Anda di halaman 1dari 6

Berdasarkan kerangka pemikiran, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis program

ketahanan pangan yang dilakukan Pemerintah, terutama dalam hal kebijakan belanja pemerintah.
Jumlah belanja pemerintah dan pengaruhnya terhadap produksi padi dilakukan analisa secara
deskriptif berdasarkan data grafik dari sisi sosial, ekonomi, dan politik. Belanja pemerintah
tersebut terbagi kedalam empat jenis belanja, yaitu belanja sosial, belanja subsidi, belanja
investasi publik, dan belanja lainnya. Keempat jenis bentuk belanja tersebut dicerminkan dari
lima program utama yang memiliki alokasi belanja yang cukup besar di Kementerian Pertanian,
yaitu subsidi pupuk, bantuan benih unggul, rehabilitasi irigasi tersier, bantuan permodalan PUAP
(pemberdayaan usaha agribisnis pedesaan), dan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu
(SL-PTT).
Untuk memperkuat hasil studi, dilakukan analisis ekonometrika melalui pendugaan model panel
data statis. Data panel antara anggaran belanja pemerintah dan produksi padi di sebagian
kabupaten/kota di wilayah propinsi Jawa Barat dalam jangka waktu tujuh tahun terakhir akan
dibuat beberapa model regresi data panel statis (fixed effect model, random effect model, pool
least square) dengan jumlah produksi padi sebagai variabel dependen dan jenis program atau
belanja pemerintah sebagai variabel independen. Analisis model ini diharapkan dapat mengetahui
program atau jenis belanja pemerintah yang berpengaruh signifikan ataupun tidak signifikan
terhadap produksi padi. Analisis pengaruh masing-masing program yang dibiayai melalui belanja
pemerintah ini diharapkan dapat mengatasi masalah kesalahan dalam investasi pemerintah.
Daryanto (2012) menyoroti bahwa selama ini sektor pertanian seringkali mendapatkan alokasi
anggaran yang kecil dari total APBN. Hal ini menjadikan sektor pertanian sebagai sektor yang
mendapatkan investasi public rendah (underinvestment). Yang lebih mengkhawatirkan adalah
rendahnya investasi tersebut diikuti oleh kesalahan alokasi pada program-program yang tidak
signifikan pengaruhnya terhadap output pertanian (misinvestment). Untuk itu, penelitian ini
bertujuan agar besarnya pengaruh pada lima program utama terhadap produksi padi dapat
diketahui, sehingga dapat mengurangi kesalahan investasi berupa underinvestment maupun
misinvestment dan dapat memperbaiki kebijakan peningkatan produksi pangan utama di masa
yang akan datang.Secara ringkas,
Berdasarkan faktor produksi yang dilaksanakan melalui program-program
Kementerian Pertanian, faktor produksi yang akan dikaji lebih mendalam dalam
penelitian ini adalah belanja pemerintah untuk penyediaan pupuk bersubsidi,
bantuan benih unggul, bantuan modal, sekolah lapang, dan infrastruktur pertanian
(irigasi tersier dan jalan usaha tani).
(1) Pupuk
Pupuk merupakan salah satu unsur terpenting dalam peningkatan
kesuburan tanah karena mengandung komposisi unsur kimia yang diperlukan oleh
pertumbuhan tanaman (Litbang Pertanian 2002).
Peran pupuk yang begitu penting dalam pertumbuhan tanaman membuat
Pemerintah mengambil kebijakan pupuk bersubsidi. Kapindo (2011) dalam hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa pengadaan pupuk bersubsidi akan
meningkatkan efisiensi usaha tani, yaitu berimplikasi pada peningkatan
pemanfaatan lahan dan penggunaan benih yang secara sinergis berpengaruh
terhadap peningkatan produksi pertanian. Kemudian, peningkatan produksi
dengan biaya yang disubsidi dan harga output yang stabil menyebabkan
pendapatan petani meningkat. Kedua hal tersebut akan mempengaruhi aspek
ketersediaan dan aksesibilitas, sehingga akan mempengaruhi status ketahanan
pangan.
(2) Benih Unggul
Balitbangtan (2008) menyebutkan bahwa benih merupakan sarana
produksi yang membawa sifat-sifat varietas tanaman sehingga berperan penting
dalam menentukan tingkat hasil yang akan diperoleh. Varietas unggul padi
umumnya dirakit untuk memiliki sifat-sifat yang menguntungkan, antara lain: (1)
daya hasil tinggi, (2) tahan terhadap hama dan penyakit, (3) umur genjah, dan (4)
mutu hasil panen sesuai dengan keinginan konsumen. Mutu benih meliputi mutu
genetik, mutu fisik, dan mutu fisiologis. Ciri–ciri benih bermutu adalah
varietasnya asli, benih bernas dan seragam, bersih (tidak tercampur dengan biji
gulma atau biji tanaman lain), daya berkecambah dan vigor tinggi, dan sehat
(tidak terinfeksi oleh jamur atau serangan).
Berdasarkan fungsi dan cara produksi, benih terdiri atas benih inti
(nucleous seed), benih sumber, dan benih sebar. Benih inti adalah benih awal yang
penyediaannya berdasarkan proses pemuliaan dan/ atau perakitan suatu varietas
tanaman oleh pemulia pada lembaga penyelenggara pemuliaan (Balai Penelitian
Komoditas). Benih inti merupakan benih yang digunakan untuk perbanyakan atau
menghasilkan benih penjenis (breeder seed/BS). Benih sumber terdiri alas tiga
kelas, yaitu benih penjenis (breeder seed/BS), benih dasar (foundation
seed/FS/BD), dan benih pokok (stock seed/SS/BP). Benih penjenis merupakan
perbanyakan dari benih inti, yang selanjutnya akan digunakan untuk perbanyakan
benih kelas-kelas selanjutnya, yaitu benih dasar dan benih pokok. Benih sebar
(extension seed/ES/BR) disebut benih komersial karena merupakan benih turunan
dari benih pokok, yang ditanam oleh petani untuk tujuan konsumsi (Samaullah
2007).
Keuntungan menggunakan benih padi bermutu tinggi antara lain benih
tumbuh dengan cepat dan serempak, bila disemaikan mampu menghasilkan bibit
yang vigorous (tegar) dan sehat, ketika ditanam-pindah, bibit dapat tumbuh lebih
cepat, pertanaman lebih serempak dan populasi tanaman optimum sehingga
mendapatkan hasil yang baik. Untuk mendapatkan benih padi unggul yang
bermutu, perlu diketahui ciri-ciri benih unggul yaitu varietasnya asli, benih bernas
dan seragam, bersih (tidak tercampur dengan biji gulma atau biji tanaman lain),
daya berkecambah dan vigor tinggi sehingga dapat tumbuh baik jika ditanam di
sawah, dan tidak terinfeksi oleh jamur atau serangan hama (Satoto et al. 2008).
(3) Permodalan
Modal yang biasanya disebut dengan kapital merupakan faktor penting
dalam usaha tani. Kapital diperlukan untuk menyediakan input sarana produksi
pertanian. Semakin besar kapital yang dimiliki, semakin besar peluang untuk
berusaha tani secara optimal. Kapital atau modal dalam sektor pertanian di
Indonesia masih menjadi permasalahan yang cukup pelik. Hal ini mengingat
hampir sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil yang terbatas akses
permodalannya. Untuk itu, Pemerintah dalam berbagai kebijakannya beberapakali
mengeluarkan program permodalan di sektor pertanian.
Bentuk program bantuan penguatan modal yang diperuntukkan bagi petani
pertama kali diperkenalkan pada Tahun 1964 dengan nama Bimbingan Masal
(BIMAS). Tujuan dicanangkannya program tersebut adalah untuk meningkatkan
produksi, meningkatkan penggunaan teknologi baru dalam usahatani dan
peningkatan produksi pangan secara nasional. Dalam perjalanannya, program
BIMAS dan kelembagaan kredit petani mengalami banyak perubahan dan
modifikasi yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebijakan
(Hasan 1979 dalam Lubis 2005).
Pada Tahun 1985 kredit BIMAS dihentikan dan diganti dengan Kredit
Usaha Tani (KUT) sebagai penyempurnaan dari sistem kredit massal BIMAS,
dimana pola penyaluran yang digunakan pada saat itu adalah melalui KUD.
Selanjutnya perkembangan bentuk program bantuan penguatan modal dari
pemerintah lainnya adalah Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Program KKP
diperkenalkan oleh Pemerintah pada Bulan Oktober 2000 sebagai pengganti KUT.
Program KKP merupakan bentuk fasilitasi modal untuk usahatani tanaman pangan
(padi dan palawija), tebu, peternakan, perikanan dan pengadaan pangan.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan pendapatan
petani.
Kredit pertanian memiliki peran yang penting dalam pembangunan sektor
pertanian. Pentingnya perananan kredit disebabkan oleh kenyataan bahwa secara
relatif modal merupakan faktor produksi non alami yang persediaannya masih
sangat terbatas terutama di Negara yang sedang berkembang. Ashari (2009)
menyatakan bahwa kredit berperan untuk memperlancar pembangunan pertanian,
antara lain karena :
a. Membantu petani kecil dalam mengatasi keterbatasan modal dengan bunga
relatif ringan.
b. Mengurangi ketergantungan petani pada pedagang perantara dan pelepas
uang sehingga bisa berperan dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran
hasil pertanian.
c. Mekanisme transfer pendapatan untuk mendorong pemerataan.
d. Insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian.
Pada tahun 2008 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI
mencanangkan program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)
yang memberikan bantuan modal usaha sebesar Rp 100 juta untuk setiap
gabungan kelompok tani. Program ini terus dilanjutkan dan dikembangkan oleh
Kementerian Pertanian RI sejak tahun 2009 sampai tahun 2013 yang lebih
menitikberatkan pada upaya pembentukan lembaga keuangan mikro pertanian
(Biro Perencanaan Kementan, 2014).
(4) Rehabilitasi Infrastruktur Irigasi Pertanian
Infrastruktur merupakan suatu sarana (fisik) pendukung agar
pembangunan ekonomi suatu negara dapat terwujud. Perekonomian yang
terintegrasi membutuhkan pembangunan infrastruktur. Peningkatan sarana
perhubungan seperti jalan dan jembatan berimplikasi pada semakin murahnya
biaya distribusi, dan mempercepat distribusi, sehingga akses masyarakat terhadap
pangan menjadi lebih mudah dan cepat (Kwik 2002).
Peningkatan sarana irigasi juga dapat meningkatkan produksi dan menjadi
insentif bagi petani. Sarana irigasi pertanian yang lazim terdapat di Indonesia
adalah waduk, dam, parit, embung, dan air artesis. Pembangunan irigasi yang
bertujuan untuk menyediakan air bagi hamparan sawah merupakan program
utama yang sangat penting bagi produksi padi karena padi merupakan salah satu
jenis tanaman yang sangat membutuhkan ketersediaan air dalam pertumbuhannya.
Padi merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap kekurangan air.
Kekeringan mempengaruhi morfologi, fisiologi, dan aktivitas pada tingkat
molekular padi. Akibatnya, terjadi penundaan pembungaan dan penurunan
kapasitas fotosintesis karena menutupnya stomata, pembatasan metabolisme, dan
rusaknya kloroplas (Farooq et al. 2009). Menurut Yoshida (2008) dalam Suhendar
(2010), tanaman padi membutuhkan air sebanyak 180-300 mm/bulan agar dapat
tumbuh dengan baik.
Keperluan ketersediaan air yang dapat dipenuhi melalui infrastruktur
irigasi yang baik untuk masa pertumbuhan tanaman padi dibuktikan dengan
menurunnya produksi berbagai jenis varietas padi pada saat kekurangan air.
Menurut Sulistyono et al. (2012), padi merupakan tanaman yang sangat sensitif
terhadap stress atau cekaman air. Cekaman air bisa berupa kelebihan atau
kekurangan air. Kelebihan air berupa cekaman banjir, sedangkan kekurangan air
berupa cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan menyebabkan penurunan
produksi sebesar 32.44%, 41.52%, dan 48.87% berturut-turut pada frekuensi
irigasi 8, 12, dan 16 hari sekali.
Ketersediaan air bagi tanaman padi di beberapa daerah di Indonesia
dilakukan melalui pembangunan embung. Pada penelitian yang menguji pengaruh
pembangunan embung terhadap produksi padi, Suharyanto et al. (2008)
menyimpulkan bahwa dampak embung terhadap produksi padi terlihat di daerah
hulu, dengan peningkatan sebesar 6% sehingga berdampak pada peningkatan
pendapatan sebesar 12%. Demikian pula di daerah hulu produksi padi meningkat
dari 3,93 t/ha menjadi 4,87 t/ha, sedangkan di daerah tengah dan hilir,
pembangunan embung tidak memberikan pengaruh yang signifikan.
(5) Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT)
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi pangan, terutama padi,
adalah dengan cara meningkatkan produktivitas melalui penerapan teknologi
secara intensif. Berbagai hasil penelitian menunjukkan adanya temuan teknologi
budidaya tani yang dapat meningkatkan hasil produksi padi per satuan hektar.
Untuk itulah, penerapan teknologi merupakan salah satu upaya yang harus
dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan.
Dalam rangka peningkatan produksi padi, Pemerintah telah melakukan
upaya peningkatan produksi beras nasional (P2BN) dengan salah satu kegiatan
utamanya adalah transfer teknologi melalui Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT). Program ini telah dikembangkan oleh Kementerian
Pertanian sejak tahun 2006 hingga Kabinet Indonesia Bersatu kedua (Biro
Perencanaan Kementan 2014).
SL-PTT adalah bentuk sekolah yang proses belajar mengajarnya dilakukan
di lapangan. Hamparan sawah milik petani peserta penerapan program PTT
(pengelolaan tanaman terpadu) adalah hamparan SL-PTT, dan laboratorium
lapang tempat praktek sekolah lapang disebut LL (laboratorium lapang). Konsep
PTT merupakan pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme
pengganggu tanaman, dan iklim secara terpadu yang dilakukan berdasarkan
strategi intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Komponen
teknologi dasar yang digunakan adalah penggunaan varietas benih unggul,
pemupukan efisien melalui bagan warna daun dan perangkat uji tanah sawah,
pengelolaan tanaman yang meliputi populasi dan cara tanam (jajar legowo),
pemanfaatan bahan organik, irigasi berselang, penanganan panen dan pasca panen
(Balitbangtan 2013).
Menurut Arfan (2012), konsep PTT yang digulirkan oleh Kementerian
Pertanian bukan merupakan bentuk paket teknologi, melainkan konsep
pendekatan pengelolaan produktivitas padi secara berkelanjutan dengan
memperhatikan keberagaman lingkungan pertanaman dan kondisi petani, sehingga
penerapan teknologi dan program PTT di suatu tempat mungkin sekali berbeda
dengan lokasi lainnya.

Anda mungkin juga menyukai