Anda di halaman 1dari 101

KEAGUNGAN BULAN DZULHIJJAH

Bulan Dzulhijjah adalah salah satu diantara


Bulan suci yang empat, bulan yang diagungkan oleh
Allah  , bulan yang terlarang.
Allah  berfirman :
ْ ْ ُ ُّ
َّ‫اب‬
َِّ ‫ف َّك ِت‬ َّ ِ َّ َّ‫للَِّاثنا َّعشَّ َّشهرا‬
َّ ‫ور َّعِندَّ َّا‬
ِ ‫{إِنَّ َّعِدةَّ َّالش‬
‫ه‬
ُ ْ
َّ‫ضََّّمِنهاََّّأ ْربعةَََّّّح ُر َّم‬َّ ‫للََِّّي ْومَََّّّخلقَََّّّالسماواتََّّواأل ْر‬
َّ ‫ا‬
ْ ُ ْ ُ ُ ْ ُ ْ ُ ِّ ْ ُ ِّ
َّ‫ِيهنََّّأنفسك َّمَّوقات ِل َّوا‬ ِ ‫ذل ِكََّّادلينََّّالقي َّمَّفلََّّتظلِم َّواَّف‬
ْ ُ ْ ُ ُ ُ ْ ُْ
َّ‫ن‬َّ ‫شك ِيَّ َّكآفةَّ َّكما َّيقات ِلونك َّْم َّكآفةَّ َّواعلم َّوا َّأ‬ ِ ‫الم‬
ُْ
َّ}‫اللََّّمعََّّالمت ِقي‬
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah
dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan haram (suci atau terlarang) . Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya
diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah
kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan
ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang
yang bertakwa”. (QS At Taubah : 36)
Bulan suci yang empat itu adalah Dzulqa’idah,
Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Sebagaimana
disebutkan didalam Hadits dari Abu Bakrah  , dari
Nabi a bersabda :

1
ِ ‫السمو‬
‫ات‬ َ َ َّ ُ‫اَّلل‬ َّ ‫استَ َد َار َك َه ْي ئَتِ ِه يَ ْوَم َخلَ َق‬
ْ ‫الزَما ُن قَ ْد‬
َّ
،‫ ِم ْن َها أ َْربَ َعة ُح ُرم‬،‫ش َر َش ْه ًرا‬ َ ‫السنَةُ اثْ نَا َع‬َّ ،‫ض‬ َ ‫َواأل َْر‬
،‫ ذُو ال َق ْع َد ِة َوذُو احلِ َّج ِة َواملُ َح َّرُم‬:‫ثَالَثَة ُمتَ َوالِيَات‬
ِ َ ‫ورجب م‬
‫ادى َو َش ْعبَا َن‬
َ َ‫ْي ُُج‬َ ْ َ‫ الَّذي ب‬،‫ض َر‬ ُ ُ َََ
“Zaman itu berputar sebagaimana bentuknya saat
Allah Ta’ala menciptakan langit dan bumi. Satu tahun
itu 12 bulan. Darinya ada 4 bulan yang suci, yang 3
berturut turut (yaitu) Dzulqa’idah, dzulhijjah, dan
muharram. Dan Rajab Mudhar antara bulan Jumadil
akhir dan Sya’ban” (HR Bukhari : 3197, Muslim : 1679)
Dari ayat diatas menunjukan bahwa
penanggalan ibadah kita itu adalah penanggalan
hijriyah, dan penanggalan itulah yang diakui dan di
shahkan oleh Allah ketika Allah menciptakan langit
dan bumi.
Imam Al Qurthubi v berkata :
‫َح َك ِام ِم َن‬ ْ ‫يق ْاأل‬ُ ِ‫ب تَ ْعل‬ ِ
َ ‫َن ال َْواج‬ َّ ‫َه ِذهِ ْاْليَةُ تَ ُد ُّل َعلَى أ‬
ِ َ َ‫ال ِْعب‬
‫ْي الَِِّت تَ ْع ِرفُ َها‬ َ ِ‫لش ُهوِر َوالسن‬ ِ ‫اد‬
ُّ ‫ات َوغَ ِْْيَها إِ ََّّنَا يَ ُكو ُن ِِب‬
ُ ‫وم َوال ِْق ْب‬
‫ط‬ ُ ‫الر‬ ُ َِ‫الشهوِر الِت تَ ْعت‬
ُّ ‫ِب َها ال َْع َج ُم َو‬ ُّ ‫ دو َن‬،‫ب‬ ُ ‫ال َْع َر‬
“Ayat ini menunjukan bahwasanya yang wajib bagi
kaum muslimin adalah menggantungkan hukum
hukum ibadah dan yang lainnya (mu’amalah) dengan
(kalender) bulan bulan dan tahun tahun yang dikenal
oleh bangsa Arab (baca Kalender hijriyah), bukan

2
yang dinggap oleh orang bukan arab, Romawi, dan
Qibty (mesir kuno)” (Tafsir Al Qurthubi 8/133)
Yang dimaksud dengan bulan haram adalah
haram artinya suci, seperti ucapan tanah haram
adalah tanah suci atau haram maknanya adalah
terlarang, karena pada bulan tersebut terlarang
peperangan atau terlarang malakukan dosa karena
dosa yang dilakukan pada bulan bulan tersebut lebih
besar dosanya disisi Allah dari pada dosa yang
dilakukan pada bulan bulan lainnya. Bukan berarti
dilarang berbuat dosa pada bulan tersebut dan boleh
pada bulan lainnya.
Ibnu Abbas  berkata tentang firman Allah 
“Janganlah kalian berbuat dzalim pada bulan bulan
haram tersebut” :
‫ك‬ َ ِ‫ص ِم ْن َذل‬ َّ َ‫ ُثَّ ا ْخت‬،‫س ُك ْم ِف ُكلِ ِه َّن‬ ِ
َ ‫َل تَظْل ُموا أَنْ ُف‬
‫ َو َج َع َل‬،‫ َو َعظَّ َم ُح ُرَماِتِِ َّن‬،‫أ َْربَ َع َة أَ ْش ُهر فَ َج َعلَ ُه َّن َح َرًما‬
ِ َّ ‫ والْعمل‬،‫الذنْب فِي ِه َّن أَ ْعظَم‬
ْ ‫الصال َح ِِب ْأل‬
‫َج ِر أَ ْعظَ َم‬ َ ََ َ َ َ َّ
“Janganlah kalian berbuat dosa pada semua bulan
(bukan hanya pada 4 bulan suci), kemudian yang
demikian itu dikhususkan pada 4 bulan suci,
dijadikan sebagai bulan yang terlarang, dan
diagungkan kesuciannya, dosa yang dilakukan
padanya lebih besar, serta amal shalih yang
dilakukan padanya lebih besar pahalanya” (Tafsir Ibnu
Katsir 4/130)

Dosa kecil bisa berubah menjadi besar karena


sebab tertentu, misalnya karena mulianya waktu

3
berbuat dosa atau karena mulianya tempat dalam
berbuat dosa. Sebagai permisalan, berbantah
bantahan dan berbuat kefasikan dilarang dalam
segala kondisi, dan pada saat sedang melaksanakan
haji larangan itu lebih ditekankan lagi.
ْ
Allah  berfirman :
ُ ْ ُ ْ ُّ ْ
َّ‫ِيهنَّ اْلجَّ فل‬
ِ ‫ضف‬ َّ ‫ن فر‬ َّ ‫ات فم‬ َّ ‫ج أشهرَّ معلوم‬ َّ ‫{اْل‬
ْ ْ ُ ْ ِّ ْ ُ ُ
‫ِن‬
َّ ‫ج وما تفعل َّوا م‬ َّ ‫ف اْل‬ َّ ِ َّ‫جدال‬ ِ ‫ل‬
َّ ‫و‬ ‫وق‬
َّ ‫س‬ ‫رفثَّ ولَّ ف‬
ْ ْ ْ ُ ُْ ْ ْ
‫ى‬
َّ ‫ي الزا َِّد اتلقو‬
َّ ‫وا فإِنَّ خ‬ َّ ‫الل ّ وتزود‬ َُّ ‫ي يعلم َّه‬ َّ‫خ ر‬
ْ ُ ُ
}‫اب‬ ِ ‫ل األ‬
‫ْل‬ َّ ِ ‫ون يا أ ْو‬َِّ ‫واتق‬
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi ,
barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan
itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats ,
berbuat fasik dan berbantah bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan
berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-
orang yang berakal. (QS Al Baqarah : 197)
Ayat ini tidak menunjukan bahwa berbantah
bantahan dan berbuat kefasikan dibolehkan diluar
haji, akan tetapi ingin menunjukan bahwa perkara
tersebut adalah besar disisi Allah dosanya karena
dilakukan pada saat ditanah haram, dan pada waktu
yang haram pula.
Diantara keistimewaan bulan Dzulhijjah adalah
keutamaan beramal shalih di sepuluh hari pertama.

4
Allah  berfirman,
ْ ْ ْ
}َّ ‫ش‬
‫ر‬ ‫ع‬ َّ
‫ال‬‫ر‬ ‫َل‬ ‫و‬ َّ
‫ر‬
ِ ‫{والف‬
‫ج‬
“Demi waktu fajar. Dan demi malam yang sepuluh.”
[Al-Fajr: 1-2]
Banyak ahli tafsir menjelaskan bahwa makna
“malam yang sepuluh” dalam ayat diatas adalah
sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan Allah
ta’ala bersumpah dengannya menunjukkan bahwa ia
memiliki keutamaan.
Al-Imam Ibnu Katsir v menyebutkan dalam
Tafsir beliau,
‫اد ِِبَا َع َش ُر ِذي ا ْحلِ َّج ِة َك َما قَالَهُ ابْ ُن‬
ُ ‫َواللَّيَ ِال ال َْع ْش ُر ال ُْم َر‬
.‫ف‬ ِ َ‫اْلَل‬
ْ ‫ف َو‬ َّ ‫احد ِم َن‬
ِ َ‫السل‬ ِ ‫اهد وغَ ْْي و‬ ِ
َ ُ َ َ‫الزبَ ِْْي َو ُُم‬ ُّ ‫َعبَّاس َوابْ ُن‬
“Sepuluh malam yang dimaksud dalam ayat ini
adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnuz
Zubair, Mujahid dan banyak lagi ulama dari kalangan
Salaf dan Khalaf yang berpendapat demikian.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 8/390)

Dari Ibnu ‘Abbas  ia berkata, Rasulullah 


bersabda :
‫اَّلل ِم ْن‬
َِّ ‫ب إِ َل‬ ِ ِ‫الصال‬
َ ‫ح في ِه َّن أ‬
ُّ ‫َح‬ ُ َّ ‫الع َم ُل‬
ِ
َ ‫َما م ْن أ َََّّيم‬
َِّ ‫ول‬
ُ ‫ َوَل اجلِ َه‬،‫اَّلل‬ ِِ
‫اد‬ َ ‫َهذه األَ ََّّيِم‬
َ ‫ ََّي َر ُس‬:‫ فَ َقالُوا‬،‫الع ْش ِر‬
‫اد ِف‬ُ ‫ َوَل اجلِ َه‬: a ‫اَّلل‬ َِّ ‫ول‬ُ ‫ال َر ُس‬ َِّ ‫يل‬
َ ‫اَّلل؟ فَ َق‬ ِ ِ‫ِف َسب‬

5
‫ج بِنَ ْف ِس ِه َوَمالِ ِه فَ لَ ْم يَ ْرِج ْع ِم ْن‬ َِّ ‫يل‬
َ ‫ إَِّل َر ُجل َخ َر‬،‫اَّلل‬ ِ ِ‫َسب‬
َ ِ‫ك ب‬
‫ش ْيء‬ َ ِ‫َذل‬
“Tidaklah ada hari hari yang amal shalaih pada hari
hari tersebut lebih dicintai oleh Allah daripada
sepuluh hari pertama dibulan dzulhijjah. Maka para
sahabat bertanya, “wahai Rasulullah apakah (amal
shalih tersebut) lebih Allah cintai dari pada jihad fi
sabilillah ?”. beliau menjawab, “iya walupun dengan
jihad fi sabilillah, kecuali sesorang yang keluar
(berjihad) dengan diri dan hartanya lalu tidak
kembali setelah itu selamanya (syahid)” (HR Bukhari : 926,
Abu Dawud : 2438, Ahmad : 1968)

Dalam lafadz yang lain :


َِّ ‫ما ِمن َعمل أَ ْزَكى ِع ْن َد‬
ْ ‫اَّلل َع َّز َو َج َّل َوَل أَ ْعظَ َم أ‬
‫َج ًرا‬ َ ْ َ
‫ض َحى‬ ْ َ‫ِم ْن َخ ْْي يَ ْع َملُهُ ِف َع ْش ِر ْاأل‬
“tidak ada amalan yang paling utama disisi Allah
‘Azza wajalla, tidak juga lebih agung pahalanya
daripada amalan yang dilakukan pada sepuluh hari
(pertama) bulan dzulhijjah” (HR Ad-Darimi, Irwaul Ghalil
3/398)

Dalam riwayat Imam Ahmad  ada tambahan


:
ِ ‫يل والتَّ ْكبِ ِْي والتَّح ِم‬ِ ْ ‫فَأَ ْكثِروا فِي ِه َّن ِمن الت‬
‫يد‬ ْ َ َ ِ ‫َّهل‬ َ ُ
“Maka perbanyaklah padanya tahlil (mengucapkan
laa ilaaha illallah), Takbir (mengucapkan Allahu

6
Akbar), dan tahmid (mengucapkan Al Hamdulillah)”
(HR Ahmad : 6154)

Rahasia dibalik keagungan sepuluh hari


pertama dibulan Dzulhijjah adalah terkumpulnya inti
ibadah pada hari hari tersebut.
Al Hafidz Ibnu hajar Al ‘Asqalani v berkata :
‫ب ِف ْامتِيَا ِز َع ْش ِر ِذي ا ْحلِ َّج ِة‬ َ َ‫السب‬ َّ ‫َن‬ َّ ‫َوالَّ ِذي يَظ َْه ُر أ‬
ُ‫الص َالة‬َّ ‫اد ِة فِ ِيه َو ِه َي‬ َ َ‫ات ال ِْعب‬ِ ‫اجتِم ِاع أ َُّم َه‬ ِ ِ
َ ْ ‫ل َم َكان‬
‫ك ِف غَ ِْْيِه‬
َ ِ‫الص َدقَةُ َوا ْحلَ ُّج َوَل يَتَأَتَّى َذل‬
َّ ‫ام َو‬ ِ
ُ َ‫َوالصي‬
“Yang Nampak bahwasanya sebab istimewanya
sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena
terkumpulnya induk induk ibadah didalamnya, yaitu
shalat, puasa, sedekah, haji yang tidak terkumpul
pada hari hari yang lainnya” (Fathul bari 2/460)

Abu ‘Utsman An Nahdi v berkata :


‫ش َرات الْع ْش ُر األ ََّو ُل ِم َن‬ َ ‫ث َع‬ َ ‫َكانُ ْوا يُ َع ِظ ُم ْو َن ثََال‬
ِ ِ ِ
ُْ ‫ال ُْم َح َّرم َوال َْع ْش ُر ْاأل ََّو ُل م ْن ِذ ْي ا ْحلِ َّج ِة َوال َْع ْش ُر ْاألَخ‬
‫ْي‬
َ ‫ِم ْن َرَم‬
‫ضا َن‬
“Mereka (salafus shalih) mengagungkan sepuluh hari
yang tiga, yaitu sepuluh hari pertama dibulan
muharram, sepuluh hari pertama dibulan Dzulhijjah
dan sepuluh malam yang akhir di bulan Ramadhan”
(Ad Durul Mantsur Fit Tafsiril Ma’tsur 8/502)

7
HARI HARI YANG ISTIMEWA
Apa saja hari hari yang istimewa pada sepuluh
hari pertama dibulan Dzulhijjah ?

Hari arafah adalah hari yang ke sembilan pada


saat jama’ah haji sedang melakukan wukuf di ‘Arafah.
Diantara keistimewaan hari ‘Arafah adalah hari
pembebasan hamba dari apai neraka.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya
Rasulullah a bersabda :
،‫َما ِم ْن يَ ْوم أَ ْكثَ َر ِم ْن أَ ْن يُ ْعتِ َق للاُ فِ ِيه َع ْب ًدا ِم َن النَّا ِر‬
،َ‫اهي ِبِِِم ال َْم َالئِ َكة‬ ِ ‫ ُثَّ ي ب‬،‫ وإِنَّه لَي ْدنُو‬،َ‫ِمن ي وِم َعرفَة‬
َُ َ ُ َ َ َْ ْ
‫اد َه ُؤَل ِء؟‬
َ ‫ َما أ ََر‬:‫ول‬ ُ ‫فَ يَ ُق‬
“tidaklah ada hari hari yang begitu banyaknya Allah
membebaskan para hamba dari api neraka daripada
hari ‘Arafah, pada hari ‘Arafah Allah mendekat
kepada para Hambanya (di padang arafah) lalu Allah
membanggakannya dihadapan para Malaikat-Nya,
seraya Berfirman, “Apa yang mereka inginkan ?
(dengan berbondong bondong datang di padang
‘Arafah ini)” (HR Muslim : 1348)

8
Imam Ibnu Rajab v berkata :
‫َويَ ْو ُم َع َرفَ َة ُه َو يَ ْو ُم ال ِْع ْت ِق ِم َن النَّا ِر فَ يَ ْعتِ ُق للاُ ِم َن‬
‫ف ِِبَا ِم ْن أ َْه ِل‬ ْ ‫ف بِ َع َرفَةَ َوَم ْن َلْ يَِق‬ َ َ‫النَّا ِر َم ْن َوق‬
ِ ِ ‫األَم‬
َ ْ ‫صا ِر م َن ال ُْم ْسل ِم‬
‫ْي‬ َ ْ
“Dan hari ‘Arafah adalah hari pembebasan dari api
neraka bagi yang sedang wukuf di ‘Arafah atupun
bagi yang tidak wukuf disemua negeri dari kalangan
kaum muslimin” (Lathoiful Ma’arif 1/276)
Diantara amalan yang utama pada hari ‘Arafah
baik bagi jema’ah haji yang sedang wukuf di ‘Arafah
atau yang tidak sedang berada di ‘Arafah adalah
memperbanyak berdo’a karena sebaik baik do’a
adalah yang dipanjatkan pada hari ‘Arafah, lebih lebih
bagi mereka yang sedang wukuf di ‘Arafah, karena
bagi mereka ‘Arafah adalah tempat mustajab untuk
berdo’a. dan wukuf di ‘Arafah adalah diantara inti dan
puncaknya ibadah haji.
Rasulullah  bersabda :
‫ْت أ ََن‬ ِ ِ ُّ ‫َخْي‬
ُ ‫ َو َخ ْْيُ َما قُل‬،‫الد َعاء ُد َعاءُ يَ ْوم َع َرفَ َة‬ ُْ
َّ ‫ َل إِلَ َه إَِّل‬:‫َوالنَّبِيُّو َن ِم ْن قَ ْبلِي‬
َ ‫اَّللُ َو ْح َدهُ َل َش ِر‬
،ُ‫يك لَه‬
‫ْك َولَهُ احلَ ْم ُد َو ُه َو َعلَى ُك ِل َش ْيء قَ ِدير‬
ُ ‫لَهُ املُل‬
“Sebaik baik do’a adalah do’a pada hari ‘Arafah. Dan
sebaik baik apa yang aku dan para Nabi sebelum
ucapkan adalah “Laa ilaaha illaLlahu wahdah, laa

9
syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa
huwa ‘ala kulli syaiin Qodiir” (Tidak ada yang
berhak disembah selain Allah yang satu saja, tidak
ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kekuasaan dan milik-
Nya segala pujian, dan Dia Maha Mampu atas segala
sesuatu).” (HR At Tirmidzi : 3585, As Shahihah : 1503, Shahihul Jaami’:
3274)

Amalan khusus yang lain di hari ‘Arfah bagi


yang sedang tidak wukuf di ‘Arafah adalah dengan
berpuasa, dimana seseorang akan diampuni dosanya
setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.
Dari Abu Qotadah radhiyallahu anhu ia berkata,
Rasulullah  bersabda :
ِ ‫ْي م‬
،‫اضيَ ًة َوُم ْستَ ْقبَ لَ ًة‬ ِ ْ ‫ت‬
َ ‫ن‬
َ ‫س‬ ‫ر‬‫ف‬ِ ‫صوم ي وِم َعرفَ َة ي َك‬
َ َ ُ ُ َ َْ ُ َْ
ِ ‫وصوم َعا ُشوراء ي َك ِفر سنَ ًة م‬
‫اضيَ ًة‬ َ َ ُ ََُ ُ َْ َ
“Puasa hari ‘arafah adalah menghapus dosa dua
tahun, tahun yang telah berlalu dan tahun yang akan
dating, sedangkan puasa ‘Asyura adalah menghapus
setahun yang telah berlalu” (HR Ahmad : 22535)
Bagi mereka yang sedang wukuf di ‘Arafah lebih
utama untuk tidak berpuasa sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.
Dari Maimunah radhiyallahu anha ia berkata :

َ‫ يَ ْوَم َع َرفَة‬a ‫َّب‬ ِ ‫َن النَّاس َش ُّكوا ِف‬


ِ ِ‫صيَ ِام الن‬ َّ ‫أ‬
َ
‫ب‬َ ‫ش ِر‬ ِ ِ‫ت إِلَْي ِه ِِِبالَب و ُهو واقِف ِف املَوق‬
َ َ‫ف ف‬ ْ َ‫فَأ َْر َسل‬
ْ َ َ َ
‫َّاس يَ ْنظُُرو َن‬ ِ
ُ ‫م ْنهُ َوالن‬
10
“Bahwasanya manusia (para sahabat) mngeluhkan
puasa Nabi shalallahu alaihi wasallam pada hari
Arafah, lalu Umu Salamah memberikan kepada
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam susu ketika
beliau shalallahu alaihi wasallam sedang wukuf di
tempat wukufnya, lalu meminumnya , dan manusia
melihatnya (beliau) minum” (HR Bukhari : 1989)
Syaikh Sa’id bin Wahaf Al Qahthani
rahimahullah berkata :
‫ك‬ َ ِ‫ أَنَّهُ يَتَ َق َّوى بِ َذل‬:‫اج يَ ْو َم َع َرفَةَ ِم َن الْ َف َوائِ ِد‬ِ َ‫َوِ ْف إِفْطَا ِر احل‬
َِِّ ‫ والت َذلُّ ِل‬،‫ضرِع‬
‫ َويَ ِزيْ ُد نَ َشاطُهُ ِ ْف‬،‫َّلل تَ َع َال‬ ِ ُّ ‫علَى‬
َ َ َ َ َّ‫ َوالت‬،‫الد َعاء‬ َ
.‫ف ال َْع ِظ ْي ِم‬
ِ ِ‫َه َذا الْموق‬
َْ
“Dan didalam tidak berpuasanya jema’ah haji di
Arafah ada beberapa hikmah diantaranya
menguatkan didal;am berdo’a, ada rasa
menghinakan, dan menghambakan diri kepada Allah,
serta menumbuhkan semangat didalam kondisi Yang
agung ini (manasikul haji wal umrah fil islam)”
Dengan demikian hari ‘Arafah memiliki 3
kekhususan, yaitu hari pembebasan dari api neraka,
hari untuk memperbanyak berdo’a dan hari untuk
berpuasa yang dengannya akan diampuni dosa
setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.

Hari nahar adalah hari penyembelihan, hari


yang agung, hari raya ‘idul adha, hari haji akbar, dan
sebaik baik hari disisi Allah ta’ala.

11
Dari ‘Abdullah bin Qurth  , Rasulullah 
bersabda :
‫ ُثَّ يَ ْو ُم الْ َق ِر‬،‫َّح ِر‬ َِّ ‫أَ ْعظَم ْاألَ ََّّيِم ِع ْن َد‬
ْ ‫اَّلل يَ ْو ُم الن‬ ُ
“Hari hari yang paling agung disisi Allah adalah hari
nahar, kemudian hari tasyriq” (HR Ibnu Khuzaimah : 2917, Abu
dawud : 1765, shahihul Jaami’ : 1064)

Amalan yang paling agung adalah shalat ‘idul


Adha dan menyembelih kurban.

Hari tsyriq adalah hari ke 11 – 13 Dzulhijjah,


disebut Tasyriq (daging kering), karena dahulu para
sahabat mengeringkan daging kurban mereka
dijadikan bekal.
Pada hari Tasyriq diperintahkan untuk
berdzikir banyak menyebut nama Allah,
mngagungkannya.
Allah  berfirman :
ُ ْ ْ ُُ ْ
َّ‫ات‬
‫ر‬ ‫ود‬‫د‬ ‫ع‬ ‫م‬ ََّّ
‫ام‬‫ر‬ ‫ي‬ ‫أ‬ََّّ
‫ف‬ ِ َّ‫الل‬
َّ َّ ‫وا‬
َّ ‫واذكر‬
Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
dalam beberapa hari yang berbilang . (QS Al baqarah : 203)
Ibnu ‘Abbas  berkata :
‫ف ُس ْوَرِة ا ْحلَ ِج ِه َي‬ ِ
ْ ِ ‫األَّيم ال َْم ْعلُ ْوَمات ال َْم ْذ ُك ْوَرَة‬ َ َّ
‫أن‬
‫ف ُس ْوَرِة‬ ِ
ْ ِ ‫أ َََّي ُم ال َْع ْش ِر َو ْاألَ ََّي َم ال َْم ْع ُد ْو َدات ال َْم ْذ ُك ْوَرَة‬
.‫الْبَ َق َرِة ِه َي أ َََّّي ُم التَّ ْش ِريْ ِق‬

12
“Sesunnguhnya yang dimaksud hari hari yang telah
diketahui yang terdapat di surah Al hajj adalah hari
hari sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, dan yang
dimaksud hari hari yang berbilang yang terdapat di
surah al baqarah adalah hari tasyriq” (tafsir Ibnu Rajab
1/153).

Inilah tiga hari yang agung yang terdapat di


sepuluh hari pertama dibulan Dzulhijjah, semoga
Allah memudahkan kita untuk mendulang pahala
dihari hari yang penuh berkah tersebut. Wallahu
a’lam.

PUASA SEPULUH HARI PERTAMA


BULAN DZULHIJJAH
Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah memiliki
keistimewaan, dimana amalan sekecil apapun pada
hari hari tersebut lebih utama daripada BERJIHAD di
jalan Allah, maka dianjurkan untuk memperbanyak
amalan terutama, shalat, puasa, dzikir, membaca al
Quran, sedekah dan ibadah ibadah lainnya yang
disyari’atkan.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas  ia berkata,
Rasulullah  bersabda :
‫اَّلل ِم ْن‬
َِّ ‫ب إِ َل‬ ِ ِ‫الصال‬
َ ‫ح في ِه َّن أ‬
ُّ ‫َح‬ ُ َّ ‫الع َم ُل‬
ِ
َ ‫َما م ْن أ َََّّيم‬
َِّ ‫ول‬
ُ ‫ َوَل اجلِ َه‬،‫اَّلل‬ ِِ
‫اد‬ َ ‫َهذه األَ ََّّيِم‬
َ ‫ ََّي َر ُس‬:‫ فَ َقالُوا‬،‫الع ْش ِر‬
‫اد ِف‬ ُ ‫ َوَل اجلِ َه‬:a ‫اَّلل‬ َِّ ‫ول‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َِّ ‫يل‬
َ ‫اَّلل؟ فَ َق‬ ِ ِ‫ِف َسب‬

13
‫ج بِنَ ْف ِس ِه َوَمالِ ِه فَ لَ ْم يَ ْرِج ْع ِم ْن‬ َِّ ‫يل‬
َ ‫ إَِّل َر ُجل َخ َر‬،‫اَّلل‬ ِ ِ‫َسب‬
َ ِ‫ك ب‬
‫ش ْيء‬ َ ِ‫َذل‬
“Tidaklah ada hari hari yang amal shalaih pada hari
hari tersebut lebih dicintai oleh Allah daripada
sepuluh hari pertama dibulan dzulhijjah. Maka para
sahabat bertanya, “wahai Rasulullah apakah (amal
shalih tersebut) lebih Allah cintai dari pada jihad fi
sabilillah ?”. beliau menjawab, “iya walupun dengan
jihad fi sabilillah, kecuali sesorang yang keluar
(berjihad) dengan diri dan hartanya lalu tidak
kembali setelah itu selamanya (syahid)” (HR Bukhari : 926,
Abu Dawud : 2438, Ahmad : 1968)

Diantara amalan yang dianjurkan pada hari hari


yang mulia ini adalah puasa, karena ibadah puasa
adalah ibadah yang agung yang tiada bandingannya.
Puasa yang dimaksud adalah puasa mutlak dari
tanggal 1-9 Dzulhijjah , adapun pada tanggal 10 (idul
adha) atau hari hari Tasyriq (11 -13 dzulhijjah)
dilarang untuk berpuasa karena ia adalah hari raya,
hari yang dianjurkan bergembira, sebagai hari makan
dan minum . Hal ini didasarkan pada riwayat dari
Hunaidah bin Kholid, dari beberapa istri Nabi 
mengatakan,

14
‫ َويَ ْوَم‬،‫وم تِ ْس َع ِذي ا ْحلِ َّج ِة‬ َِّ ‫ول‬
ُ ‫ص‬ ُ َ‫ ي‬a ‫اَّلل‬ ُ ‫« َكا َن َر ُس‬
‫ْي ِم َن‬ ِ ْ َ‫ أ ََّو َل اثْ ن‬،‫ َوثََالثَ َة أَ ََّّيم ِم ْن ُك ِل َش ْهر‬،‫اء‬
َ ‫ور‬
َ ‫َعا ُش‬
ِ ْ ‫الش ْه ِر و‬
»‫يس‬َ ‫اْلَم‬ َ َّ
“Rasulullah  biasa berpuasa pada sembilan hari
awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram),
berpuasa tiga hari setiap bulannya, awal bulan di hari
Senin dan Kamis.” (HR. Abu Daud : 2437 dan An-Nasa’i : 2374)
Yang dimaksud 9 (tis’ah) dalam hadits diatas
adalah 9 hari bukan Taasi’ (hari ke-9), sebagaimana
yang dijelaskan oleh para ulama di Lajnah Daaimah
(majlis fatwa Saudi Arabia) ketika ditanya dalam
masalah ini, mereka menukil perkataan Imam As
Syaukani v di kitab Nailul Authar :
‫ض ْي لَ ِة‬ِ َ‫ث تَ ُد ُّل َعلَى ف‬ ِ ‫اب ال ِْع ْي َدي ِن أَح‬
ُ ْ‫ادي‬ َ ْ ِ َ‫َوقَ ْد تَ َق َّد َم ِ ْف كِت‬
‫ِج‬ َّ ‫ َو‬،‫ال َْع َم ِل ِ ْف َع ْش ِر ِذ ْي ا ْحلِ َّج ِة َعلَى الْعُ ُم ْوِم‬
ُ ‫الص ْو ُم ُم ْن َدر‬
‫اد بِتِ ْس ِع ِذ ْي اْحلِ َّج ِة الْيَ ْو َم‬ ِ ‫ وقَ و ُل ب ْع‬،‫ََتْتَ َها‬
َ ‫ إِ َّن ال ُْم َر‬:‫ض ِه ْم‬ َ ْ َ
‫ْي التِ ْس ِع‬ ِ ِ ِ
َ َْ‫ َو َخطأ ظَاهر ل ْل َف ْر ِق ب‬،‫ ََتْ ِويْل َم ْر ُد ْود‬: ‫التَّاس ِع‬
.‫َّاس ِع‬ِ ‫والت‬
َ
“Telah berlalu didalam kitab (pembahsan masalah)
dua hari raya hadits hadits yang menunjukan
keutamaan beramal ibadah di sepuluh awal bulan
dzulhijjah sementara ibadah puasa adalah bagian dari
ibadah yang mulia, adapun sebagian (ulama)

15
mengatakan bahwa yang dimaksud Sembilan
dzulhijjah itu adalah tanggal Sembilan, maka ini
adalah penafsiran yang batil lagi tertolak, dan
Nampak sekali kesalahannya karena beda antara
Sembilan hari (tis’ah) dengan hari ke Sembilan (at
Taasi’)” (lihat Fatwa Lajnah Ad Daaimah 9/308 no Fatwa : 20247).
Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa
selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu
‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu
Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan
berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi
pendapat mayoritas ulama. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 459).
Adapun hadits yang diriwayatkan dari Aisyah
radhiyallahu anha ia berkata :
ُّ َ‫صائِ ًما ِف ال َْع ْش ِر ق‬
»‫ط‬ ِ َ ‫ت رس‬
َ a ‫ول للا‬ ُ َ ُ ْ‫« َما َرأَي‬
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari (awal)
bulan Dzulhijah sama sekali.” (HR. Muslim : 1176).
Hadits ini tidak lah menafikan berpuasa pada
hari hari sepuluh di awal bulan dzulhijjah, karena
bisa jadi Rasulullah  tidak melakukan itu karena
sebab tertentu seperti sakit, atau karena
memberatkan kepada umatnya karena khawatir di
wajibkan.

16
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam
As Syaukani v yang mengatakan :
‫ت‬ ْ ‫َوأ ََّما َما أَ ْخ َر َجهُ ُم ْسلِم َع ْن َعائِ َشةَ أَ ََّّنَا قَال‬
ُ ْ‫ َما َرأَي‬:‫َت‬
ُّ َ‫صائِ ًما ِف ال َْع ْش ِر ق‬ َِّ ‫ول‬
ْ‫ " َل‬:‫ط " َوِف ِرَوايَة‬ َ a ‫اَّلل‬ َ ‫َر ُس‬
ُّ َ‫ص ْم ال َْع ْشر ق‬
"‫ط‬ ُ َ‫ي‬
َ
“Adapun yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah
radhiyallahu anha bahwasanya ia berkata, “Aku tidak
pernah melihat Rasulullah  berpuasa pada sepuluh
hari (awal) bulan Dzulhijah sama sekali.”. Dalam
riwayat lain, Tidak pernah beliau berpuasa pada hari
yang sepuluh (awal dzulhijjah).
‫ض َم َرض أ َْو َس َفر‬ ِ ‫ص ْم َها لِ َعا ِر‬
ُ َ‫اد أَنَّهُ َلْ ي‬
ُ ‫ ال ُْم َر‬:ُ‫ال الْعُلَ َماء‬ َ ‫فَ َق‬
،‫صائِ ًما َل يَ ْستَ ْل ِزُم ال َْع َد َم‬ ِ
َ ُ‫َن َع َد َم ُرْؤيَت َها لَه‬ َّ ‫ أ َْو أ‬،‫أ َْو غَ ِْْيِِهَا‬
Para Ulama rahimahumullah berkata, yang dimaksud
adalah beliau tidak berpuasa karena ada halangan
sakit atau safar atau yang lainnya, atau tidak
kelihatannya beliau berpuasa pada sepuluh hari awal
dzulhijjah bukan berarti tidak boleh berpuasa
‫ص ْوِم َها‬ ِِ ِِ
َ ‫ت م ْن قَ ْوله َما يَ ُد ُّل َعلَى َم ْش ُروعيَّة‬
ِ َ ‫َعلَى أَنَّه قَ ْد ثَب‬
َ ُ
َ ِ‫ح ِف َذل‬
.‫ك َع َد ُم ال ِْف ْع ُل‬ ِ ‫َكما ِف ح ِد‬
ِ َ‫يث الْب‬
ُ ‫اب فَ َال يَ ْق َد‬ َ َ
karena telah tetap adanya pensyari’atan puasa pada
hari hari tersebut sebagaimana didalam pembahasan
hadits kita, maka tidak tercela pula bagi orang yang
tidak melakukannya” (Nailul Authar 4/283).

17
FIQIH KURBAN

Dibawah ini kami bawakan pembahasan Fiqih


Kurban dengan metode soal jawab guna
memudahkan dalam memahami masalah demi
masalah yang berkaitan dengan berkurban.

Jawab : Udhiyah adalah :


‫ب ال ِْع ْي ِد‬ ْ َ‫َما يُ ْذبَ ُح ِم ْن َِبِْي َم ِة ْاألَنْ َع ِام أَ ََّّي َم ِع ْي ِد ْاأل‬
ِ َ‫ض َحى بِ َسب‬
َِّ ‫تَ َق ُّرِب إِ َل‬
.‫اَّلل َع َّز َو َج َّل‬ ً
“Hewan ternak yang disembelih pada Hari ‘Idul Adh-
ha sebagai bentuk merayakan hari besar dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.”
(Talkhish Ahkam al-Udhiyah wa adz-Dzakah hlm. 7).

Dinamakan Udhiyah (dhuha), karena waktu


melaksananakannya adalah pagi waktu dhuha.
Kemudian udhiyah dipakai dalam bahasa kita dengan
ُ
istilah qurban, diambil dari kata َّ ‫ تق ُّربا‬atau ‫ ق ْربان َّا‬yang
artinya mendekatkan diri (kepada Alloh)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin v
berkata :
ِْ ‫ب ال ِْع ْي ِد ِم َن‬
‫اْلبِ ِل َوالْبَ َق ِر‬ ِ َ‫اِ ْسم لِ َما يُ ْذبَ ُح أ َْو يُ ْن َح ُر بِ َسب‬
َِّ ‫والْغَنَ ِم ي وم النَّحر وأَ ََّّيِم التَّ ْش ِري ِق الث ََّالثَِة تَ َق ُّرِبً إِ َل‬
‫اَّلل تَ َع َال‬ ْ َ ْ َ َْ َ

18
ُ ‫ض َل َزَمن لِ َذ ِِْب َها‬
‫ض َحى يَ ْو َم‬ َّ ‫اَّللُ أَ ْعلَ ُم ِأل‬
َ ْ‫َن أَف‬ َ ِ‫ت بِ َذل‬
َّ ‫ك َو‬ ْ َ‫َو ُُِسي‬
‫ال ِْع ْي ِد‬
Udhiyah merupakan sebutan bagi penyembelihan
binatang karena hari raya ‘Iedul Adha baik itu berupa
unta, sapi, maupun kambing yang dilangsungkan
pada hari raya kurban dan hari tasyriq yang tiga
sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala. Dinakan dengan Udhiyyah wallahu a’alam
karena waktu yang paling utama untuk
menyembelihnya pada waktu Dhuha hari raya
kurban” (Ahkamul Adhahi, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 5)

Jawab : Berkurban hanya boleh dengan hewan


ternak saja, dan yang dimaksud hewan ternak
menurut syari’at adalah; unta, sapi, dan kambing.
Berdasarkan firman Allah  :
ْ ُ ُ ْ ْ ْ ُ ِّ ُ
َّ‫للَََِّّعَََّّّم َّا‬
َّ ‫واََّّاسمَََّّّا‬
َّ ‫ِكََّّأم رَّةََّّجعلناََّّمنسكَََّّّ َِلذكر‬ َّ ‫ول‬
ُ ْ ُ ُ ْ ْ ْ ْ ُْ
َّ‫حدَََّّّفل َّه‬
ِ ‫امََّّفإِلهك َّمََّّإِلَََّّّوا‬ِ
َّ ‫ِنََّّب ِهيم ِةَََّّّاألنع‬
َّ ‫رزقه َّمََّّم‬
ْ ْ ُ ْ ِّ ْ ُ ْ
.َّ‫شَّالمخبِتِي‬ َِّ ‫أسلِموَّاَّوب‬
”Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan
penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut
Nama Allah terhadap hewan ternak yang telah
direzkikan Allah kepada mereka. Sesembahan kalian
ialah Sesembahan Yang Maha Esa, karena itu berserah

19
dirilah kalian kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah
Ta'ala).” (QS. Al-Hajj : 34).

Jawab : Dalil disyari’atkannya berqurban adalah


berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’
(kesepakatan) para ulama islam.
Dalil dari Al Qur’an misalnya firman Allah Ta’ala
:
ْ
ْ.‫اْن َّر‬ ِّ ِّ
‫لَّل ِربكََّّو‬
َّ ‫فص‬
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan
berqurbanlah.” (QS. Al-Kautsar : 2).
Dalil dari Sunnah diantaranya adalah hadits
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma ia berkata;
.‫ض ِحي‬ ِ ِ ِ
َ ْ ِ‫ ِِبل َْمديْ نَة َع ْش َر سن‬a ‫َّب‬
َ ُ‫ْي ي‬ ُّ ِ‫ام الن‬
َ َ‫أَق‬
“Nabi  tinggal di Madinah selama sepuluh tahun,
beliau selalu berqurban.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi : 1507).
Adapun dalil dari ijma’ adalah sebagai mana
yang di sebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah
rahimahullah :
‫ض ِحيَّ ِة‬ ِ ‫ُجيع الْمسلِ ِمْي َعلَى م ْشر‬
ْ ُ‫وعيَّ ِة ْاأل‬ ُ َ َ ْ ُ ُ َِ ‫َُجَ َع‬ْ ‫فَ َق ْد أ‬
“Maka sungguh telah sepakat seluruh kaum muslimin
atas disyari’atkannya berkurban” (Al Mughni 13/360)

Jawab : Terjadi perbedaan pendapat dikalangan


para ulama kepada dua pendapat antara yang

20
mengatakan WAJIB dan yang mengatakan SUNNAH
MUAKKADAH.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa qurban
hukumnya adalah Sunnah Muakkadah. Inilah
Madzhabnya Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu
Tsaur, Al-Muzani, Ibnul Mundzir, Dawud, Ibnu Hazm,
dan selainnya.
Imam An Nawawi  berkata :
‫ب َعلَْي ِه‬ ِ ِ َّ
ُ ‫َن َم ْذ َهبَ نَا أََّنَا ُسنَّة ُم َؤَّك َدة ِف َح ِق ال ُْموس ِر َوَل ََت‬ َّ ‫أ‬
ُ ‫الص ِد‬
‫يق‬ ِ ‫ال بِ ِه أَبو ب ْكر‬
َ ُ َ َ‫ال أَ ْكثَ ُر الْعُلَ َم ِاء َوِِمَّ ْن ق‬ َ َ‫َوِِبَ َذا ق‬
‫ي َو َس ِعي ُد بْ ُن‬ ُّ ‫اب َوبِ َالل َوأَبُو َم ْسعُود الْبَ ْد ِر‬ ِ َّ‫اْلَط‬ْ ‫َوعُ َم ُر بْ ُن‬
‫َْحَ ُد َوأَبُو‬ْ ‫َس َو ُد َوَمالِك َوأ‬ ْ ‫ب َو َعطَاء َو َع ْل َق َمةُ َو ْاأل‬ ِ ِ‫ال ُْم َسي‬
.‫ف َوإِ ْس َح ُق َوأَبُو ثَ ْور َوال ُْم َزِِنُّ َو َد ُاو ُد َوابْ ُن ال ُْم ْن ِذ ِر‬َ ‫يُ ْو ُس‬
“Bahwa madzhab kami (syafi’iyyah) berpendapat
bahwa berkurban adalah sunnah yang ditekankan
bagi yang mampu tidak sampai wajib atasnya, banyak
para ulama berpendapat dengan pendapat ini,
diantaranya Abu Bakar as Shiddiq, Umar bin al
Khaththab, Bilal, Abu Mas’ud al badriy, Sa’id bin al
Musayyab, Atha, al Qamah, al Aswad, Malik, Ahmad,
Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur, al Muzani, Dawud dan
Ibnul Mundzir” (Al Majmu’ Syarah al Muhadzab 8/385)
Syaikh Ibnu Baaz  berkata:
‫ َوالْ َق ْو ُل‬،‫الش ْر ِعيَّ ِة َما يَ ُد ُّل َعلَى ُو ُج ْوِِبَا‬
َّ ‫َوَلْ يَ ِر ْد ِ ْف اْأل َِدلَّ ِة‬
‫ض ِع ْيف‬
َ ‫ب قَ ْول‬ ِ ‫ِِبل ُْو ُج ْو‬

21
“Tidak ada satupun dalil syar’i yang menunjukkan
bahwa berkurban adalah wajib, dan yang
mengatakan bahwa berkurban adalah wajib, maka it
adalah pendapat yang lemah”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz:
18/36)

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin 


berkata :
ِْ ‫ض ِحي‬
‫اْلنْ َسا ُن َع ْن‬ ِ ‫ض ِحيَّةُ سنَّة م َؤَّك َدة لِ ْل َق‬
َ ُ‫ فَ ي‬،‫اد ِر َعلَْي َها‬ ْ ُ‫ْاأل‬
ُ ُ
.‫نَ ْف ِس ِه َوأَ ْه ِل بَ ْيتِ ِه‬
“Berkurban hukumnya sunnah muakaddah bagi yang
mampu atasnya, maka seseorang hendaknya
berkurban atasnama dirinya dan keluarganya” (Fatawa
Ibnu ‘Utsaimin 2/661)

Adapun yang berpendapat wajib adalah


diantaranya pendapat Al Auza’i, Al Laits, Abu hanifah,
dan sebagian riwayat dari imam Ahmad, serta
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah.
Dan pendapat yang kuat dalam masalah ini
wallahu a'lam adalah berkurban itu wajib bagi yang
mampu sebagaimana dikatakan oleh syaikhul islam
Ibnu Taimiyyah v :
ِ َ‫وِبا ِحينَئِذ م ْشروط ِِبَ ْن ي ْق ِدر َعلَْي َها ف‬
‫اض ًال َع ْن‬ َ َ ُ َ َُ ‫َوُو ُج‬
‫ص َدقَ ِة ال ِْفطْ ِر‬ ِ ِ ْ ‫حوائِ ِج ِه ْاأل‬
َ ‫َصليَّة َك‬ ََ
“Dan kewajiban berkurban pada saat itu berlaku
syarat apabila ia mampu ada kelebihan dari
kebutuhan pokoknya seperti (kewajiban pada) zakat
fitrah”. (Majmu’ Al fatawa 23/162)

22
Di antara dalil wajibnya Qurban selain dari
perintah dalam surah Al kautsar, dimana hukum asal
perintah menunjukan kepada wajib, juga adalah
hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma ia
berkata;
.‫ض ِحي‬ ِ ِ ِ
َ ْ ِ‫ ِِبل َْمديْ نَة َع ْش َر سن‬a ‫َّب‬
َ ُ‫ْي ي‬ ُّ ِ‫ام الن‬
َ َ‫أَق‬
“Nabi shalallahu alaihi wasallam tinggal di Madinah
selama sepuluh tahun, beliau selalu berqurban.” (HR.
Ahmad dan Tirmidzi : 1507)

Dan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu


ia berkata, bahwa Rasulullah a bersabda;
.‫ص َّال َن‬
َ ‫ فَ َال يَ ْق َربَ َّن ُم‬،‫ض ِح‬
َ ُ‫َم ْن َكا َن لَهُ َس َعة َوَلْ ي‬
“Barangsiapa memiliki kemampuan (harta) dan tidak
berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat
shalat kami.” (HR. Ibnu Majah : 3123. Hadits ini dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ : 6490).

Dalil lain yang menunjukan wajib juga adalah


sabda Rasulullah  juga :
‫ إِ َّن َعلَى أ َْه ِل ُك ِل بَ ْيت ِف ُك ِل َعام‬،‫َّاس‬
ُ ‫ََّي أَيُّ َها الن‬
‫ض ِحيَّة‬ ْ ُ‫أ‬
“Wahai sekalian manusia sesungguhnya atas tiap satu
keluarga dalam tiap tahunnya wajib berkurban” (HR
Abu Dawud, Shahih Abu Dawud : 3487)

Adapun para ulama yang berpendapat hukum


kurban itu sunnah muakkadah mereka berdalil
bahwa hukum asal wajib tersebut sudah dipalingkan
oleh dalil yang memalingkannya, di antara dalil

23
pemaling tersebut adalah atsar dari Abu Sarihah  ,
ia berkata;
ِ ‫ت أَِب ب ْكر وعُمر ر‬
َّ ‫ض َى‬ ُ ‫أَ ْد َرْك‬
ُ‫اَّلل‬ َ َ َ َ َ َ ُ ْ‫ت أ ََِب بَ ْكر أ َْو َرأَي‬
ِ ‫ض َّحي‬
.‫ان‬ َ َ ُ‫تَ َع َال َع ْن ُه َما َك َان َل ي‬
“Aku bertemu Abu Bakar atau aku melihat Abu Bakar
dan ‘Umar radhiyallahu anhuma, mereka berdua
tidak berqurban.” (HR. Baihaqi : 18813 dan ‘Abdurrazaq : 8139.
Atsar ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul
Ghalil : 1139).

Imam An nawawi  berkata :


‫ أَ ََّّنُ َما َك َان َل‬:‫اَّللُ َع ْن ُه َما‬
َّ ‫ض َي‬ِ ‫وص َّح َعن أَِب ب ْكر وعُمر ر‬
َ ََ َ َ ْ َ َ
ِ ِ َِ ‫ي‬
‫وِبَا‬ ُ ‫ ََمَافَةَ أَ ْن يَ ْعتَق َد الن‬،‫ضحيَان‬
َ ‫َّاس ُو ُج‬ ُ
“Telah sahih dari riwayat Abu bakar dan Umar
bahwasanya keduanya tidak berqurban karena
khawatir dianggap wajib oleh manusia” (Adhwa’ul Bayan
5/203)

Dan perkataan Abu Mas’ud ‘Uqbah bin Amer Al-


Anshari 
‫س ِرُك ْم ِِبَا‬ ِ ِ ِ ْ ُ‫ع ْاأل‬
َ ْ‫ َوإِِن لَم ْن أَي‬،َ‫ضحيَة‬ َ ‫ت أَ ْن أ ََد‬
ُ ‫«لََق ْد َِهَ ْم‬
.»‫اجب‬ ِ ‫ََمَافَ َة أَ ْن ُُْيسب أ َََّّنَا ح ْتم و‬
َ َ َ َ
“Sesungguhnya aku tidak berqurban, padahal aku
adalah orang yang berkelapangan, kerena aku
khawatir manusia berpendapat bahwa hal itu wajib

24
atas.” (HR. Baihaqi, Sunanul Kubra 9/265 no 18817 dan ‘Abdurrazaq :
8149).

Pendapat yang rojih (kuat) dalam masalah ini


adalah pendapat yang menyatakan wajib berkurban
bagi yang mampu. Sebagaimana dikatakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Keawjiban
berkurban ini bersyarat dengan adanya kemampuan
atasnya, kelebihan dari kebutuhannya” (Majmu’ Fatawa
23/162, dinukil dari kitab Al Fiqhu Fid Diin, Durus wa Masaail Fiqhiyyah,
syaikh Ibrahim al Mazru’i, hal. 207)

Jawab : Ada beberapa syarat yang harus


diperhatikan bagi orang yang hendak berqurban
diantaranya :
Pertama :
Binatang yang akan diqurbankan haruslah
binatang ternak yang ditetapkan oleh syari’at yaitu,
unta, sapi dan kambing, dan dibolehkan berkurban
dengan kerbau karena kerbau adalah sejenis sapi.
Berdasarkan firman Allah  :
ْ ُ ُ ْ ْ ْ ُ ِّ ُ
َّ‫للَََِّّعَََّّّم َّا‬
َّ ‫واََّّاسمَََّّّا‬
َّ ‫ِكََّّأم رَّةََّّجعلناََّّمنسكَََّّّ َِلذكر‬
َّ ‫ول‬
ُ ْ ُ ُ َِّ ‫ِنََّّبه ْيمةَََّّّ ْاأل ْنع‬ْ ُْ
َّ‫حدَََّّّفل َّه‬
ِ ‫امََّّفإِلهك َّمََّّإِلَََّّّوا‬ ِ ِ َّ ‫رزقه َّمََّّم‬
ْ ْ ُ ْ ِّ ْ ُ ْ
.َّ‫شَّالمخبِتِي‬
َِّ ‫أسلِموَّاَّوب‬
”Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan
penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut
Nama Allah terhadap hewan ternak yang telah
direzkikan Allah kepada mereka. Sesembahan kalian

25
ialah Sesembahan Yang Maha Esa, karena itu berserah
dirilah kalian kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah
Ta’ala).” (QS. Al-Hajj : 34).
Kedua :
Binatang kurban haruslah miliknya yang
didapatkan secara halal, bukan hasil mencuri atau
menipu, atau binatang gadaian.
Ketiga :
Bintang Qurban hendaknya terbebas dari cacat
berupa, buta sebelah yang jelas butanya, atau sakit
yang jelas sakitnya, atau yang pincang dan jelas
pincangnya, serta yang kurus yang tulangnya tidak
bersumsum.
Keempat hal di atas berdasarkan hadits dari Al-
Barra’ bin ’Azib  , bahwa Rasulullah a bersabda;

ُ َِ‫ اَل َْع ْوَراءُ الْب‬: ‫َّح َاَّي‬


،‫ْي َع َوُرَها‬ َ ‫أ َْربَع َل ََتُ ْوُز ِف الض‬
ُ َِ‫ َوال َْع ْر َجاءُ الْب‬،‫ض َها‬
‫ْي ظَل ُْع َها‬ ُ ‫ْي َم َر‬ُ َِ‫ضةُ الْب‬ َ ْ‫َوال َْم ِري‬
.‫ِت َل تُ ْن ِقي‬ َّ ْ ‫والْ َك ِس‬
ْ ِ ‫ْيةُ ال‬
َ َ
”Empat jenis hewan yang tidak boleh dijadikan
qurban; hewan yang jelas kebutaannya, hewan yang
jelas sakitnya, hewan yang jelas pincangnya, dan
hewan yang kurus yang sehingga tidak bersumsum.”
(HR. Tirmidzi: 1497, Abu Dawud : 2802, dan Ibnu Majah : 3144. Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil :
1148).

26
Adapun cacat yang ringan pada hewan qurban,
maka hal ini dimaafkan. Berkata Imam Al-Khaththabi
:

َ ‫يف ِف الض‬
‫َّح َاَّي َم ْع ُفو‬ َ ‫اْلَِف‬
ْ ‫ب‬ َ ‫َن ال َْع ْي‬ َّ ‫يث َدلِيل َعلَى أ‬ ِ ‫ِف ا ْحل ِد‬
َ
‫ض َها َوبَِْي ظَلْعُ َها‬
ُ ‫ول بَِْي َع َوُرَها َوبَِْي َم َر‬ ُ ‫َع ْنهُ أ ََل تَ َراهُ يَ ُق‬
ِ ِ‫فَالْ َقل‬
ُ‫ْي بَِْي فَ َكا َن َم ْع ُف ًّوا َع ْنه‬
ُ ْ َ‫يل م ْنهُ غ‬
ُ
“Di dalam hadits di atas (tentang empat cacat yang
tidak boleh pada hewan qurban) terdapat keterangan
bahwa cacat dan aib yang ringan pada hewan qurban,
maka dimaafkan. Karena Nabi a bersabda, “Yang
jelas butanya, yang jelas sakitnya ...,” maka cacat
sedikit yang tidak jelas, dimaafkan.” (Mu’alimus Sunan,
4/106).

Secara terperinci bahwa cacat pada hewan


qurban terbagi menjadi tiga, antara lain :
[1] Cacat yang dapat menghalangi
keabsahannya sebagai hewan qurban adalah
sebagaimana disebutkan dalam hadits diatas yaitu :
Buta, sakit, pincang dan kurus.
[2] Cacat yang menyebabkan makruh untuk
berkurban, ada dua: yaitu :
hewan yang Sebagian atau
keseluruhan telinganya terpotong.
Hewan yang Tanduknya pecah atau
patah. (Shahih Fiqih Sunnah, 2/373)

Memang Terdapat hadits yang menyatakan


larangan berkurban dengan hewan yang memilki dua
cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun
haditsnya dha'if, sehingga sebagian ulama
27
menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya
menyebabkan makruh dipakai untuk kurban. (Syarhul
Mumthi' 7/470)

[3] Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan


kurban (boleh dijadikan untuk kurban) namun
kurang sempurna. Selain enam jenis cacat di atas atau
cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak
berpengaruh pada status hewan kurban. Misalnya,
tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau
tidak berhidung. Wallahu a'lam (Shahih Fiqih Sunnah, 2/373)
Keempat :
Usia bintang Qurban haruslah mencapai
MUSINNAH. Yaitu unta berusia 5 (lima) tahun, sapi
berusia 2 (dua) tahun dan kambing berusia 1 (satu)
tahun, adapun domba boleh walaupun 6 (enam)
bulan.
Dari Jabir radhiyallahu anhu ia berkata, bahwa
Rasulullah a bersabda;
ِ ِ ِ
ُ ‫َل تَ ْذ َِبُ ْوا إ َّل ُمسنَّ ًة إَّل أَ ْن تَ ْع‬
‫س َر َعلَْي ُك ْم فَ تَ ْذ َِبُ ْوا‬
َّ ‫َج َذ َعةً ِم َن‬
.‫الضأ ِْن‬
“Janganlah kalian menyembelih qurban kecuali
berupa Musinnah. Namun jika kalian kesulitan
mendapatkannya, maka sembelihlah domba yang
jadz’ah.” (HR. Muslim : 1963).
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
‘Utsaimin 

28
ْ ِ ‫ فَالث‬.‫ك‬
‫َّن‬ َ ِ‫ َوا ْجلَ َذ َعةُ َما ُد ْو َن َذل‬،‫ اَلثَّنِيَةُ فَ َما فَ ْوقَ َها‬: ُ‫َوال ُْم ِسنَّة‬
َّ‫ َما َت‬: ‫ َوالث َِّن ِم َن الْبَ َق ِر‬،‫ْي‬ ِ ْ‫ ما َتَّ لَهُ ََخ‬: ‫اْلبِ ِل‬
َ ْ ِ‫س سن‬ ُ َ ِْ ‫ِم َن‬
ُ‫ َما َتَّ لَه‬: ‫ع‬ُ ‫ َوا ْجلَ َذ‬،‫َّن ِم َن الْغَنَ ِم َما َتَّ لَهُ َسنَة‬ ِ
ْ ِ ‫ َوالث‬.‫لَهُ َسنَ تَان‬
‫ف َسنَة‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫ن‬
”(Yang dimaksud dengan) musinnah adalah hewan
yang telah mencapai usia tsaniyah atau lebih tua dari
itu. Dan jad’ah adalah usia yang kurang dari tsaniyah
tersebut. Usia tsaniyah untuk : Unta adalah telah
genap berusia lima tahun, Sapi adalah telah genap
berusia dua tahun, Kambing adalah telah genap
berusia satu tahun, (Adapun) usia jaz’ah untuk
domba (kibasy) adalah : Domba kibasy telah genap
berusia setengah tahun (6 bulan)” (Talkhishu Kitabu Ahkamil
Udh-hiyah wadz Dzakah).

Kelima :
Bagi yang mau berkurban maka dari mulai
tanggal 1 Dzulhijjah tidak boleh mencukur rambut
atau memotong kuku sehingga binatang Qurbannya
disembelih. Ini berlaku bagi kepala keluarga saja
yang mau berkurban.
Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Salamah
radhiyallahu anha, bahwa Nabi a bersabda;

َّ َ‫ض ِح َي فَ َال ََي‬


‫س‬ َ ُ‫َح ُد ُك ْم أَ ْن ي‬
َ ‫اد أ‬
َ ‫ت ال َْع ْش ُر َوأ ََر‬ ِ َ‫إِذَا َد َخل‬
َ َ‫ِم ْن َش َع ِرِه َوب‬
‫ش ِرِه َش ْي ئًا‬

29
”Jika telah masuk sepuluh hari (pertama bulan
Dzulhijjah) dan salah seorang di antara kalian hendak
menyembelih hewan qurban, maka hendaklah ia
tidak memotong rambut dan kulitnya sedikit pun.”
(HR. Muslim : 1977).

Dalam lafadz lain :


‫فَ َال ََيْ ُخ َذ َّن ِم ْن َش َع ِرِه َوَل ِم ْن أَظَْفا ِرِه َش ْي ئًا َح َّّت‬
.‫ض ِح َي‬
ُ َ‫ي‬
“Maka janganlah ia mengambil rambut dan
kukunya sedikit pun hingga ia berqurban.” (HR. Muslim :
1977).

Imam Ibnu Qudamah  berkata, "Siapa yang


melanggar larangan tersebut hendaknya minta
ampun kepada Allah dan tidak ada fidyah (tebusan)
baginya, baik dilakukan sengaja atau lupa (Al-
Mughni11/96).

CATATAN :
[1] Jika yang berkurban mewakilkan
penyembelihannya kepada orang lain mungkin
karena kesibukan misalnya atau karena safar di
daerah lain, maka hukum larangan memotong
rambut atau kuku tidak berlaku bagi yang diwakilkan
tapi hanya berlaku bagi si pekurban saja. Sebagian
ulama memang ada yang memberlakukan masalah ini
bagi wakil juga karena sebagaimana kaedah :
ِ ‫[الْوكِ ْيل َيْ َخ ُذ ِم ْنهُ ح ْكم اْأل‬
]‫َص ْي ِل‬ ُ ُ ُُ َ
Bagi wakil berlaku hukum yang diwakilkan

30
Namun pendapat yang kuat adalah sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits diatas yaitu yang dimaksud
adalah yang mau berkurban bukan yang diwakili.
[2] Demikian juga hukum memotong rambut atau
kuku tidak berlaku bagi keluarga atau ahli bait
pekurban seperti istri dan anaknya misalnya.
[3] Termasuk dalam masalah ini orang bersedekah
dengan memberikan sejumlah uang untuk berkurban
atau memberikan hewan kurban kepada yang tidak
mampu untuk berkurban maka dalam hal ini yang
dianggap berkurban bukan yang memberikan
sejumlah uang tadi atau yang memberikan hewan
kurban tapi yang dianggap pekurban adalah yang
telah dibantu maka bagi yang telah membantu tadi
boleh untuk mencukur rambut atau memotong kuku
karena ia bukan sebagai pekurban. (Lihat penjelasannya
dalam kitab Ahkamul Udhiyyah, hal. 14-15)

Keenam :
Penyembelihan hewan qurban dilakukan pada
waktu yang ditentukan Syari’at, yaitu dilakukan
setelah Shalat ’Idul Adh-ha (tanggal 10 Dzulhijjah)
hingga tenggelam matahari pada hari Tasyriq
terakhir (tanggal 13 Dzulhijjah).
Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat,
maka ia harus menyembelih hewan qurban lain
sebagai penggantinya. Hal ini berdasarkan hadits dari
Jundab bin Sufyan radhiyallahu anhu, ia berkata;
‫ضى‬ َ َ‫ فَ لَ َّما ق‬a ‫اَّلل‬َِّ ‫ول‬ ِ ‫ض َحى َم َع ر ُس‬ ْ َ‫ت ْاأل‬ُ ‫َش ِه ْد‬
َ
‫ َم ْن‬: ‫ال‬
َ ‫ فَ َق‬،‫ت‬ ْ َ‫ نَظََر إِ َل غَنَم قَ ْد ذُِِب‬،‫َّاس‬
ِ ‫ص َالتَهُ ِِبلن‬
َ
31
‫ َوَم ْن َلْ يَ ُك ْن‬،‫الص َال ِة فَ لْيَ ْذبَ ْح َشا ًة َم َك َاَّنَا‬
َّ ‫ذَبَ َح قَ ْب َل‬
َِّ ‫َذبح فَ لْي ْذبح َعلَى اس ِم‬
.‫اَّلل‬ ْ َْ َ ََ
”Aku berhari raya Adh-ha bersama Rasulullah a.
Setelah beliau selesai shalat bersama manusia, beliau
melihat seekor kambing telah disembelih. Maka
beliau bersabda, ”Barangsiapa menyembelih sebelum
shalat, hendaknya ia menyembelih seekor kambing
(lagi) sebagai gantinya dan barangsiapa belum
menyembelih, hendaknya ia menyembelih dengan
nama Allah.” (HR. Bukhari : 5242 dan Muslim : 1960)
Penyembelihan juga boleh dilakukan pada hari-
hari Tasyriq. Sebagaimana sabda Rasulullah a ;
‫ُك ُّل أ َََّّيِم التَّ ْش ِريْ ِق َذبْح‬
”Seluruh hari Tasyriq adalah waktu penyembelihan
(qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi: 19025. Hadits ini dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ : 4537).

Ketujuh :
Penyembelihan harus sesuai Syari’at.
Diantara adab dan tata cara penyembelihan
sesuai syari’at yang perlu diperhatikan :
(1)-Jika hewan sembelihan berupa unta maka
hendaklah menyembelih dalam posisi berdiri dengan
terikat pada kaki kiri bagian depan, hal ini
disitilahkan dengan An Nahr, artinya menyembelih
hewan dengan melukai bagian tempat kalung
(pangkal leher).

32
Allah  berfirman,
ُ ّ ُ ْ ْ ْ
َّ‫واْلُدنَََّّّجعلناهاََّّلكمََّّ ِمنََّّشعائ َِِّرََّّاللََّّلك َّْمََّّفِيها‬
ْ ّ ْ ْ ُ ُ ْ ْ
َّ‫ت‬
َّ ‫واََّّاسمَََّّّاللََّّعليهاَََّّّصوافَََّّّفإِذاََّّوجب‬ َّ ‫يََّّفاذكر‬ َّ ‫خ‬
ُُ ُ ُُ
‫جنوبهاَّفُكوا‬
Telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu
bagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan
yang banyak padanya, maka sebutlah nama Allah
ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri
(dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh
(mati), maka makanlah… (QS. Al Haj: 36)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata
tentang ayat diatas :
ُ ‫ يَ ُق‬،‫ َم ْع ُقولَة ي ُدها الْيُ ْس َرى‬،‫ث قَ َوائِ َم‬
:‫ول‬ ِ ‫قِيام َعلَى ثََال‬
َ
‫ك‬َ َ‫ك َول‬َ ‫ اللَّ ُه َّم ِم ْن‬، ُ‫اَّللُ أَ ْك َِب‬ َِّ ‫"بِس ِم‬
َّ ‫اَّلل َو‬ ْ
(Untanya) berdiri dengan tiga kaki, sedangkan satu
kaki kiri depan diikat. Membaca Bismillah wallahu
akbar Ya allah ini dari Mu dan untuk Mu...(Tafsir Ibn
Katsir untuk ayat ini)

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma,


beliau mengatakan
‫ وأصحابَه َكانُوا يَ ْن َح ُرْو َن الْبُ ْد َن‬a ‫اَّلل‬ َِّ ‫ول‬ َ ‫َن َر ُس‬ َّ ‫أ‬
‫ قَائِ َم ًة َعلَى َما بَِق َي ِم ْن قَ َوائِ ِم َها‬،‫َم ْع ُق ْولَ َة الْيُ ْس َرى‬

33
“Bahwasanya Nabi a dan para sahabat menyembelih
unta dengan posisi kaki kiri depan diikat dan berdiri
dengan tiga kaki sisanya. (HR. Abu daud : 1767 dan disahihkan Al-
Albani).

Dari Ziyad bin Zubair ia berkata :


‫ أَتَى َعلَى َر ُجل قَ ْد‬،‫اَّللُ َع ْن ُه َما‬ َّ ‫ض َي‬ِ ‫ت ابْن عُمر ر‬
َ َ َ َ ُ ْ‫َرأَي‬
‫ «ابْ َعثْ َها قِيَ ًاما ُم َقيَّ َد ًة ُسنَّ َة‬:‫ال‬َ َ‫خ بَ َدنَتَهُ يَ ْن َح ُرَها ق‬
َ ‫أ ََن‬
» a ‫ُُمَ َّمد‬
Aku melihat Abdullah bin Umar  mendatangi
seseorang yang menderumkan (mendudukan)
untanya lalu menyembelihnya, ia berkata,
“Berdirikan dia kembali kemudian ikatkan sesuai
dengan sunnah Muhammad a” (HR Bukhari : 1713 dan Muslim
: 1320)

(2)-Jika hewan sembelihan bukan unta maka


cara menyembelihnya adalah dengan membaringkan
hewan kurban kesisi badannya sebelah kiri, dan
meletakan kakinya diatas lehernya untuk
mempermudah, lalu menyembelihnya bagian leher.
Hal ini diistilahkan dengan Adz Dzabhu, yaitu
menyembelih hewan dengan melukai bagian leher
paling atas . Sebagaimana disebutkan dalam hadis
dari Anas bin Malik  , beliau mengatakan,
ِ ‫ فَ رأَيْ تُهُ و‬،‫ْي‬ َ ‫ بِ َك ْب‬a ‫َّب‬
‫اض ًعا‬ َ َ ِ ْ ‫ْي أ َْملَ َح‬ ِْ‫ش‬ ُّ ِ‫ض َّحى الن‬
َ«
»‫ فَ َذ َِبَ ُه َما بِيَ ِد ِه‬،ُ‫س ِمي َويُ َكِِب‬ ِ ِ
َ ُ‫ ي‬،‫قَ َد َمهُ َعلَى ص َفاح ِه َما‬
34
"Rasulullah a berkurban dengan dua ekor domba
amlah (warna putih yang tercampur hitam). Aku lihat
beliau meletakkan kaki beliau di leher hewan
tersebut, kemudian membaca bismillah lalu bertakbir
dan menyembelihnya dengan tangannya” (HR. Bukhari
dan Muslim).

Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata :


،‫ أ ََم َر بِ َك ْبش أَق َْر َن يَطَأُ ِف َس َواد‬a ‫للا‬ ِ ‫ول‬ َ ‫َن َر ُس‬َّ ‫أ‬
َ ُ‫ فَأُِتَ بِ ِه لِي‬،‫ َويَ ْنظُُر ِف َس َواد‬،‫َويَ ِْبُ ُك ِف َس َواد‬
،‫ض ِح َي بِ ِه‬
َ ِ‫ « ََّي َعائ‬:‫ال ََلَا‬
،»َ‫ َهلُ ِمي ال ُْم ْديَة‬،ُ‫شة‬ َ ‫فَ َق‬
“Bahwasanya Rasulullah a pernah menyuruh
dibawakan sekor kambing kibas bertanduk yang kaki,
perut, dan sekitar matanya berwarna hitam. Maka
dibawakanlah hewan itu kepada beliau. Beliau
bersabda kepada 'Aisyah: "Wahai 'Aisyah, ambillah
pisau."
،‫ ُثَّ أَ َخ َذ َها‬:‫ت‬ ْ َ‫ فَ َف َعل‬،»‫ «ا ْش َح ِذ َيها ِِبَ َجر‬:‫ال‬ َ َ‫ُثَّ ق‬
‫ « ِِب ْس ِم‬:‫ال‬ َ َ‫ ُثَّ ق‬،ُ‫ ُثَّ َذ َِبَه‬،ُ‫ض َج َعه‬
ْ َ‫ش فَأ‬ َ ‫َوأَ َخ َذ الْ َك ْب‬
‫ َوِم ْن أ َُّم ِة‬،‫آل ُُمَ َّمد‬ِ ‫ و‬،‫الله َّم تَ َقبَّل ِم ْن ُُمَ َّمد‬
َ ْ ُ ،‫للا‬
ِ
»‫ض َّحى بِ ِه‬
َ َّ‫ ُث‬،‫ُُمَ َّمد‬
"Kemudian bersabda lagi: "Asahlah dengan batu."
'Aisyah melaksanakannya. Setelah itu beliau
mengambil pisau dan kambing, lalu

35
membaringkannya, dan menyembelihnya seraya
berdoa: "Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah
(kurban ini) dari Muhammad, keluarganya, dan
umatnya." Kemudian beliau berkurban dengannya".
Tentang hadits diatas As Shan’ani v berkata :
ً‫اع الْغَنَ ِم َوَل تُ ْذبَ ُح قَائِ َمة‬ُ ‫ض َج‬ ْ‫بإ‬ ُّ ‫فِ ِيه َدلِيل َعلَى أَنَّهُ يُ ْستَ َح‬
‫َُجَ َع ال ُْم ْسلِ ُمو َن َويَ ُكو ُن‬ ْ ‫َوَل َِب ِرَكةً ِألَنَّهُ أ َْرفَ ُق ِِبَا َو َعلَْي ِه أ‬
‫لذابِ ِح ِف أَ ْخ ِذ‬ َّ ِ‫اع َعلَى َجانِبِ َها ْاألَيْ َس ِر ِألَنَّهُ أَيْ َس ُر ل‬ ُ ‫ض َج‬ ِْ
ْ ‫اْل‬
ِ ‫ْي ِِبلْيمن وإِمس‬
‫اك َرأْ ِس َها ِِبلْيَ َسا ِر‬ ِ ِ
َ ْ َ َ ْ ُ ِ ‫السك‬
“Didalam hadits tersebut menunjukan bahwasannya
dianjurkan untuk membaringkan hewan dan tidak
menyembelihnya dalam posisi berdiri atau duduk
karena hal itu lebih lembut baginya, Dan Kaum
Muslimin sepakat atas hal itu, membaringkan hewan
disisi badannya yang sebelah kiri karena akan
memudahkan bagi yang menyembelih dalam
memegang pisau dengan tangan kanan sementara
tangan kiri memegang kepalanya” ( Subulus Salam, As
Shan’ani 2/531)

Imam An-Nawawi v mengatakan,


،‫َُجَ َع َعلَْي ِه ال ُْم ْسلِ ُمو َن‬ ْ ْ‫يث ِِبْل‬
ْ ‫ض َج ِاع َوأ‬ ُ ‫اد‬ ِ ‫ت األْح‬
َ
ِ ‫جاء‬
ََ
‫يح ِة يَ ُكو ُن َعلَى َجانِبِ َها‬
َ ِ‫الذب‬
َّ ‫اع‬
َ ‫ض َج‬ ْ ِ‫َن إ‬
َّ ‫َواتَّ َف َق الْعُلَ َماءُ َعلَى أ‬
‫ْي‬ ِ ‫الس ِك‬
ِ ‫ْي ِِبلْيَ ِم‬ ِ ‫الذابِ ِح ِف أَ ْخ ِذ‬ َّ ‫َس َهل َعلَى‬ ْ ‫األْيْ َس ِر ِألنَّهُ أ‬
ِ ‫وإِمس‬
‫اك َرأْ ِس َها ِِبلْيَ َسا ِر‬ ََْ
36
“Terdapat beberapa hadis tentang membaringkan
hewan dan kaum muslimin juga sepakat dengan hal
ini. Para ulama sepakat, bahwa cara membaringkan
hewan yang benar adalah ke sisi badannya yang kiri.
Karena ini akan memudahkan penyembelih untuk
memotong hewan dengan tangan kanan dan
memegangi leher dengan tangan kiri”. (Mausu’ah Fiqhiyah
Kuwaitiyah, 21/197).

Penjelasan yang sama juga disampaikan Syekh


Ibnu Utsaimin v. Beliau mengatakan, “Hewan yang
hendak disembelih dibaringkan ke sebelah kiri,
sehingga memudahkan bagi orang yang
menyembelih. Karena penyembelih akan memotong
hewan dengan tangan kanan, sehingga hewannya
dibaringkan di lambung sebelah kiri. (Syarhul Mumthi’,
7/442).

(3)-Gunakan pisau atau golok yang setajam


mungkin. Semakin tajam, semakin baik. Ini
berdasarkan hadis dari Syaddad bin Aus  bahwa
Rasulullah a bersabda,
‫سا َن َعلَى ُك ِل َش ْىء فَِإ َذا قَ تَ لْتُ ْم‬ َ ‫ب ا ِْل ْح‬ َّ ‫إِ َّن‬
َ َ‫اَّللَ َكت‬
‫الذبْح َو ليُ ِح َّد‬ َّ ‫َح ِسنُوا‬ ِ
ْ ‫َحسنُوا الْق ْت لَةَ َوإِذَا ذَ َِْبتُ ْم فَأ‬
ِ ‫فَأ‬
ْ
َ ِ‫ْْي ْح َذب‬
ُ‫يحتَه‬ ُِ ‫َح ُد ُك ْم َش ْف َرتَهُ فَ ل‬
َ‫أ‬
“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan
dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka
bunuhlah dengan ihsan, jika kalian menyembelih,
sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian

37
mempertajam pisaunya dan menyenangkan
sembelihannya.” (HR. Muslim).

(4)-Diantara adab menyembelih adalah agar


tidak mengasah pisau dihadapan hewan yang akan
disembelih. Karena ini akan menyebabkan dia
ketakutan sebelum disembelih. Berdasarkan hadis
dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,
‫ َوأَ ْن تُ َو َارى َع ِن‬،‫الش َفا ِر‬ َِّ ‫ول‬
ِ ‫ ِِب ِد‬a ‫اَّلل‬ ُ ‫أ ََم َر َر ُس‬
َ
‫الْبَ َهائِِم‬
“Rasulullah a memerintahkan untuk mengasah
pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR.
Ahmad, Ibnu Majah ).

Dalam riwayat yang lain dari Ibnu Abbas


radhiallahu ‘anhuma, ia berkata : “Bahwasanya
Rasulullah a pernah menyuruh dibawakan dua ekor
kambing kibas bertanduk yang kaki, perut, dan
sekitar matanya berwarna hitam. Maka dibawakanlah
hewan itu kepada beliau. Beliau bersabda kepada
'Aisyah: "Wahai 'Aisyah, ambillah pisau."

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

38
‫ص ْف َح ِة‬ ِ َِّ ‫ول‬
َ ‫ بَِر ُجل َواضع ِر ْجلَهُ َعلَى‬a ‫اَّلل‬ ُ ‫« َم َّر َر ُس‬
ِ ُ ‫َشاة و ُهو َُي ُّد َش ْفرتَهُ و ِهي تَ لْح‬
،‫ص ِرَها‬ َ َ‫ظ إِلَْيه بِب‬ َ َ َ َ ُ َ َ
»‫ أَفَ َال قَ ْب َل َه َذا؟ تُ ِري ُد أَ ْن ُُتِيتَ َها َم ْوََتت؟‬:‫ال‬
َ ‫فَ َق‬
“Rasulullah  pernah melewati seseorang yang
meletakkan kakinya di leher kambing, kemudian dia
menajamkan pisaunya, sementar binatang itu
melihatnya. Lalu beliau bersabda: “Mengapa engkau
tidak menajamkannya sebelum ini ?! Apakah engkau
ingin mematikannya sebanyak dua kali?!.” (HR. Ath-
Thabrani, Mu’jamul Kabir 11/332 no : 11916).

(5)-Dianjurkan untuk menghadap kiblat saat


menyembelih, demikian juga mengarahkan hewan
sembelihan ke arah kiblat. Hal ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dia
mengatakan :
ِ ‫ْي ِف ي وِم ال ِْع‬ َِّ ‫ول‬
َ ‫ بِ َك ْب‬a ‫اَّلل‬
‫ال‬َ ‫ فَ َق‬،‫يد‬ ْ َ ِْ‫ش‬ ُ ‫ض َّحى َر ُس‬ َ
‫ت َو ْج ِه َي لِلَّ ِذي فَطََر‬ ُ ‫ «إِِِن َو َّج ْه‬:‫ْي َو َّج َه ُه َما‬ ِ
َ‫ح‬
ِ ِ
َ ‫ض َحنِي ًفا َوَما أ ََن م َن ال ُْم ْش ِرك‬
‫ إِ َّن‬،‫ْي‬ َ ‫ات َو ْاأل َْر‬ ِ ‫السمو‬
َ َ َّ
‫س ِكي‬ ُ ُ‫ص َالِت َون‬َ
“Nabi a menyembelih dua kambing besar pada hari
raya Kurban, Ketika menghadap keduanya beliau
mengucapkan, ‘Aku hadapkan wajahku kepada Dzat
yang telah menciptakan langit dan bumi, Agama yang

39
lurus dan aku bukanlah termasuk orang orang yang
menyekutukan Allah, Sesungguhnya shalatku,

َ ِ‫يك لَهُ َوبِ َذل‬ َِِّ ‫و َُْمياي وِمََ ِات‬


‫ك‬ َ ‫ َل َش ِر‬،‫ْي‬ َ ‫ب ال َْعالَ ِم‬
ِ ‫َّلل َر‬ َ َ َ َ
َ ‫ اللَّ ُه َّم إِ َّن َه َذا ِم ْن‬،‫ْي‬
‫ك‬ ِ
َ ‫ت َوأ ََن أ ََّو ُل ال ُْم ْسل ِم‬ ُ ‫أ ُِم ْر‬
‫ِب َوذَبَ َح‬ َّ ‫ ُثَّ َُسَّى‬،»‫ َع ْن ُُمَ َّمد َوأ َُّمتِ ِه‬،‫ك‬
ََّ ‫اَّللَ َوَك‬ َ َ‫َول‬
“Dan menyembelihku, hidup dan matiku hanya untuk
Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi Nya dan
dengan yang demikianlah aku diperintah dan akulah
yang pertama kali berserah diri, Ya Allah
sesungguhnya kurban ini dari Mu dan untuk Mu, ya
Allah inilah kurbannya muhammad dan umatnya’,
kemudian beliau membaca bismillah serta bertakbir
dan menyembelih” (HR Ibnu Majjah no : 3121, Abu Dawud no : 2795,
Al Baihaqi 9/285, dan Ad Darimi, pentahqiq Sunan Ad Darimi mengatakan,
‘Sanad hadits ini lemah namun haditsnya bisa diamalkan dengan adanya
penguat dari riwayat lain)

Dari Nafi’  ia mengatakan :


‫ص ُّف ُه َّن قِيَ ًاما‬ ِِ
ُ َ‫ َوَكا َن ُه َو يَ ْن َح ُر َه ْديَهُ بِيَده ي‬..«
» ‫َويُ َو ِج ُه ُه َّن إِ َل ال ِْق ْب لَ ِة ُثَّ ََيْ ُك ُل َويُط ِْع ُم‬
“....Adalah Ibnu Umar beliau menyembelih Kurban
dengan tangannya (sendiri) dibariskannya dalam
posisi berdiri dan dihadapkannya ke arah kiblat
kemudian memakannya dan memberikannya kepada
orang lain makan” (HR Malik, al Muwatha no : 854)

Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah:

40
‫يحةُ ُم َو َّج َهةً إِ َل‬ َّ ‫ َو‬،‫الذابِ ُح ُم ْستَ ْقبِل ال ِْق ْب لَ ِة‬
َ ِ‫الذب‬ َّ ‫أَ ْن يَ ُكو َن‬
َِّ ‫اع ِة‬
‫اَّلل‬ َّ ُ‫ال ِْق ْب لَ ِة ِِبَ ْذ َِِب َها لَ بَِو ْج ِه َها إِ ْذ ِه َي ِج َهة‬
َ َ‫الر ْغبَ ِة إِ َل ط‬
‫َع َّز َشأْنُهُ؛‬
Yang mau menyembelih hendaknya menghadap
kiblat demikian juga hewan yang disembelih
dihadapkan ke kiblat pada posisi tempat organ yang
akan disembelih (lehernya) bukan wajahnya. Karena
itulah arah untuk mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala.
‫اَّللُ َع ْن ُه َما َكا َن يَ ْك َرهُ أَ ْن ََيْ ُكل‬
َّ ‫ض َي‬ِ ‫و ِأل َّن ابْن عُمر ر‬
َ ََ َ َ
َّ ‫ف لَهُ ِم َن‬
،‫الص َحابَِة‬ َ ِ‫ َولَ َُمَال‬.‫يح ًة لِغَ ِْْي ال ِْق ْب لَ ِة‬
َ ِ‫َذب‬
‫ين َو َجابِ ِر بْ ِن َزيْد‬ ِ
َ ‫ك َع ِن ابْ ِن س ِْي‬ َ ِ‫ص َّح ذَل‬
َ ‫َو‬
“Dan Ibnu Umar radhiyallahu anhuma membenci
memakan sembelihan yang tidak dihadapkan ke arah
kiblat dan tidak ada Sahabat yang menyelisihi
perbuatannya, dan telah shahih akan hal itu dari Ibnu
Sirin dan Jabir bin Zaid” (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21/196,
lihat juga al Mughni 2/221).

Imam An Nawawi  berkata :


‫يح ِة إل َْي َها َو َه َذا‬ َ ِ‫الذب‬
َّ ُ‫َوتَ ْو ِجيه‬ َ‫ال ِْق ْب لَة‬ ‫الذابِ ِح‬ ُ َ‫استِ ْقب‬
َّ ‫ال‬ ْ
‫ض ِحيَّ ِة أَ َش ُّد‬
ْ ُ‫ا َْلَ ْد ِي َو ْاأل‬ ‫َكنَّهُ ِف‬ِ‫ل‬ ‫يحة‬َ ِ‫ذَب‬ ‫ُم ْستَ َحب ِف ُك ِل‬

41
‫ض َها‬ َ َ َ ْ ُ ‫اد‬ َ َ َ‫َن ِال ْستِ ْقب‬
ِ َ ‫ال ِف ال ِْعب‬
ِ ‫ات مستَحب وِف ب ْع‬ َّ ‫استِ ْحبَ ًاِب ِأل‬
ْ
‫اجب‬ ِ‫و‬
َ
“Yang menyembelih menghadap kiblat demikian juga
menghadapkan hewan sembelihan ke arah kiblat hal
ini dianjurkan pada setiap sembelihan hanya saja
pada sembelihan Hadyu (saat haji atau umrah) dan
pada sembelihan Kurban lebih ditekankan
anjurannya karena menghadap kiblat dalam
beribadah itu dianjurkan dan pada sebagian ibadah
hukumnya wajib...” (Al Majmu’ Syarah al Muhadzab, An Nawawi
8/408)

(6)-Wajib membaca Tasmiyyah (bismillah)


bebarapa saat ketika akan menyembelih, Dan hal ini
hukumnya wajib, menurut pendapat yang kuat,
berdasarkan Firman Allah Ta’ala :
ْ ُّ ْ ْْ ُْ ّ ْ ُ ُ
..َّ‫وََّّلََّّتأكل َّواَّمِماَّل َّْمَّيذك َِّرَّاس َُّمَّاللَّعلي َِّهَّوإِن َّهَّل ِفسق‬
Janganlah kamu memakan binatang-binatang
yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang
semacam itu adalah suatu kefasikan. (QS. Al-An’am: 121).
Demikian juga Firman Allah Ta’ala :
ُ ُ ْ ْ ُ ْ ُُ
َّ‫فُك َّواََّّمِماََّّذك ِرَََّّّاس ُمَََّّّاللَِّ ََّّّعلي َِّهََّّإِنََّّكنت ْمَََّّّبِآيات ِ َِّه‬
ُْ
َّ‫مؤ ِمنِي‬
Maka makanlah binatang-binatang (yang halal)
yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika
kamu beriman kepada ayat-ayatNya. (QS Al An’am : 118)

42
Dan berdasarkan Sabda Rasulullah a :
ِ
ِ ‫ لَيس‬،‫اَّلل َعلَي ِه فَ ُكل‬ ِ َّ ‫َما أ ََّْنََر‬
‫الس َّن‬ َ ْ ْ ْ َّ ‫اس ُم‬ ْ ‫الد َم َوذُك َر‬
‫َوالظُُّف َر‬
“Selama mengalirkan darah dan telah disebut nama
Allah maka makanlah. Asal tidak menggunakan gigi
dan kuku.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Imam Ibnu Qoyyim  berkata :
َّ ‫اَّلل َعلَْي ِه ِم ْن‬
‫الذ َِبئِ ِح‬ َِّ ‫اَّلل سبحانَه ما َل ي ْذ َكر اسم‬
ُ ْ ْ ُ ْ َ ُ َ ْ ُ َُّ ‫َوقَ ْد َج َع َل‬
َِّ ‫َن ِذ ْكر اس ِم‬ ْ ‫فِ ْس ًقا َو ُه َو‬
ُ ِ‫اْلَب‬
‫اَّلل َعلَى‬ ْ َ َّ ‫ب أ‬ َ ْ‫ َوَل َري‬،‫يث‬
ِ ُ‫الذابِ ِح َوال َْم ْذب‬
،‫وح‬ َّ ‫يح ِة يُطَيِبُ َها َويَط ُْر ُد‬
َّ ‫الش ْيطَا َن َع ْن‬ َ ِ‫الذب‬
َّ
Allah Ta’ala menjadikan binatang yang tidak disebut
nama Allah termasuk sembelihan yang fasik dan
jelek. Tidak ragu lagi bahwa menyebut nama Allah
ketika menyembelih akan memperbaguskannya
mengusir Syaithan dari jiwa orang yang
menyembelih dan yang disembelih.
ِ ِْ ‫فَِإذَا أَ َخ َّل بِ ِذ ْك ِر‬
َ ُ‫الذابِ َح َوال َْم ْذب‬
،‫وح‬ َّ ‫الش ْيطَا ُن‬
َّ ‫س‬َ َ‫اُسه َلب‬
‫الش ْيطَا ُن ََْي ِري ِف َُمَا ِري‬ ِ ‫ك ُخ ْب ثًا ِف ا ْحلي و‬
َّ ‫ َو‬،‫ان‬ َ ََ َ ِ‫فَأَثَّ َر ذَل‬
ِ ‫الدِم ِمن ا ْحلي و‬
،‫ان‬ َ ََ ْ َّ
Maka apabila kosong dari menyebut nama Allah,
syaithan akan mengganggu yang menyembelih dan
hewan yang disembelihnya sehingga akan
menimbulkan pengeruh buruk pada hewan Syaithan

43
itu berjalan pada peredaran darah yang ada pada
binatang
‫الذابِ ُح‬ ِ ِ‫اْلَبائ‬
َّ ‫ث فَِإ َذا ذَ َك َر‬ َْ ‫ث‬ ُ َ‫ َو ُه َو أَ ْخب‬،ُ‫الد ُم َم ْرَكبُهُ َو َح ِاملُه‬
َّ ‫َو‬
َِّ ‫اسم‬
َ ِ‫الذب‬
ْ‫ فَِإذَا َل‬،ُ‫يحة‬ َّ ‫ت‬ ْ َ‫الدِم فَطَاب‬
َّ ‫الش ْيطَا ُن َم َع‬َّ ‫ج‬ َ ‫اَّلل َخ َر‬ َْ
.‫ث‬ُ ‫اْلُْب‬ َِّ ‫ي ْذ ُكر اسم‬
ْ ‫اَّلل َلْ ََيْ ُر ْج‬ َْ ْ َ
sementara darah yang membawa dan memikunya
adalah seburuk buruknya pemikul, Apabila yang
menyembelih menyebut nama Allah, maka Syaithan
akan keluar bersamaan dengan darah. Dan
sembelihannya menjadi enak dan halal. Bila tidak
menyebut nama Allah, maka yang jelek belum keluar”
(I’lam al Muwaqi’in, Ibnu Qoyyim 2/118)
Penyebutan nama Allah (BISMILLAH) pada saat
akan menyembelih merupakan salah satu dari syarat
syarat penyembelihan hewan. (Ahkamul Adhahi, syaikh Ibnu
‘Utsaimin hal,56-87)

Catatan :
Ada perbedaan pendapat dikalangan para
ulama tentang hukum menyebut nama Allah ketika
menyembelih kepada 3 pendapat.

Pertama :
Madzhab Hanafi, Maliki serta pendapat yang
masyhur dalam madzhab Hanbali , hukumnya wajib
namun kalau meninggalkannya karena lupa mereka
mebolehkannya (menghalalkan sembelihannya).
Dalilnya adalah Firman Allah Ta’ala :
ْ ُّ ْ ْْ ُْ ْ ّ ْ ُ ُ
ُ
..َّ‫وََّّلََّّتأكل َّواَّمِماَّل َّمَّيذك َِّرَّاس َّمَّاللَّعلي َِّهَّوإِن َّهَّل ِفسق‬
44
Janganlah kamu memakan binatang-binatang
yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang
semacam itu adalah suatu kefasikan. (QS. Al-An’am: 121).
Dan halalnya ketika lupa, berdalil dengan
keumuman riwayat :
‫اْلَطَأَ َوالنِ ْسيَا َن َوَما‬
ْ ‫إن للاَ ََتَ َاوَز ِل َع ْن أ َُّم ِّت‬ َّ
‫استُ ْك ِرُه ْوا َعلَْي ِه‬
ْ
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku karena aku
(apa yang mereka lakukan) tanpa ada kesengajaan,
lupa dan apa yang mereka dipaksa untuk
melakukannya.” (HR Ibnu Majah : 2034)
Kedua :
Madzhab Syafi’iyyah dan salah satu riwayat dari
Imam Ahmad berpendapat hukumnya sunnah.
Berdalil dengan riwayat Ka’ab bin Malik 
‫سلْع‬ ِ
َ ‫ت تَ ْر َعى غَنَ ًما ب‬ ْ َ‫ب بْ ِن َمالِك َكان‬ ِ ‫َن َجا ِريَ ًة لِ َك ْع‬ َّ ‫أ‬
‫سئِ َل‬ ‫ف‬
َ ‫ر‬ ‫ج‬ ‫ِب‬
َ ِ ‫ت َشاة ِم ْن َها فَأَ ْدرَك ْت َها فَ َذ َِبَْت َها‬ ْ َ‫ُصيب‬ ِ ‫فَأ‬
ُ َ َ
‫وها‬
َ ُ‫ال ُكل‬ َ ‫ فَ َق‬a ‫َّب‬ ُّ ِ‫الن‬
Bahwa budak wanita Ka'b bin Malik mengembalakan
kambing di daerah Sal', lalu salah satu kambingnya
terkena sakit hingga ia pun menyembelihnya dengan
batu. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ditanya
tentang hukum (daging sembelihannya), beliau
menjawab: "Makanlah." (HR Bukhari : 5505)

45
Dan juga berdalil dengan halalnya sembelihan
ahlul kitab dan mereka tidak menyebut nama Allah.
ْ ُ ُ ُ ْ ْ
Sebagaimana Firman Allah Ta’ala :
ُ ُ ِّ ُ ُ
َّ‫امَّ َّاَّلِينََّّ َّأوت َّوا‬
َّ ‫اتَّ َّوطع‬ َّ ‫حلََّّ َّلك َّمَّ َّالطيب‬ ِ ‫اَلومََّّ َّأ‬
ْ ُ ُّ ْ ُ ُ ْ ُ ْ
..‫لَّله َّم‬َّ ‫ح‬
ِ َّ‫حلََّّلك َّمَّوطعامك َّم‬ ِ ََّّ‫الكِتاب‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al
Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka...”. (QS Al Maidah : 5)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu berkata :
makanan ahlul kitab maksudnya sembelihan mereka
(Shahih Bukhari Bab sembelihan ahlul kitab, lihat juga Ftahul Bari, Ibnu
hajar 9/637)

Ibnu Qudamah Al maqdisi rahimahullah berkata


:
َِّ ‫اب؛ لَِقو ِل‬ ِ ِ ِ ِ
‫اَّلل‬ ْ ِ َ‫َُجَ َع أ َْه ُل الْعل ِْم َعلَى َإِب َحة ذَ َِبئ ِح أ َْه ِل الْكت‬
ْ ‫َوأ‬
‫ يَ ْع ِن‬. ‫اب ِحل لَ ُك ْم‬ ِ
َ َ‫ين أُوتُوا الْكت‬
ِ
َ ‫ام الَّذ‬ ُ ‫ َوطَ َع‬:‫تَ َع َال‬
.‫ذَ َِبئِ َح ُه ْم‬
“Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan
Ahlukitab halal berdasarkan firman Allah Ta’ala “ dan
makanan ahlul kitab halal bagi kalian”, makanan
maksudnya sembelihan,

46
‫ك‬َ ِ‫ َوَك َذل‬.‫ طَ َع ُام ُه ْم َذ َِبئِ ُح ُه ْم‬:‫ال ابْ ُن َعبَّاس‬ َ َ‫ ق‬:‫ي‬ ُّ ‫ال الْبُ َخا ِر‬
َ َ‫ق‬
ِ َ‫ال ُُم‬
‫ َوأَ ْكثَ ُر‬،‫ي َم ْعنَاهُ َع ْن ابْ ِن َم ْسعُود‬ َ ‫ َوُر ِو‬.ُ‫ادة‬َ َ‫اهد َوقَ ت‬ َ َ‫ق‬
.‫ضا‬ ً ْ‫ص ْي ِد ِه ْم أَي‬ ِ
َ َ‫أ َْه ِل الْعل ِْم يَ َرْو َن َإِب َحة‬
Al Bukhari berkata, Ibnu ‘Abbas berkata, yang
dimaksud makanan mereka adalah sembelihan
mereka, demikian juga telah berkata Mujahid dan
Qatadah, diriwayatkan juga yang semakna dari Ibnu
Mas’ud, dan kebanyakan para ahli ilmu berpendapat
membolehkan juga makan buruan ahli kitab” (Al Mughni,
Ibnu Qudamah 9/390)

Ketiga :
Madzhab Dzahiriyah berpendapat Syarat, maka
tidak bisa gugur karena sebab lupa, atau karena
sebab tidak disengaja , sebab tidak tahu apalagi
meninggalkannya kalau disengaja. Inilah juga
pendapatnya Imam Malik dalam salah satu
riwayatnya demikian juga Imam Ahmad.
Ini pulalah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah dan muridnya Imam Ibnu Qoyyim ,
demikian pula Syaikh Muhammad bin Shalih al
‘Utsaimin rahimahumullah. Berdalil dengan
keumuman ayat :
ْ ُّ ْ ْ ْ ُْ ّ ْ ُ ُ
.َّ‫وََّّلََّّتأكل َّواَّمِماَّل َّْمَّيذك َِّرَّاس َُّمَّاللَّعلي َِّهَّوإِن َّهَّل ِفسق‬
Janganlah kamu memakan binatang-binatang yang
tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah
suatu kefasikan. (QS. Al-An’am: 121).

47
Rasulullah  besabda :
ِ
ِ ‫ لَيس‬،‫اَّلل َعلَي ِه فَ ُكل‬ ِ َّ ‫َما أ ََّْنََر‬
‫الس َّن‬ َ ْ ْ ْ َّ ‫اس ُم‬ ْ ‫الد َم َوذُك َر‬
‫َوالظُُّف َر‬
“Selama mengalirkan darah dan telah disebut
nama Allah maka makanlah. Asal tidak menggunakan
gigi dan kuku.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin v
berkata :
َِّ ‫وَل فَر َق ب ْْي أَ ْن ي ْْت َك اسم‬
‫اَّلل َعلَْي َها َع ْمداً َم َع ال ِْعل ِْم أ َْو‬ َْ َُ ََ ْ َ
‫ َج َع َل‬a ‫َّب‬ َّ ‫نِ ْسيَانً أ َْو َج ْهالً لِعُ ُم ْوِم َه ِذهِ ْاْليَِة َوِأل‬
َّ ِ‫َن الن‬
ِ ‫ط ِِبلنِسي‬
‫ان َوا ْجلَ ْه ِل‬ َّ ‫َّس ِميَّةَ َش ْرطاً ِ ْف ا ْحلِ ِل َو‬
َ ْ ُ ‫ط َل يَ ْس ُق‬ ُ ‫الش ْر‬ ْ ‫الت‬
“Tidak ada perbedaan antara yang meninggalkan
baca bismillah saat menyembelih itu sengaja serta
mengetahui melakukannya atau lupa serta tidak tahu,
berdasarkan keumuman ayat ini. Juga karena Nabi a
menjadikan menyebut nama Allah itu sebagai syarat
dalam kehalalan penyembelihan, sementara syarat
itu tidak bisa gugur dengan sebab lupa atau tidak
tahu.
ِ ‫الدِم َن ِسياً أَو ج‬
‫اهالً َلْ ََِت َّل‬ َّ ‫َوِألَنَّهُ ل َْو أَ ْزَه َق ُرْو َح َها بِغَ ِْْي إِ َّْنَا ِر‬
َ ْ
‫احد ِم ْن‬ ِ ‫َن الْ َك َالم فِي ِهما و‬
َ َ ْ َ َّ ‫َّس ِميَّةَ ِأل‬ ْ ‫ك إِ َذا تَ َر َك الت‬ َ ِ‫فَ َك َذل‬
ِ ‫احد فَ َال ي ت‬
.‫َّجهُ التَّ ْف ِريْ ُق‬ ِ ‫مت َكلِم و‬
َ َ ُُ

48
Oleh karenanya jika melenyapkan nyawa hewan
tanpa mengalirkan darahnya karena lupa atau tidak
tahu (misalnya) maka tidaklah halal (karena
mengalirkan darah ini syarat), demikian juga
membaca bismillah (juga sayarat) karena
pembahasannya sama maka jangan dibedakan..”
(Talkhish Ahkam Al Udhiyyah wa Dzakah, syaikh al ‘Utsaimin, hal. 41)
(7)-Dianjurkan untuk membaca takbir (Allahu
akbar) setelah membaca basmalah. Hal ini
sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin
Malik radhiallahu ‘anhu,
ِ ْ َ‫ْي أَق َْرن‬
،‫ْي‬ ِ ْ ‫ْي أ َْملَ َح‬
ِْ‫ش‬ َ ‫ض َّحى بِ َك ْب‬ َِّ ‫ول‬
َ a ‫اَّلل‬ َّ ‫«أ‬
َ ‫َن َر ُس‬
‫ص ْف َحتِ ِه َما فَ َذ َِبَ َها بِيَ ِد ِه َو َُسَّى‬
َ ‫ض َع ِر ْجلَهُ َعلَى‬
َ ‫فَ َو‬
»‫ِب‬
ََّ ‫َوَك‬
“Bahwa Nabi a pernah menyembelih dua ekor
domba besar berbulu bagus bertanduk, beliau
meletakkan kakinya dilehernya lalu menyembelihnya
dengan tangannya, membaca bismillah serta
bertakbir (HR. Al Bukhari : 5565 dan Muslim).
(8)- Dianjurkan Menyebut nama orang yang
berqurban, setelah membaca basmalah dan takbir.
Disunnahkan bagi orang yang akan
menyembelih hewan qurban untuk menyebut nama
orang yang berqurban, setelah membaca basmalah
dan takbir, dengan mengucapkan;

49
َّ َّ َ ‫اَّللُ أَ ْك‬ َِّ ‫بِس ِم‬
ْ ِ ‫ِب اَلل ُه َّم تَ َقبَّ ْل اَلل ُه َّم َه َذ َع‬
‫ن (أ َْو َع ْن‬ ُ َّ ‫اَّلل َو‬ ْ
.)‫ِت (أ َْو َو َع ْن أ َْه ِل بَ ْيتِ ِه‬ ْ ِ ‫فَُالن) َو َع ْن أ َْه ِل بَ ْي‬
”Dengan Nama Allah dan Allah Maha Besar, Ya Allah
terimalah, Ya Allah ini dariku (atau dari Fulan), dan
dari keluargaku (atau dan dari keluarganya).”
Atau mengucapkan;

ْ ِ ‫َك َع‬
‫ن (أ َْو َع ْن‬ َ ‫ِب اَللَّ ُه َّم ِم ْن‬
َ ‫ك َو ل‬ َُ ‫اَّللُ أَ ْك‬
َِّ ‫بِس ِم‬
َّ ‫اَّلل َو‬ ْ
.)‫فَُالن‬
”Dengan nama Allah yang Mahabesar, Ya Allah dari-
Mu dan untuk-Mu dariku (atau dari Fulan).” (Talkhishu
Kitabu Ahkamil Udh-hiyah wadz Dzakah).

Dari Jabir bin Abdillah  ia berkata,


‫ فَ لَ َّما‬،‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬
ِ ‫ت َم َع ر ُس‬
َ ‫ض َحى ِِبل ُْم‬ ْ َ‫ ْاأل‬a ‫اَّلل‬ َ ُ ‫َش ِه ْد‬
ِ ِ ِ
ُ‫ َوأَتَى بِ َك ْبش فَ َذ َِبَه‬،‫ضى ُخطْبَ تَهُ نَ َز َل م ْن منْ َِِبه‬ َ َ‫ق‬
‫ «بِ ْس ِم‬:‫ال‬ َ َ‫ َوق‬،‫صلَّى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم بِيَ ِد ِه‬ َِّ ‫ول‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫َر ُس‬
»‫ض ِح ِم ْن أ َُّم ِِت‬ َ ُ‫ َو َع َّم ْن َلْ ي‬،‫ َه َذا َع ِن‬،ُ‫اَّللُ أَ ْك َِب‬ َِّ
َّ ‫اَّلل َو‬
“Aku pernah shalat ‘iedul Adha bersama Rasulullah
a, ketika selesai shalat didatangkan kepada beliau
seekor domba. Kemudian Nabi a menyembelih
dengan tangan beliau. Ketika menyembelih beliau
mengucapkan, ‘bismillah wallaahu akbar, ini kurban

50
atas namaku dan atas nama orang yang tidak
berkurban dari umatku.” (HR. Ahmad no : 14895).
Setelah membaca bismillah Allahu akbar, dibolehkan
juga apabila disertai dengan bacaan berikut: hadza
minka wa laka.” (HR. Abu Dawud, no. 2795) Atau hadza
minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan
nama shohibul kurban).
Disunnahkan ketika menyembelih untuk berdoa
supaya qurbannya diterima oleh Allah sebagaimana
Rosululloh shalallahu alaihi wasallam
mengucapkannya ketika menyembelih;
‫آل ُُمَ َّمد َوِم ْن أ َُّم ِة‬
ِ ‫اَّلل اللَّ ُه َّم تَ َقبَّل ِم ْن ُُمَ َّمد و‬
َ ْ
َِّ ‫ِِبس ِم‬
ْ
‫ض َّحى بِ ِه‬ َ َّ‫ُُمَ َّمد ُث‬
"Bismillah, Ya Alloh terimalah (qurban ini) dari Mu-
hammad, dari keluarga Muhammad, dan dari umat-
nya Muhammad" lalu beliau menyembelih. (HR. Muslim
kitab al-Adhohi 19 dari jalan Aisyah)

Dalam kitab al Mausu’ah al Fiqhiyyah al


Kuwaitiyyah disebutkan :
َِّ ‫ بِس ِم‬: ‫الذب ِح‬ ِ ِ َ ‫ ي ُقول الْم‬:ُ‫وقَال ا ْحلنَابِلَة‬
ُ‫اَّلل َواَ ََّّلل‬ ْ ْ َّ ‫ضحي ع ْن َد‬ ُ َ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ ‫ والت‬.‫أَ ْك َِب‬
ُ ‫َّسميَةُ َواجبَة ع ْن َد التَّ َذ ُّك ِر َوالْ ُق ْد َرة َوالتَّ ْكب‬
‫ْي‬ ْ َ ُ
‫ُم ْستَ َحب‬
“Para ulama Hanbali mengatakan, ‘Hendaklah yang
menyembelih membaca Bismillah dan Allahu Akbar.
Dan menyebut nama Allah itu hukumnya wajib saat

51
ingat dan mampu sementara bertakbir itu hukumnya
sunnah.
َِّ ‫ بِس ِم‬:‫ َكا َن إِ َذا َذبح قَال‬a ‫َّب‬ َّ ‫ت أ‬
َّ ِ‫َن الن‬
ُ‫اَّلل َواَ ََّّلل‬ ْ ََ َ َ‫فَ َق ْد ثَب‬
‫ اللَّ ُه َّم‬:‫اد فَ َقال‬
َ ‫ِب َوإِ ْن َز‬ ِ ِ
ََّ ‫ َوِف َحديث أَنَس َو َُسَّى َوَك‬.‫ِب‬ َُ ‫أَ ْك‬
،‫ اللَّ ُه َّم تَ َقبَّل ِم ِن أ َْو ِم ْن فُالَن فَ َح َسن‬،‫َك‬
َ ‫ك َول‬َ ‫َه َذا ِم ْن‬
Telah shahih riwayat dari Rasulullah a apabila beliau
menyembelih membaca Bismilla wallahu akbar.
Dalam hadits dari Anas bin Malik disebutkan, ‘Beliau
menyebut nama Allah dan bertakbir. Jika
ditambahkan ucapan Allahumma Hadza Minka
Walak, Allahumma taqabbal minni atau Taqabbal min
Fulan (sebutkan nama pekurban) maka hal ini baik,
ْ َ‫ أُِتَ بِ َك ْبش لَهُ لِيَ ْذ َِبَهُ فَأ‬a ‫َّب‬
‫ اللَّ ُه َّم‬: ‫ض َج َعهُ ُثَّ قَال‬ َّ ِ‫ِأل َّن الن‬
.‫ض َّحى بِ ِه‬َ َّ‫تَ َقبَّل ِم ْن ُُمَ َّمد َوآل ُُمَ َّمد َوأ َُّم ِة ُُمَ َّمد ُث‬
karena Nabi shalallahu alaihi wasallam pernah
didatangkan Kambing besar kepada beliau untuk
disembelih, maka beliaupun membaringkannya
kemudian bersabda, ‘Allahumma Taqabbal min
Muhammad wa Aali Muhammad wa Ummati
Muhammad, kemudian beliau berkurban dengannya”
(Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah 5/101)

(9)-Pastikan bahwa bagian tenggorokan


(saluran pernafasan), kerongkongan (saluran
makanan), dua urat leher (kanan-kiri) telah pasti
terpotong.

52
Namun dalam masalah ini Syekh Abdul Aziz bin
Baz mengatakan :
ِ ‫ َعلَى ثََال‬: ‫الشر ِعيَّةَ لِ ِْْلبِ ِل والْب َق ِر والْغَنَ ِم‬ ِ َّ ‫أ‬
‫ث‬ َ َ َ ْ َّ َ‫َن التَّذْكيَّة‬
َ ‫ ا ْحلُْل ُق‬: ‫الذابِ ُح‬
‫وم‬ َّ ‫ أَ ْن يَ ْقطَ َع‬:‫ ا ْحلَالَةُ ْاأل ُْوَل‬: ‫َح َالت‬
‫َح َسنُهُ فَِإذَا‬ ْ ‫الذبْ ِح َوأ‬ َّ ‫ْي َو ُه َو أَ ْك َمل‬
ُ َ ْ ‫َوال َْم ِريءَ َوال َْو ْد َج‬
.‫ُج ْي ِع الْعُلَ َم ِاء‬
َِ ‫الذبْح ح َالل ِع ْن َد‬ ِ ِ ْ ‫قَطَع‬
َ ُ َّ َ‫ت َهذه ْاأل َْربَ َعةُ ف‬ َ
Bahwasanya penyembelihan yang sesuai syariat itu
ada tiga keadaan : Pertama : Terputusnya
tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Ini
adalah keadaan yang terbaik. Jika terputus empat hal
ini maka sembelihannya halal menurut semua ulama.
ِ ْ ‫َح َد ال َْو ْد َج‬ ِ
‫ْي‬ َ ‫وم َوال َْم ِريءَ َوأ‬ َ ‫ أَ ْن يَ ْقطَ َع ا ْحلُْل ُق‬: ُ‫َوا ْحلَالَةُ الثَّانيَة‬
.‫ص ِح ْيح َوطَيِب َوإِ ْن َكا َن ُد ْو َن اْأل ََّو ِل‬ َ ‫َو َه َذا َح َالل‬
Kedua : Terputusnya tenggorokan,
kerongkongan, dan salah satu urat leher.
Sembelihannya benar, halal, dan boleh dimakan,
meskipun keadaan ini derajatnya di bawah kondisi
yang pertama.
‫وم َوال َْم ِريءَ فَ َق ْط ُد ْو َن‬ ِ
َ ‫ أَ ْن يَ ْقطَ َع ا ْحلُْل ُق‬: ُ‫َوا ْحلَالَةُ الثَّالثَة‬
‫ال بِ ِه َُجْع ِم ْن أ َْه ِل ال ِْعل ِْم‬
َ َ‫ص ِح ْيح َوق‬ َ ً‫ْي َو ُه َو أَيْضا‬ ِ ْ ‫ال َْو ْد َج‬
َِّ ‫الدم وذُكِر اسم‬
‫اَّلل َعلَْي ِه فَ ُك ْل‬ ِ
ُ ْ َ َ َ َّ ‫ َما أَ َّْنََر‬: a ُ‫َو َدل ْي لُ ُه ْم قَ ْولُه‬
ِ ‫لَيس‬
‫الس َّن َوالظُُّف َر‬ َ ْ
53
Ketiga : Terputusnya tenggorokan dan kerongkongan
saja, tanpa dua urat leher. Status sembelihannya sah
dan halal, menurut sebagian ulama, dan merupakan
pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Dalilnya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Selama mengalirkan darah dan telah disebut nama
Allah maka makanlah. Asal tidak menggunakan gigi
dan kuku.” (HR. Al Bukhari dan Muslim). (Shalatul Mu’min,
Syaikh Sa’id Al Qohthani, hal. 925)

Imam As Syafi’i rahimahullah berkata :


ِ ‫ والْم ِر‬،‫وم‬ ِ ِ َّ ‫ال‬
ِ ْ ‫ َوال َْو ْد َج‬،‫يء‬
‫ َوأَقَ ُّل‬،‫ْي‬ َ َ ‫ ا ْحلُْل ُق‬:‫الذ َكاة ِِب َْربَ َعة‬ ُ ‫َك َم‬
ِ ِ َّ ‫ما ي ْك ِفي ِمن‬
ُ‫ َوال َْم ِريء‬،‫وم‬
ُ ‫ ا ْحلُْل ُق‬:‫الذ َكاة اثْنَان‬ َ َ َ
“Kesempurnaan penyembelihan ada empat,
(memutuskan) Saluran nafas, saluran makanan dan
dua urat leher, dan minimal dianggap mencukupi ada
dua yaitu (memutuskan) saluran nafas dan makanan”
(Kitab Al Um, As Syafi’i 2/259)

Catatan :
Apabila penyembelihan sampai memotong
leher hewan tersebut, maka tidak mengapa. Berkata
Ibnu ’Umar dan Ibnu ’Abbas radhiyallahu anhuma
.‫ْس بِ ِه‬ َّ ‫إِذَا قَطَ َع‬
َ ْ‫الرأ‬
َ ‫س فَ َال َِب‬
”Apabila ia memotong lehernya, maka tidak
mengapa.” (Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani Irwa’ul Ghalil
: 2543).

54
Jawab : Dibolehkan untuk menyembelih hewan
qurban ditempat manapun, mau dirumah, ditempat
jagal sekalipun namun yang lebih utama adalah
melakukan penyembelihan di tanah lapang tempat
shalat ‘Idul ‘Adh-ha, agar orang-orang mengetahui
bahwa berqurban ketika itu sudah boleh dilakukan.
Diriwayatkan dari Ibnu ’Umar radhiyallahu anhuma
ia, berkata;
.‫صلَّى‬ َِّ ‫َكا َن رسو ُل‬
َ ‫ح َويَ ْن َح ُر ِِبل ُْم‬
ُ َ‫ يَ ْذب‬a ‫اَّلل‬ ُْ َ
”Dahulu Rasulullah a menyembelih hewan qurban di
Mushalla (tanah lapang tempat pelaksanaan Shalat
‘Ied).” (HR. Bukhari : 5232).

Jawab : Tidak ada ketentuan seberapa banyak


daging qurban yang harus dibagikan. Tetapi
sebaiknya daging qurban tersebut; sepertiga
dimakan, sepertiga disedekahkan, dan sepertiganya
sisanya disimpan. Sebagaimana diriwayatkan dari
Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu anhu, bahwa Nabi
shalallahu alaihi wasallam bersabda;
‫اد ِخ ُرْوا‬
َ ‫ُكلُ ْوا َوأَط ِْع ُم ْوا َو‬
“Makanlah daging hewan qurban, berilah makan
orang lain dengannya dan simpanlah.” (HR. Bukhari : 5249).
Makna “memberi makan” mencakup sedekah
untuk para fakir miskin dan hadiah untuk orang kaya.

55
Namun seandainya seorang menyedekahkan
seluruh daging qurbannya, maka ini diperbolehkan.
Berdasarkan hadits dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu anhu, ia berkata;
‫ص َّد َق‬ ِِ َِّ ‫أَمرِِن رسو ُل‬
َ َ‫ أَ ْن أَق َْوَم َعلَى بُ ْدنه َوأَ ْن أَت‬a ‫اَّلل‬ ْ ُ َ ْ ََ
‫َجلَّتِ َها َوأَ ْن َل أُ ْع ِط َي ا ْجلََّز َار ِم ْن َها‬
ِ ‫بِلُح ِم َها وجلُوِد َها وأ‬
َ ْ َُ ُ
“Rasulullah a memerintahkan kepadaku untuk
mengurusi qurbannya, agar aku membagi-bagikan
(semua) dagingnya, kulitnya, dan pakaian (unta
tersebut) dan aku tidak diperbolehkan memberi
suatu apapun (upah) dari qurban kepada Jagalnya.”
(HR. Bukhari: 1621 dan Muslim : 1317)

Diperbolehkan memberikan daging qurban


kepada orang kafir, selama orang kafir tersebut
bukan merupakan kafir harbi (orang kafir yang
memerangi kaum muslimin). Hal ini sebagaimana
fatwa dari Lajnah Da’imah Ketika ditanya dalam
masalah ini :
‫ْي ِم ْن َحلِْم‬ ِ ِ
َ ْ ‫ال َْم َعاه َد َو ْاألَس‬ ‫ََيُ ْوُز لَنَا أَ ْن نَط ِْع َم الْ َكافِ َر‬
‫لَِف ْق ِرهِ أ َْو قَ َرابَتِ ِه أ َْو ِج َوا ِرهِ أ َْو‬ ‫ض ِحيَّ ِة َوََيُ ْوُز إِ ْعطَا ُؤهُ ِمنْ َها‬ْ ُ‫ْاأل‬
ِ ‫ََتْلِْي‬
‫ف قَ ْلبِ ِه‬
“Kita diperbolehkan memberi makan kepada orang
kafir mu’ahid (dalam perjanjian dengan Negara
Islam) dan tawanan dari daging kurban.
Diperbolehkan memberi dari (daging kurban) karena

56
kemiskinannya, kekerabatan, tetangga atau untuk
melunakkan hatinya.
‫ين َلْ يُ َقاتِلُوُك ْم‬ ‫ذ‬ِ َّ‫اَّلل َع ِن ال‬َّ ‫م‬ ‫ك‬ُ ‫ا‬‫ه‬ ‫ن‬
ْ ‫ي‬ ‫{ل‬
َ : ‫ال‬َ ‫ع‬ ‫ت‬
َ ِ ِ‫لِعموِم قَ ول‬
‫ه‬
َ ُ ُ َ َ َ ْ ُُْ
‫وه ْم َوتُ ْق ِسطُوا إِل َْي ِه ْم‬ُ ‫ِب‬َُّ َ‫الدي ِن َوَلْ َُيْ ِر ُجوُك ْم ِم ْن ِد ََّي ِرُك ْم أَ ْن ت‬ِ ‫ِف‬
}‫ْي‬ ِِ ُّ ‫اَّللَ ُُِي‬
َّ ‫إِ َّن‬
َ ‫ب ال ُْم ْقسط‬
Berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala : “Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang Berlaku adil.” (QS Al-Mumtahanah : 8)
ِ ِ ْ ‫اَّللُ َعلَْي ِه وسلَّم أَمر أ‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ِ‫َن الن‬َّ ‫َوِأل‬
ْ ِ‫َُسَاءً ب ْنت أ‬
‫َب بَ ْكر‬ ََ َ َ َ َ ‫َّب‬
ِ ‫ال و ِهي م ْش ِرَكة ِف وق‬ ِ ِ
‫ْت‬ َْ ُ َ َ ِ ‫َرض َي للاُ َع ْن َها أَ ْن تَص َل أ َُّم َها ِِبل َْم‬
‫ا َْلُ ْدنَِة‬
Juga karena Nabi  memerintahkan Asma’ binti Abu
Bakar radhiallahu’anha untuk menyambung ibunya
dengan harta meskipun beliau dalam kondisi musyrik
waktu genjatan senjata. Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, (11/424),
HR. Bukhari 4/126 no.3183

Mujahid  mengatakan :
ِِ َِّ ‫َن َعب َد‬
ْ َ‫اَّلل بْ َن َع ْمرو ذُِِب‬
َ‫ فَلَ َّما َجاء‬،‫ت لَهُ َشاة ِف أ َْهله‬ ْ َّ ‫أ‬
ِ ‫ أَ ْه َدي تُم ِجلا ِرَن الْي ُه‬،‫ود ِي ؟‬
، ‫ود ِي‬ ِ ‫ أَ ْه َدي تُم ِجلا ِرَن الْي ُه‬:‫ال‬
َ َ‫ق‬
َ َ ْ ْ َ َ ْ ْ

57
‫ال‬ ُ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم يَ ُق‬
َ ‫ َما َز‬: ‫ول‬ َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ ُ ‫َُِس ْع‬
َ ‫اَّلل‬ َ ‫ت َر ُس‬
ِ ‫ِج ِِْبيل ي‬
ُ ‫وص ِين ِِب ْجلَا ِر َح َّّت ظَنَ ْن‬
ُ‫ت أَنَّهُ َسيُ َوِرثُه‬ ُُ
Bahwa Abdullah bin Amr menyembelih kambing
untuk keluarganya. Ketika beliau datang bertanya,
“Apakah anda telah memberikan hadiah kepada
tetangga kita yang Kresten? Apakah anda telah
memberikan hadiah kepada tetangga kita yang
Yahudi? Saya mendengar Rasulullah sallallahu’alaihi
wa sallam bersabda: “Jibril senantiasa mewasiatkan
kepadaku untuk tetangga, sampai saya menyangka
dia akan mewarisinya.” (HR. TIrmizi, (1943) dinyatakan shoheh
oleh Al-Albani).

Ibnu Qudamah  mengatakan,


ِ ِ ِ ِ
‫از‬
َ ‫ فَ َج‬، ‫ص َدقَةُ تَطَُّوع‬ َ ُ‫وز أَ ْن يُطْع َم م ْن َها َكاف ًرا ألَنَّه‬ ُ ُ‫َوََي‬
‫ص َدقَ ِة التَّطَُّو ِع‬ ِ ِ ِِ
َ ‫ َك َسائ ِر‬،‫ْي‬
َ ‫إط َْع ُام َها الذم َّي َو ْاألَس‬
“Diperbolehkan memberi makanan dari (daging
kurban) kepada orang kafir. Karena ia adalah
shodaqah sunnah. Maka diperbolehkan memberikan
makanan kepada orang kafir Dzimmi (dalam
perlindungan Negara Islam), tawanan sebagaimana
shodaqah sunnah lainnya.” (Al-Mugni, 9/450).
Syekh Ibnu Baz  mengatakan,
‫س بَ ْي نَ نَا َوبَ ْي نَهُ َح ْرب َكال ُْم ْستَأ َْم ِن أَ ِو‬ ِ َّ ِ
َ ‫الْ َكاف ُر الذ ْي ل َْي‬
َّ ‫ض ِحيَّ ِة َوِم َن‬
‫الص َدقَ ِة‬ ْ ُ‫اه ِد يُ ْعطَى ِم َن ْاأل‬
َ ‫ال ُْم َع‬
“Orang kafir yang tidak ada antara kita dengan
mereka peperangan seperti musta’min (dalam

58
perlindungan) atau mu’ahid (dalam perjanjian
dengan Negara Islam). Diberikan dari daging kurban
dan dari shodaqah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, (18/48)
Dianjurkan bagi orang yang berqurban agar
memakan daging qurbannya dan bersedekah
dengannya. Allah Ta’ala berfirman;
ْ ُ ْ ُ ُ ْ
َّ ‫ل ِيشهد ْوَّا مناف ِعَّ له ْمَّ ويذكرواَّ اسمَّ اللَِّ ِفَّ َّأيامر‬
ْ ُ
ُُ ْ ْ ْ ُ ْ ُ‫م ْعل‬
َّ‫امَّ فُك ْوا‬ ِ ‫اتَّ َعَّ م َّا رزقه ْمَّ م ِْنَّ ب ِهيمةَِّ األنع‬ ‫ر‬ ‫م‬ ‫و‬
ْ ْ ْ ُ ْ ْ
.‫مِنهاَّوأط ِعم ْواَّاْلائ ِسَّ الف ِقي‬
”Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi
mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah
pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah
telah berikan kepada mereka berupa hewan ternak.
Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian
lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang
sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj : 28).
Diperbolehkan menyimpan daging qurban
sampai waktu yang lama, selama masih enak
dimakan. Kecuali jika qurban disembelih pada saat-
saat kelaparan, maka tidak boleh menyimpan daging
qurban lebih dari tiga hari. Berdasarkan hadits
Salamah bin Al-Akwa’  Rasulullah a bersabda;
ِ ِ ِ ْ ُ‫ض َّحى ِم ْن ُك ْم فَ َال ي‬
ُ‫ف بَ ْيتِ ِه م ْنه‬ْ ِ‫صب ْح َن بَ ْع َد ََثلثَة َو‬ َ ‫َم ْن‬
َِّ ‫َشيء فَ لَ َّما َكا َن الْعام الْم ْقبِل قَالُوا َّي رسو َل‬
‫اَّلل نَ ْف َع ُل‬ ُْ َ َ ْ ُ ُ ُ َ ْ
‫اد ِخ ُرْوا‬َ ‫ال ُكلُ ْوا َوأَط ِْع ُم ْوا َو‬
َ َ‫اض ْي ق‬ِ ‫َكما فَ علْنَا َعام الْم‬
َ ُ َ َ
59
‫ت أَ ْن تَ ِع ْي نُ ْوا‬ ِ َّ‫ام َكا َن ِِبلن‬
ُ ‫اس َج ْهد فَأ ََر ْد‬ َ ِ‫فَِإ ْن َذل‬
َ ‫ك ال َْع‬
.‫فِ ْي َها‬
“Barangsiapa berqurban, maka tidak boleh ada
daging qurban yang masih tersisa dirumahnya
setelah hari ketiga.” Maka pada tahun berikutnya
para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah
kami harus berbuat sebagaimana telah kami lakukan
pada tahun lalu?” Beliau bersabda, “Makanlah daging
hewan qurban, berilah makan orang lain dengannya,
dan simpanlah, karena pada tahun kemarin orang
berada dalam kesusahan, maka aku ingin kalian
membantu mereka.” (HR. Bukhari : 5249, lafazh ini miliknya dan
Muslim : 1974).

Lajnah Da’imah juga pernah ditanya tentang


aqiqah dan pembagiannya, maka jawabnya,
“Berkurban hukumnya sunnah kifayah, dan ada
ulama yang mengatakan wajib ‘ain, adapun masalah
pembagiannya dimasak atau tidak dimasak maka ada
keluasan di dalamnya, yang penting (pemiliknya
memakan sebagiannya, dihadiahkan sebagiannya dan
disedekahkan sebagiannya. (Fatwa Lajnah Da’imah
11/394, fatwa no.9563)

Jawab : Seekor unta boleh patungan untuk tujuh


orang dan maksimal untuk sepuluh orang. Sedangkan
seekor sapi dapat digunakan patungan untuk tujuh

60
orang. Dari Jabir bin ’Abdillah radhiyallahu anhu
berkata;
,‫ اَلْبَ َدنَةُ َع ْن َس ْب َعة‬: ‫ام ا ْحلُ َديْبِيَ ِة‬
َ ‫ َع‬a ‫َّب‬ ِ ِ‫ََنَ ْرَن َم َع الن‬
.‫َوالْبَ َق َرةُ َع ْن َس ْب َعة‬
”Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah a
pada tahun Hudaibiyyah seekor unta untuk tujuh
orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (HR. Muslim :
1318).

Diriwayatkan dari Ibnu ’Abbas radhiyallahu


anhuma, ia berkata;

ْ َ‫ض َر ْاأل‬
‫ض َحى فَا ْش ََْتْكنَا‬ َ ‫ف َس َفر فَ َح‬ ْ ِ a ‫َّب‬ ِ ِ‫ُكنَّا َم َع الن‬
.‫ِف الْبَ َق َرِة َس ْب َعة َوِف ا ْجلُُزْوِر َع ْش َرة‬
”Kami pernah bepergian bersama Nabi a. Lalu
tibalah hari raya qurban, kemudian kami
berpatungan (berserikat); seekor sapi untuk tujuh
orang dan seekor unta untuk sepuluh orang.” (HR.
Tirmidzi: 905, Ibnu Majah : 3131).

Jawab : Sebaik-baik hewan kurban adalah unta,


kemudian sapi, kemudian kambing, kemudian kurban
kolektif dalam satu sapi, inilah pendapat Abu Hanifah
dan Syafi’i, berdasarkan hadits Nabi  tentang orang
yang berpagi pagi berangkat menuju shalat Jum’at:

61
‫اح ِف‬ َ ‫َم ْن راح ف الساعة األول فَ َكأَََّّنَا قَ َّر‬
َ ‫ َوَم ْن َر‬،ً‫ب بَ َدنَة‬
‫اع ِة‬ َّ ‫اح ِف‬
َ ‫الس‬ َ ‫ َوَم ْن َر‬،ً‫ب بَ َق َرة‬
ِ ِ ِ َ ‫الس‬
َ ‫اعة الثَّانيَة فَ َكأَََّّنَا قَ َّر‬ َّ
‫اع ِة‬ ِِ
َّ ‫اح ِف‬
َ ‫الس‬ َ ‫ َوَم ْن َر‬، ‫ب َك ْب ًشا أَق َْر َن‬ َ ‫الثَّالثَة فَ َكأَََّّنَا قَ َّر‬
‫اْلَ ِام َس ِة‬
ْ ‫اع ِة‬ َّ ‫اح ِف‬
َ ‫الس‬ َ ‫ َوَم ْن َر‬،ً‫اجة‬ َ ‫ب َد َج‬
ِ َّ
َ ‫الرابِ َعة فَ َكأَََّّنَا قَ َّر‬
ً‫ضة‬
َ ‫ب بَ ْي‬ َ ‫فَ َكأَََّّنَا قَ َّر‬
“Barang siapa yang berangkat (ke masjid) pada awal
waktu maka seakan ia mendapat badanah (unta), dan
barang siapa yang berangkat pada waktu kedua maka
ia seakan mendapat sapi, dan barang siapa yang
berangkat pada waktu ketiga maka ia seakan
mendapatkan kambing bertanduk, dan barang siapa
yang berangkat pada waktu keempat maka seakan ia
mendapatkan ayam, dan barang siapa yang berangkat
pada waktu kelima maka seakan ia mendapatkan
telur”. (HR. Bukhori 881, dan Muslim 850)
Imam Ibnu Qudamah  berkata :
‫ودة ِف‬
َ ‫ص‬ ُ ‫الدِم َم ْق‬
َّ َ‫َن َإراقَة‬ َّ ‫ض ُل ِم ْن ِش ْرك ِف بَ َدنَة؛ ِأل‬ َ ْ‫الشاةُ أَف‬َّ ‫َو‬
ِِ ِِ ِ ِ ْ ُ‫ْاأل‬
ُ ‫ب ِبِِ َراقَته ُكله َوالْ َك ْب‬
َ ْ‫ش أَف‬
‫ض ُل‬ ُ ‫ َوال ُْم ْن َف ِر ُد يَتَ َق َّر‬،‫ضحيَّة‬
‫ب َحلْ ًما‬ُ َ‫ َو ُه َو أَطْي‬a ‫َّب‬ ِ ِ‫ض ِحيَّةُ الن‬ ْ ُ‫الْغَنَ ِم؛ ِألَنَّهُ أ‬
“Seekor kambing lebih baik dari pada patungan pada
unta karena tujuan berkurban adalah mengalirkan
darah, dan orang yang berkurban perorangan ia
bertaqarub kepada Allah dengan mengalirkan darah
sepenuhnya. Dan kambing kibas adalah sebaik-baik

62
kambing karena kibas adalah hewan kurban Nabi 
dan sebaik-baik daging. (al Mughni: 13/366)
Lajnah Daimah (Komite tetap majlis fatwa Saudi
Arabia) pernah ditanya : Mana yang lebih utama
untuk berkurban, kambing kibas atau sapi ? Mereka
menjawab :
‫الشاةُ ُثَّ ِش ْرك ِ ْف بَ َدنَة‬َّ َّ‫اح ِي الْبَ َدنَةُ ُثَّ الْبَ َق َرةُ ُث‬ ِ‫ض‬ َ َ‫ض ُل ْاأل‬ َ ْ‫أَف‬
‫ َم ْن‬: ‫صلَى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِ ْف ا ْجلُ ُم َع ِة‬ ِِ ِ
َ ‫َنقَةً أَ ْو بَ َق َرةً ل َق ْوله‬
ِ َ ‫الس‬
‫ إخل احلديث‬. . ً‫ب بَ َدنَة‬ َ ‫اعة ْاألُ ْوَل فَ َكأَََّّنَا قَ َّر‬ َّ ‫اح ِ ْف‬ َ ‫َر‬
“Sebaik-baik kurban adalah unta, lalu sapi, kemudian
kambing, kemudian kurban kolektif dalam satu unta
maupun sapi. Berdasarkan sabda Rasulullah 
tentang shalat Jum’at : “Barang siapa yang berangkat
(ke masjid) pada awal waktu, maka seakan ia
mendapatkan badanah (unta gemuk)…. dan
seterusnya.
‫ب إِ َل‬ ِ ‫ضلَ ِة ِ ْف التَّ َق ُّر‬
َ ‫ ُو ُج ْو ُد الْ ُم َفا‬: ‫ك‬َ ِ‫الد َللَ ِة ِم ْن ذَل‬
َّ ُ‫َوَو ْجه‬
‫ض ِحيَّةَ ِم ْن‬ ْ ُ‫ك أَ َّن ْاأل‬ َّ ‫ َوَل َش‬،‫اْلبِ ِل َوالْبَ َق ِر َوالْغَنَ ِم‬
ِْ ‫ْي‬ ِ
َ ْ َ‫للا ب‬
ِ ‫ب إِ َل‬
ً‫ َوِألَ َّن الْبَ َدنَِة أَ ْكثَ ُر َثَناً َو َحلْما‬،‫للا تَ َع َال‬ ِ ‫أَ ْعظَِم الْ ُق ْر‬
،ً‫َونَ ْفعا‬
Segi pendalilannya atas hal itu menunjukan adanya
tingkatan dalam bertaqarrub kepada Allah antara
unta, sapi dan kambing, dan tidak diragukan lagi
bahwa berkurban adalah termasuk bentuk
bertaqarrub kepada Allah yang paling agung, dan

63
unta adalah yang paling mahal harganya, paling
banyak dagingnya, paling banyak manfaatnya,
.‫ َوأَ ْْحَ ُد‬،‫لشافِ ِع ُّي‬
َّ ‫ َوا‬،َ‫ال األَئِ َّمةُ الثََّالثَةُ أَبُ ْو َحنِْي َفة‬ َ َ‫َوِِبَ َذا ق‬
َّ ‫ع ِم َن‬
َّ‫ ُث‬،ُ‫ ُثَّ الْبَ َق َرة‬،‫الضأْ ِن‬ َ ْ‫ ْاألَف‬: ‫ال َمالِك‬
ُ ‫ض ُل ا ْجلَ َذ‬ َ َ‫َوق‬
‫ َل يَ ْف َع ُل‬a ‫ َو ُه َو‬،‫ْي‬ ِ ْ ‫ض َحى بِ َك ْب َش‬ َ a‫ب‬ َّ َِّ‫الْبَ َدنَةُ؛ ِألَ َّن الن‬
.‫ض ُل‬ َ ْ‫إَِّل ْاألَف‬
Oleh karenanya pendapat ini didukung oleh tiga
imam, yaitu; Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad. Adapun
Malik berkata: Kurban yang paling baik adalah
Jadza'ah (domba yang telah berusia enam hingga satu
tahun), kemudian sapi, kemudian unta; karena
Rasulullah  berkurban dengan dua kambing, dan
beliau tidak akan melakukan sesuatu kecuali sesuatu
tersebut adalah yang lebih utama.
‫ْي‬
َ ْ َ‫ار غ‬ُ َ‫ قَ ْد ََيْت‬a ُ‫ إِنَّه‬: ‫ال‬ َ ‫ أَ ْن يُ َق‬: ‫ك‬ َ ِ‫اب َع ْن ذَل‬ ُ ‫َوا ْجلََو‬
‫ش َّق‬ُ َ‫ أَ ْن ي‬a ‫ب‬ ُّ ‫ْاألَ ْوَل ِرفْقاً ِِب ْألَُّم ِة ِألَ ََّّنُ ْم يَتَأَ َس ْو َن بِ ِه َوَل ُُِي‬
‫ض َل الْبَ َدنَِة َعلَى اْلبَ َق ِر َواْلغَنَ ِم َك َما َسبَ َق‬ ْ َ‫ْي ف‬ َ ََّ‫ َوقَ ْد ب‬،‫َعلَْي ِه ْم‬
.‫َوللاُ أَ ْعلَ ُم‬
Jawaban dari pendapat Imam Malik tersebut adalah:
Bahwasanya Rasulullah  tidak selalu melaksanakan
yang lebih utama; sebagai bentuk kasih sayang beliau
kepada umatnya; karena mereka berqudwah kepada
beliau, dan Rasulullah tidak suka menyulitkan
mereka. Dan telah dijelaskan sebelumnya tentang

64
keutamaan unta, sapi dan kambing. Wallahu ‘alam.
(Fatawa Lajnah Daimah: 11/398)

Syaikh Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimin


 berkata:

‫ض َّحى‬ َ ‫اْلبِ ُل ُثَّ الْبَ َق ُر إِ ْن‬ِْ : ‫اح ِي ِج ْن ًسا‬ ِ‫ض‬ َ َ‫ض ُل ِم َن ْاأل‬ َ ْ‫اَْألَف‬
َّ َّ‫ ُث‬،ً‫ِِبَا َك ِاملَة‬
.ِ‫الضأْ ُن ُثَّ الْ َم ْع ُز ُثَّ ُسبُ ُع الْبَ َدنَِة ُثَّ ُسبُ ُع الْبَ َق َرة‬
ً‫ ْاألَ ُْسَ ُن ْاألَ ْكثَ ُر َحلْ ًما ْاألَ ْك َم ُل َخ ْل َقة‬: ً‫ص َفة‬ ِ ‫ضل ِم ْن َها‬
ُ َ ْ‫َواْألَف‬
‫ْاألَ ْح َس ُن َم ْنظًَرا‬
“Jenis hewan kurban yang paling utama adalah unta,
lalu sapi jika ia berkurban penuh, kemudian kambing
kibas, kemudian kambing biasa, kemudian patungan
tujuh orang unta kemudian tujuh orang sapi. Adapun
bentuk (sufat) yang paling utama dari hewan kurban
adalah yang paling gemuk banyak dagingnya, yang
paling bagus fisiknya, dan paling indah dipandang”
(Talkhis Ahkamil Udhiyah, hal. 19)

Jawab : Diantara kesalahan sebagian kaum


muslimin adalah merasa tidak enak, merasa bersalah
kalau berkurban atau aqiqah dengan binatang yang
betina, padahal dibolehkan baik betina ataupun
jantan, bahkan mungkin betina yang gemuk lebih
afdhal daripada jantan yang kurus. Namun yang lebih
utama adalah yang jantan.

65
Diriwayatkan dari Ummu Kurzin radhiyallahu
anha , Rasulullah a bersabda;

ُ َ‫َع ِن الْغَُالِم َش َاَت ِن َو َع ِن ا ْجلَا ِريَِة َشاة َل ي‬


‫ض ُّرُك ْم ذُ ْك َر ًان‬
.‫ُك َّن أ َْم إِ َن ًَث‬
“Aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan
anak perempuan satu ekor kambing. Tidak masalah
jantan maupun betina.” (HR. Ahmad : 27900. Hadits ini
dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ : 4106).

Walaupun didalam hadits tentang masalah


aqiqah akan tetapi jenis dan kriteria binatang untuk
berkurban adalah sama dengan yang untuk aqiqah.

Jawab : Kewajiban berkurban itu adalah satu


ekor unta atau sapi atau kambing itu untuk mewakili
satu keluarga, bukan kewajiban atas tiap tiap anggota
keluarga. Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari
radhiyallahu anhu , ia berkata;
ِ َّ ‫ض ِحي ِِب‬ ِ ِ‫ف َع ْه ِد الن‬
ُ‫لشاة َع ْنه‬ َ ُ‫ ي‬a ‫َّب‬ ْ ِ ‫الر ُج ُل‬ َّ ‫َكا َن‬
.‫ فَ يَأْ ُكلُ ْو َن َويُط ِْع ُم ْو َن‬،‫َو َع ْن أ َِه ِل بَ ْيتِ ِه‬
”Pada zaman Rasulullah a ada seseorang yang
berqurban seekor kambing untuk dirinya dan
keluarganya. Mereka memakan (daging qurban
mereka) dan mereka memberi makan (orang lain).”

66
(HR. Tirmidzi : 1505, Ibnu Majah : 3147. Hadits ini derajatnya hasan
shahih).

Rasulullah a juga bersabda :


‫ إِ َّن َعلَى أ َْه ِل ُك ِل بَ ْيت ِف ُك ِل َعام‬،‫َّاس‬
ُ ‫ََّي أَيُّ َها الن‬
‫ض ِحيَّة‬ ْ ُ‫أ‬
“Wahai sekalian manusia sesungguhnya atas tiap satu
keluarga dalam tiap tahunnya wajib berkurban” (HR
Abu Dawud, Shahih Abu Dawud : 3487)

Imam Ibnu Qoyyim –rahimahullah- berkata :


‫الر ُج ِل َو َع ْن أ َْه ِل‬
َّ ‫ئ َع ِن‬ ُ ‫الشاةَ َُتْ ِز‬
َّ ‫َن‬ َّ ‫ أ‬a ‫َوَكا َن ِم ْن َه ْديِ ِه‬
‫ْت‬
ُ ‫ « َسأَل‬:‫ال َعطَاءُ بْ ُن يَ َسار‬ َ َ‫ َك َما ق‬،‫ َول َْو َكثُ َر َع َد ُد ُه ْم‬،‫بَ ْيتِ ِه‬
‫ول‬ِ ‫َّح َاَّي َعلَى َع ْه ِد َر ُس‬ ِ َ ‫ َك ْي‬:‫ي‬
َ ‫ف َكانَت الض‬ َّ ‫صا ِر‬َ ْ‫أ ََِب أَيُّوب ْاألَن‬
‫لشاةِ َع ْنهُ َو َع ْن‬
َّ ‫ض ِحي ِِب‬ َّ ‫ (إِ ْن َكا َن‬:‫ال‬
َ ُ‫الر ُج ُل ي‬ َ ‫ ؟ فَ َق‬a ‫اَّلل‬ َِّ
»‫أَ ْه ِل بَ ْيتِ ِه فَ يَأْ ُكلُو َن َويُط ِْع ُمو َن‬
“Dan diantara bentuk petunjuk Nabi a (dalam
berkurban) adalah bahwa satu kambing mencukupi
untuk seseorang dan Keluarganya walaupun jumlah
anggota keluarganya banyak sebagaimana Atho bin
Yasaar telah berkata, “Aku bertanya kepada Abu
Ayyub Al Anshari , bagaimana berkurban pada zaman
Rasulullah a ? maka dia menjawab ”Dahulu jika
seseorang berqurban seekor kambing maka
mencukupi untuk dirinya dan keluarganya. Mereka
memakan (daging qurban mereka) dan mereka

67
memberi makan (orang lain).” (Zaadul Ma’aad, Ibnu Qoyyim
2/295)

Jawab : Masalah bolehnya insya Allah  boleh


karena ada sebagian ulama yang membolehkan
dimana mereka menyamakan kurban untuk mayit
dengan sedekah atas nama mayyit.
Imam Tirmidzi  berkata :

ْ‫ َوَل‬، ‫ت‬ ِ ِ‫ض َّحى َعن الْمي‬


َ ْ َ ُ‫ض أ َْه ِل ال ِْعل ِْم أَ ْن ي‬
ُ ‫َّص بَ ْع‬َ ‫َوقَ ْد َرخ‬
: ‫ار ِك‬ َِّ ‫ال َعب ُد‬ َ ُ‫ض ُه ْم أَ ْن ي‬
َ َ‫اَّلل بْ ُن ال ُْمب‬ ْ َ َ‫ وق‬. ُ‫ض َّحى َع ْنه‬ ُ ‫يَ َر بَ ْع‬
َ ُ‫ص َّد َق َع ْنهُ َول ي‬
ُ‫ض َّحى َع ْنه‬ َ َ‫ل أَ ْن يُت‬ََّ ِ‫ب إ‬
ُّ ‫َح‬
َ‫أ‬
“Sungguh sebagian ulama membolehkan berkurban
atas nama mayyit, dan sebagian yang lain tidak
membolehkan. Imam Ibnul Mubarak 
mengatakan, Aku lebih suka bersdekah atas nama
mayyit daripada berkurban atas namanya”
Akan tetapi yang kuat dalam masalah ini adalah
bahwa berkurban atas nama mayyit tidaklah perlu di
lakukan kecuali jikalau Mayyit berwasiyat
sebelumnya untuk berkurban, adapun jika tidak
maka tidak perlu melakukannya karena beberapa
alasan :
1. Berkurban disyari’atkan itu kepada orang yang
hidup, dan itu pula yang diparaktekkan oleh
Rasulullah a.

68
Syaikh Muhammad Ibnu Utsaimin 
mengatakan,
‫ َوَل َع ِن‬a ‫َّب‬ ِ ِ‫ إِ ْذ َلْ يَ ِر ْد َع ِن الن‬،‫َحيَ ِاء‬ ْ ‫َم ْش ُرْو َعة َع ِن ْاأل‬
ً‫استِ ْق َالَل‬
ْ ‫ات‬ِ ‫ض ُّحوا َع ِن ْاأل َْمو‬
َ َ ‫الص َحابَِة فِ ْي َما أَ ْعلَ ْم أَ ََّّنُ ْم‬
َّ
“Berkurban disyari’atkan bagi orang yang hidup
karena tidak adanya dalil dari Nabi shalallahu alaihi
wasallam dan para sahabatnya bahwa mereka
berkurban mengatasnamakan orang yang telah
meninggal secara khusus,
‫ات لَهُ أْ َوَلد ِم ْن بَنِ ْْي أ َْو بَنَات ِ ْف‬
َ ‫ َم‬a ‫للا‬ ِ ‫فَِإ َّن رسو َل‬
ُْ َ
َ ‫ َوَم‬،‫َحيَاتِِه‬
َ ُ‫ َوَلْ ي‬،‫ات لَهُ َزْو َجات َوأَقَا ِرب ُُِيبُّ ُه ْم‬
‫ض ِح َع ْن‬
‫احد ِم ْن ُه ْم‬
ِ‫و‬
َ
Karena sesungguhnya Rasulullah  memiliki
beberapa anak laki-laki dan perempuan, beberapa
orang istri, dan kerabat dekat yang beliau cintai, yang
meninggal dunia mendahului beliau. Namun Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berkurban
secara khusus atas nama salah satu diantara mereka.
‫َع ْن‬ ‫َوَل‬ ،َ‫ض ِح َع ْن َع ِم ِه َْحْ َزةَ َوَل َع ْن َزْو َجتِ ِه َخ ِد َْيَة‬ َ ُ‫فَ لَ ْم ي‬
‫َع ْن‬ ‫َوَل‬ ،‫ث‬ ِ َ‫ وَل َعن ب نَاتِِه الثَّال‬،َ‫ت ُخ َزَْيَة‬ ِ ‫َزوجتِ ِه َزيْ نَب بِْن‬
َ ْ َ ْ َْ
،‫ض َي للاُ َع ْن ُه ْم‬ِ ‫أَوَل ِدهِ ر‬
َ ْ
Beliau tidak pernah berkurban atas nama pamannya
Hamzah, atau atas nama istri beliau Khadijah atau

69
istri beliau Zainab binti Khuzaimah, tidak pula untuk
tiga putrinya dan anak-anaknya radliallahu 'anhum.
‫ ِ ْف‬a ‫َول َْو َكا َن َه َذا ِم َن ْاأل ُُم ْوِر ال َْم ْش ُرْو َع ِة لِبَ يَّنِ ِه ال َّْر ُس ْو ُل‬
ِْ ‫ض ِحي‬
‫اْلنْ َسا ُن َع ْنهُ َو َع ْن أ َْه ِل‬ َ ُ‫ َوإِ ََّّنَا ي‬،ً‫ُسنَّتِ ِه قَ ْولً أ َْو فِ ْعال‬
.‫بَ ْيتِ ِه‬
Andaikan ini disyariatkan, tentu akan dijelaskan oleh
Rasulullah  , baik dalam bentuk perbuatan maupun
ucapan. Oleh Karena itu, hendaknya seseorang
berkurban atas nama dirinya dan keluarganya. (Syarhul
Mumthi', 7/287).

2. Rasulullah  menganjurkan sedekah atas nama


mayyit tapi tidak menganjurkan berkurban.
3. Rasulullah  dan para sahabat tidak
melakukannya, maka seandainya perkara ini baik
tentunya mereka adalah kaum yang telah terlebih
dahulu melakukannya.
Meskipun demikian, Syeikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin v tidaklah menganggap bentuk
berkurban secara khusus atas nama mayit sebagai
perbuatan bid'ah. Beliau mengatakan,
ً‫استِ ْق َالل‬ ِ ْ ُ‫ إِ َّن ْاأل‬: ‫ال ب ْعض الْعلَم ِاء‬ ِ
ْ ‫ضحيَّةَ َعنْ ُه ُم‬ َ ُ ُ َ َ َ‫َوَلََذا ق‬
‫ص ْعب؛ ِألَ َّن‬ ِ ِ
َ ‫ َولَك َّن الْ َق ْو َل ِِبلْبِ ْد َعة قَ ْول‬،‫بِ ْد َعة يُنْ َهى َعنْ َها‬
‫ت‬ َ َ‫ َوقَ ْد ثَب‬،‫الص َدقَ ِة‬
َّ ‫س‬ ِ ‫ إِ ََّّنَا ِم ْن ِج ْن‬:‫أَ ْد َن َما نَ ُق ْو ُل فِ ْي َها‬
‫ت‬ ِ ِ‫الص َدقَ ِة َع ِن الْمي‬
َّ ‫َج َو ُاز‬
َ

70
“Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan,
berqurban secara khusus atas nama mayit adalah
bid'ah yang terlarang. Namun vonis bid'ah di sini
terlalu berat, karena keadaan minimal yang bisa
dikatakan bahwa kurban atas nama orang yang sudah
meninggal termasuk sedekah. Dan terdapat dalil yang
shahih tentang bolehnya bersedekah atas nama
mayit”
‫الص َدقَ ِة‬ ُ ‫ض ِحيَةُ ِ ْف الْ َواقِ ِع َل يُ َر‬
َّ ‫اد ِِبَا ُُمَ َّر ُد‬ ْ ُ‫ت ْاأل‬ِ َ‫وإِ ْن َكان‬
َ
َّ ‫ال‬ ِ ‫النْتِ َف ِاع بِ ِه لَِقو ِل‬
ِْ ‫ أَ ِو‬،‫بِلَ ْح ِم َها‬
َ‫اَّلل‬ َ َ‫ {لَن يَن‬: ‫للا تَ َع َال‬ ْ
،]37 :‫[احلج‬
}‫َكن يَنَالُهُ التَّ ْق َوى ِمن ُك ْم‬ ِ ‫ُحلومها وَل ِدما ُؤ َها ول‬
َ َ َ َُ ُ
ِ ‫ولَ ِكن أَه ُّم َشيء فِي ها هو التَّ َق َّرب إِ َل‬
َّ ‫للا ِِب‬
.‫لذبْ ِح‬ ُ َُ َ ْ ْ َ ْ َ
Walaupun pada dasarnya berkurban itu bukan
sekedar sedekah dengan daging atau
memanfaatkannya, karena Allah  berfirman,
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali
tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi
ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”
Akan tetapi yang paling penting adalah taqarrub
kepada Allah dengan menyembelih. (Syarhul Mumthi',
7/287)

71
Ditempat yang lain syaikh Muhammad bin
Shalih al ‘Utsaimin  mengatakan :
: ‫ الْ ِق ْس ُم ْاألَ َّو ُل‬: ‫ات ثََالثَةُ أَقْ َسام‬ ِ ‫ض ِحيَّةَ َع ِن ْاألَ ْمو‬
َ ْ ُ‫أَ َّن ْاأل‬
َ ُ‫أَ ْن تَ ُك ْو َن تَبَعاً لِ ْلَ ْحيَ ِاء َكأَ ْن ي‬
‫ض ِح َي َع ْن نَ ْف ِس ِه َوأَ ْهلِ ِه َوفِ ْي ِه ْم‬
.a ‫ب‬ ُّ َِّ‫ات َك َما فَ َع َل الن‬
ُ ‫أَ ْم َو‬
”Berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia
itu terdiri dari tiga macam:
Berkurban (dan keluarga) sebagai
pengikut, misalnya berkurban untuk diri sendiri dan
keluarga, yang di antaranya terdapat orang yang
sudah meninggal dunia, sebagaimana yang pernah
dilakukan olen Rasulullah  .
َّ َ‫ فَ َق ْد ن‬،ً‫استِ ْق َالل‬ ِ ِ‫ض ِحي َع ِن الْمي‬ ِ ِ
‫ص‬ ْ ‫ت‬ َ َ َ ُ‫ أَ ْن ي‬: ُّ‫الْق ْس ُم الثَّاِن‬
‫ك إَِّل أَ ْن‬ َ ِ‫ض الْعُلَ َم ِاء َل يَ َر ْى ذَل‬ ِ ِ
ُ ‫ َوبَ ْع‬،‫َعلَْيه فُ َق َهاءُ ا ْحلَنَابِلَة‬
َ ِ‫ت بِ َذل‬
.‫ك‬ ُ ِ‫صي الْ َمي‬ ِ ‫يو‬
ُْ
Berkurban untuk orang yang sudah
meninggal dunia secara khusus. Hal ini para ahli fiqih
dari madzhab Hanbali menyatakan ada dalilnya.
Sebagian ulama tidak melihat hal tersebut kecuali jika
orang yang meninggal itu berwasiat agar dilakukan
hal tersebut.
ِ ِ‫بو‬ ِ ِ ِ َ ‫ أَ ْن ي‬: ‫ث‬ ُ ِ‫الْ ِق ْس ُم الثَّال‬
ُ‫صيَّة م ْنه‬ َ ِ ‫ضح َي َع ِن الْ َميِت ِبُْوج‬ ُ
ِ ‫فَ تَ ْن ُف ُذ الْو‬
َ‫صيَّة‬ َ

72
Berkurban untuk orang yang sudah
meninggal dunia sebagai suatu kewajiban yang
didasarkan pada wasiat sehingga wasiatnya itu yang
diterapkan”. (Ahkaamul Adhaahii, hlm. 17).
Syaikhul Islam  memilih berpendapat bahwa
berkurban bagi orang yang sudah meninggalkan
dunia itu lebih baik daripada sedekah dengan harga
dari hewan tersebut. (Al-Ikhtiyaaraat, hlm. 118).

Jawab : Tidak boleh dan ini termasuk bentuk


menjual sesuatu dari daging kurban yang terlarang.
Oleh karenanya upah harus diambil dari uang
kita sendiri bukan diambil dari daging kurban.
Adapun member hadiyah kepada tukang jagal maka
ini dibolehkan, asal bukan sebagai upah.
Ali bin Abi Thalib  berkata;
‫ص َّد َق‬ ِِ َِّ ‫أَمرِِن رسو ُل‬
َ َ‫ أَ ْن أَقُ ْوَم َعلَى بُ ْدنه َوأَ ْن أَت‬a ‫اَّلل‬ ْ ُ َ ْ ََ
‫َجلَّتِ َها َوأَ ْن َل أُ ْع ِط َى ا ْجلََّز َار ِم ْن َها‬
ِ ‫بِلَ ْح ِم َها وجلُوِد َها وأ‬
َ ْ َُ
.‫ ََْن ُن نُ ْع ِط ْي ِه ِم ْن ِع ْن ِد َن‬: ‫ال‬
َ َ‫ق‬
“Rasulullah a memerintahkan kepadaku untuk
mengurusi qurbannya, agar aku membagi-bagikan
(semua) dagingnya, kulitnya, dan pakaian (unta
tersebut) dan aku tidak diperbolehkan memberi
suatu apapun dari qurban kepada penyembelihnya.”
Lalu Ali radhiyallahu anhu berkata, “Kami

73
memberinya (upah) dari apa yang kami miliki.” (HR.
Bukhari: 1621 dan Muslim : 1317)

Termasuk tidak boleh menjual sesuatupun dari


binatang kurban hingga kulitnya sekalipun.
ِ ‫ول‬
‫للا‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ض َي للاُ َع ْنهُ ق‬ ِ ‫َعن أَِب ُهريْ رَة ر‬
َ ََ ْ
‫ض ِحيَّتِ ِه فَ َال‬
ْ ُ‫ع ِجلْ َد أ‬َ ‫ َم ْن َِب‬:‫صلَّى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ
ُ‫ض ِحيَّ َة لَه‬
ْ ُ‫أ‬
“Dari Abu Hurairah  ia berkata, “Telah bersabda
Rasulullah  “ Barang siapa yang menjual kulit
binatang kurban maka tidak ada kurban baginya” (HR
Al Baihaqi, Sunan Al Kubra No : 19233, Di shahihkan oleh Syaikh Al Albani
rahimahullah , Shahih At Targhib Wat Tarhib hal. 455)

Jawab : Ibadah kurban adalah bentuk ibadah


yang dengannya seseorang bertaqarub kepada Allah
 , maka hukum asalnya lebih utama untuk
melakukannya sendiri, termasuk dalam masalah
berkurban ini, sebagaimana Rasulullah a pun
menyembelih sendiri, akan tetapi sebagaimana hadits
Ali bin Abi Thalib diatas dimana Rasulullah shalalahu
alaihi wasallam mewakilkan kepada Ali radhiyallahu
anhu , yang menunjukan bolehnya diwakilkan.

74
Dari Anas bin Malik  ia berkata :
‫ْي َذ َِبَ ُه َما‬ِ ْ َ‫ْي أَق َْرن‬
ِ ْ ‫ْي أ َْملَ َح‬
ِْ‫ش‬َ ‫ بِ َك ْب‬a ‫َّب‬ ُّ ِ‫ض َّحى الن‬َ
ِ ‫ص َف‬
.‫اح ِه َما‬ ِ ‫ضع ِر ْجلَهُ َعلَى‬ ِِ ِ
َ َ ‫ َوَو‬،‫ِب‬ََّ ‫ َوَك‬،‫ َو َُسَّى‬،‫بيَده‬
“Rasulullah a berkurban dengan dua ekor kambing
kibasy yang putih ada hitamnya, bertanduk, beliau
menyembelihnya sendiri menyebut nama Allah dan
bertakbir, beliau meletakan kakinya di lambung
keduanya” (HR Bukhari Muslim)
Imam Al Bukhari  berkata :

‫ْي ِِبَيْ ِدي ِه َّن‬ ِ َ ‫وأَمر أَبو موسى ب نَاتَهُ أَ ْن ي‬


َ ‫ضح‬ ُ َ َ ُ ُ ََ َ
“Abu Musa (Al Asy’ary) memerintahkan putrinya
(yang berkurban) untuk menyembelih dengan tangan
mereka sendiri” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani 10/19)
DR Wahbah Az Zuhaili hafidzahullah berkata :
‫ض ِحيَّ ِة أَ ْن يَ ْذبَ َح بِنَ ْف ِس ِه إِ ْن قَ َد َر َعلَْي ِه؛‬ ْ َّ‫ب لِ ُم ِريْ ِد الت‬
ُّ ‫يُ ْستَ َح‬
‫ض إِنْ َسان آ َخ َر‬ ِ ْ‫ض ُل ِم ْن تَ ْف ِوي‬َ ْ‫ َوُمبَا َش َرةُ الْ ُق ْربَِة أَف‬،‫ِألَنَّهُ قُ ْربَة‬
ِ ِ
ُ‫الذبْ َح فَ ْاأل َْوَل تَ ْوليَ تُهُ ُم ْسل ًما ُُْي ِسنُه‬
َّ ‫ فَِإ ْن َلْ ُُْي ِس ِن‬،‫فِ ْي َها‬
“Sangat dianjurkan bagi orang yang ingin berkurban
menyembelih sendiri hewan kurbannya jika dia
memiliki kemampuan akan hal itu, karena
sesungguhnya berkurban itu merupakan ibadah yang
mengharap kedekatan kepada Allah , maka meniti
jalan kedekatan tersebut secara langsung itu lebih

75
utama daripada mewakilkannya kepada orang lain,
namun jika tidak memiliki kemampuan yang baik
dalam hal menyembelih memang ada baiknya
diwakilkan kepada seorang muslim yang memiliki
kafaah dibidang tersebut,
‫صلَّى‬ ِ ِ ِ ِ ْ ُ‫ب ِف َه ِذهِ ا ْحلال َِة أَ ْن ي ْشه َد األ‬
َ ‫ضحيَّةَ ل َق ْوله‬ َ َ َ ُّ ‫َويُ ْستَ َح‬
ِ ُ‫اطمةُ ق‬
‫ومي إِ َل‬ ِ ِ ِ
ِ ‫اطمةَ ر‬ ِ َّ
َّ ‫ض َي‬
َ َ‫ ََّي ف‬:‫اَّللُ َعنْ َها‬ َ َ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ل َف‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ْ ُ‫أ‬
‫ب َعلَى َه َذا‬ ُ ‫ضحيَّتك فَا ْش َهد َيها َوقَد اتَّ َف َقت ال َْم َذاه‬
dan sangat dianjurkan dia menyaksikan saat
penyembelihan. Sebagaimana sabda Shallallahu alaihi
Wasallam kepada Fatimah Radliallahu Anha : Wahai
Fatimah bangkitlah dan saksikanlah hewan
sembelihanmu. Semua imam madzhab yang empat
sepakat akan hal ini“ (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu” (273/4 ).

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah


ini, syiakh DR Wahbah Az Zuhaili hafidzahullah
mengatakan :
ِ‫الزَكاة‬
َّ ‫ يُ ْك َرهُ نَ ْقلُ َها َك‬: ُ‫ال ا ْحلَنَ ِفيَّة‬
َ ‫ فَ َق‬: ‫أَ َّما نَ ْقلُ َها إِ َل بِلَد آ َخ َر‬
‫ أَ ْو إِ َل قَ ْوم ُه ْم‬،‫ إَِّل أَ ْن يَ ْن ُقلَ َها إِ َل قَ َرابَتِ ِه‬،‫ِم ْن بَلَد إِ َل بَلَد‬
‫ أَ ْج َزأَهُ َم َع‬: ‫ َولَ ْو نُِق َل إِ َل غَ ِْْيِه ْم‬، ِ‫ج إِلَْي َها ِم ْن أَ ْه ِل بَلَ ِده‬ُ ‫أَ ْح َو‬
.‫الْ َك َر َاه ِة‬
76
“Adapun penyembelihannya di negara lain, maka Al
Hanafiyyah berkata : Makruh hukumnya mengirim
hewan sembelihan keluar negara, kecuali jika
mengirimkan kepada kerabatnya, atau kepada
sekelompok komunitas orang yang sangat
membutuhkan dibanding orang yang tinggal di
negara itu, walau tidak bisa tidak dan harus dikirim
ke negara lain, hal ini tetap diperbolehkan dan
mendapatakan pahala meskipun makruh hukumnya.
،‫صر فَأَ ْكثَ َر‬ ْ َ‫إِ َل َم َسافَ ِة ق‬ ‫ َوَل ََيُ ْوُز نَ ْقلُ َها‬: ُ‫ال الْ َمالِ ِكيَّة‬َ َ‫َوق‬
‫اجة ِم ْن أَ ْه ِل َُمَ ِل‬
َ ‫أَ َش َّد َح‬ ‫ض ِع‬ِ ‫ك الْمو‬ ِ
ْ َ َ ‫إَِّل أَ ْن يَ ُك ْو َن أَ ْه ُل ذَل‬
‫ َوت َف َرقَةُ ْاألَقَ ِل َعلَى‬،‫ب نَ ْق ُل ْاألَ ْكثَ ِر ََلُ ْم‬ ِ ِ ‫الْ ُو ُج ْو‬
ُ ‫ فَيَج‬،‫ب‬
.‫أَ ْهلِ ِه‬
Al Malikiyyah berpendapat : tidak boleh
mengirimkannya ke daerah yang melebihi batas
diperbolehkannya mengqashar shalat, melainkan jika
penduduk daerah tersebut sangat membutuhkan dari
pada penduduk daerah atau negara yang berkurban,
maka wajib mengirimkan hewan kurban ke daerah
atau negara yang membutuhkan tersebut lebih
banyak, dan menyisakan sedikit bagi penduduk
negara atau daerah yang berkurban.
‫ ََيُ ْوُز نَ ْقلِ ِها ِألَقَ َّل ِم ْن‬: ‫الشافِ ِعيَّةُ َكالْ َمالِ ِكيَّ ِة‬
َّ ‫ال ا ْحلَنَابِلَةُ َو‬َ َ‫َوق‬
‫ َوُُْي َرُم نَ ْقلُ َها‬،‫ال‬ ُ ‫ ِم َن الْبَ لَ ِد الَّ ِذ ْي فِ ْي ِه الْ َم‬،‫ص ِر‬ ْ ‫َم َسافَ ِة الْ َق‬
.‫ص ِر َوَُتْ ِزئِِه‬ ِ َّ ‫َك‬
ْ ‫الزَكاة إِ َل َم َسافَ ِة الْ َق‬
77
Al Hanabilah dan As Syafi’iyyah berpendapat sama
dengan pendapat Al Malikiyyah : Diperbolehkan
mengirimkannya ke negara atau daerah yang
jaraknya kurang dari jarak diperbolehkannya
mengqashar shalat, dari negara yang terdapat harta
atau hewan kurban, dan diharamkan mengirimkan
binatang sembelihan sebagaimana zakat, ke negara
yang jaraknya sepadan dengan jarak
diperbolehkannya mengqashar shalat atau
melampaui batas tersebut..”. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu

4/282)

Sebagian lain melarang, seperti Syaikh


Muhammad bin Shalih al-Utsaimin  dan Syaikh
Shalih al-Fauzan, Alasan pendapat ini, berkurban
adalah syari’at yang telah ditentukan tata caranya,
bukan hanya masalah membagi daging semata,
(sebagaimana QS. al-Hajj 37), berkurban di negeri
lain menyelisihi sunnah, pemiliknya tidak dapat
melaksanakan sunnah memakan Sebagian dagingnya,
dan syi’ar islam berupa kurban akan hilang di negara-
negara yang penduduknya banyak yang kaya. (Fatawa
Syaikh Ibnu Utsaimin, Majalah ad-Da’wah no.1878).

Syaikh Shalih al 'Ushaimi hafidzahullah


mengatakan : Hakekat berkurban itu bukan
membagikan atau menyedekahkan daging atau
makan makan daging qurban, namun hakekat dan inti
berkurban adalah mengalirkan darah hewan dalam
rangka taqarrub kepada allah.

78
Maka urutan Pelaksanaan Qurban yang afdhal
ada 3 tingkatan:
[1] Menyembelih hewan kurban dengan tangannya
sendiri
[2] Mewakilkan menyembelih kepada orang lain
sementara ia menyaksikan penyembelihan
[3] Mewakilkan menyembelih kepada orang lain dan
dia tidak menyaksikannya namun penyembelihan
dilakukan di kampungnya.
Inilah ketentuan dalam berkurban, maka jika
tidak mampu, gugurlah kewajiban. Adapun yang
dilakukan dengan mengirim uang atau membeli
hewan untuk dikirim ke luar kota atau kampung lain
atau luar negeri untuk di belikan hewan kurban maka
ini namanya sedekah daging bukan berkurban" (Al
Khuthab Al Mimbariyyah, Syaikh Shalih al 'Ushaimi, hal. 9-10)

Maka dalam hal ini sebagai bentuk menyatukan


pendapat, Hendaknya seorang muslim berkurban
ditempat tinggalnya, inilah yang lebih utama, karena
itulah yang biasa dilakukan Rasulullah  dan para
sahabatnya, akan tetapi dibolehkan (wallahu a’lam)
berkurban di tempat lain atau negeri lain dengan
syarat jika tempat lain itu lebih membutuhkan, dan di
negeri asalnya tetap dilaksanakan ibadah kurban,
sehingga syi’ar islam tetap hidup. Adapun masalah
perintah bagi pemilik hewan kurban untuk makan
sebagian dagingnya, maka perintah ini tidak wajib
tetapi hukumnya sunnah.

79
Jawab : Ada dua pendapat dikalangan para
ulama antara yang membolehkan dan tidak
membolehkan.
Pendapat yang tidak membolehkan
menggabungkan niat antara aqiqah dengan
berqurban adalah madzhab Maliki dan Madzhab
Syafi’I, demikian juga salah satu riwayat dari imam
Ahmad.
Alasan mereka adalah karena beda jenis ibadah
aqiqah dengan berqurban. Dan juga sebabnya
berbeda yaitu sebab kelahiran anak dan sebab karena
idul adha.
Al Haitami  berkata :
َ‫ض ِحيَّة‬
ْ ُ‫اب أَنَّهُ ل َْو نَ َوى بِ َشاة ْاأل‬
ِ ‫َص َح‬ ِ
ْ ‫َوظَاه ُر َك َالِمَ ْاأل‬
ِ َ‫ وهو ظ‬، ‫اح َدة ِم ْن هما‬
َّ ‫اهر ; ِأل‬
‫َن ُك ًّال‬ ِ ‫والْع ِقي َقةَ َل ََتْصل و‬
َُ َ َ ُ َ ُْ ْ َ َ
‫ودة‬ ِ
َ ‫ص‬ُ ‫م ْن ُه َما ُسنَّة َم ْق‬
“Yang Nampak didalam perkataan para ulama
Madzhab (syafi’iyyah) bahwasanya kalau seseorang
berniat kurban dan aqiqah sekaligus, maka tidaklah
teranggap satu dari keduanya, inilah yang Nampak,
karena masing masing dari keduanya adalah ibadah
yang sunnah yang memiliki tujuan (yang berbeda)”
(Tuhfatul Muhtaj, syarah Al Minhaj 9/371)

Pendapat yang kedua membolehkan


menggabungkan niat berqurban dengan aqiqah,
inilah madzhabnya salah satu riwayat dari Imam
Ahmad, demikian juga madzhab Hanafi, Al Hasan
80
Bashri, Muhammad Bin Sirin, Qatadah dan yang
lainnya.
Alasan mereka adalah bahwa berkurban dan
aqiqah itu sama sama bentuk taqarub kepada Allah
dengan cara menyembelih maka satu sama lain
kedudukannya sama, sebagaimana shalat tahiyyatul
masjid menjadi gugur bagi orang yang langsung mau
shalat fardlu
Al Hasan Bashri  berkata :
‫َت َع ْنهُ ِم ْن ال َْع ِقي َق ِة‬ ْ ‫ض ُّحوا َع ْن الْغُ َالِم فَ َق ْد أ‬
ْ ‫َج َزأ‬ َ ‫إذَا‬
“Apabila berkurban (niat) atas nama kelahiran anak
maka mencukupi dari aqiqah” (HR Ibnu Abi Syaibah, Al
Mushanif 5/534)

Pendapat yang rojih (kuat) insya Allah adalah


pendapat yang pertama yaitu tidak boleh
digabungkan antara aqiqah dengan berkurban karena
jenis dan sebab ibadahnya berbeda walaupun sama
sama menyembelihnya wallahu A’lam.

Jawab : Masalah membeli hewan kurban itu


tidak ada Batasan waktu kapan pun di
perbolehkankan dibulan kapanpun sesuai
kelapangan seseorang. Namun jika membeli hewan
kurban jauh hari sebelum dzulhijjah misalnya maka
sebaiknya tidak menetapkan (menta’yin) sebagai
hewan kurban walaupun telah diniatkan untuk
hewan kurban, dengan demikian hewan tersebut
belum dihukumi sebagai hewan kurban, sehingga

81
kalua hilang atau terjadi apa apa tidak ada
konsekwensinya, berbeda Ketika telah di tetapkan
dan dinyatakan sebagai hewan kurban.
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin 
berkata :
‫ض ِحيَة‬ ْ ُ‫ َه ِذهِ أ‬:‫ْت‬ َ ‫ إِ ْن َعيَّ ْن تَ َها َوقُل‬:ُ‫يَ ُق ْو ُل الْعُلَ َماءُ َرِْحَ ُه ُم للا‬
َ ‫َص َاِبَا َم َرض أ َْو َك ْسر فَِإ ْن ُك ْن‬ ِ ْ ُ‫ت أ‬
‫ت‬َ ْ‫ت أَن‬ َ ‫ فَِإذَا أ‬،ً‫ضحيَة‬ ْ ‫ار‬
َ‫ص‬ َ
‫ي بَ َد ََلَا ِمثْ لَ َها‬
َ ‫ك أَ ْن تَ ْش َِْت‬
َ ‫ب َعلَْي‬ ِ ُ ‫السبَب فَِإ ََّّنَا َل َُتْ ِز‬
ُ ‫ئ َوََي‬ ُ َّ
،‫َح َس َن ِمنْ َها‬ْ ‫أ َْو أ‬
Para ulama berkata: “Apabila engkau telah
menentukan hewan tersebut akan dikurbankan dan
mengatakan, “Hewan ini merupakan hewan kurban”,
maka berlakulah bahwa hewan tersebut hewan
kurban, maka jika hewan tersebut sakit, atau ada
yang patah, dan jika engkau yang menjadi sebab cacat
tersebut, maka hewan tersebut tidak boleh
dikurbankan, wajib engkau membeli ganti yang sama
atau yang lebih baik dari hewan tadi.
‫ اَْأل َْوَل‬:‫ئ؛ َوَِلََذا نَ ُق ْو ُل‬
ُ ‫ب فَِإ ََّّنَا َُتْ ِز‬ ُ َ‫السب‬ َّ ‫ت‬ َ ْ‫َوإِ ْن َلْ تَ ُك ْن أَن‬
‫ِب ِ ْف تَ ْعيِْينِ َها‬
ُ ِ‫ص‬ ِْ ‫َن‬
ْ َ‫اْلنْ َسا َن ي‬ َّ ‫أ‬
Adapun jika bukan engkau yang jadi penyebab
cacatnya, maka hewan tersebut sah untuk
dikurbankan. Oleh karena itu kami katakan:
Hendaknya seseorang bersabar untuk menentukan
hewan nya menjadi hewan kurban.

82
ِ ‫ي ْش َِْتي ها مثَالً مب ِكراً ِمن أَج ِل أَ ْن ي غَ ِذي ها بِ ِغ َذاء أَطْيب ول‬
‫َك ْن‬ َ ََ ََ ُ ْ ْ َُ َ َ ْ َ
‫ اَللَّ ُه َّم َه َذا‬:‫ال‬ َّ ‫ فَِإذَا َكا َن ِع ْن َد‬،‫َل يُ َعيِنُ َها‬
َ َ‫الذبْ ِح َعيَّ نَ َها َوق‬
،‫َك َع ِن َو َع ْن أ َْه ِل بَ ْي ِِت‬
َ ‫ك َول‬َ ‫ِم ْن‬
Ia boleh saja membelinya lebih awal untuk diberikan
makan dan nutrisi yang baik, tapi jangan katakan “ini
hewan kurban”, kemudian saat hendak menyembeli
baru katakan “ini hewan kurban”. dan katakan ketika
menyembelih:“Ya Allah hewan kurban ini dari
karunia-Mu, dan untuk Mu dari ku dan dari keluarga
ku”
‫ ل َْو طََرأَ لَهُ أَ ْن‬:‫ْي يَ ْستَ ِف ْي ُد فَائِ َدةً ُم ِه َّمةً َو ِه َي‬ْ ِ‫َو ُه َو إِ َذا َلْ يُ َع‬
َ ِ‫ْيَها فَ لَهُ َذل‬
‫ك؛ ِألَنَّهُ َلْ يُ َعيِْن َها‬ َ ْ َ‫يَ َد َع َها َويَ ْش َِْتي غ‬
Apabila Ia belum menyatakan bahwa hewan tersebut
sebagai hewan kurban, ia akan mendapatkan faedah
penting yaitu seandainya ia berubah pikiran untuk
membatalkannya dan ingin mengganti hewan
tersebut dengan yang lainnya, maka masih
diperbolehkan baginya, karena memang hewan
tersebut belum ditunjuk sebagai hewan kurban
(secara ta’yin). (Silsilah al Liqaa-i As Syahri, Al Liqa-u As Syahri : 43)
Niat yang ada kaitannya dengan hukum dalam
berkurban itu ada 3 katagori :
[1]
. Maksudnya seseorang menurut dugaan
kuatnya berencana mau melakukan sesuatu maka ini
azam atau tekad belum disebut niat, misalnya dia

83
mau umrah dibulan romadhan mendatang atau mau
berkurban tahun ini

Hukum yang berkiatan dengan niat shughra


atau azam ini :
1. Jika masuk bulan dzulhijjah maka tidak
boleh memotong rambut atau kuku
2. Boleh membatalakan niatnya tanpa ada
konsekwensi atau hukuman apapun
[2] yaitu niat mau menyembelih
kurban dalam rangka taqarrub kepada Allah  dan
niat ini sebagai syarat sah dan diterimanya amalan
ibadah. Jika seseorang menyembelih hewan berupa
kambing misalnya yang dilakukan pada tanggal 10
dzulhijjah namun tidak niat kurban maka tidaklah
dianggap berkurban, namun jika seseorang niat
berkurban dan dihadapannya ada kambing lalu
disembelih kambing yang lain maka sah dianggap
sebagai kurban karena sebelumnya sudah niat untuk
berkurban.
[3] , yaitu menetapkan hewan
tertentu untuk berkurban, dan niat ta’yin ini bukan
sekedar niat mau berkurban tapi diringi dengan
lafadz pernyataan bahwa ini adalah hewan kurban.
Jika seseorang sudah menta’yin hewan
kurbannya, maka berlaku padanya beberapa hukum,
diantaranya :
1. Diharuskan menyembelih hewan tersebut
dan tidak boleh membatalkannya karena
dalam hal ini seperti nadzar.

84
2. Jika hewan kurban itu melahirkan anak
misalnya maka wajib disembelih juga
anaknya karena dalam kaedah fikih
disebutkan, “Tambahan itu hukum bagi yang
pokoknya”
3. Jika hewan kurban yang sudah ditentukan
(dita’yin) ini cacat atau mati karena
sendirinya maka tidak ada kewajiban untuk
mengganti, hanya saja bagi yang cacat lebih
utama untuk diganti yang lebih baik, dan
jika mati maka tidak perlu diganti kecuali
jika nadzar atau wasiat. Namun jika sakit
atau cacat itu karena kecerobohan dan
disebabkan oleh sipekurban maka wajib
diganti dengan yang serupa atau yang lebih
baik.
4. Hewan kurban yang ditentukan (dita’yin)
maka tidak cukup hanya dengan niat tapi
harus dilafadzkan. (Ahkamul Udhiyyah, hal. 18-19)
5. Hilang kepemilikan hewan itu darinya
sehingga dia tidak boleh menjual,
menghibahkan, atau menggantinya dengan
yang lain kecuali dengan yang lebih baik
darinya karena dia telah
mempersembahkannya untuk Allah 
6. Dia tidak mempunyai hak mutlak terhadap
hewan kurbannya sehingga tidak boleh
menggunakannya untuk membajak, tidak
juga memerah susunya, yang dapat
menjadikannya berkurang untuk
dikonsumsi untuk dirinya sendiri atau untuk
anaknya yang akan lahir. Tidak boleh juga

85
dia memotong sedikitpun dari bulu atau
yang semisalnya kecuali yang akan
mendatangkan manfaat baginya.
7. Jika hewan yang akan dikurbankan itu
hilang atau dicuri bukan karena
kelengahannya, dia tidak berkewajiban
menggantinya kecuali jika hewan itu sudah
berada di dalam tanggung jawabnya
sebelum dita’yin (ditentukan). Hal itu
dikarenakan hewan itu merupakan amanat
yang diserahkan kepadanya, dan orang yang
diberi kepercayaan tidaklah bertanggung
jawab selama dia tidak lengah menjaganya,
tetapi kapan pun dia menemukannya atau
menyelematkannya dari pencuri, dia tetap
harus menyembelihnya meskipun waktu
penyembelihannya telah berlalu. Sebaliknya,
jika hewan itu hilang atau dicuri karena
kelengahannya, dia harus menggantinya
dengan yang semisalnya atau yang lebih
baik. Wallaahu a'lam.” (Poin 5-7 dari kitab shalatul
mu’min, hal 916)

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum


berkurban dengan hutang;
Pendapat pertama, membolehkan berkurban
dengan cara berhutang, bahkan menganjurkannya,
seperti Abu Hatim, beliau pernah berhutang untuk
menyembelih binatang kurban dan ketika beliau
ditanya, apakah ia berhutang untuk binatang kurban?
Beliau menjawab “Ya, karena aku mendengar Allah
86
berfirman, “Kamu akan memperoleh kebaikan yang
banyak di dalamnya.’’ (QS. Al-Haj: 36) (Tafsir al-Qur’anul
Adhim, Karya Ibnu Katsir 5/427)

Imam Ahmad termasuk yang menyarankan


berhutang untuk menghidupkan sunnah, seperti
aqiqah, ketika beliau ditanya salah satu putranya
tentang seorang ayah yang mempunyai anak dan
belum diaqiqahi karena tidak mampu, maka beliau
menjawab;
ِ ِ‫ث ا ْحلَ َس ِن َع ْن َُسَُرةَ َع ِن الن‬
‫َّب‬ ُ ْ‫أَ َش ُّد َما َُِس ْعنَا ِف ال َْع ِقي َقة َح ِدي‬
‫صلَّى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ُك ُّل غُ َالم َرِه ْي نَة بِ َع ِق ْي َقتِ ِه َوإِِِن َأل َْر ُج ْو‬ َ
‫َحيَا ُسنَّةً ِم ْن ُسنَ ِن‬ ِ َ َ‫اْلَل‬
ْ ‫ف ألَنَّهُ أ‬ ْ ُ‫ض أَ ْن يُ َع ِج َل للا‬ ْ ‫إِ ِن‬
ُ ‫استَ ْق ِر‬
ِ
ُ‫صلَّى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َواتَّبَ َع َما َجاءَ َع ْنه‬ َ ‫َر ُس ْو ِل للا‬
“(Dalil) paling kuat yang pernah aku dengar tentang
aqiqah adalah hadits al-Hasan dari Samurah dari Nabi
 beliau bersabda, “Setiap anak yang dilahirkan
tergadai dengan aqiqahnya”, maka aku berharap jika
dia berhutang (untuk aqiqah) Allah segera akan
menggantinya, sebab dia telah menghidupkan salah
satu sunnah Rasulullah  dan mengikuti apa yang di
bawa (Rasul). (Tuhfatul Maudud hlm. 50-51)
Pendapat kedua, melarang berkurban dengan
berhutang, seperti yang difatwakan oleh Syaikh
Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin , beliau mengatakan, “Jika
seseorang punya hutang, maka selayaknya
mendahulukan pelunasan hutangnya dari pada
berkurban. Asy-Syarh al-Mumthi’ 7/455

87
Pendapat yang kuat adalah yang kedua, yaitu
dilarang berhutang untuk berkurban, Hal ini
dikuatkan oleh beberapa hal, diantaranya;
(1) Hutang harus diselesaikan lebih dahulu, karena
kewajibannya lebih mendahului.
(2) Membayar hutang telah disepakati oleh para
ulama hukumnya wajib, sedangkan berkurban
diperselisihkan antara wajib atau sunnahnya.
(3) Tidak ada satupun dalil al-Qur’an atau sunnah
yang memerintahkan berhutang dalam menjalankan
syari’at, bahkan kewajiban syari’at yang berkaitan
dengan harta tidaklah wajib/gugur kewajibannya jika
tidak mampu, seperti zakat, haji dan selainnya
(4) Berhutang memang dibolehkan dalam islam,
tetapi tidak berhutang jelas lebih baik karena lebih
jauh dari ancaman bagi orang yang mati
meninggalkan hutang diantara ancamannya,
Rasulullah  bersabda;

َ ‫س ال ُْم ْؤِم ِن ُم َعلََّقة بِ َديْنِ ِه َح َّّت يُ ْق‬


ُ‫ضى َع ْنه‬ ُ ‫نَ ْف‬
“Jiwa seorang mukmin bergantung pada utangnya
hingga dia bayarkan.’’ (HR Tirmidzi 4/249, dishahihkan oleh al-
Albani dalam al-Misykat 2/158)

Catatan, akan tetapi bagi yang berhutang dan ia


menduga kuat bisa membayarnya karena ada yang
diharapkan seperti gaji tetap dan semisalnya, maka
hal itu diperbolehkan.
Syaikh Ibnu Utsaimin  dalam penjelasan
lain mengatakan;

88
‫َج ِل ال َْع ِق ْي َق ِة فينظر إِ َذا َكا َن يَ ْر ُج ْو‬ ِ ‫وأ ََّما اْ ِلستِ ْقر‬
ْ ‫اض م ْن أ‬ ُ َ ْ َ
ِ ِ َ ْ‫ف وق‬ ِ
‫س‬َ ‫ت الْ َعق ْي َقة أَنَّهُ لَْي‬ َ َ ‫اد‬َ‫ص‬ َ ُ‫ لَكنَّه‬،‫الْ َوفَاءَ َك َر ُجل ُم َوظَّف‬
،‫ب‬ ِ َّ ‫ض ِمن َش ْخص ح َّّت َيِْت‬ ِ ِ
ُ ‫الرات‬ َ َ َ ْ َ ‫استَ ْق َر‬ ْ َ‫ ف‬،‫ع ْن َدهُ َد َراه ُم‬
ِ ِ ِ ْ‫فَ ه َذا َل ِب‬
َ‫ص َدر يَ ْر ُج ْو الْ َوفَاء‬ َ ‫ َوأَ َّما إذَا َكا َن لَْي‬،‫س به‬
ْ ‫س لَهُ َم‬ َ َ َ
ِ
َ ‫ فَ َه َذا َل يَ ْن بَ ِغ ْي لَهُ أَ ْن يَ ْستَ ْق ِر‬،ُ‫م ْنه‬
.‫ض‬
“Adapun berhutang untuk aqiqah maka perlu
diperinci, jika ada yang diharapkan untuk
melunasinya seperti pegawai (yang punya gaji),
tatkala bertepatan dengan waktu aqiqah tidak punya
uang, kemudian berhutang kepada orang lain sampai
mendapatkan gaji, maka tidak mengapa, adapun jika
tidak ada yang diharapkan pemasukannya untuk
melunasinya maka tidak sepatutnya berhutang.’’ (Liqa’
al-Bab al-Maftuh 8/36)

Syaikh Ibnu Baaz  pernah ditanya: Apakah


berkurban wajib bagi mereka yang tidak mampu ?.
Apakah boleh berkurban dengan hutang yang
ambilkan dari gaji tiap bulannya ? Beliau menjawab:
‫ج أَ ْن يَ ْستَ ِديْ َن ال ُْم ْسلِ ُم‬ ِ ْ ‫ض ِحيَّةُ سنَّة ول َْيس‬
َ ‫ت َواجبَةً َوَل َح َر‬ َ َ ُ ْ ُ‫اَْأل‬
.‫ض ِح َّي إِ َذا َكا َن ِع ْن َدهُ الْ ُق ْد َرةُ َعلَى ال َْوفَ ِاء‬
َ ُ‫لِي‬
“Berkurban itu hukumnya sunnah bukan wajib, tidak
masalah jika seorang muslim berhutang untuk
berkurban jika ia memiliki kemampuan untuk
membayarnya”. (Fatawa Ibnu Baaz : 1/37).

89
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  pernah
ditanya tentang seseorang yang tidak mampu
berkurban, apakah perlu berhutang ? Beliau
menjawab:
‫ب‬ ِ ِ ِ ِ َ ‫إ ْن َكا َن لَهُ وفَاء فَاستَ َدا َن ما ي‬
ُ ‫ضحي به فَ َح َسن َوَل ََي‬ ُ َ ْ َ
.‫ك‬َ ِ‫َعلَْي ِه أَ ْن يَ ْف َع َل َذل‬
“Kalau ia berhutang dan merasa mampu untuk
melunasinya, maka hal itu adalah baik, namun ia
sebenarnya tidak wajib melakukannya”. (Majmu’ Fatawa:
26/305)

Jawab : Arisan ini sama halnya dengan utang,


karena pada hakekatnya akad arisan adalah akad
utang.
Kata Arisan adalah istilah yang berlaku di
Indonesia. Dalam kamus Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa arisan adalah pengumpulan uang
atau barang-barang yang layak oleh beberapa orang,
lalu diundi diantara mereka. Undian tersebut
dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota
memperolehnya. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Wjs.
Poerwadarminta, PN Balai Pustaka, 1976 hlm:57)

Syaikh Ibnu Utsaimin  ketika ditanya


tentang orang yang berhutang untuk suatu kewajiban
seperti ibadah haji, beliau menjawab, “Sebaiknya dia
tidak melakukan hal itu, karena manusia tidak wajib
menunaikan haji jika memiliki tanggungan hutang,
bagaimanakah jika berhutang untuk pergi haji maka
aku tidak menyarankan berhutang untuk haji, karena
90
haji tidak wajib jika kondisinya seperti ini (belum
mampu), dan oleh karenanya sebaiknya dia
menerima rukhshoh/keringanan dari Alloh dan
keluasan rahmat-Nya, dan tidak boleh membebani
diri dengan berhutang padahal dia belum tentu bisa
melunasinya, bisa saja dia mati sehingga tidak dapat
melunasi tanggungan hutangnya. Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu
Utsaimin 21/93

Jawab : Dalam masalah ini telah ada keterangan


dalam sebuah kisah nyata yang terjadi pada zaman
Rasulullah  dari Abayah bin Rifa’ah bin Rafi’ bin
Khadij dari kakeknya berkata, “... lalu Nabi 
membagi ghanimah, (beliau berkata) :
‫ َوِف ال َق ْوِم‬،‫ فَ نَ َّد ِم ْن َها بَِعْي‬،‫ِم َن الغَنَ ِم بِبَ ِعْي‬ ً‫فَ َع َد َل َع َش َرة‬
‫ فَأ َْه َوى إِل َْي ِه َر ُجل بِ َس ْهم‬،‫اه ْم‬ُ َ‫فَطَلَبُوهُ فَأَ ْعي‬ ،‫ْية‬ ِ
َ ‫َخ ْيل يَس‬
‫«ه ِذ ِه البَ َهائِ ُم ََلَا أ ََوابِ ُد َكأ ََوابِ ِد‬
َ :‫فَ َق َال‬ َّ ُ‫فَ َحبَ َسه‬
،ُ‫اَّلل‬
»‫اصنَ ُعوا بِ ِه َه َك َذا‬ ِ ‫الو ْح‬
ْ َ‫ ف‬،‫ فَ َما نَ َّد َعلَْي ُك ْم‬،‫ش‬ َ
“Lalu Nabi  menyamakan 10 kambing dengan 1
ekor onta, kemudian tiba- tiba lepas (lari) seekor
onta, lalu mereka mengejar dan mereka kelelahan,
dan pada kaum itu ada sedikit kuda, lalu seseorang
mengarahkan panahnya, lalu Allah mentaqdirkan
onta itu tertahan,’’ lalu Nabi bersabda,
“Sesungguhnya pada binatang ternak ini ada yang

91
bersifat liar seperti binatang liar, jika kabur (menjadi
liar) diantara (binatang ternakmu), maka
perlakukanlah demikian.’’(HR. Bukhari : 2308)
Al-Hafidz Ibnu Hajar  berkata,
‫اْلنْ ِسيَّ ِة فَ ُه َو ِِبَْن ِزل َِة‬ ِ ‫َي نَ َف َر ِم َن الْبَ َهائِِم أ‬
ِْ ‫َي‬ ْ ‫ب َما نَ َّد أ‬
ُ ‫قَ ْولُهُ َِب‬
ِ ‫ش أَي ِف جوا ِز َع ْق ِرهِ َعلَى أَي‬
‫ت َو ُه َو‬ ْ ‫ص َفة اتَّ َف َق‬ ْ ََ ْ ِ ‫ال َْو ْح‬
‫اْلََِِب فَِإذَا غَلَبَ ُك ْم ِم ْن َها َش ْيء فَافْ َعلُوا‬ ْ ‫ُم ْستَ َفاد ِم ْن قَ ْولِ ِه ِف‬
‫بِ ِه َه َك َذا‬
“Perkataan bab binatang ternak kabur, maksudnya
binatang yang jinak seperti binatang liar buruan
maksudnya dalam hal bolehnya menikam dari bagian
badan manapun,’’ dan ini ditunjukkan oleh sabdanya,
“Jika kabur menjadi liar diantara (binatang
ternakmu), maka perlakukanlah demikian.’’ (Fathul Bari
15/453)

Imam Nawawi  mengatakan, “Hadits ini


menunjukkan bahwa hewan piaraan yang kabur
sehingga tidak dapat disembelih, maka boleh ditikam
(pada bagian manapun dari badannya), penganut
madzhab kami dan yang lain mengatakan; Hewan
yang boleh dimakan dan tidak halal bangkainya ada
dua macam; hewan yang dapat disembelih
(dikuasai), dan hewan liar (tidak dapat dikuasai)
Adapun hewan yang dapat disembelih, maka tidak
menjadi halal kecuali dengan disembelih di leher dan
kerongkongannya, sebagaimana telah berlalu dan ini
disepakati, dan hukumnya sama antara hewan jinak
dan liar (selagi dapat disembelih) Adapun hewan liar

92
yang tidak dapat dikuasai seperti binatang buruan,
maka semua bagian tubuhnya boleh ditikam, seperti
dipanah lalu mati maka binatang ini halal dengan
kesepakatan ulama.’’ (Syarh Shahih Muslim, Nawawi 6/461)

Jawab : Diantara hadits hadits yang tidak shahih


(lemah) bahkan hadits palsu tentang berkurban yang
masyhur di masyarakat :

Hadits pertama :
َِّ ‫ول‬
‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬، ُ‫اَّللُ َع ْنه‬ ِ ‫َعن أَِب ُهريْ رَة ر‬
َّ ‫ض َي‬ َ ََ ْ
‫ فَِإ ََّّنَا َمطَ َاَّي ُك ْم َعلَى‬، ‫ض َح َاَّي ُك ْم‬َ ‫استَ ْف ِرُهوا‬
ْ : a
ِ ‫الصر‬
‫اط‬ ِ
َ
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata,
Rasulullah a bersabda: ‘Perbaguslah hewan qurban
kalian, karena dia akan menjadi tunggangan kalian
melewati shirath‘” (HR Ad Dailami, Musnad Al Firdaus : 268, Silsilah
Adh Dha’ifah : 74).

Demikian pula dengan lafadz yang lain yang


tidak ada asal usulnya :
ِ ‫الصر‬
»‫اط َمطَ َاَّي ُك ْم‬ ِ َّ ِ َ ‫« َع ِظ ُموا‬
َ ‫ض َح َاَّي ُك ْم فَإَّنَا َعلَى‬
“Perbesarlah hewan qurban kalian, karena dia akan
menjadi tunggangan kalian melewati shirath”
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani  setelah
membawakan hadits ini beliau berkata,

93
‫ال‬ ِ ‫ وسب َقه إلَي ِه ِف الْو ِس‬،ُ‫َل أَره‬
َ َ‫ َوق‬،‫ َو َسبَ َق ُه َما ِف النِ َهايَِة‬،‫يط‬ َ ْ ُ ََ َ َ ْ
‫ َّإَّنَا تُ َس ِه ُل‬:‫يل‬ ِ ِ َ ‫ َّإَّنَا تَ ُكو ُن مراكِب الْم‬:ُ‫م ْعنَاه‬
َ ‫ َوق‬،‫ْي‬ َ ‫ضح‬ ُ َ ََ َ
‫ْي‬ ُ ‫ َه َذا ا ْحلَ ِد‬:‫الص َال ِح‬ ِ ‫الصر‬
ِ
ُ ْ َ‫يث غ‬ َّ ‫ال ابْ ُن‬ َ َ‫ ق‬،‫اط‬ َ ‫ا ْجلََو َاز َعلَى‬
ُ‫يما َعلِ ْمنَاه‬ ِ ِ
َ ‫َم ْع ُروف َوَل ََثبت ف‬
“aku tidak pernah melihat (sanad) nya. Hadits ini ada
di Al Wasith (karya Al Ghazali) dan kedua hadits
tersebut ada di An Nihayah (karya Al Juwaini).
Mereka mengatakan tentang maknanya: ‘bahwa
hewan kurban akan menjadi tunggangan bagi orang
yang berkurban‘. Juga ada yang mengatakan
maknanya, ia akan memudahkan orang yang
berkurban untuk melewati shirath. Ibnu Shalah
berkata: ‘hadits ini tidak dikenal, dan sepengetahuan
saya tidaklah shahih'” (Talkhis Al Habir, 2364).
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani 
mengatakan, “tidak ada asal-usulnya dengan lafadz
ini” (Silsilah Adh Dha’ifah no 74).

Hadits kedua :
‫ ِف يَ ْوِم‬a ‫للا‬ ِ ‫ول‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬َ َ‫ ق‬،‫َع ِن ابْ ِن َعبَّاس‬
‫ض َل ِم ْن‬ ِ
َ ‫ « َما َع ِم َل ابْ ُن‬:‫ض َحى‬
َ ْ‫ أَف‬،‫آد َم ِف َه َذا الْيَ ْوم‬ ْ َ‫أ‬
ِ
»‫وص ُل‬
َ ُ‫وع ًة ت‬ َ ُ‫ إَِّل أَ ْن يَ ُكو َن َرْحًا َم ْقط‬،‫َدم يُ َه َرا ُق‬
“Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah a bersabda
pada hari raya idul adha, ‘Tidaklah anak Adam pada

94
hari ini ( hari raya Adha) mengerjakan (amalan) yang
lebih baik dari menumpahka darah (qurban), keculai
menyambung persaudaraan yang terputus” (HR
Thabrani, al Kabir no : 10948, Silsilah Adh Dha’ifah, no 525)

Hadits ketiga :
‫آد ِمي‬َ ‫ « َما َع ِم َل‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬a ‫اَّلل‬ َِّ ‫ول‬ َ ‫َن َر ُس‬ َّ ‫ أ‬،َ‫شة‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬
،‫الدِم‬
َّ ‫اق‬ ِ ‫اَّلل ِمن إِ ْهر‬ِ ِ َّ ‫ِمن َعمل ي وم النَّح ِر أَح‬
َ ْ َّ ‫ب إ َل‬ َ ْ َ َْ َ ْ
َّ ‫ َوأ‬،‫القيَ َام ِة بِ ُق ُروَِّنَا َوأَ ْش َعا ِرَها َوأَظ َْالفِ َها‬
‫َن‬ ِ ‫إِنَّهُ لَيأِْت ي وم‬
َ َْ َ
،‫ض‬ ِ ‫اَّلل ِِبَ َكان قَ ْب َل أَ ْن يَ َق َع ِم َن األ َْر‬ َِّ ‫الدم لَي َقع ِمن‬
َ ُ َ َ َّ
»‫سا‬ ِ ِ
ً ‫فَطيبُوا ِبَا نَ ْف‬
Dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah a bersabda,
“Tidaklah seorang manusia mengerjakan satu
pekerjaan pada hari qurban yang lebih dicintai oleh
Allah Ta’ala daripada menumpahkan darah
(menyembelih qurban). Sesungguhnya qurban itu
akan datang pada hari qiyamat dengan tanduk-
tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan
sesungguhnya darah itu berada di satu tempat disisi
Allah sebelum Maka baguskanlah nilainya“. (HR Tirmidzi :
1493, Silsilah Adh Dha’ifah : 526)

95
Hadits keempat :
a ‫اَّلل‬ َِّ ‫ول‬ ِ ‫اب ر ُس‬ َ َ‫ ق‬،‫َع ْن َزيْ ِد بْ ِن أ َْرقَ َم‬
َ ُ ‫َص َح‬ ْ ‫ال أ‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
‫ " ُسنَّةُ أَبِي ُك ْم‬:‫ال‬َ َ‫اح ُّي؟ ق‬ ِ‫ض‬ َِّ ‫ول‬
َ َ‫ َما َه ِذ ِه ْاأل‬،‫اَّلل‬ َ ‫ ََّي َر ُس‬:
:‫ال‬ َِّ ‫ول‬
َ َ‫اَّلل؟ ق‬ َ ‫ فَ َما لَنَا فِ َيها ََّي َر ُس‬:‫يم" قَالُوا‬ ِ ِ
َ ‫إبْ َراه‬
َِّ ‫ول‬ ِ
‫اَّلل؟‬ َ ‫وف ََّي َر ُس‬ ُ ‫الص‬ُّ َ‫ ف‬:‫سنَة" قَالُوا‬ َ ‫"ب ُك ِل َش َع َرة َح‬
‫سنَة‬ ‫ح‬ ِ ‫الص‬
‫وف‬ ُّ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫ "بِ ُك ِل َشعرة‬:‫ال‬ َ َ‫ق‬
َ َ ْ ََ
“Dari Zaid bin Arqam ia berkata, “Para sahabat
Rasulullah a bertanya, Wahai Rasulullah bagaimana
(kedudukan) Qurban ? Maka beliau menjawab,
Qurban adalah sunnah Ibrahim bapak kalian, mereka
bertanya :” Apakah yang kami dapatkan padanya?”
Beliau menjawab :” Pada setiap helai rambut ada satu
kebaikan,” mereka bertanya : “ Bagaiaman dengan
bulu?” beliau menjawab: “Pada setiap helai rambut
dari bulu ada satu kebaikan” (HR Ibnu Majah : 3127, Silsilah Adh
Dha’ifah : 527)

Hadits kelima :
َِّ ‫ول‬ ِْ‫ص‬ ِ
: a ‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ْي ق‬ َ ُ‫َع ْن ع ْم َرا َن بْ ِن ا ْحل‬
‫ك‬ ِ َ‫ فَِإنَّهُ ي ْغ َفر ل‬،‫ك‬
ُ ُ ْ ُ‫اط َمةُ قَ ْوِمي فَا ْش َه َد ِي أ‬
َ َ‫ض ِحيَّ ت‬ ِ َ‫«َّي ف‬
َ
‫ إِ َّن‬:‫ َوقُ ِول‬،‫بِ ُك ِل قَط َْرة ِم ْن َد ِم َها ُك ُّل ذَنْب َع ِملْتِ ِيه‬

96
َِِّ ‫ص َالِت ونُس ِكي و َُْمياي وِمََ ِات‬
َ ‫ب ال َْعالَ ِم‬
‫ َل‬،‫ْي‬ ِ ‫َّلل َر‬ َ َ َ َ ُ َ َ
»‫ْي‬ ِ ُ ‫ك أ ُِم ْر‬
َ ‫ت َوأ ََن أ ََّو ُل ال ُْم ْسل ِم‬ َ ِ‫ َوبِ َذل‬،ُ‫يك لَه‬
َ ‫َش ِر‬
“Dari Imran bin Husain berkata, Rasulullah a
bersabda, Hai Fathimah, berdirilah , saksikanlah
hewan kurbanmu! karena sesungguhnya pada
tetesan darahnya yang pertama, seluruh dosa yang
telah engkau lakukan akan diampuni lalu bacalah
(yang artinya) sesungguhnya shalatku dan kurbanku
hidup dan matiku hanyalah milik Allah Rabbul
‘alamin, aku tidak menyekutukan Nya dan terhadap
yang demikian akau diperintah, serta aku adalah
diantara yang pertama berserah diri.” (HR Thabrani, Al
Ausath : 2509, Silsilah Adh Dha’ifah : 528)

Hadits keenam :
‫ َع ْن‬،‫ َع ْن أَبِ ِيه‬،‫سن‬ ِ ِ
َ ‫س ِن بْ ِن َح‬ َ ‫َع ْن َع ْبد للا بْ ِن َح‬
‫ض َّحى طَيِبَ ًة‬َ ‫ « َم ْن‬: a ‫للا‬ ِ ‫ول‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫َج ِد ِه‬
‫ت لَهُ ِح َج ًاِب ِم َن‬ْ َ‫ض ِحيَّتِ ِه؛ َكان‬
ْ ُ‫ ُُْمتَ ِسبًا ِأل‬،ُ‫سه‬
ُ ‫ِبَا نَ ْف‬
ِ
»‫النَّا ِر‬
“Dari Abdullah bin Hasan bin Hasan dari bapaknya
dari kakeknya berkata, Rasulullah a bersabda,
“Barang siapa yang menyembelih korban dengan jiwa
yang senang terhadap (qurban itu), dan dengan
mengarhapkan (pahala) terhadap hewan qurbannya,

97
maka hewan itu sebagai dinding dari neraka
untuknya. (HR Thabrani, al Kabir : 2736, Silsilah Adh Dha’ifah : 529)

Hadits ketujuh :
،‫َّاس‬
ُ ‫أَيُّ َها الن‬ ‫ « ََّي‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬a ‫َّب‬ ِ ِ‫ َع ِن الن‬،‫َع ْن َعلِي‬
‫َوإِ ْن َوقَ َع ِف‬ َّ ‫ فَِإ َّن‬،‫احتَ ِسبُوا بِ ِد َمائِ َها‬
‫الد َم‬ ْ ‫ض ُّحوا َو‬
َ
َِّ ‫ فَِإنَّه ي َقع ِف ِحرِز‬،‫ض‬
»‫اَّلل َج َّل َو َع َّز‬ ْ ُ َ ُ ِ ‫ْاأل َْر‬
“Dari Ali dari Nabi a bersabda, “Wahai manusia,
hendaklah kalian menyembelih qurban, dan
berharaplah pahala dengan darahnya, karena
sesungguhnya walaupun darah itu jatuh di tanah,
akan tetapi sesungguhnya darah itu jatuh di dalam
wadah milik Allah”. (HR Thabrani, Al Ausath : 8319, Hadist ini palsu,
Al-Haitsami berkata : “ Diriwayatkan oleh At-Thabrani di dalam Al-Ausath,
dan dalam sanadnya ada ‘Amr bin Hushain Al’Uqaili dan dia adalah orang
yang hadistnya di tinggalkan” (Lihat: Silsilah Adh Dha’ifah, No. 530).

Hadits kedelapan :

ْ ‫َّح َاَّي أَ ْغالَ َها َوأ‬


‫َُسَنُ َها‬ َ ْ‫إِ َّن أَف‬
َ ‫ض َل الض‬
“...Sesungguhnya hewan qurban yang paling utama
adalah yang paling mahal dan paling gemuk...” (HR
Ahmad 3/424 no 15494, Silsilah Adh Dha’ifah no 1678).

Dan masih banyak lagi hadits hadits lemah bahkan


palsu lainnya terkait masalah berkurban. Wallahu
a’lam.

98
MARAJI’

1. Al Quranul Karim dan terjemahnya


2. Sunan Abi Dawud, Abu Dawud Sulaiman bin
Al-Asy’ats bin Amru Al-Azdi As-Sijistani.
3. Sunan Ad-Daraquthni, ‘Ali bin ‘Umar bin
Ahmad bin Mahdi bin Ad-Daraquthni.
4. Sunan Ad-Darimi, ‘Abdullah bin
‘Abdurrahman bin Al-Fadhl bin Baharim Ad-
Darimi.
5. Sunan An-Nasa’i, Ahmad bin Syu’aib An-
Nasa’i.
6. Sunan Ibni Majah, Muhammad bin Yazid bin
‘Abdillah Ibnu Majah Al-Qazwini.
7. Sunanul Baihaqil Kubra, Ahmad bin Husain
bin ‘Ali bin Musa Al-Baihaqi.
8. Tafsirul Qur-anil ‘Azhim, Abul Fida’ Ismail
bin Amr bin Katsir Ad-Dimasyqi.
9. Durus Wa Masaail Fiqhiyah, Ibrahim bin
Abdullah Saif Al Mazru’i
10. Shalatul Mu’min, Sa’id bin Wahaf al Qahthani
11. Talkhish Ahakam Al Udhiyyah, Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin
12. Tanwirul ‘Ainain bi Ahkam al Adhahi wal
‘Iadain, Syaikh Abul Hasan Musthafa As
Sulaimani.
13. Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz,
’Abdul ’Azhim bin Badawi Al-Khalafi.
14. Shahih Muslim, Muslim bin Hajjaj An-
Naisaburi.

99
15. Shahihul Jami’ish Shaghir, Muhammad
Nashiruddin Al-Albani.
16. Shahih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin
Sayyid Saalim.
17. Silsilah al Ahadits Ad Dha’ifah wal
Maudhu’ah, Muhammad Nashiruddin Al
Albani
18. Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah.
19. Tafsir Al Qurthubi, Muhammd bin Ahmad al
Qurthubi
20. Umdatul Ahkam min Kalami Khairil Anam,
’Abdul Ghani Al-Maqdisi.
21. Berkurban bersama Rasulullah  , Abu
Ibrahim Muhammad Ali AM

100

Anda mungkin juga menyukai