, Hauser SL, Fauci AS, et al. The Practice of Medicine. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo
DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 15th
ed. New York: McGraw-Hill; 2001.p.3-4.
Alic A, Pranjic N, Ranic E, Rania A. Polipharmacy and Decrease Cognitif abillitis and Elderly
Patients. Med Arh 2011; 65 (2): p.102-105.
Emily R, Hajjar, Pahrem, et al. Polipharmacy In Elderly Patient. Am Jopharm 2007; p. 345-351.
Kuswardhani RAT. Akibat Polipharmacy pada Pasien Geriatri. In: Buku Ajar Geriatri. Divisi
Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unud. Denpasar; 2011.p. 81-84.
Palmer RM. Acute Hospital Care: Future Direction. In: Yoshikawa TT, Norman DC, editors. Acute
Emergencies and Critical Care of the Geriatric Patient. New York: Marcel Dekker Inc; 2000.p.
461-486.
Fazzier SC. Health Outcomes and Polipharmacy In Elderly Individual. J Gerontol Nurs 2005; 31:
p. 4-11.
Ospino DV, Bazallma OV, Palmer RF, et al. Suboptimal Medication Use and Mortality In Older
Adults. J Gerontol A Biol Sci Med Sci 2006; 61: p. 170-175.
Hippesley-Cox J, Pringle M. Polypharmacy in The Elderly: Analysis of QRESEARCH Data.
QRESEARCH 2007. p. 1-12.
Hajjar ER, Cafiero AC, Hanlon JT. Polypharmacy in Elderly Patient. Am J Geriatr.Pharmacother
2007; 5.p. 345-351.
Brazeau S. Polypharmacy and The Elderly. The Canadian Journal of CME 2001; p. 85-94.
Imobilisasi Pada Lanjut Usia
Anderson LC, Cutter NC. Immobility. In: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander
JG. Principles of Geriatric medicine and gerontology. 4th ed. New York:McGraw-
Hill;1999:p1565-75
Ebell MH. Evaluation of the patient with suspected deep vein thrombosis. J Fam Pract
2001;50:167-71
Fancher TL, White RH, Kravitz RL. Combined use of rapid D- Dimer testing and estimation of
clinical probability in the diagnosis of deep vein thrombosis: systematic review. BMJ
2004;329:821-9
Piliotis G, Geerts WH. Prevention of venous thromboembolism in elderly. Geriatrics and Aging
2001;4:20-1,38
Setiati S, Aries W, Laksmi PW, Harimurti K, Govinda A. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Imobilisasi dan Komplikasi pada orang lanjut usia. PERGEMI, Jakarta. Mei 2006.
Thomas DR. Prevention and treatment of pressure ulcers: what works? What doesn’t?
Cleveland Clin J Med 2001;68:704-22
Tovey C, Wyatt S. Diagnosis, investigation, and management of deep vein thrombosis. BMJ
2003;326:1180-4
Jatuh Pada Lanjut Usia
Laurance ZR, Falls and Gait Disorder. In: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander
JG. Principles of Geriatric medicine and gerontology. 4th ed. New York:McGraw-
Hill;1999:p1157-75
Setiati S, Laksmi PW. Gangguan Keseimbangan, Jatuh dan Fraktur. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Eds IV. Jakarta. Pusat Penerbitan,
Departement Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006:p. 1388-87.
Hill KD, Schwarz JA, Sims J. Falls. In : Ratnaike RN. Practical Guide to Geriatric Medicine.
Australia : Mc GrawHill. 2002 : 155-166
Ahronheim JC, Huang ZB, Yen V, Davitt CM, Barite D. Case Studies in Geriatric Medicine. UK :
Cambrige University Press. 2005 : 95-100
Gardner MM, Robertson MC, Campbell AJ. Exercise in preventing falss and falll related injuries
in Older people: a review of randomised controlled trials. Br J Sport Med 2000;34:7-17.
Poole KES, Reeve J, Warburton EA. Falls, Fractures and Osteoporosis after Stroke: Time To Think
About Protection? Stroke 2002;33:1432-6
Abdehafiz AH, Austin CA. Visual factors should be assessed in older people presenting with falls
or hip fractures. Age and Agieng 2003;32:26-30
Sindrom Delirium (Acute Confusional State)
Friedland RP, Wilcock GK. Dementia. Dalam: Evans JG, William TF, Beattie BL, Michel J-P,
Wilcock GK, eds. Oxford Textbook of Geriatric Medicine. 2nd ed. Oxford University Press; 2000:
922-930.
Inouye SK, Agostini JV. Delirium. Dalam: Hazzard WR, Blass JP, Halter JB, Ouslander JG, Tinetti
ME, editor. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. 5th edition. New York: McGraw-
Hill Co., Inc., 20003: 1503-1516.
Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Confusion: Delirium and Dementia. Dalam: Kane RL,
Ouslander JG, Abrass IB, editor. 5th edition. New York: McGraw-Hill, 2004: 121-145.
McKusker J. The Long-term Prognosis of Delirium. Geriatric and Aging; December 2003; 6(10):
22-27.
Rasmussen LS. Postoperative Cognitive Dysfunction in Older Adults. Geriatric and Aging;
December 2003;6(10): 36-38.
Rockwood K. Disordered Level of Consciousness and Acute Confusional State. Dalam: Hazzard
WR, Blass JP, Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, editor. Principles of Geriatric Medicine and
Gerontology. 5th edition. New York: McGraw-Hill Co., Inc., 2003:932-937.
Rudolph JL, Marcontonio ER. Diagnosis and Prevention of Delirium. Geriatrics and Aging;
December 2003;6(10): 14-19.
Samuels C, Evers MM. Delirium: Pragmatic Guidance for Managing a Common, confounding,
and Sometime Lethal Condition. Geriatrics and Aging; June 2002;57(6): 33-38.
Skrobik Y.An Averview of Delirium in the Critical Care Setting. Geriatrics and Aging; December
2003;6(10): 30-35.
TROPIK DAN PENYAKIT INFEKSI
Tim Penyusun:
1. Prof.Dr.dr. Tuti Parwati, SpPD-KPTI
2. dr. I K Agus Somia, SpPD-KPTI
3. dr. Susila Utama, SpPD-KPTI
4. dr. AA Ayu Yuli Gayatri, SpPD
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Disentri Ameba

Definisi
Amebiasis, disentri ameba, enteritis ameba, kolitis ameba adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh parasit usus Entamoeba histolytica ( E.histolitica ).

Etiologi
Entamoeba histolytica merupakan protozoa usus yang hidup komensal di usus besar manusia.
Siklus hidupnya ada 2 macam yaitu trofozoit dan bentuk kista. Bentuk trofozoit ada 2 macam
-60μm). Bentuk kista ada 2 macam
yaitu kista muda berinti satu dan kista dewasa berinti 4 ( tetranucleated ) yang memiliki daya
infeksi yang tinggi ( diameter 10-15μm ).

Epidemiologi
Kejadian amebiasis seluruh dunia kira-kira 50 juta/tahun, dengan angka kematian mendekati
100.000/tahun. Penularan penyakit ini lewat fekal-oral baik secara langsung melalui tangan
maupun tak langsung melalui air minum atau makanan yang tercemar tinja manusia yang
mengandung kista amuba yang berasal dari carrier (cyst passer).

Patogenesis
Trofozoit yang mula-mula komensal dalam lumen usus besar, tumbuh menjadi patogen
menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Faktor yang diduga mempengaruhi
perubahan trofozoit komensal menjadi patogen yaitu kerentanan tubuh, virulensi amuba
maupun lingkungannya. Virulensi amuba ditentukan oleh strainnya. Lingkungan yang diduga
berpengaruh yaitu suasana anaerob, asam, adanya bakteri, virus dan diet kolesterol.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya invasif E. histolytica belum diketahui secara jelas.
Beberapa kemungkinan faktor virulensi E. histolytica seperti cysteine protease, Gal/GalNAc-
inhibitable lectin dan amebapore. E. histolytica mengandung enzim proteolitik (colagenase dan
neutral protease) dan cysteine protease yang memperantarai invasi parasit kedalam jaringan,
juga adanya enzim pada permukaan ameba meliputi membrane-associated neuramidase dan β-
glucosaminidase.
Ada hubungan antara virulensi E histolytica dengan sekresi electron-dense granules. Komponen
lain yang potensial penting pada patogenesis E histolytica meliputi Ca2+-binding protein dan
calmodulin.
Kista dengan 4 inti (quadrinucleate) dalam usus halus, membentuk koloni dengan jalan
perlekatan terhadap colonic mucin glycoprotein melalui laktose dan N-acetyl-D-galactosamine
(Gal/GalNAc)-specific-lectin.
Infeksi terjadi oleh karena masuknya kista E.histolitica tetranucleated, setelah beberapa lama
terjadi kolonisasi dari excystment di usus besar. Trofozoit melekat pada epitel usus dengan
interaksi dari Gal/GalNAc-inhibitable lectin parasit dari pada host-derived glycoprotein, dimana
terjadi afinitas ligand yang tinggi untuk lectin amuba. Gal/GalNAc-binding lectin memperantarai
perlekatan target sel, resistensi komplemen dan sitotoksisitas. Antibodi monoklonal mengenali
lectin dapat menyerang baik perlekatan invitro dan sitotoksisitas.
Kerusakan ekstraseluler tergantung kontak dari netrofil, makrofag dan eritrosit oleh E.
histolytica. Kerusakan sel inang oleh trofozoit ekstraseluler melalui kontak Gal/GalNAc lectin
parasit. Lapisan musin manusia akan melindungi sel host terhadap aktifitas sitolitik dengan
netralisasi pengikatan epitope lectin selama perlekatan. Peran dasar dari lectin amuba pada
adhesi dan sitolisis telah dinyatakan tahun 1981. Penambahan Gal/GalNAc atau galactose
menghambat efek sitopatik pada jaringan host. Hambatan terhadap lectin dengan Gal/GalNAc
melindungi sel terhadap penghancuran dan sel yang kurang Gal/GalNAc permukaan akan tahan
terhadap perlekatan dan cytolysis.
Kerusakan sel melalui induksi dari kaskade apoptosis. Trofozoit juga terdiri atas poer-
forming protein yang mungkin berperan dalam penghancuran endokista bakteri. Pemurnian
protein (purified) juga mampu menginduksi nekrotik dari sel eukariotik. Parasit menyerang
ketahanan penghancuran oleh komplemen dari sistem immun bawaan melalui hambatan
mediator lectin dari kumpulan terhadap membrane attacking complex. Invasi juga dirangsang
oleh cytoskleton-induced motility dan oleh sekresi protease yang menurunkan matriks
ekstraseluler dan antibodi yang juga melibatkan endocytosis.
Amuba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat
menyebabkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus yang akhirnya menimbulkan ulkus.
Bentuk ulkus amuba, di lapisan mukosa berbentuk kecil, dilapisan sub mukosa dan muskularis
melebar ( menggaung ). Ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan terjadi reaksi radang
minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal.

Manifestasi Klinis
Sekitar 90% infeksi bersifat asimtomatik, sementara 10 % lainnya memberikan berbagai
sindrom klinis. Berdasarkan berat ringannya gejala yang ditimbulkan maka amebiasis dapat
dibagi menjadi:
Carrier (cyst passer)
Penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali. Hal ini disebabkan karena amuba yang
berada dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke dinding usus.
Disentri ameba ringan
Onset penyakit secara perlahan, biasanya penderita mengeluh perut kembung, kadang
nyeri perut ringan, diare 4-5 kali sehari, tinja berbau busuk, kadang-kadang bercampur
darah dan lendir. Keadaan umum penderita biasanya baik, tanpa atau disertai demam
ringan (subfebril). Kadang-kadang terdapat hepatomegali.
Disentri ameba sedang
Keluhan dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tetapi penderita masih
mampu melakukan aktivitas sehari-hari, tinja disertai darah dan lendir, keluhan perut
kram, demam, badan lemah, disertai hepatomegali dengan nyeri tekan ringan.
Disentri ameba berat
Keluhan dan gejala klinis lebih berat, penderita mengalami diare disertai darah yang
banyak, lebih dari 15 kali/hari, demam tinggi (40°C-40,5°C), disertai mual, anemia. Pada
saat ini tidak dianjurkan pemeriksaan sigmoidoskopi karena dapat mengakibatkan
perforasi usus.
Disentri ameba kronik
Gejalanya menyerupai disentri ameba ringan, serangan-serangan diare diselingi dengan
periode normal atau tanpa gejala, keadaan ini dapat berlangsung berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun. Sering disertai dengan gejala neurastenia, serangan diare
terjadi karena kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.

Komplikasi
Berdasarkan lokasinya, komplikasi disentri ameba dapat dibagi menjadi komplikasi
intestinal dan ekstraintestinal.
Komplikasi intestinal
- Perdarahan usus
- Perforasi usus
- Ameboma
Terjadi akibat infeksi kronik yang mengakibatkan reaksi terbentuknya massa jaringan
granulasi, terjadi didaerah sekum dan rektosigmoid. Sering mengakibatkan ileus
obstruktif atau penyempitan usus.
- Intususepsi
Sering terjadi di daerah sekum yang memerlukan tindakan operasi segera.
- Striktura (penyempitan usus)
Dapat terjadi pada disentri kronik, akibat terbentuknya jaringan ikat atau akibat
ameboma.
Komplikasi ekstra intestinal
- Amebiasis hati
Merupakan komplikasi ekstra intestinal yang paling sering terjadi.
- Amebiasis pleuropulmonal
- Abses otak, limpa dan organ lain
- Amebiasis kulit
Diagnosis
1. klinis
2. Laboratorium
Diagnostik:
1. Mikroskopis: ditemukan ameba (trofozoit) pada tinja.
2. Kultur faeses
3. Serologis: enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), indirect hemagglutination
assay (IHA) dan latex agglutination.1,4
4. PCR
Pemeriksaan laboratorium lain tergantung indikasi adanya komplkasi dan untuk
menyingkirkan diagnosis yang lain

Diagnosis Banding
Amebiasis intestinal kadang-kadang sulit dibedakan dengan irritable bowel syndrome ( IBS ),
divertikulitis, hemoroid interna, disentri basiler ( shigellosis ), salmonelosis, kolitis ulserosa,
skistosomiasis.

Penatalaksanaan
Amebiasis asimptomatik (carrier atau cyst passer)
Carrier atau cyst passer walaupun tanpa gejala sebaiknya diobati. Obat yang diberikan amebisid
luminal :
1. Diloxanide furoate, dosis 3x500 mg sehari, selama 10 hari.
2. Diiodohydroxyquin, dosis 3x600 mg sehari, selama 10 hari.
3. Iodochloro-hydroxyquin atau clioqunol, dosis 3x250 mg sehari, selama 10 hari.
4. Paromomycin, dosis 3x500 mg sehari, selama 5 hari.

Disentri ameba ringan-sedang


Oleh karana didapatkan tropozoit di dalam lumen dan dinding usus besar, sebagai obat
pilihan adalah metronidazole dengan dosis 3x 500 - 750 mg, selama 10 hari atau 4 x 2gr
selama 3 hari, atau intravena 4 x 500 mg sehari selama 10 hari. Dapat pula diberikan
tinidazole dosis 2 x 600 mg sehari selama 5 hari.
Disentri ameba berat
Pada disentri ameba berat selain diberikan metronidazole, perlu juga koreksi terhadap
kelainan-kelainan yang terjadi misalnya transfusi darah bila terjadi perdarahan masif.
Amebiasis ekstra intestinal
Pada abses hati ameba dapat diberikan metronidazole oral 3x500 mg selama 10 hari
atau intravena dan ditambah chloroquine difosfat dosis 1 gr sehari selama 1-2 hari,
dilanjutkan 600 mg sehari selama 4 minggu.

Tabel 1. Rekomendasi Pengobatan Amebiasis1


I Carrier asimtomatik ( luminal agents )
1. Iodoquinol ( tablet 650 mg ), dosis 3 x 650 mg selama 20 hari
2. Paromomycin ( tablet 50 mg ), dosis 3 x 500 mg selama 10 hari
II Kolitis akut
Metronidazole ( tablet 250 atau 500 mg ), dosis 3 x 750 mg ( oral atau intravena )
Selama 5 -10 hari ditambah dengan bahan luminal dengan dosis yang sama
III Abses hati ameba
1.Metronidazole, dosis 3 x 750 mg ( oral atau i.v ) selama 5 – 10 hari
2.Tinidazole , dosis 2 gram peroral
3.Ornidazole, dosis 2 gram peroral, ditambah bahan luminal dengan jumlah yang sama

Monitoring
Hal-hal yang perlu dimonitoring pada penderita adalah keluhan, stabilitas hemodinamik,
tanda-tanda komplikasi akut abdomen seperti perdarahan dan perforasi usus.
Prognosis
Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dini dan pengobatan yang
tepat, serta kepekaan ameba terhadap obat yang diberikan. Pada umumnya prognosis
amebiasis adalah baik terutama yang tanpa komplikasi. Pada abses hati ameba kadang-kadang
diperlukan tindakan pungsi untuk mengeluarkan pus, demikian pula pada amebiasis dengan
penyulit efusi pleura. Prognosis yang kurang baik adalah pada abses otak ameba.
Demam Berdarah Dengue

Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
Dengue

Etiologi
Virus Dengue, dari golongan Flaviviridae.
Ada 4 serotype virus Dengue yang dikenal, yaitu Den 1, Den 2, Den 3 dan Den 4

Epidemiologis
DBD sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan,terutama di daerah beriklim
tropis. Di Indonesia pada tahun 1995-1997 dilaporkan proporsi kasus DBD menurut kelompok
umur telah bergeser menjadi lebih banyak djumpai pada kelompok umur lebih dari 15 tahun. Di
Bali, DBD ditemukan hampir sepanjang tahun. Dalam kurun waktu 1 tahun (April 2001 – Maret
2002) ada 1830 kasus DBD yang dirawat di ruang rawat inap bagian Penyakit Dalam Rumah
Sakit Sanglah, 50,88% dari kelompok usia 25-44 tahun. Virus Dengue ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus betina

Patogenenesis
Ada beberapa teori tentang patogenesis terjadinya DBD, seperti teori virulensi, teori antigen
antibody dan teori mediator. Tetapi teori infeksi sekunder (secondary heterologous infection)
sampai saat ini masih merupakan teori yang banyak dianut, seperti tampak pada gambar 1 di
bawah ini.
Secondary heterologous dengue infection

Virus Replication Antibody


response
Virus antibody complex

Platelet aggregation Coagulation activation Complemen activation

Impaired platelet function Activated Hageman Factor Anaphilatoxian


PF III release

Platelet removal by RES

Consumptive
Thrombocytopenia Kinin system ↑
coagulopathy

Clotting factors Kinin Vascular permeability


FDP ↑

Excessive hemorrges Shock

Gambar 1. Patogenesis Perdarahan Pada Demam Berdarah Dengue

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia berkisar 4-6 hari (rentang 3 -14 hari).
Gejala klinis DBD sangat bervariasi, dari yang ringan atau asimptomatik sampai yang berat
dengan syok atau perdarahan, bahkan mungkin dengan kematian. Perjalanan penyakitnya
secara klinis sangat sulit diduga (unpredictable).
Tabel 1, keluhan penderita pada saat MRS (N= 1830) di RSUP Sanglah Denpasar
Keluhan Persentase
Demam 100
Nyeri otot 87
Pusing 82
Mual 78
Nyeri sendi 42
Muntah 38.74
Nyeri ulu hati 24.48
Obstipasi 12
Diare 6
Tabel 2, tanda klinis yang dijumpai pada saat MRS (N= 1830) Di RSUP Sanglah
Tanda klinis Persentase
Hepatomeali 23.5
Syok 0.71
Rumple leed + 99
Petekie 21
Perdarahan gusi 7.7
Epistaksis 4
Hematemesis 0.81
Konjunctival bleeding 0.4
obstipasi 12

Diagnosis
Demam Dengue (DD) merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, yang ditandai dengan
dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:

Sakit kepala

Mialgia/artralgia

Nyeri retroorbita

Ruam kulit

Manifestasi perdarahan (petekie atau uji tourniquet positif)

lekopenia
Diagnosis klinis DBD, bila ditemukan 2 kriteria klinis ditambah trombositopenia dengan atau
tanpa hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit.sebagai berikut :
Kriteria klinis
1. Demam mendadak tinggi terus menerus, tanpa sebab yang jelas selama 2-7 hari
2. Terdapat manifestasi perdarahan, seperti uji tourniquet (tes Rumple Leed) posisi
Petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematesis melana, hematuria.
3. Pembesaran hati (hepatomegali)
4. Tanpa atau dengan gejala-gejala syok, seperti :
a. Nadi lemah, cepat dan kecil sampai tidak teraba
b. Tekanan nadi turun menjadi 20 mmHg atau kurang
c. Kulit teraba dingin dan lembab, tertutama di daerah akral seperti ujung hidung,
jari tangan dan kaki
d. Sianosis di sekitar mulut, ujung jari tangan dan kaki.
Kriteria laboratoris
1. Trombositopenia (trombosit 100.000/mm3 atau kurang)
2. Hemokonsentrasi (adanya peningkatan hematokrit > 20%)

Klasifikasi derajat penyakit DBD menurut WHO (1997)


• Derajat I
Demam tinggi yang disertai gejala klinis yang tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan, adalah uji tourniquet positif.
• Derajat II
Seperti derajat I, tetapi disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan nyata lain
(petekie, perdarahan gusi, perdarahan hidung hematemesis melana).
• Derajat III
seperti derajat II yang disertai tanda adanya kegagalan sirkulasi yaitu : denyut nadi yang
cepat dan kecil, tekanan nadi menurun atau hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit
menjadi dingin dan lembab, penderita tampak gelisah.
• Derajat IV
sudah terjadi syok (profound shock) dimana nadi tidak teraba dan tekana darah tidak
terukur.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat membantu untuk menegakkan diagnosa DBD
antara lain :
Laboratorium
1. konfirmasi diagnosis klinis :
a. Isolasi virus Dengue.
b. Pemeriksaan serologi, seperti tes hemaglutinasi inhibis, tes fiksasi komplemen, tes
netralisasi, ELISA.
c. PCR (polymerase chain reaction)
2. pemeriksaan laboratorium lain
Tabel 3. Gambaran hasil pemeriksaan laboratorium (N= 1830)
Pemeriksaan laboratorium Persentase
Hemokonsentrasi 77.2
Trombositopenia (PLT < 100.000/mm3 98.6
Leukopenia 55.6
Leukositosis 1,4
Peningkatan SGOT 30,9
Peningkatan SGPT 15,9

Radiologi
Foto toraks atau USG abdomen untuk melihat adanya efusi pleura, efusi perikard dilatasi
pembuluh darah paru, hepatomegali, asites atau adanya cairan di dalam ringga peritoneum dan
penebalan dinding kandung empedu.
Diagnosis Banding
1. Morbili
2. Chikngunya
3. demam tifoid
4. leptospirosis
KOMPLIKASI
1. DIC
2. Ensefalopaty
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan DBD tergantung pada derajat berat kasus. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (DepKes R.I.) telah mengeluarkan protokol penatalaksanaan sebaga berikut:
• Protokol 1: observasi dan pemberian cairan di ruang observasi pada Tersangka DBD
Dewasa.
• Protokol 2:Observasi dan pemberian cairan di ruang rawat pada DBD Dewasa tanpa
perdarahan dan tanpa syok
• Protokol 3:Observasi dan pemberian cairan di ruang rawat pada DBD Dewasa dengan
perdarahan spontan/masif dan tanpa syok
• Protokol 4: Penatalaksanaa DBD Dewasa dengan perdarahan spontan/masif dan dengan
syok
• Protokol 5: Penatalaksanaa DBD Dewasa dengan syok dan tanpa perdarahan

Gambar 2. Protokol 1
Tersangka Demam
Berdarah Dengue Dewasa:
Observasi & Pemberian
Cairan di Ruang Observasi.
Gambar 3. Protokol 2 DBD Dewasa Tanpa Perdarahan & tanpa Syok Observasi dan Pemberian
Cairan di Ruang Rawat.

Pemberian cairan Ringer Laktat (RL) jumlah dan kecepatannya tepat seperti keadaan DBD tanpa
renjatan 500 ml/4 jam. Tetapi pemeriksaan Hb, Ht, trombosit serta kalau perlu tes hemostase
harus segera dilakukan dan sebaiknya diulang setiap 4-6 jam, serta waspada terhadap adanya
tanda-tanda renjatan (syok).
Bila tedapat perdarahan yang disertai tanda-tanda KID (koagulasi intracaskular diseminata)
seperti masa protrombin, APTT (activated partial thromboplastin time) dan masa trombin yang
memanjang, D-Dimer abnormal, FDP (fibrin degradation product) positif pemberian heparin
dapat dipertimbangkan, meskipun sampai saat ini pemberian heparin pada DBD masih
kontroversial. Transfusi komponen darah dapat diberikan sesuai dengan indikasi.
Gambar 4. Protokol 3 DBD dengan Perdarahan Spontan/Masif, Tanpa Syok Observasi dan
Pemberian Cairan di Ruang Rawat.2
Gambar 5. Protokol 4 Penatalaksanaan DBD dewasa dengan syok dan perdarahan spontan.

Renjatan sebaiknya dapat diatasi dalam 30 menit. Pada fase awal RL dapat diberikan 20 ml/
kgBB/ jam. Bila renjatan teratasi, maka RL selanjutnya dapat 10 ml/kgBB/jam.2 Bila
hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht > 30 vol% dianjurkan pemberian cairan
kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1. Cairan koloid seperti
Dextran atau HES (hydroxyl ethyl starch) diberikan dengan tetesan 10-20 ml/kgBB/jam dan
dibatasi maksimal 1-1,5 liter/hari.
Bila Ht < 30 vol% dianjurkan pemberian transfusi sel darah merah (packed red cell) dan
komponen darah lainnya dapat diberikan sesuai dengan indikasi.

Gambar 6. Protokol 5 Penatalaksanaan DBD Dewasa dengan syok tanpa Perdarahan.

Transfusi komponen darah pada DBD


Pada DBD transfusi baru diberikan bila terjadi perdarahan spontan dan massif dengan jumlah
perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Prioritaskan atau dahulukan pemberian cairan seperti
RL atau NaC1 0,9% untuk mengembalikan volume sirkulasi sementara menunggu datangnya
komponen darah untuk transfusi.2,10
A.Transfusi PRC (Packed Red Cell)
Diberikan bila :
a) Ada perdarahan spontan dan massif seperti hematesis melena, epistaksis yang tidak
terkendali, sehingga memerlukan tamponade.
b) Ht < 30 vol% dan penderita masih dalam renjatan.
c) Penderita jauh kembali dalam renjatan
d) Kehilangan > 30-50% volume darah, Hb menjadi < 8-10 g/gl atau Ht < 20-25 vol%.
e) Perdarahan spontan dengan Hb < 10 g/gl.
B.Transfusi trombosit
Hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <
100.000/mm3.
C. Transfusi plasma segar beku (Fresh Frozen Plasma = FFP)
Pada DBD dengan perdarahan sedikit-sedikit atau terdapat tanda-tanda definisi faktor-faktor
pembekuan seperti masa protrombin atau APTT yang memanjang dapat diberikan transfusi FFP.
Flu Burung (Avian Flu)

Definisi
Flu burung (avian influenza, AI) merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus influenza
A subtipe H5N1 yang pada umumnya menyerang unggas (burung dan ayam).

Etiologi
Virus influenza tipe A adalah anggota keluarga orthomyxoviridae. Pada permukaan virus tipe A,
terdapat 2 glikoprotein yaitu hemagglutinin (H) dan neuraminidase (N). subtipe berdasarkan
sifat H ( H1 sampai H16) dan N (N1 sampai N9). Virus influenza pada unggas dapat bertahan
hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22 0C dan lebih dari 30 hari pada suhu 00C. di dalam tinja
unggas dan dalam tubuh unggas sakit, virus influenza dapat hidup lama, tetapi mati pada
pemanasan 60 0C selama 30 menit, 56 0C selama 3 jam dan pemanasan 80 0C selama 1 menit.
Virus akan mati dengan deterjen, desinfektan misalnya formalin, cairan yang mengandung iodin
atau alkohol 70 %.

Epidemiologi
Pada tahun 1997 infeksi AI telah menular dari unggas ke manusia dan sejak saat itu telah terjadi
3 kali wabah. AI pada manusia pertama kali dijumpai di Hongkong pada tahun 1997 yang
menginfeksi 18 orang. Awal tahun 2003 ditemukan 2 kasus dengan 1 kasus meninggal. AI
kemudian merebak di Asia Sejak pertengahan desember 2003 sampai sekarang. Laporan WHO
tanggal 13 maret 2006 jumlah AI pada manusia 33 kasus dan meninggal 22 orang (66.67%). Di
Indonesia berdasarkan data yang dilaporkan oleh Depkes RI 16 Maret 2006 terdapat 30 kasus
konfirmasi dan 22 orang meninggal.
Cara penularan:
Penularan penyakit ini kepada manusia dapat melalui:
1 Binatang kontak langsung dengan unggas yang sakit atau produk unggas yang sakit
2 Lingkungan udara atau peralatan yang tercemar virus tersebut baik yang berasal dari tinja
atau sekret unggas yang terserang AI
3 Manusia sangat terbatas dan tidak efisien (ditemukan beberapa kasus dalam
kelompok/cluster)

Masa penularan
Masa penularan pada manusia adalah 1 hari sebelum, sampai 3-5 hari setelah gejala timbul.
Pada anak masa penularan dapat sampai 21 hari.

Kelompok Risiko tinggi


Kelompok yang perlu diwaspadai dan berisiko tinggi terinfeksi AI adalah:
1. pekerja peternakan/ pemrosesan unggas (termasuk dokter hewan/insinyur peternakan)
2. Pekerja laboratorium yang memproses sampel darah/sekret pasien/unggas terjangkit
3. pengunjung peternakan/pemrosesan unggas dalam 1 minggu terakhir
4. pernah kontak dengan unggas (ayam, itik, burung) sakit atau mati mendadak yang
belum diketahui sebabnya dan atau babi serta produk mentahnya dalam waktu 7 hari
terakhir
5. pernah kontak dengan pasien AI konfirmasi dalam 7 hari terakhir.

Patogenesis
Patogenesis ditentukan oleh virulensi virus dan respon imun host. Faktor yang
mempengaruhi virulensi meliputi tingginya pemecahan hemaagglutinin yang diaktivasi oleh
bermacam-macam protease seluler yang merupakan sebuah spesifik substitusi dalam
polymerase basic protein 2 (Glu627lys) yang meningkatkan replikasi. Dan sebuah sbstitusi pada
nonstruktural protein 1 (Asp92Glu) yang confers peningkatan resistensi terhadap hambatan
oleh interferon dan TNF alpha in vitro dan memperpanjang replikasi pada swine, penngkatan
pelepasan sitokin terutama TNF alpha pada macrophag manusia yang terpapar virus. Penelitian
pada tahun 1997 menunjukkan bahwa virus terus evolve dengan perubahan antigenitasnya
Relatif rendahnya frekuensi infeksi AI pada manusia meskipun terjadi paparan yang luas pada
hewan menunjukkan bahwa barrier spesies terhadap infeksi virus Avian sangat penting. Kasus
kluster pada anggota keluarga mungkin disebabkan oleh paparan yang umum, meskipun faktor
genetik mungkin berpengaruh terhadap kepekaan host sampai saat ini masih dalam penelitian.
Respon immun innate terhadap H5NI berperan terhadap patogenesis penyakit. Dijumpai
peningkatan kadar IL-6, TNF alpha, interferon gamma dan reseptor soluble interleukin 2 dalam
darah pada individu yang terinfeksi pada wabah tahun 1997. Pada pasien tahun 2003 dijumpai
penngkatan kadar chemokine interferon-inducible protein 10, monocyte chemoattractant
protein 1 dan monokine yang diinduksi oleh interferon γ yang dijumpai 3 sampai 8 hari setelah
onset penyakit. Kadar mediator-mediator inflamasi ( IL-6, IL-8, IL-1β dan monocyte
chemoattractant protein-1) yang dijumpai lebih tinggi pada pasien yang meninggal
dibandingkan pasien yang hidup. Dan rata-rata kadar

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 3 hari (rata-rata 1-7 hari)
Gejala klinis bervariasi, tidak harus semua gejala ada, bisa berbeda dari orang ke orang,
cenderung dan cepat memburuk serta terjadi pneumonia atau kegagalan nafas akut.
Gejala klinis meliputi: demam tinggi ( suhu ≥ 380C), batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit
kepala, nyeri otot, infeksi selaput mata, sesak, diare atau gangguan saluran cerna, lemas.

Komplikasi
 Gagal nafas akut

Diagnosis
1. Gejala klinis
2. Laboratorium:
a. Diagnostik
b. Uji konfirmasi:
i. Biakan dan identifikasi virus influenza A subtipe H5N1
ii. Uji RT-PCR untuk H5
iii. Uji serologi:
• Uji immunofluorescence assay (IFA): ditemukan antigen (positif) dengan
memakai antibodi monoklonal influenza A subtipe H5N1
• Uji netralisasi: terdapat peningkatan titer antibodi spesifik influenza A
subtipe H5N1 sebanyak 4 kali, pada paired serum dengan uji netralisasi
c. Uji penapisan
i. Uji HI dengan darah kuda
ii. Enzyme immunoassay (EIA)
d. Pemeriksaan lain
i. Hematologi : umumnya dijumpai leukopenia, limfositopenia atau limfositosis
relatif dan trombositopenia
ii. Kimia : umumnya dijumpai hipoalbumin, peningkatan SGOT, SGPT, ureum,
kreatinin. Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalan penyakit dan komplikasi
yang dijumpai
iii. Pemeriksaan lain untuk menyingkirkan diagnosis banding tergantung indikasi.
3. Radiologis:
Pemeriksaan foto dada PA dan lateral dijumpai gambaran infiltrat di paru-paru sesuai
dengan gambaran pneumonia

Definisi Kasus
1. Kasus suspek
Seseorang yang menderita demam/ suhu≥ 380c disertai satu atau lebih gejala :
• Batuk,
• Sakit tenggorokan,
• Pilek
• Sesak nafas,
• Dan diikuti satu atau lebih keadaan di bawah ini:
o Pernah kontak dengan unggas (ayam, itik, burung) sakit atau mati mendadak yang
belum diketahui penyebabnya dan produk mentahnya (daging, telur, kotoran
unggas, dll) dalam 7 hari terakhir sebelum timbul gejala di atas
o Tinggal atau pernah berkunjung di daerah yang terdapat kematian unggas yang tidak
biasa (dalam jumlah banyak dalam waktu singkat), dalam 7 hari terakhir sebelum
timbul gejala diatas
o Pernah kontak dengan pasien kasus ai konfirmasi dalam 7 hari terakhir sebelum
timbul gejala di atas.
o Pernah kontak dengan spesimen ai dalam 7 hari terakhir sebelum timbul gejala
diatas ( bekerja di laboratorium untuk ai)
o Ditemukan leukopeni ( di bawah nilai normal)
o Ditemukan adanya titer antibodi terhadap h5 dengan pemeriksaan uji hi
menggunakan eritrosit kuda atau uji elisa untuk influenza a tanpa subtipe
o Foto dada menggambarkan pneumonia yang cepat memburuk pada serial foto
ATAU
Adanya acute respiratory distress syndrome (ards) yang tidak ditemukan penyebab lain dengan
satu ata lebih keadaan di bawah ini:
• Leukopeni atau limfositopeni relatif yang didapat dari hitung jenis dengan atau tanpa
trombositopeni (di bawah nilai normal)
• Foto dada menggambarkan pneumonia atipikal atau infiltrat di kedua sisi paru yang makin
meluas pada serial foto

2. Kasus probabel
Kriteria kasus suspek ditambah dengan satu atau lebih keadaan di bawah ini:
• Ditemukan kenakan titer antibodi terhadap h5, minimum 4 kali, dengan pemeriksaan uji hi
menggunakan eritrosit kuda atau uji elisa
• Hasil laboratorium terbatas ntuk influenza h5 (terdeteksinya antibodi spesifk h5 dalam
serum tunggal) menggunakan uji neutralisasi (dikirim ke laboratorium rujukan)

3. Kasus confirm
Kasus suspek atau probabel dengan satu atau lebih keadaan di bawah ini:
• Biakan virus AI / H5N1 positif
• PCR AI / H5N1positif
• Pada uji immunofluorescence asssy (IFA) ditemukan antigen (positif) dengan menggunakan
antibodi monoklonal AI / H5N1
• Kenaikan titer antibodi AI/H5N1 positif fase konvalescen (paired sera) dengan uji netralisasi
sebanyak 4 kali nilai awal (fase akut)

Diagnosis Banding
Diagnosis banding disesuaikan dengan tanda dan gejala yang dijumpai, antara lain:
1. demam typhoid
2. demam dengue
3. tuberkulosis paru
4. infeksi paru yang disebabkan oleh bakteri atau jamur.

Penatalaksanaan
1. Terapi suportif: oksigen, terapi cairan, nutrisi
2. Antiviral diberikan secepat mungkin ( 48 jam pertama).
 Bb > 40 kg: oseltamivir 2 x 75 mg per hari selama 5 hari
3. Antibiotika spektrum luas yang mencakup kuman tipikal dan atipikal
4. Metilprednisolon 1-2 mg/kgbb diberikan pada pneumonia berat, ards atau syok sepsis yang
tidak respon terhadap obat-obat vasopresor
5. Rawat di ruang intensif bila ada indikasi
6. Terapi simtomatik: antipiretik, obat batuk
Kriteria perawatan di ruang perawatan intensif:
 Gagal nafas
 Atau bila terdapat satu atau lebih keadaan berikut:
- Foto dada menunjukan pneumonia bilateral
- PaO2 /Fi O2 < 300
- Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
- Membutuhkan ventilasi mekanik
- Membutuhkan inotropik/vasopresor > 4 jam

Kriteria pindah/rawat ruang isolasi ke ruang perawatan biasa:


- Terbukti bukan kasus AI
- Untuk kasus PCR positif dipindahkan setelah PCR negatif
- Setelah tidak demam 7 hari

Kriteria kasus dipulangkan:


- Tidak panas 7 hari dan hasil laboratorium dan radiologi menunjukan perbaikan

Monitoring
1. keluhan
2. tanda-tanda gagal nafas: pernafasan, AGD
3. tanda-tanda disfungsi organ
4. radiologis
Demam Tifoid

Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.

Etiologi
Kuman penyebab :
Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi)
Salmonella enterica serovar paratyphi A, B dan C

Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia dan termasuk penyakit menular
yang tercantum dalam Undang-Undang no 6 tahun 1962 tentang wabah.4,5 Penularan dapat
terjadi secara langsng maupun tidak langsung melalui pencemaran pada air dan makanan, baik
oleh lalat atau oleh food handler.
Sumber penularan:
1. Penderita tifoid:
penderita yang baru sembuh dari demam tifoid selama minimal 1 bulan. Bahan yang
menular adalah urine, faeses, atau muntahan
2. karier
terdapat tiga tipe karier, yaitu karier konvalescen, karier kronik fecal dan karier kronik
urinary.
Karier konvalescen adalah bila sampai 6 bulan dari terjangkitnya demam tifoid masih tetap
menekskresikan salmonella. Kronik karier, bila tetap mengekskresikan salmonella sampai paling
sedikit 1 tahun setelah infeksi.
Faktor-faktor yang berperan untuk terjadnya penularan:
1. sanitasi lingkngan
2. penyediaan air bersih
3. kontrol terhadap karier
4. strain salmonella
5. jumlah basil yang menginfektir

Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina
propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh sel makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague
Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-
sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk
ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bekteremia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit sistemik.
Didalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.
Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasi jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperlasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernafasan dan gangguan organ lainnya.

Manifestasi klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari3 atau 3-60 hari
Manifestasi klinis bervariasi, dari manifestasi yang atipikal (tidak khas) hingga klasik (sindroma
demam tifoid), dari yang ringan sampai yang berkomplikasi.
Gejala klinis yang sering dijumpai pada demam tifoid :
1. Demam
Pada awal sakit, demam kebanyakan samar-samar kemudian suhu meningkat secara
bertahap setiap harinya (step ladder). Pola demam penderita dapat berupa step ladder (
71.9%) kontinyu ( 8.2%),remiten (6.6%) dan intermitten (13.3%). Demam disertai gejala
lain seperti sakit kepala, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah.
2. Gangguan Saluran Pencernaan
Bau mulut yang tidak sedap. Lidah kotor dan ditutupi selaput putih, ujung dan tepi lidah
kemerahan dan tremor (coated tongue), mual, muntah, nafsu makan menurun, nyeri
epigastrium, obstipasi dan diare
3. Gangguan Kesadaran
Gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran. Sering didapatkan apatis dengan
kesadaran seperti berkabut (delirium). Pada penderita yang toksik gejala delirium lebih
menonjol.
4. Hepatomegali
Hati dan/atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati teraba kenyal dan nyeri tekan.7
5. Bradikardi relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif jarang ditemukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh
yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang dipakai adalah setiap
peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 kali dalam 1 menit.

Gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid seperti rose spot (biasanya di regio
abdomen atas), batuk dan epistaksis.
Tabel 1. keluhan dan tanda klinis demam tifoid di RSUP SanglahDenpasar (N=256)
Gejala/tanda klinis Jumlah %
Demam 240 93.8
Coated tounge 213 83
Mual 191 74.6
Bradikardia relatif 176 68.8
Nafsu makan menurun 173 67.7
Malaise 152 59.4
Nyeri kepala 147 57.9
Muntah 131 51.2
Obstipasi 87 34
Nyeri epigastrial 74 28.9
Diare 64 25.0
Hepatomegali 5 2.0
Penurunan kesadaran 8 3.2
Perdarahan usus 9 3.5
Ikterus 7 2.7

Komplikasi
Komplikasi Intestinal
1. Perdarahan intestinal
Perdarahan dapat berupa perdarahan yang tersembunyi (occult bledding), perdarahan
ringan yang dapat berhenti tanpa pengobatan spesifik, tetapi dapat juga berkembang
menjadi perdarahan yang masif.
Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas normal.
2. Perforasi
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ke-3,
namun dapat terjadi pada minggu pertama. Perforasi ditandai dengan nyeri perut yang
hebat, terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh
perut dan disertai tanda ileus. Bising usus melemah dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun bahkan
dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.

Komplikasi ekstra intestinal


1. Komplikasi hematologik
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrinogenemia, peningkatan
prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin
degradation product sampai coagulation intravacular desseminata (KID).
2. Hepatitis tifosa
3. Pankreatitis tifosa
4. Miokardidis
5. Manifestasi neuropsikiatrik/Tifoid toksik
6. Pneumonia
7. Syok septik
8. Komplikasi lain
Karena basil salmonella bersifat intra makrofag, maka dapat mengenai berbagai organ tubuh
yang menimbulkan infeksi yang bersifat fokal antigen
 Osteomielitis, artritis
 Pionefritis, orkhitis
 Serta peradangan-peradangan ditempat lain
Tabel 3. Komplikasi demam tifoid di RSUP Sanglah Denpasar (N=256)
Komplikasi %
Pedarahan usus 3.5
Tifoid toksis 3.0
Hepatitis tifosa 2.3
Pnemonia 2.3
Meningitis 1.2
Arthritis 0.4

Diagnosis
1. Klinis
2. laboratorium:
Diagnostik
- Biakan positif dari bahan darah, faeses, urine atau sumsum tulang
- Uji PCR untuk kuman salmonella
- Serologis:
- uji widal : titer Widal O ≥1/160 atau H≥1/160 pada 1 kali pemeriksaan) atau
kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan Widal ke-2 yang dilakukan 5 hari
- pemeriksaan anti serologi Salmonella 09 (IgM)
Pemeriksaan lain
- hematologi: leukopenia, bisa juga leukositosis atau jumlah leukosit normal
- Faeses lengkap, uji darah samar untuk melihat perdarahan intestinal tersembunyi
- kimia: peningkatan yang sedang pada serum transaminase.
- pemeriksaan lain tergantung indikasi untuk mengetahui komplikasi dan
menyingkirkan diagnosis banding
3. Pemeriksaan radiologis
- Pemeriksaan foto dada: bila terdapat batuk-batuk dan suara nafas abnormal pada
auskultasi.
- foto BNO/3 posisi: bila terjadi perforasi ditemukan udara pada rongga peritoneum
atau subdiafragma kanan
- USG abdmen: pada perforasi dapat djumpai cairan bebas

Diagnosis pasti ditegakan bila dijumpai:


 ditemukan S. typhi pada pemeriksaan biakan atau
 positif S. typhi pada pemeriksaan PCR atau
 terdapat kanaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau
 titer Widal O≥1/320, H≥1/640 )pada sekali pemeriksaan)

Tabel 4. Gambaran laboratoris demam tifoid


Gambaran laboratorium %
Trombositopeni 25.4
Leukositosis 17.7
Leukopenia 15.0
Anemi 6.6
Peningkatan SGOT 66.2
Peningkatan SGPT 54.7

Diagnosis Banding
Pada tahap diagnosis klinis dini, beberapa penyakit dapat menjadi diagnosis banding demam
tifoid antara lain:
 Pneumonia
 Gastroenteritis akut, hepatitis akut, demam dengue, demam berdarah dengue
 Tuberkulosis, malaria, shigellosis
 Leukemia, limfoma maligna

Penatalaksanaan Demam Tifoid


1. Perawatan umum:
 Istirahat dan Perawatan
Tirah baring abslut sampai minimal lima atau tujuh hari bebas panas, setelah itu
mobilisasi bertahap sesuai dengan perkembanganklinis penderita. Pada penderita
dengan kesadaran menurun posisi tubuh harus dirubah-rubah untuk menghindari
dekubitus atau pneumonia.
 Diet
Tergantung keadaan penderita:
 Pada penderita yang toksis dan atau perut yang meteorismus: diberikan bubur saring
atau diet tifus
 Penderita tanpa meteorismus: diberikan makanan padat rendah serat.
 Antipiretika bila perlu
2. Antibiotika
Antibiotika yang bisa digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah
 Kloramfenikol
Merupakan obat pilihan utama, dosis 4 x 500 mg per hari, dapat diberikan secara
peroral atau intravena. Diberikan sampai 7 hari bebas demam. Penurunan demam
terjadi rata-rata setelah hari ke-5.
 Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas hampir sama dengan kloramfenikol, tetapi komplikasi hematologi
seperti anemia aplastik lebih rendah dibanding dengan kloramfenikol. Dosis 4 x 500 mg,
demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
 Kotrimoksazol
Efektifitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol, dosis untuk orang
dewasa adalah 2 x 960 mg diberikan selama 2 minggu.
 Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan obat ini menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan antara 50-150 mg/kg BB dan digunakan selama 2
minggu.
 Sefalosporin generasi ketiga
Sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson.
Dosis yang dianjurkan adalah 3-4 gram dalam dekstrose 100 cc diberikan selama ½ jam
perinfus sekali sehari dan diberikan selama 3-5 hari.
 Golongan Flurokuinolon
Beberapa sedian dan aturan pemberiannya :
 Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
 Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
 Pefloksasin dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
 Fluroksasin dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
Demam pada umumnya menurun pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4
 Kombinasi obat antibiotika
Kombinasi 2 antibiotika atau lebih hanya diindikasikan pada tifoid toksik, peritonitis atau
perforasi serta syok septik, terbukti ditemukannya 2 jenis organisme dalam kultur darah
selain kuman salmonella.
3. Penatalaksanaan komplikasi
 tifoid toksik: perawatan sesuai dengan perawatan penderita dengan kesadaran
menurun. diberikan steroid dengan dosis 3 x 5 mg
 perdarahan usus: perlu perawatan intensif, monitor ketat,dan transfusi bila ada indikasi.
Konsultasi bagian bedah jika perdarahan masif.
 perforasi: konsultasi bagian bedah digestif segera. Penderita dipuasakan, berikan
antibiotika parentral metronidazole dan gentamisin atau ceftriazone 60 mg/kgBB/hari
4. penatalaksanan karier

Pengidap tifoid (karier) adalah seorang yang kotorannya (feses atau urine)
mengandung S. typhi setelah 1 tahun pasca demam tifoid tanpa disertai gejala klinis.

Terapi antibiotika pada kasus demam tifoid karier :
a. Tanpa disertai kasus kolelitiasis
Pilihan regimen selama 3 bulan
Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenezid 30 mg/kgBB/hari
Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenezid 30 mg/kgBB/hari
Trimetropim-sulfametoksasol 2 tablet/2 kali/ hari
b. Disertai kasus kolelitiasis
Kolesistektomi +regimen tersebut diatas selama 28 hari, kesembuhan 80% atau
Kolesistektomi + salah satu regimen terapi dibawah ini
Siprofloksasin 750 mg/ 2 kali/ hari
Norfloksasin 400 mg/ 2 kali/hari
c. Disertai infeksi Schistosoma haematobium pada traktus urinarius
Pengobatan pada kasus ini harus dilakukan eradikasi S. haematobium :
Prazikuantel 40 mg/kgBB/dosis tungal atau
Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB/ bila perlu diberikan 3 dosis dengan interval 2 minggu
Setelah eradikasi S. haematobium, abru diberikan regimen terapi untuk tifoid karier
seperti diatas.
5. penatalaksanaan pada ibu hamil
 Antibiotika yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin dan seftriakson.

Monitoring
1. Kontrol dan monitoring keluhan dan tanda vital.
2. kontrol dan monitoring terhadap kemungkinan komplikasi
3. kontrol dan monitoring terhadap perjalanan penyakit untuk menentukan :
a. perubahan terapi antibiotika
b. mobilisasi dan pemberian diet
c. indikasi pulang (klinis sembuh)
i. 5-7 hari bebas panas
ii. Keadaan umum baik
iii. Komplikasi/ko-morbid teratasi atau terkontrol
Prognosis
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di
Indonesia. Diantara demam tifoid yang sembuh kilinis pada 20% diantaranya masih ditemukan
kuman S. typhi setelah 2 bulan dan 10% masih ditemukan pada bulan ke-3 serta 3% masih
ditemukan setelah 1 tahun. Kasus karier meningkat seiring peningkatan umur dan adanya
penyakit kandung empedu serta gangguan traktus urinarius.
Acqiured Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Definisi
Sindroma atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi imun yang berat dan
merupakan stadium akhir dari infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Etiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus RNA yang termasuk retrovirus
dan lentivirus. Terdapat 2 subtipe yaitu HIV 1 dan HIV 2. Antara HIV 1 dan HIV 2 intinya mirip,
tetapi selubung luarnya sangat berbeda. HIV 1 penyebarannya lebih luas di hampir seluruh
dunia, sedangkan HIV 2 ditemukan pada penderita-penderita dari Afrika Barat dan Portugal.

Epidemiologis
Cara Penularan:
HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang telah tertular walaupun orang
tersebut tidak menunjukan keluhan dan tanda klinis.
Tiga cara penularan:
1. hubungan seksual, baik secra vaginal, anal maupun oral dengan seseorang pengidap.
- Merupakan cara yang paling umum dan meliputi 80 – 90 % kasus sedunia.
2. kontak langsung dengan darah/produk darah/jarum suntik:
- transfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat tinggi sampai
lebih dari 90%. Dijumpai sekitar 3-5% dari total kasus sedunia
- pemakaian jarum tidak steril/ pemakaian bersama jarum suntik dan syringenya
pada para pecandu narkotika suntik. Risikonya sekitar 0.5 – 1 % dan telah terdapat 5-
10% dari total kasus sedunia
- penularan akibat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan risikonya
sekitar kurang dari 0.5% dan telah terdapat kurang lebih 0.1% dari total kasus sedunia
3. secara vertikal dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selama kehamilan, saat
melahirkan ataupun setelah melahirkan. Risikonya sekitar 25 – 40 %, terdapat < 0.1% dari
total kasus sedunia.

Patogenesis
Sel Target utama infeksi HIV adalah sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Sel lain yang
memiliki reseptor CD4 adalah : sel monosit, sel makrophag, sel folikuler dendritik, sel retina, sel
leher rahim, dan sel langerhans. Dilaporkan HIV dapat menginfektir sel Astroglia otak dan sel
endothel saluran cerna walaupun sel tersebut tidak mempunyai reseptor CD4.
Protein selubung HIV gp 120 akan bersentuhan dan terikat (attachement and binding) pada
reseptor CD4 sel host (antara lain sel limfosit T4). Selubung HIV kemudian akan mengalami fusi
(virus to cell fusion) dengan membran sel host dan mendorong inti HIV masuk ke dalam
sitoplasma sel host, proses ini melibatkan selubung HIV yang lain yaitu gp 41. Di dalam
sitoplasma sel host. RNA virus akan dikonversi menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase,
dan DNA tersebut disebut DNA provirus. DNA provirus ini akan masuk ke dalam inti sel host dan
dengan enzim integrase (endonuklease) akan diintegrasikan secara acak pada DNA sel host.
Integrasi dari materi genetik virus ini biasanya akan terjadi dalam 2- 10 jam setelah infeksi.
Selanjutnya akan terjadi replikasi virus yang dimulai dengan adanya produksi RNA yang sama
dari provirus sehingga akan terbentuk virion baru, suatu virus HIV baru, yang siap menginfektir
sel target lain, setelah keluar dari sel host melalui proses budding.

Manifestasi Klinis
Perjalanan alamiah infeksi HIV tanpa terapi antiretroviral terjadi dalam tahapan sebagai berikut:
- 2-3 minggu setelah infeksi HIV akan timbul sindroma retroviral akut
- 2-3 minggu setelah sindroma retroviral akut gejala menghilang disertai dengan
serokonversi dan kemudian terjadi infeksi HIV kronis asimtomatis.
- infeksi HIV kronis asimtomatis rata-rata berlangsung 8 tahun kemudian menjadi infeksi
HIV simtomatik/AIDS
- rata-rata 1.3 tahun setelah infeksi HIV simtomatik/AIDS penderita akan meninggal bila
tidak diobati

Gambar 1. Perjalanan alamiah infeksi HIV tanpa terapi antiretroviral

Tabel 1. Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO
Stadium Gambaran klinis Skala aktivitas
I 1. asimtomatik Asimtomatik,
2. limfadenopati generalisata aktifitas normal
II 3. berat badan menurun < 10 % Simtomatik
4. kelainan kulit dan mukosa yang ringan Aktifitas normal
seperti: dermatitis seboroik, prurigo,
onikomikosis, ulkus oral rekuren,
kheilitis angularis
5. herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
6. infeksi saluran nafas bagian atas seperti
sinusitis bakterialis
III 7. berat badan menurun > 10% Pada umumnya lemah
8. diare kronis yang berulang > 1 bulan Aktifitas di tempat tidur <
9. demam berkepanjangan > 1 bulan 50%
10. kandidiasis orofaringeal
11. oral hairy leukoplakia
12. TB paru dalam tahun terakhir
13. infeksi bakterial yang berat seperti
pneumonia
IV 14. HIV wasting syndrome
15. Pneumonia pneumocystis carinii
16. toxoplasmosis otak
17. diare kriptosporidiosis > 1 bulan
18. Kriptokokosis ekstrapulmonal
19. Retinitis virus sitomegalo
20. Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan
21. leukoensefalopati multifikal progresif
22. mikosis diseminata seperti
histoplasmosis
23. kandidiasis di esofagus, trakea, bronkus
dan paru
24. mikobakteriosis atipikal diseminata
25. septisemia salmonelosis non tifoid
26. tuberkulosis di luar paru
27. limfoma
28. sarkoma kaposi
29. ensefalopati HIV
Komplikasi
1. infeksi oportunistik
2. kanker sekunder

Diagnosis
- Gejala dan tanda klinis serta faktor risiko
- Laboratorium
1. diagnostik: pembuktian adanya antibodi (Ab) atau Antigen (Ag) HIV
- test uji Ab: ELISA, Western Blot, RIPA, dan IFA
- tes uji Ag: pembiakan virus, antigen p24 dan PCR
2. pemeriksaan untuk menunjukan defisiensi imun
- leukopenia, limfopenia
- sel CD4 menurun, dan menurunnya rasio CD4/CD8
3. pemeriksaan untuk infeksi oportunistik atau kanker.
- diperiksa sesuai dengan metode diagnostik penyakitnya masing-masing
Untuk keperluan surveilans epidemiologi AIDS di Indonesia, definisi kasus seorang dewasa (>12
tahun) dianggap AIDS apabila mennjukan tes antiHIV positif dengan strategi pemeriksaan yang
sesuai dengan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 1 gejala
minor, dan gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi
HIV.
Gejala Mayor:
- Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
- Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
- Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
- Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
- Demensia/HIV ensefalopati
Gejala minor:
- Batuk menetap lebih dari 1 bulan
- Dermatitis generalisata
- Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang Kandidiasis
orofaringeal
- Herpes simplek kronis progresif
- Limfadenopati generalisata
- Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
- Retinitis virus sitomegalo
Bila tidak tersedia sarana tes HIV maka, bila ada salah satu tanda/gejala dibawah ini, dilaporkan
sebagai kasus AIDS, walaupun tanpa pemeriksaan laboratorium:
- Sarkoma kaposi
- Pneumoni yang mengancam jiwa dan berulang.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasi dan edukasi.
Pengobatan pada pengidap HIV/AIDS ditujukan pada:
1. virus HIV dengan obat antiretrovirus
2. infeksi oportunistik
3. kanker sekunder
4. status kekebalan tubuh
5. simtomatis dan suportif

1. Obat antiretrovirus:
indikasi:
- Stadium IV WHO tanpa memandang jumlah CD4
- Stadium III WHO dengan jumlah CD4 < 350/mm3
- Stadium I atau II WHO dengan jumlah CD4 < 200/mm3
- obat ARV

Tabel 2. Dosis ARV untuk Dewasa


Glongan obat/obat Dosis
Nucleoside RTI
- Abacavir (ABC) 300 mg dua kali sehari
- Lamivudine (3TC) 150 mg dua kali sehari
- Zidovudine (ZDV) 300 mg dua kali sehari
- Stavudne (d4T) 40 mg dua kali sehari
30 mg dua kali sehari bila BB < 60 Kg
- Didanosine (ddI) 250 mg sekali sehari bila BB < 60 K

Non-Nucleoside RTI
- Nevirapine (NVP) 200 mg dua kali sehari
- Efavirens (EFV) 600 mg sekali sehari

Protease Inhibitor
- Indinavir/ritonavir (IDV/r 800 mg/100 mg dua kali sehari
- Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg dua kali sehari
- Nelfinavir (NFV) 1250 mg dua kali sehari
- Saquinavir/Ritonavir (SQV/r) 1000 mg/100 mg dua kali sehari atau
1600 mg/200 mg sekali sehari
- Ritonavir (RTV,r) I00 mg
Regimen
- regimen lini pertama
Regimen ARV lini pertama untuk ODHA remaja dan dewasa
Regimen Untuk koinfeksi TB
d4T + 3TC + NVP Ya, dalam terapi TB fase lanjutan tanpa
rifampicin
ZDV + 3TC + NVP Ya, dalam terapi TB fase lanjutan tanpa
rifampicin
d4T + 3TC + EFV Ya, tetapi EFV tidak boleh diberikan kepada
wanita hamil atau wanita usia subur, kecuali
dipastikan menggunakan kontrasepsi yang efektif
ZDV+ 3TC + EFV Ya, tetapi EFV tidak boleh diberikan kepada
wanita hamil atau wanita usia subur, kecuali
dipastikan menggunakan kontrasepsi yang efektif

- regimen lini kedua: bila lini pertama gagal


Kegagalan atas Diganti dengan

d4T atau ZDV TDF atau ABC


+ +
3TC ddI
+ +
NVP atau EFV LPV/r atau SQV/r

2. obat-obat untuk infeksi oportunistik:


- terapi
- profilaksis
3. obat untuk kanker sekunder
4. immune restoring agent
5. suportif dan simtomatis

Perawatan: perawatan dilakukan dengan mengingat prinsip isolasi protektif dan isolasi
preventif
Rehabilitasi/edukasi:
Rehabilitasi ditujukan pada pengidap atau penderita AIDS dan keluarga atau orang
terdekat, dengan melakukan konseling. Edukasi bertujuan mendidik penderita dan keluarganya
tentang bagaimana menerima kenyataan hidup bersama AIDS, kemungkinan diskriminasi,
bagaimana tanggungjawab keluarga, teman dekat atau masyarakat lain.

Monitoring
- klinis :
o status gizi: berat badan
o keadaan mental emosional
o gejala infeksi oportunistik
o kepatuhan minum obat
o efek samping ARV, obat IO
- laboratoris:
o hematologis: anemia, limfopenia, trombositopenia
o kimia klinik: serum transaminase
o laboratorium lain sesuai indikasi.
- imunologis:
o CD4
- Virologis:
o Viral load
Keracunan Akut

Definisi
Keracunan adalah suatu keadaan dimana terjadi ganguan fungsi organ tubuh yang terjadi
karena kontak dengan bahan kimia.
Epidemiologi.
Di RSUP Denpasar pada tahun 1973 di dapatkan keracunan akut 0,38 % dari penderita yang
dirawat di bangsal Penyakit Dalam, dengan angka kematian sebesar 18,6% dari seluruh kasus
keracunan.
Etiologi
Bahan penyebab keracunan dapat diklasifikasikan menjadi :
 Obat-obatan ( amfetamin, opioid, parasetamol dan lain-lain)
 Bahan kimia industri dan rumah tangga ( bahan korosif, hidrokarbon, alkohol dan glikol,
logam, gas beracun, dan lain-lain)
 Pestisida (organososfat dan karbamat, organklorin, pestisida yang mengandung arsen)
 Racun alam ( racun tanaman dan sengatan binatang berbisa)
Bahan penyebab keracunan akut yang dirawat di Bagian/SMF Penyakit Dalam RSUP Sanglah
Denpasar.
Bahan penyebab 1983 1989
N % N %
I. Pestisida 76 45.37 54 65.06
1. organoposfat dan karbamat 66 37.93 52 62.65
2. organoklorin 3 3.45 2 2.41
3. lain-lain 7 4.02 - -
Non Pestisida
1.bahan korosif 15 8.62 3 3.61
2. Obat bebas 15 8.62 7 8.43
3. Makanan, Jamur 12 6.90 1 1.20
4. Alkohol 9 5.17 3 3.61
5. Minyak tanah 7 4.02 6 7.23
6. Obat sedatif 4 2.30 6 7.23
7. lain- lain 33 18.97 3 3.61
Jumlah 174 83
Patogenesis.
Terdapat 7 mekanisme patofisiologi substan toksis menimbulkan gejala klinis, melalui:
1. pengaruh terhadap transport atau pemakaian oksigen jaringan (seperti
karbonmonoksida, sianida) yang menyebabkan hipoksia, atau penurunan substrat
tertentu seperti glukosa.
2. depresi atau stimulasi susunan yaraf pusat yang menyebabkan koma ( sedative-
hypnotic) atau kejang ( simpatommetic seperti kokain, ampetamin)
3. efek terhadap sistem syaraf otonom yang menyebabkan aksi antikolinergik ( alkaloids
belladonna) atau aksi kolinergik ( organophosphate)
4. efek pada paru-paru akibat aspirasi (hidrokarbon) atau efek sistemik (paraquat)
5. pengaruh pada jantung dan pembluh darah yang menyebabkan disfungsi miokard,
disritmia dan hipertensi atau hipotensi (agent antidisritmia, trisiklik antidepresan,
phenothiazine)
6. kerusakan jaringan lokal ( kaustik dan korosif)
7. efek terhadap hati (asetaminofen) atau ginjal (heavy metals)

Manifestasi klinis
Gejala klinis tergantung: jenis agent, jumlah paparan, rute paparan, lama paparan.
Diagnosis
Diagnosis keracunan akut dibuat berdasarkan
1. gejala klinis,
2. laboratorium:
 uji toxicologi: spesimen bisa dari darah, urine, gastric content, non biologis
(seperti bahan-bahan yang dicurigai sebagai penyebab)
 laboratorium lain bila ada indikasi dicurigai terjadi gangguan fungsi organ
3. radiologis: foto dada,USG dan CT scan bila ada indikasi .
Tabel 1. jenis pemeriksaan pada kondisi klinis atau kecurigaan terhadap toksin tertentu
Klinis atau toksin yang dicurigai Jenis pemeriksaan
Koma Uji toksikologi (sedative-hipnotic, opioid,
etanol, benzodiazepin); Gula darah,
ammonia, CT Scan, Analisa CSF
Toksin respirasi AGD, spirometri, foto dada, monitor
saturasi oksigen
Cardiotoxin Serial cardiac enzym, EKG,Ekokardiografi,
monitoring hemodinamik
Hepatotoksin SGOT, SGPT, GGT, Bilirubin, glukosa,
ammonia, amilase, PT,PTT
Nefrotoksin BUN, SC, elektrolyte dan osmolaritas urin,
urin 24 jam untuk pemeriksaan
heavymetal
Perdarahan Trombosit, PT, PTT. BT, FDP

Diagnosis Banding
Bila pasien datang dalam keadaan sadar, dengan anamnesis yang baik maka diagnosis
keracunan akut tidak terlalu sulit ditegakan. Berbeda halnya bila penderita koma atau kejang
dan tidak ada orang lain yang mengetahui riwayatnya, maka perlu dipikirkan:
1. uremia, ganguan metabolik dan hepatik
2. gangguan endokrin, elektrolit imbalance, epilepsi
3. gangguan oksigenisasi
Komplikasi
1. komplikasi lokal
2. komplikasi sitemik

Tatalaksana
Tentukan skala perioritas kegawatdaruratannya:
1. gawat darurat: keadaan mengancam jiwa yang jika tidak segera ditolong dapat
meninggal atau menimbulkan kecacatan
2. gawat tidak darurat: keadaan mengancam nyawa tetapi memerlukan tindakan darurat
3. darurat tidak gawat: keadaan tidak mengancam nyawa, tetapi memerlukan tindakan
darurat
4. tidak gawat dan tidak darurat: tidak mengancam nyawa dan tidak memerlukan
tindakkan darurat.
5. pasien datang sudah dalam keadaan meninggal.

Penatalaksanaan:
1. stabilisasi
- Penatalaksanaan jalan nafas: tujuannya membebaskan jalan nafas untuk menjamin
pertukaran udara
- Penatalaksanaan fungsi pernafasan: ventilasi dan oksigenasi: memperbaiki fungsi
ventilasi dengan cara memberikan nafas buatan untuk menjamin kecukupan kebutuhan
oksigen dan pengeluaran karbondioksida.
- Penatalaksanaan sirkulasi: mengembalikan fungsi sirkulasi darah
- Resusitasi jantung-paru: untuk mengatasi henti jantung dan henti nafas
2. Dekontaminasi
- Dekontaminasi pulmonal: jauhkan korban dari paparan inhalan. Berikan oksigen
100% dan jika perlu bantuan pernafasan
- Dekontaminasi mata
- Dekontaminasi kulit
- Dekontaminasi gastrointestinal: induksi muntah, pengenceran, bilas lambung, arang
aktif dosis tunggal, katartik, irigasi usus, endoskopi dan tindalkan bedah
3. Eliminasi:
- Diuresis paksa:
indikasi:
- klinis makin memberat, walaupun telah mendapat terapi suportif yang memadai
- tergantung rute eleminasi
- keadaan klinis yang dapat memperpanjang koma atau komplikasi lain: misalnya
penyakit paru obstruktif kronis, gagal jantung kongestif.
Furosemide 250 mg dalam 100 ml D5% diberikan melaluyi infus selama 30 menit
- Alkalinisasi urine
- Hemodialisis
- Hemoperfusi
- Dialisis peritoneal
4. Antidotum sesuai dengan jenis agent
5. penatalaksanaan dalam keadaan khusus:
- kejang: dosis 10 – 20 mg IV dengan kecepatan 2.5 mg/30 menit. Jika perlu dapat
diulang setelah 30 – 60 menit. Jika kejang tidak teratasi segera konsultasi ke
neurologi
- koma/stupor:
- jaga jalan nafas dan bantuan ventilasi. Beri oksigen.
- Dextrose 50% 50 cc IV, kecuali jika hipoglikemia sudah dapat disingkirkan
- Tiamin 100 mg IV atau IM. Untuk mencegah presipitasi sindroma wernicke akibat
defisiensi tiamin pada pasien alkoholik atau diduga terdapat defisiensi tiamin
- Nalokson:
Indikasi :
- keracunan akut opioid dengan koma, depresi nafas, hipotensi
- Terapi empirik pada pasien koma atau stupor( disertai pinpoint pupil, apnea,
hipotensi) dengan dugaan kelebihan dosis opioid
Intoksikasi Metanol

Definisi
Intoksikasi Metanol merupakan intoksikasi akibat minum cairan yang mengandung metanol

Etiologi
Metanol juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol, atau spiritus adalah senyawa kimia
dengan rumus CH3OH. Pada keadaan udara atmosfer senyawa ini berbentuk cairan yang
ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar dan dengan bau yang khas. Zat ini
digunakan sebagai bahan pelarut, bahan bakar dan sebagai aditif bagi etanol industri. Dosis
toksik metanol yaitu 15-500 ml dalam 40% campuran hingga60-600 ml pada metanol murni.

Epidemiologi
Keracunan metanol di Amerika Serikat merupakan kejadian yang jarang, dengan angka
insiden sekitar 1000-2000 kasus pertahun. Biasanya karena ketidaksengajaan, namun ada juga
terjadi dalam usaha bunuh diri. Risiko intoksikasi metanol dapat meningkat pada individu
dengan kadar tetrahidrofolat hati yang rendah sehingga berpengaruh pada kecepatan
metabolisme format. Angka mortalitas 8-36% sedang pada kadar HCO3 <10 meq/L dan pH<7.1
kematian berkisar 50-80%.¹ Di RSUP Sanglah Denpasar dilaporkan 44 kasus intoksikasi metanol
dalam periode 23 Mei – 6 Juni 2009, tiga orang diantaranya meninggal saat tiba di Rumah Sakit,
sedang 14 orang lainnya meninggal karena asidosis metabolik berat.

Patofisiologi
Metanol dapat diserap melalui kulit atau traktus respiratorius maupun traktus
gastrointestinal dan kemudian didistribusikan ke dalam cairan tubuh. Eliminasi metanol dari
tubuh manusia melalui mekanisme oksidasi menjadi formaldehida, asam format dan CO2
seperti gambar berikut.
Metanol

Alkohol Dehidrogenase

Formaldehida

Aldehid Dehidrogenase

Leukoverin Asam Format

Asam Folat Tetrahidrofolat

CO2 + H2O

Gambar 1. Metabolisme Metanol

Metanol sebenarnya mempunyai toksisitas rendah. Efek toksik ini timbul akibat hasil
metabolismenya yaitu asam format. Setelah dikonsumsi, metanol secara cepat diabsorpsi
melalui traktus gastrointestinal dan dimetabolisme di hati. Tahap pertama reaksi lambat dari
degradasinya metanol diubah menjadi formaldehid oleh enzim alkohol dehidrogenase (ADH).
Reaksi selanjutnya lebih cepat, transformasi formaldehid menjadi asam format oleh enzim
aldehida dehidrogenase. Hal ini mungkin dapat menjelaskan adanya gejala laten antara mulai
konsumsi sampai dengan efek yang ditimbulkannya. Estimasi dari waktu paruh formaldehid ini
sekitar 1-2 menit.
Selanjutnya asam format ini dioksidasi menjadi karbondioksida dan air. Proses metabolisme ini
sangat lambat sehingga akan menyebabkan terjadinya akumulasi asam format yang
mencetuskan asidosis.
Gambaran Klinik
Gejala yang ditimbulkan oleh intoksikasi metanol mulai dari gangguan pengelihatan
(70.96%), akut abdomen (67.74% kasus), abnormalitas neurologi berupa konfusi,( 45.16%)
stupor sampai dengan koma. Pernafasan Kussmaul, gangguan fungsi jantung dan hipotensi
dapat terjadi akibat asidosis.
Kebutaan akibat intoksikasi metanol diawali dengan pengelihatan kabur, berlanjut dengan
timbulnya skotoma dan akhirnya menimbulkan kebutaan. Walaupun dengan penanganan yang
segera diberikan kebutaan ini masih merupakan skuele yang sering terjadi. Pada pemeriksaan
ditemukan refleks pupil yang lambat, dilatasi pupil dan konstriksi lapangan pandang. Gejala
pada mata ini dapat terjadi tanpa adanya kelainan pada pemeriksaan funduskopi. Pada
beberapa kasus, dari pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan edema retina atau hiperemi
pada diskus optik. Efek kerusakan pada mata ini biasanya terjadi 6-24 jam setelah konsumsi
metanol. Atropi optik dapat dilihat pada stadium lanjut (kebutaan permanen). Mekanisme yang
mendasari kerusakan pada mata ini adalah akumulasi formaldehid yang merusak fosforilasi
oksidatif dari retina dan asam format yang secara langsung merusak diskus optik.
Metanol juga menimbulkan gangguan susunan saraf pusat yang bersifat hemoragik maupun
nonhemoragik. Kerusakan yang terjadi sering pada ganglia basal ataupun putamen yang dapat
mencetuskan parkinsonisme atau gambaran klinik distonik atau hipokinetik lainnya. Dibutuhkan
waktu saat mulai paparan hingga gangguan mental sekitar 6-24 jam atau lebih lama 72-96 jam
bila pasien juga mengkonsumsi alkohol. Beberapa kasus dilaporkan disertai dengan nekrosis
korteks dan putamen pada pemeriksaan MRI ( magnetic resonance imaging). Hal ini dapat
meninggalkan skuele seperti parkinsonisme, distonia, shuffling gait, hipokinesia, atropi optik,
defisit fokal saraf kranial serta spasme otot.

Diagnosis
 Klinis
 Laboratorium dan penunjang:
Pengukuran kadar metanol dalam darah sangat penting untuk konfirmasi diagnosis intoksikasi
metanol dan mungkin bermanfaat dalam menilai respon terhadap terapi yang diberikan. Kadar
metanol dalam darah diukur dengan cara gas chromatography pada laboratorium tertentu dan
memerlukan waktu dari beberapa jam sampai hitungan hari. Pada keadaan yang tidak dapat
dilakukan pengukuran kadar metanol dalam darah, penilaian terhadap anion gap dapat sangat
bermanfaat.
Pada evaluasi perlu pemeriksaan analisa gas darah serial, pemeriksaan glukosa darah, elektrolit,
pemeriksaan foto dada, funduskopi, dan MRI kepala.

Diagnosis Banding
1. Intoksikasi obat : salisilat, ibuprofen, paraldehid, etilen glikol, isoniasid, arsenik, preparat
besi.
2. Tanpa riwayat minum metanol meliputi ketoasidosis diabetik, pankreatitis, neprolitiasis,
perdarahan subarahnoid, meningitis.

Penatalaksanaan
1. Stabilisasi, meliputi: pembebasan jalan nafas, perbaikan fungsi jalan nafas (ventilasi dan
oksigen) dan perbaikan sistem sirkulasi darah
2. Dekontaminasi dan eleminasi gastrointestinal, dapat dilakukan dengan pengosongan
lambung bila pemaparan < 60 menit. Induksi muntah tidak dianjurkan terutama pada
pasien dengan kesadaran yang menurun. Kumbah lambung segera dilakukan setelah
tertelan. Pada penderita koma/ penurunan kesadaran lindungi jalan nafas dengan posisi
trandelenberg dan left lateral decubitus. Bila diperlukan, pasien sebelumnya dipasang
NGT untuk mencegah aspirasi atau dengan intubasi endotrakeal. Activated Charcoal
dapat diberikan : 240 ml cairan dengan 30-50 g (0.5-1 g/kg BB) setiap 4 jam per
oral/enteral
3. Pemberian Etanol infus dipertimbangkan pada pasien yang dicurigai mengkonsumsi
metanol >20mg/dl. Etanol bersifat kompetitif inhibitor bagi alkohol dehidrogenase
dengan afinitas 10-20 kali lebih besar pada alkohol dehidrogenase dibandingkan
metanol. Hal ini dapat menunda waktu paruh metanol hingga 40 jam. Konsentrasi
etanol dalam darah harus dipertahankan 100-150 mg/dl, melalui pemeriksaan etanol
serum secara berkala. Selain melalui jalur parenteral, etanol dapat diberikan secara oral
namun hanya pada pasien sadar dengan kelemahannya adalah variabilitas absorpsi
etanol dan fluktuasi etanol dalam darah serta dapat menimbulkan gastritis. Kelemahan
pemberian etanol parenteral adalah timbulnya tromboflebitis. Antidote lainnya adalah
fomepizole/4-metilprizol yang bekerja mirip dengan etanol dan memeiliki kemampuan
inhibitor yang lebih kuat daripada etanol namun tidak menimbulkan sedasi berat serta
mempunyai waktu paruh yang lebih lama. Dosis 20 mg/kg berat badan perhari.
4. Diuresis paksa atau bila tersedia sarana hemodialisis merupakan pilihan yang lebih baik
terutama bila pH< 7.2 dan tidak memberikan respon yang baik pada terapi, keadaan
gagal ginjal, gangguan visual atau konsentrasi metanol dalam darah > 50 mg/dl.
5. Koreksis asidosis dengan pemberian sodium bikarbonat jika pH darah kurang dari 7.2
6. Pemberian asam folat 50 mg iv setaip 4-6 jam selama beberapa hari, sangat penting
mengingat metabolisme asam format menjadi karbondioksida dan air tergantung dari
ketersediaan asam folat dalam tubuh.( gambar 1)
7. Hipotensi diberikan cairan IV yang adekuat, dapat dipertimbangkan pemberian dopamin
dengan dosis 2-5 mcg/kg BB/menit dan dapat dititrasi bila perlu.
Prognosis
Prognosis yang buruk bila terjadi asidosis metabolik berat. Kematian umumnya akibat gagal
nafas, gangguan fokal susunan saraf pusat.
Intoksikasi Opiat

Definisi
Intoksikasi opiat merupakan intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat
Etiologi
Obat-obat yang termasuk golongan opiat antara lain morfin, petidin, heroin, opium,
pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan.

Tabel 1. Jenis obat opium, dosis fatal dan dosis pengobatan


Jenis Obat Dosis fatal (g) Dosis pengobatan (mg)
Kodein 0,8 60
Dekstrometorfan 0,5 60-120/hari
Heroin 0,2 4
Loperamid (imodium) 0,5
Meperidin (petidin) 1 100
Morfin 0,2 10
Nalokson (Narcan)
Opium (Papaver somniferum) 0,3
Pentazocain (Talwin) 0,3

Epidemiologi
Di New York 1970 terjadi kematian 1200 penderita karena overdosis obat golongan
narkotika dan di Amerika Serikat diperkirakan lebih dari 10.000 kematian karena kelebihan
dosis, akan tetapi angka kematian (karena over dosis) di Indonesia belum ada pelaporan. Belum
adanya laporan ini jangan sampai melengahkan para klinisi karena mungkin saja kasus
penyalahgunaan obat akan bertambah seiring dengan kemajuan zaman.
Patofisiologi
Pada umumnya kelompok opiat mempunyai kemampuan untuk menstimulasi SSP melalui
aktivasi reseptornya yang akan menyebabkan efek sedasi dan depresi nafas.
Beberapa jenis reseptor ialah :
 Reseptor Mu1 (μ1) : berefek analgesik, euforia dan hipotermia
 Reseptor Mu2 (μ2) : bradikardia, depresi nafas, miosis, euforia, penurunana kontraksi usus
dan ketergantungan fisik
 Reseptor Kappa (κ) : spinal analgesik, depresi nafas dan miosis, hipotermia
 Reseptor Delta (σ) : depresi nafas, disporia, halusinasi, vasomotor stimulasi
 Reseptor Gamma (γ) : inhibisi otot polos, spinal analgesik?

Gambaran Klinik
1. Triad klasik keracunan opioid meliputi miosis, koma dan depresi nafas.
2. gejala dan tanda sistem kardiovaskular: hipotensi ortostatik, disritmia
3. hipotermi, bising usus menurun, distensi abdominal dan retensi urin
4. Pada pemakai obat-obat intravenous, bisa tampak manifestasi infeksi (seperti infeksi
pada kulit, hati, paru, jantung dan susunan syaraf pusat) atau jejas trauma

Diagnosis
 Klinis
 Laboratorium : opiat urine positif atau kadar dalam darah tinggi
Pemeriksaan laboratorium untuk melihat kadar dalam darah tidak selalu diperlukan karena
pengobatan berdasarkan besar masalah sangat diperlukan daripada konfirmasi kadar/jenis
obat. Pada evaluasi perlu pemeriksaan analisa darah serial,pemeriksaan glukosa darah,
elektrolit dan pemeriksaan foto dada.

Diagnosis Banding
- Intoksikasi obat sedatif : barbiturat, benzodiazepin, etanol
- abnormalitas metabolik seperti hipoglikemia, hipernatremia, hiponatremi, hipoksia,
hipotermi, hipotiroid

Komplikasi
Pneumonia aspirasi, gagal nafas, edema paru akut
Penatalaksanaan
1. Stabilisasi
2. Pemberian antidotum nalokson
a. Tanpa hipoventilasi : dosis awal diberikan 0,4 mg IV
b. Dengan hipoventilasi : dosis awal diberikan 1-2 mg IV
c. Bila tidak ada respon dalam 5 menit, diberikan nalokson 1-2 mg IV hingga timbul
respon perbaikan kesadaran dan hilangnya depresi pernafasan , dilatasi pupil
atau telah mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tidak ada respon lapor
konsulen Tim Narkoba
d. Efek nalokson berkurang 20-40 menit dan pasien dapat jatuh ke dalam keadaan
overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda-tanda penurunan
kesadaran, pernafasan dan perubahan pada pupil serta tanda vital lainnya
selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan drip nalokson 1 ampul dalam
500 cc D 5% atau NaCl 0,9% diberikan dalam 4-6 jam
e. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto dada
f. Pertimbangkan pemasangan ETT (endotracheal tube) bila :
i. Pernafasan tidak adekuat
ii. Oksigenasi kurang mesti ventilasi cukup
iii. Hipoventilasi menetap setelah pemberian nalokson ke-2
g. Pasien dipuasakan untuk menghindari aspirasi akibat spasme pilorik
3. Pasien dirawat dan dikonsultasikan ke Tim Narkoba Bagian Ilmu Penyakit Dalam untuk
penilaian keadaan klinis dan rencana rehabiliasi
4. Dalam menjalankan semua tindakan harus memperhatikan prinsip-prinsip kewaspadaan
universal oleh karena tingginya angka prevalensi hepatitis C dan HIV
5. Bila diperlukan, pasien sebelumnya dipasang NGT untuk mencegah aspirasi
6. Edema paru diobati sesuai dengan antidotnya yaitu pemberian nalokson disamping
oksigenasi dan respirator bila diperlukan.
7. Hipotensi diberikan cairan IV yang adekuat, dapat dipertimbangkan pemberian dopamin
dengan dosis 2-5 mcg/kg BB/menit dan dapat dititrasi bila perlu
8. Pasien jangan dicoba untuk muntah (pada intoksikasi oral)
9. Kumbah lambung, dapat dilakukan segera setelah intoksikasi dengan opiat oral, awasi
jalan nafas dengan baik
10. Activated Charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan memberikan : 240
ml cairan dengan 30 g charcoal. Dapat diberikan sampai 100 gram
11. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam IV 5-10 mg dan dapat diulang bila
diperlukan. Monitor tekanan darah dan depresi nafas dan bila ada indikasi dapat
dilakukan intubasi.

Prognosis
Prognosis yang buruk bila terjadi edema paru akut. Kematian umumnya akibat apnea, aspirasi
paru dan edema paru.
Keracunan Organofosfat

Definisi
Intoksikasi organofosfat merupakan intoksikasi akibat zat yang mengandung organofosfat.

Epidemiologi
Penelitian di RSUP Denpasar tahun 1983 dan 1989 mendapatkan penyebab keracunan
terbanyak adalah pestisida yaitu 6,37% dan 65,06%. Golongan pestisida terbanyak adalah
organofosfat dan karbamat, seperti juga penyebab terbanyak di RS di Indonesia.

Etiologi
Berdasarkan tingkat toksisitasnya, organophospat digolongkan sbb :
1. Tingkat toksisitas tinggi ( LD50<50 mg/kg)
a. Octamethyl pyro phospharamide (OMPA)
b. Tetraethyl pyrophosphate (TEPP, Fosfex,Tetron)
c. Diisopropylfluorophosphate (DFP)
d. Sulfo tetraethyl pyrophosphate (Sulfo TEPP)
e. Parathion (Follidol,eketox,Kilphos,Rhyntox)
f. Phosphimidon
2. Tingkat toksisitas sedang(LD50>500 mg/kg)
a. Dichlorvos
b. Quinnaphos
c. Fenthion
d. Diazinon
e. Fenitrothion
3. Toksisitas rendah (LD50.1000 mg/kg)
a. Malathion
b. Temephos
Patofisiologi
Organofosfat bersifat toksik dengan menghambat kerja asetikolenesterase. Akibat inaktifasi
asetikolinesterase maka terjadi stimulasi dan berlebihan terhadap sinaps kolinergik di susunan
saaf pusat, saraf somatic, akhir saraf parasimpatik dan kelenjar keringat. Organofosfat mengikat
asetikolinesterase dengan cara fosforilase yang bersifat time-dependent dan relative ireversibel
bila tidak diobati setelah 24-36 jam.

Gambaran Klinis
Berat dan lamanya gejala klinis tergantung dari jenis zat dan dosisnya keracunan karbamat
biasanya lebih singkat dan lebih ringan daripada organosfosfat.gejala klinis akibat keracunan
akut organosfosfat biasanya muncul dalam 1-2 jam pemaparan, tetapi mungkin dapat pula
muncul setelah beberapa jam kemudian terutama setelah kulit terpapar.
Manifestasi klinis terdiri dari 3 efek, yaitu efek muskarinik, efek nikotonik da efek sistim syaraf
pusat :
a. Efek muskakarinik (akibat hiperaktivitas parasimpatik): bradikardi, miosis(pin point
pupil), penglihatan kabur, lakrimasi, keringat berlebihan hipersalivasi, hipersekresi
bronchial, bronkhospasme (wheezing), muntah, diare, kejang perut, inkontinensia urine
dan fekal.
b. Efek nikotinik (akibat hiperaktivitas simpatik dan disfungsi neuromuskuler): Takhikardi
,hipertensi,fascikulasi otot, tremor dan lemah otot. Kematian biasanya disebabkan
paralisismotot pernafasan.
c. Efek sisem saraf pusat : agitas, psikosis, konfusi,koma dan kejang

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan 4 kriteria:
1. Riwayat paparan insektisida atau pestisida
2. Gejala dan tanda stimulasi muskarinik dan nikotinik
3. Kadar cholinesterase plasma dan sel darah merah menurun
4. responsif dengan terapi atropin dan pralidoksin
Laboratorium
 hematologis: leukositosis dengan atau tanpa pergeseran kekiri akibat
peningkatan pelepasan katekolamin.
 Kimia: hipokalemia, hiperglikemia
 Toxin spesifik: aktivitas kolinesterase plasma menurun <50% sebelum gejala
tampak, 20-50% pada keracunan ringan, 10 – 20% pada keracunan sedang, <
10% pada keracunan berat. pemeriksaan bahan muntah atau darah mengandung
organofosfat.
Radiologis
 Pemeriksaan foto dada bila ada indikasi
 EKG

Diagnosis Banding:
1. keracunan karbamat
2. keracunan nikotinik
3. kondisi klinis atau obat-obatan yang dapat menyebabkan miosis, seperti
keracunan opioid, clonidin, sedative-hipnotic ( etanol, benzodiazepin, barbiturat)
dan perdarahan pontin
Komplikasi
 Komplikasi akut: pneumonitis hidrokarbon akibat aspirasi paru-paru .
 Komplikasi jangka panjang :Neuropati perifer, sekuele neuropsikiatrik.

Penatalaksanaan
Penanganan keracunan organosfosfat memerlukan observasi ketat.
1. Stabilisasi
2. Dekontaminasi
Dekomtaminasi mata dan kulit : (termasuk rambut dan kuku )
Dekontaminasi gastrointestinal
- Indikasi : jika konsentrasi organofosfat 20% atau lebih
- Kontra indikasi :
- Pasien tidak sadar atau sangat mengantuk
- Pasien kejang
- Pemaparan lebih dari 4 jam.
- Jika bahan pelarutnya petroleum distillate.idak yakin aman , karena kemungkinan
terjadi henti nafas mendadak dan kejang.
Cara: dengan menyentuh pangkal tenggorokan dengan jari atau ujung sendok
 Aspirasi dan kumbah lambung : Jika konsentrasi 20% atau lebih: Efektif bila dilakukan 2-
4 jam pertama dan dengan teknik yang baik.
 Arang Aktif : Dosis Tunggal 1 gram/kg atau dewasa :30-100 gr dan anak-anak :15-30 gr.
Cara pemberian : dicampur rata dengan perbandingan 5-10 gram arang aktif dengan
100-200 ml air sehingga seperti sop kental.dewasa 10 gram, Anak : 5 gram tiap 20 menit
3. Meningkatkan eliminasi
4. Terapi spesifik
Antidotum :
 Sulfas Atropin.
 Dosis : Dewasa : 1-2 mg (4-8 ampul)
Anak-anak ; 0,002-0,05 mg/kg BB IV
 Dosisi ini diulang tiap 10-15 menit sampai tercapai atropinisasi, yaitu : sekresi
pernafasan mengering, pupil midriasis, kulit kemerahan (flushing) takhikardi,mulut
& kulit kering.
 Dosis maksimum : 50 mg (200 ampul ) dalam 24 jam .Pada kasus yang berat dapat
sampai 100 mg. Dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 2x24 jam .pada
kasus yang berat dapat sampai 100 mg. Dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
 Pemberian intermiten dengan interval 30 menit ,60 menit, 2 jam dst.atau dengan
infuse kontinu 0,02-0,08 mg/kgBB/jam
 Rata-rata pasien keracunan organofosfat memerlukan 40 mg atropine /hari,tetapi
dapat juga sampai 1000 mg/hari
 Dosis sulfas atropine yang berlebih dapat menimbulkan agitasi dan takhikardi..
 Jika sulfas atropine tidak dapat diberikan secara IV ,dapat diberikan melalui
IM,subkutan,endotrakheal (2,5 kali dosis IV) atau intraosseus (pada anak)
 Diazepam; untuk meningkatkan toleransi atropine.
 Dosis dewasa : 5-10 mg, anak-anak 0,24-0,4 mg/kg IV
 Oximes : pada kasus keracunan organofosfat yang sedang-berat ( misalnya ada paralysis
otot pernafasan atau kejang), perlu diberi Reaktivator Asetilkolinesterase (Oximes) yang
diberikan setelah pemberian antidotium sulfas atropine:
 Pralidoxin ;dosis awal : dewasa 2 gram , anak: 30 mg/kgBB IV diikuti infuse kontinu 8
mg/kg BB/jam selama minimal 24 jam dan diberikan sampai perbaikan klinis
 Atau alternatif: pemberian intermiten IV atau IM dengan dosis 30 mg /kg BB 4 jam.
Dosis total 10 -15 gram /hari (kadar plasma 20-40 mg /L), efek yang merugikan :
takhikardi,hipertensi dan spame laring.
 Atau
 Obidoxime :dosis awal : dewasa 0,25 gr atau anak : 4mg/kgBB IV diikuti Infus
kontinu 0,5 mg/kgBB/jam selama minimal 24 jam dan diberikan sampai perbaikan
klinis
 Atau alternatif
 Pemberian intermiten IV atau IM dengan dosisi 2 mg/kg BB tiap 4 jam
 Efek merugikan : hepatotoksik,malaise, hipertermi
 Pada kasus yang sangat berat, dapat diberikan dosis lebih tinggi untuk mencapai
reaktivitas enzim asetilkolinesterase.
 Observasi ketat setelah selesai pemberian oximes karena dapat terjadi rekurensi
manifestasi klinis keracunan yang memerlukan terapi oximes lagi.
 Mungkin dapat terjadi Sindrom Intermediate, yaitu kelemahan otot yang rekuren
beberapa hari setelah pemaparan .ini mungkin berhubungan dengan terapi oximes
yang tidak adekuat.
Prognosis
Tergantung pada beratnya keracunan dan kecepatan terapi yang diberikan. Kepada pasien
Leptospirosis

Definisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Leptospira interogans tanpa
memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama yaitu mud
fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever.

Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh ordo spirochaetales, famili leptospiraceae, genus leptospira yang
terdiri dari 2 spesies yaitu L. interrogans yang patogen dan L. biflexa bersifat non
patogen/saprofit. Leptospira yang tersering menginfeksi manusia adalah L.
icterohaemorrhagica.

Epidemiologi
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang penting karena distribusinya yang luas di
seluruh dunia, mengenai paling sedikit 160 spesies mamalia. Kejadian luar biasa dalam dekade
terakhir di beberapa negara telah menjadikan penyakit ini sebagai salah satu the emerging
infectious disease.
Reservoar adalah binatang pengerat khususnya tikus, dan mamalia lain seperti anjing, babi.
Transmisi leptospira terjadi melalui kontak dengan urine, darah atau jaringan binatang yang
terinfeksi atau terpapar dengan lingkungan yang terkontaminasi, transmisi dari manusia ke
manusia jarang. Leptospira diekskresikan dalam urine, selanjutnya dapat hidup dalam air
selama beberapa bulan, dan air merupakan rantai penularan yang penting.

Patogenesis
Leptospira masuk ke tubuh host melalui kulit yang mengalami abrasi atau membran mukosa
yang masih intak seperti konjungtiva, orofarings maupun nasofarings. Minum air yang
terkontaminasi menyebabkan leptospira masuk melalui mulut, farings, esofagus. Leptospira
kemudian masuk ke aliran darah (leptospiremia) dan menyebar ke seluruh organ. Multiplikasi
terjadi di darah dan jaringan, sehingga leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal selama 4-10 hari pertama sakit. Leptospira dapat menimbulkan kerusakan pada
dinding pembuluh darah kecil; kerusakan ini menimbulkan vaskulitis, dengan kebocoran plasma
dan ekstravasasi sel termasuk perdarahan. Secara patologi didapatkan adesi leptospira dengan
permukaan sel dan terjadi toksisitas selular. Vaskulitis adalah manifestasi terpenting dari
penyakit ini.
Leptospira terutama menginfeksi ginjal dan hepar, tetapi juga dapat mengenai organ lain. Pada
ginjal, leptospira bermigrasi ke interstitium ginjal, tubulus renalis, dan lumen tubulus,
menimbulkan nefritis interstitialis dan nekrosis tubulus yang dapat menyebabkan gagal ginjal.
Pada hepar terjadi nekrosis sentrilobuler dan proliferasi sel kuppfer. Keterlibatan paru sebagai
akibat dari perdarahan, bukan karena inflamasi. Invasi ke otot skelet menyebabkan
pembengkakan, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal. Pada leptospirosis berat, vaskulitis
dapat menyebabkan kegagalan mikrosirkulasi dan peningkatan permiabilitas kapiler, yang
menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia.
Bila telah terbentuk antibodi, leptospira dapat dieliminasi dari semua tempat kecuali mata
menyebabkan terjadinya uveitis berulang, tubulus proksimal (leptospiuri berlangsung 1-4
minggu) dan mungkin otak yang menetap selama beberapa minggu atau bulan. Respon imun
sistemik efektif mengeliminasi leptospira namun menimbulkan reaksi inflamasi. Setelah terapi
antimikroba juga dapat terjadi reaksi Jarisch-Herxheimer, seperti spirochaeta yang lain.
Gambar 2. Perjalanan alamiah leptospira.

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi biasanya 1-2 minggu dengan range 2-20 hari.
Manifestasi klinisnya bifasik yaitu 2 fase yang khas meliputi : fase akut/septikemia ± 1 minggu,
diikuti fase imun yang ditandai dengan terbentuknya antibodi dan ekskresi leptospira di urin. 3
Spektrum gejala leptospirosis sangat luas, 15-40% asimptomatik.2,3 Kasus yang simptomatik
manifestasi klinisnya bervariasi antara ringan (>90%) sampai berat dan bahkan fatal. Weil’s
disease terjadi pada 5-10% kasus, adalah bentuk leptospirosis yang sangat berat ditandai
dengan ikterus, disfungsi ginjal dan kecendrungan perdarahan.2,11
Tabel 1. Gambaran klinis pada leptospirosis
Sering: demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia,
conjunctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepaomegali, ruam
kulit, fotopobi
Jarang: pneumonitis, hemoptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali,
artralgia, gagal ginjal, peripheral neuritis, pankreatitis, parotitis, epididimytis,
ascites, miokarditis

Tabel 2. Gambaran klinis Leptospirosis di RSUP Sanglah Denpasar (N=12)


Gambaran klinis N persentase
Demam (>380 C) 11 91.7
Ikterus 8 66.7
Nyeri otot 8 66.7
Conjunctival suffusion 6 50
Oligouria/anuria 4 33.3
Nyeri kepala mendadak 6 50
Perdarahan mayor 1 8.3
Mual-muntah dan diare 6 50
Hepatomegali 3 25
Azotemia 11 91.7
Protenuria 2 16.7
Komplikasi
1. Gagal ginjal
2. DIC
3. ARDS
4. miokarditis

Tabel 3. Komplikasi Leptospirosis di RSUP Sanglah Denpasar (N=12).


Komplikasi N persentase
Gagal ginjal akut 8 66.7
Hepatitis akut 8 66.7
Perdarahan mayor 1 8.3
Hipoalbuminemia 1 8,3
Diagnosis
1. klinis
2. laboratorium:
a. diagnostik:
i. isolasi organisme:
1. Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap darah dan urine
2. kultur darah, cairan serebrospinal, urine
3. PCR
ii. Serologis:
1. MAT (microscopic agglutination test)
2. ELISA
3. haemaglutinasi
b. laboratorium lain:
 hematologis: leukositosis, lekosit normal atau sedikit menurun, disertai netrofilia dan
laju endap darah (LED) yang meninggi, trombositopenia
 urinalisis: proteinuri, lekosituri atau torak/cast
 Fungsi hati: bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase.
 Fungsi ginjal: BUN, ureum dan kreatinin meningkat bila terjadi komplikasi ginjal.9
 Pemeriksaan lain sesuai dengan indikasi untuk mengetahui komplikasi yang terjadi
atau menyingkirkan diagnosis banding
3. Radiologis

Diagnosis Banding
1. Infeksi virus: influenza, HIV serokonversi, Dengue virus, Hepatitis virus, Hantavirus.
2. Bakteri: Tifoid
3. Parasit: Malaria
4. Pankreatitis
Penatalaksanaan
Tergantung pada berat dan lamanya gejala. Tindakan suportif diberikan sesuai dengan beratnya
penyakit dan komplikasi yang timbul.
Pemberian antibiotik dimulai sesegera mungkin, dan biasanya efektif setelah 4 hari pemberian
dan diberikan selama 7 hari. Pilihan antibiotik seperti pada tabel 2.

Tabel 4. Pengobatan dan kemoprofilaksis leptospirosis.


Indikasi Regimen Dosis
Terapi
Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg
Ampisilin 4 x 500-750 mg
Amoksisilin 4 x 500 mg
Leptospirosis sedang/berat Penisilin G 1,5 juta U/6jam (iv)
Ampisilin 1 gram/6jam (iv)
Amoksisilin 1 gram/6jam (iv)
Eritromisin 4 x 500 mg
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/minggu

Prognosis
Sebagian besar penderita leptospirosis akan sembuh. Angka kematiannya meningkat dengan
bertambahnya umur. Mortalitas tinggi pada penderita tua dan dengan Weil’s disease. Pada
penderita dengan ikterus angka kematian 5% pada usia <30 tahun dan usia lanjut mencapai 30-
40%.1 Kematian pada kasus yang berat, 10-15% kasus yang disebabkan perdarahan paru atau
gagal jantung dan aritmia akibat sekunder dari miokarditis. Seguro et al melaporkan 50%
kematian terjadi pada pasien oliguri dan hanya 5 % pada nonoliguri.
Malaria

Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup
dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia.

Etiologi
Spesies Plasmodium pada manusia adalah :
1. Plasmodium falciparum
2. Plasmodium vivax
3. Plasmodium ovale
4. Plasmodium malariae

Epidemiologi
Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika Selatan,
daerah Oceania, dan kepulauan Caribia. Lebih dari 1,6 triliun manusia terpapar oleh malaria
dengan dugaan morbiditas 200-300 juta dan mortalitas lebih dari 1 juta pertahun. 3-4 Di RSUP
Sanglah dalam kurun waktu september 2002 sampai Maret 2003 di jumpai 30 kasus malaria.
Penularan terjadi melalui:
 Gigitan vektor: nyamuk anopheles betina ( A. Sundanicus dan A. Aconitus)
 Transfusi darah
 Jarum suntik yang tercemar

Patofisiologi
Setelah nyamuk anopheles betina menggigit manusia maka sporozoit kemudian masuk ke
dalam pembuluh darah. Sebagian besar sporozoit dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati
dan sebagian kecil sisanya akan mati di darah. Di dalam sel parenkim hati mulailah
perkembangan aseksual (intrahepatic schizogony atau pre-erythrocytes schizogony).
Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk plasmodium falciparum dan 15 hari untuk
plasmodium malariae. Setelah sel parenkim hati terinfeksi, terbentuk sizont hati yang apabila
pecah akan mengeluarkan banyak merozoit ke sirkulasi darah. Pada P. vivax dan ovale sebagian
parasit di dalam sel hati membentuk hipnozoit yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun,
dan bentuk ini yang akan menyebabkan terjadinya relaps pada malaria.
Dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan terjadi skizogoni intraeritrositer.
Eritrosit yang berparasit mengalami perubahan struktur dan biomolekuler sel. Skizon yang
matang kemudian pecah akan mengeluarkan 6 – 36 merozoit dan siap menginfeksi eritrosit
yang lain. Siklus aseksual ini pada P. falciparum, P. vivax, dan P. ovale ialah 48 jam dan pada P.
malariae adalah 72 jam. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang bertanggung
jawab dalam patogenesis terjadinya malaria pada manusia.

Manifestasi Klinis
Setelah masa inkubasi (P. vivax dan P.falsiparum sekitar 10-14 hari dan P. malariae sekitar 18
hari sampai 6 minggu), timbul gejala-gejala prodromal yang tidak khas, seperti nyeri kepala,
menggigil, demam, nyeri otot terutama otot punggung, nafsu makan menurun, dan cepat lelah.
Kemudian timbullah gejala khas berupa serangan berulang dan paroksismal dari rangkaian
gejala menggigil, demam tinggi dan berkeringat, yang disusul dengan periode rekonvalensi yang
merupakan fase afebril dan perasaan sehat kembali.
Pada infeksi P. vivax serangan demam terjadi setiap hari ketiga (malaria tertiana), P. falsiparum
kurang dari 48 jam (malaria tropika/subtertiana) dan P. malariae setiap 72 jam (malaria
kuartana).
Gejala lain : anemia, ikterus, hepatomegali, splenomegali (tanda yang penting), urobilinuria,
postural hipotensi dan kadang-kadang diare.

Diagnosis
1. klinis: sesuai dengan manifestasi klinis dan disertai dengan adanya riwayat baru datang
dari bepergian ke daerah endemis malaria.
2. Laboratorium :
- Diagnosis pasti: pada pemeriksaan darah ditemukan adanya parasit malaria (tetes
tebal) dan dapat ditentukan jenis plasmodiumnya (sediaan hapusan).
- Pemeriksaan untuk mendeteksi antigen parasit malaria dengan metode
imunokromatografi dalam benuk dipstik. Tes yang tersedia adalah:1
- Histidin rich protein 2 (HRP2) yang diproduksi oleh trofozoit, skizon dan
gametosit muda P. Falciparum
- Enzim parasite lactate dehydrogenase (p-LDH) yang diproduksi oleh
parasit bentuk aseksual atau seksual (gametosit)
- Pemeriksaan lainnya : bila ada indikasi seperti adanya komplikasi atau untuk
menyingkirkan diagnosis banding.

Diagnosis Banding
Manifestasi klinis malaria sangat bervariasi dari gejala ringan sampai berat.
1. Malaria ringan (malaria tanpa komplikasi) harus dapat dibedakan dengan penyakit
infeksi lain sebagai berikut : demam tifoid, demam dengue, ISPA, leptospirosis
ringan/anikterik, infeksi virus akut lainnya.
2. Malaria berat (malaria dengan komplikasi) harus dapat dibedakan dengan penyakit lain
sebagai berikut : radang otak (meningitis/ensefalitis), stroke (gangguan
serebrovaskuler), tifoid ensefalopati, hepatitis, leptospirosis berat, glomerulonefritis
akut atau kronik, sepsis, demam berdarah degue atau Dengue shock syndrome.

Komplikasi
Malaria berat: ditemukannya P. falciparum stadium aseksual dengan satu atau beberapa
manifestasi klinis dibawah ini (WHO, 1997) :
1. Malaria serebral (malaria otak) adalah malaria dengan penurunan kesadaran. GCS < 9
atau koma lebih dari 30 menit setelah serangan kejang yang tidak disebabkan oleh
penyakit lain.
2. Anemia berat (Hb < 5 gr% atau hematokrit < 15%) pada keadaan hitung parasit >
10.000/u.
3. Gagal ginjal akut (urine < 400 ml/24 jam atau dengan kreatinin darah > 3 mg%)
4. Edema paru atau Acute Respiratory Distress Syndrome.
5. Hipoglikemi; gula darah < 40 mg%.
6. Gagal sirkulasi atau syok : tekanan sistolik < 70 mmHg, disertai keringat dingin.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat pencernaan dan/atau disertai kelainan
laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang > 2 kali per 24 jam setelah pendinginan pada hipertermia.
9. Asidemia (pH 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma < 15 mmol/L)
10. Makroskopik hemoglobinuria oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti
malaria pada seseorang dengan defisiensi G-6-PD)
Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat :
1. Gangguan kesadaran ringan (GCS < 15)
2. Kelemahan otot (tidak bisa duduk/berjalan) tanpa kelainan neurologik
3. Hiperparasitemia > 5%
4. Ikterus (kadar bilirubun darah > 3 mg%)
5. Hiperpireksia (temperatur rektal > 40o C)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meliputi :
1. Pemberian obat anti malaria :
- Obat oral, untuk malaria tanpa komplikasi (malaria ringan)
- Obat parenteral, untuk penderita malaria berat atau yang tidak dapat minum obat.
2. Pengobatan supportif :
- Pada malaria tanpa komplikasi, misal : pengobatan simtomatik terhadap demam
- Pada malaria berat : termasuk perawatan umum, pemberian cairan, dan pengobatan
simptomatik seperti : penanggulangan demam, pemberian obat anti kejang.
3. Pengobatan komplikasi :
- Pengobatan yang ditujukan terhadap komplikasi yang timbul.
- Penanganan gangguan fungsi organ akibat komplikasi malaria berat
Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi
Pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan P. falciparum:
Lini pertama : tablet artesunat + tablet amodiakuin + tablet primakuin
Tabel 1. Pengobatan lini pertama malaria falsiparum
Hari Jenis Obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-2 2-11 1-4 5-9 10-14 > 15
bulan bulan tahun tahun tahun tahun
1 Artesunate ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
Primakuin *) *) ¾ 1½ 2 2-3
2 Artesunate ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
3 Artesunate ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

Komposisi obat :
Artesunate : 50 mg/tablet, Amodiakuin : 200 mg/tablet ~ 153 mg amodiakuin base/tablet
Semua pasien kecuali ibu hamil diberikan tablet Primakuin (1 tablet berisi : 25 mg garam /
tablet setara 15 mg basa) dengan dosis 0,75 mg basa/kgBB/oral, dosis tunggal pada hari I (hari
pertama minum obat)
Dosis berdasarkan berat badan :
Artesunat : 4 mg/kgBB dosis tunggal/hari/oral, diberikan pada hari I, hari II dan hari III ditambah
Amodiakuin : 10 mg basa/kgBB/hari/oral selama 3 hari.
Bila terjadi gagal pengobatan lini pertama, maka diberikan pengobatan lini kedua seperti tabel
2 di bawah ini.

Lini kedua : tablet kina + tablet tetrasiklin/doksisiklin + tablet primakuin


Kriteria memberikan obat lini kedua:
1. penderita telah menyelesaikan pengobatan lini pertama
2. pada waktu periksa ulang hari 4 atau hari 5 sampai 28 penderita belum sembuh atau
kambuh.
Penderita dikatakan tidak sembuh bila:
 tetap demam atau gejala klinis tidak membaik disertai parasitemia aseksual
 penderita tidak demam atau tanpa gejala klinis lainnya tetapi ditemukan
parasitemia aseksual
Tabel 2. Pengobatan lini kedua untuk malaria falsiparum
Hari Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok
umur
0-11 1-4 5-9 10-14 > 15
bulan tahun tahun tahun tahun
1 Kina *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x2
Tetrasiklin/doksisiklin - - - - 4x1
Primakuin - ¾ 1½ 2 2–3
2-7 Kina *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x2
Tetrasiklin/doksisiklin - - - - 4x1
Kina : satu tablet kina sulfat mengandung 200 mg kina garam. Dosis kina : 30 mg/kgBB/hari
(dibagi 3 dosis). Doksisiklin tidak diberikan pada wanita hamil. Bila tidak ada doksisiklin dapat
digunakan tetrasiklin. Dosis Tetrasiklin : 25-50 mg/kgBB/4 dosis/hari atau 4 x 1 (250 mg) selama
7 hari. Dosis Primakuin : 0,75 mg/kgBB, dosis tunggal

Pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan P. vivax/ovale diberikan pengobatan :


Lini pertama : tablet klorokuin + tablet primakuin
Tabel 3. Pengobatan malaria vivax / ovale
Hari Jenis Obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur (dosis
tunggal)
0-1 2-11 1-4 5-9 10-14 > 15
bulan bulan tahun tahun tahun tahun
H1 Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

H2 Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
H3 Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
H4-H14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
Perhitungan dosis berdasarkan berat badan untuk Pv/Po:
- Klorokuin : hari I dan II = 10 mg/kgBB, hari III = 5 mg/kgBB
- Primakuin : 0,25 mg/kgBB/hari, selama 14 hari

Pengobatan malaria vivaks / malaria ovale resisten klorokuin


Kriteria pengobatan malaria vivaks resisten klorokuin:
 Sudah menyelesaikan pengobatan klorokouin 3 hari
 Pada pemeriksaan ulang hari ke 4 atau hari 7 sampai 14 belum sembuh
Penderita dikatakan tidak sembuh (kasus resisten terhadap klorokuin) bila dalam kurun waktu
14 hari:
 Tetap demam atau gejala klinis tidak membaik yang disertai parasitemia aseksual
 Penderta tidak demam atau tanpa gejala klinis lainnya, tetapi ditemukan parasitemia
aseksual

Tabel 4. Pengobatan malaria vivaks / malaria ovale resisten klorokuin


Hari Jenis Obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 2-11 1-4 5-9 10-14 > 15
bulan bulan tahun tahun tahun tahun
H1-7 Kina *) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x2
H1-14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
Dosis : Kina 30 mg/kgBB/hari (dibagi 3 dosis), Primakuin : 0,25 mg/kgBB.

Pengobatan kasus malaria vivaks / ovale kambuh (relaps)


Kriteria pemberian obat:
1. penderita sudah menyelesaikan pengobatan klorokuin dan primakuin
2. pada waktu periksa ulang hari 14 sampai 28 penderita kambuh
penderita dikatakan kambuh bila dalam kurun waktu 14 – 28 hari:
 tetap demam atau gejala klinis tidak membaik yang disertai parasitemia aseksual
 tanpa demam atau gejala klinis lainnya, tetapi dijumpai parasitemia aseksual
Tabel 5. Pengobatan malaria vivaks / ovale yang kambuh (relaps)
Lama Jenis Obat Jumlah tablet perminggu menurut kelompok umur
pemberi 0-1 2-11 1-4 5-9 10-14 > 15
an dlm bulan bulan tahun tahun tahun tahun
minggu
8-12 *) Klorokuin 1/4 ½ 1 2 3 3–4
8-12*) Primakuin **) - - ¾ 1½ 2¼ 3
* Pemberian klorokuin dan primakuin 1 kali setiap minggu, lama pengobatan minimal selama 8
minggu
** Dosis primakuin 0,75 mg/kgBB

Pengobatan Malaria Berat


Obat anti malaria pilihan untuk malaria berat adalah :
- Lini pertama : derivat artemisinin parenteral
- Lini kedua : kina parenteral
Dosis dan cara pemberian Artesunat injeksi
Sediaan : 1 ampul berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik, dilarutkan dalam 0,6 ml natrium
bikarbonat 5%, diencerkan dalam 3-5 cc Dekstrose 5%. Pemberian secara bolus intravena + 2
menit. Loading dose : 2,4 mg/kgBB IV diikuti 1,2 mg/kgBB IV pada jam ke 12 jam dan 24,
selanjutnya 1,2 mg/kg BB setiap hari sampai hari ke 7.
Bila penderita sudah dapat minum obat, ganti dengan artesunat oral.
Dosis dan cara pemberian Arthemeter injeksi
Sediaan : 1 ampul berisi 80 mg Arhemeter. Arthemeter injeksi diberikan secara intramuskuler,
selama 5 hari. Dosis dewasa : dosis inisial 160 mg (2 ampul) IM pada hari ke 1, diikuti 80 mg (1
ampul) IM pada hari ke 2 s/d ke 5.
Lini kedua : kina per-infus (perdrip)
Kina per-infus masih merupakan obat pilihan untuk malaria berat. Kemasan garam kina HCl 25
% injeksi, 1 ampul berisi 500 mg / 2 ml.
Cara pemberian kina per-infus :
Dosis dewasa (termasuk ibu hamil) : Kina HCl 25 % dosis 10 mg/KgBB atau 1 ampul (isi 2 ml =
500 mg) dilarutkan dalam 500 ml dekstrose 5% atau dekstrose in saline diberikan selama 8 jam,
diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam terus menerus sampai penderita dapat minum
obat.
Atau : Kina HCl 25 % (perinfus), dosis 10 mg/kgBB/dosis/4 jam diberikan setiap 8 jam, diulang
dengan cairan dan dosis yang sama setiap 8 jam sampai penderia dapat minum obat.
Pemberian kina
Mulai pemberian Mulai pemberian
Pemberian kina berikutnya selama berikutnya selama
4 jam 4 jam 4 jam dan seterusnya

Jam ke 0 4 8 12 16 20 24

Gambar 1. Bagan pemberian kina drip

Pengobatan suportif :
- Turunkan suhu tubuh dengan antipiretika dan kompres
- Rehidrasi (waspada terhadap overhidrasi)
- Antikonvulsan bila ada kejang-kejang
- Bila ada gagal ginjal pertimbangkan dialisis
- Bila terjadi perdarahan dan gangguan pembekuan darah (koagulopati) dapat diberikan
vitamin K injeksi
- Pada keadaan asidosis metabolik dapat dikoreksi dengan pemberian natrium
bikarbonat.
- Tranfusi darah untuk anemia yang berat
- Plasma ekspander diberikan bila terdapat syok (misalnya pada malaria algid)
- Cegah kemungkinan hipoglikemia dengan dekstrose infus
- Pertimbangkan “exchange transfusion” bila terdapat parasitemia berat
Monitoring
Respon terapi : dengan pemeriksaan klinis dan mikroskopis parasit
Kemungkinan tjd komplikasi dan disfungsi organ
Efek samping obat : hipoglikemia, aritmia kordis pada pemakaian kina

Prognosis
Prognosis malaria berat tergantung kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan. Pada
malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas dilaporkan dapat mencapai 20% dan
pada kehamilan meningkat sampai 50%. Prognosis malaria berat dengan kegagalan satu fungsi
organ lebih baik daripada kegagalan 2 fungsi organ.
SEPSIS

Definisi
Sepsis adalah kumpulan gejala sebagai manifestasi respon inflamasi sistemik terhadap infeksi.

Etiologi
Penyebab dari sepsis yang paling sering adalah infeksi bakteri.

Epidemiologi
Sepsis – SIRS mendapat perhatian yang cukup besar di Amerika Serikat karena
merupakan penyebab kematian kedua di non – coronary ICU dan penyebab kematian umum
nomor sepuluh. Angka kematian oleh karena sepsis didapatkan sebesar 26,6% dan angka
kematian ini meningkat dengan meningkatnya umur.

Patogenesis
Bone et al telah mengembangkan hipotesis patogenesis sepsis/SIRS yang berdasarkan pada
ketidakseimbangan aktivitas proinflamasi dan anti-inflamasi yang terdiri dari 5 tahap.
1. Tahap 1.
Sebagai respon terhadap injury, termasuk infeksi, lingkungan lokal membentuk sitokin
proinflamasi yang berfungsi merekrut mediator atau sel untuk melawan organisme patogen
dan mendorong proses penyembuhan
2. Tahap 2
Sejumlah kecil sitokin lepas ke sirkulasi yang bertujuan untuk merekrut makrofag dan
platelet, menstimulasi faktor pertumbuhan (growth factor) serta reaksi fase akut. Sampai
tahap ini reaksi ini masih dianggap fisiologik. Untuk dapat tetap fisiologik maka reaksi ini
harus dikendalikan oleh sekresi sitokin anti-inflamasi dan mediator endogen, misalnya
antagonisterhadap reseptor IL-1 atau adanya soluble receptor.
3. Tahap 3.
Pada tahap ini homeostasis tidak dapat dikembalikan oleh karena insult yang terlalu besar
atau sistem pengendalian tubuh tidak berjalan normal. Hal ini mengakibatkan massive
systemic reaction. Efek sitokin menjadi destruktif yang mengakibatkan kerusakan
organ/sistem yang terletak jauh dari tempat infeksi. Keadaan ini dapat menimbulkan
disfungsi berbagai organ ( multiple organ dysfunction syndrome-MODS) yang pada akhirnya
mengarah pada kegagalan berbagai organ (multiple organ failure syndrome-MOFS).
Perubahan yang terjadi dapat berupa :
a. Progressive endothelial dysfunction yang mengakibatkan permeabilitas pembuluh
darah meningkat.
b. Platelet sludging yang menghalangi sirkulasi sehingga berakibat maldistribusi aliran
darah, iskhemia dan reperfusion injury
c. Aktivasi sistem koagulasi dan inhibisi jalur protein-C dan protein-S.
d. Adanya vasodilatasi, transudasi cairan serta maldistribusi aliran darah
mengakibatkan timbulnya syok
Semua keadaan ini mengakibatkan disfungsi beberbagai organ yang pada akhirnya menuju
pada gagal berbagai organ jika homeostasis tidak cepat dikembalikan.
4. Tahap 4
Disini terjadi konpensasi reaksi antiinflamasi berlebihan sehingga terjadi imunosupresi.
Disebut juga sebagai “immune paralysis” atau”window of immunodefficiency”. Tetapi Bone
at al. menyebutkan sebagai CARS (conpensated anti-inflamation respone syndrome). CARS
ditandai oleh penurunan ekspresi HLA-DR<30% pada permukaan monosit yang berakibat
penurunan sekresi TNF- dan IL-6. Keaadan energi menyebabakan penderita mudah
terkena infeksi mikroorganisme lain.
5. Tahap 5
Tahap final dari MODS disebut “immunologic dissonance”suatu”inapproprriate aut of
balance respone of the immunomodulatory respone system”. Pada sebagian penderita
disebabkan karena inflamasi berlebihan, pada sebagian lagi karena depresi imun yang
persisten
Komponen Yang Berperan Dalam Patogenesis Sepsis/SIRS
Komponen bakteri
Terdapat 3 bagian bakteri yang dapat merangsang pembentukan sitokin, yaitu endotoksin
(lipopolisakarida=LPS), peptidoglikan (peptidoglycan = PG), dan lipoteichoic acid (LTA). LPS
hanya dijumpai pada kuman gram negatif. LPS terdiri dari -antigens, core dan lipid A.Lipid A
merupaakan bagian toksik dari LPS. Dalam plasma LPS berikatan dengan LPB
(lipopolysaccharide-binding protein). LPS dapat mengaktivasi langsung berbagai jenis sel seperti
figosit, endotel, limposit dan fibroblast, mengaktifkan langsung sistem komplemen atau
mengaktifkan secara tidak langsung kaskade inflamasi melalui produksi sitokin. Ikatan LPS
dengan LPB untuk dapat mengaktifkan monosit harus diikat oleh reseptos khusus yaitu CD14
pada permukaan monosit. CD14 adalah suatu glycophosphatdylinositol (GPI)-anchored
molecule. Sebagian CD14 lepas keplasma sebagai soluble CD14(sCD14). Aktivasi sel oleh CD14
diduga melalui Toll-like receptor-2(TLR2), menstimulir kaskade posfolirilasi intraseluler,
kemudian melalui nuclear faktor eB (NF-eB) akan meningkatkan trankripsi dan translasi gen
yang mengatur sekresi sitokin12.

Peranan sitokin
Sitokin adalah protein non-struktural kecil dengan berat molekul bervariasi dari 8 sampai
40.000dalton. Sitokin disekresi oleh berbagai macam sel seperti monosit/makrofag,limfosit,
fibroblas, endotel, dan lain-lain. Sitokin bersifat plaitropik, artinya satu jenis sitokin dapat
disekresi oleh berbagai macam sel serta dapat mempunyai efek pada berbagai macam sel pula.
Dalam konteks inflamasi maka sitokin dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu pro-
inflamatory cytokines yang mendorong proses inflamasi dan anti-inflamatory cytokines yang
menghambat proses inflamasi.

Sitokin Proinflamasi
Sitokin proinflamasi utama pada sepsis adalah TNF- dan IL-I, terutama dihasilkan oleh
monosit/makropag dan aktif bekerja pada netrofil dan sel endotil. Keduanya bekerja sinergis,
merangsang SSP, bersifat perogenik, merangsang sekresi protein fase akut oleh hati, priming
limposit. Semua reaksi ini ditujukanuntukinisiasi responfase akut dan mengaktifkan berbagai
komponen mekanisme pertahanan tubuh. Efek lokal ini (parakrin dan autokrin) sangat efektif
dalam menghadapiinfeksi atau injury lain, tetapi efek sistemik yang berlebihan dapat
menimbulkan kerusakan tubuh. Pada percobaan binatang dapat ditimbulkan keadaan yg
menyerupai sepsis dengan pemberian TNF- atau IL-1 secara sistemik.
IL-6 dapat dianggap sitokin proinflamasi karena dapat merangsang sintesis protein fase akut,
tetapi dapat juga bersifat anti inflamasi karena dapat menurunkan sekresi TNF- dan IL-1
dengan menurunkan ekspresi HLA-DR pada permukaanmonosit.

Sitokin Anti- inflamasi


Sitokin anti-inflamasi adalah suatu seri immunoregulatory molecules yang berfungsi
mengendalikan respon proinflamasi. Sitokin yang berfungsi seperti ini adalah : IL-4, IL-10, IL-11,
IL-13 dan transforming growth factor- (TGF-). IL-4 meningkatkan perkembangan limfosit Th2
dan menekan sekresi sitokin oleh monosit yang diinduksi oleh LPS. IL-10 menghambat sekresi
sitokin oleh monosit/makrofag dan netrofil, serta menghambat respon limfosit Th1. IL-11
menghambat respon proinflamasi monosit/makrofag dan limfosit Th2. IL-13 menurunkan fungsi
monosit/makrofag, menghambat ekspresi HLA-DR (MHC class II) pada permukaan
monosit/makrofag dan sintesis sitokin proinflamasi.

Peranan Komplemen
Aktivasi komplemen melalui classical pathway, alternative pathway, atau mannan-
binding lectin pathway menghasilkan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang bersifat kemotaktik
terhadap netrofil dan mengaktivasi sel ini untuk menghasilkan radikal oksigen , eicosanoids, dan
PAF (platelet activating factor). Zat ini juga meningkatkan permeabilitas kapiler, merangsang
degranulasi platelet, sel mast dan basofil, meningkatkan tissue factor pada monosit. Semua ini
bertujuan untuk membersihkan mikroorganisme yang masuk dalam tubuh.
Pada sepsis dijumpai peningkatan anafilatoksin terutama C5a, baik pada modelbinatang
maupun penderita. C5a merupakan peptide inflamasi yang paling kuat dengan berbagai
aktivitas biologik. C5a meningkatkan sekresi TNF-, IL-1 dan IL-8 sehingga lebih meningkatkan
aktivitas proinflamasi.

Peranan sel Endotil


Sel endotil mempunyai peran penting dalam pengendalian infeksi. Endotil berperan
secara aktif dengan mensekresikan berbagai mediator dan meningkatkan berbagai molekul
adhesi. Peran endotil dapat berupa :
1. Interaksi endotil dengan netrofil sehingga menyebabkan proses rolling , perlekatan (firm
adherence) dan migrasi netrofil ke jaringan ekstravaskular.Disini terjadi kerja sama
antara endotil dan netrofil melalui peran selectin, integrin, dan adhesion molecules lain.
2. Endotil berperan dalam pembentukan NO (nitric oxid) yang dulu dikenal sebagai EDRF
(endothelial relaxing factor). LPS dan sitokin proinflmasi merangsang endotil untuk
meningkatkan ekspresi NOS (nitric oxid synthase) sehingga terjadi sintesis NO dari L-
arginine . NO melalui ensim guanylate cyclase meningkatkan cyclic GMP yang
menyebabkan relaksasi otot polos dinding pembuluh darah, menurunkan resistensi
perifer dan jika terjadi berlebihan menimbulkan profound shock.
3. Endotil berperan dalam mengaktifkan sistem koagulasi pada sepsis. Sitokin dapat
meningkatkan ekspresi tissue factor pada permukaan endotil sehingga mengaktifkan
extrinsic pathway dari kaskade koagulasi. Juga terjadi down regulation dari
thrombomodulin pada permukaan endotil sehingga aktivasi protein-C berkurang yang
mengakibatkan aktivitas natural anticoagulant juga menurun
4. Endotil terkena pengaruh dari sitokin proinflamasi dan produk sistem komplemen
terutama anafilatoksin (C3a dan C5a) yang menyebabkan permeabilitas meningkat,
transudasi cairan yang mengakibatkan maldistribusi cairan, yang pada ujung
nyamenyebabkan bertambah beratnya syok yang terjadi.

Peranan Netrofil
Netrofil merupakan sel efektor terpenting dalam mekanisme pertahanan tubuh
terhadap infeksi bakteri. Dalam sepsis netrofil mempunyai fungsi ganda, di satu pihak sangat
diperlukan dalam mengatasi invasi kuman, tetapi jika sel ini mengalami aktivasi pada tempat
yang salah dan tidak terkendali akan menyebabkan kerusakan berbagai jaringan.
Netrofil adalah fagosit yang bergerak dilengkapi dengan berbagai mekanisme untuk
menghancurkan bakteri yang telah difagositosis, seperti kemampuan untuk menghasilkan
reactive oxygen species (H2O2, O2-, OH- dan HOCL), melepaskan enzim proteinase seperti
elastase dan cathepsin G dari granula azurofilik, serta protein seperti laktoferin dari granula
spesifik. Netrofil sangat responsif terhadap faktor kemotaktik yang terjadi pada fokus infeksi,
melalui proses rolling, adherence, diapedesis dan migrasi subendothelial. Pada saat yang sama
netrofil mengalami aktivasi (priming).
Netrofil yang mengalami aktivasi dan perlekatan pada endotil akan menyebabkan
kerusakan pada endotil karena adanya ROS dan enzim proteinase, antara lain elastase.
ROS akan menyebabkan peroksidasi lemak, merusak protein dan asam nukleat, menghasilkan
bahan kemotaktik dan menginduksi adhesion molecules. Elastase menyebabkan degradasi
berbagai protein, menimbulkan kerusakan endotil, dan jaringan di sekitar tempat infeksi.
Disamping itu juga akan memodulasi sistem komplemen, koagulasi dan fibrinolisis. Pengaruh
enzim ini dalam keadaan normal dihambat oleh  1- antitrysin (1-AT). Tetapi pada sepsis 1-
AT dihambat oleh radikal oksigen dan metaloproteinase. Netrofil aktif dapat juaga mensekresi
sitokin. Netrofil melalui enzim proteinase dapat memecah reseptor sitokin tertentu (TNF-)
sehingga meningkatkan aktivitas reseptor tersebut.

Apoptosis pada Sepsis/SIRS


Apoptosis (programmed cell death) dijumpai pada penderita sepsis atau SIRS dan juga
pada binatang percobaan. Apoptosis paling sering dijumpai pada organ yang banyak
mengandung limfosit. Pada penderita sepsis apoptosis dijumpai pada lien, kolon, ileum, paru,
otot skletal dan ginjal. Apoptosis tidak dijumpai pada hati, otak dan otot jantung.Apoptosis
terjadi pada limfosit baik matur maupun imatur, limfosit T ataupun B. Lebih dari 30% timosit
mengalami apoptosis selama sepsis. Sebaliknya terjadi penurunan apoptosis pada netrofil,
sebesar 8,6% dibandingkan dengan keadaan normal 35%. Kenapa terjadi keadaan paradok
seperti ini belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan dalam fisiologik keadaan ini bermanfaat
karena menyebabkan down regulation reaksi proinflamasi yang berlebihan. Pertanyaan lain
apakah apoptosis masif merupakan penyebab timbulnya sepsis/SIRS ataukah apoptosis hanya
akibat dari sepsis/SIRS masih belum terjawab.
Mekanisme terjadinya apoptosis pada sepsis tidak melalui pengaruh TNF- ataupun IL-
1. Diduga terjadi melalui aktivitas C5a. Mekanisme lain diduga melalui pengaruh glukokortikoid
yang meningkat sebagai kompensasi pada sepsis awal.Apoptosis disini terjadi melalui caspase-3
dependent pathway.

Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis pada Sepsis/SIRS


Kelainan koagulasi dijumpai pada sebagian besar penderita sepsis, mulai dari yang
sangat ringan sampai dengan gejala berat seperti DIC (disseminated intravascular coagulation)
Pengertian yang lebih baik tentang kelainan koagulasi pada sepsis dapat mendorong
pengembangan terapi suportif yang lebih baik.
Patogenesis kelainan koagulasi pada sepsis semakin jelas diketahui. Peningkatan sitokin,
terutama TNF- dan IL-6 merupakan faktor pencetus melalui 3 mekanisme :
1. Tissue factor-driven thrombin generation : IL-6 menyebabkan peningkatan ekspresi
tissue factor (TF) pada permukaan endotil. Peningkatan TF menyebabkan aktivasi
extrinsic pathway yang pada akhirnya meningkatkan pembentukan thrombin dan fibrin.
2. TNF- dapat menekan natural anticoagulant pathway (protein-C dan protein-S)
sehingga mendorong pembentukan thrombin . TNF- juga dapat menurunkan ekspresi
thrombomodulin pada permukaan endotil sehingga kompleks thrombomodulin –
thrombin yang bertugas mengaktifkan protein-C menurun. Gangguan sistem ini juga
terjadi karena penurunan kadar protein-C akibat konsumsi atau penurunan produksi ,
atau karena penurunan kadar protein-S akibat pengaruh C4b.
Hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa penurunan jalur protein-C dan protein-S
merupakan mekanisme utama. Pada penelitian 70 kasus sepsis didapatkan bahwa penurunan
kadar protein-C mempunyai korelasi bermakna dengan outcome penderita sepsis, sehingga
dapat dipakai sebagai parameter beratnya derajat sepsis.
Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda sepsis sangat bervariasi dan tidak spesifik. Gambaran klinis sepsis
merupakan manifestasi dari SIRS, infeksi penyebab dan disfungsi organ yang terjadi.

Komplikasi
1. Infeksi nosokomial: selulitis pada tempat kanula vena atau ateri, septikemia yang
berkaitan dengan kanula, infeksi saluran kemih,
2. komplikasi akibat imobilisasi: dekubitus, emboli paru dan/atau DVT
3. komplikasi yang berkaitan dengan intubasi dan ventilasi mekanik: pnemonia,
pneumothorax, kesulitan weaning ventilator
4. komplikasi yang berkaitan dengan terapi: kerusakan ginjal (pemberian aminoglycoside)

Diagnosis
 SIRS ditandai dengan ditemukan 2 atau lebih dari beberapa gejala berikut :
- Suhu meningkat di atas 38C atau kurang dari 36C
- Denyut jantung lebih dari 90 per menit
- Frekuensi nafas lebih dari 20 per menit
- Lekosit lebih dari 12,000 sel/mm3 atau kurang dari 4,000 sel/ mm3 atau lebih dari
10% bands
 Sepsis adalah SIRS yang disebabkan oleh infeksi
 Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau
hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran
 Sepsis dengan hipotensi adalah sepsis yang disertai dengan tekanan darah sistolik < 90
mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg dan tidak ditemukan
penyebab hipotensi lainnya.
 Renjatan septik adalah sepsis yang disertai dengan hipotensi meskipun telah diberikan
resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan
tekanan darah dan perfusi organ
Pemeriksaan laboratorium:
 hematologis:
- Darah lengkap: leukopeni atau leukositosis
- Faal hemostasis
 biokimia:
- Gula darah biasanya meningkat pada SIRS, menurn bila telah terjadi
disfungsi organ
- Amilase (meningkat pada pankreatitis, iskemia bowel)
- Fungsi ginjal
- Fungsi hati
- elektrolit
 Analisa Gas Darah: fungsi pernafasan dan keseimbangan asam basa
 Mikrobiologis:
- pengecatan gram: darah, sputum, urne atau spesimen lain dari
sumber infeksi lainnya.
- kultur dan uji kepekaan: darah, sputum, urine, atau spesimen la
sumber infeksi lainnya.
 Pemeriksaan laboratorium lain tergantung indikasi untuk mengetahui disfungsi organ
atau untuk menyingkirkan diagnosis banding

Radiologis: bila ada indikasi


 Foto polos dada
 USG
 CT Scan
PENATALAKSANAAN SEPSIS
1. penatalaksanaan penyakit yang mendasari:.
 Eliminasi sumber infeksi
Bila sumber infeksi penyebab sepsis telah diidentifikasi maka segera dilakukan tindakan
eleminasi.
 Terapi antimikroba
 antimikroba empirik diberikan sesuai dengan dugaan patogen penyebab, tempat
infeksi, profil farmakokinetik dan farmakodinamik, keadaan fungsi hati dan ginjal
penderita.
 antimikroba definitif diberikan sesuai dengan hasil kultur mikroorganisme dan uji
kepekaannya
2. penatalaksanaan untuk menjaga fungsi organ
Kegagalan fungsi organ adalah akibat oksigenasi yang tidak adekuat karena perfusi yang
buruk. Strategi menjaga fungsi organ meliputi strategi umum, dan strategi organ spesifik
(seperti ginjal dan saluran cerna)
2.1. Umum
Pendekatan terapi secara unum bertujuan memperbaiki penyediaan oksigen dan
nutrient ke seluruh jaringan.
Penyediaan oksigen
Penyediaan oksigen ke jaringan ( oxygen delivery) atau DO2 = cardiac output X Hb X
oxygen saturation. Masing-masing ketiga faktor tersebut harus dioptimalisasi untuk
menjaga penyediaan oksigen ke jaringan:
Cardiac output. Terapi utama untuk menjaga fungsi cadiovaskular adalah melakukan
koreksi hipovolumia dengan terapi cairan, inotropik dan vasopressor.
Kristaloid merupakan pilihan pada terapi awal untuk mengkoreksi hipovolumia karena
lebih murah dan mudah didapat. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor
kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respons terhadap
pemberian cairan terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan frekuensi
jantung, kecukupan isi nadi., produksi urin dan membaiknya tingkat kesadaran. Pada
sarana yang lebih lengkap atau di unit rawat intensif dapat dipantau dengan mengukur
tekanan vena sentral dan tekanan arteri pulmonalis. Perlu diperhatikan tanda kelebihan
cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular, ronki, galop S3 dan penurunan saturasi
oksigen.
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan secara adekuat, akan tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Terapi
vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan secara titrasi untuk mencapai
mean tekanan arteri (MAP) 60 mmHg, atau tekanan darah sistolik 90 mmHg.
Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis > 8 mikrogram (mcg)
/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, phenylepherine 0,5-8 mcg/kg/menit
atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Sebagai inotropik yang dapat digunakan
dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mcg/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5
mcg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone).
Penatalaksanaan anemia Transfusi eritrosit (pack red cell) diperlukan pada keadaan
perdarahan aktif, atau bilamana kadar hemoglobin (Hb) yang rendah pada kondisi
tertentu, misalnya iskemia miokard dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai
pada sepsis masih kontroversi antara 8 hingga 10 g/dl. Namun pertimbangan dalam
memberikan transfusi bukan berdasarkan kadar Hb semata, tetapi juga keadaan klinis
pasien, sarana yang tersedia, keuntungan dan kerugian pemberian transfusi.
Saturasi oksigen dan pertukaran udara Mayoritas pasien sepsis berat memerlukan
intubasi dan ventilasi dan sekitar 50 % mengalami gangguan pertukaran udara.
Nutrisi dan perubahan hormonal
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori. protein (asam amino), asam lemak, cairan,
vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara
enteral dan bila tidak memungkinkan baru diberikan secara parentral.
Sekresi insulin menurun pada keadaan stress akibat penyakit yang berat, sedangkan
hormon antagonis insulin meningkat sehingga terjadi hperglikemia. Pemberan insulin
dapat menjaga normoglikemia, namun dengan pemantauan yang adekuat.
2.2.Strategi organ-spesifik
Saluran cerna
Saluran cena berperan dalam terjadinya MODS, melalui mekanisme translokasi bakterial
melalui kerusakan integritas mukosa akibat hipoksia. Pemberian makanan enteral sedini
menugkin merupakan salah satu upaya mencegah hal tersebut
Hati
Pada fase akut sepsis (dalam waktu 24 – 48 jam) dapat terjadi kerusakan hati oleh
karena hipotensi yang ditandai oleh peningkatan enzim hati dalam sirkulasi. Dengan
resusitasi yang adekuat kersakan tersebut dapat membaik dan reversibel. Terjaganya
fungsi hati tergantung dari efektivitas resusitasi, kecepatan eleminasi fokus infeksi,
terapi antbiotika yang sesuai, dukungan nutrisi dan menghindari obat-obat yang
hepatotoksis. Kerusakan hati dapat menyebabkan ensefalopaty, coagulopaty dan
hypoglycemia.
Ginjal
Pada keadaan oliguria, pemberian cairan perlu dipantau secara ketat oleh karena
pemberian cairan secara agresif dapat menyebabkan edema paru. Bila terjadi oligouria
perlu dipikirkan:
 Penyebab obsruksi telah disingkirkan
 Resusitasi cairan sudah adekuat
 Apakah ada pemakaian obatobat yang bersifat nefrotoksis
Indikasi hemodialisis bila terjadi hiperkalemi berat dan refrakter, asidosis metabolik
yang berat, anuria atau uremia simtomatik.
3. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal . Hidrokortison
dengan dosis 50 mg bolus tntravena 4 kali sehari selama 7 hari pada pasien renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol.
4. Modifikasi respons inflamasi pada sepsis
Dengan berkembangnya pengetahuan mengenai patofisiologi sepsis, khususnya yang berkaitan
dengan respons imun dan proses inflamasi, berbagai sediaan dikembangkan untuk
memodifikasi respons imun pada sepsis. Berkembang sekelompok terapi yang potensial
menjadi terapi standar sepsis di masa mendatang. Berbagai sediaan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi: (1). Anti-endotoksin (imunoglobulin polikonal dan monoklonal, analog
lipopolisakarida), (2). Antimediator spesifik: anti-TNF, antikoagulan (antitrombin, APC, TFPI),
antagonis PAF, metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (N-
asetilsistein: selenium), inhibito sintesis NO (L-NMMA) (3). Imunostimulator (imunoglobulin,
IFN-y, G-CSF, imunonutrisi) dan (4). Non spesifik (kortikosteroid, pentoksifilin dan hemofiltrasi).

Monitoring
Kegagalan dari perbaikan atau perburukan klinis perlu diperhatikan apakah diagnosis
utama sudah benar, terdapat diagnosis baru, apakah terapi sudah benar atau apakah terjadi
komplikasi. Perlu dimonitor tanda-tanda perburukan seperti:
1. takikardia yang persisten atau memburuk
2. peningkatan suhu yang persisten
3. lekositosis, peningkatan C-reactive protein
4. hipotensi atau peningkatan kebutthan obat-obat vasopresor
5. oligouria atau anuria
6. penurunan tingkat kesadaran
7. perburukan fungsi respirasi
DAFTAR PUSTAKA

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Disentri Ameba


Soewondo ES, Amebiasis. In : Sudoyo,AW. Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. ( eds ). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam.Pusat Penerbitan Departemen. Jakarta, 2006 : 1810 – 14
Reed SL, Amebiasis and Infection with Free Living Amebas. In : Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser
SL, Longo DL, Jameson JL.( eds ). Harrison’s Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill, New York, 2005
: 1214-18
Petri WA.Jr., Singh U. Enteric Amoebiasis. In: Guerrant RL, Walker DH, Weller PF, editors. Tropical
Infectious Diseases: Principles, Pathogens & Practice. 2 nd ed. Philadelphia: Churchill Livingstone;
2006.p. 967-83
Horga MA. Amebiasis. eMedicine-Amebiasis 2004:p.1-14.
Tanyuksel M, Petri WA Jr. Laboratory Diagnosis of Amebiasis. Clinical Microbiology Reviews
2003;16:p.713-29.
Gonzales Ml, Dans LF, Martinez EG. Antiamoebic drugs for treating amoebic colitis. Cochrane Database
Syst Rev. 2009 Apr15;(2) CD006085
Swaminathan A, Torresi J, Schlagenhauf P, Thrusky K, Wilder-Smith A, Connor BA, et al. A global study of
pathogens and host risk factors associated with infectious gastrointestinal disease in returned
international tarvellers. J Infect. 2009 Jul;59(1):19-27
Demam Berdarah Dengue
Hadinegoro SRH. Satari HI. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap pelatihan bagi Dokter
Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam Tatalaksana Kasuis DBD. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2000.
Zulkarnain I, Tambunan KL, Nelwan RHH. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada
Dewasa di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam Naskah Lengkap Demam Berdarah
Dengue. Jakarta : Balai Pustaka FKUI; 2000.p. 150-66.
Mahendra IB, Biran SI, Merati TP. Studi Epidemiologis Demam Berdarah Dengue pada Orang
Dewasa di RS Sanglah Denpasar. Disampaikan pada Konas PETRI VIII Malang, 2002.
Mahendra IB, Merati TP, Biran SI. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Lama Rawat Inap
Penderita Infeksi Virus Dengue di Bagian Penyakit Dalam RS Sanglah Denpasar. Disampaikan
pada Konas PETRI IX Manado, 2003.
Manson-Bahr PEC. Dengue Fever in Manson’s Tropical Disease, Edisi 19. In : Bell DR, editor.
London : Bailliere Rindall; 1986. 1132-5.
WHO. Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit Buku EGC; 1998.
Biran SI. USG Abdomen pada Demam Berdarah Dengue. Disampaikan pada Konas PETRI V,
Ujungpandang, 2000.
Pramuljo HS, Peran Pencitraan pada Demam Berdarah Dengue, dalam Naskah Lengkap Demam
Berdarah Dengue. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2000.p. 63-72.
Tambunan KL. Koagulasi Intravaskular Diseminata. Dalam : Tambunan KL. Editor. Demam
Berdarah Dengue. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2000.p. 167-87.
Biran SI. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue, dalam Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan (PKB) XI Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RS
Sanglah Denpasar. 24-25 Oktober 2003; p.
Risnawan G, Biran SI, Merati TP. Pola Penyakit Demam Berdarah Dengue di RS Sanglah
Denpasar April 2001-Maret 2002. Disampaikan pada Konas PETRI VIII Malang, 2002.
Flu Burung (Avian Flu)
Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Flu Burung di Sarana Pelayanan
Kesehatan. Jakarta. 2006
Demam Tifoid
Richens J. Typhoid Fever. Cohen J, Powderly WG Eds. Infectious Diseases. Second ed. 1561-65
In Demam Tifoid. Panduan. In: Rani AA dkk editor. Pelayanan Medik : Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia, Juli 2006.
Naskah Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid : Bagi Dokter Umum dan Dokter Spesialis di
Rumah Sakit. Perhimpunan Penelitian Penyakit Tropik Infeksi Indonesia, 2006.
Erfandi dkk. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Bagi Tenaga Kesehatan. Direktorat Jenderal
P2MPL DepKes RI, 2003.
Djoko Widodo. Demam Tifoid. In: Sudoyo AW dkk,editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia,
Juni 2006.
Brusch JL. Typhoid Fever.htpp//www.emedicine,com, July,2006.
Prakash P, Mishra OP, Singh AK, Gulati AK, Nath G. Evaluation of Nested PCR in Diagnosis of
Typhoid Fever. J.Clin.Microbiology, Jan. 2005, p 431-2.
Manuaba IARW, Biran SI, Merati TP. Pola klinik demam tifoid di Laboratorium Penyakit Dalam
RSUP Sanglah Denpasar. Majalah Penyakit Dalam, Vol.2, No.2, Mei 2001,p.92-95.
Masyeni DAP, Biran SI, Merati TP.Komplikasi penderita demam tifoid dewasa di Laboratorium
Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar. Majalah Penyakit Dalam, Vol.2, No.2, Mei 2001,p.96-
98.
Acqiured Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
Tuti Parwati M. Acqiured Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Pedoman Diagnostis dan terapi
Penyakit Dalam RSUP sanglah Denpasar. Lab/SMF penyakit Dalam FK UNUD RSUP Sanglah
Denpasar. 1991. 231-248.
Tuti Parwati, Samsuridjal Djauzi. Respon imun infeksi HIV. Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit dalam FKUI. Jakarta. Juni 2006.p.274-279.
Dirjen P2M dan PL Depkes RI. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan ODHA
Nasrodin. HIV & AIDS. Pendekatan Bologi Molekuler, Klinis, dan Sosial. Airlangga University
Press.Surabaya. 2007.p.1-31
Keracunan Akut
Raka Putra T. Penanganan Keracunan Akut. Dalam Gawat Draurat dibidang Penyakit Dalam.
Editor Bakta IM, Suastika IK. Penerbit Buku Kedokteran EGC.1998; pp.195-9.
Raka Putra T. Keracunan Akut, Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Dalam Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar 1994.pp.249-59
Howard C, Mofenson and Thomas R, Caraccio. Initial Evaluation and Management of the
Poisone Patient. In: Handok of Medical Toxiclogy. Viccellio P, Ed. USA. 1 st edition; 1993.pp.47-
95
Pedoman penatalaksanaan Keracunan Untuk Rumah Sakit. Hasil kerja Tim: Sentra informasi
Keracunan (SI Ker) Ditjen POM DEPKES RI, Direktorat Pelayanan Medik Spesialistik Ditjen
Yanmedik, Sentra Pengobatan Keracunan (SPKer) RSUPN Ciptomangunkusumo,RSUD Dr.
Sutomo, RSUP Dr. Hasan Sadikin dan RSUP H Adam Malik;2001, pp187-193.
Intoksikasi Metanol
Jeffrey A. Krut, Ira Kurtz, 2008. In: Toxic Alcohol Ingestions: Clinical Festures, Diagnosis and
Management. Clin J Am Soc Nephrol 3 p 200-225
Metanol, Wikipedia Ensiklopedia bebas. Available from http://www.wikipedia.com
England AG, Landry DR, 2001. In Toxicity Alcohols. Emedicine Journal. Vol. 2. No. 5. Available
from http//www.emedicine.com/emerg/topic19.htm
Hildebrand Hanoch Victor, Yenny Kandarini, I Wayan Sudhana, I Gde Raka Widiana, Jodi S.
Loekman, Ketut Suwitra, 2010. Clinical Manifestations of Methanol Intoxication in Sanglah
General Hospital, Denpasar, Bali
Kalyani Korabathina,2009. In: Methanol. Emedicine medscapes Continually updated clinical
reference. Available from http://www.emedicine.com
Susan B Masters. Alkohol. In: Betram G Katzung in Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerjemah
dan Editor Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Buku 2 Edisi 8.
Penerbit Salemba Medika,2002.p.58-81
Likosky D, 2001. In : Rutchik JS, Talavera, Galves-Jimenes, N,et al. Editors. Methanol. Emedicine
Journal. Vol.2. No. 11. Available from http//www.emedicine.com
Ngoerah GNG. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. 1st ed . Surabaya. Airlangga University
Press.1991.p.360-362
Motoki Fujita et al, 2003. In : Methanol Intxication : Differential Diagnosis from Anion Gap-
increased Acidosis. Advanced Medical Emergency and Critical Care Center, Yamagucy University
Hospital, Internal Medicine Vol. 4 p. 750-754
Intoksikasi Opiat
Intoksikasi Opiat. In: Rani AA ed. Panduan Pelayanan Medik. Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia.Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Juli 2006.p151-2
Sukmana N. Intoksikasi Narkotika (opiat). In:Sudoyo AR dkk ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
edisi ke 4, jilid 1. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. p213-6
Stephens E. Toxicity, Narcotics. http//www.emedicine.com. January,2005
Linden CH, Muse DA. Opioids. In: Viccellio P, ed. Handbook of Medical Toxicology, 1st ed. Little,
Brown and Company. Boston/Toronto/London, 1993.569-577
Sigh AJ, Renzi FP. Drug Withdrawal Syndrome. In: Viccellio P, ed. Handbook of Medical
Toxicology, 1st ed. Little, Brown and Company. Boston/Toronto/London, 1993.p634-5.
Keracunan Organofosfat
Keracunan Organofosfat. Dalam Panduan Pelayanan Medik. Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Editor: Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi,
Mansjoer A. 2006, pp. 153
Keracunan organofosfat dan karbamat. Dalam Pedoman penatalaksanaan Keracunan Untuk
Rumah Sakit. Hasil kerja Tim: Sentra informasi Keracunan (SI Ker) Ditjen POM DEPKES RI,
Direktorat Pelayanan Medik Spesialistik Ditjen Yanmedik, Sentra Pengobatan Keracunan (SPKer)
RSUPN Ciptomangunkusumo,RSUD Dr. Sutomo, RSUP Dr. Hasan Sadikin dan RSUP H Adam
Malik;2001, pp187-193.
Raka Putra T. Penanganan Keracunan Akut. Dalam Gawat Draurat dibidang Penyakit Dalam.
Editor Bakta IM, Suastika IK. Penerbit Buku Kedokteran EGC.1998; pp.195-9.
Linden CH, Burns MJ. Poisoning and Drug Overdosage. In: Harrisons Principles of Internal
Medicine. Edited by Kasper DL, Braunwald G, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jamesson UL. Mc
Grau Hill Company Inc, New York-Toronto. 16 th edition; 2005, pp. 2580-93.
Ford M. Insecticides and Pesticides. In: Handok of Medical Toxiclogy. Viccellio P, Ed. USA. 1 st
edition; 1993.pp.303-314
Leptospirosis
Zein U. Leptospirosis. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Jakarta. 2006. hal. 1845-8.
Speelman P. Leptospirosis. In: Kasper DL., Braunwald E., Fauci AS., Hauser SL., Longo DL.,
Jameson JL. eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. Volume 1. Mc. Grow-Hill
companies. 2005. p.988-91.
Levett P.N., Leptospirosis. Clinical Microbiology Reviews. 2001; 14(2):296-326.
Haake D.A. Spirochaetal lipoproteins and pathogenesis. Microbiology. 2000; 146: 1491-1504.
Evans T. Infectious disease and acute renal failure. In: Glynne P., Allen A., Pusey C. eds. Acute
Renal Failure in Practice. Imperial College Press. 2002. p.401-14.
Sharma J, Suryavanshi M. Thrombocytopenua in Leptospirosis and Role of Platelet Transfusion.
Asian J Transfu Scl 2007; 1:52-5
7.Chierakul W, Tientadakul P, Suputtamongkol Y, Wuthiekanun V, Phimda K, Limpaiboon R, at
al. Activation of the Coagulation Cascade I Patients with Leptospirosis. CID 2008;46: 254-60.
Im J.G., Yeon K.M., Han M.C., Kim C.W., Webb W.R., Lee J.S. Leptospirosis of the lung:
radiographic findings in 58 patients. AJR. 1989; 152:955-9.
Daher E., Zanetta D.M.T., Cavalcante M.B., Abdulkader R.C.R.M. Risk factors for death and
changing patterns in leptospirosis acute renal failure. Am.J.Trop.Med.Hyg. 1999; 61(4): 630-4.
Edwards CN. Leptospirosis. In: Cohen J., Powderly W.G., Berkley S.F., Holland S.M., Opal S.M.,
Callandra T. Infectious disease. Mosby. London. 2004. p. 1669-70.
Dupont H, Dupont-Perdrizet D, Perie JL, Zehner-Hansen S, Jarrige B, Daijardin JB. Leptospirosis:
prognostic factors associated with mortality. Clin Infect Dis. 1997. 25(3):720-4.
Mangatas SM,Biran SI, Merati TP. Profil Penderita Leptospirosis yang di Rawat Inap di RSUP
Sanglah Denpasar.
Malaria
Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia, Departemen Kesehatan RI tahun 2005.
Merati TP, Malaria. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar 1994. hal 210-14
Harijanto PN, Tatalaksana Malaria Berat. Dalam : Malaria dari Molekuler ke Klinis. Edisi ke-2,
Penerbitan Buku Kedokteran EGC, 2010, hal 250-277.
White NJ, Breman JG. Malaria and Babesiosis : Disease Caused by Red Blood Cell Parasites, In :
Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th ed, Kasper DL, Braunwald E. eds, McGraw-Hill,
New York, 2005,p.1218-1232.
Manangsang B, Biran SI. Kasus-kasus Penyakit Malaria di Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Sanglah Denpasar: Apakah merupakan kasus impor ? 2003
Pasvol G. Malaria. In: Infectious Disease, 2 nd ed, Cohen J, Powderly WG, eds. Mosby, New
York, 2004.p. 1579-91
Sepsis
Chen K, Widodo D. Patofisiologi Sepsis : Peran Mediator Inflamasi.
Bakta M.. Perubahan Biomolekuler pada Sepsis/SIRS. Naskah lengkap PIT I Perhimpunan
Patobiologi , 2002. P 209
Pohan HT, Chen K. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sepsis.
Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N Eng J Med 2003 ; 348:
138-149
Aird WC. The Role of The Endothelium in Severe Sepsis and Multiple Organ Dysfunction
Syndrome.Blood 2003 ; 101 : 3765 – 771
Russel JA. Management of Sepsis. N Eng J Med 2006 ; 355 : 1699 -1708
KARDIOLOGI
Tim Penyusun:
1. Prof.Dr.dr.I Wayan Wita, SpJP(K), FIHA, FAsCC
2. dr. I Ketut Rina, SpPD, SpJP(K), FIHA, FAsCC, FICA
3. dr. IGN. Putra Gunadhi, SpJP(K), FIHA, FAsCC
4. dr. I Ketut Badjra Nadha, SpJP(K), FIHA
5. dr. Bagus Ari Pradnyana D.S.,SpJP, FIHA
Diagnosis Dan Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Tanpa ST Elevasi
(UAP/NSTEMI)

Definisi
Sindroma koroner akut merupakan sindroma koroner yang tidak disertai dengan elevasi
segmen ST yang persisten.

Epidemiologi
Mortalitas inhospital STEMI vs UAP/NSTEMI adalah 7% vs 5%.

Patofisiologi
Mekanisme utama adalah proses trombosis akut akibat rupturnya plak aterosklerosis,
sehingga terjadi sumbatan koroner mendadak. Penyebab lain dapat berupa arteritis, trauma,
diseksi, thromboemboli, kongenital, kokain serta komplikasi kateterisasi jantung.

Diagnosis
Presentasi klinis:
a. Angina saat istirahat > 20menit.
b. Angina pertama kali dan timbul saat aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari
(de novo, CCS kelas II atau III)
c. Peningkatan intensitas, frekuensi dan durasi angina (kresendo angina)
d. Angina pasca infark.
Presentasi dapat atipikal terutama usia muda (25-40th) dan usia tua (>75th), diabetes dan
wanita.
Alat bantu diagnosis:
a. Pemeriksaan fisik: umumnya normal
b. Elektrokardiogram: depresi segmen ST > 0.5mm pada 2 atau lebih lead yang
berhubungan atau inversi dalam dan simetris gelombang T atau elevasi segmen ST
transien (jika elevasi segmen ST terjadi > 20 menit maka masuk dalam STEMI)
c. Petanda biokimia: Pemeriksaan Troponin T/I merupakan petanda biokimia yang
direkomendasikan.
d. Ekokardiografi
e. Cardiac imaging

Stratifikasi risiko
Penentuan risiko berdasarkan TIMI skor:
- Pengunaan aspirin dalam 7 hari terakhir
- Usia >65 tahun
- Memiliki 3 faktor risiko penyakit jantung koroner
- Menderita PJK atau ditemui stenosis koroner > 60%.
- Lebih dari dua kali episode angina dalam 24 jam terakhir
- Peningkatan enzim jantung (CKMB atau troponin)
- Deviasi ST segmen
Skor 0-2 : risiko rendah
Skor 3-4 : risiko sedang
Skor 5-7 : risiko tinggi

Pengobatan
Tatalaksana awal dilakukan dalam waktu 10 menit:
 Memeriksa tanda vital
 Akses intravena
 Rekaman EKG dan analisis EKG
 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
 Ambilan sediaan enzim jantung, elektrolit seta pemeriksaan faktor koagulasi
 Foto rontgen thorax (<30menit)
Enzim jantung diulang tiap 6-12 jam.
Tatalaksana awal SKA tanpa ST elevasi di unit emergensi:
 Oksigen 4 L/menit (saturasi dipertahankan > 90%)
 Aspirin 160mg – 325 mg dikunyah
 Nitrat sublingual 5 mg (dapat diulang 3 kali) lalu drip intravena
 Morfin IV (2.5 – 5mg) bila nyeri menetap

Penderita dengan skor TIMI tinggi/sedang:


 Anti iskemik: Beta-bloker, nitrat, penyekat kanal kalsium.
 Antiplatelet oral: aspirin, clopidogrel
 Antiplatelet intravena: penghambat reseptort Gp IIb/IIIa
 Antikoagulan/antithrombin: Heparin(UFH/LMWH)
 Revaskularisasi koroner: angiografi koroner dini (<72 jam) diikuti revaskularisasi (PCI
atau CABG), angiografi koroner urgensi direkomendasikan pada pasien angina dengan
angina refrakter atau berulang yang disertai perubahan segmen ST, gagal jantung,
aritmia yang mengancam hidup dan hemodinamik tidak stabil.
 Terapi tambahan: ACE inhibitor/penghambat reseptor angiotensin dan statin

Risiko rendah diberi terapi:


 Aspirin
 B-bloker
 Pertimbangan untuk treadmill, ekokardiografi.

Tatalaksana jangka panjang:


 Perbaikan gaya hidup: berhenti merokok, aktivitas fisik teratur, dan diet.
 Penurunan berat badan
 Kontrol tekanan darah
 Terapi diabetes
 Intervensi profil lipid: statin direkomendasikan pada semua penderita SKA tidak
bergantung pada kadar kolesterol, mulai diberikan pada hari 1-4, sejak masuk.
 Antiplatelet, B-bloker harus diberi pada semua pasien.
 ACEI diindikasikan pada pasien dengan LVEF ≤ 40%, diabetes, hipertensi, penyakit
jantung kronis. Pada penderita intoleran ACEI dapat diberikan penghambat reseptor
angiotensin.
 Informasi mengenai waktu dan level aktivitas yang direkomendasikan, termasuk
rekreasi, aktivitas seksual, pekerjaan.
Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Dengan Elevasi SEGMEN ST

Definisi
Oklusi koroner akut dengan iskemik miokard berkepanjangan yang pada akhirnya akan
menyebabkan kematian miosit kardiak. Terbanyak karena sumbatan pada arteri koronaria
mayor.
Kerusakan miokard yang terjadi tergantung pada :
1. Letak dan lamanya sumbatan aliran darah
2. Ada atau tidaknya kolateral
3. Luas wilayah miokard yang diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat

Patogenesis
Adanya penurunan mendadak aliran darah koroner akibat aterosklerosis yang tumpang tindih
dengan thrombosis, dengan atau tanpa disertai proses vasokonstriksi. Presentasi klinis dan hasil
akhir tergantung lokasi obstruksi, severitas dan lamanya iskemik miokard.

Tujuan Penanganan
1. Penanganan kegawatdaruratan diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara cepat
dan penilaian awal stratifikasi resiko, menghilangkan/mengurangi nyeri dan pencegahan
atau penanganan henti jantung
2. Penanganan dini untuk membuat keputusan segera terapi reperfusi untuk membatasi
proses infark serta mencegah perluasan infark dan menangani komplikasi segera seperti
gagal jantung, syok dan aritmia yang mengancam jiwa.
3. Penanganan selanjutnya untuk menangani komplikasi lain yang timbul kemudian
4. Evaluasi dan penilaian resiko untuk mencegah terjadinya progresif penyakit arteri
koroner, infark baru, gagal jantung dan kematian
Penanganan Kegawatdaruratan
Diagnosis Dini
 Riwayat nyeri dada/perasaan tidak nyaman
 Elevasi segmen ST ≥ 1 mm pada dua sadapan prekordial atau ekstremitas yang
berhubungan, LBBB yang dianggap baru
 Peningkatan enzim jantung (CKMB,troponin). Hasil tidak perlu ditunggu untuk memulai
terapi reperfusi.
 Ekokardiografi 2D dan perfusion scintigraphy dapat membantu menentukan adanya
infark miokard akut.

Tatalaksana awal
 Oksigen 4L/menit (saturasi O2 dipertahankan > 90 %)
 Aspirin 150 - 300 mg dilanjutkan dengan 75 – 100 mg sekali sehari
 Nitrat diberikan 5 mg SL (dapat diulang 3 x) lalau di drip bila masih nyeri
 Morfin IV bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat

Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (tidak boleh menunda reperfusi)
 Anti iskemik : nitrat, B-bloker, Ca antagonis
 Anti platelet oral : aspirin, Clopidogrel (diberikan dosis 300 mg loading dose dilanjutkan
75 mg sekali sehari)
 Anti koagulan/anti thrombin : heparin (UFH/LMWH)
Terapi tambahan : ACE inhibitor/ARB, statin

Terapi fibrinolitik
Dianjurkan pada :
 Presentasi ≤ 3 jam
 Tindakan invasive tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat
- Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon > 90 menit
- (waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon) dikurangi (waktu antara
pasien tiba sampai dengan proses fibrinolitik) > 1 jam
 Tidak ada kontraindikasi fibrinolik

Kontraindikasi Fibrinolitik
A. Kontraindikasi absolute
- Riwayat perdarahan intracranial kapanpun
- Lesi structural cerebrovaskular (contoh: AVM)
- Tumor intracranial (primer maupun metastasis)
- Stroke iskemik dalam 3 bulan terakhir
- Dicurigai adanya suatu diseksi aorta
- Adanya trauma pembedahan/trauma kepala dalam waktu 3 bulan terakhir
- Adanya perdarahan aktif (tidak termasuk menstruasi)
- Diseksi aorta
B. Kontraindikasi relative
- Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol
- Hipertensi berat yang tidak terkontrol saat presentasi (TD sistolik > 180 mmHg atau
TD diastolic > 110 mmHg
- Riwayat stroke iskemik > 3 bulan demensia atau kelainan intracranial selain yang
disebutkan pada kontraindikasi absolute
- Resusitasi jantung paru traumatik atau lama > 10 menit atau operasi besar < 3
minggu
- Perdarahan internal dalam 2-4 minggu terakhir
- Terapi antikoagulan oral
- Kehamilan
- Non-compressible punctures
- Ulkus peptikum aktif
- Khusus untuk streptokinase/anistreplase : riwayat pemaparan sebelumnya (>5hari)
atau riwayat alergi terhadap zat-zat tersebut.
Tabel 1. Regimen Fibrinolitik
Terapi awal Antitrombin Kontraindikasi
Co-terapi Spesifik
Streptokinase (SK) 1,5 juta unit/100 ml D5% Dengan atau Riwayat SK atau
atau NaCl 0,9 % selama tanpa heparin IV anistreplase
30-60 menit selama 24-48 jam
Alteplase (tPA) 15 mg IV bolus 0,75 Heparin IV
mg/kgBB selama 30 menit selama 24-48 jam
kemudian 0,5 mg/kgBB
selama 60 menit IV dosis
total tidak melebihi 100
mg

Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi : bolus IV 60 µ/kgBB maksimum 4000µ


Dosis maintenance per drip 12 µ/kgBB selama 24-48 jam dengan maksimum 1000 µ/jam
dengan target aPTT 50-70 s
Monitoring aPTT 3,6,12,24 jam setelah terapi dimulai
LMWH dapat digunakan sebagai alternative UFH pada pasien-pasien usia <75 tahun dengan
fungsi ginjal baik (kreatinin < 2,5 mg/dl pada laki-laki atau 2,0 <mg/dl pada wanita)

Percutaneous Coronary Intervention (PCI)


PCI primer adalah intervensi koroner perkutan pembuluh darah koroner yang bermasalah
dalam 12 jam pertama setelah onset nyeri dada atau gejala lain, tanpa riwayat fibrinolitik atau
terapi antitrombosis sebelumnya. Hal paling mengesankan dari terapi IKP primer bila
dibandingkan dengan fibrinolitik adalah penurunan angka iskemia berulang yang signifikan baik
jangka pendek maupun jangka panjang dari 21 % dengan terapi fibrinolitik menjadi 6% pada IKP
primer.
Pasien-pasien dengan onset nyeri dada < 12 jam yang memiliki kontraindikasi untuk dilakukan
fibrinolitik sebaiknya segera dikirim ke tempat yang memiliki fasilitas PCI primer. Fibrinolitik
menjadi pilihan alternatif pasien dengan onset nyeri dada < 3 jam. Oleh karena itu kedua
strategi reperfusi tersebut tampaknya sama efektifnya dalam menurunkan luas infark dan
mortalitas jika dikerjakan dalam 3 jam pertama sejak onset nyeri dada. Alasan utama mengapa
PCI lebih dipilih dibanding terapi fibrinolitik adalah untuk mencegah stroke.
PCI primer lebih superior dibanding fibrinolitik dalam hal menyelamatkan miokard pada pasien
dengan onset 3-12 jam setelah nyeri dada. Berdasarkan penelitian didapat bahwa angka
kejadian kardiovaskular pada terapi fibrinolitik akan semakin tinggi sesuai dengan makin
lamanya presentasi gejala, sedang angka kejadian kardiovaskular pada PCI relatif lebih stabil.
PCI primer direkomendasikan pada keadaan:
 Presentasi > 3 jam
 Tersedia fasilitas PCI
 Waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon < 90 menit
 Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi dikurangi waktu antara pasien
tiba sampai dengan proses fibrinolitik < 1 jam
 Terdapat kontraindikasi fibrinolitik
 Resiko tinggi (gagal jantung kongestif, killip 3)
 Diagnosis infark miokard dengan elevasi ST masih diragukan
PCI rescue adalah PCI pada arteri koroner yang tetap mengalami oklusi walau telah dilakukan
terapi fibrinolitik. Kegagalan fibrinolitik biasanya dicurigai apabila 45-60 menit setelah terapi
fibrinolitik pasien mengeluh nyeri dada dan elevasi segmen ST tidak mengalami resolusi
PCI resque dilakukan bila terdapat kegagalan fibrinolitik pada pasien infark luas disertai:
 Hemodinamik tidak stabil atau dengan aritmia
 Keluhan iskemik berkepanjangan
 Syok kardiogenik
o Pada pasien dengan kegagalan reperfusi atau terjadi reoklusi dimana
resque pci tidak dapat dilakukan segera, reperfusi secara medikamentosa
harus dipertimbangkan dengan fibrinolitik ulang atau pemberian tirofiban
o Pemilihan stent pada pCI primer atau resque pci : baremetal stent
PCI terfasilitasi adalah intervensi yang direncanakan dalam 12 jam setelah onset nyeri dada
atau gejala lainnya dan dilakukan segera setelah pemberian obat antitrombotik, sebagai
jembatan terhadap PCI primer yang tertunda.
PCI emergensi bisa menjadi penyelamat jiwa pada keadaaan syok kardiogenik. PCI emergency
sebaiknya dipertimbangkan dilakukan pada stadium dini. Bila karena suatu keadaan terdapat
keterlambatan baik PCI maupun bedah maka harus diberikan terapi fibrinolitik.

Gambar 1. Rekomendasi PCI pada pasien STEMI

3. Bedah Pintas Koroner ( BPK )


Indikasi :
 Kegagalan PCI dimana terjadi oklusi mendadak arteri koroner selama proses kateterisasi
 PCI tidak memungkinkan
 Pada pasien syok kardiogenik, pasien dengan komplikasi VSD/MR
 Pasien dengan iskemia berkepanjangan atau berulang setelah optimalisasi terapi
medikamentosa dengan anatomi yang sesuai untuk tindakan bedah.
Jika keadaan umum pasien stabil, tindakan BPK elektif setelah 2 minggu, jika tidak stabil pasang
IABP
 Stabil 5 hari  on pump BPK
 Tidak stabil  semi cito BPK ( semua graft vena)

Pencegahan Sekunder pasien Iskemi Miokard


a) Merokok
Target : berhenti total
b) Kontrol tekanan darah
Target :< 140/90 mmhg atau < 130/80 mmhg ( penderita DM atau gagal ginjal kronik)
c) Manajemen lipid
Target LDL < 100 mg/dl, trigliserida < 150 mg/dl, HDL > 40 mg/dl
d) Aktifitas fisik
Target minimal : 30 menit/hari 3-4x/mg
e) Manajemen berat badan
Target : IMT 18,5-24,9 kg/m2
Lingkar pinggang < 35 inci (wanita) dan < 40 inci (laki-laki)
f) Manajemen diabetes
Target HbA1c < 7%
g) Antiplatelet/ antikoagulan
 Aspirin 75-162 mg seumur hidup
 Clopidogrel 75 mg/hr selama 9-12 bulan terutama setelah pemasangan drug
eluting stent, serta sebagai alternatif bila terdapat kontraindikasi aspirin.
 Warfarin (INR 2,5-3,5) bila terdapat indikasi atau kontraindikasi terhadap aspirin
dan clopidogrel
h) Penghambat sistem RAA
 Ace inhibitor diberikan seumur hidup pada pasien dengan infark anterior,
riwayat infark sebelumnya, Killip ≥ 2, EF < 40 %
 ARB : pasien dengan tanda-tanda gagal jantung yang intoleran dengan ACE
inhibitor
 Penghambat aldosteron : pasien-pasien tanpa gangguan fungsi ginjal yang
signifikan dan hiperkalemi yang sudah mendapat ACE inhibitor dengan dosis
optimal, EF < 40 % dengan DM atau gagal jantung
i) Beta bloker
Diberikan pada semua pasien seumur hidup bila tidak terdapat kontraindikasi
Pada pasien dengan gagal jantung : carvedilol, metoprolol dan bisoprolol
j) Nitrat
Nitrat kerja pendek diberikan pada tiap pasien untuk digunakan bila nyeri dada.

Obat-obat anti iskemi yang diberikan selama perawatan di rumah sakit hendaknya tetap
diberikan setelah pasien dipulangkan pada pasien-pasien :
 Tanpa tindakan revaskularisasi koroner
 Dengan tindakan revaskularisasi koroner yang tidak berhasil
 Dengan keluhan yang berulang meskipun telah menjalani tindakan revaskularisasi.
Gambar 2 Stratifikasi risiko STEMI sebelum dipulangkan
Gagal Jantung Akut

Definisi
Suatu sindroma klinis dimana timbulnya tanda dan gejala yang berlangsung cepat dan singkat
(dalam jam atau hari) akibat disfungsi jantung yang memerlukan penanganan segera.
Gagal jantung akut dapat terjadi sebagai onset baru pada penderita tanpa disfungsi jantung
sebelumnya (disebut sebagai acute de novo) atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronik
yang sudah diketahui sebelumnya, yang dikategorikan sebagai gagal jantung akut
dekompensata.
Pasien gagal jantung akut dapat mempunyai presentasi klinis sebagai berikut:
1. Gagal jantung akut dekompensata (dekompensasi gagal jantung kronik): umumnya
terdapat riwayat perburukan progresif dari gagal jantung kronik, dan adanya tanda
kongesti sistemik dan paru.
2. Edema paru: terdapat tanda distress pernapasan yang berat, takipneu, ortopneu dengan
ronki halus (rales) di seluruh lapangan paru. Saturasi oksigen arteri <90% pada udara
kamar sebelum diberikan terapi oksigen.
3. Gagal jantung hipertensif: terdapat tanda dan gejala gagal jantung terkait dengan
tekanan darah tinggi dan umumnya fungsi ventrikel kiri yang masih baik. Terdapat tanda
peningkatan sistem simpatetis dengan takikardia dan vasokonstriksi. Dapat euvolemik
atau hipervolemik ringan, dan terdapat tanda kongesti paru tanpa tanda kongesti
sistemik.
4. Syok kardiogenik: keadaan dimana ada tanda hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung
setelah koreksi preload dan aritmia. Umumnya syok kardiogenik dikarakterisasi dengan
adanya penurunan tekanan darah (TD sistolik <90 mmHg atau turunnya tekanan arteri
rerata (mean arterial pressure) >30 mmHg dan penurunan diuresis (<0.5 mL/kg/jam).
5. Gagal jantung kanan terisolasi: ditandai dengan adanya sindrom output rendah tanpa
kongesti paru dengan adanya peningkatan tekanan vena juguler, dengan atau tanpa
hepatomegali, dan tekanan pengisian ventrikel kiri yang rendah.
6. Sindroma koroner akut dan gagal jantung: sekitar 15% dari pasien-pasien dengan
sindroma koroner akut terdapat keluhan dan tanda-tanda gagal jantung.

Penyebab Dan Faktor Pencetus:


A. Penyakti jantung iskemia
- Sindrom koroner akut
- Komplikasi mekanik infark miokard
- Infark ventrikel kanan
B. Valvular
- Stenosis katup jantung
- Regurgitasi katup jantung
- Endokarditis
- Diseksi aorta
C. Miopati
- Kardiomiopati postpartum
- Miokarditis akut
D. Hipertensi
E. Aritmia akut
F. Gangguan sirkulasi
- Septic
- Tirotoksikosis
- Anemia
- Shunts
- Tamponade
- Emboli paru
G. Dekompensasi dari gagal jantung kronik
- Rendahnya kepatuhan minum obat
- Cairan berlebihan
- Infeksi, terutama pneumonia
- Kerusakan cerebrovaskular
- Bedah mayor
- Penurunan fungsi ginjal
- Asma, PPOK
- Penyalahgunaan obat-obatan
- Penyalahgunaan alkohol

Patofisiologi
Terdapat tiga fase terjadinya gagal jantung akut, yaitu:
1. Fase inisiasi: kombinasi kegagalan pengisian yang berdampak pada peningkatan tekanan
pengisian ventrikel kiri yang kemudian berlanjut menjadi kongesti pulmoner; dan
kegagalan ejeksi yang berdampak pada hipoperfusi ke jaringan perifer.
2. Fase amplifikasi: terjadi nekrosis miokard dan kegagalan ventrikel kiri yang progresif,
gagal ventrikel kanan, gagal napas, transudasi alveolar dan penurunan kemampuan
alveolar clearance, gagal ginjal, dan aritmia.
3. Fase vicious cycle: perburukan terjadi pada keadaan kardiovaskular dengan curah
jantung yang rendah, turunnya oksigenasi, aktivasi neurohormon dan modulator
inflamasi, peningkatan SVR, penurunan perfusi perifer, iskemik miokard, gagal napas,
dan berakibat pada kematian bila tidak segera diobati.

Gejala Klinis
Gagal jantung akut ditandai oleh beberapa tanda dan gejala klinis hipoperfusi dan/atau
kongesti sebagai berikut:
Petanda klinis hipoperfusi Petanda klinis kongesti
1. Nadi kecil 1. Ronkhi
2. Kulit yang dingin dan lembab 2. Foto toraks abnormal
3. Sianosis perifer 3. Penurunan indeks vena-kongesti
4. Hipotensi kardiak (≤2.2 L/min/m2)
5. Takikardi 4. Peningkatan tekanan kapiler paru (≥ 18
6. Bingung mmHg)
7. Oliguri
Gagal jantung akut dikelompokkan menjadi 4 kategori profil hemodinamik (dapat menentukan
prognosis) sebagai acuan untuk strategi tatalaksana lebih lanjut secara cepat, yaitu:
- Kelas A: hangat dan kering (perfusi perifer normal, tanpa kongesti pulmoner)
- Kelas B: hangat dan basah (perfusi jaringan normal, dengan kongesti pulmoner)
- Kelas L: dingin dan kering (hipoperfusi perifer, tanpa kongesti pulmoner)
- Kelas C: dingin dan basah (hipoperfusi perifer, dengan kongesti pulmoner)

Diagnosis
Diagnosis gagal jantung akut berdasarkan tanda dan gejala klinis. Pemeriksaan penunjang
seperti EKG, foto toraks, biomarker BNP/NT-Pro BNP, dan ekokardiografi dapat membantu
dalam menegakkan diagnosis gagal jantung akut.

Pemeriksaan Penunjang
1. Elekrokardiogram
o Gambaran EKG umumnya abnormal
o Pemeriksaan EKG digunakan untuk mengetahui irama jantung, etiologi gagal
jantung akut, dan pembesaran ruang jantung
o Aritmia harus dinilai dengan EKG 12 sadapan kemudian dipasang EKG monitor
kontinu
2. Foto toraks dan pencitraan lain
o Dilakukan segera untuk evaluasi kelainan jantung (bentuk dan ukuran), derajat
kongesti paru
o Bila terdapat kecurigaan diseksi aorta dan emboli paru perlu pemeriksaan lain
berupa ekokardiografi transesofageal, MRI, dan CT Scan.
3. Laboratorium
o Dikerjakan sesuai indikasi
o Analisa gas darah arteri harus diperiksa pada semua pasien gagal jantung akut
berat
o Pemeriksaan BNP/NT pro BNP dikerjakan untuk membedakan sesak napas
proses kardiak atau non kardiak. NT pro BNP < 300 pg/ml atau BNP < 100 pg/ml
menunjukkan sesak napas bukan karena gagal jantung.
4. Ekokardiografi
o Perlu untuk menilai fungsi dan struktur jantung antara lain: fungsi ventrikel kiri
dan kanan, keadaan katup, perikard, komplikasi mekanik infark miokard dan
massa di jantung (jarang), tekanan arteri pulmonal, serta curah jantung.

Penatalaksanaan

Algoritme tatalaksana segera gagal jantung akut:

Gagal Jantung Akut

Resusitasi segera

Distres atau nyeri Ya Analgesi/Sedasi

Terapi Medikamentosa
Kongesti Ya Diuretik, Vasodilator
Pulmoner

Saturasi Oksigen Naikkan FiO2


Ya Pertimbangkan CPAP,
Arterial <95%
NIPPV, ventilasi mekanik

Denyut & Irama Pacing, antiaritmia,


Tidak elektroversi
Jantung Normal
1. Oksigen: diberikan sesegera mungkin pada pasien hipoksemia untuk mencapai saturasi
oksigen arterial ≥ 95% (>90% pada pasien PPOK). (class I, level C)
2. Morfin: bila gelisah atau nyeri dapat diberikan bolus i.v. 2.5-5 mg, dapat diulangi bila
diperlukan.
3. Diuretik: Furosemide 20-40 mg oral atau i.v. (retensi cairan sedang), Furosemide i.v. 40-
100 mg atau Furosemide infusion 5-40 mg/jam (retensi cairan berat). (class I, level B)
4. Vasodilator: Isosorbide dinitrate mulai 1 mg/jam, dapat ditingkatkan hingga 10 mg/jam
(indikasi: kongesti/edema pulmoner, tekanan darah >90 mmHg). (class I, level B)
5. Inotropik: indikasi: diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik rendah atau
cardiac index yang rendah dengan adanya tanda hipoperfusi atau kongesti. Dobutamin
2-20 µg/kg/min (class IIa, level B), Dopamine <3µg/kg/min: efek renal, 3-
5µg/kg/min:inotropik, >5µg/kg/min:inotropik dan vasopressor.(class IIb, level C)
6. Vasopressor: hanya diindikasikan pada syok kardiogenik jika kombinasi inotropik dan tes
cairan gagal mengembalikan tekanan darah sistolik>90 mmHg dengan adanya perfusi
organ yang tidak adekuat. Dosis Norepinephrine: 0.2-1.0 µg/kg/min. (class IIb, level C)
7. ACE-I/ARB: pengobatan dengan ACE-I/ARB dimulai sebelum pasien keluar dari rumah
sakit. (class I, level A)
8. Beta Blocker: diberikan pada pasien yang sudah stabil dengan ACE-I/ARB. (class IIa, level
B)
Gagal Jantung Kronik

Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang kompleks, yang disebabkan oleh kelainan
struktur ataupun fungsi jantung, yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk terisi ataupun
mengeluarkan darah. Penderita gagal jantung harus memiliki hal-hal berikut, yaitu keluhan
gagal jantung, seperti sesak napas saat beraktivitas/istirahat atau mudah lelah; tanda retensi
cairan, seperti kongesti pulmonum atau bengkak pada kaki; serta bukti obyektif adanya
kelainan jantung struktural ataupun fungsional saat istirahat. Terminologi gagal jantung kronik
digunakan untuk menerangkan gagal jantung yang persisten atau dalam kondisi stabil (tidak
terjadi perburukan).

Etiologi
Tabel 1. Etiologi Tersering Gagal Jantung
Coronary Heart Disease Banyak manifestasi
Hypertension Sering berhubungan dengan hipertrofi
ventrikel kiri dan preserved ejection fraction
Cardiomyopati Familial/genetic atau non-familial/non-
genetik (termasuk yang didapat seperti
myocarditis)
Obat-obatan B-blockers, calcium antagonist, antiaritmia,
agen sitotoksik
Toksin Alcohol, kokain, trace elements (mercury,
cobalt, arsenic)
Endokrin Diabetes mellitus, hypo/hypertiroidism,
Cushing syndrome, insufisiensi adrenal,
growth hormone yang berlebihan,
phaeochromocytoma
Nutrisional Defisiensi tiamin, selenium, carnitine
Infiltratif Sarcoidosis, amyloidosis, haemochromatosis,
penyakit jaringan ikat
Penyakit lain Chagas disease, HIV, peripartum
cardiomiopati, penyakit ginjal stadium akhir
DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis
Manifestasi kardinal dari gagal jantung adalah sesak napas (dyspnea) dan mudah lelah (fatigue),
yang dapat membatasi toleransi untuk beraktivitas; serta retensi cairan yang berujung pada
kongesti pulmonum dan edema perifer.
Tabel 2. Gejala Klinis Gagal Jantung
MAJOR SYMPTOMS MINOR SYMPTOMS
Dyspnea Weight loss
Orthopnea Cough
Paroxysmal nocturnal dyspnea Nocturia
Ankle edema Palpitations
Pulmonary edema Peripheral cyanosis
Fatigue Depression
Exercise intolerance
Cachexia

Tabel 3. Temuan Pemeriksaan Fisik Gagal Jantung


MAJOR PHYSICAL FINDINGS MINOR PHYSICAL FINDINGS
Tachycardia Mitral regurgitation
Elevated venous pressure Cardiomegaly
Positive hepatojugular reflux Splenomegaly
Pulmonary rales Hypotension
Tachypnea Pulsus alternans
Third heart sound Extrasystoles
Hepatomegaly Atrial Fibrillation
Ankle edema Weight loss
Ascites
Pleural effusion

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan adalah elektrokardiografi (EKG), foto rontgen
dada, dan pemeriksaan laboratorium (complete blood count, serum electrolytes, serum
creatinine, estimated GFR, glucose, liver function tests, urinalysis). Pemeriksaan laboratorium
BNP atau NT-proNBNP dianjurkan untuk membantu menegakkan diagnosis gagal jantung.
Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi harus dilakukan untuk mengkonfirmasi pasien dengan kecurigaan
gagal jantung. Pengukuran yang sering digunakan untuk menilai fungsi ventrikel adalah LVEF
(Left Ventricle Ejection Fraction) yang normalnya > 45-50%.

Gambar 1. Algoritma Penegakan Diagnosis Gagal Jantung Kronik


PENATALAKSANAAN

Symptomatic Heart Failure + Reduced Ejection Fraction

Diuretic + ACE-I (or ARB)


Titrate to clinical stability

Β-blocker

Persisting signs and symptoms?


Yes No

ADD aldosterone antagonist OR ARB

Persisting symptoms?

Yes No
LVEF < 35%?

QRS > 120 ms?

Yes No Yes No

Consider: CRT-P or Consider: digoxin, Consider ICD No further


CRT-D hydralazine/nitrat treatment
e, LVAD, indicated
transplantation

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Pasien Gagal Jantung dengan Penurunan Fraksi Ejeksi
(LVEF)
ACE Inhibitor
ACE inhibitor harus diberikan pada semua pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi menurun
(LVEF ≤ 40%) kecuali terdapat kontraindikasi atau tidak dapat ditoleransi. Bila terdapat
kontraindikasi atau tidak dapat ditoleransi (oleh karena batuk yang mengganggu) dapat diganti
dengan ARB. Pemberian ACE inhibitor dititrasi dengan meningkatkan dosis setiap 2-4 minggu.
Fungsi ginjal dan kadar elektrolit harus dimonitor selama pemberian dan peningkatan dosis ACE
inhibitor.
Beta Blockers
Beta blockers diberikan pada semua pasien gagal jantung simptomatik dengan LVEF ≤40%
kecuali terdapat kontraindikasi atau tidak dapat ditoleransi. Pasien gagal jantung NYHA kelas II-
IV atau dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimptomatik setelah infark miokard diindikasikan
untuk mendapat beta blockers. Pemberian beta blockers harus saat kondisi pasien stabil. Bila
memungkinkan diberikan secara hati-hati sebelum pasien pulang.
Antagonis Aldosteron
Pemberian antagonis aldosteron dosis rendah harus dipertimbangkan pada semua pasien
dengan LVEF ≤ 35% dan gejala gagal jantung yang berat (NYHA kelas III-IV), kecuali terdapat
kontraindikasi atau tidak dapat ditoleransi. Antagonis aldosteron diberikan setelah pemberian
dosis optimal dari ACE inhibitor (atau ARB) dan beta blockers. Namun antagonis aldosteron
tidak dianjurkan diberikan pada penggunaan bersama ACE inhibitor dan ARB.
Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
ARB diindikasikan pada pasien gagal jantung dan LVEF ≤ 40% yang tetap simptomatik walaupun
dengan pemberian ACE inhibitor dan beta blockers dosis optimal (tanpa pemberian antagonis
aldosteron).
Digoksin
Digoksin diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan atrial fibrilasi. Pada pasien gagal
jantung dengan irama sinus, digoksin diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan LVEF ≤
40% yang tetap simtomatik dengan pemberian optimal ACE inhibitor (atau ARB), beta blockers,
dan antagonis aldosteron.
Hidralazin dan Isosorbid Dinitrat (H-ISDN)
H-ISDN merupakan obat alternatif bila terdapat intoleransi pada ACE inhibitor dan ARB.
Penambahan H-ISDN harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala persisten walaupun
telah dengan terapi optimal ACE inhibitor, beta blockers, dan antagonis aldosteron atau ARB.
Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan gejala dan tanda klinis kongesti.

Tabel 4. Dosis Obat-obatan yang Digunakan pada Gagal Jantung


Starting dose (mg) Target dose (mg)
ACE-I
Captopril 6.25 t.i.d 50-100 t.i.d
Enalapril 2.5 b.i.d 10-20 b.i.d
Lisinopril 2.5-5.0 o.d 20-35 o.d
Ramipril 2.5 o.d 5 b.i.d
Trandolapril 0.5 o.d 4 o.d
ARB
Candesartan 4 or 8 o.d 32 o.d
Valsartan 40 b.i.d 160 b.i.d
Aldosterone antagonist
Eplerenone 25 o.d 50 o.d
Spironolactone 25 o.d 25-50 o.d
B-blocker
Bisoprolol 1.25 o.d 10 o.d
Carvedilol 3.125 b.i.d 25-50 b.i.d
Metoprolol succinate 12.5/25 o.d 200 o.d
Nebivolol 1.25 o.d 10 o.d
Kor Pulmonal

Definisi
Kor Pulmonal adalah hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang
disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan
dengan jantung kiri
Kor pulmonal dapat dibagi jadi 2 yaitu:
1. Kor pulmonal akut: peregangan atau pembebanan akibat hipertensi pulmonal akut,
sering disebabkan oleh emboli paru masif
2. Kor pulmonal kronik: hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal
yang berhubungan dengan penyakit paru obstruktif atau restriktif

Etiologi
Etiologi Kor Pulmonale digolongkan 4 kelompok:
1. Penyakit Pembuluh darah paru
2. Tekanan darah pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma, granuloma, atau
Fibrosis
3. Penyakit neuromuskular dan dinding dada
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli termasuk PPOK

Patofisiologi
Hipertensi pulmonal terjadi akibat peningkatan tahanan vaskuler paru kemudian terjadi
hipertrofi ventrikel kanan dan gagal jantung kanan.
Mekanismenya berupa:
 Konstriksi arteriole paru karena hipoksemia alveolar dari daerah paru yang ventilasinya
berkurang
 Vaskularasi berkurang, karena ruptur dinding alveoli dan sumbatan kapiler oleh emboli dan
fibrosis
 Penekanan kapiler paru karena tekanan intra alveoler yang meningkat (PPOM)
Gejala Klinis
A. Keluhan
Keluhan kilins tergantung pada penyakit dasarnya. Sesak nafas merupakan utama. Pada
keadaan dekompensata terdapat keluhan: fatique, anoreksisa, sembab kaki dan perut.

B. Pemeriksaan Fisik
Temuan Klinis yang didapatkan:
 Takipnea, sianosis, jari tabuh
 Tekanan vena sentral meningkat
 Kelainanan dinding dada atau paru yang mendasarinya
 Suara jantung lemah dan kecil
 “Right ventricular lift” pada daerah sternum
 S3 atau S4 gallop ventrikel kanan
 Bising triskupid insufisiensi dan P2 meningkat, tanda hipertensi paru: bising insufisiensi
pulmonal (bising Graham Steel)
 Hepatomegali, asites, sembab perifer dan jari tabuh

Pemeriksaan Penunjang
1) Elektrokardiografi
EKG menunjukkan gamabaran hipertrofi ventrikel kanan dan pembasaran atrium kanan.
Aritmia supraventrikular dan ventrikular sering didapatkan (terutama atrial fibrilation dan
flutter serta multifocal atrial tachycardia).
2) Foto Polos dada
Foto polos dada menunjukkan gambaran kelainan parenkim, pleura dan dinding dada
tergantung pada kelainan yang mendasarinya. Tanda hipertensi pulmonal berupa:
pembesaran arteri pulmonalis dan “pruned tree sign”, tanda pembesaran ventrikel kanan
dan pelebaran asigos dan vena cava superior
3) Ekokardiogram
Untuk mendeteksi disfungsi dari ventrikel kanan, hipertensi pulmonal regurgitasi trikuspid
atau pulmonal dan struktur ventrikel kiri yang normal
4) Laboratorium
Gambaran analisis gas darah menunjukkan: hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis
respiratorik. Hipoksemia berat (saturasi O2 > 90%) menyebabkan polisitemia sekunder.
5) Kateterisasi dan angiografi
Kateterisasi dan angiografi jantung kanan terkadang penting untuk membedakan cor
pulmonale dari disfungsi ventrikel kiri bila gambaran klinisnya tidak jelas

Diagnosis Banding
i ) Perikarditis konstriktifa
ii ) Pulmonary venous hypertension (stenosis mitral, gagal jantung kiri)
iii) Penyakit Jantung bawaan dengan sindroma eisenmenger

Penatalaksanaan
A. Tatalaksana Medis
1. Terapi terhadap penyakit dasarnya.
Tatalaksana umum dan khusus ditujukan terhadap penyakit dasarnya berupa: berhenti
merokok dan menghindari bahan – bahan yang merangsang pada penyakit parenkim paru.
Antibiotika, bronkodilator, dan fisioterapi nafas dapat memperbaiki fungsi respirasi,
mengurangi hipoksemia dan hipertensi pulmonal serta memperbaiki fungsi ventrikel kanan.
2. Terapi aritmia
Digitalis dan quinidine sulfat bermanfaat untuk aritmia supraventrikular seperti: atrial
tachycardia, atrial fibrilasi, dan atrial flutter. Pemakaian digitalis harus hati – hati pada
keadaan ini karena hipoksia mudah menimbulkan keracunan digitalis. Verapamil, diltiazem,
dan nifedipine (3 x 10 mg/hr) juga bermanfaat untuk aritmia disamping juga mengurangi
hipertensi pulmonal.
3. Oksigen diberikan dengan konsenterasi rendah (< 30 %) selama 8 jam setiap hari sudah cukup
bermanfaat
4. Diuretika (furosemid 1 x 20 – 40 mg/hr) diberikan jika ada sembab perifer yang nyata
5. Untuk terapi cor pulmonale akut :
- terapi standar: heparin 5000 – 10.000 unit bolus IV dilanjutkan 1000 unit / jam sampai
aPTT 1½ - 2x normal selama 7 – 10 hari, dilanjutkan warfarin 2 – 3 bulan
- alternatif terapi adalah trombolisis dengan streptokinase 250.000 iu dalam infus selama
30 menit, dilanjutkan 100.000 i.u / jam selama 24 – 72 jam dilanjutkan dengan heparin
seperti di atas.
B. Tatalaksana Bedah
Transplantasi single-lung, double-lung dan transplantasi jantung – paru untuk pengobatan fase
akhir gagal jantung kanan sebagai komplikasi dari cor pulmonale. Reseksi paru kadang – kadang
bermanfaat untuk bronkiektasis, bullae emfisema yang besar. Trakeostomi berguna untuk
“sleep apnea syndrome”
Demam Rematik

Definisi
Demam Rematik merupakan suatu penyakit autoimun yang meliputi multisistem akibat infeksi
Streptokokus β hemolitikus grup A. Penyakit ini memiliki kecenderungan untuk berulang pada
penderita yang sama bila tidak dilakukan tindakan preventif dan dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya kerusakan jangka panjang pada katup jantung, yang disebut juga
dengan Penyakit Jantung Rematik.

Etiologi

Studi epidemiologis dan imunologis yang ada menunjukan bahwa penyakit ini berhubungan
dengan infeksi oleh kuman Streptokokus β hemolitikus grup A pada individu yang suseptibel.
Sebagian besar pasien dengan Demam Rematik memiliki titer antibodi antistreptokokus yang
tinggi,

Patogenesis
Episode Demam Rematik telah lama dipercaya diawali dengan adanya suatu faringitis akibat
Streptokokus β hemolitikus grup A. Mekanisme yang pasti dari terjadinya kerusakan awal pada
Demam Rematik masih belum diketahui dengan pasti. Faktor host memegang peranan yang
sangat penting dalam patogenesis penyakit ini. Pada Demam Rematik terjadi proses molecular
mimicry, yaitu antibodi atau respon imun seluler yang ditujukan kepada kuman Streptokokus β
hemolitikus grup A mengadakan reaksi silang terhadap epitop pada jaringan host. Protein M
dan antigen karbohidrat Streptokokus (N-acetylglucosamine in group A carbohydrate) memiliki
epitop yang sama dengan myosin jantung dan jaringan katup jantung. Kerusakan selanjutnya
kemungkinan disebabkan oleh infiltrasi sel T den makrofag yang akan menetap selama
bertahun-tahun setelah awal perjalanan penyakit. Sel T menyebabkan kerusakan pada laminin
yang terdapat di membran basalis valvuler, dimana area ini merupakan tempat utama
kerusakan pada jantung akibat Demam Rematik. Lesi patologis dari Demam Rematik Akut
adalah Aschoff body, yaitu suatu lesi granulomatosa yang terdapat di miokardium dan
mengandung sel T, sel B, makrofag, sel mononuklear, multinucleated giant cells, dan leukosit
polimorfonuklear.

Gejala Klinis
A. KELUHAN
 Streptoccocal Pharyngitis : nyeri tenggorokan dengan onset yang mendadak, nyeri
menelan, demam (biasanya suhu tubuh antara 38 – 40°C), nyeri kepala, faring dan
tonsil hiperemis, bisa juga disertai dengan nyeri perut, mual, dan muntah (terutama
pada anak-anak).
 Demam Reumatik: penyakit ini biasanya dimulai 1-4 minggu setelah infeksi
Streptokokus β hemolitikus grup A. Gejala klinis yang dapat dikeluhkan pasien antara
lain:
o Demam
o Sendi menjadi bengkak dan kemerahan, disertai dengan nyeri dan nyeri
tekan
o Nyeri pada salah satu sendi yang dapat berpindah ke sendi yang lain
o Berdebar-debar (palpitasi)
o Nyeri dada
o Sesak nafas
o Ruam pada kulit
o Cepat lelah
o Adanya nodul kecil yang tidak terasa nyeri dibawah kulit
B. TEMUAN KLINIS
 Arthritis dan Arthralgia: definisinya adalah terjadi suatu poliartritis yang mengenai
sendi-sendi besar dengan sendi-sendi pada ekstremitas bawah sebagai sendi yang
pertama kali terkena disertai dengan keterlibatan sendi-sendi lain yang dirasakan
seolah-olah “berpindah”.
 Karditis: komponen ini sangat menentukan prognosis pasien. Secara patologis,
Demam Rematik menyebabkan terjadinya suatu pankarditis dengan keterlibatan
perikardium, myokardium, dan endokardium. Perikarditis dapat tampak sebagai
nyeri perikardial yang khas dan pericardial friction rub. Pada auskultasi bisa
terdengar murmur baru atau murmur yang berubah. Lesi katup yang sering terjadi
pada Demam Rematik adalah Mitral Regurgitasi yang menyebabkan murmur
pansistolik pada area apeks. Selain itu juga bisa terjadi Aorta Regurgitasi. Lesi
stenotik jarang terjadi pada fase awal penyakit, namun bisa juga terdengar murmur
diastolik (Carey-Coombs) yang berhubungan dengan murmur pada Mitral
Regurgitasi.
 Chorea: merupakan suatu kelainan neurologis yang dicirikan dengan gerakan yang
involunter, tanpa tujuan, cepat, dan tiba-tiba. Kelainan ini berhubungan dengan
kelemahan otot dan kelabilan emosional. Gerakan yang abnormal tersebut akan
menghilang saat penderita tidur. Chorea yang ringan dapat diperiksa dengan cara
meminta pasien untuk menjabat tangan pemeriksa. Kondisi tersebut akan
menyebabkan pasien menggenggam tangan pemeriksa dengan gerakan yang
repetitif dan ireguler yang disebut dengan “The Milking Sign”.
 Nodul Subkutan : biasanya tampak dalam waktu beberapa minggu setelah onset dan
paling sering ditemukan pada pasien dengan karditis. Nodul tersebut teraba keras
dan tidak nyeri, kulit diatasnya tidak mengalami inflamasi dengan ukuran yang
sangat bervariasi antara beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter. Nodul
subkutan paling sering terdapat pada permukaan tulang atau tendon dan biasanya
terdeteksi dengan cara palpasi pada lengan, pergelangan tangan, lutut, occiput, dan
prosesus spinosus pada vertebrae.
 Eritema marginatum: adalah suatu ruam yang timbul dan tidak terasa gatal,
berwarna merah muda atau kemerahan, terutama terdapat di badan. Ruam tersebut
biasanya meluas secara sentrifugal dan kulit pada bagian tengah tubuh nantinya
dapat menjadi kembali normal. Ruam tersebut dapat menghilang dalam waktu
beberapa jam dan dapat muncul kembali bila penderita mandi dengan air panas.
Kelainan ini hanya ditemukan pada 4-15% penderita dan sulit dideteksi pada
penderita dengan warna kulit yang gelap.
Diagnosis
Diagnosis Demam Rematik dapat ditegakkan menggunakan Kriteria Jones yang dimodifikasi
oleh AHA tahun 1992 atau Kriteria WHO tahun 2002-2003
KRITERIA JONES UNTUK MENDIAGNOSIS DEMAM REMATIK
GEJALA MAYOR GEJALA MINOR
 Poliartritis Migrans  Klinis : Demam, Artralgia, Riwayat
 Karditis pernah Menderita Demam
 Chorea Rematik/Penyakit Jantung Rematik
 Nodul Subkutan  Laboratorium : Peningkatan Reaktan
 Eritema Marginatum Fase Akut (LED, CEP, Leukositosis),
Pemanjangan interval PR
*Keterangan : Diagnosis dapat ditegakkan bila terdapat dua gejala mayor atau satu gejala
mayor dengan dua gejala minor ditambah bukti adanya infeksi Streptokokus sebelumnya
(hapusan tenggorok yang positif, kenaikan titer tes serologi ASTO, dan anti DNA-se B.

KRITERIA WHO TAHUN 2002-2003 UNTUK MENDIAGNOSIS


DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK
KATEGORI DIAGNOSTIK KRITERIA
1. Episode Primer Demam Rematik Akut Dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor
dengan dua kriteria minor ditambah bukti
adanya infeksi Streptokokus β hemolitikus
grup A
2. Serangan Berulang Demam Rematik
pada Seorang Penderita tanpa Disertai Sama dengan kriteria Episode Primer Demam
dengan Penyakit Jantung Rematik Rematik Akut

3. Serangan Berulang Demam Rematik


pada Seorang Penderita Disertai Dua kriteria minor ditambah bukti adanya
dengan Penyakit Jantung Rematik infeksi Streptokokus β hemolitikus grup A

4. Rheumatic Chorea
Kriteria mayor yang lain atau bukti adanya
5. Insidious onset Rheumatic Carditis infeksi Streptokokus β hemolitikus grup A
tidak diperlukan karena kedua kelompok ini
adalah manifestasi selanjutnya dari infeksi
6. Lesi Kronis pada Katup Jantung pada Streptokokus.
Penyakit Jantung Rematik
Tidak diperlukan kriteria lain untuk dapat
didiagnosis menderita Penyakit Jantung
Rematik
Diagnosis Banding
 Reumatoid Artritis
 Infeksi Virus
 Penyakit Jantung Kongenital
 Osteomielitis
 Endokarditis Infektif
 Poliomielitis Akut
 SLE
 Leukemia/Limfoma

Penatalaksanaan
Tujuan Terapi Demam Rematik:
1. Menekan proses inflamasi.
2. Mengurangi kerusakan pada jantung.
3. Mengatasi gejala klinis.
4. Mengeradikasi kuman Streptokokus β hemolitikus grup A (penyebab infeksi).

Terapi Pada Fase Akut:


 MRS.
 Tirah baring total, terutama bila terjadi karditis/gagal jantung. Pada penderita biasanya
dapat dilakukan mobilisasi bertahap bila demam sudah mereda dan kondisi nyeri sendi
serta gagal jantung telah dapat diatasi.
 Eradikasi kuman: menggunakan Benzathine Penicillin dosis tunggal atau Penicillin V
selama 10 hari (bisa menggunakan Eritromisin pada penderita yang alergi terhadap
Penicillin).
 Obat-obat anti-inflamasi: salisilat (aspirin) dosis 80-100 mg/kgBB/hari pada anak-anak
dan 4-8 gr/hari pada dewasa. Selain itu bisa juga digunakan steroid, namun peranannya
masih belum diketahui dengan pasti. Obat antiinflamasi biasanya diberikan dalam dosis
tinggi selama 2 minggu, kemudian dikurangi sebanyak kurang lebih 20% setiap
minggunya, tergantung dari respon klinis dan hasil pemeriksaan marker inflamasi.
 Terapi karditis: karditis akut memberikan respon yang sangat baik terhadap terapi
agresif dengan menggunakan steroid, namun studi yang ada belum dapat membuktikan
bahwa steroid dapat memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan
plasebo. Dapat diberikan obat-obat gagal jantung pada pasien dengan karditis yang
disertai dengan manifestasi klinis gagal jantung. Operasi perbaikan katup sebaiknya
tidak dilakukan, kecuali pada penderita dengan regurgitasi katup yang bermakna
sehingga menyebabkan gangguan hemodinamik yang signifikan dan refrakter terhadap
terapi medikamentosa.
 Terapi arthritis: dapat menggunakan salisilat sebagai obat lini pertama karena memiliki
komponen untuk analgesik, anti-inflamasi, dan antipiretik yang sangat efektif. Aspirin
dosis 100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat atau lebih dosis dapat digunakan
untuk tujuan terapeutik dan diagnostik. Nyeri sendi yang tidak berkurang dalam waktu
24 jam setelah pemberian aspirin menimbulkan kemungkinan adanya penyebab arthritis
yang lain. Steroid biasanya tidak digunakan pada kondisi ini.
 Terapi chorea: bisa menggunakan sedativa, obat-obat anti kejang, dan obat-obat anti
psikotik. Pada pasien yang refrakter dapat digunakan karbamazepin atau asam valproat.

Pencegahan Primer dan Sekunder


 Pencegahan Primer: terapi antibiotika pada pasien yang menderita Streptoccocal
Pharyngitis untuk mencegah terjadinya Demam Reumatik.
 Pencegahan Sekunder: pemberian antibiotika jangka panjang untuk mencegah
terjadinya rekurensi. Antibiotika profilaksis dapat diberikan hingga usia 21 tahun atau
minimal 5 tahun setelah serangan Demam Reumatik yang terakhir. Terapi profilaksis
seumur hidup direkomendasikan pada pasien dengan lesi katup yang berat atau setelah
operasi penggantian katup.
OBAT-OBAT YANG DIBERIKAN UNTUK PROFILAKSIS DEMAM REMATIK
Nama Obat Dosis Rute Durasi
Pemberian
Pencegahan Primer
 Benzathine Penicillin G ≥ 27 kg : 1,2 juta unit IM 1x
< 27 kg : 600.000 unit
 Penicillin V Anak : 2-3 x 250 mg Oral 10 hari
Dewasa : 2-3 x 500 mg
 Eritromisin 2-4 x 20-40 mg/kgBB /hari Oral 10 hari
(max. 1 gr/hari)
Pencegahan Sekunder
 Benzathine Penicillin G ≥ 30 kg : 1,2 juta unit IM Tergantung
< 30 kg : 600.000 unit pada riwayat
Diberikan setiap 2-4 minggu karditis dan
 Penicillin V menetap
2 x 250 mg Oral tidaknya
 Eritromisin kelainan
2 x 250 mg Oral katup yang
terjadi.
Syok Kardiogenik

Definisi
Syok kardiogenik adalah gagalnya fungsi jantung sebagai pompa ditandai dengan cardiac output
yang tidak adekuat. Untuk mendiagnosa syok kardiogenik harus didapatkan adanya bukti
berkurangnya cardiac output tanpa adanya hipovolemia. Hipoksia jaringan yang terjadi dapat
berupa oligouria, sianosis, ekstremitas teraba dingin, atau perubahan kesadaran. Diagnosis
kardiogenik dapat dilakukan dengan akurat jika keadaan syok tidak membaik setelah faktor-
faktor non kardiak penyebab syok (hipovolemia, asidosis, hipoksia) dikoreksi.
Kriteria klinis syok kardiogenik yaitu adanya tanda penurunan perfusi perifer yaitu ekstremitas
yang dingin dan pucat, denyut nadi yang lemah, perubahan status mental, berkurangnya
produksi urine (< 30 mL/jam). Sedangkan kriteria hemodinamik untuk syok kardiogenik adalah :
1. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg selama paling sedikit 30 menit (atau
dibutuhkannya obat-obat vasopressor atau intra-aortic ballon pump untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg)
2. PCWP (Pulmonary capillary wedge pressure) > 15 mmHg
3. Cardiac index < 2,2 L/mnt/m2.
Kombinasi dari criteria klinis dan hemodinamik ini digunakan untuk mendiagnosa syok
kardiogenik.

Etiologi
Infark miokard akut adalah penyebab tersering (5-10%)
I. Infark miokard akut
A. Pump failure
B. Komplikasi mekanis
1. Mitral regurgitasi akut
2. Venticular septal defect
3. Ruptur free wall/ tamponade
C. Infark miokard ventrikel kanan
II. Kardiomipati tahap akhir, karena
A. Penyakit katup
B. Penyakit iskemi kronis
C. Restriktif/ infiltratif
D. Idiopatik
III. Miokarditis Akut : virus/ infeksi, toksin
IV. Kardiomiopati stress
V. Penyakit endokrin (cth: bradiarirtmia, takiaritmia)
A. Bradiaritmia
B. Takiaritmia
VI. Sekunder karena efek terapi
VII. Post traumatic

Patofisiologi Syok Kardiogenik


Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh berkurangnya kemampuan fungsi pompa kiri atau
ventrikel kanan atau keduanya. Disfungsi ventrikel kiri pada umumnya disebabkan oleh
hilangnya miokardium ventrikel kiri sebesar 40 % atau lebih. Kerusakan miokardium ini bersifat
kumulatif.
Disfungsi ventrikel kiri dapat disebabkan oleh kombinasi dari berkurangnya fungsi miokardium
beserta kerusakan komponen fungsional ( katup, septum ventrikel, free wall) akibat iskemia
atau nekrosis. Syok kardiogenik akibat disfungsi ventrikel kanan pada umumnya disebabkan
oleh infark akut ventrikel kanan dengan akibat terjadi disfungsi sistolik dan diastolik (
berkurangnya compliance) ventrikel kanan. Syok kardiogenik akibat disfungsi ventrikel kiri
sangat sensitif terhadap perubahan tekanan sementara syok kardiogenik akibat disfungsi
ventrikel kanan sensitif terhadap perubahan volume.
Ketika syok kardiogenik terjadi, tubuh akan melakukan mekanisme kompensasi yang bertujuan
agar tekanan darah meningkat dan terjadi redistribusi volume darah dari jaringan tertentu (
kulit, usus, otot skelet) menunju otak, jantung, dan ginjal. Mekanisme kompensasi tersebut
dapat berupa aktivitas system saraf simpatis yang mengakibatkan vasokonstriksi dan takikardi.
Pada keadaan syok yang berat, respon saraf simpatis dapat digantikan respon saraf otonom lain
yaitu reflek vagal sehingga yang terjadi bukan reflek takikardi melainkan bradikardi. Sistem
Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAAS) juga teraktivasi sebagai akibat berkurangnya perfusi renal
dan aktivitas saraf simpatis. Aktivasi RAAS menyebabkan vasokonstriksi dan retensi air dan
garam dan selanjutnya menyebabkan bertambahnya volume darah. Distensi atrium akan terjadi
sebagai akibat peningkatan volume darah dan vasokonstriksi selanjutnya menyebabkan
diproduksinya atrial natriuretic peptide (ANP) yang mempunyai efek yang berlawanan terhadap
efek angiotensin (menetralisasi efek angiotensin).
Akibat aktivasi beberapa neurohormon diatas (Simpatis, RAAS, ANP) terhadap jantung dan
pembuluh darah adalah meningkatnya frekuensi detak jantung, meningkatnya tahanan vaskuler
perifer, berkurangnya isi sekuncup (stroke volume), dan berkurangnya COP.
Berbeda dengan syok kardiogenik, COP pada pasien syok sepsis dan anafilaktik justru
menunjukkan peningkatan sementara hipotensi yang terjadi disebabkan terutama oleh
vasodilatasi perifer yang berlebihan. Sementara itu, COP pasien yang hipovolemik dapat
menurun atau normal disertai peningkatan tekanan vascular sistemik. Oleh karena itu, syok
septik, anafilaktik, dan syok hipovolemik identik dengan syok yang disebabkan syok yang
disebabkan oleh kegagalan sirkulasi oleh sebab non-kardiak. Perlu disadari bahwa kegagalan
sirkulasi dengan jantung yang awalnya tidak bermasalah dapat menyebabkan kegagalan
jantung untuk mempertahankan COP yang adekuat. Sebaliknya kegagalan jantung untuk
memompa darah yang adekuat akhirnya akan menyebabkan kegagalan sirkulasi untuk
memenuhi perfusi jaringan. Pada awal syok terjadi kompensasi metabolism berupa perubahan
metabolism aerobik menjadi anaerobik dengan hasil akhir berupa pembentukan asam laktat.
Hipoksia yang terjadi menyebabkan kerusakan jaringan berupa nekrosis yang selanjutnya
berakibat pada gagal organ multipel.

Pemeriksaan Fisik
1. Tanda vital
 Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg)
 Detak jantung meningkat
 Respiration rate dapat meningkat sebagai akibat kongesti paru
2. Neurologi
Terjadi hipoperfusi serebral sehingga penderita menjadi letargi, confuse.
3. Pulmo
 Tanda-tanda kongesti paru: Pemakaian otot bantu pernafasan, respirasi
paradoksikal, ronki di kedua lapangan paru.
 Tidak didapatkan tanda-tanda kongesti paru pada infark ventrikel kanan murni.
4. Sistem kardiovaskular
 Jugular venous pressure (JVP) biasanya meningkat
 Nadi perifer melemah
 Apex jantung bergeser ke lateral pada kardiomiopati dilated
 Suara jantung melemah/ menghilang jika ada efusi perikardium
 Ruptur dinding ventrikel dapat terjadi pericardial friction rub
 Pada gagal jantung kanan dapat ditemukan pembesaran hepar dan pulsatile.
5. Ekstremitas:
 Edema perifer dapat terlihat
 Sianosis, akral yang dingin karena berkurangnya perfusi jaringan.

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
 Peningkatan marker jantung pada penderita dengan infark miokard akut
 Peningkatan transaminase dan serum kreatinin karena hipoperfusi
 Dapat terjadi asidosis dan laktat serum dapat meningkat
2. Elektrokardiografi
 Untuk mencari penyebab syok kardiogeniknya
 Penderita dengan infark miokard pada rekaman EKG-nya dapat terlihat adanya
gelombang Q yang lama maupun infark baru (ST- elevasi). EKG pada dada sebelah
kanan pada penderita dengan infark inferior dapat mendeteksi adanya infark
ventrikel kanan.
 Dapat juga diketahui adanya aritmia yang berkontribusi terhadap terjadinya syok
kardiogenik.
3. Foto thorax
 Untuk melihat besar jantung dan bukti adanya kongesti paru. VSD atau regurgitasi
mitral akut yang berhubungan dengan infark akut akan menyebabkan kongesti paru
tetapi biasanya tanpa kardiomegali.
 Gambaran kongesti paru tidak dominan atau tidak ada pada penderita dengan
dominasi gagal jantung kanan atau penderita yang dikombinasi dengan
hipovolemia.
4. Echocardiografi
 Sangat bermanfaat untuk diagnosis syok kardiogenik
 Komplikasi mekanis akibat infark miokard akut dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan ini
 Dapat diperoleh informasi ukuran dan fungsi ventrikel kiri dan kanan, fungsi katup
(regurgitasi atau stenosis), tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan, adanya efusi
perikard dan tamponade jantung.
5. Monitoring hemodinamik
 Pemasangan rutin kateter arteri pulmonal yang invasif pada penderita yang critically
ill masih merupakan kontroversi, tetapi masih direkomendasikan pada kondisi
tertentu dan dapat membantu menegakkan diagnosis dan penyebab syok
kardiogenik.
 Pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) menunjukkan tekanan atrium kirim,
jika lebih dari 15 mmHg pada penderita infark akut menunjukkan volume
intravascular yang cukup.
 Penderita dengan gagal jantung kanan atau yang kombinasi dengan hipovolemia,
maka PCWP-nya dapat normal atau rendah
 Cardiac index < 2,2 L/min/m2.

Terapi
Terapi menjadi benar-benar efektif jika kita dapat mengetahui penyebab syok kardiogeniknya.
Pada penderita dengan infark miokard akut dan syok kardiogenik, terapi yang paling efektif
adalah dengan revaskularisasi dengan PCI atau coronary bypass grafting (CABG). Oksigenasi
yang adekuat diperlukan untuk mencegah hipoksia dan terhambatnya oksigen transpor ke
jaringan. Hipoventilasi dapat menyebabkan asidosis respiratorik. Asidosis dapat memperburuk
fungsi jantung dan membuat jantung menjadi tidak responsif terhadap inotropik.
Beberapa penderita dengan syok kardiogenik terdapat hipovolemik relatif karena meningkatnya
tekanan hidrostatik dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah. PCWP 18-22 mmHg
dianggap adekuat, jika lebih dari ini akan menyebabkan kongesti paru.
1. Inotropik
Obat-obatan inotropik dapat meningkatkan detak jantung, kontraktilitas jantung, dan
tahanan perifer, tetapi obat-obatan ini juga dapat meningkatkan kebutuhan oksigen
yang membahayakan untuk penderita dengan iskemi. Lebih lanjut, β agonis dapat
menyebabkan takiaritmia dan α agonis dapat menyebabkan vasokonstriksi dan iskemi
pada organ-organ vital. Digoxin tidak terlalu bermanfaat untuk syok kardiogenik, karena
potensinya yang lemah dan onsetnya lambat.
Dopamin pada dosis rendah dapat menyebabkan dilatasi arteri terutama arteri renalis,
pada dosis 3-6 mcg/kg/mnt dopamin merangsang reseptor β1 sehingga meningkatkan
kontraktilitas. Pada dosis yang lebih tinggi lagi, dopamin merangsang reseptor α
sehingga menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Dobutamin tidak menyebabkan vasodilatasi renal, dan mempunyai efek vasodilator
karena menstimulasi β2 lebih kuat dari dopamin. Isoproterenol mempunyai efek
kronotropik dan inotropik sehingga dapat meningkatkan kebutuhan oksigen dan
iskemia. Nor epinefrine merangsang α dan β1 lebih kuat dari dopamin, sehingga
dipergunakan pada penderita yang hipotensi terus menerus.
Terapi inotropik atau vasokonstriktor diindikasikan bagi penderita yang mengalami
hipoperfusi jaringan tetapi mempunyai volume intravaskular yang normal. Mengingat
hipoperfusi merupakan spektrum keadaan yang dapat dijumpai mulai dari sindroma low
output sampai syok kardiogenik, maka hendaknya hipoperfusi dilihat sebagai suatu
keadaan yang dinamis. Pada keadaan dimana terdapat keraguan tentang kecukupan
volume intravascular, dapat dilakukan fluid challenge test ; pemberian kritaloid 250 cc
dalam 2 menit. Respon berupa peningkatan tekanan darah, berkurangnya frekuensi
denyut jantung, dan perbaikan perfusi perifer menandakan adanya hipovolemia. Pada
keadaan dimana terpasang kateter CVP, hipovolemia diindikasikan sebagai peningkatan
yang kecil ≤3 mmHg dari CVP saat diberikan 250 cc kristaloid. CVP yang meningkat >3
mmHg mengindikasikan system vena telah jenuh cairan dan pemberian berikutnya akan
membebani ventrikel kanan.
Dalam keadaan syok kardiogenik dengan hipotensi berat (tekanan darah sistolik <70
mmHg) maka norepinephrine iv diberikan dengan dosis 0,1-0,5 mcg/kg/mnt jika berat
badan < 70 kg dan 7 – 35 kg mcg/mnt jika berat badan > 70 kg. Dalam kondisi syok
kardiogenik dengan hipotensi TD 70-100 mmHg, dipilih dopamine iv dengan dosis 5-20
mcg/kgBB/menit> Jika tekanan darah 70-100 mmHg tanpa disertai tanda syok dipilih
dobutamin iv 5-20 mcg/kgBB/mnt. Yang perlu diperhatikan dalam pemeberian inotropik
dan vasokonstriktor adalah pencapaian target MAP sebesar minimal 65 mmHg
Inotropik Vasodilatasi Vasokonstriksi Kronotropik
Dobutamin ↑↑ ↑ Dosis tinggi : ↑ ↑
Dopamin ↑↑ ↑ Dosis tinggi : ↑ ↑
Norepinephrine ↑ 0 ↑↑ ↑
Epinephrine ↑↑ ↑ Dosis tinggi : ↑ ↑↑
Isoproterenol ↑↑↑ ↑ 0 ↑↑↑
Milrinone ↑ ↑↑ 0 0

2. Syok kardiogenik akibat infark ventrikel kanan sangat sensitif terhadap terapi cairan.
Selain itu, bradikardia dan blok atrioventrikular sering terjadi menyertai infark ventrikel
kanan. Oleh karena itu, terapi difokuskan kepada terapi cairan, mempertahankan irama
sinus, dan jika diperlukan dilakukan pemasangan pacu jantung dan dipertimbangkan
pemberian inotropik (dobutamin)
3. Pemantauan hemodinamik secara invasif (kateterisasi jantung kanan) dapat
memberikan banyak informasi tetapi penggunaannya masih kontroversial. Walaupun
kateterisasi jantung bukan merupakan prediktor independen terhadap mortalitas,
penelitian GUSTO-1 mengindikasikan perbaikan hasil terapi pada penderita yang
dilakukan pemantauan invasif. Penelitian ini mengindikasikan bahwa cardiac output
sebesar 5.1 L/mnt dan PCWP 20 mmHg berhubungan dengan mortalitas lebih rendah.
Sementara itu pemantauan hemodinamik invasif pada penderita dengan gagal jantung
berat dengan atau tanpa syok kardiogenik menunjukkan tidak adanya keuntungan
pemantauan tersebut terhadap kematian jangka pendek maupun jangka panjang.
4. Circulatory support devices
Alat seperti IABP (Intra Aortic Ballon Pump) dapat meningkatkan cardiac output tanpa
memperberat iskemia jantungnya. Indikasi IABP adalah pada penderita syok kardiogenik
yang disebabkan oleh ruptur ventrikel ataupun mitral regurgitasi akut. Walaupun
hemodinamik penderita membaik tetapi terapi ini bukan merupakan terapi definitif
merupakan terapi jembatan menuju revaskularisasi (angioplasty coroner atau bedah
pintas coroner)
5. Regurgitasi mitral akut merupakan kondisi emergency dan terapi definifnya adalah
dengan operasi.
6. Infark ventrikel kanan dengan syok harus diterapi agresif dengan penambahan cairan
untuk meningkatkan preload dan output dari ventrikel kanan. Cairan sekitar 1-2 liter
atau lebih dibutuhkan untuk mendapatkan preload yang cukup. Inotropik dan IABP baru
diberikan jika resusitasi cairan tidak berhasil.
7. Takiaritmia (Ventricular tachycardia atau supraventricular tachycardia) dan syok harus
diterapi dengan cardioversi. Sedangkan bradiaritmia dapat berespon dengan terapi
farmakologis seperti atropin tetapi kadang-kadang dibutuhkan transvenous atau
eksternal pacing
DAFTAR PUSTAKA

Diagnosis Dan Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Tanpa ST Elevasi (UAP/NSTEMI)


Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia, Pedoman tatalaksana penyakit
kardiovaskular di indonesia, PERKI 2012.
Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Dengan Elevasi Segmen ST
Hamm CW, Heeschen C, Falk E,Fox KAA. In Camm AJ Luscher TF, Serruys PW Eds in Textbook of
cardiovascular medicine Blackwell Publishing 1st edition 2008
AHA/ACC Focused Update of the ACC/AHA 2009 Guideline for the management of patient with
STEMI (updating the 2004 Guideline and 2007 Focus Update) JACC,2009.
ESC/EACTS GUIDELINES. Guidelines on myocardial revascularization: The Task Force on
Myocardial Revascularization of the European Society of Cardiology (ESC) and the European
Association for Cardio-Thoracic Surgery (EACTS). European Heart Journal (2010) 31, 2501-
2555doi:10.1093/eurheartj/ehq277.
Gagal Jantung Akut
Kalim H, Idham I, Joesoef AH, Hersunarti N, Irmalita, Siswanto BB, dkk. 2008. Pedoman Praktis
Diagnosis dan Tatalaksana Gagal Jantung Akut. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia.
Dickstein K, Cohen-Solal A, Fillippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Poole-Wilson PA, dkk.
ESC Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008.
European Heart Journal (2008) 29, 2388-2442, doi:10.1093/eurheartj/ehn309.
Irmalita, Hersunarti N, Sunu I, Sakidjan I, Andriantoro H, Dakota I, dkk. 2009. Standar Pelayanan
Medik RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Edisi III. Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita, Jakarta.
Gagal Jantung Kronik
The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure of the
European Society of Cardiology. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure. Eur Heart J. 2008;29:2388–2442.
Hunt SA, Abraham WT, Chin MH, Feldman AM, Francis GS, Ganiats TG, Jessup M, Konstam MA,
Mancini DM, Michl K, Oates JA, Rahko PS, Silver MA, Stevenson LW, Yancy CW. 2009 Focused
update incorporated into the ACC/AHA 2005 guidelines for the diagnosis and management of
heart failure in adults: a report of the American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation. 2009;119:e391– e479.
Hess OM and Carroll JD. Clinical assessment of heart failure. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL,
Zipes DP, eds. Braunwald’s Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8th Ed.
Philadelphia: Saunders, 2008: 561-581.
Kor Pulmonal
Alpert JS, Ripe JM,eds. Cor Pulmonale.In : Manual cardiovascular Diagnosis and Therapy.
Boston:Little Brown Company, 1991 : 307 – 12.
Schlant RC, Hurst JW,eds. Pulmonary Hypertension. In : Handbook of The Heart. New York :
1988 : 166 - 9
Sokolow M, Mcllroy MB, eds. Pulmonary Heart Disease. In : Clinical Cardiology. Los Altos : Lange
Medical Publications, 1986 : 586 - 98
Macnee. W, Pathophysiology of cor pulmonale in chronic obstructive pulmonary diseases : Am
J. Respir Crit Care med 1994; 833 -52
McLaughin VV and Rich S. Cor Pulmonale In : Heart Diseases. A text book of cardiovascular
Medicine. Edited by braunwald E. W.B Saunders Company 7th ed, 2001, p. 1936 – 1951.
Demam Rematik
Raju BS, Turi ZG. 2008. Rheumatic Fever. Braunwald’s Heart Disease: A Textbook of
Cardiovascular Medicine, Eighth Edition. Saunders Elsevier. Chapter 83;pg.2079-2086.
Mayosi BM, Carapetis JR. 2008. Acute Rheumatic Fever. Hurst’s The Heart, 12th Edition. The
McGraw-Hill Companies Inc. Part 11;Chapter 74;pg.1691-1696.
Syok Kardiogenik
Erwinanto. Course On Medical Emergencies and Treatment
Edward Mcnulty and Craig tim.2009. Current Diagnosis and Treatment . McGraw-Hill Company,
USA, 73-81

Anda mungkin juga menyukai