Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH 1

Tentang Terapi Komplementer dalam Keperawatan Komunitas

Oleh :

Aprina Dewi

(181211471)

Dosen pengampu:

Ns.Afrizal,M.kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKES MERCUBAKTIJAYA PADANG

TAHUN

2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dengan


pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam
pengobatan modern. Terminology ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang
menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan. Terapi komplementer juga
ada yang menyebutkan dengan pengobatan holistic, pendapat ini didasari oleh bentuk terapi
yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk
mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi.

Perkembangan terapi komplementer akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak negara.


Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan
di Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder & Lindquis, 2002). Estimasi di Amerika
Serikat 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan 386 juta orang yang
mengunjungi praktik konvensional (Smith et al., 2004). Data lain menyebutkan terjadi
peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991
menjadi 42% di tahun 1997 (Eisenberg, 1998 dalam Snyder & Lindquis, 2002).

Klien yang menggunakan terapi komplemeter memiliki beberapa alasan. Salah satu
alasannya adalah filosofi holistik pada terapi komplementer, yaitu adanya harmoni dalam diri
dan promosi kesehatan dalam terapi komplementer. Alasan lainnya karena klien ingin terlibat
untuk pengambilan keputusan dalam pengobatan dan peningkatan kualitas hidup
dibandingkan sebelumnya. Sejumlah 82% klien melaporkan adanya reaksi efek samping dari
pengobatan konvensional yang diterima menyebabkan memilih terapi komplementer (Snyder
& Lindquis, 2002).

Terapi komplementer yang ada menjadi salah satu pilihan pengobatan masyarakat. Di
berbagai tempat pelayanan kesehatan tidak sedikit klien bertanya tentang terapi
komplementer atau alternatif pada petugas kesehatan seperti dokter ataupun perawat.
Masyarakat mengajak dialog perawat untuk penggunaan terapi alternatif (Smith et al., 2004).
Hal ini terjadi karena klien ingin mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan pilihannya,
sehingga apabila keinginan terpenuhi akan berdampak ada kepuasan klien. Hal ini dapat
menjadi peluang bagi perawat untuk berperan memberikan terapi komplementer.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dan jenis-jenis terapi komplementer ?


2. Bagaimanakah fokus terapi komplementer dalam keperawatan komunitas ?
3. Bagaimanakah peran perawat dan teknik dalam terapi komplemeter pada keperawatan
komunitas ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mahasiswa memahami definisi dan jenis-jenis terapi komplementer.
2. Mahasiswa memahami fokus terapi komplementer dalam keperawatan komunitas.
3. Mahasiswa memahami peran perawat dan teknik terapi komplemeter pada keperawatan
komunitas.
BAB II
PEMBAHASAN

TERAPI KOMPLEMENTER

1. Defenisi

Menurut WHO (World Health Organization), pengobatan komplementer adalah pengobatan non-
konvensional yang bukan berasal dari negara yang bersangkutan. Jadi untuk Indonesia, jamu
misalnya, bukan termasuk pengobatan komplementer tetapi merupakan pengobatan tradisional.
Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan yang sudah dari zaman dahulu
digunakan dan diturunkan secara turun – temurun pada suatu negara. Tapi di Philipina misalnya,
jamu Indonesia bisa dikategorikan sebagai pengobatan komplementer.

Terapi komplementer adalah cara penanggulangan penyakit yang dilakukan sebagai pendukung
kepada pengobatan medis konvensional atau sebagai pengobatan pilihan lain diluar pengobatan
medis yang konvensional.

Kramlich (2014) menyebutkan terapi komplementer merupakan cara atau terapi tambahan
bersamaan dengan pengobatan kompensional. Pendapat lain mendefinisikan sebagai beragam
praktik dan produk terkait dengan kesehatan yang penggunaanya diluar biomedis konpensional
(Hall, Leach, Brosnan, & Collns, 2017).

Jadi terapi komplementer adalah tindakan yang diberikan sebagai bagian dari keperawatan
kesehatan, terdiri dari berbagai macam bentuk praktik kesehatan selain tindakan konpensional,
ditunjukkan untuk meningkatkan derajat kesehatan ditahap pencegahan primer, sekunder dan
tersier yang diperoleh melalui pendidikan khusus yang didasari oleh ilmu – ilmu kesehatan.

2. Jenis-Jenis Terapi Komplementer

a. Akupuntur

Di Cina, praktek akupunktur telah dimulai dari zaman batu dengan menggunakan batu tajam atau
Bian Shi. Jarum batu Akupuntur yang diperkirakan sudah ada sejak 3000 SM ditemukan oleh
ahli arkeolog di pedalaman Mongolia. Pengobatannya sangat individudan dilakukan berdasarkan
intuisi, subjektif dan pengalaman pribadi, bukan atas dasar penelitian medis. Akupuntur
melibatkan penusukan jarum dalam berbagai ukuran ke dalam “titik meridian” dalam tubuh
manusia dengan tujuan untuk mengalihkan Chi (energi vital tubuh) untuk meningkatkan
keseimbangan tubuh atau mengembalikan kesehatan tubuh (Hadibroto dkk, 2006).
Titik Meridian adalah jalur yang sangat penting dalam tubuh manusia sebagai tempat mengalir
Chi. Chi mengalir dalam tubuh manusia memberikan energi vital untuk organtubuh agar organ-
organ tubuh dapat berfungsi dengan baik.Maka sangat penting untuk memastikan bahwa Chi
dapat mengalir dengan bebas untuk memastikan bahwa struktur dan fungsi organ tubuh bagian
dalam bekerja dengan efektif (Hadibroto dkk, 2006). Jarum ditusukkan ke titik meridian untuk
mempengaruhi Chi yang mengalir ke organ tubuh bagian dalam, untuk meningkatkan struktur
dan fungsi mereka. Jarum juga dapat digunakan untuk daerah tertentu yang terasa sakit yang
mungkin berhubungan dengan masalah dalam tubuh, seperti cedera akibat olahraga. Sebagai
contoh, sebuah jarum ditusukkan ke daerah tendon yang tertarik atau otot yang kelelahan akan
meningkatkan aliran Chi ke area tersebut. Yang akan menghilangkan rasa sakit dan mempercepat
proses penyembuhan (Hadibroto dkk, 2006).

Akupuntur dapat menyebabkan beberapa reaksi fisik, baik di sekitar daerah dimana akupuntur
dilakukan atau di daerah lain karena sel syaraf yang menghubungkan organ keotak. Ini dapat
mengaktifkan berbagai sistem dalam otak dan tubuh. Rasa sakit di salurkan melalui hormon urat
syaraf, terutama yang berhubungan dengan penerima rasa sakit. Pereda rasa sakit yang diberikan
oleh morfin bekerja pada penerima yang sama dengan hormon urat syaraf ini. Endorphin yang
diproduksi oleh otak adalah pengganti alami dari morfin dan bekerja dengan cara yang sama.

b.Herbalisme Medis

Herbalisme medis- penggunaan obat dari tumbuhan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit-
memiliki sejarah sepanjang sejarah umat manusia. Di inggris, metode ini memiliki dasar sejarah
yang sebagian dalam model Galenis “cairan tubuh” (darah, empedu hitam, empedu kuning
lender),”temperamen”-nya (misalnya panas, dingin, lembab), dan kepercayaan bahwa penyakit
disebabkan oleh ketidakseimbangan cairan-cairan ini. Herba digunakan untuk memperbaiki
ketidakseimbangan ini dan serig digambarkan sebagai, misalnya,”pemanas”, atau”pendingin”,
seperti peppermint, akan digunakan untuk mengobati kondisi-kondisi “panas” seperti demam. Di
inggris, herbalisme jugadi ambil dari tradisi-tradisi lain, misalnya penggunaan herba di Amerika
utara oleh Samuel Thomson, meskipun Thomson sendiri pada awalnya di pengaruhi oleh
herbalisme di Eropa (Heinrich et al., 2009).

Kini, herbalisme modern, yang dipraktikkan oleh herbalis medis,diambil dari pengetahuan
tradisional, tetapi metode ini semakin banyak di tapsirkan dan diterapkan dalam konteks modern.
Sebagai contoh, herbalis menggunakan pengetahuan terkini mengenai penyebab dan akibat
penyakit serta beberapa alat diagnosisi, seperti pengukuran tekanan darah, yang di gunakan
dalam pengobatan dalam pengobatan konvensional. Beberapa aspek herbalisme zaman modern
lainnya adalah sebagai berikut (Heinrich et al., 2009) :

1. Herbalisme menggunakan suatu pendekatan holistik dengan mempertimbangkan


perasaan sehat pasien secara pisikologis dan emosional, juga kesehatan fisik.
2. Herbalis memilih herbal berdasarkan pada basis individual untuk setiap pasien (sesuai
dengan pendekatan holistic) sehingga kemungkinan besar pasien-pasien dengan gejele
fisik yang sama akan menerima kombinasi herba yang berbeda.

3. Herbalis juga bertujuan untuk menggidentifikasi penyebab dasar (misalnya stres)


penyakit pasien dan mempertimbangkan hal ini dalamrencana pengobatan.

4. Herba di gunakan untuk merangsang kemempuan penyembuhan tubuh, untuk


“memperkuat” system tubuh, dan untuk “memperbaiki” fungsi tubuh yang terganggu,
bukan untuk mengobati gejala-gejala yang muncul secara langgsung.

5. Herba mungkin di gunakan, misalnya, dengan tujuan untuk “mengeliminasi toksin” atau
“merangsang” peredaran darah. Tujuannya adalah untuk penyembuhan jangka panjang
dari kondisi-kondisi tertentu

Salah satu prinsip dasar herbalisme adalah bahwa kandungan herba yang berbeda bekerja
bersama dalam beberapa cara (yang tidak dapat di jelaskan) sehingga menghasilkan efek-efek
bermanfaat. Herbalis medis mengobati berbagai macam kondisi akut (misalnya infeksi), dan
yang lebih lazim, kondisi kronis. Beberapa contoh gangguan yang biasanya dikonsultasikan
orang kepada herbalis yaitu (Heinrich et al., 2009) :

1) Sindrom iritasi usus

2) Sindrom pramenstruasi

3) Gejala- gejala menopause

4) Eksim

5) Jenis-jenis arthritis

6) Depresi

7) Jerawat dan kondisi lainnya

8) Sistitis

9) Migrain

10) Sindrom lelah kronis

Herbalis biasanya merespon obat-obat herbal, seperti tingtur, meskipun terkadang menggunakan
formulasi yang lebih pekat (ekstrak cair). Jika suatu resep memerlukan beberpa herba, tingtur
dan ekstrak cair di campur menjadi suatu campuran. Beberapa herbalis akan menyiapkan bahan-
bahan persediaannya sendri, sementara bahan yang lain dibeli dari pemasok khusus dan sebagian
besar memberikan resep herbalnya sendiri. Formulasi oral lainnya (tablet, kapsul) dan sediaan
herba topikal juga dapat di resepkan (Heinrich et al., 2009).

Terdapat sekumpulan bukti klinis yang signifikan tentang manfaat dan resiko potensial yang
berkaitan dengan penggunaan obat herbal tertentu. Ikhtisar mengenai beberapa herba paling
penting yang umum di gunakan dapat dilihat pada bagiab B buku ini. Sebagian besar informasi
ini berkaitan dengan penggunaan obat herbal tertentu yang diformulasikan sebagai sediaan
fitofarmasi dan di gunakan dengan cara yang sama dengan sediaan farmasi konfensional,
biasanya dibawah pengawasan seorang docter, untuk mengobati gejala-gejala penyakit.
Penelitien tentang efikasi dan keamanan obat herbal dan kombinasi obat herbal yang telah di
gunakan oleh praktisi obat herbal sangat sedikit. Selain itu, efikasi dan keamanan herbalisme
sebagai salah satu pendekatan pengobatan belum di evaluasi secara ilmiah (Heinrich et al.,
2009).

c.Aromaterapi

Tumbuhan aromatis dan ekstraknya telah digunakan pada kosmetik dan parfum serta untuk
keperluan religious selama ribuan tahun, meskipun hanya sedikit kaitannya dengan penggunaan
terapeutik minyak-minyak atsiri. Dasar-dasar aromaterapi berkaitan dengan Rene-Maurice
Gattefosse, seorang ahli kimia pembuat parfum dari Prancis, yang pertama kali menggunakan
istilah aromaterapi pada tahun 1928 (Heinrich et al., 2009).

Aromaterapi adalah penggunaan terapeutik zat-zat aromatic yang diekstraksi dari tumbuhan.
Kelompok paling penting pada zat-zat ini adalah minyak atsiri. Minyak ini biasanya diperoleh
dari bahan tumbuhan (misalnya akar, daun, bunga, biji) dengan cara destilasi, meskipun tindakan
fisik (menggunakan pengempaan dan tekanaan) adalah metode yang digunakan untuk
memperoleh beberapa minyak atsiri, terutama yang diperoleh dari kulit buah sitrus. Beberapa
aspek penting untuk penggunaan minyak atsiri dalam aromaterapi dijelaskan berikut ini
(Heinrich et al., 2009) :

1. Aromaterapis menyakini bahwa minyak atsiri dapat digunakan tidak hanya untuk
pengobatan dan pencegahan penyakit, tetapi juga efeknya terhadap mood, emosi dan rasa
sehat.

2. Aromaterapi diklaim sebagai suatu terapi holistik; dalam hal ini, aromaterapis memilih
suatu minyak atsiri, atau kombinasi minyak atsiri, disesuaikan dengan gejala,
kepribadian, dan keadaan emosi masing-masing klien. Pengobatan dapat berubah pada
kunjungan pasien berikutnya.

3. Minyak atsiri dijelaskan tidak hanya dengan rujukan terhadap reputasi sifat-sifat
farmakologisnya (misalnya antibakteri, antiradang), tetapi juga melalui hal-hal yang
tidak dikenali pada obat-obat kovensional (misalnya keseimbangan, member energi).
4. Aromaterapis menyakini bahwa kandungan minyak atsiri, atau kombinasi minyak,
bekerja secara sinergistis untuk meningkatkan efikasi atau mengurangi terjadinya efek-
efek merugikan yang terkait dengan kandungan kimia tertentu.

Aromaterapi digunakan secara luas sebagai suatu pendekatan untuk meredakan stres, dan banyak
minyak atsiri diklaim sebagai ‘perelaksasi’. Banyak aromaterapis juga mengklaim bahwa
minyak atsiri dapat digunakan dalam pengobatan berbagai kondisi. Banyak pengguna
menggunakan sendiri minyak atsiri untuk perawatan kecantikkan, membantu relaksasi, atau
mengobati penyakit ringan tertentu, banyak diantaranya tidak cocok untuk pengobatan sendiri.
Aromaterapi juga digunakan dalam berbagai pelayanan kesehatan kovensional, seperti dalam
perawatan paliatif, unit perawatan intesif, unit kesehatan jiwa dan pada unit-unit khusus yang
merawat pasien HIV/AIDS, cacat fisik, dan ketidakmampuan belajar yang parah (Heinrich et al.,
2009).

Metode paling lazim yang digunakan oleh aromaterapis untuk penggunaan minyak atsiri adalah
dengan pemijatan, yaitu tetesan dua sampai tiga minyak atsiri diencerkan dalam pembawa
berupa minyak sayur, seperti minyak biji anggur, minyak jojoba dll. Metode lain untuk
penggunaan minyak atsiri yang dilakukan oleh aromaterapis atau dalam perawatan sendiri antara
lain (Heinrich et al., 2009) :

1) Penambahan minyak atsiri ke dalam air mandi dan air untuk mencuci kaki (air harus
diaduk dengan kuat untuk membantu disperse).

2) Dihirup

3) Kompres

4) Digunakan dalam peralatan aromaterapi (misalnya alat pembakar dan penguap).

Beberapa praktisi menganjurkn penggunaan minyak atsiri secara oral, yang disebut
‘aromatologi’. Namun minyak atsiri tidak boleh digunakan untuk pemakaian internal tanpa
pengawasan medis. Beberapa aromatis juga menyatakan bahwa minyak atsiri dapat diberikan
malalui vagina (misalnya, melalui tampon atau douche) atau secara rektal, tetapi pemberian
melalui rute-rute ini dapat menyebabkan iritasi membran dan tidak dianjurkan (Heinrich et al.,
2009).

Biasanya, minyak atsiri mengandung sekitar 100 atau lebih kandungan kimia, kebanyakan
terdapat pada konsentrasi dibawah 1%, meskipun beberapa kandungan terdapat pada konsentrasi
yang jauh lebih rendah. Beberapa minyak atsiri mengandung satu atau dua kandungan utama,
serta sifat-sifat terapeutik dan toksikologis minyak tersebut sebagian besar dimiliki oleh
kandungan kimia tersebut. Namun, kandungan-kandungan lain yang terdapat pada konsentrasi
rendah mingkin penting. Komposisi suatu minyak atsiri akan bervariasi tergantung pada
lingkungan dan kondisi pertumbuhan tumbuhan tersebut, bagian tumbuhan yang digunakan, serta
pada metode panen, ekstraksi, dan penyimpanan (Heinrich et al., 2009).

Minyak-minyak atsiri harus merujuk pada nama binomial latin spesies tumbuhan yang
menghasilkan minyak tersebut. Bagian tumbuhan yang digunakan harus dinyatakan secara
khusus, dan terkadang spesifikasi lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan jenis senyawa kimia
dalam suatu tumbuhan tertentu; misalnya, Thymus vulgaris CT timol menjelaskan jenis senyawa
kimia suatu spesies timi yang memiliki timol sebagai kandungan kimia utamanya (Heinrich et
al., 2009).

Minyak atsiri diyakini bekerja dengan cara memberikan efek-efek farmakologis setelah Absorpsi
ke dalam peredaran darah dan melalui efek aromanya terhadap sistem olfaktori. Terdapat bukti
bahwa minyak atsiri diabsorpsi ke dalam peredaran darah setelah penggunaan secara topical
(yaitu pemijatan) dan setelah dihirup, meskipun jumlah yang memasuki peredaran darah
kemungkinan sangat kecil. Terdapat bukti bahwa minyak tea tree yang digunakan secara topical
efektif dalam pengobatan infeksi-infeksi kulit tertentu, tetapi penelitian-penelitian ini belum
menguji aromaterapi yang dipraktikkan oleh aromaterapis (Heinrich et al., 2009).

Sedikit efek merugikan yang berkaitan dengan pengobatan aromaterapi telah


dilaporkan;sebagian besar laporan berkaitan dengan kasus-kasusdermatitis kontak pada pasien
atau aromaterapis. Efek merugikan sementara yang bersifat ringan,seperti mengantuk, sakit
kepala dan mual, dapat terjadi setelah pengobatan aromaterapi. Secara umum disarankan
untukmenghindari penggunaan minyak atsiri selam kehamilan, terutama selama trimester
pertama.Penggunaan minyak atsiri tertentu juga harus dihindari oleh pasien epilepsy (Heinrich et
al., 2009).

d. Terapi Pengobatan Bunga

Pengobatan bunga Bach dikembangkan oleh Dr Edward Bach (1886-1936), seorang dokter dan
ahli homeopati. Teorinya adalah bahwa dengan mengobati respons emosional dan mental pasien
terhadap penyakitnya, gejala-gejala fisik akan dapat diredahkan. Ia mengidentifikasi 38 keadaan
psikologis negative (misalnya iri, putus asa, rasa bersalah, tidak dapat memutuskan) dan mencari
obta-obat alam yang dapat digunakan untuk memperbaiki berbagai keadaan pikiran yang negatif
ini (Heinrich et al., 2009).

Berbagai jenis obat bunga banyak tersedia untuk dipilih sendiri dan terapi mandiri.Selain itu
beberapa orang menjalani pelatihan untuk menjadi praktisi pengobatan dengan bunga; hal ini
meliputu beberapa professional pelayanan kesehatan, seperti beberapa dokter umum, yang
menggunakan obat-obatan bunga beserta praktik medis konvensional yang mereka lakukan
setiap hari (Heinrich et al., 2009).
Bach mengembangkan 38 obat bunga, di antaranya terdiri atas bunga-bunga liar tunggal dan
pohon-pohon berbunga, dan 1 yang diperoleh dari mata air alami. Ia bertujuan bahwa masing-
masing obat digunakan untuk keadaan emosional atau mental tertentu. Misalnya:

 Gentian (Gentiana amarella) untuk perasaan murung.

 Holly (Ilex aquifolium) untuk perasaan iri.

 Impatiens (Impatiens glandulifera) untuk ketidaksabaran.

 Pinus (Pinus sylvestris) untuk rasa bersalah.

 Rock rose (Helianthemum nummularium) untuk perasaan takut.

Bach juga mengembangkan suatu sediaan yang dinamakan obat penyelamat (Recue Remedy),
yang merupakan kombinasi lima obat lainnya: Impatiens (Impatiens glandulifera), bintang
Betlehem (Ornithogalum umbellatum), prem ceri (Prunus cerasifera), Rock rose (Helianthemum
nummularium), dan Clematis (Clematis vitalba). Bach menganjurkan sediaan ini untuk
digunakan dalam situasi yang sulit mendesak, seperti syok, sangat ketakutan dan kehilangan
(Heinrich et al., 2009).

Obat-obat bunga Bach disiapkan dari tingtur induk yang dibuat dari bahan-bahan tumbuhan dan
mata air alami dengan menggunakan suatu metode infus (penjemuran) atau metode
‘pendidihan’.Obat-obat bunga biasanya digunakan secara oral (2-4 tetes ditambahkan pada air
dingin dan diminum sedikit-sedikit), meskipun pada beberapa kasus, tetesan dapat diteteskan
langsung dibawah lidah dan bahkan pada pergelangan tangan atau pelipis. Obat penyelamat juda
tersedia dalam bentuk krim untuk penggunaan luar (Heinrich et al., 2009).

Meskipun terdapat banyak laporan yang bersifat anekdot mengenai keuntungan obat-obat bunga,
tidak ada penelitian eksperimenta maupun klinis tentang efek-efeknya yang terkenal. Obat-obat
bunga diklaim secra luas sama sekali tidak menimbulkan efek merugikan. Efek-efek merugikan
tidak mungkin terjadi, mengingat bahwa sediaan tersebut hanya mengandung bahan-bahan yang
sangat encer. Namun, karena obat-obat bunga mengandung alkohol, obat-obat ini mungkin tidak
sesuai untuk beberapa orang. Penggunaan suatu obat bunga secara berlebihan dapat
mengkwatirkan jika seseorang mengandalkan terapi mandiri dengan menggunakan obat-obat
bunga untuk kondisi-kondisi seperti ansietas atau depresi, yang mungkin membutuhkan
penanganan medis dan bantuan professional lainnya (Heinrich et al., 2009).

3. Fokus Terapi Komplementer Dalam Keperawatan Komunitas


Perawat penting mengenal terapi komplementer, karena masyarakat termasuk di Indonesia masih
banyak yang menggunakan terapi tradisional. Menurut pengalaman penulis selama praktek
keperawatan di masyarakat lebih banyak melakukan tindakan awal dengan cara tradisional
sebelum pergi ke pelayanan kesehatan, sehingga perlu pengetahuan yang cukup untuk membantu
masyarakat dalam member informasi berbagai jenis tindakan. Klien dapat memilih tindakan yang
tepat sesuai dengan masalah yang dialaminya. Perawat yang menguasai terapi komplementer
juga dapat memberikan tindakan sesuai kebutuhan klien. Hal ini sesuai dengan tujuan
penyelenggaraan terapi komplementer dan alternative yaitu memberi pelindungan kepada klien,
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan serta member kepastian hukum
kepeda masyarakat dan tenaga pengobatnya (Permenkes RI No 1109, 2007). Kondisi saat ini
sudah banyak perawat yang mengenal dan kompeten melakukan terapi komplementer di
Indonesia.

Prinsip keperawatan yang perlu diaplikasikan dalam melaksanakan terapi komplementer dan
alternative adalah holistik, komprehensif, dan kontinu. Prinsip holistik pada terapi komplementer
sesuai dengan pendekatan perawat yang mengacu pada kebutuhan biologis, psikologis, social,
cultural dan spiritual (Berman, et al 2015; Potter, Perry, Stockert & Hall, 2013).

Level pencegahan terdiri dari primer, sekunder, dan tersier (Edelman & Mandle, 2010). Terapi
komplementer dapat dilakasanakan disemua level pencegahan tersebut misalnya seseorang yang
ingin lebih sehat dengan konsumsi suplemen nutrisi, pencegahan sekunder misalnya
menggunakan herbal unutk menyembuhkan penyakitdan contoh tersier menggunakan massage
untuk membantu anggota gerak yang lumpuh untuk meningkatkan fungsi dan mempertahankan
tubuhnya. Terapi komplementer mengajarkan individu mengubah perilaku seseorang untuk
memperbaiki respon fisik terhadap setres dan peningkatan tanda masalah fisik seperti kekakuan
otot, ketidaknyamanan pada perut, nyeri atau gangguan tidur (Potter, Perry, Stockert & Hall,
2013). Penerapan terapi komplementer dalam semua level ini sesuai dengan prinsip
komprehensif dalam keperawatan. Terapi komplementer untuk semua level pencegahan tersebut
juga memperhatikan system klien.

4. Peran Perawat Dalam Terapi Komplementer Pada Keperawatan Komunitas

Peran perawat yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi komplementer diantaranya
sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti, pemberi pelayanan langsung, koordinator dan
sebagai advokat. Sebagai konselor perawat dapat menjadi tempat bertanya, konsultasi, dan
diskusi apabila klien membutuhkan informasi ataupun sebelum mengambil keputusan. Sebagai
pendidik kesehatan, perawat dapat menjadi pendidik bagi perawat di sekolah tinggi keperawatan
seperti yang berkembang di Australia dengan lebih dahulu mengembangkan kurikulum
pendidikan (Crips & Taylor, 2001). Peran perawat sebagai peneliti di antaranya dengan
melakukan berbagai penelitian yang dikembangkan dari hasilhasil evidence-based practice.
Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung misalnya dalam praktik pelayanan
kesehatan yang melakukan integrasi terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002). Perawat
lebih banyak berinteraksi dengan klien sehingga peran koordinator dalam terapi komplementer
juga sangat penting. Perawat dapat mendiskusikan terapi komplementer dengan dokter yang
merawat dan unit manajer terkait. Sedangkan sebagai advokat perawat berperan untuk memenuhi
permintaan kebutuhan perawatan komplementer yang mungkin diberikan termasuk perawatan
alternatif (Smith et al.,2004).

Beberapa terapi komplementer telah diintegrasikan kedalam praktik keperawatan dari masa ke
masa, perluasan ruang lingkup dari terapi ini merupakan sebuah kebutuhan bahwa perawat
melakukan pengembangan panduan untuk digunakan dalam pelayanan. Kunci untuk
mendapatkan keterampilan terapi komplementer seorang perawat membutuhkan pendidikan
lanjutan atau khusus (Snyder & Lindquist, 2010). Pendidikan tersebut dapat dilakukan secara
mandiri di institusi yang terakreditasi, adapun pelatihan terapi komplementer yang telah diakui
oleh Badan PPSDM (Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia) Kesehatan RI yang telah
dikembangkan adalah akupuntur dan akupresur untuk tenaga kesehatan.

Perawat yang telah mendapatkan pengakuan dari organisasi profesi atau lembaga tersertifikasi
dapat melakukan intervensi terapi komplementer untuk praktik ataupun penelitian. Penelitian
yang dilakukan perawat tetap harus menggunakan pertimbangan etik dan standar yang sesuai
dengan batasan yang berlaku. Perawat yang terlibat aktif dalam penelitian terapi komplementer,
salah satu diantara ketua atau anggota tim interdisiplin harus memiliki kemampuan atau sertifikat
tersebut (Snyder & Lindquist, 2010). Perawat dalam memberikan terapi komplementer dalam
asuhan keperawatan dilakukan sesuai langkah proses keperawatan. Hal ini sesuai undang-undang
yang berlaku di Indonesia tentang tugas dan wewenang perawat dalam penatalaksanaan tindakan
komplementer dan alternatif. Proses keperawatn penting digunakan bertujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah, mengatasi masalah aktual atau potensial dalam status kesehatan
(Bertnan et al, 2015).

Perawat menggnakan proses keperawatan dengan mempertimbangkan klien menjadi mampu


mengenali kesehatannya sendiri dan menghormati pengalaman subjektifnya yang relevan dalam
memelihara kesehatan atau pendampingan dalam pemulihan. Dala model kesehatan holistik
klien dilibatkan dalam proses pemulihan dan juga pemeliharaan kesehatan (Edelman dan
Mandle, 2010). Artinya seseorang perawat yang melakukan intervensi komplementer harus
menggunakan pendekatan proses keperawatan, jika tidak demikian makan praktik yang
dilakukan identik dengan pengobat tradisional (batra). Kebutuhan praktik keperawatan lanjut
dalam memberikan terapi komplementer yang terintegrasi antara intervensi konvensional dengan
tradisional dapat memunculkan dileme terhadap penghargaan imbalan jasa (Gaydos, 2001).

5. Teknik Dalam Terapi Komplementer Pada Keperawatan Komunitas


Di Indonesia ada 3 jenis teknik pengobatan komplementer yang telah ditetapkan oleh
Departemen Kesehatan untuk dapat diintegrasikan ke dalam pelayanan konvensional, yaitu
sebagai berikut :

1. Meditasi

Meditasi adalah suatu teknik yang memungkinkan seseorang mampu menggunakan kesadaran
dan pengalamannya sehingga membuat seseorang lebih sadar akan dirinya (Snyder & Lindquist).
Meditasi dapat menjadikan orang santai, hal ini dapat menjadikan tubuh merasa rileks, pikiran
lebih tenang, meningkatkan kesejahteraan fisik dan emosional dengan kondisi lingkungan
tenang, posisi yang nyaman. (Fontaine, 2005; Mantle & Tiran, 2009). Meditasi merupakan
sarana seseorang untuk fokus terhadap suatu objek. Terapi ini menggunakan sikap tubuh yang
spesifik, memfokuskan perhatian atau sikap terbuka terhadap gangguan. Indikasi meditasi
dilakukan pada saat stress, cemas, denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Kontraindikasi
melakukan meditasi adalah klien yang kurang mampu menyimpan emosi dan kurang mampu
menganalisa sebab akibat yang kompleks.

2. Terapi massase

Teknik ini dengan cara menekan, mengusap dan memanipulasi otot dan jaringan lunak lainnya
pada tubuh. Pengertian massase telah mengalami proses penyempurnaan berdasarkan ilmu-ilmu
mengenai tubuh manusia serta gerakan-gerakan tangan yang bersifat mekanis terhadap tubuh
manusia yang dilakukan dengan berbagai teknik (Snyder & Lindquist, 2010)massase dapat
berfungsi sebagai salah satu terapi untuk meredakan berbagai keluhan fisik, seperti rasa
kembung, menghilangkan nyeri dan meredakan stress serta kelelahan fisik. Massase membantu
mengurangi ketegangan otot dengan menstimulasi sirkulasi darah dalam tubuh, relaksasi
mengurangi nyeri, sedangkan pada bayi melancarkan sirkulasi sehingga efektif meningkatkan
berat badan (Snyder & Lindquist; Mantle & Tiran, 2009).

3. Yoga

Yoga merupakan suatu sarana untuk mencapai suatu tingkat aktivitas untuk pikiran dan jiwa agar
berfungsi bersama secara harmonis (Shindu, 2013). Teknik ini mengkombinasikan postur fisik,
teknik nafas dalam, dan emditasi atau relaksasi. Teknik yoga bermacam-macam tetrgantung
aliran yang ada (Snyder & Lindquist, 2010; Kinasih, 2010). Yoga mengkombinasikan postur,
pernapasan, dan meditasi ataupun relaksasi, untuk mampu melakukan dengan benar
menggunakan buku-buku panduan yanga da, mengikuti kelas yoga atau video.

4. Bekam

Bekam dikenal dari masa kuno, cina dan timur tengah sebagai salah satu teknik pengobatan
tertentu didunia. Pengertian bekam adalah melakukan suction pada bagian tertentu (lokal)
dengan menggunakan cups pada area yang telah dipilih pada tubuh. Tujuan utama terapi ini
untuk mempercepat aliran darah dan membantu mengeluarkan darah yang sudah tidak memiliki
manfaat bagi tubuh. Bekam juga bermanfaat untuk mengeluarkan racun dari sirkulasi kulit dan
kompartemen interstisial (Kim et al, 2012).

5. Akupuntur

Akupunktur medik yang dilakukan oleh dokter umum berdasarkan kompetensinya. Metode yang
berasal dari Cina ini diperkirakan sangat bermanfaat dalam mengatasi berbagai kondisi
kesehatan tertentu dan juga sebagai analgesi (pereda nyeri). Cara kerjanya adalah dengan
mengaktivasi berbagai molekul signal yang berperan sebagai komunikasi antar sel. Salah satu
pelepasan molekul tersebut adalah pelepasan endorphin yang banyak berperan pada sistem
tubuh.

6. Terapi hiperbarik

Terapi heperbarik yaitu suatu metode terapi dimana pasien dimasukkan ke dalam sebuah ruangan
yang memiliki tekanan udara 2-3 kali lebih besar daripada tekanan udara atmosfer normal (1
atmosfer), lalu diberi pernapasan oksigen murni (100%). Selama terapi, pasien boleh membaca,
minum, atau makan untuk menghindari trauma pada telinga akibat tingginya tekanan udara

7. Terapi herbal medik

Terapi herbal medic yaitu terapi dengan menggunakan obat bahan alam, baik berupa herbal
terstandar dalam kegiatan pelayanan penelitian maupun berupa fitofarmaka. Herbal terstandar
yaitu herbal yang telah melalui uji preklinik pada cell line atau hewan coba, baik terhadap
keamanan maupun efektivitasnya. Terapi dengan menggunakan herbal ini akan diatur lebih
lanjut oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Daya efektivitas beberapa teknik terapi komplementer untuk mengatasi berbagai jenis gangguan
penyakit tidak bisa dibandingkan satu dengan lainnya karena masing-masing mempunyai teknik
serta fungsinya sendiri-sendiri. Terapi hiperbarik misalnya, umumnya digunakan untuk pasien-
pasien dengan gangren supaya tidak perlu dilakukan pengamputasian bagian tubuh. Terapi
herbal, berfungsi dalam meningkatkan daya tahan tubuh. Sementara, terapi akupunktur berfungsi
memperbaiki keadaan umum, meningkatkan sistem imun tubuh, mengatasi konstipasi atau diare,
meningkatkan nafsu makan serta menghilangkan atau mengurangi efek samping yang timbul
akibat dari pengobatan kanker itu sendiri, seperti mual dan muntah, fatigue (kelelahan) dan
neuropati.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pengobatan komplementer adalah pengobatan non-konvensional yang bukan berasal dari negara
yang bersangkutan. Terapi komplementer adalah tindakan yang diberikan sebagai bagian dari
keperawatan kesehatan, terdiri dari berbagai macam bentuk praktik kesehatan selain tindakan
konpensional, ditunjukkan untuk meningkatkan derajat kesehatan ditahap pencegahan primer,
sekunder dan tersier yang diperoleh melalui pendidikan khusus yang didasari oleh ilmu-ilmu
kesehatan. Jenis-jenis terapi komplementer adalah akupuntur, herbalisme medis, aromaterapi,
terapi pengobatan bunga. Prinsip keperawatan yang perlu diaplikasikan dalam melaksanakan
terapi komplementer dan alternative adalah holistik, komprehensif, dan kontinu. Prinsip holistik
pada terapi komplementer sesuai dengan pendekatan perawat yang mengacu pada kebutuhan
biologis, psikologis, social, cultural dan spiritual (Berman, et al 2015; Potter, Perry, Stockert &
Hall, 2013). Peran perawat yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi komplementer
diantaranya sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti, pemberi pelayanan langsung,
koordinator dan sebagai advokat. Di Indonesia ada 3 jenis teknik pengobatan komplementer
yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan untuk dapat diintegrasikan ke dalam
pelayanan konvensional adalah akupuntur, terapi hiperbalik, herbal medik.

Saran

Dengan tersusunnya makalah ini semoga bisa bermanfaat bagi pembaca maupun penulis. Kritik
dan saran dari pembaca sangat kami butuhkan, karena penulis sadar bahwa penyusunan makalah
ini jauh dari kata empurna dan kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Hadibroto, Iwan, dan Syamsir Alam. 2006. “Seluk Beluk Pengobatan Alternatif dan
Komplementer”. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer.

Nies, Mary A & Melanie Mcewen. 2019. Keperawatan Kesehatan Komunitas dan Keluarga.
Elseiver Singapore.

Widyatuti W. 2008. Terapi Komplementer Dalam Keperawatan. diakses dari :


jki.ui.ac.id/index.php/jki/articledownload/200/pdf_65. Pada tanggal 13 Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai