Anda di halaman 1dari 41

EVALUSASI KEPATUHAN TERHADAP

IMPLEMENTASICLINICALPATHWAY DENGUEDI PKU


MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA

PROPOSAL TESIS

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan


Untuk Memperoleh Sarjana Strata 2
Program Studi Manajemen Rumah Sakit

Diajukan Oleh :
BUDI KUSUMAH
20141030048

PROGRAM STUDI MANAJEMEN RUMAH SAKIT


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
LEMBAR PERSETUJUAN

EVALUSASI KEPATUHAN TERHADAP IMPLEMENTASI CLINICAL


PATHWAY DENGUEDI PKU MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA

USULAN PENELITIAN

BUDI KUSUMAH
20141030048

Pembimbing I,

…………………………… Tanggal …………………

Pembimbing II,

dr. Ekorini Listiowati., MMR Tanggal …………………

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................i


LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian......................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................9
C. Tujuan Penelitian...................................................................................9
D. Manfaat Penelitian...............................................................................10
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka.....................................................................................12
B. Penelitian yang terdahulu.....................................................................25
C. Kerangka Konsep.................................................................................28
D. Hipotesis..............................................................................................28
BAB IIIMETODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian...........................................................................29
B. Subyek dan Obyek Penelitian..............................................................29
C. Populasi................................................................................................29
D. Waktu Penelitian..................................................................................30
E. Variabel Penelitian...............................................................................30
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian.............................................30
G. Instrumen Penelitian............................................................................31
H. Tahap analisis data...............................................................................32
I. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian...................................................32
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................34

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Era globalisasi menimbulkan banyak masalah-masalah diberbagai

macam aspek kehidupan seperti ekonomi, industri, pertanian,

perdagangan, dan kesehatan. Menurut Stiglitz (2002) bahwa era

globalisasi dipicu oleh tekanan pasar yang dimana dunia (global) adalah

tatanan yang dinamis. Ditambah lagi dengan isu pergolakan antar negara

di dunia, konflik antar-idiologi bangsa dan pemeluk agama. Hal ini

mempengaruhi salah satunya aspek kesehatan yaitu rumah sakit

berkembang menjadi aliran yang disebut sebagai neoliberalisme.

Pandangan neoliberalisme menganggap dunia sebagai pasar besar yang

dapat dimanfaatkan oleh produsen secara efisien.

Masalah kesehatan yang dihadapi oleh rumah sakit saat ini sangat

kompkek, salah satunya tentang tutuntan sengketa medis. Hal ini

diperparah dengan berkembangnya kebebasan media dalam memberi

informasi kepada publik sehingga menimbulkan berbagai opini di

masyarakat yang simpang siur tanpa kejelasan akan kebenaran yang

sebenarnya terjadi. (pdpersi: 2014)

Salah satu faktor yang menyebabkan sengketa medis adalah karna

adanya kesenjangan antara harapan pasien dan keluarganya untuk sembuh

1
2

dari sakit dengan hasil terapi medis. Terkadang hal ini kemudian

menimbulkan praduga bahwa dokter melakukan malapraktik.Misalnya

hasil buruk dari terapi medis atau hasil tidak diharapkan selama dirawat di

rumah sakit (RS) adalah buah dari malpraktik medis atau akibat kelalaian

medis.Kalangan medis berpendapat itu akibat kurangnya pengetahuan di

masyarakat sehingga memicu anggapan bahwa setiap kegagalan praktik

medis adalah malapraktik. (pdpersi: 2014)

Salah satu kasus yang masih hangat diperbincangkan saat ini

adalah kasus yang menimpa rumah sakit siloam terkait kasus masalah

anastesi terhadapt pasien yang mengakibatkan pasien tersebut meninggal.

Dalam investigasi mendalam yang dilakukan oleh kementrian dirjen

kesehatan prof Nila Moloek menjelaskan RS Siloam telah memiliki

standar prosedur operasional dalam penyiapan dan pemberian obat.

Standar itu terbukti telah dilakukan.Temuan itu, kata Dirjen Bina Upaya

Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal Taher, membuat Kemenkes

tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada RS Siloam.Sanksi diberikan kalau

terjadi pelanggaran. (pdpersi: 2015)

Beberapa kasus lain yang menjadi perhatian yang berhubungan

dengan standard operational prosedur adalah kasus yang menimpa dokter

Ayu. Dokter ayu adalah dokter spesialis Obtetri Gynecology yang sedang

mengenyam pendidikan Residensi tahap akhir.Dokter ayu saat itu ditutut

oleh keluarga pasien karena pasien meninggal setelah dilakukan operasi


3

Caesar. Penyebab kematian tersebut diperkirakan karena emboli air

ketuban dimana kejadian tersebut tidak dapat diperkirakan akan terjadi.

Dalam pekembangan kasus tersebut dokter ayu sempat dijahui hukuman

pidana.

Selain itu banyak kasus-kasus lain yang berhubungan dengan SOP

tetapi tidak tercium media.Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia (MKDKI) mencatat, pihaknya menerima sekitar 17 pengaduan

malapraktik kedokteran selama semester I/2010.Sedangkan pada 2009,

MKDKI mendapat 35 laporan pengaduan. Kasus-kasus tersebut ada yang

sudah diproses, dan tengah ditangani ujar Prof Menaldi Rasmin, Ketua

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). (pdpersi: 2013)

Oleh sebab itu pentingnya SOP diberlakukan di setian rumah sakit

karena Seorang dokter atau dokter gigi dapat memeroleh perlindungan

hukum sebagai alasan pembenar melakukan profesinya. Sepanjang mereka

melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan SOP, dan

memenuhi ketentuan dalam pasal 48, pasal 50, pasal 51 ayat 1 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 50 UU No 29 tahun 2004,

pasal 24 ayat 1 jo pasal 27 ayat 1 dan pasal 29 UU No 36 tahun 2009, serta

pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang

Tenaga Kesehatan.Selain sebagai perlindunan terhapat hukun, pentingnya

SOP juga agar mutu pelayanan dapat terpenuhi dengan baik. (pdpersi:

2014)
4

Mutu pelayanan dapat diukur dengan membandingkan persepsi

antara pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang diterima dan

dirasakan oleh konsumen (Kurtin dan Stucky, 2009).Selain itu, mutu

layanan kesehatan dapat diketahui dari kesesuaian layanan dengan standar

pelayanan medis dan pedoman-pedoman pelayanan yang disepakati oleh

sesuai kode etik profesi (Praptiwi, 2009). Indikator mutu layanan

kesehatan jiwa antara lain adalah kepuasan pelanggan, keselamatan pasien,

indikator lama perawatan, waktu remisi rata-rata, tingkat kekambuhan, dan

efektivitas pelayanan. Selain itu, mutu layanan kesehatan dapat diketahui

dengan cara mengukur kesesuaian layanan dengan clinical pathway yang

sudah disepakati (Depkes, 2005; King, 2004).

Implementasi clinical pathway juga menjadi sarana dalam

terwujudnya tujuan akreditasi rumah sakit yakni dalam meningkatkan

keselamatan pasien rumah sakit dan meningkatkan perlindungan bagi

pasien, masyarakat serta sumber daya rumah sakit (Kemenkes, 2012).

Pada era globalisasi seperti sekarang ini rumah sakit dituntut untuk

melaksanakan akreditasi baik secara nasional melalui komite akreditasi

rumah sakit (KARS) maupun standar internasional melalui Join

Commission International (JCI) guna memperbaiki keselamatan dan

kualitas pelayanan.

Alasan lain yang melatarbelakangi implementasi clinical pathway

adalah adanya penerapan sistem Jaminan Keseharan Nasional (JKN) yang


5

telah dilaksanakan sejak januari 2014 oleh badan pengelola jamina

kesehatan (BPJS). Kementrian kesehatan telah menetapkan permenkes

nomor 69 tahun 2013 tentang Sandar Tarif Pelayanan Kesehatan pada

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat

Lanjutan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan akan membayar

kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan sitem kapitasi dan untuk

fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan dengan system pake Indonesia

Based Groups (INA-CBG’s). penerapan tariff INA-CBGs ini menuntut

manajemnen rumah sakit untuk mampu mengefisiensi biaya dan

menoptimalkan pengelolaan keungan rumah sakit, serta melakukan

kendali mutu, kendali biaya dan akses melalu perhitungan biaya pelayanan

(Cost Of care) berdasarkan perhitungan unit cost yang dimilii rumah sakit

(Kemenkes, 2013)

Menyadari pentingnya hal tersebut, kementrian kesehatan juga

menghimbau dalam era pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

yang mengutamakan upaya kendali mutu dan kendali biaya, hendaknya

rumah sakit khusus melakukan penguatan pelayanan dengan

Pemberdayaan Komite Medik dalam penyusunan Panduan Praktek Klinik 

dan Clinical Pathway untuk setiap pelayanan yang diberikan. Selanjutnya,

agar dilakukan pula upaya  mendorong penerapannya oleh setiap klinisi

dengan sungguh-sungguh. Upaya ini dapat memacu rumah sakit untuk

memberikan pelayanan yang bermutu dengan biaya yang

terjangkau.Menkes juga menegaskan bahwa keberhasilan pelaksanaan


6

JKN sangat ditentukan oleh komitmen seluruh sumber daya manusia baik

tenaga kesehatan maupun non-kesehatan yang berada di fasilitas

pelayanan kesehatan tersebut.(Kemen.Kes, 2014).Selain itu, clinical

pathway juga dapat mendukung infrastruktur kesehatan dengan

menyediakan informasi yang relevan, akurat, dan tepat waktu yang

diperlukan untuk memenuhi pemantauan strategis pelayanan pasien dan

outcome. Sehingga dapat memperbaiki outcome klinik pasien (Cox dkk.,

2011)

Variasi dari implementasi clinical pathway dapat terjadi selama

perawatan pasien berlangsung meskipun ada tujuan penting yang

diinginkan dalam proses perawatan. Variasi dapat terjadi dilayanan

kesehatan yang menggunakan clinical pathway dan terdapat adanya variasi

apabila dalam proses perawatan pasien tidak mendapatkan, gagal

menerima pengobatan, dan /atau adanya kebutuhan untuk tambahan

intervensi dari rencana pengobatan yang telah tersedia atau yang telah

disesuaikan dengan clinical pathway (Cheah, 2000)

Pengumpulan dan analisis informasi dari variasi pelaksanaan

clinical pathway penting untuk dilakukan. Analisis variasi dapat

memberikan informasi yang bermanfaat dan akurat dalam perawatan

pasien dan mendorong anggota tim multidisipner di dalam layanan

kesehatan yang terdiri atas praktisi kesehatan mematuhi pedoman dan

standar yang ditetapkan dalam clinical pathway. Analisa variasi


7

pelaksanaan clinical pathway dapat dijadikan alat untuk mengevaluasi

aspek perawatan pasien dan memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan

yang dapat dilakukan secara kontinyu untuk mencerminkan perawatan

yang terbaik pada saat ini (Cheah, 2000)

Rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II telah

memiliki clinical pathway. Pertimbangan pembuatan clinical di rumah

sakit PKU Muhammadiyah Unit II sendiri berdasarkan atas Hight Volume,

Hight Risk, Hight Cost, Problem Pron. PKU sendiri menetapkan 5

prioritas penetapan kasus berdasarkan urutan yaitu, penyakit dalam, anak,

saraf, obsgyn,bedah.

Dengue sendir di rumah sakit PKU Muhammadiyah termasuk

dalam 10 besar penyakit pada anak dan menempati urutan ke empat pada

penyakit anak, urutan tertinngi sendiri ditempati oleh bronchitis akut,

bertutur-turut nasopharingitis akut, dan diare. Penetapan clinical pathway

dengue sendiri di RS PKU berdasarkan pertimbangan yaitu dari segi Hight

risk.

Dengue sendiri masih menjadi masalah di Negara yang berada

diwilayah tropis maupun sub tropis. Demam berdarah termasuk dalam

penyakit menular yang disebabkan karena infeksi virus dengue yang

termasuk kelompok B Arthropod Bone Virus (Arboviroses), melalui

gigitan nyamuk aedes aegypty ke manusia (Kemenkes RI, 2010).


8

Perkembangan kasus DBD di tingkat global semakin meningkat,

seperti dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni dari 908

kasus di hamper 10 negara tahun 1955-1959 menjadi 1.016.612 kasus di

hamper 60 negara tahun 2000-2009. Di Indonesia, kasus DBD meningkat

sejak tahun 1968, dari 58 kasus menjadi 155.777 kasus tahun 2010

dengan total kematian 1.358 orang, rata-rata tingkat kejadian nasional

65,57 per 100.000 penduduk, sehingga Indonesia menduduki urutan

tertingi kasuh demam berdarah di Negara-negara asia tenggara (ASEAN).

Tingginya kasus demam berdarah di Indonesia mempunyai potensi

penyebaran demam berdarah di antara Negara-negara ASEAN denga

cukup tinggi, meningkatkan mobilitas penduduk khususnya banyak

wisatawan keluar masuk dari suatu Negara ke Negara lain (Kemenkes RI,

2007)

Kabupaten sleman menempati urutan kedua kasus demam

berdarah setelah kota Yogyakarta dan di urutan ketiga Kabupaten Bantul.

rumah sakit PKU Muhammadiah sendiri berokasi di atara perbatasan

kabupaten seleman dan kabupaten bantul, fakta ini menunjukan bahwa

Rumah Sakit PKU Muhammadiah Unit II sebagai rumah sakit rujukan

untuk kasus demam berdarah. Maka dari itu implementasi clinical

pathway denguesangatlah diperlukan dan dipatuhi oleh setiap dokter,

perawat ataupun tenaga medis di rumah sakit tersebut.


9

Seiring perjalanan pelayanan yang diberikan PKU

Muhammadiyah Yogyakarta unit II perlunya monitoring dan evaluasi

terhadap implemnetasi clinical pathway yang sudah dijalankan yaitu

dengue. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian ini agar selalu

terciptanya pelayanan yang prima dengan biaya yang efisien di rumah

sakit PKU Muhammadiah Unit II.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah implementasi clinical pathway di RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta sudah berjalan dengan baik?

2. Bagaimana Kepatuhan tenaga medis yang terkait dengan clinical

pathway dengue di RS PKU Muhammayiah Yogyakarta Unit II

3. Apakah kendala yang dihadapi oleh tenaga medis dalam penerapan

implementasi clinical pathway di RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta Unit II?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

a. Untuk mengevaluasi penerapan clinical pathway dengue di PKU

Muhammadiyah Yogyakarta Unit II


10

b. Untuk melihat bahwa penerapan clinical pathway dengue

menjadikan kendali mutu dan kendali biaya

2. Tujuan Khusus

a. Untuk menganalisis kesesuain oleh tenaga medis yang berkaitan

dengan berjalannya clinical pathway Dengue PKU Muhammadiyah

Yogyakarta Unit II

b. Untuk melihat kepatuhan dokter, perawat, dan tenagan medis

lainnya terhadap penerapan clinical pathway

D. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian tentang penelitian ini, diharapkan ada manfaat

yang dapat diambil bagi semua pihak. Manfaat yang dapat diambil antara

lain:

1. Aspek Teoritis

a. Sebagai bahan literatur evaluasi dalam memberikan layanan

kesehatan yang bermutu dan efisien.

b. Hasil penelitian bisa menambah referensi dalam dunia

pendidikan manajemen rumah sakit khususnya clinical pathway.

c. sebagai informasi dan bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut

mengenai clinical pathway baik dari kepatuhan tenaga medis

maupun isi dari clinical pathway sendiri yang akan datang.

2. Aspek Praktis.

a. Bagi Rumah Sakit


11

Bagi rumah sakit dapat meningkatkan pelayanan yang diberikan

khususnya dengue dengan mengetahui kekurangan dan

kelebihan pada alur clinical pathway dengue.

b. Bagi dokter dan tenaga medis

Sebagai evaluasi terhadap performa dokter dan tenaga medis

yang terkait agar mampu menyesuaikan clinical pathway

sehingga terciptanya pelayanan prima.

c. Bagi institusi pendidikan

Suatu pembelajaran pada mahasiswa Magister Manejemen

Rumah Sakit terhadap standarisasi Clinical Pathway agar

terciptanya pelayanan kendali mutu dan kendali biaya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Kepatuhan

Kata kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti taat,

suka menurut dan disiplin terhadap perintah, aturan dan sebagainya

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995). Disiplin adalah ketaatan

dan kesetian seseorang atau sekelompok orang pada peraturan-

peraturan, norma-norma, instruksi dan laion-lain yang dinyatakan

berlaku untuk orang atau kelompok ( Sukardi, 1998).

Menurut Hasibuan (2002), kepatuhan adalah kesadaran dan

kesediaan seseorang untuk mentaati semua peraturan-peraturan dan

norma sosial yang berlaku. Kesadaran adalah sikap seseorang yang

secara sukarela mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan

tanggung jawabnya tanpa paksaan. Kesedian adalah suatu sikap,

tingkah laku dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan

peraturan perusahaan baik yang tertulis maupun tidak. Seseorang

akan bersedia mematuhi semua peraturan serta melaksanakan

tugas-tugasnya baik secara sukarela maupun terpaksa.

Menurut Gilies (1994), dari sudut pandang karyawan,

kepatuhan atau disiplin adalah suatu bentuk kontrol diri melalui

12
13

tindakan individu agar sesuai dengan peraturan dan norma yang

berlaku disuatu lembaga atau organisasi. Syarat mutlak agar

kepatuhan dapat berjalan efektif adalah adanya kesadaran

karyawan terhadap peraturan-peraturan yang mengatur tingkah

laku karyawan. Peraturan sebaiknya ditulis dalam bahasa yang

jelas dan disosialisasikan ke karyawan untuk membentuk

internalisasi pada karyawan sehingga membantu perkembangan

disiplin dapat berjalan dengan efektif yaitu karyawan harus tau

adanya peraturan dan memahami dengan baik.

Menurut Sarwono (1997), perubahan sikap dan perilaku

individu dimulai dengan tahap identifikasi menjadi internalisasi,

bentuk internalisasi ini biasanya berupa kepatuhan. Kepatuhan

dimulai dengan mula-mula individu memathui anjuran/instruksi

dari tokoh yang menganjurkan. Kepatuhan individu berdasarkan

rasa keterpaksaan dapat disusul dengan kepatuhan demi menjaga

hubungan baik dengan individu yang menganjurkan perubahan.

Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau

mengagumi tokoh tersebut dan proses ini disebut identifikasi.

Perubahan perilaku dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut

terjadi melalui proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu

dianggap bernilai positif bagi diri individu tersebut.

2. Clinical Pathway
14

Definisi clinical pathway menurut Firmanda (2005) adalah

suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum

setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar

pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti

dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama

di rumah sakit. Ada definisi lainnya, yaitu menurut Marelli (2000)

Clinical pathway merupakan pedoman kolaboratif untuk merawat

pasien yang berfokus pada diagnosis, masalah klinis dan tahapan

pelayanan. Clinical pathway menggabungkan standar asuhan setiap

tenaga kesehatan secara sistematik. Tindakan yang diberikan

diseragamkan dalam suatu standar asuhan, namun tetap

memperhatikan aspek individu dari pasien.

Clinical pathway adalah alur yang menunjukkan secara

detail tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil

yang diharapkan. Secara sederhana dapat dibilang bahwa clinical

pathwayadalah sebuah alur yang menggambarkan proses mulai

saat penerimaan pasien hingga pemulangan pasien. Clinical

pathway  menyediakan standar pelayanan minimal dan memastikan

bahwa pelayanan tersebut tidak terlupakan dan dilaksanakan tepat

waktu. Clinical pathway memiliki banyak nama lain

seperti: Critical care pathway, Integrated care pathway,

Coordinated care pathway, Caremaps atauAnticipated recovery

pathway(Firmanda D, 2005).
15

Tujuan clinical pathway antara lain mengurangi variasi

dalam pelayanan, cost lebih mudah diprediksi, pelayanan lebih

terstandarisasi, meningkatkan kualitas pelayanan(guality of care),

meningkatkan prosedur costing, meningkatkan kualitas dari

informasiyang telah dikumpulkan dan sebagai (counter-check)

terutama pada kasus-kasus (highcost, high volume).

Menurut Yulia yasman (2012), Berdasarkan hasil sejumlah

studi terkait manfaat clinical pathway, antara lain seperti

konsistensi praktek lebih besar, kontinuitas peningkatan pelayanan,

pemantauan standar perawatan, dokumentasi yang baik, pelaksanan

evidence-based best practice, meningkatkan kerjasama tim,

mengurangi duplikasi, perbaikan manajemen resiko, dan

pemberian perawatan berfokus pada pasien. Selain itu, clinical

pathway dapat mendukung infrastruktur kesehatan dengan

menyediakan informasi yang relevan, akurat, dan tepat waktu yang

diperlukan untuk memenuhi pemantauan strategis pelayanan

pasien dan outcome.Pemilihan terapi yang bertujuan untuk

menghindari variasi dalam terapi sehingga dapat memperbaiki

outcome klinik pasien (Cox dkk., 2011)

Rumah sakit harus memiliki cinical pathway pada tiap ilmu

bagian, hal ini juga ditekankan oleh KARS, yaitu setiap rumah

sakit mewajibkan memiliki lima clinical pathway setiap akan di


16

akreditasi. Hal tersebut akan memicu pihak rumah sakit untuk

membuat clinical pathway dan menerapkannya. Namun kenyataan

tidak demikian, karena masih ada beberapa tenaga medis yang

masih tidak mematuhi alur clinical pathway yang sudah disahkan

oleh rumah sakit. Hal ini tentunya perlu di awasi agar tetap

menjaga kestabilan rumah sakit dalam memberikan pelayanan

kesehatan pada masyarakat. Maka dari itu diperlukan suatu

evaluasi yang berkala untuk menentukan bahwa clinical pathway

sudah sesuai dengan apa yang diharapkan atau memiliki kendala

yang tentunya perlu dibahas bersama dari pihak pemberi layanan

medis dengan manajemen rumah sakit.

Firmanda (2005) mengatakan bahwa prinsip dalam dalam

penyusunan clinical pathway, memenuhi beberapa hal mendasar,

seperti:

a. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara

integrasi dan berorientasi fokus terhadap pasien serta

berkesinambungan.

b. Melibatkan seluruh profesi yang terlibat dalam pelayanan

rumah sakit terhadap pasien.

c. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan

keadaan perjalanan penyakit pasien dan dicatat dalam


17

bentuk periode harian untuk kasus rawat inap atau jam

untuk kasus kegawatdaruratan.

d. Mencatat seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan

kepada pasien secara terintegrasi dan berkesinambungan ke

dalam dokumen rekam medis.

e. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan clinical

pathway dicatat sebagai varians dan dilakukan kajian

analisis dalam bentuk audit.

f. Varians tersebut dapat karena kondisi perjalanan penyakit,

penyakit penyerta atau komplikasi maupun kesalahan

medis.

g. Varians tersebut dipergunakan sebagai salah satu parameter

dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu

pelayanan.

Feuth dan Claes (2008) mengemukakan bahwa ada 4

komponen utama clinical pathway, yaitu meliputi: kerangka waktu,

kategori asuhan, kriteria hasil dan pencatatan varian. Kerangka

waktu menggambarkan tahapan berdasarkan pada hari perawatan

atau berdasarkan tahapan pelayanan seperti: fase pre-operasi,

intraoperasi dan pasca-operasi. Kategori asuhan berisi aktivitas

yang menggambarkan asuhan seluruh tim kesehatan yang


18

diberikan kepada pasien. Aktivitas dikelompokkan berdasarkan

jenis tindakan pada jangka waktu tertentu. Kriteria hasil memuat

hasil yang diharapkan dari standar asuhan yang diberikan, meliputi

kriteria jangka panjang yaitu menggambarkan kriteria hasil dari

keseluruhan asuhan dan jangka pendek, yaitu menggambarkan

kriteria hasil pada setiap tahapan pelayanan pada jangka waktu

tertentu. Lembaran varian mencatat dan menganalisis deviasi dari

standar yang ditetapkan dalam clinical pathway. Kondisi pasien

yang tidak sesuaidengan standar asuhan atau standar yang tidak

bisa dilakukan dicatat dalam lembar varian.

Langkah-langkah penyusunan format clinical pathway memenuhi

hal-hal sebagai berikut:

a. Komponen yang mencakup definisi dari clinical pathway.

b. Memanfaatkan data yang ada di lapangan rumah sakit dan

kondisi setempat yaitu data laporan morbiditas pasien yang

dibuat setiap rumah sakit berdasarkan buku petunjuk

pengisian, pengolahan dan penyajian data rumah sakit dan

sensus harian untuk penetapan topik clinical pathway yang

akan dibuat dan lama hari rawat.

c. Variabel tindakan dan obat-obatan mengacu kepada standar

pelayanan medis, standar prosedur operasional dan daftar

standar formularium yang telah ada di rumah sakit.


19

Variasi dari implementasi clinical pathway dapat terjadi

selama perawatan pasien berlangsung meskipun ada tujuan penting

yang diinginkan dalam proses perawatan. Variasi dapat terjadi

dilayanan kesehatan yang menggunakan clinical pathway dan

terdapat adanya variasi apabila dalam proses perawatan pasien

tidak mendapatkan, gagal menerima pengobatan, dan /atau adanya

kebutuhan untuk tambahan intervensi dari rencana pengobatan

yang telah tersedia atau yang telah disesuaikan dengan clinical

pathway (Cheah, 2000)

3. Dengue hemoragic fever

a. Pengertian

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau demam berdarah dengue

adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan

ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti(Nursalam, 2008 : 159).

b. Epidemologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara,

Pasifik Barat, dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis

dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Penularan infeksi virus

dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. aegypti,

A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan

sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk

betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan

tempat penampungan air).


20

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus

dengue yaitu : vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit,

kepadatan vektor lingkungan, transportasi vektor satu dengan lainnya ;

pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan keluarga, mobilisasi dan

paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin ; lingkungan : curah

hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk(Sudoyo, 2007 : 1709).

c. Patofisiologi

Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes

aegypty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah

kompleks virus-antibody. Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk

ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita

mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh

tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia

tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran

kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran

limpa (Splenomegali).

Dalam sirkulasi, virus akan mengaktivasi system komplemen,

akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang

berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat

sebagai factormeningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan

menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu. Terjadinya

trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor

koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab

terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan saluran gastrointestinal


21

pada DHF.Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya

permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,

terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diathesis hemorrhagic, renjatan

terjadi secara akut.Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan

hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.Hilangnya

plasma klien mengalami hipovolemik.Apabila tidak diatasi bisa terjadi

anoxia jaringan, acidosis metabolic dan kematian.

d. Klasifikasi

Klasifikasi DHF berdasarkan derajat ringannya penyakit, dapat dibagi

menjadi 4 tingkat yaitu :

1) Derajat I : Panas 2-7 hari, gejala umum tidak khas, uji torniquet

hasilnya positif, hanya terdapat manifestasi perdarahan

2) Derajat II: Sama dengan derajat I ditambah dengan gejala-gejala

perdarahan spontan seperti petekia, ekimosa, epimosa, epistaksis,

hematemesis melena, perdarahan gusi, telinga dan lain-lain.

3) Derajat III: Ditemukan kegagalan sirkulasi darah dengan adanya

nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<20 mmHg) atau

hipotensi dan disertai kulit yang dingin dan lembab, gelisah.

4) Derajat IV: (DSS)Renjatan berat dengan nadi tidak teraba dan

tekanan darah yang tidak teratur, kulit tampak biru dan

berkeringat(WHO, 1999 : 17-24).

e. Gejala Klinis
22

Demam tinggi yang timbul secara mendadak tanpa sebab yang

jelas disertai dengan keluhan lemah, lesu, nafsu makan berkurang,

muntah, nyeri pada anggota badan, punggung, sendi, kepala dan

perut.Gejala menyerupai influenza biasa. Ini berlangsung selama 2-7 hari

1) Hari ke 2 dan 3, timbul demam. Uji tourniquet positif karena terjadi

perdarahan di bawah kulit (peteki, ekimosis) dan di tempat lain seperti

epistaksis, perdarahan gusi, hematemisis akibat perdarahan dalam

lambung, melena dan juga hematuria massif

2) Antara hari ke 3 dan ke 7 syok terjadi saat demam menurun. Terdapat

tanda kegagalan sirkulasi (renjatan), kulit teraba dingin dan lembab

terutama pada ujung jari tangan dan kaki, nadi cepat dan lemah sampai

tak teraba, takanan darah menurun, gelisah, capillary refill lebih dari 2

detik.

3) Hepatomegali(pembesaran hati) pada umumnya dapat ditemukan pada

permulaan penyakit, bervariasi dari yang hanya sekedar diraba sampai

2-4 cm dibawah lengkung iga sebelah kanan. Nyeri tekan pada hepar

tampak jelas pada anak besar, ini menandakan telah terjadi perdarahan.

f. Pemeriksaan Fisik

1) Inspeksi: Menggigil, wajah tampak kemerahan, mukosa mulut

kering, perdarahan gusi, tampak bintik merah pada kulit

(petekia), uji torniquet (+), epistaksis, ekimosis, hematoma,

hiperemia pada tenggorokan, nafas dangkal, gelisah, konjungtiva

anemis,
23

2) Palpasi: Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa,

nyeri tekan pada epigastrik,ada renjatan (derajat IV) nadi cepat

dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, sianosis perifer, nyeri

otot, tulang dan sendi

3) Perkusi :Abdomen timpani

4) Auskultasi:Terdengar suara ronchi atau rales yang biasanya

terdengar pada grade III dan IV

g. Pemeriksaan Diagnostik

1) Pemeriksaan laboratorium

Parameter Laboratoris :

a) Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui

limfositosis relatif (>45% dari total leukosit disertai adanya limfosit

plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase

syok akan meningkat

b) Trombosit : umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3 – ke

8.

c) Hematokrit : kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya

peningkatan hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya

dimulai pada hari ke 3 demam.

d) Protein/albumin : dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran

plasma
24

e) SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase) : dapat meningkat

f) Ureum/kreatinin : bila didapatkan gangguan fungsi ginjal

g) Elektrolit : sebagai parameter pemantauan pemberian cairan

h) Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) :bila akan

diberikan transfusi darah atau komponen darah

i) Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue

(2) IgM : terdeteksi mulai hari ke 3 – 5, meningkat sampai minggu ke

3, menghilang setelah 60 – 90 hari.

(2) IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14,

pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke 2

Uji serologi HI (Haemaglutination inhibiting antibody) : dilakukan

pengambilan hari I serta saat pulang dari perawatan. Uji ini

digunakan untuk kepentingan surveilans(Sudoyo, 2007 : 1710).

2) Pemeriksaan Radiologis

Pada foto dada didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks kanan

tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat

dijumpai pada kedua hemotoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada

sebaiknya dalam posisi lateral kanan (pasien tidur pada sisi badan

sebelah kanan). Ascites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan

pemeriksaan USG(Sudoyo, 2007 : 1710).

3) Uji Torniquet
25

Mengembangkan manset tensimeter pada lengan atas sampai air raksa

mencapai pertengahan tekanan sistolik dan diastolic, biarkan selama 5

menit. Pada pemeriksaan terdapat ≥ 20 petekie pada lengan bawah

dengan diameter 2,5 cm (1 inchi) maka dinyatakan hasil

positif(Mansjoer, 2000: 420).

h. Kriteria Diagnosis

Dasar diagnosis DHF (WHO, 1999) yaitu :

1) Klinis

a) Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus

selama 2 – 7 hari.

b) Manifestasi perdarahan: uji tourniquet positif, petekia,

purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,

hematemesis atau melena.

c) Pembesaran hati dengan nyeri tekan, tanpa ikterus.

d) Syok yang ditandai oleh nadi lemah, cepat disertai

tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang),

tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun

sampai 80 mmHg atau kurang), disertai kulit yang teraba

dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari, dan

kaki, pasien menjadi gelisah, timbul sianosis di sekitar

mulut.

2) Laboratorium
26

Trombositopenia (<100.000/µl) dan hemokonsentrasi (nilai

hemokonsentrasi lebih 20% dari normal)Dua gejala klinis pertama

ditambah satu gejala laboratorium cukup untuk menegakkan diagnosis

kerja DBD(Mansjoer, 2000 : 421).

B. Penelitian yang terdahulu

Penelitian tentang evaluasi clinical pathway stroke iskemik di RS

PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II belum pernah dilakukan

sebelumnya penelitian serupa telah dilakukan oleh

1. Hyam R. Tantawi, et all (2015) dengan judul Clinical pathway versus

Traditional Care Plan method for Caring of Postoperative Children

UndergoingCardio thoracic Surgery. pada penelitian ini peneliti

membandingkan pasien anak dengan operasi cardio toraks yang

dimana membanding antara kelompok pasien yang menggunakan

clinical pathway dengan kelompok kontrol. Didapatkan hasil bahwa

perawat yang sebelumnya diterapkan clinical pathway memiliki

pengatuhan dan kinerja yang rendah menjadi lebih baik secara

pengetahuan maupun performanya setelah clinical pathway

diterapkan. Pasien yang telah mendapatkan layanan setelah penerpan

clinical pathway lebih senang dan puas. Perbedaan penelitian ini

terletak pada metode penelitian yang pada penelitian ini menggunakan

quasi experimental yang dilakukan secara prospektif. Persamaan

adalah untuk mengetahui evaluasi clinical pathway.


27

2. Peter A van Dam1*, (2013) yang berjudul A dynamic clinical pathway

for the treatment ofpatients with early breast cancer is a tool forbetter

cancer care: implementation andprospective analysis between 2002–

2010. Pada penelitian ini dilakukan secara prospektif dari tahun 2002-

2010 pada pasien dengan diagnosis dini kanker payudara. Penanganan

pasien dengan clinical pahway ini memberikan screning yang lebih

baik pada pasien yang perkembangan penyakitnya dilakukan operasi.

Perbedaan dari penelitian ini adalah dari metode menggunakan

prospektif dari 2002-2010 dan menggunakan indikator seperti

indikator pelayanan, tim, proses dan keuangan. Fungsi clinical

pathway pada penelitian ini untuk screening kanker payudara.

Persamaan mengevaluasi implementasi clinical pathway.

3. Tobias Romeyke (2012) dengan judul High quality at low cost—how

can a clinical pathway contribute towards reconciling this apparent

contradiction. Pada penelitian ini meneliti tentang pasien dengan nyeri

muskuloskeletal yang sudah didiagnosis berdasarkan DRG’s. Pada

palayanan yang diberikan menggunakan clinical pathway yang

dimana didapatkan bahwa pasien lebih dekat dan lebih diperhatikan

oleh dokter, perawat, dan tenaga medis lain sehingga mendapatkan

kualitas yang baik bagi pasien namun dengan biaya yang rendah.

Perbedaanya pada penelitian ini menghitung angka LOS, keuangan,

dan wawancara pada konsumen terhadap kepuasaan setelah penetapan

clinical pathway.
28

4. Rizaldy Pinzon dkk (2009) yang berjudul Clinical pathway in Acute

Stroke : Do the Pathway Works. Pada penelitian ini membandingkan

perawatan pada pasien stroke akut yang ditangani clinical pathway

dengan yang tidak menggunakan clinical pathway yang ditinjau

melalui catatan rekam medis di RS Bethesda Yogyakarta. Data

diperoleh dari 50 pasien stroke setelah pemberlakuan uji coba clinical

pathway stroke. Data dibandingkan dengan pasien stroke pada

periode yang sama tahun sebelumnya. Hasil analisis menunjukkan

bahwa ada perbaikan dalam hal pelacakan faktor risiko stroke,

penilaian fungsi menelan, konsultasi gizi, dan pengukuran status

fungsional. Tidak ada beda bermakna dalam hal lama rawat inap dan

mortalitas di antara dua periode pengamatan. Penelitian ini

menunjukkan bahwa pemberlakuan clinical pathway memperbaiki

proses pelayanan stroke. Perbedaan pada penelitian ini

membandingkan sebelum dan sesudah penetapan clinical pathway.

Persamaannya adalah menggunakan rekam medis dengan periode

waktu dan jumlah sample yang sama dengan penelitian ini.

5. Victoria Solia Aledo (2008) yang berjudul Evaluation and Monitoring

of the Clinical pathway for Thiroidectomy. Pada penelitian ini yaitu

mengevaluasi implementasi clinical pathway pada thiroidektomi yang

dimana mendapatkan hasil bahwa mengurangi variasi dari tindakan

yang diberikan dan menurunkan Leng of Stay (LOS) dari rumah sakit

bila dibandingkan dengan sebelum implementasi clinical pathway.


29

Perbedaanya adalah membandingkan dengan periode waktu sebelum

dan sesudah penetapan clinical pathway. Persamaannya adalah sama-

sama menggunakan rekam medis untuk mengevaluasi implementasi

clinical pathway.

C. Kerangka Konsep

PPK Clinical Pathway Audit Clinical Pathway

Hasil
Rekomendasi Analisis Patuh
Tidak Patuh

D. Hipotesis

Tenaga medis di PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II sudah

mematuhi clinical pathway pasien dengueyang sudah ditetapkan rumah

sakit.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, rancangan ini dipilih

untuk menggali secara mendalam mengenai penerapan clinica pathway

pada pasien dengue. Metode penelitian kualitatif untuk mengetahui

gambaran kepatuhan dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya terhadap

implementasi dari clinical pathway dengue di RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta Unit II.

B. Subyek dan Obyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah dokter, perawat, dan tenaga medis

lainnya yang mengisi dan memiliki wewenang terhadap dokumen rekam

medis pasien. Obyek penelitian ini semua pasien dengan riwayat

diagnosis dengue pada bulan September 2015 – November 2015 di RS

PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.

C. Populasi

Populasi obyek dalam penelitian ini adalah semua rekam medis

dengan pasien diagnosis dengue pada bulan September 2015-November

2015 yang diisi oleh dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya yang yang

dirawat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Populasi subyek dalam

penelitian ini adalah dokter penanggung jawab pasien, perawat, dan tenaga

29
30

medis lainnya yang terlibat dalam pengisian dokumen rekam medis pada

pasien riwayat diagnosis dengue pada bulan September 2015-November

2015 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.

D. Waktu Penelitian

No Kegiatan Bulan

12/15 1/16 2/16 3/16 4/16 5/16 6/16 7/16

1 Penyusunan
proposal

2 Bimbinan
proposal

3 Ujian
proposal

4 Pengambilan
data

5 Bimbingan
hasil
penelitian

6 Sidang hasil
penelitian

7 Revisi hasil
siding

8 Ujian tesis

E. Variabel Penelitian

1. Variabel Dependent (Variabel yang dipengaruhi): Dokter, perawat, dan

tenaga medis lainnya.


31

2. Variabel Independent (Variabel yang mempengaruhi): Dokumen

Clinical Pathway pasien Dengue pada bulan September 2015 –

November 2015

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Clinical Pathways (CP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan

terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien

berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang

berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu

tertentu selama di rumah sakit.

2. Rekam medis adalah suatu keterang baik tertulis terekam tentang

identitas, anamnesa, pemeriksaan fisik, labolatorium, diagnosis, dan

segala pelayanan terapi ataupun tindakan medis yang diberikan kepada

pasien

G. Instrumen Penelitian

1. Lembar wawancara adalah berisis pertanyaan terbuka dan tertutup

yang diajukan oleh moderator pada subjek penelitian pada saat

wawancara mendalam ataupun pada saat fokus group discussion

2. Alat perekam adalah suatu alat untuk mendokumentasikan

pertanyaan dan penyataan serta argumen, pendapat, dan lain lain

yang dilakukan pada saat wawancara atau focus group discussion


32

3. Lembar ringkasan data audit adalah suatu lembar untuk mengukur

kelengkapan dan kepatuhan terhadap clinical pathway yang

mempunyai nilai sebagai berikut:

a. 1 = Memenuhi Unsur

b. 2 = Memenuhi Perkecualian

c. 3 = Deviasi

d. 4 = Komplikasi Memenuhi Manajemen Komplikasi

e. 5 = Komplikasi Tidak memenuhi Manajemen Komplikasi

H. Tahap analisis data

1. Pengambilan data dari rekam medis

2. Menyesuaikan penatalaksanaan pasien di rekam medis dengan clinical

pathway dan mengevaluasinya ke dalam lembar ringkasan data audit.

3. Mengatur data yang diperoleh dari hasil penelitian kedalam bentuk

tabel untuk mempermudah dalam melakukan analisis data.

4. Melakukan wawancara untuk dokter dan focus group discusion dengan

perawatdan tenaga medis lainnya.

5. Pengolahan data dengan menggunakan softweare olah data


33

6. Melakukan evaluasi bersama dengan dokter penanggung jawab,

keperawatan, dan tenaga medis lainnya beserta pihak-pihak yang

terkait di rumah sakit.

7. Melakukan intepretasi terhadap hasil analisia data yang telah

dilakukan.

I. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian

1. Kesulitan Penelitian

a. Dalam melakukan evaluasi kesulitan dalam kelengkapan staf yang

terkait dengan alur clinical pathway yang menyebabkan kurang

kerja sama pada saat pembenahan kinerja di lapangan.

b. Kesulitan dalam pengumpulan data karena tidak semua

penatalaksanaan ditulis secara lengkap oleh dokter di rekam medis.

c. Kesulitan dalam melakukan FGD kaerana mengingat variasi jam

kerja dari setiap tenaga medis

d. Kesulitan dalam pengumpulan data pada saat focus grup disscusion

karena masih terdapat kesenjangan jarak dari setiap tenaga medis.

misalnyaperawat junior cenderung mengikuti pendandapat perawat

senior yang mungkin lebih lama bekerja di Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah unit II begitu juga dengan tenaga medis lainnya.

2. Kelemahan Penelitian

a. Jumlah populasi yang diteliti masih dalam batas minimum


34

b. Tidak secara signifikan menunjukkan kepatuhan dokter dan

perawat karena berkaitan dengan alur clinical pathway.


DAFTAR PUSTAKA

Cheah, J., 2000. Clinical pathway—an evaluation of its impact on the quality of
care in an acute care general hospital in Singapore. Singapore medical
Journal, 41 : 335-346

Cox, H., Lloyd, K., Williams, H., Arkwright, P.d., Brown, T., Clark, C., dkk.,
2011. Emollients, education and quality of life: the RCPCH care pathway
for children with eczema. Archives of Disease in Childhood. 96 Suppl 2:
il9-24.

Gilies, D,A. (1994). Nursing Management, Third Edition.Philadelphia : Saunder


Company.

Hasibuan, M. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Edisi Revisi


Bumi Askara.

http://www.depkes.go.id/article/view/201409100001/menkes-kunjungi-3-rumah-
sakit-khusus-vertikal-terbesar-di-indonesia.html#sthash.nRyJS7ch.dpuf

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf

Kemenkes, 2013, PMK No.69 tahun 2013 tentang sandar tariff pelayanan
kesehatan dan fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan
tingkat lanjutan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan
nasional

Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3.Jakarta : Media


Aesculapius

34
35

Nanda.2005.PanduanDiagnosa Keperawatan Nanda Definisi dan Klasifikasi


2005-2006.Editor : Budi Sentosa.Jakarta:Prima Medika

Nursalam, dkk.2008.Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak.Jakarta : Salemba


Medika

Pdpersi .2013.diakses dari: http://www.pdpersi.co.id/content/news.php?


mid=5&catid=23&nid=205

Pdpersi 2014.Diakses dari :http://www.pdpersi.co.id/content/search.php?


qsearch=malapraktik&submit=Search

Pdpersi.2015.Diakses dari :http://www.pdpersi.co.id/content/news.php?


mid=5&catid=23&nid=1893

Permenkes RI No 28 tahun 2014 tentang Petunjuk Tehnis Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial. Jakarta : Kemenkes RI.

Sarwono, S. (1997). Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep dan Aplikasinya.


Yogyakarta Gama University prees.

Stiglitz, JE. (2002). Globalization and its Discontents.WW. Norton Company.


New York, London.

Sudoyo, Aru, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Departemen
Penyakit Dalam FK UI

WHO. 1999. Demam Berdarah Dengue : Diagnostik, Pengobatan, dan


Pengendalian. Ed. 2. Jakarta : EGC

Yasman, Yulia. 2012.Penerapan Intergrated Care Pathways (ICP) Sebagai


Bagian Sistem Informasi Manajemen Keperawatan di Rumah Sakit
.jakarta: UI
36

Anda mungkin juga menyukai