Anda di halaman 1dari 13

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Karakteristik Tempat Penelitian

Puskesmas 1 Ubud merupakan salah satu puskesmas yang terdapat di Kabupaten Gianyar.

Puskesmas ini berdiri sejak tahun 1986 dan beralamat di jalan dewi sita ubud. Puskesmas ini

mewilayahi 4 desa 1 kelurahan dengan 53 banjar dan jumlah puskesmas pembantu

sebanyak 4 buah., 1 poskedes, serta 53 penyandu. Batas-batas wilayah dari puskesmas 1

ubud yaitu sebelah utara adalah kecamatan tegalalang, sebelah timur adalah kecamatan

tampak siring, sebelah selatan adalah kecamatan sukawati, dan sebelah barat adalah desa

kedewatan ubud.

Puskesmas ini dibangun untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah kerja

puskesmas 1 ubud khususnya dan kabupaten gianyar pada umumnyamelalui upaya

promotif, preventif, dan kuratif. Tujuan tersebut direalisasikan melalui program-program

diantaranya halai pengobatan umum, rawat inap, kesehatan gigi dan mulut, kesehatan ibu

dan anak (KIA), keluarga berencana (KB), imunisasi, gizi, usaha kesehatan sekolah (UKS),

penyuluhan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pemberantasan penyakit (P2P),

kesehatan lingkungan, laboratorium sederhana, pelayanan kesehatan khusus

(lansia,mat/THT/Jiwa/kesja), apotek, dan puskesmas keliling.


Puskesmas dengan luas 19are ini memiliki sebuah gedung berlantai 2 dan sebuah gedung

berlantai 1. Ruangan yang terdapat di gedung dengan 1 lantai meilputi ruangan untuk poli

umum, poli tindakan, KIA, KB, tumbuh kembang (imunisasi dan diare), poli gigi, anak, VK,

laboratorium, konseling, apotek, gudang, dan gudang vaksin. Sedangkan ruangan yang

terdapat di gedung berlantai 2 yaitu ruang TU, pertemuan, kepala puskesmas, logistic,

Binkesmas, P2PL, gedung obat, dan ruang rapat.

Selain sarana dlam bentuk gedung, puskesmas 1 ubud juga dilengkapi sarana berupa 3

ambulan. Salah satu ambulan digunakan untuk puskesmas keliling. Puskesma 1 ubud juga

dilengkapi dengan tenaga kesehatan yang terdiri dari 6 dokter, 3 dokter gigi, 26 bidan, 13

perawat, 1 tenaga gizi, dan 2 tenaga sanitasi.

5.1.2 Karakteristik Responden Penelitian

Responden pola penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 di puskesmas 1 ubud yang telah

memenuhi kriteria inklusi. Adapun karakteristik responden penelitian disajikan dalam

bentuk table sebagai berikut :

1. Karakterisitik responden berdasarkan jenis kelamin

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin disajikan pada table 3.

Table 3, distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin.

Berdasarkan table 3 diketahui bahwa frekuensi jenis kelamin terbanyak pada

penelitian ini adalah jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 30 orang (54,5%).
2. Karakteristik responden berdasarkan usia

Usia responden pada penelitian ini dikelompokkan menjadi usia 26-35 tahun, 36-45

tahun, 46-55 tahun, dan >65 tahun. Karakteristik responden berdasarkan rentang

usia disajikan dalam table 4.

Tabel 4. Distribusi frekuensi karakteristik berdasarkan usia.

Tabel 4 memperlihatkan bahwa frekuensi rentang usia terbesar berada pada

rentang usia 56-65 tahun yaitu sebanyak 24 orang (43,6%) dan terkecil pada rentang

usia 26-35 tahun yaitu sebanyak 3 orang (5,5%).

3. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan pada penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga tingkatan yaitu

tidak sekolah, pendidikan dasar (SD,SMP), dan pendidikan menengah (SMA,SMK).

Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada table 5.

Tabel 5. Distribusi karakteristik responden berdasarkan tingkta pendidikan.


Berdasarkan table 5 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden berada pada

tingkat pendidikan dasar (SD, SMP), yaitu sebanyak 34 orang (61,8%) dan hanya 8

orang (14,5%) yang tidak sekolah.

4. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan.

Jenis pekerjaan pada penelitian ini dikelompokkan menjadi lima yaitu tidak bekerja,

PNS/TNI/Polisi, pegawai swasta, wiraswasta, dan petani. Karakteristik responden

berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada table 6.

Tabel 6. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan pekerjaan.

Berdasarkan table 6 dapat dilihat bahwa frekuensi jenis pekerjaan terbanyak adalah

wiraswasta yaitu sebanyak 19 orang (34,5%) dan frekuensi terkecil adalah

PNS/TNI/Polisi yaitu sebanyak 4 orang (7,3%).

5. Karakterisik responden berdasarkan durasi menderita DM.

Karakteristik responden berdasarkan durasi menderita DM disajikan pada table 7.


Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa rentang lamanya menderita DM antara 1-5

tahun dengan rata-rata 2,25 tahun.

5.1.3 Hail Pengamatan terhadap Responden Penelitian Sesuai Variabel Penelitian.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 55 responden penelitian diperoleh data

skor diabetes self care management dan control glikemik. Skor DSCM diperoleh

melalui pengisian kuesioner diabetes self management scale yang sebelumnya telah

dilakukan uji validitas dan reliabilitas oleh peneliti. Nilai control glikemik diperoleh

melalui pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.

1. Diabetes Self Care Management

Skor DSCM dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 3 tingkat. Skor ≥120

menunjukan DSCM yang tinggi, skor ≤60-≤120 menunjukkan DSCM yang sedang,

dan <60 menunjukkan DSCM yang rendah. Frekuensi DSCM responden

penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Skor DSCM Responden.

Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden berada

pada kategori DSCM rendah yaitu sebanyak 20 orang (36,4%) dan DSCM tinggi

sebanyak 16 orang (29,1%).

2. Kontrol Glikemik

Nilai control glikemik pada penelitian ini dikategorikan menjadi 3 tingkat. Kadar

glukosa darah puasa 80-<100 mg/dl termasuk kategori control glikemik baik.
Kadar glukosa darah puasa 100-125 mg/dl termasuk kategori kontrolglikemik

sedang. Kadar glukosa puasa ≥126 mg/dl termasuk kategori control glikemik

buruk. Frekuensi kontrol glikemik responden penelitian dapat dilihat pada Tabel

9.

Table 9. distribusi frekuensi kontrol glikemik responden.

Berdarakan table 9 dapat dilihat bahwa 36 orang (65,5%) responden memiliki

kontrol glikemik yang buruk dan 4 orang (7,3%) responden memiliki kontrol

glikemik yang baik.

5.1.4 Hubungan Diabetes Self Care Management dengan Kontrol Glikemik

Hubungan antara diabetes self care management dengan kontrol glikemik dapat

diketahui dengan menggunakan analisis croasstab (tabulasi silang). Hubungan antara

variable diabetes self care management dengan kontrol glikemik dapat dilihat pada

table 10.

Tabel 10. Hubungan Diabetes self care management dengan kontrol glikemik pasien

diabetes mellitus tipe 2 di puskesmas 1 ubud.


Berdasarkan Tabel 10, dari 35 responden diketahui bahwa 19 orang (34,5%)
memiliki kontrol glikemik yang buruk ke dalam kategori DSCM yang rendah.
Sebanyak 4 orang (7,3%) responden dengan kontrol glikemik yang baik dan
DSCM yang tinggi. Nilai tersebut akan menjelaskan seberapa besar DSCM
dapat menjelaskan variasi kontrol glikemik. Hasil penelitian ini juga
memperoleh 3 orang (5,5%) responden yang memiliki DSCM yang tinggi
namun kontrol glikemiknya buruk. Hal ini dikarenakan DSCM hanya dapat
menjelaskan variasnilai kontrol glikemik sebesar 41,3%% dan sisanya
dijelaskan oleh factor lain.
Hasil analisis didapatkan nilai p=0,000. Nilai p<0,05 menunjukan bahwa H 0
ditolak, yang berarti bahwa ada hubungan yang signifikan antara diabetes self
care management dengan kontrol glikemik. Hasil analisis juga didapatkan nilai
r=0,643 yang menandakan bhahwa ada hubungan yang positif dan kuat
antara variable diabetes self care management dengan kontrol glikemik.
Semakin tinggi skor DSCM maka semakin baik kontrol glikemiknya.

5.2 Pembahasan

5.2.1 Karakteristik Responden

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Berdasarkan hasil penelitian terhadap 55 responden diketahui bahwa
sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 30
orang (54,5%). Hasil ini sejalan dengan penelitian Padma, Bale, Bodhare,
dan Valsangkar (2012) yang melaporkan bahwa 63 orang (53,85%)
responden dalam penelitian berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan
pengamatan para ahli dari University of Glasgow, Skotlandia diketahui
bahwa jenis kelamin laki-laki (51.920) lebih banyak menderita DM
dibandingkan dengan perempuan (43.137) (Pramudiarja, 2011). Hal ini
berbeda dengan penelitian Nyunt, Howteerakul, Suwannapong, dan
Rajatanun (2010) yang melaporkan sebanyak 112 orang (42,1%) responden
dalam penelitian tersebut berjenis kelamin laki-laki. Pramudiarja (2011)
menjelaskan bahwa umumnya responden dalam penelitian tersebut
memiliki IMT berlebih (overweight). Perempuan biasanya akan menderita
DM pada IMT 33,69 kg/m2 sedangkan laki-laki pada 31,83 kg/m 2. Hal inilah
yang menyebabkan laki-laki lebih banyak menderita DM.
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 55 responden diperoleh 24 orang
(43,6%) responden dalam rentang usia 56-65 tahun. Hal ini sejalan dengan
penelitian Nelson, McFarlan, dan Reiber (2007) yangmelaporkan bahwa
frekuensi rentang usia terbesar adalah 55-64 tahun dengan jumlah 44
orang. Guyton dan Hall (2007) juga menjelaskan bahwa angka kejadian DM
tipe 2 terjaid pada usia diatas 30 tahun, sering kali di antara usia 50 dan 60
tahun. Hal ini terjadi karena proses penuaan yang berlangsung setelah usia
30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia yang
dimulai dai tingkat sel hingga organ yang dapat mempengaruhi fungsi
homeostasis (Rochmah dalam Sudoyo 2006). Seiring dengan bertambahnya
usia maka akan terjadi peningkatan resistensi terhadap efek insulin di
tempat-tempat kerjanya serta penurunan sekresi insulin oleh pancreas
(Ganong & McPhee,2010).
3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 55 responden diperoleh 34 orang
(61,8%) responden dengan pendidkan dasar (SD,SMP). Hal ini sejalan
dengan penelitian Isworo dan Saryono (2010) yang melaporkan bahwa 96
orang (57,8%) responden dalam penelitian tersebut berada pada tingkat
pendidikan yang rendah. Aditama (2011) melaporkan bahwa 36 orang
(62,28%) respoden berada pada pendidikan primer (tidak sekolah,
SD,SMP). Rendahnya pendidikan akan berpengaruh pada prilaku DM dalam
mengelola penyakitnya.
4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 55 responden diketahui bahwa
sebanyak 19 orang (34,5%) responden dengan jenis pekerjaan sebagai
wiraswasta. Pekerjaan yang dimiliki akan mempengaruhi jumlah
penghasilan yang diperoleh. Penelitian oleh Padma, Bele, Bodhare, dan
Valsangkar (2012) dilaporkan bahwa 75 orang (64,10%) responden pada
penelitian tersebut berada pada sosial ekonomi kelas rendah. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sejalan
antara sosial ekonomi dengan penerapan seld care pada pasien DM (Bai,
Chiou,dan Chang, 2009;Kusniawati;2011).
5. Karakteristik Responden Berdasarkan Durasi DM
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 55 responden diperoleh rentang
lamanya menderita DM antara 1-5 tahun dengan rata-rata 2,25 tahun. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian Whittemore, D’Eroma Melkus, dan Grey
(2005) yang menjelaskan bahwa rata-rata durasi DM adalah 2,7 tahun.
Berbeda dengan hasil penelitian Xu Yin, Toobert, Savage, Pan, dan Whitmer
adalah 7,8 tahum. Durasi DM pada kenyataannya kurang menggambarkan
kondisi penyakit yang sesungguhnya karena biasanya penderita DM baru
terdiagnosis setelah mengalami komplikasi nyata padahal proses penyakit
tersebut sudah berlangsung lama sebelum penderita terdiagnosis.
Kusniawati (2011) menyatakan bahwa klien yang baru terdiagnosis DM
dank lien yang sudah lama terdiagnosis menunjukkan perilaku yang sama
dalam melakukan DSCM.
5.2.2 Diabetes Self Care Management
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 55 responden diperoleh 20 orang (36,4%)
responden memiliki skor DSCM yang rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh
Adiatama (2011) yang menyatakan bahwa dari 56 sampel, sebanyak 48,21%
responden memiliki self care yang rendah. Rendahnya self care pada penelitian
tersebut dipengaruhi oleh rendahnya self efficacy. Sebanyak 78,57% responden
pada penelitian tersebut memiliki self efficacy yang rendah.
Self effacay atau keyakinan terhadap efektivitas pelaksanaan diabetes merupakan
pemahaman pasien DM mengenai pentingnya seld care diabetes dalam mengelola
DM. Pemahaman tersebut akan merefleksikan keyakina pada diri mengenai
sejauhmana tindakan self care diabetes tersebut dapat membantu pasien dalam
mengontrol glukosa darahnya (Xu Yi, Toobert, Savage, Pan & Whitmer,2008).
Keyakinan yang terbentuk dalam diri seseorang akan mendukung perilakunya dalam
melakukan hal yang dirasa bermanfaat baginya. Penelitian oleh Nelson, McFarland,
dan Reiber (2007) menyatakan bahwa rata-rata responden pada penelitian tersebut
menunjukkan skor self efficacy yang rendah. Hal ini juga berpengaruh pada diabetes
self management yang rendah.
Selain itu penelitian oleh Kusniyah, Nursiswati, dan Rahayu (2011) juga
mengungkapkan bahwa 55% responden memiliki self care yang rendah. Jumlah
sampel pada penelitian tersebut adalah 93. Rendahnya self care pada penelitian
tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan, depresi, perilaku terhadap penyakit ,
lainnya menderita DM, dan factor ekonomi.
Pengetahuan yang dimiliki oleh penderita DM akan mempengaruhi bagaimana
pelaksanaan DSCMnya. Sousa dan Zauszniewski (2005) menjelaskan bahwa individu
yang memiliki pengetahuan yang baik tentang diabetes menunjukkan kepercayaan
diri dalam melakukan DSCM. Penelitian oleh Rondhianto (2012) dan Funnell (2010)
juga menyatakan bahwa pemberian diabetes self management education (DSME)
berpengaruh terhadap peningkatan perilaku seld care pada responden.
Hal ini sejalan dengan PARKENI (2011) yang menjelaskan bahwa untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif. Edukasi
tahap awal yang diperlukan adalah pengetahuan tentang penyakit DM; makna dan
perlunya pengendaluan dan pemantauan DM secara berkelanjutan, penyulit DM dan
risikonya; intervensi farmakologis ataupun non farmakologis serta target
pengobatan; interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisiki, dan obat; cara
pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasilnya; pentingnya latihan jasmani
yang teratur; mengatasi kegawatdaruratan sementara;dan masalah khusus yang
dihadapi.
Selain pengetahuan, Kusniyah, Nursiswati, dan Rahayu (2011) juga menyatakan
bahwa depresi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya
penerapan self care. Penelitian oleh Egede dan Osborn (2010) menjelaskan bahwa
rendahnya dukungan sosial menimbulkan peningkatan depresi yang menyebabkan
penurunan self care behaviors. Depresi yang disebabkan oleh kurangnya dukungan
sosial akan mengakibatkan kurang termotivasinya penderita DM untuk melakukan
diabetes self care management.
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa motivasi memiliki hubungan yang
signifikan dengan pelaksanaan DSCM. Semakin tinggi motivasi yang dimiliki oleh
penderita DM maka semakin tinggi pula pelaksanaan DSCMnya (Shigaki et al., 2010;
Kusniawati,2011; & Walker, 2012). Hal tersebut sejalan dengan PERKENI (2011) yang
menjelaskan bahwa upaya peningkatan motivasi diperlukan untuk meningkatkan
bahwa upaya peningkatan motivasi diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan
perubahan perilaku.
Kusniyah, Nursiswati, dan Rahayu (2011) juga menyatakan bahwa lamanya
menderita DM dan faktor ekonomi juga mempengaruhi self care. Hal ini sejalan
dengan Vivienne et al. (2007) dan Bai, Chiou, dan Chang. (2009) yang menjelaskan
bahwa semakin lamanya penderita DM menderita DM, maka semakin meningkatkan
penerapan self care. Pasien yang menderita DM lebih dari 5 tahun akan menyadari
pentingnya menerapkan self care setelah gejala penyerta muncul sehingga tidak
jarang penderita DM akan mulai melakukan pengelolaan yang dianjurkan saat
komplikasi mulai muncul. Berbeda dengan Kusniawati (2011) yang menyatakan
bahwa klien yang baru terdiagnosis DM dank lien yang sudah lama terdiagnosis
menunjukkan perilaku yang sama dalam melakukan DSCM.
Penelitian yang dilakukan oleh Bai, Chiou, dan Chang (2009) menunjukkan bahwa
semakin tinggi status sosial ekonomi maka perilaku self care akan semakin
meningkat. Apabila status sosial ekonomi memadai maka pasien DM dapat
melakukan perawatan DM dengan baik sehingga dapat terhindar atau
memperlambat terjadinya komplikasi akibat DM. Hal ini sejalan dengan penelitian
Kusniawati (2011) yang menyatakan bahwa semakin tinggi sosial ekonomi maka self
care semakin meningkat, namun hubungan tersebut tidak terlalu kuat.
Berbeda dengan penelitian Aditama (2011) dan Kusniyah, Nursiswati, dan Rahayu
(2011), penelitian oleh Nyunt, Howteerakul, Suwannapong, dan Rajatanun (2010)
mengemukakan bahwa dari 266 responden hanya 13,9% yang memiliki self care
behaviors yang rendah. Angka kategori skor DSCM yang rendah pada penelitian
tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian ini yang menemukan
sekitar 36,4%. Kecilnya angka self care behaviors pada penelitian tersebut dapat
disebabkan karena tingginya self efficacy. Dijelaskan bahwa sebanyak 165 orang
(62%) responden memiliki self efficacy yang tinggi.

5.2.3 Kontrol Glikemik


Berdasarkan hasil penelitian terhadap 55 responden diperoleh 36 orang (65,5%)
responden memiliki kontrol glikemik yang buruk. Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian oleh Kusniyah, Nursiswati, dan Rahayu (2011) yang mengemukakan
bahwa 54,8% responden memiliki kontrol glikemik yang buruk. Selain itu penelitian
Aditama (2011) juag mengungkapkan bahwa 78,5% responden memiliki kontrol
glikemik yang buruk. Tingginya angka kontrol glikemik yang rendah pada penelitian
tersebut disebabkan oleh faktor usia, aktivitas fisik, diet, dan obat.
Hasil penelitian Aditama (2011) mengemukakan bahwa 36 orang (67,85%)
responden berada pada usia ≥45 tahun. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian
ini yang memperoleh sebanyak 45 orang (81,7%) responden berada pada usia <45
tahun. Hasil penelitian Aditama (2011) menyatakan 86,8% responden dengan usia
≥45 tahun memiliki kontrol glikemik yang rendah. Dijelaskan bahwa seseorang yang
berusia diatas 30 tahun akan mengalami gangguan peningkatan kadar glukosa
darah sebesar 1-2 mg% pada kadar glukosa dara puasa dan 5,6-13mg% pada 2 jam
pasca makan (Aditama,2011). Selain itu kontrol glikemik yang rendah juga
disebabkan oleh proses penuaan. Penuaan akan mengakibatkan penurunan fungsi
tubuh secara anatomis, fisiologis, ataupun biokimia (Rochmah dalan Sudoyo 2006).
Penelitian oleh Isworo dan Saryono (2010) juga menyatakan bahwa dari 166 sampel
sebanyak 94 orang (56,5%) responden memiliki kontrol glikemik yang buruk.

Anda mungkin juga menyukai