Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

FRAKTUR TIBIA PLATEU

Oleh

dr. Dea Emmanuel

Pembimbing

Prof. Dr.dr. Putu Astawa, SpOT(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

PROGRAM STUDI ILMU BEDAH

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan
Laporan Kasus yang merupakan salah satu tugas dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah FK
Unud/RSUP Sanglah Denpasar. Laporan Kasus ini membahas tentang Fraktur Tibia Plateu.

Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memperdalam wawasan tentang open
fracture serta melatih kemampuan membuat tulisan ilmiah dan prasyarat dalam mengikuti pendidikan
bedah lanjut II di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada

1. dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B(K) Trauma sebagai Ketua Program Studi Ilmu Bedah FK
Unud/RSUP Sanglah yang telah memberikan motivasinya.
2. Prof. Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT (K)sebagai pembimbing yang telah dengan tulus
memberikan saran dan masukan baik akademik maupun moril sampai laporan kasus ini
dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, baik dari
segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu dengan segala keredahan hati penulis
menerima saran dan kritik untuk perbaikan laporan kasus ini

Denpasar, 20 Mei 2019

Dea Emmanuel
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 2

BAB III LAPORAN KASUS ........................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 27


FRAKTUR TIBIAL PLATEAU

1. Definisi
Fraktur adalah hilanganya kontinuitias tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial1.

2. Proses Terjadinya Fraktur


Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita harus
mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah.
Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan tekanan memutar
(shearing). Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama
tekanan membengkok, memutar, dan tarikan1.
Trauma bisa bersifat1 :
 Trauma langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan
jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
 Trauma tidak langsung. Disebut trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke
daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap
utuh.
Tekanan pada tulang dapat berupa 1 :
 Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik
 Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
 Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau
fraktur dislokasi
 Kompresi vertical dapat menyebabkan fraktur komunitif atay memecah misalnya pada
badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak
 Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan menyebabkan
fraktur oblik atau fraktur Z
 Fraktur oleh karena remuk
 Trauma karena tarikan pada ligament atau tendo akan menarik sebagian tulang

Gambar 1. Mekanisme Trauma


(a) berputar (b) kompresi (c) fragmen triangular butterfly (d) tension
(dikutip dari kepustakaan 2)

3. Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologis, klinis, dan radiologis.
Klasifikasi Etiologis1
 Fraktur traumatik. Terjadi karena trauma yang tiba-tiba
 Fraktur patologis. Terjadi kerana kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis
di dalam tulang
 Fraktur stress. Terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat
tertentu
Klasifikasi Klinis1
 Fraktur tertutup (simple fraktur). Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak
mempunyai hubungan dengan dunia luar.
 Fraktur terbuka (compound fracture). Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai
hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk
from within (dari dalam) atau from without (dari luar)
 Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture). Fraktur dengan komplikasi adalah
fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya malunion, delayed union, nonunion,
infeksi tulang.
Klasifikasi Radiologis1
1. Berdasarkan lokalisasi :
 Diafisal
 Metafisal
 Intra-artikuler
 Fraktur dengan dislokasi
2. Berdasarkan konfigurasi :
 Fraktur transversal
 Fraktur oblik
 Fraktur spiral
 Fraktur Z
 Fraktur segmental
 Fraktus komunitif, fraktur lebih dari dua fragmen
 Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi
 Fraktur avulse, fragmen kecil oleh otot atau tendo misalnya fraktur epikondilus
humeri
 Fraktur depresi, karena trauma langsung
 Fraktur impaksi
 Fraktur pecah (burst) dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah misalnya pada
fraktur vertebra, patella, talus, kalkaneus
 Fraktur epifisis
3. Menurut ekstensi
 Fraktur total
 Fraktur tidak total
 Fraktur buckle
 Fraktur garis rambut
 Fraktur green stick
4. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya
 Tidak bergeser (undisplaced)
 Bergeser (displaced)
Bergeser dapat terjadi dalam 6 cara :
 Bersampingan
 Angulasi
 Rotasi
 Distraksi
 Over-riding
 Impaksi

Gambar 2. Klasifikasi Fraktur


(dikutip dari kepustakaan 2)
4. Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase yaitu 1 :
1. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah fraktur
dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar
diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan
akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke
dalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur
akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin
avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal
Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yang
berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah
endosteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis.
Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal
dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan
lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi pertambahan jumlah dari
sel-sel osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat pada jaringan osteogenik
yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler tidak
terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa
minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan
osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga
merupakan suatu daerah radiolusen.
3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel
dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang
rawan. Tempat osteoblast diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlengketan
polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk
tulang ini disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologi kalus atau woven
bone sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya
penyembuhan fraktur.

4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)


Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan diubah
menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur
lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap.
5. Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang
menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase
remodeling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap terjadi
proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan menghilang.
Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem Haversian
dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk ruang
sumsum.

Gambar 3. Proses penyembuhan fraktur.


(a) hematom. Kerusakan jaringan dan perdarahan pada daerah fraktur. (b) inflamasi. Sel-sel
inflamasi tampak pada daerah hematom. (c) callus. Populasi sel akan berubah menjadi osteoblast
dan osteoclast. (d) konsolidasi. Woven bone diganti oleh tulang lamellar dan fraktur menyatu
secara sempurna. (e) Remodelling. Terjadi perubahan struktur tulang sehingga akan tampak
seperti struktur normalnya
(dikutip dari kepustakaan 2)
5. Anatomi
Tibia terdiri dari : akhir proksimal disebut sebagai plateau (terbagi menjadi medial
yang berbentuk konkaf dan lateral yang berbentuk konvex), tubercle, eminence (medial dan
lateral), batang/shaft, dan akhir distal disebut sebagai pilon (sendi dan medial maleolus) 3.
Tibial plateau merupakan penopang massa tubuh bagian proksimal dari tibia dan melakukan
artikulasi dengan condylus femoralis untuk membentuk sendi lutut 4.
Sebuah os longum, mempunyai corpus, ujung proximal dan ujung distal, berada di
sisi medial dan anterior dari crus. Pada posisi berdiri, tibia meneruskan gaya berat badan
menuju ke pedis. Ujung proximal lebar, mengadakan persendian dengan os femur
membentuk articulatio genu, membentuk condylus medialis dan condylus lateralis tibiae,
facies proximalis membentuk facies articularis superior, bentuk besar, oval, permukaan licin 5.
Facies articularis ini dibagi menjadi dua bagian, dari anterior ke posterior, oleh fossa
intercondyloidea anterior, eminentia intercondyloidea dan fossa intercondyloidea posterior.
Fossa intercondyloidea anterior mempunyai bentuk yang lebih besar daripada fossa
intercondyloidea posterior. Tepi eminentia intercondyloidea membentuk tuberculum
intercondylare mediale dan tuberculum intercondylare laterale. Eminentia epicondylaris
bervariasi dalam bentuk dan sering juga absen5.
Facies articularis dari condylus medialis berbentuk oval, sedangkan facies articularis
condylus lateralis hampir bundar. Condylus lateralis lebih menonjol daripada condylus
medialis. Pada facies inferior dari permukaan dorsalnya terdapat facies articularis, berbentuk
lingkaran, dinamakan facies articularis fibularis, mengadakan persendian dengan capitulum
fibulae. Di sebelah inferior dari condylus tibiae terdapat tonjolan ke arah anterior, disebut
tuberositas tibiae. Di bagian distalnya melekat ligamentum patellae 5.
Corpus tibiae mempunyai tiga buah permukaan, yaitu (1) facies medialis, (2)
facies lateralis dan (3) facies posterior. Mempunyai tiga buah tepi, yaitu (1) margo anterior,
(2) margo medialis dan (3) margo interosseus. Fossa medialis datar, agak konveks, ditutupi
langsung kulit dan dapat dipalpasi secara keseluruhan. Facies lateralis konkaf, ditempati oleh
banyak otot. Bagian distalnya menjadi konveks, berputar ke arah ventral, melanjutkan diri
menjadi bagian ventral ujung distal tibia. Facies posterior berada di antara margo medialis dan
margo interosseus. Pada sepertiga bagian proximal terdapat linea poplitea, suatu garis yang
oblique dari facies articularis menuju ke margo medialis 5.
Margo anterior disebut crista anterior, sangat menonjol, di bagian proximal mulai
dari tepi lateral tuberositas tibiae, dan di bagian distal menjadi tepi anterior dari malleolus
medialis. Margo medialis, mulai dari bagian dorsal condylus medialis sampai ke bagian
posterior malleolus medialis. Margo interosseus mempunyai bentuk yang lebih tegas daripada
margo medialis, tempat melekat membrana interossea. Di bagian proximal mulai pada
condylus lateralis sampai di apex incisura fibularis tibiae membentuk bifurcatio 5.
Ujung distal tibia membentuk malleolus medialis. Malleolus medialis mempunyai
facies superior, anterior, posterior, medial, lateral dan inferior. Pada facies posterior terdapat
sulcus malleolaris, dilalui oleh tendo m.tibialis posterior dan m.flexor digitorum longus. Pada
permukaan lateral terdapat incisura fibularis yang membentuk persendian dengan ujung distal
fibula. Facies articularis inferior pada ujung distal tibia membentuk persendian dengan facies
anterior corpus tali5.

Gambar 4. Anatomi Tibia Fibula


(dikutip dari kepustakaan 3)
6. Epidemiologi
Fraktur tibial plateau terjadi pada 1% kasus dari semua fraktur dan 8% kasus terjadi pada
pasien yang tua. Fraktur yang terjadi pada pasien tua merupakan hasil dari trauma dengan
energy rendah. Fraktur pada medial plateau terjadi pada 23% kasus fraktur plateau sedangkan
fraktur lateral plateau terjadi pada 70% kasus, dan kombinasi antara keduanya terjadi pada
31% kasus4.

7. Faktor Resiko
Factor resiko untuk terjadinya fraktur tibial plateau adalah 4 :
a) Pasien-pasien memiliki resiko untuk cedera ini adalah trauma dengan kecepatan
tinggi (usia muda, laki-laki, alcohol dan pecandu obat)
b) Usia lebih tua dengan kualitas tulang yang jelek memiki resiko fraktur.

8. Mekanisme Trauma
Fraktur tibial plateau biasanya terjadi sebagai akibat dari kecelakaan pejalan kaki
yang rendah energy mengenai bumper mobil. Sebagian besar kejadian fraktur tibial plateau
ini juga dilaporkan terjadi akibat dari kecelakaan sepeda motor dengan kecepatan tinggi dan
jatuh dari ketinggian. Fraktur tibial plateau terjadi akibat kompresi langsung secara axial,
biasanya dengan posisi valgus (paling sering) atau varus (jarang) atau trauma tidak langsung
yang besar. Aspek anterior dari kondilus femoralis berbentuk baji, dengan terjadinya
hiperekstensi dari lutut maka kekuatan ditimbulkan oleh gerakan kondilus ke tibial plateau.
Arah, besar, dan lokasi dari kekuatan yang ditimbulkan, serta posisi lutut pada saat trauma
akan menyebabkan perbedaan dari pola fraktur, lokasi, dan tingkat pergeseran. Factor lain
seperti usia dan kualitas tulang juga berpengaruh pada konfigurasi fraktur. Pasien yang lebih
tua dengan tulang yang osteopeni akan lebih cenderung menjadi tipe fraktur depresi karena
tulang subkondral nya lebih kaku untuk mengikuti beban6.
Usia muda dengan tulang yang kaku memiliki angka kejadian lebih tinggi untuk
terjadinya robekan ligament sedangkan usia tua dengan kekuatan tulang yang menurun
memiliki angka kejadian lebih rendah untuk robekan ligament 7.
Gambar 5. Mekanisme trauma pada fraktur tibial plateau
(dikutip dari kepustakaan 6)

9. Klasifikasi
Jika kerusakan yang terjadi tertutup, maka digunakan klasifikasi Tscherne dan Gotzen. Jika
fraktur terbuka maka digunakan klasifikasi Gustilo-Anderson. Fraktur tibial plateau dapat
diklasifikasikan dengan Schatzker yaitu berdasarkan lokasi dan konfigurasi fraktur 8.
Klasifikasi fraktur tertutup (Tscheme and Gotzen) yaitu8 :
Grade 0 : kerusakan jaringan lunak minimal
Grade 1 : Abrasi superficial/ kontusio
Grade 2 : Dalam, abrasi dengan kontusio kulit ataupun otot. Tanda-tanda impending
kompartemen sindrom
Grade 3 : kontusio kulit yang luar, avulse subkutan, dan kerusakan otot
Klasifikasi fraktur terbuka (Gustilo-Anderson) yaitu 8 :
Grade 1 : Luka kecil kurang dan 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat
tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi
biasanya bersifat simpel, tranversal, oblik pendek atau komunitif.
Grade 2 : Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan yang hebat
atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dan jaringan
Grade 3 : Terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot, kulit dan
struktur neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe:
a) grade IIIA : jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah
b) grade IIIB : disertai kerusakan dan kehilangan jaringan lunak, soft tissue cover (-)
c) grade IIIC : disertai cedera arteri yang memerlukan repair segera
Klasifikasi fraktur tibial plateau (Schatzer classification) 2 :
Tipe 1 : fraktur biasa pada kondilus tibia lateral. Pada pasien yang lebih muda yang tidak
menderita osteoporosis berat, mungkin terdapat retakan vertikan dengan
pemisahan fragmen tunggal. Fraktur ini mungkin sebenarnya tidak bergeser,
atau jelas sekali tertekan dan miring, kalau retakannya lebar, fragmen yang
lepas atau meniscus lateral dapat terjebak dalam celah.
Tipe 2 : peremukan kominutif pada kondilus lateral dengan depresi pada fragmen. Tipe
fraktur ini paling sering ditemukan dan biasanya terjadi pada orang tua dengan
osteoporosis.
Tipe 3 : peremukan komunitif dengan fragmen luar yang utuh. Fraktur ini mirip dengan
tipe 2, tetapi segmen tulang sebelah luar memberikan selembar permukaan
sendi yang utuh.
Tipe 4 : fraktur pada kondilus tibia medial. Ini kadang-kadang akibat cedera berat, dengan
perobekan ligament kolateral lateral
Tipe 5 : fraktur pada kedua kondilus dengan batang tibia yang melesak diantara keduanya
Tipe 6 : kombinasi fraktur kondilus dan subkondilus, biasanya akibat daya aksial yang
hebat.

Gambar 6. Klasifikasi fraktur tibial plateau (schatzker classification)


(dikutip dari kepustakaan 3)
10. Diagnosis
 Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mengevaluasi pasien
dengan fraktur. Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan nyeri, bengkak, ataupun
deformitas. Keluhan lain yang dipaparkan oleh pasien adalah tidak mampu untuk
menggerakkan lutut secara seluruhan ataupun sebagian 4. Anmnesis penting untuk
mengetahui apakah pasien mengalami trauma dengan energy besar atau tidak. Kecelakan
motor, jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki, dan ditabrak dengan kendaraan sementara
berjalan merupakan contoh mekanisme trauma dengan energi tinggi. Anamnesis lainnya
yang pertu ditanyakan adalah factor-faktor komorbid dari pasien yang akan berpengaruh
pada terapi ataupun prognosis. Pasien dengan penyakit penyerta seperti penyakit arteri
koroner, emfisema, perokok, ataupun diabetes tidak terkontrol memiliki resiko besar
untuk timbulnya komplikasi dari cedera yang terjadi9.
 Pemeriksaan Fisis1
1. Look (Inspeksi)
 Deformitas : angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi (rotasi,
perpendekan atau perpanjangan).
 Bengkak atau kebiruan.
 Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak)
2. Feel (Palpasi)
- Tenderness (nyeri tekan) pada derah fraktur.
- Krepitasi.
- Nyeri sumbu.
3. Move (Gerakan)
- Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.
- Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya.
4. Pemeriksan trauma di tempat lain seperti kepala, thorak, abdomen, tractus urinarius
dan pelvis.
5. Pemeriksaan komplikasi fraktur seperti neurovaskular bagian distal fraktur yang
berupa pulsus arteri, warna kulit, temperatur kulit, pengembalian darah ke kapiler
(Capillary refil test), sensasi motorik dan sensorik. Pada fraktur tibial plateau, perlu
dilakukan pemeriksaan terhadap arteri popliteal yaitu diantara proksimal dari
adductor hiatus dan distal dari soleus serta pemeriksaan nervus peroneal.
6. Pada fraktur tibial plateau, hemarthrosis sering terjadi yaitu berupa edem, nyeri pada
lutut dimana pasien tidak dapat memikul berat tubuh.

11. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan standar untuk trauma pada lutut adalah foto Xray dengan posisi
anteroposterior (AP), lateral, dan dua oblik. Foto X-ray digunakan untuk mengidentifikasi
garis fraktur dan pergeseran yang terjadi tetapi tingkat kominusi atau depresi dataran
mungkin tidak terlihat jelas. Foto tekanan (dibawah anestesi) kadang-kadang bermanfaat
untuk menilai tingkat ketidakstabilan sendi. Bila kondilus lateral remuk, ligamen medial
sering utuh, tetapi bila kondilus medial remuk, ligament lateral biasanya robek 2.

Gambar 7. Ini adalah X-Ray dari fraktur tibial plateau. Pasien adalah wanita usia 55 tahun yang
jatuh dengan lutut terlebih dahulu ketika berkebun. Pasien dibawa ke UGD dengan nyeri dan
edem di sekitar lutut
(dikutip dari kepustakaan 11)
CT-scan digunakan untuk mengidentifikasi adanya pergeseran dari fraktur tibial
plateau. CT-scan potongan sagital meningkatkan akurasi diagnosis dari fraktur tibial plateau
dan diindikasikan pada kasus dengan depresi artikular. Magnetic resonance imaging (MRI)
digunakan untuk mengevaluasi trauma ataupun sebagai alternative dari CT-scan atau
arthroscopy. MRI dapat mengevaluasi tulang serta komponen jaringan lunak dari lokasi
trauma. Namun, tidak ada indikasi yang jelas untuk penggunaan MRI pada fraktur tibial
plateau6.

Gambar 8. CT-scan Posisi AP, sagital, serta arthtroscopy menunjukkan fraktur kompres lateral.
(dikutip dari kepustakaan 10)
12. Terapi
Terapi pada fraktur tibial plateau dibagi menjadi non-operative dan operative,
 Non-operative
Fraktur yang non-displaced dan stabil baik untuk diterapi non-operative.
Pemakaian hinged cast-brace untuk melindungi pergerakan lutut dan beban tubuh
merupakan salah satu metode pilihan. Latihan isometric untuk quadriceps, pasif, aktif,dan
pergerakan aktif dari lutut sebagai stabilitas dapat dilakukan. Dibolehkan untuk memikul
beban tubuh secara partial selama 8-12 minggu, dan progressif hingga memikul beban
tubuh secara keseluruhan. Terapi dengan long leg cast juga dapat digunakan6,7.
Fraktur yang tidak bergeser atau sedikit bergeser biasanya menimbulkan
hemathrosis. Hemathrosis diaspirasi dan pembalut kompresi dipasang. Tungkai
diistirahatkan pada mesin gerakan pasif kontinyu dan gerakan lutut dimulai. Segera
setelah nyeri dan pembengkakan akut telah mereda, gips penyangga berengsel dipasang
dan pasien diperbolehkan menahan beban sebagian dengan kruk penopang2.

Gambar 9. Terapi non-operative. (a) tampaknya tidak mungkin bahwa fraktur bikondilus
yang kompleks ini dapat direduksi dengan sempurna dan difiksasi secara memuaskan
dengan operasi, maka (b,c) pen traksi bawah dimasukkan dan gerakan dilatih dengan
tekun (d) sepuluh hari kemudian sinar X memperlihatkan reduksi yang sangat baik dan
hasil akhir sangat bagus. (dikutip dari kepustakaan 2)
 Operative
Indikasi operasi pada fraktur tibial plateau adalah 7 :
1. Depressi pada articular yang dapat ditoleransi adalah <2mm sampai 1 cm.
2. Instabilitasi >10 derajat dari lutut yang diperpanjang dibandingkan dengan sisi
sebaliknya. Fraktur yang retak lebih tidak stabil dibandingkan fraktur yang hanya
kompresi.
3. Fraktur terbuka
4. Sindrom kompartemen
5. Adanya kerusakan vascular.
Terapi pembedahan berdasarkan tipe fraktur nya (Schatzker classification) yaitu :
Schatzker tipe 1. Fraktur yang bergeser. Fragmen kondilus yang besar harus benar-benar
direduksi dan difiksasi pada posisinya. Ini terbaik dilakukan dengan operasi terbuka 2.
Schatzker tipe 2. Fraktur komunitif. Pada dasarnya ini adalah fraktur kompresi, mirip
dengan fraktur kompresi vertebra. Kalau depresi ringan (kurang dari 5 mm) dan lutut
stabil atau jika pasien telah tua dan lemah serta mengalami osteoporosis, fraktur diterapi
secara tertutup dengan tujuan memperoleh kembali mobilitas dan fungsi bukannya
restitusi anatomis. Setelah aspirasi dan pembalutan kompresi, traksi rangka dipasang
lewat pen berulir melalui tibia, 7 cm di bawah fraktur. Kondilus mulai dibentuk, lutut
kemudian difleksikan dan diekstensikan beberapa kali untuk membentuk tibia bagian atas
pada kondilus femur yang berlawanan. Kaki diletakkan pada bantal dan dengan 5 kg
traksi, latihan aktif harus dilakuakn tiap hari. Selain itu, lutut dapat diterapi sejak
permulaan dengan mesin CPM, untuk semakin meningkatkan rentang gerakan ; seminggu
setelah terapi ini penggunaan mesin itu dihentikan dan latihan aktif dimulai. Segera
setelah fraktur menyatu (biasanya setelah 3-4 minggu), pen traksi dilepas, gips
penyangga berengsel dipasang dan pasien diperbolehkan bangun dengan kruk penopang.
Pembebanan penuh ditunda selama 6 minggu lagi. Pada pasien muda dengan fraktur tipe
2, terapi ini mungkin dianggap terlalu konservatif dan reduksi terbuka dengan peninggian
plateau dan fiksasi internal sering menjadi pilihan. Pasca operasi lutut diterapi dengan
mesin CPM ; setelah beberapa hari, latihan aktif dimulai dan setelah 2 minggu pasien
dibiarkan dengan gips penyangga yang dipertahankan hingga fraktur telah menyatu.
Pasca operasi lutut diterapi dengan mesin CPM setelah beberapa hari 2.
Schatzker tipe 3. Kominusi dengan fragmen lateral yang utuh. Prinsip terapinya mirip
dengan prinsip yang berlaku untuk fraktur tipe 2. Tetapi, fragmen lateral dengan kartilago
artikular yang utuh merupakan permukaan yang berpotensi mendapat pembebanan, maka
reduksi yang sempurna lebih penting. Cara ini kadang-kadang dapat dilakukan secara
tertutup dengan traksi yang kuat dan kompresi lateral, jika ini berhasil, fraktur diterapi
dengan traksi atau CPM. Kalau reduksi tertutup gagal, reduksi terbuka dan fiksasi dapat
dicoba. Pasca operasi, latihan dimulai secepat mungkin dan 2 minggu kemudian pasien
dibiarkan bangun dalam gips-penyangga yang dipertahankan hingga fraktur telah
menyatu2.

Gambar 10. Pasien dengan fraktur terbuka pada tibial plateau dengan kominusi yang
ekstensif. Eksternal fiksasi dipasang selama 10 hari sampai jaringan lunak
memungkinkan untuk dilakukan definitif fiksasi. (dikutip dari kepustakaan 6)

Schatzker tipe 4. Fraktur pada kondilus medial. Fraktur yang sedikit bergeser dapat
diterapi dalam gips penyangga. Kalau fragmen nyata sekali bergeser atau miring, reduksi
terbuka dan fiksasi diindikasikan. Kalau ligament lateral juga robek, ini harus diperbaiki
sekaligus2.
Schatzker tipe 5 dan 6. Merupakan cedera berat yang menambah resiko sindrom
kompartemen. Fraktur bikondilus sering dapat direduksi dengan traksi dan pasien
kemudian diterapi seperti pada cedera tipe 2. Fraktur yang lebih kompleks dengan
kominusi berat juga lebih baik ditangani secara tertutup, meskipun traksi dan latihan
mungkin harus dilanjutkan selama 4-6 minggu hingga fraktur cukup menyatu untuk
memungkinkan penggunaan gips penyangga. Jika terdapat beberapa fragmen yang
bergeser, fiksasi internal dapat dilakukan2.

Gambar 11. Raft-screw. (a-c) ukuran kortikal screw sebesar 3,5 mm dimasukkan
dibawah subkondral dan dari raft diatas fragmen plateau. Pada kasus tipe 2,5, atau 6,
diperlukan juga buttress plat (dikutip dari kepustakaan 2)

Reduksi Terbuka dan Fiksasi


Fraktur plateau sulit direduksi dan difiksasi. Terapi operasi hanya dilakukan kalau
tersedia seluruh jenis implant. Melalui insisi parapatela longitudinal, kapsul sendi dibuka.
Tujuannya untuk mempertahankan meniskusi sampil sepenuhnya membuka plateau yang
mengalami fraktur. Ini terbaik dilakuakn dengan memasuki sendi melalui insisi kapsul
melintang di bawah meniscus. Fragmen besar tunggal dapat direposisi dan dipertahankan
dengan sekrup kanselosa dan ring tanpa banyak kesulitan. Fraktur tekanan yang
komunitif harus ditinggikan dengan mendorong massa yang terpotong-potong ke atas ;
permukaan osteoartikular kemudian disokong dengan membungkus daerah subkondral
dengan cangkokan kanselosa (diperoleh dari kondilus femur atau Krista iliaka) dan
dipertahankan di tempatnya dengan memasang plat penunjang yang sesuai dengan kontur
dan sekrup pada sisi tulang itu. Kecuali kalau terobek, meniscus harus dipertahankan dan
dijahit lagi di tempatnya ketika kapsul diperbaiki 2.
Fraktur kompleks pada tibia proksimal sulit difiksasi dan banyak ahli bedah lebih suka
member terapi dengan traksi dan mobilisasi. Kalau dipilih terapi operasi, pemaparan luka
secara memadai sangat diperlukan. Schatzker menganjurkan membelah ligament patella
dan membalik patella ke atas. Pasca operasi, tungkai ditinggikan dan dibebat hingga
pembengkakan mereda, gerakan dimulai secepat mungkin dan dianjurkan melakukan
latihan aktif. Pada akhir minggu keempat pasien biasanya diperbolehkan dalam gips
penyangga, menahan beban sebagian dengan penopang ; penahanan beban penuh
dilanjutkan bila penyembuhan telah lengkap2.

Gambar 12. Fraktur tibial plateau- fiksasi. (a) sekrup tunggal mungkin sudah mencukupi
untuk retakan sederhana, meskipun (b) plat penopang dan sekrup lebih aman. (c) depresi yang
lebih dari 1 cm dapat diterapi dengan peninggian dari bawah dan (d) disokong dengan
pencangkokan tulang. (e) fraktur compels dapat diterapi dengan operasi tetapi, kecuali kalau
reduksi dapat dijamin sempurna, terapi dengan traksi dan gerakan saja mungkin lebih
bijaksana ; mengikat fragmen yang menonjol ke atas permukaan sendi akan mengundang
osteoarthritis dini. (dikutip dari kepustakaan 2)
Gambar 13. Fraktur tibial plateau yang kompleks – fiksasi internal. Trauma pada jaringan
lunak oleh fraktur dengan senergy tinggi pada tibial plateau bias any atidak aman untuk
dilakukan operasi segera. Stabilisasi dengan eksternal fiksasi memungkinkan pembengkakan
berkurang dan pasien bisa berisitirahat dengan nyaman. (a) ketika keadaan membaik dan
biasanya dalam waktu 2 minggu, operasi terbuka dapat dipertimbangkan. Contohnya, dua plat
buttress digunakan untuk menopang daerah lateral dan posteromedial dari tibial plateau.
(dikutip dari kepustakaan 2)

Gambar 14. Fraktur tibial plateau yang kompleks – eksternal fiksasi. Daripada membuka
daerah sendi untuk mengurangi fraktur, hal ini juga dapat digunakan secara perkutaneus,
dengan control X-Ray, dan fragmen sendi berpegang pada multiple screw. (a,b) metafisis tibial
berpegang pada batang dengan fiksasi eksternal circular.(dikutip dari kepustakaan 2)
13. Prognosis
Prognosis pada fraktur tibial plateau adalah 4 :
1. Fraktur tibial plateau dapat menyebabkan kerusakan yang parah
2. Insidensi arthritis post trauma dihubungkan dengan usia pasien, lokasi dari pergeseran,
dan reduksi.
3. Fraktur karena energy tinggi yang diterapi dengan fiksasi eksternal hanya memiliki
insidensi sebesar 5% mengenai masalah luka

14. Komplikasi
Komplikasi pada fraktur tibial plateau dapat dibagi menjadi dua yaitu dini dan lanjut.
1. Komplikasi dini
 Sindroma kompartemen. Pada fraktur bikondilus tertutup terdapat banyak perdarahan
dan resiko munculnya sindrom kompartemen. Kaki dan ujung kaki harus diperiksa
secara terpisah untuk mencari tanda-tanda iskemia2.
 Kerusakan dari nervus peroneal. Hal ini umum terjadi pada trauma di aspek lateral
dimana nervus peroneal berjalan dari proksimal ke bagian atas dari fibula dan lateral
dari tibial plateau7
 Laserasi arteri popliteal7
2. Komplikasi lanjut
 Kekakuan sendi. Pada fraktur komunitif berat dan setelah operasi yang kompleks,
terdapat banyak resiko timbulnya kekakuan lutut. Resiko ini dicegah dengan (1)
menghindari imobilisasi gips yang lama dan (2) mendorong dilakukannya gerakan
secepat mungkin2.
 Deformitas. Deformitas varus atau valgus yang tersisa amat sering ditemukan baik
karena reduksi fraktur tak sempurna ataupun karena meskipun telah direduksi dengan
memadai, fraktur mengalami pergeseran ulang selama terapi. Untungnya, deformitas
yang moderat dapat member fungsi yang baik, meskipun pembebanan berlebihan pada
satu kompartemen secara terus menerus dapat menyebabkan predisposisi untuk
osteoarthritis di kemudian hari2.
 Osteoartritis. Bertentangan dengan kepercayaan umum, osteoarthritis bukanlah akibat
jangka panjang yang lazim dari terapi konservatif. Lansinger, dkk (1986) dalam tindak
lanjut pada serangkaian kasus besar yang dipantau selama 20 tahun, melaporkan hasil
yang sangat baik atau baik apda 90% pasien bila tidak ada ketidakstabilan ligamentum
atau depresi nyata. Sekalipun penampilan sinar-X menunjukkan osteoarthritis, lutut
mungkin tidak terasa nyeri. Tetapi, jika timbul osteoarthritis yang nyeri dan kondilus
lateral terdepresi, operasi rekonstruktif dapat dipertimbangkan 2.
 Malunion atau non-union. Hal in sering terjadi pada Schatzker VI dimana terjadi fraktur
diantara metafisis-diafisis, kominusi, fiksasi tidak stabil, kegagalan implant, atau
infeksi7.
Laporan Kasus

IDENTITAS
Nama :IMPA

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 21 tahun

CM : 19001509

Asuransi : BPJS

Alamat : Dsn Kayehan Desa Dawan Kaler Klungkung

Ruangan : Angsoka 102.3

Riwayat Pasien

• Pasien datang sadar dengan keluhan nyeri pada lutut dan tungkai kanan setelah
mengalami kecelakaan sepeda motor pada 4 jam sebelum masuk ke RS.

• Pasien pengendara sepeda motor, kemudian ditabarak oleh pengendara sepeda motor lain
dari arah belakang, lalu pasien terjatuh kesamping dengan lutut dan tungkai atas kanan
membentur aspal.

• Riwayat pingsan (-), mual (-), muntah (-).

• Right Knee Region

• L : Swelling (+) over the knee, deformity (+) valgus, V. excoriatum (+) at lateral side

• F : Tenderness (+) at proximal tibia region, dorsalis pedis artery (+), CRT < 2 “, SpO2
99%, normal sensation,

• M : Active ROM knee limited due to pain

• Active ROM Ankle 35/45

• Active ROM MTP-IP 0/90

Diagnosis:
Post Debridement + Immobilization with backslab ec OF Right Tibia Plateau Schatzker VI
Grade 2

OF Right Tibia Plateau Schatzker VI Grade 2


Treatment:

P/Debridement ORIF PS (Femur, tibia)


DAFTAR PUSTAKA

1. Chairuddin, Rasjad Prof, MD, PhD.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 2003. Makasar
2. Alan Graham Aplpley. Appley’s System of Orthopedics and Fracture 9 th edition.
Butterworths Medical Publications. 2010.

3. Netter, Frank H. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy 2nd edition. Saunders Elseiver.

4. Frassica, Frank dkk. The 5-Minute Orthopaedic Consult 2nd edition. Lippuncolt William
& Wilkins. 2007

5. Luhulima JW. Musculoskeletal. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas


Hasanuddin. Makassar. Indonesia. 2002.
6. Chapman, Michael W. Chapman’s Orthopaedic Surgery 3 rd edition. Lippincolt William
& Wilkins. 2001.
7. Koval, Kenneth J. Handbook of Fractures 3rd edition. Lippincolt William & Wilkins.
2006
8. Kingsley Chin, dkk. Orthopaedic Key Review Concept, 1st edition. Lippincolt William &
Wilkins. 2008
9. Dirchsl Douglas, dkk. Staged Management of Tibial Plateau. American Journal of
Orthopaedic. 2007
10. Reznik, Alan M. Tibial Plateau Fractures. The Orthopaedic Group. 2011
11. Cluet Jonathan. Tibial Plateau Fracture. 2005. Available from :
http://orthopedics.about.com/.

Anda mungkin juga menyukai