Anda di halaman 1dari 21

UAS MAKALAH KEPERAWATAN KOMPLEMENTER

PENGETAHUAN TENTANG TERAPI KOMPLEMENTER


PASIEN DIABETES MELITUS

DI SUSUN OLEH :

Oktiana Anggraini Putri


19250026

Dosen Pembimbing : Ns. Handi Rustandi, S.Kep., MAN

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ( DIII )


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DEHASEN BENGKULU
TA.2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang kita kenal sebagai penyakit kencing
manis adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh
karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin
baik absolute maupun relative. DM merupakan salah satu penyakit degenerative
dengan sifat kronis yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada
tahun 1983, prevalensi DM di Jakarta baru sebesar, 7%; pada tahun 1993
prevalensinya meningkat menjadi 5,7% dan pada tahun 2001 melonjak menjadi
12,8%. Klasifikasi atau jenis diabetes ada bermacam-macam, tetapi di Indonesia
yang paling banyak ditemukan adalah DM tipe 2. Jenis diabetes yang lain ialah
DM tipe 1; diabetes kehamilan/gestasional (DMG) dan diabetes tipe lain. Ada
juga kelompok individu lain dengan toleransi glukosa abnormal tetapi kadar
glukosanya belum memenuhi syarat masuk ke dalam kelompok diabetes mellitus,
disebut toleransi glukosa terganggu (TGT). Sebenarnya penyakit diabetes tidaklah
menakutkan bila diketahui lebih awal. Kesulitan diagnosis timbul karena kadang-
kadang dia datang tenang dan bila dibiarkan akan menghanyutkan pasien ke
dalam komplikasi fatal. Oleh karena itu, mengenal tanda-tanda awal penyakit
diabetes ini menjadi sangat penting.

B. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui penyakit Diabetes Mellitus dan
terapi komplementernya serta untuk memberikan pemahaman dan kesadaran
tentang pentingnya mengenal tanda-tanda awal penyakit diabetes mellitus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus
1. Defenisi
Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat
kekurangan insulin baik absolute maupun relative (Suyono, 1995).
Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara kebutuhan dan suplai insulin. Sindrom ini ditandai oleh adanya
hiperglikemia dan berkaitan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein. Istilah diabetes mellitus sebenarnya mencakup 4 kategori yaitu tipe I
(insulin dependen diabetes mellitus atau IDDM), diabetes mellitus sekunder dan
diabetes mellitus yang berhubungan dengan nutrisi. Selain itu, terdapat dua
kategori lain tentang abnormalitas metabolisme glukosa yaitu kerusakan toleransi
glukosa dan diabetes mellitus gestasional (Sukaton, 1985 dikutip Waspadji, 1988).
Diabetes mellitus tipe II lebih banyak dijumpai di Indonesia. Faktor resiko
diabetes mellitus tipe II antara lain usia, obesitas, riwayat keluarga dengan
diabetes mellitus tipe II, etnis, penyebaran lemak adroid (tubuh bagian atas atau
tipe apel). Kebiasaan diet dan kurang berolahraga. Pada diabetes mellitus tipe II
keterbatasan respon sel beta pankreas yang memproduksi insulin terhadap
hiperglikemia tampak menjadi faktor utama berkembangnya penyakit ini. Klien
dengan diabetes mellitus tipe II mengalami penurunan sensivitas terhadap kadar
glukosa, yang berakibat pada pembukaan kadar glukosa tinggi. Keadaan ini
disertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak untuk meningkatkan
ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini menyebabkan meningkatnya resistensi
insulin perifer (Tjokroprawiro, 1982). Komplikasi akut mayor diabetes mellitus
adalah diabetik ketoasidosis (DKA), sindrom nekrotik hiperosmolar hiperglikemia
(SKNH), dan hipoglikemia.
Pada diabetes mellitus tipe II komplikasi yang sering terjadi adalah penyakit
mikrovaskuler dan neuropati. Gangguan kesehatan komplikasi diabetes mellitus
antara lain gangguan mata (retinopati), gangguan ginjal (nefropati), gangguan
pembuluh darah (vaskulopati), dan kelainan pada kaki. Komplikasi yang sering
terjadi adalah perubahan patologis pada anggota gerak yang bisa menyebabkan
luka ulkus, atau luka gangren yang bila tidak ditangani dengan tepat akan
menimbulkan kecacatan bahkan berujung pada amputasi (Iqbal,2008).

2. Patofisiologi
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang
rusak. Disamping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh dapat
berfungsi dengan baik. Sumber energi bagi tubuh berasal dari bahan makanan
yang kita makan sehari-hari, terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak.
Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut kemudian kelambung dan
selanjutnya usus. Di dalam saluran pencernaan makanan diolah menjadi bahan
dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam
amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu, akan diserap oleh
usus kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan diedarkan keseluruh tubuh
untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai sumber energi.
Supaya dapat berfungsi sebagai bahan energi, zat makanan itu harus masuk
terlebih dahulu kedalam sel supaya dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan
terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang hasil akhirnya adalah
timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme
insulin memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan
glukosa dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi.
Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas.
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak
kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel, untuk kemudian
di dalam sel glukosa itu dimetabolismekan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada,
maka glukosa akan tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di
dalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan lemah karena tidak
ada sumber energi didalam sel (Suyono, 2004).
Pada diabetes mellitus tipe I tidak ditemukan insulin karena pada jenis ini
timbul reaksi autoimun yang disebabkan adanya peradangan pada sel beta yang
disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA)
yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel beta. Insulitas bisa disebabkan
macam-macam diantaranya virus, seperti virus cocksakie, rubella, CMV, herpes
dan lain-lain. Umumnya yang diserang pada insulitas itu adalah sel beta, dan
biasanya sel alfa dan delta tetap utuh (Suyono, 2004).
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe II sebenarnya tidak begitu jelas,
tetapi faktor-faktor seperti obesitas, diet tinggi lemak, dan rendah karbohidrat,
kurang aktivitas, dan faktor keturunan. Pada DM tipe II jumlah sel beta berkurang
sampai 50-60% dari normal, jumlah sel alfa meningkat. Yang menyolok adalah
adanya peningkatan jumlah jaringan amiloid pada sel beta yang disebut amilin.
Baik pada DM tipe II kadar glukosa darah jelas meningkat bila kadar itu melewati
batas ambang ginjal, maka glukosa akan keluar melalui urin (Suyono, 2004).

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Diabetes Mellitus


a. Gaya Hidup
Gaya hidup menjadi salah satu penyebab utama terjadinya diabetes
mellitus. Diit dan olahraga yang tidak baik berperan besar terhadap
timbulnya diabetes mellitus yang dihubungkan dengan minimnya aktivitas
sehingga meningkatkan jumlah kalori dalam tubuh.
b. Usia
Peningkatan usia juga merupakan salah satu faktor risiko yang penting.
Dibandingkan wanita pada usia 20-an, wanita yang berusia diatas 40 tahun
berisiko enam kali lipat mengalami kehamilan dengan diabetes. Kadar
gula darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi
progresif setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak
aktif.
c. Ras dan Suku Bangsa
Suku bangsa Amerika Afrika, Amerika Meksiko, Indian Amerika, Hawai,
dan sebagian Amerika Asia memiliki risiko diabetes dan penyakit jantung
yang lebih tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka
tekanan darah tinggi, obesitas, dan diabetes pada populasi tersebut.
d. Riwayat Keluarga
Meskipun penyakit ini terjadi dalam keluarga, cara pewarisan tidak
diketahui kecuali untuk jenis yang dikenal sebagai diabetes pada usia
muda dengan dewasa. Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang
menyandang diabetes maka kesempatan untuk menyandang diabetes pun
meningkat. Ada empat bukti yang menunjukkan transmisi penyakit
sebagai ciri dominal autosomal. Pertama transmisi langsung tiga generasi
terlihat pada lebih dari 20 keluarga. Kedua didapatkan perbandingan anak
diabetes dan tidak diabetes 1:1 jika satu orang tua menderita diabetes.
Pengaruh genetik sangat kuat, karena angka konkordansi diabetes tipe 2
pada kembar monozigot mencapai 100 persen. Resiko keturunan dan
saudara kandung pasien penderita NIIDM lebih tinggi dibanding diabetes
tipe 1. Hampir empat persepuluh saudara kandung dan sepertiga keturunan
akhirnya mengalami toleransi glukosa abnormal atau diabetes yang jelas.
e. Kegemukan (Obesitas)
Overweight dan obesitas erat hubungannya dengan peningkatan risiko
sejumlah komplikasi yang dapat terjadi sendiri-sendiri atau secara
bersamaan. Seperti yang telah disebutkan di awal, komorbiditas itu dapat
berupa hipertensi, dislipidemia, penyakit kardiovaskular, stroke, diabetes
tipe II, penyakit gallblader, disfungsi pernafasan, gout, osteoarthritis, dan
jenis kanker tertentu. Penyakit kronik yang paling sering menyertai
obesitas adalah diabetes tipe II, hipertensi, dan hiperkolesterolemia.
NHANES III menyebutkan bahwa kurang lebih 12% orang dengan BMI
27 menderita diabetes tipe 2. Obesitas merupakan faktor risiko utama pada
penderita diabetes tipe 2.

4. Komplikasi Diabetes Mellitus


Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi yang paling banyak.
Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus, sehingga
berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya. Zat
kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan
pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka
aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju aliran saraf dan kulit. Kadar
gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat berlemak
dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya aterosklerosis
(penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis ini 2-6 kali
lebih sering terjadi pada penderita diabetes. Sirkulasi darah yang buruk melalui
pembuluh darah besar bisa melukai otak, jantung, dan pembuluh darah kaki
(makroangiopati), sedangkan pembuluh darah kecil bisa melukai mata, saraf, dan
kulit serta memperlambat penyembuhan luka. Penderita diabetes bisa mengalami
berbagai komplikasi jangka panjang jika diabetesnya tidak dikelola dengan baik.
Komplikasi yang lebih sering terjadi dan mematikan adalah serangan jantung
dan stroke. Kerusakan pada pembuluh darah mata bisa menyebabkan gangguan
penglihatan, akibat kerusakan pada retina mata (retinopati diabetikum). Kelainan
fungsi ginjal bisa menyebabkan gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani
cuci darah. Gangguan saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk, misalnya
jika satu saraf mengalami kelainan fungsi, maka sebuah lengan atau tungkai bisa
secara tiba-tiba menjadi lemah. Jika saraf yang menuju ke lengan, dan tungkai
mengalami kerusakan, maka pada lengan dan tungkai bisa merasakan kesemutan
atau nyeri seperti terbakar atau kelemahan. Kerusakan pada saraf menyebabkan
kulit sering mengalami cedera karena penderita tidak dapat merasakan perubahan
tekanan maupun suhu. Berkurangnya aliran darah kekulit juga bisa menyebabkan
ulkus atau borok dimana proses penyembuhannya akan berjalan secara lambat
hingga menyebabkan amputasi (Soegondo, 2007).

B. Luka Diabetik
1. Defenisi
Luka diabetik adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang melibatkan
gangguan pada saraf peripheral dan autonomik (Suryadi, 2004). Luka diabetik
adalah luka yang terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainan pembuluh
darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak diatasi dengan baik, hal itu
akan berlanjut menjadi pembusukan bahkan dapat diamputasi (Prabowo, 2007).
Terjadinya kaki diabetik tidak terlepas dari tingginya kadar glukosa darah
penyandang diabetes. Tingginya kadar gula darah berkelanjutan dan dalam jangka
waktu yang lama dapat menimbulkan masalah pada kaki penyandang diabetes
(nita-medicastore.com).
Komponen saraf yang terlibat adalah saraf sensori, autonomik dan sistem
pergerakan. Kerusakan pada saraf sensori akan menyebabkan klien kehilangan
sensasi nyeri sebagian atau keseluruhan pada kaki yang terlibat. Peripheral
vascular disease ini terjadi karena arteriosklerosis dan aterosklerosis. Pada
arteriosklerosis adalah terjadi penurunan elastisitas dinding arteri. Pada
aterosklerosis adanya akumulasi ”plaques” pada dinding arteri berupa ; kolesterol,
lemak, sel-sel otot halus, monosit, pagosit, dan kalsium (Suriadi, 2004).
Kelangsungan hidup pasien dalam 5 tahun setelah amputasi adalah rendah,
diperkirakan hanya sekitar 25%.

2. Klasifikasi Luka Diabetik


Wagner (1983) berdasarkan luas dan kedalaman luka membagi gangren
diabetik menjadi 6 bagian yaitu, (1) kulit utuh tapi ada kelainan pada kaki akibat
neuropati, (2) draft I : terdapat ulkus superfisial, terbatas pada kulit, (3) draft II :
ulkus dalam, menembus tendon/tulang, (4) draft III : ulkus dengan atau tanpa
osteomilitis, (5) draft IV : gangren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan tanpa
selulitis (infeksi jaringan), (6) draft V : gangren seluruh kaki atau sebagian
tungkai bawah (Misnadiarly, 2008). Sedangkan Brand dan Ward (1987) membagi
gangren berdasarkan faktor pencetusnya menjadi 2 golongan yaitu : (1) kaki
diabetik akibat iskemia (KDI), disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai
akibat adanya makroangiopati (arterosklerosis) dari pembuluh darah besar di
tungkai, terutama daerah betis. Gambaran klinis KDI adalah penderita mengeluh
nyeri saat istirahat, pada perabaan terasa dingin, pulsasi pembuluh darah kurang
kuat, didapatkan ulkus sampai gangren. (2) kaki diabetik akibat neuropati (KDN),
terjadi kerusakan saraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari sirkulasi.
Pada klinis ini di jumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, edema
kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik.
3. Patofisiologi
Penyakit neuropati dan vaskuler adalah faktor utama yang mengkontribusi
terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada pasien dengan diabetik terkait
dengan adanya pengaruh pada saraf yang terdapat pada kaki dan biasanya dikenal
sebagai neuropati perifer. Pada pasien dengan diabetik sering kali mengalami
gangguan pada sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini adalah yang berhubungan dengan
“pheripheral vascular diseases”. Efek sirkulasi inilah yang menyebabkan
kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan diabetik neuropati yang berdampak
pada sistem saraf autonom, yang mengontrol fungsi otot- otot halus, kelenjar dan
organ visceral.
Dengan adanya gangguan pada saraf autonom pengaruhnya adalah terjadinya
perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah. Dengan
demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian antibiotik tidak
mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, juga tidak memenuhi
kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek pada autonomi neuropati ini
akan menyebabkan kulit menjadi kering, antihidrosis; yang memudahkan kulit
menjadi rusak dan mengkontribusi untuk terjadinya gangren. Dampak lain adalah
karena adanya neuropati perifer yang mempengaruhi kapada saraf sensori dan
sistem motor yang menyebabkan hilangnya sensasi nyeri, tekanan dan perubahan
temperatur (Suryadi, 2004).

4. Perawatan Luka Diabetik


Luka diabetik terdiri dari luka ulkus dan gangren. Tujuan perawatan luka
diabetik adalah mencegah terjadinya komplikasi dan mempercepat proses
pemulihan luka. Ulkus yang tidak dirawat dengan baik dapat mengakibatkan
timbulnya luka gangren. Gangren adalah luka yang sudah membusuk dan sudah
melebar, ditandai dengan jaringan yang mati berwarna kehitaman dan membau
disertai pembusukan oleh bakteri.
Pasien dapat diberikan antiagregasi trombosit, hipolipidemik dan hipotensif
bila membutuhkan. Antibiotik pun diberikan bila ada infeksi. Pilihan antibiotik
berupa golongan penisilin spektrum luas, kloksasilin/diklosasilin dan golongan
aktif seperti klindamisin atau metronidazol untuk kuman anaerob. Prinsip terapi
bedah pada kaki diabetik adalah mengeluarkan semua jaringan nekrotik dan
mengeliminasi infeksi sehingga luka dapat sembuh. Tindakan operatif pada luka
diabetes dapat berupa tindakan bedah kecil seperti insisi dan pengaliran abses,
debridement dan nekrotomi. Tindakan bedah dilakukan berdasarkan indikasi yang
tepat. Prioritas tinggi harus diberikan untuk mencegah tejadinya luka baru, jangan
membiarkan luka kecil, sekecil apapun luka tersebut dapat menjadi besar dan
akhirnya mengarah pada luka gangren yang proses penyembuhannya
membutuhkan waktu yang lama (Yumizone, 2008).
Penyembuhan luka terjadi melalui tahapan yang berurutan mulai proses
inflamasi, proliferasi, pematangan dan penutupan luka. Pada proses penyembuhan
luka, tindakan debridement yang baik sangat penting untuk mendapatkan hasil
pengelolaan yang perawatan luka diabetik yang memuaskan dengan melihat
kondisi luka terlebih dahulu, apakah luka yang dialami pasien dalam keadaan
kotor atau tidak, ada pus atau ada jaringan nekrotik (mati) atau tidak. Setelah
dikaji, barulah dilakukan perawatan luka. Untuk perawatan luka biasanya
menggunakan antiseptik dan kassa steril. Jika ada jaringan nekrotik sebaiknya
dibuang dengan cara digunting sedikit demi sedikit sampai kondisi luka
mengalami granulasi (jaringan baru yang mulai tumbuh). Lihat ke dalam luka,
pada pasien diabetes dilihat apakah terdapat sinus (luka dalam yang sampai
berlubang) atau tidak. Bila terdapat sinus, sebaiknya disemprot (irigasi) dengan
NaCl sampai pada kedalaman luka, sebab pada sinus terdapat banyak kuman.
Lakukan pembersihan luka sehari minimal dua kali (pagi dan sore), setelah
dilakukan perawatan lakukan pengkajian apakah sudah tumbuh granulasi,
(pembersihan dilakukan dengan kassa steril yang dibasahi larutan NaCl). Setelah
luka dibersihkan lalu tutup dengan kassa basah yang diberi larutan NaCl lalu
dibalut disekitar luka, dalam penutupan dengan kassa jaga agar jaringan luar luka
tertutup. Sebab jika jaringan luar ikut tertutup akan menimbulkan maserasi
(pembengkakan). Setelah luka ditutup dengan kassa basah bercampur NaCl, lalu
tutup kembali dengan kassa steril yang kering untuk selanjutnya dibalut (Ismayati,
2007).
Jika luka sudah mengalami penumbuhan granulasi, selanjutnya akan ada
penutupan luka (skin draw). Penanganan luka diabetik, harus ekstra agresif sebab
pada luka diabetik kuman akan terus menyebar dan memperparah kondisi luka
(Hermawati, 2007).

5. Proses Penyembuhan Luka


Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena proses
penyembuhan luka adalah kegiatan bio-seluler, bio-kimia yang terjadi
berkesinambungan. Penggabungan respon vaskuler, aktivitas seluler dan
terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan
komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Besarnya
perbedaan mengenai penelitian dasar mekanisme penyembuhan luka dan aplikasi
klinis saat ini telah dapat diperkecil dengan pemahaman dan penelitian yang
berhubungan dengan proses penyembuhan luka dan pemakaian bahan pengobatan
yang berhasil memberikan kesembuhan.
Peran fibroblast sangat besar dalam proses perbaikan, yaitu bertanggung-
jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan
selama proses konstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal tanpa perlukaan, pemaparan sel fibroblast
sangat jarang dan biasanya tersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah
terjadi luka fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam
daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan
beberapa substansi (kolagen, elastin, inyalruounc acid, fibronectin dan
profeoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru.
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru
(connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblast,
memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblast
sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka.
Sejumlah sel pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru
tersebut berfungsi sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi
fibroblast dengan aktivitas sintetiknya disebut fibroblasia, migrasi, deposit
jaringan matriks, kontraksi luka.
Angiogenesis suatu pembentukan pembuluh kapiler baru di dalam luka,
mempunyai peran penting pada tahap proliferasi proses penyembuhan luka.
vaskularisai yang tidak lancar, penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat
(preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya
ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi ke dalam luka
merupakan suatu respon untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di
daerah luka karena oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan
proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet
dan makrofag (growth factors).
Proses selanjutnya adalah epitelasi, dimana fibrobalast mengeluarkan
karatinocyle growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel
epitel. Keratinasasi akan di mulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk
barier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblast,
pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan
mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan
baru tersebut menutup luka, fibroblast akan merubah strukturnya menjadi
myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan.
Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan
dengan defek luka. Minimal fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan
lapisan kolagen terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan di percepat oleh
berbagai growth factor yang dibentuk makrofag dan platelet.
Fase maturasi fase ini terjadi pematangan yang terdiri dari penyerapan
kembali jaringan yang berlebihan, pengerutan sesuai dengan gravitasi, pada
minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan
dari fase maturasi adalah penyempurnaan terbentuknya jaringan baru menjadi
jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblast sudah mulai
meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang
karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak
untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai
puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah di
mulai sejak fase proliferasi akan di dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali
pembentukan kolagen muda (gelatinious collagen) yang terbentuk pada fase
proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan
struktur yang lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara
kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan
mengakibatkan terjadinya penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar,
sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut
dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh apabila telah terjadi
kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit sehingga mampu melakukan
aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap
penderita, namun hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik
masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan
mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan yang kurang gizi, dan yang
disertai oleh penyakit sistemik (diabetes mellitus) (Tawi, 2004).

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luka Diabetik


Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka diabetik secara umum
adalah faktor intrinsik yaitu; (1) usia, semakin tua akan semakin lama proses
penyembuhan luka berlangsung. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penurunan
elastisitas dalam kulit dan perbedaan penggantian kolagen yang mempengaruhi
penyembuhan luka, (2) status penyakit dan pengobatan, penderita yang
mengalami penyakit seperti DM, yang dapat menyebabkan terjadinya
mikroangiopati, neuropati dan masalah khusus yang terjadi pada penderita akan
mempersulit penyembuhan, (3) status nutrisi, zat makanan yang masuk kedalam
tubuh seperti protein sangat dibutuhkan dalam proses neovaskularisasi, proliferasi
fibroblast, sintesa kolagen dan remodelling luka. Asam amino adalah komponen
struktural protein dan merupakan bagian penting dari deoxyribonucleic acid
(DNA) dan ribonucleic acid (RNA). Ini memberikan pola untuk mitosis sel dan
enzim yang dibutuhkan dalam pembentukan jaringan, (4) oksigenasi dan perfusi
jaringan, oksigen berpengaruh dalam angiogenesis, fungsi fibroblast, epitelisasi
dan resistensi terhadap infeksi. Perfusi jaringan saling terkait dengan oksigenasi
jaringan. Perfusi jaringan yang baik merupakan hal yang essensial untuk
oksigenasi. Volume darah beredar yang adekuat membawa hemoglobin yang kaya
O2 ke jaringan. Masalah yang berkaitan dengan perfusi jaringan dan oksigenasi
dapat diakibatkan oleh penyakit kardiovaskuler, paru dan hipovolemia, (5)
merokok, hal ini juga mengurangi perfusi dan oksigenasi jaringan dan
menimbulkan efek merugikan pada proses penyembuhan luka. Kemudian faktor
ekstrinsik yaitu, (1) adanya teknik pembedahan yang buruk, jika jaringan
ditangani secara kasar selama pembedahan, maka jaringan mengalami kerusakan
yang luas, mengakibatkan hematom. Hal ini dapat meningkatkan resiko infeksi
akibat hematom yang pecah. Ruang mati (dead space) mungkin juga terjadi jika
jaringan tidak diperbaiki secara tepat selama pembedahan dan memberi peluang
untuk berkembangnya infeksi luka, (2) drug treatment, obat juga mempengaruhi
penyembuhan luka seperti steroid, obat anti inflamasi, obat antimitotik dan terapi
radiasi. Steroid menghambat seluruh fase penyembuhan luka, menghambat
fagositosis, sintesa kolagen dan angiogenesis, (3) manajemen luka yang tidak
tepat, penggunaan teknik pembalutan yang tidak tepat, pemilihan dan penggunaan
bahan balutan yang kurang tepat atau penggunaan antiseptik solution yang
semestinya tidak diperlukan dapat menghambat proses penyembuhan luka, (4)
psikososial yang merugikan, berbagai jenis faktor psikososial dapat memberikan
efek merugikan pada penyembuhan luka seperti: buruknya pemahaman dan
penerimaan terhadap program pengobatan atau kecemasan yang berkaitan dengan
perubahan pada pekerjaan, penghasilan, hubungan pribadi dan body image
(Morison, 1992), (5) infeksi, dari semua faktor yang memperlambat penyembuhan
luka, infeksi adalah yang paling penting. Infeksi dapat terjadi jika selama
persiapan pembedahan, selama pembedahan dan setelah pembedahan tidak
dilakukan dengan prinsip aseptik dan antiseptik yang baik. Jenis luka dan lokasi
pembedahan juga mempengaruhi resiko infeksi pada luka insisi.

7. Kriteria Luka Sembuh


Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan
lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tiap cedera
jaringan luka baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus tungkai, luka
traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat tindakan
bedah. Push Score (length X widht, tissue type, exudate amount) adalah salah satu
acuan dalam identifikasi proses penyembuhan luka. Luka dikatakan mengalami
proses penyembuhan jika mengalami proses fase respon inflamasi akut terhadap
cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi (Morison, 2004).
Kemudian disertai dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah eksudat berkurang,
jaringan luka semakin membaik (NPUAP, 1997).

C. Madu
Madu berasal dari nektar bunga yang disimpan oleh lebah dari kantung madu.
Oleh lebah nektar tersebut diolah sebelum akhirnya menghasilkan madu dalam
sarangnya. Madu dihasilkan oleh serangga lebah madu (Apis Mellifera) termasuk
dalam superfamili apoidea. Madu adalah obat alami karena tidak perlu diolah di
laboratorium. Madu sudah ada di alam dan tinggal diolah dari sarangnya (Susan,
2008).
1. Kandungan Madu
Madu mengandung senyawa radikal hidrogen peroksida yang bersifat dapat
membunuh mikroorganisme patogen. Berdasarkan hasil penelitian Kamaruddin
(1997), peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Malaysia, di Kuala Lumpur
adanya senyawa organik yang bersifat antibakteri antara lain seperti polypenol,
dan glikosida. Selain itu dalam madu terdapat banyak sekali kandungan vitamin,
asam mineral, dan enzim yang sangat berguna bagi tubuh sebagai pengobatan
secara tradisional, antibodi, dan penghambat pertumbuhan sel kanker, atau tumor.
Madu juga mengandung antioksidan, asam amino essensial, dan non essensial.

2. Pemanfaatan Madu
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa madu bermanfaat sebagai antiseptik
dan antibakteri (mengatasi infeksi pada daerah luka dan memperlancar proses
sirkulasi yang berpengaruh pada proses penyembuhan luka) (Yudith, 2003). Madu
juga merangsang pertumbuhan jaringan baru sehingga selain mempercepat
penyembuhan juga mengurangi timbulnya parut atau bekas luka pada kulit. Madu
memiliki efek osmotik dengan tingginya kadar gula dalam madu terutama
fruktosa, dan kadar air yang sangat sedikit menyebabkan madu memiliki efek
osmotik yang tinggi. Dengan adanya efek tersebut memungkinkan
mikroorganisme yang ada dalam tubuh sukar tumbuh dan berkembang. Madu
memiliki kadar asam yang tinggi dengan pH sekitar antara 3,2-4,5 (sangat asam).
Dengan adanya kadar asam yang tinggi inilah mikroorganisme yang tidak tahan
asam (seperti kuman TBC) akan mati. Madu mampu mengabsorbsi pus atau nanah
atau luka, sehingga secara tidak langsung madu akan membersihkan luka tersebut.
Madu menimbulkan efek analgetik (penghilang nyeri), mengurangi iritasi, dan
dapat mengeliminasi bau yang menyengat pada luka. Madu juga berfungsi sebagai
antioksidan karena adanya vitamin C yang banyak terkandung pada madu. Secara
tidak langsung madu mengeliminasi zat radikal bebas yang ada pada tubuh kita
(Abdillah, 2008).
Dari beberapa penelitian yang dilakukan salah satunya oleh Dr. Jamal Burhan
dari Universitas Iskandariyah Mesir pada tahun 1991 menyebutkan madu sangat
efektif untuk pengobatan luka dan telah dilakukan eksperimen pengobatan
terhadap luka bakar dengan menggunakan madu dan setelah dilakukan
perbandingan dengan pengobatan modern, hasilnya setelah 7 hari, kelompok yang
diobati dengan madu 91% bebas dari infeksi sedangkan yang diobati dengan
pengobatan modern hanya 7% yang bebas infeksi. Setelah pengobatan berjalan 15
hari, 87% pasien yang diobati madu sembuh sedangkan yang diobati dengan
pengobatan modern hanya 10% yang sembuh. Penelitian pada tahun 1992 dan
1993 juga membuktikan bahwa pasien luka bakar yang diobati dengan madu,
hanya 20% yang menyisakan luka ditubuhnya, sedangkan pengobatan modern
dengan obat farmakologis menyisakan sekitar 65% pasien meninggalkan bekas
luka (Suryadhine, 2007).
Pengobatan madu yang dicampur dengan minyak zaitun dan lilin lebah para
dokter di Dubai Specialized Medical Centre dibawah pimpinan Noori Al Wali
telah berhasil mencapai tingkat penyembuhan tertinggi 86% untuk penyakit
infeksi kulit karena jamur (Iqbal, 2008).
Peneliti Jennifer Edy dari Universitas Wisconsin menyebutkan madu efektif
dalam mengobati luka diabetes karena kandungan airnya rendah, juga pH madu
yang asam serta kandungan hidrogen peroxidanya mampu membunuh bakteri dan
mikroorganisme yang masuk kedalam tubuh kita (Iqbal, 2008).
Dalam perawatan luka diabetes madu dapat digunakan dengan cara madu
ditaruh pada balutan, kemudian sebelum luka dibalut terlebih dahulu luka
haruslah terlebih dahulu diolesi dengan madu sampai merata menutup seluruh
permukaan luka. Setelah itu luka dibalut dengan balutan yang telah diolesi madu
terlebih dahulu. Namun pada kondisi luka yang penuh dengan cairan cara ini tidak
dianjurkan (Iqbal, 2008).
Untuk luka yang mengeluarkan cairan yang banyak, pembalut madu yang
kedua dapat diterapkan diatas pembalut yang pertama untuk menampung
rembesan cairan dari pembalut pertama. Madu aman untuk dioleskan langsung ke
daerah luka yang terbuka karena madu selalu larut dalam air dan mudah
dibersihkan.

3. Terapi Madu pada Luka Diabetik


Penggunaan madu pada luka diabetik tergantung dari jumlah cairan yang
keluar dari luka. Frekuensi penggantian pembalut madu tergantung dari beberapa
cepat madu tercampur dengan cairan yang keluar dari luka. Luka yang tidak
mengeluarkan cairan, penggantian pembalut dapat dilakukan 3 kali seminggu.
Cara pemberian madu yang baik adalah madu ditaruh dahulu pada pembalut yang
dapat menyerap madu, karena apabila dituangkan langsung, madu akan menyebar
kemana-mana dan tidak mengenai sasaran. Balutan yang digunakan harus yang
berpori agar madu dapat mencapai bagian tubuh yang luka. Pembalut alginate
yang diisi madu dapat juga dipakai sebagai pengganti pembalut dari selulosa
karena alginate akan berubah menjadi gel yang lunak yang mengandung madu.
Madu aman untuk dioleskan langsung ke daerah luka yang terbuka karena madu
selalu larut dalam air dan mudah dibersihkan. Dianjurkan selama penggunaan
madu ini, pasien tetap dalam pengawasan dokter (Iqbal, 2008).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Diabetes mellitus tidak menakutkan bila diketahui lebih awal. Gejala-gejala
yang timbul sangat tidak bijaksana untuk dibiarkan, karena justru akan
menjerumuskan ke dalam komplikasi yang lebih fatal. Jika berlangsung menahun,
kondisi penderita diabetes mellitus berpeluang besar menjadi ketoasidosis ataupun
hipoglikemia. Memang penyakit diabetes tidak bisa disembuhkan, kecuali
beberapa jenis diabetes. Tetapi dengan kemauan keras, penyakit ini dapat
dikendalikan. Dengan berbekal pengetahuan yang cukup, disiplin dan keinginan
yang besar, maka penyakit diabetes ini bukan merupakan penyakit yang
menakutkan. Ibarat delman, penderita adalah kusir dan diabetes adalah kudanya.
Sepanjang pak kusir masih memegang kendalinya, selama itu pula kudanya akan
menuruti apa keinginan kusir. Dengan prinsip hidup yang positif, pada akhirnya
penyandang DM dapat hidup bahagia bersama diabetes, seperti orang lain
berbahagia tanpa diabetes.

B. Saran
Lakukan pemeriksaan dini pada tubuh, tidak perlu menunggu hingga timbul
gejala. Karena dengan dilakukan diagnosis dini, dokter dan pasien dapat
menanggulangi diabetes mellitus dengan baik agar kita mampu mencegah tersebut
sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Makalah asuhan gizi pada diabetes mellitus. [Diakses 6


November 2013]. Dari: http://vi2c4mex.files.wordpress.com/2013/
01/dm.pdf.
Situmorang, L. L. 2009. Efektivitas madu terhadap penyembuhan luka gangren
diabetes mellitus. PSIK USU. [Diakses 6 November 2013]. Dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25284/4/Chapter%20II.pdf
%E2%80%8E.
Hammad. 2009. Pengaruh perawatan luka dengan penggunaan madu terhadap
penyembuhan luka diabetik pada pasien diabetes mellitus di RSUD Ulin
Banjarmasin. [Diakses 6 November 2013]. Dari:
http://alulum.baak.web.id/files/1.%20hamad%20juli%202009.pdf.
PENGETAHUAN DIABETES MELLITUS DAN UPAYA PENCEGAHAN
PADA LANSIA DI LAM BHEU ACEH BESAR
Khairani, Khairani

Abstract

ABSTRAK
Meningkatnya prevalensi diabetes mellitus di beberapa negara berkembang akibat
peningkatan kemakmuran di negara yang bersangkutan dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan diabetes
mellitus dengan upaya pencegahan pada lansia di Desa Lam Bheu Kecamatan
Darul Imarah Aceh Besar. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia
yang tidak mengalami penyakit diabetes mellitus yang berada di Desa Lam Bheu
Kecamatan Darul Imarah Aceh Besar yang berjumlah 797 lansia, teknik
pengambilan sampel secara purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak
89 lansia. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara terpimpin
menggunakan kuesioner dalam bentuk skala dichotomous choice  yang terdiri dari
31 item pernyataan. Analisis data bivariat dengan menggunakan uji Chi Square.
Ada hubungan antara pengetahuan diabetes mellitus dengan upaya pencegahan
pada lansia di Desa Lam Bheu Kecamatan Darul Imarah Aceh Besar Tahun 2012.
Berdasar hasil analisis data dapat diketahui bahwa ada hubungan antara
pengetahuan tentang pengertian diabetes mellitus dengan upaya pencegahan pada
lansia dengan p-value 0,001, ada hubungan antara pengetahuan tentang tanda dan
gejala diabetes mellitus dengan upaya pencegahan pada lansia dengan p-
value 0,009, ada hubungan antara pengetahuan tentang faktor resiko diabetes
mellitus dengan upaya pencegahan pada lansia dengan p-value 0,001, ada
hubungan antara pengetahuan tentang pencegahan diabetes mellitus dengan upaya
pencegahan pada lansia di Desa Lam Bheu Kecamatan Darul Imarah Aceh Besar
Tahun 2012 dengan p-value 0,009. Berdasarkan hasil penelitian diharapkan pada
lansia agar tetap meningkatkan upaya pencegahan diabetes mellitus.
Kata kunci: pengetahuan, diabetes mellitus, upaya, pencegahan dan lansia.
 
ABSTRACT
The increasing prevalence of diabetic mellitus in developing countries due to
increasing affluence in that country which influenced by many factors including
the increase of per capita income and lifestyle changes. This study aimed to know
the relationship between diabetic mellitus knowledge with the prevention of the
elderly in Lam Bheu village Darul Imarah districts of Aceh Besar. The population
of this study is all of the elderly who did not suffer from diabetic mellitus in Lam
Bheu village Darul Imarah districs of Aceh Besar as much as 797 elderly, the
purposive sampling technique was used with a total sample of 89 elderly. The
data was collected by interview using a questionnaire in the form of dichotomous
choice scale consists of 31 items. Bivariate data analysis was used Chi Square
test. There is relationship between knowledge and the prevention of diabetic
mellitus of the elderly in Lam Bheu village Darul Imarah districts of Aceh Besar,
2012. Based on data analysis, it found that there is a relationship between
knowledge about definition of diabetic mellitus with the prevention among elderly
with p-value 0.0001, there is a relationship between knowledge about the sign
and symptom of diabetic mellitus with the prevention among elderly with p-value
0.009, there is a relationship between knowledge about risk factors of diabetic
mellitus and the prevention among elderly with p-value 0.001, there is a
relationship between knowledge about diabetic mellitus prevention with the
prevention among elderly in Lam Bheu village Darul Imarah districts of Aceh
Besar, 2012 with p-value 0.009. Based on the results, it expected for the elderly in
order to keep improving the prevention of diabetic mellitus.

Anda mungkin juga menyukai