Dampak Urbanisasi Terhadap Air
Dampak Urbanisasi Terhadap Air
PROBLEM 1
A. Dampak urbanisasi terhadap air, makanan, ekosistem, kesehatan manusia dan aspek lainnya,
dengan beberapa contoh dari penelitian di seluruh dunia. Urbanisasi akan menjadi salah satu tren
paling transformatif di abad 21 (PBB, 2017). Saat ini, sekitar 4 miliar orang (55% dari populasi
dunia) tinggal di perkotaan. Pusat-pusat kota akan menyerap migrasi desa ke kota yang
signifikan dan sebagian besar pertumbuhan penduduk selama beberapa dekade mendatang.
Karenanya, proporsi ini diharapkan meningkat menjadi 68%, mencapai 6,3 miliar orang pada
tahun 2050, menambahkan 2,3 miliar lebih banyak orang ke daerah perkotaan (UNDESA, 2018).
Sebagian besar peningkatan ini (sekitar 90%) kemungkinan besar terjadi di dua wilayah
termiskin di dunia, Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara, di mana populasi perkotaan
kemungkinan besar akan berlipat ganda dalam 20 tahun mendatang (UNDESA, 2018). Kota
dengan pertumbuhan tercepat memiliki sumber daya keuangan yang lebih sedikit daripada kota
rata-rata dan tingkat pertumbuhan populasi tahunan mereka ditemukan berkorelasi negatif
dengan pendapatan per kapita (Macdonald et al., 2014). Sumber daya yang terbatas tidak dapat
mengimbangi kebutuhan pembangunan infrastruktur perkotaan. Selain itu kota dengan
pertumbuhan tercepat seringkali terletak di daerah dengan ketersediaan air yang terbatas.
Analisis oleh Macdonald et al. (2014) menunjukkan bahwa 68% kota besar berada di negara
berpenghasilan rendah hingga menengah, terutama di Tiongkok, Asia Tengah, dan Meksiko.
Air Bersih dan Sanitasi adalah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 6) spesifik
dalam rangkaian 17 SDG yang saling berhubungan yang diadopsi pada tahun 2015 oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk mengatasi masalah kelangkaan air dan meningkatkan sanitasi
untuk semua orang. SDG 6 mencakup berbagai aspek termasuk air minum, sanitasi dan
kebersihan, perawatan dan penggunaan kembali air limbah dan kesehatan ekosistem. Ini terkait
dengan SDG lainnya, seperti Kota Berkelanjutan (SDG 8) dan Kesehatan (SDG 3). Semua
bentuk pembangunan (ketahanan pangan, promosi kesehatan dan pengurangan kemiskinan) dan
pertumbuhan ekonomi di bidang pertanian dan industri serta menjaga ekosistem yang sehat
terkait dengan sumber daya air (Laporan UN SDG-6, 2018). Urbanisasi membantu menciptakan
kemakmuran ekonomi, karena menurut Bank Dunia> 80% dari PDB global dihasilkan di kota
(WB, 2019). Namun, hal itu memiliki berbagai dampak (positif maupun negatif) terhadap
kesejahteraan manusia dan lingkungan (Tabel 1). Mulai dari akses dan kualitas komoditas dasar,
seperti air dan makanan, hingga dampak pada kesehatan manusia dan ekosistem melalui limbah
(padat dan cair) yang dihasilkan oleh pusat-pusat perkotaan dan pengelolaannya (atau
kekurangannya). Ini juga termasuk dampaknya terhadap kesejahteraan sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat. Beberapa contoh spesifik dari dampak tersebut dan tempat-tempat di mana
hal ini telah dirasakan dengan kuat disajikan pada Tabel 1. Sifat dampak ini bervariasi dari satu
wilayah ke wilayah lainnya tergantung pada konteks sosial, budaya dan lingkungan. Karena
potensi transformatifnya, urbanisasi dan dampaknya terhadap masyarakat menjadi agenda utama
organisasi internasional seperti PBB (New Urban Agenda, UN Habitat III) dan World Bank
Group (WB, 2019).
Urbanisasi, proses menjadi kota, sudah tidak bisa dihindari. Perkotaan di Indonesia terus
tumbuh dan berkembang. Penduduk perkotaan terus meningkat dari 49,8% (2010), 53,3%
(2015), dan diperkirakan mencapai 56,7% (2020) (BPS, 2015). Persoalannya arus urbanisasi
tidak terkelola secara produktif dan berkelanjutan. Urbanisasi masih dinilai hanya sebagai
masalah seperti kemiskinan dan kualitas hidup masyarakat rendah, persoalan sosial, ekonomi
dan budaya, krisis air bersih, pangan dan lingkungan kumuh. Indonesia belum mampu
memanfaatkan peluang urbanisasi, ditandai dengan peningkatan PDRB/kapita 4% per
peningkatan 1% penduduk perkotaan dan pembangunan infrastruktur 3% dibanding 5,8%
pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu, pembangunan perkotaan harus direncanakan
dengan matang demi menghadapi urbanisasi. Urbanisasi dapat menjadi peluang sebagai
mesin pertumbuhan yang mengurangi kesenjangan sosial dan mendorong tanggung jawab
sosial, mempromosikan keberlanjutan lingkungan hidup, serta meningkatan kesejahteraan
masyarakat. Kebijakan nasional pembangunan perkotaan dan wilayah termuat dalam Nawa
Cita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Pemerintah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat kota-desa, serta
mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi
domestik. Pertumbuhan antarkota, serta kota-desa, yang tidak seimbang menyebabkan
konsentrasi aliran finansial dan perdagangan pada kota metropolitan dan tidak menjangkau
kota menengah dan desa. Hal itu disebabkan konektivitas yang terbatas dan pengaruh
perkembangan ekonomi global. Alih fungsi lahan di kawasan peri-urban semakin menggerus
kawasan hijau dan lahan tidak terbangun, serta mengakibatkan degradasi lingkungan.
Ketidakseimbangan pembangunan desa-kota serta tidak terpadunya perencanaan
pembangunan mengancam ketahanan pangan akibat krisis air, serta kerentanan wilayah akan
risiko bencana dan ancaman perubahan iklim. Lalu apa yang harus dilakukan untuk meredam
urbanisasi? RPJMN 2015-2019 memberikan arah kebijakan pembangunan perkotaan dan
wilayah yaitu perwujudan kota-kota berkelanjutan dan berdaya saing, pemerataan
pembangunan di luar Pulau Jawa, dan pengembangan kota layak huni, kota hijau yang
berketahanan iklim dan bencana, kota cerdas, berdasarkan karakter fisik, potensi ekonomi,
dan budaya lokal. Pertama, pengembangan kota sebagai peredam urbanisasi ke Jakarta dibagi
atas tiga lapis. Pembangunan infrastruktur, properti, dan industri di kawasan Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi (lapis pertama). Mendorong Kota Bandung, Semarang, dan Surabaya
sebagai kota metropolitan (lapis kedua), dan mengembangkan kota-kota metropolitan di luar
Jawa seperti Medan, Padang, Pontianak, Balikpapan, Manado, Makassar (lapis ketiga).
Kedua, pemerintah memperkuat kapasitas kepemimpinan daerah dalam pembangunan yang
kolaboratif, terpadu, dan berkelanjutan dengan memperkuat peranan urban development and
management advisor lokal (perguruan tinggi, komunitas masyarakat), peran pengabdian
asosiasi profesi, advokasi pemerintah daerah, dan penerapan e-governance. Ketiga,
keterlibatan seluruh pihak yang terpadu dan setara dalam pembangunan berkelanjutan dengan
penyusunan skema kerja sama multipihak, pemberian insentif kepada swasta atau
masyarakat, serta pembentukan atau penguatan institusi atau lembaga integrasi
pembangunan. Keempat, kepala daerah diharapkan tidak mengandalkan anggaran pusat,
tetapi memperkuat ekonomi lokal dan informal perkotaan dan perdesaan, memanfaatkan
berbagai peluang pendanaan melalui skema pembiayaan multipihak dan pendanaan global.
Sementara itu, optimalisasi pajak/retribusi sebagai pendukung dan APBN sebagai pengungkit
mobilisasi pendanaan alternatif. Kelima, membentuk masyarakat cerdas, inovatif, dan
berwawasan digital demi terwujudnya kota-desa berkelanjutan untuk semua, melalui
pemerataan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan teknologi masuk
desa. Sosialisasi dan penerapan TIK sesuai dengan kearifan lokal, peningkatan peran kaum
muda dan membangun jejaring kota-desa. Keenam, mengoptimalkan pembangunan
infrastruktur dan pemahaman masyarakat untuk mewujudkan kota-desa yang aman,
berketahanan, dan berwawasan lingkungan dengan optimalisasi program eksisting dan
mempercepat keterpaduan wilayah pengembangan strategis, pola konsumsi dan produksi
berkelanjutan, implementasi konsep ‘kota hijau’. Ketujuh, berbekal aset ekonomi, sosial dan
budaya, dan lingkungan alami daerahnya, pemerintah daerah mengembangkan potensi itu
secara kreatif dan inovatif sebagai investasi kota/kabupaten secara berkelanjutan.
Optimalisasi BUMD dan dana desa membangun desa unggulan (desa
wisata/pusaka/hijau/kreatif/digital) yang berefek ganda bagi kota/kabupaten dan ekonomi
nasional untuk kemakmuran masyarakat.
Mengapa Peningkatan pendapatan masyarakat akan meningkatkan permintaan terhadap
ruang dan gedung tinggi?
Properti sejak lama dianggap sebagai salah satu instrumen investasi yang menjanjikan, jika
dibandingkan dengan jenis investasi lainnya seperti saham ataupun deposito, properti dianggap
lebih menguntungkan. Berbicara tentang investasi properti, salah satu jenis properti yang saat ini
banyak dilirik oleh para investor adalah apartemen. Dengan lahan di kota yang semakin terbatas
dan populasi yang semakin bertambah, maka ketika ada peningkatan pendapatan jenis properti
ini dianggap lebih menjanjikan, karena minat untuk membeli apartemen terus meningkat seiring
dengan kenaikan harga rumah tapak yang sangat tinggi. Perkembangan harga jual apartemen
juga terbilang cukup baik, rata-rata kenaikannya bisa mencapai 5 hingga 10 persen per tahun.
Contohnya seperti apartemen Meikarta, saat di-launching tahun 2017 lalu harga jualnya Rp 127
juta dan dalam waktu satu tahun sudah mencapai Rp 340 juta. Kemudian ada juga Vasanta
Innopark, saat pertama kali dilaunching tahun 2017 harganya Rp 270 juta dan saat ini telah
mencapai Rp 318 juta
Jika tujuannya adalah indikator ekonomi dan kualitas hidup, mana yang lebih efektif
dalam pembangunan kota? Membangun gedung tinggi untuk perkantoran atau tempat
tinggal?
Menurut Penelitian Arrauda (2015) Dari analisis yang sudah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa responden yang berminat untuk membeli apartemen lebih banyak
dari responden yang berminat dengan perbandingan 65% : 35%. Alasan utama yang
paling banyak diungkapkan oleh responden untuk membeli apartemen adalah untuk
investasi. Lalu alasan kedua terbanyak adalah faktor lokasi yang strategis dari apartemen.
Alasan dominan yang diungkapkan oleh responden untuk tidak membeli apartemen
adalah karena mem-prioritaskan tanah atau rumah terlebih dahulu. Alasan lain yang juga
dominan adalah karena tidak adanya halaman di apartemen yang bisa mengakomodasi
kegiatan bersama keluarga ataupun hobi.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Alva Ayu (2016) yang menunjukkan
bahwa pembangunan rusunawa lebih dianggap low cost dan mampu mengurangi adanya
slump area dalam rangka meningkatkan kualitas hidup. Penelitian ini memperlihatkan
bahwa sebagian besar penghuni rusunawa merasa bahwa rusunawa memiliki kondisi
yang lebih baik dibandingkan dengan tempat tinggal sebelumnya. Selain itu fasilitas
umum dan khusus juga sudah tersedia. Namun, salah satu kekurangannya adalah tidak
tersedia fasilitas pendidikan, khususnya sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan
sekolah menengah umum (SMU) di sekitar lingkungan pemukiman. Rusunawa
merupakan salah satu alternatif penanganan kawasan kumuh di perkotaan yang efektif.
Pembangunan rusunawa dapat lebih mempunyai potensi tidak hanya dalam penanganan
permukiman kumuh, rusunawa juga diharapkan mampu meningkatkan kualitas
lingkungan permukiman melalui pendekatan township development. Pembangunan
rusunawa juga dapat diarahkan pada pembangunan perkotaan yang lebih manusiawi
sekaligus solusi peningkatan kualitas permukiman karena ketersediaan sarana dan
prasarana dasar yang layak bagi perumahan dan permukiman. Untuk itu, pembangunan
rusunawa harus dapat diintegrasikan kepada pembangunan suatu unit lingkungan hunian
yang mampu menyediakan fasilitas pendukung yang diperlukan dalam lingkungan
permukiman tersebut.
Kerugian utama bangunan tinggi meskipun tampaknya sepele tetapi dapat membuat banyak
perbedaan sebagai berikut :
1. Pembangunan gedung yang sangat tinggi membutuhkan insinyur dan arsitek yang sangat
terampil untuk merancang bangunan, sehingga meningkatkan total biaya. Lebih banyak
masalah keamanan terjadi saat membangun perancah. Kurangnya keselamatan
membunuh banyak pekerja di lokasi.
2. Bangunan yang sangat tinggi menanggung kekuatan angin dan kekuatan seismik terpisah
dari beban mati dan beban hidup. Hal ini sangat beresiko dan menambah peluang
robohnya bangunan saat gempa.
3. Bangunan di atas ketinggian 100 lantai menghadapi masalah osilasi, terkadang berakibat
tabrakan kaca jendela. Osilasi yang konstan dapat memberikan perasaan mual kepada
penghuni gedung.
4. Fondasi bangunan yang sangat tinggi dengan tanah berada pada beban yang luar biasa
dan sedikit saja kegagalan tanah atau pergeseran tanah dapat menyebabkan runtuhnya
bangunan.
5. Lebih banyak orang yang tinggal di daerah kecil artinya menambah kesulitan dalam
mencegah kemacetan lalu lintas dan timbulnya sejumlah masalah manusia dan masalah
sosial.
6. Karena populasi yang berlebihan, ada beban yang tidak seimbang pada layanan kota
seperti pasokan air, limbah, listrik, dll. Sulit untuk mencegah kecelakaan karena
kebakaran, bencana gempa bumi, dll.
7. Orang-orang yang tinggal di apartemen bertingkat merasa kesepian. Mereka merasa sulit
untuk mempertahankan hubungan yang berkelanjutan dengan satu sama lain, karena
kebanyakan dari mereka hanya menyewa apartemen dan banyak berpindah-pindah.
8. Mereka jarang berkomunikasi dengan tetangga, sehingga rasa kepemilikan tidak ada di
antara penduduk ini. Ketika mereka menghadapi masalah dalam hidup, mereka merasa
tidak berdaya dan tertekan.
9. Selain itu, apartemen bertingkat tinggi biasanya di daerah perkotaan yang padat
penduduk dan orang-orang dapat hidup dalam kondisi sempit. Tidak ada ruang yang
memadai seperti halaman belakang pribadi dan taman bermain untuk mengadakan acara
kumpul-kumpul.
Kenaikan biaya tanah dan permintaan untuk memuaskan kebutuhan populasi besar di kota-
kota telah membuka pintu untuk pembangunan gedung-gedung tinggi, umumnya dikenal
sebagai bangunan bertingkat highrise atau skyscraper. Saat ini bangunan bertingkat telah
menjadi hal yang esensial dan tidak terhindarkan di kota-kota metropolitan. Bangunan
dengan lebih dari lima lantai disebut bangunan bertingkat, dan sebagian besar bangunan
tinggi di kota memiliki lima hingga dua belas lantai. Namun, di kota-kota metro seperti
Kolkata, Delhi, Mumbai, Chennai, dan Hyderabad, bangunan lantai 30 hingga 45 sudah biasa
berkembang.
Hubungan endogenous antara penyediaan lantai gedung dengan tekanan aglomerasi
Sulit untuk mengklaim bahwa penyelesaian gedung-gedung tinggi baru adalah variabel eksogen.
Ancaman nyata dalam proses identifikasi berasal dari adanya potensi endogenitas, dan ini dapat
muncul jika peningkatan aglomerasi di satu kota menyebabkan tekanan permintaan gedung-
gedung tinggi lebih banyak. Selain itu, omitted variable bias juga dapat hadir jika konstruksi
pencakar langit terjadi di tempat-tempat di mana nilai tanah lebih rendah atau ketika aturan
zonasi telah diterapkan diubah untuk meningkatkan jumlah kegiatan komersial.
“ Reverse causality might occur if the completion of tall buildings happens in places where
firms’ demand for building and firms agglomeration is higher. A first look at Figure 6 might
suggest that reverse causality could be present”
PROBLEM 3
A
Experienced density adalah pengukuran jumlah populasi dalam jarah 10 kilometer dari
jumlah penduduk rata-rata. Sedangkan Naïve density adalah pengukuran jumlah populasi per
kilometer persegi. Experienced density dianggap lebih tepat untuk menjelaskan fenomena
hubungan antar populasi sebuah kota dengan tingkat upah yang diterima masyarakatnya
karena naïve density mungkin tidak secara tepat mencerminkan kepadatan yang sebenarnya
yang dihadapi oleh individu atau perusahaan yang ada. De loca dan Puga (2017) dan
Henderson, Kriticos, dan Nigmatulina (2020) telah mengusulkan pengukuran experienced
density dengan menghitung populasi dalam radius tertentu disekitar individu. Pengukuran
dengan experienced density meskipun memperhitungkan batas wilayah yang tidak merata
namun dapat menangkap lebih baik seberapa dekat individu pada umumnya dengan orang
lain dengan kondisi populasi yg tersebar secara tidak merata
Travel Speed density adalah hubungan jarak yang ditempuh oleh seorang pengemudi menuju
ke pusat kota
The relationship between urban form and driving has received much attention from the
literature and is the subject of several surveys, including Ewing and Cervero (2001), Handy
(2005), Cao, Mokhtarian, and Handy (2009), Ewing and Cervero (2010), Boarnet (2011), and
Stevens (2017). The primary focus of this literature is relationship between urban form and either
total travel distance by households (e.g., Bento, Cropper, Mobarak, and Vinha, 2005,
Brownstone and Golob, 2009) or the journey to work (e.g., Gordon, Kumar, and Richardson,
1989, Giuliano and Small, 1993, Glaeser and Kahn, 2004)
The possibility that an individual or household’s location choice may depend on their predis
sition to travel is widely recognized and Cao et al. (2009) survey the econometric techniques
t have been applied to the problem. However, the literature has yet to identify a good source
random or quasi-random variation in neighborhood choice. To the extent that the literature
plements instrumental variables estimations to deal with sorting, it relies on variables such as
e or housing stock age that seem unlikely to satisfy the relevant exogeneity condition and are
bject to the conceptual problem.
Apakah peningkatan travel speed density berdampak positif bagi perekonomian kota?
Berdasarkan penelitian Chong et al 2019, Peningkatan konektivitas antar kota berkat HSR
memberikan dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi perkotaan. Ada
heterogeneous effects yang disebabkan karakteristik seperti capital stock, human capital, dan
urban ekonomi yang bervariasi antar daerah. Tanpa memperhatikan efek tersebut maka hasil
yang diperoleh menjadi spurious. Dekomposisi dampak dari High Speed Rail (HRS)
menggunakan metode IVGMM dan Spatial Econometric Model, dimana Kontribusi HSR
terhadap pertumbuhan ekonomi perkotaan sebagian besar dihasilkan dari direct effect (efek
lokal dari kota itu sendiri) dibandingkan indirect effect (spillover effect dari kota-kota lain
yang saling bertetanggaan).
Rose & Haynes (2016), Chen & Haynes (2017),Roland-Holst (2009), Zheng & Kahn(2013),
Michaels,Rauch & Redding (2012),dan Tikoudis,Sundberg& Karlström (2012) menemukan
hasil serupa dimana Infrastruktur kereta api cepat memiliki dampak yang positif dan
signifikan pada performa ekonomi daerah, namun jarang yang berfokus pada peningkatan
konektivitas antar kota.
Donaldson& Hornbeck (2016),Elhorst & Oosterhaven (2008)dan Faber(2014) mendapati
bahwa Efek dari infrastruktur transportasi bervariasi tergantung karakteristik dan kondisi
daerah, serta kualitas infrastruktur tersebut. Peningkatan konektivitas dapat mengubah
distribusi ruang dari aktivitas ekonomi, sehingga manfaat ekonomi dari infrastruktur
transportasi dapat ambigu.
PROBLEM 4
A.
Apa yang dimaksud dengan Delineasi Kota?
etropolitan Jabodetabekpunjur terdiri dari 191 Kecamatan yang berasal dari 10 Kota dan 4
Kabupaten. Rincian kecamatan yang terdapat di masing-masing kabupaten dan kota adalah
sebagai berikut:
Kota Administrasi Jakarta Barat terdiri dari 8 kecamatan
Kota Administrasi Jakarta Pusat terdiri dari 8 kecamatan
Kota Administrasi Jakarta Selatan terdiri dari 10 kecamatan
Kota Administrasi Jakarta Timur terdiri dari 10 kecamatan
Kota Administrasi Jakarta Utara terdiri dari 6 kecamatan
Kota Bekasi terdiri dari 12 kecamatan
Kota Bogor terdiri dari 6 kecamatan
Kota Depok terdiri dari 11 kecamatan
Kabupaten Bekasi terdiri dari 23 kecamatan
Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan
Sebagian Kabupaten Cianjur terdiri dari 4 kecamatan (Kecamatan Cugenang, Kecamatan
Pacet, Kecamatan Sukaresmi, dan Kecamatan Cipanas)
Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan
Kota Tangerang Selatan terdiri dari 7 kecamatan
Kabupaten Tangerang terdiri dari 29 kecamatan
Kebijakan Tata Ruang Nasional menempatkan Kawasan Perkotaan Mebidangro sebagai Pusat
Kegiatan Nasional (PKN) sekaligus Kawasan Strategis Nasional (KSN). Kedudukan Kawasan
Perkotaan Mebidangro sebagai KSN adalah Rehabilitasi/Revitalisasi Kawasan dengan sudut
Kepentingan Ekonomi (Lampiran X PP 13/2017: Penetapan Kawasan Strategis Nasional).
b. terwujudnya peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora, dan fauna dengan
ketentuan:
1. Kegiatan budi daya tidak melampaui daya dukung dan ketersediaan sumber daya alam
dan energi;
2. Kegiatan usaha pertanian berskala besar dan kecil menerapkan teknologi pertanian yang
memperhatikan konservasi air dan tanah;
3. Daya tampung bagi penduduk selaras dengan kemampuan penyediaan prasarana dan
sarana lingkungan yang bersih dan sehat serta dapat mewujudkan jasa pelayanan yang
optimal;
4. Pengembangan kegiatan industri menunjang pengembangan kegiatan ekonomi lainnya
5. Kegiatan pariwisata tetap menjamin kenyamanan dan keamanan masyarakat, serasi
dengan lingkungan, serta membuka kesempatan kerja dan berusaha yang optimal bagi
penduduk setempat dalam kegiatan pariwisata, sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan penduduk; dan
6. Tingkat gangguan pencemaran lingkungan yang serendah-rendahnya dari kegiatan
transportasi, industri, dan permukiman melalui penerapan baku mutu lingkungan hidup;