Anda di halaman 1dari 18

PENGARUH ANGGARAN PEMERINTAH BIDANG PERTANIAN TERHADAP

PRODUKTIVITAS PANGAN: STUDI KASUS JAWA BARAT

Oleh : Litany Eldest Nurbasuni


1906328446

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Krisis pangan global telah menjadi isu utama diseluruh belahan dunia. Populasi manusia
terus meningkat sedangkan kapasitas bumi tidak bertambah. Berdasarkan statistik FAO (Food
and Agriculture Organization) di 102 negara berkembang, terdapat lebih dari 1.1 milyar orang
kelaparan pada tahun 2011 dan grafiknya terus meningkat setiap tahun. Jaringan sistem pangan
global telah lama dinilai rapuh. Dua pertiga hasil panen dunia dihasilkan dari hanya sekitar 9
spesies tanaman. Sepuluh negara dengan krisis pangan terburuk tahun lalu yaitu Yaman,
Republik Demokratik Kongo, Afghanistan, Venezuela, Ethiopia, Sudan Selatan, Suriah,
Sudan, Nigeria, dan Haiti berjuang menghadapi konflik dan kerusuhan politik (IMF, 2019).
Kekhawatiran akan munculnya krisis pangan global sangat beralasan. Irawan (2010)
menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan krisis pangan global. Pertama, perubahan iklim
menyebabkan peluang terjadinya gagal panen yang masif di berbagai belahan dunia. Kedua,
menyusutnya lahan pertanian di berbagai negara. Ketiga, fenomena proteksionisme yang makin
meningkat akan menyebabkan negara produsen pangan tidak menjual produk pangan ke negara
lain dengan alasan untuk memperkuat cadangan pangan. Keempat, adanya kebijakan inovasi
bahan bakar tak terbarukan sehingga memacu pertumbuhan industri biofuel. Untuk Indonesia,
Disisi lain, ketahanan pangan nasional saat ini cukup menyita perhatian karena pada tingkat
nasional masih belum mencapai kata ‘ketahanan’. Hal ini ditandai dengan negara Indonesia
masih impor beras, jagung dan pangan pokok lainnya dari negara lain seperti Vietnam dan
Thailand. Kemudian, data GHI (Global Hunger Index) tahun 2019 menunjukkan bahwa
Indonesia termasuk dalam kategori serious, yang artinya bahwa tingkat kelaparan di Indonesia
serius untuk ditangani (Atem, 2019)
Pemenuhan kebutuhan pangan secara jumlah saja sangatlah tidak mudah, apalagi
menyediakan pangan dari sisi kuantitas, kualitas, dan kandungan gizinya secara sekaligus.
Dengan demikian, upaya pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri yang dilakukan melalui
pembangunan pertanian pada masa mendatang akan mengalami banyak tantangan yang semakin
kompleks dibanding pertanian saat ini dan era sebelumnya. Penguatan kebijakan ketahanan
pangan mulai tercermin pada kebijakan pembangunan di era awal kepemimpinan Presiden
Soeharto. Dengan gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) yang masif, Indonesia tercatat mampu
mencapai swasembada beras pada tahun 1984 dan mendapat penghargaan dari FAO. Kebijakan
yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah setelah era reformasi. Hal ini bisa dilihat dari langkah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mencanangkan program Revitalisasi Pertanian pada
tanggal 11 Juni 2005 dengan program utama berupa peningkatan ketahanan pangan,
pengembangan agribisnis, dan peningkatan kesejahteraan petani. Demikian pula saat presiden
Joko Widhodo menjabat yang lebih berfokus pada peningkatan infrastruktur pertanian. Sasaran
dan target tersebut diikuti dukungan kebijakan fiskal berupa kecenderungan penambahan jumlah
anggaran belanja pemerintah Kementerian Pertanian 2010-2020 dibanding periode 2004-2009
(Gambar 1). Penambahan jumlah belanja pemerintah diharapkan dapat meningkatkan produksi
pangan dan output pertanian. Namun, sejauh mana implikasi kenaikan belanja pemerintah
terhadap sasaran dan target pembangunan yang telah ditetapkan masih perlu dilakukan uji ilmiah
lanjut yang lebih mendalam

Anggaran Kementrian Pertanian (2004-2020)

35,000,000,000,000.00
30,000,000,000,000.00
ANGGARAN (RIBU RUPIAH)

25,000,000,000,000.00
20,000,000,000,000.00
15,000,000,000,000.00
10,000,000,000,000.00
5,000,000,000,000.00
0.00
04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

TAHUN

Gambar 1 : Anggaran Kementrian Pertanian (2004-2020)


Sumber : Biro Perencanaan Keuangan (2020), diolah

Alokasi yang sesuai dalam distribusi anggaran belanja pemerintah sangat penting agar
mampu meningkatkan produktivitas pertanian. Pengeluaran pemerintah dalam bentuk belanja
yang diinvestasikan dalam program peningkatan produksi padi diharapkan tepat sasaran dan
efektif mencapai target yang telah ditetapkan. Bukan sebaliknya, anggaran yang secara
persentase cenderung memiliki proporsi rendah dibandingkan jumlah APBN total, diperparah
lagi dengan tidak adanya dampak yang signifikan terhadap produksi pangan.

Jabar menjadi salah satu lumbung padi terbesar di Indonesia, dengan produksi 13,52 juta ton atau
15,38 persen dari total produksi nasional Kementerian Pertanian (Kementan) mendukung penuh
Provinsi Jawa Barat sebagai produsen atau penghasil beras organik terbesar di Indonesia. Ini
optimis diwujudkan mengingat didukung oleh banyaknya titik wilayah organik yang tersebar
di Jawa Barat seluas 6.944 hektar di 22 Kabupaten, salah satuhnya Kabupaten Bandung. Namun
nyatanya produksi luas lahan padi di Jawa barat terus mengalami penurunan sejak tahun 2016
hingga saat ini, yang berakibat pada penurunan produksi padi dan secara langsung
mempengaruhi produksi beras (BPS 2019). Hal ini turut menjadi bukti bahwa lahan yang luas
saja tidak cukup untuk mempertahankan kestabilan komoditas pangan. Perlu investasi dari
pemerintah untuk mendorong tercapainya swasembada pangan yang berkelanjutan.
Fuglie (2004) melakukan penelitian tentang faktor penentu pertumbuhan sektor pertanian
di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1960-2000. Menurutnya, produktivitas pertanian
mengalami peningkatan pada kurun waktu 1970-1980 dan trendnya mendatar mulai awal tahun
1990, dimana sebagian besar pertumbuhan pada masa 1970-1980 tersebut disebabkan oleh
peningkatan input produksi berupa lahan dan tenaga kerja. Stagnasi produktivitas di awal tahun
1990 disebabkan oleh rendahnya investasi publik maupun individu seperti penelitian,
infrastruktur pedesaan, dan irigasi. Alokasi yang tidak benar (misinvestment) dan alokasi yang
tidak memadai (underinvestment) seperti hasil penelitian Fuglie (2004) tersebut sering terjadi
karena pertimbangan situasi politik ataupun pemenuhan target jangka pendek (siklus 5 tahun
pemerintahan). Proporsi antara investasi pada sarana publik dengan pola subsidi dan bantuan
sosial yang semakin timpang selama ini menunjukkan adanya target short run yang lebih
diutamakan. Padahal, investasi pada sarana publik pada jangka panjang justru lebih tepat karena
pada umumnya memiliki return of investment (ROI) yang lebih tinggi dibanding
programprogram populis seperti subsidi dan bantuan sosial. Berdasarkan uraian di atas, perlu
kajian untuk mengetahui sejauh mana efektivitas pengaruh belanja pemerintah terhadap
peningkatan produksi padi. Pengetahuan ini penting sebagai dasar pengambilan kebijakan fiskal
agar alokasi belanja pemerintah dapat dialokasikan terhadap program-program yang tepat dan
memberikan pengaruh nyata terhadap sasaran dan target produksi pangan yang telah ditetapkan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan kondisi diatas, permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pengaruh peningkatan belanja pemerintah terhadap peningkatan produksi
padi di Propinsi Jawa Barat?
2. Belanja pemerintah dalam bentuk program apa sajakah yang berpengaruh nyata terhadap
peningkatan produksi padi di Propinsi Jawa Barat?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan kondisi diatas penelitian ini bertujuan untuk :
1. Melakukan analisis deskriptif sejauh mana efektifitas belanja pemerintah pusat dalam
mempengaruhi produktivitas output pangan khususnya padi di Jawa Barat
2. Mengidentifikasi program kementrian pertanian yang berpengaruh nyata terhadap
peningkatan produktivitas padi
1.3 Research Gap dan Kontribusi Penelitian
Salah satu penyebab perbedaan hasil yang diperoleh penelitian sebelumnya mengenai sejauh
mana eketivitas belanja pemerintah dalam meningkatkan produktivitas output ketahanan pangan adalah
proksi yang kurang tepat dalam mengukur belanja pemerintah. Penelitian sebelumnya juga tidak
melakukan klasifikasi pada sumber-sumber pendanaan dalam tiap-tiap program. Penelitian ini
diharapkan dapat berkontribusi dalam menjelaskan hubungan belanja pemerintah dengan
produksi padi. Jawaban atas bentuk-bentuk belanja pemerintah yang berpengaruh signifikan dan
tidak signifikan terhadap produksi padi dapat membantu Pemerintah merumuskan kebijakan
yang tepat di masa depan. Alokasi belanja pemerintah untuk program yang tidak signifikan
berpengaruh positif terhadap produksi padi, dapat direalokasi kepada program-program lain yang
lebih berpengaruh. Sehingga, alokasi belanja pemerintah yang kecil di sektor pertanian
diharapkan tidak semakin parah dengan adanya kesalahan investasi (misinvestment). Dengan
demikian, penelitian ini bermanfaat untuk mengurangi kesalahan investasi pemerintah,
khususnya dalam program peningkatan produksi padi, dan berperan dalam perumusan kebijakan
belanja pemerintah yang lebih tepat di masa mendatang.
2.TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep dan Sejarah Ketahanan Pangan di Indonesia
Di Indonesia, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan
pangan didefinisikan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.” Pada masa Orde Lama, kebijakan pangan di Indonesia difokuskan pada
swasembada beras. Terdapat dua kebijakan besar untuk mendukung fokus tersebut, yakni
Program Kesejahteraan Kasimo dan Program Sentra Padi. Pada masa peralihan Orde Lama ke
Orde Baru, selama tahun 1965–1967, beberapa kebijakan pangan pemerintah meliputi, antara
lain pembentukan Komando Logistik Nasional (Kolognas) tahun 1966 serta pendirian Badan
Urusan Logistik (Bulog)  yang menggantikan Kolognas tahun 1967. Bulog kemudian menjadi
satu-satunya pembeli beras tunggal di Tanah Air.
Beberapa program kegiatan selama periode kebijakan swasembada beras tahun 1969–
1979, antara lain menambah tugas Bulog sebagai manajemen stok penyangga pangan nasional
(1969), pengimpor gula dan gandum (1971), pengadaan daging untuk DKI Jakarta (1974),
hingga mengontrol impor kacang kedelai (1977). Selain itu, muncul Serikat Tani Indonesia
(1971), penetapan Revolusi Hijau untuk mencapai swasembada beras (1974), serta penetapan
harga dasar jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau (1978). Selama penerapan kebijakan
swasembada pangan (1979–1989). Pada tahun 1984, Indonesia mendapatkan medali dari FAO
karena keberhasilan swasembada beras. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempuh
kebijakan revitalisasi pertanian dan swasembada lima komoditas pangan, yakni beras, jagung,
gula, kedelai, dan daging sapi. Kebijakan ini disertai dengan komitmen untuk meningkatkan
pendapatan petani demi menggenjot PDB, pembangunan agribisnis yang mampu menyerap
tenaga kerja, serta swasembada beras, jagung, serta palawija. Dalam pemerintahan Presiden Joko
Widodo, kebijakan pangan juga diarahkan untuk swasembada pangan. Beberapa program yang
muncul, antara lain Program Cetak Sawah, Korporasi Usaha Tani, dan Program Lumbung
Pangan Masyarakat. Selain itu, konsep ketahanan pangan didukung dengan kebijakan kedaulatan
pangan. Di tingkat kebijakan, konsep kedaulatan pangan di Indonesia mulai muncul pada akhir
pemerintahan SBY dalam UU 18/2012 tentang Pangan. Konsep tersebut dipertegas dan
diperjelas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sesuai dengan pemikiran yang berkembang
di tingkat global, yakni sebagai suatu kebijakan pangan yang lebih mendasar. Selama
pemerintahan Presiden Joko Widodo, konsep kedaulatan pangan muncul beberapa kali dalam
dokumen pemerintah, antara lain dalam Nawacita, RPJM 2014–2019, Rencana Induk
Pembangunan Pertanian 2015–2045, Rencanan Kerja Kementerian Pertanian 2015–2019.
2.2 Kontribusi Pemerintah terhadap Ketahanan Pangan di Indonesia
Biro Perencanaan Kementan, menyebutkan bahwa Kementerian Pertanian RI
melaksanakan program peningkatan produksi padi dengan pendekatan konsep agribisnis, yaitu
sub sistem hulu, sub sistem budidaya, dan sub sistem pasca panen. Sedangkan untuk sub sistem
jasa dan sub sistem pemasaran hanya mendapat bagian kecil dari seluruh anggaran yang ada.
Program pembangunan pertanian untuk peningkatan produksi di lini sub sektor hulu antara lain
program pencetakan sawah baru, pembuatan embung, perbaikan sistem irigasi tersier, pembuatan
jalan usaha tani, pemuliaan varietas benih unggul padi, PUAP (pengembangan usaha agribisnis
pedesaan), dan bantuan langsung benih unggul. Untuk sub sektor budidaya, program yang
dijalankan antara lain program SL-PTT (sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu), SL-PHT
(sekolah lapang pengendalian hama terpadu), pencegahan dan pemberantasan OPT (organisme
pengganggu tanaman), subsidi pupuk anorganik, penyuluhan, dan bantuan langsung pupuk
organik. Pada sub sektor pasca panen, dilaksanakan program bantuan alat panen (power tresher,
combine harvester) dan bantuan alat penggilingan padi (rice milling unit). Berdasarkan faktor
produksi yang dilaksanakan melalui program-program Kementerian Pertanian, faktor produksi
yang akan dikaji lebih mendalam dalam penelitian ini adalah belanja pemerintah untuk
penyediaan pupuk bersubsidi, bantuan benih unggul, bantuan modal, sekolah lapang, dan
infrastruktur pertanian (irigasi tersier dan jalan usaha tani).
(1) Pupuk
Kapindo (2011) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pengadaan pupuk
bersubsidi akan meningkatkan efisiensi usaha tani, yaitu berimplikasi pada
peningkatan
pemanfaatan lahan dan penggunaan benih yang secara sinergis berpengaruh
terhadap peningkatan produksi pertanian.

(2) Benih Unggul


Balitbangtan (2008) menyebutkan bahwa benih merupakan sarana produksi yang
membawa sifat-sifat varietas tanaman sehingga berperan penting dalam menentukan
tingkat hasil yang akan diperoleh. Keuntungan menggunakan benih padi bermutu tinggi
antara lain benih tumbuh dengan cepat dan serempak, bila disemaikan mampu
menghasilkan bibit yang vigorous (tegar) dan sehat, ketika ditanam-pindah, bibit dapat
tumbuh lebih cepat, pertanaman lebih serempak dan populasi tanaman optimum sehingga
mendapatkan hasil yang baik.

(3) Permodalan
Bentuk program bantuan penguatan modal yang diperuntukkan bagi petani pertama kali
diperkenalkan pada Tahun 1964 dengan nama Bimbingan Masal (BIMAS). Tujuan
dicanangkannya program tersebut adalah untuk meningkatkan produksi, meningkatkan
penggunaan teknologi baru dalam usahatani dan peningkatan produksi pangan secara
nasional. Dalam perjalanannya, program BIMAS dan kelembagaan kredit petani
mengalami banyak perubahan dan modifikasi yang disesuaikan dengan perkembangan
teknologi dan kebijakan (Hasan 1979 dalam Lubis 2005).
(4) Rehabilitasi Infrastruktur Irigasi Pertanian
Infrastruktur merupakan suatu sarana (fisik) pendukung agar pembangunan ekonomi
suatu negara dapat terwujud. Perekonomian yang terintegrasi membutuhkan
pembangunan infrastruktur. Peningkatan sarana perhubungan seperti jalan dan jembatan
berimplikasi pada semakin murahnya biaya distribusi, dan mempercepat distribusi,
sehingga akses masyarakat terhadap pangan menjadi lebih mudah dan cepat (Kwik 2002).
(5) Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT)
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi pangan, terutama padi, adalah
dengan cara meningkatkan produktivitas melalui penerapan teknologi secara intensif.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan adanya temuan teknologi budidaya tani yang
dapat meningkatkan hasil produksi padi per satuan hektar. Untuk itulah, penerapan
teknologi merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan
produksi pangan. Dalam rangka peningkatan produksi padi, Pemerintah telah melakukan
upaya peningkatan produksi beras nasional (P2BN) dengan salah satu kegiatan utamanya
adalah transfer teknologi melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-
PTT)
2.3 Penelitian Terdahulu
Tabel 1
Penulis Wilayah Metode Hasil
Observasi
Rostaliana (2011) Bengkulu Analisis Poduksi gabah kering giling tahun 2009 naik sebesar 10 042.56 ton
Deskriptif sedangkan tahun 2010 mengalami peningkatan mencapai 18 080.80
ton dengan adanya peningkatan penggunaan benih unggul bermutu.
Selain benih dan pupuk, faktor permodalan juga memberikan
pengaruh terhadap peningkatan produksi padi dan pendapatan petani
Kaur Sharma (2012) India Analisis Subsidi pupuk yang meningkat mampu menaikkan produktivitas
Deskriptif pangan pada tahun 1996-2002 sebesar 13,28%. Pemerintah India
mencabut subsidi pupuk pada tahun 2003 dan akhirnya
menyebabkan penurunan produksi pangan. Hal tersebut terjadi
karena sebagian besar petani India belum mampu membeli pupuk
dengan harga non subsidi
Ebiringa dan Thaddeus Nigeria ECM Pengeluaran pemerintah untuk transportasi dan pertanian
(2012) memberikan pengaruh yang negatif. Hal tersebut disebabkan oleh
rendahnya alokasi belanja pemerintah untuk kedua sektor tersebut,
sehingga tidak memadai untuk membangun kapasitas sektor
pertanian

Uger (2013) Nigeria OLS Berdasarkan data time series tahun 1991-2010, terdapat hubungan
yang lemah antara belanja pemerintah di sektor pertanian dengan
GDP sektor pertanian. Hasil tersebut disebabkan oleh anggaran
belanja pemerintah yang kurang memadai di sektor pertanian.

Nini Rigi (2019) Solok Survei (Purposive Hasil penelitian menunjukkan bahwa Prosedur pelaksanaan pupuk
Sampling) subsidi sudah terlaksana sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang
telah ditetapkan. Namun masih ada permasalahan yang terjadi
seperti RDKK yang disusun sendiri oleh petani tanpa didampingi
oleh penyuluh, berkurangnya keaktifan kelompok tani dalam
musywarah untuk menyusun RDKK sehingga RDKK yang
digunakan adalah RDKK yang disusun pada tahun sebelumnya.
Nauly (2019) Indonesia Persamaan Surplus produsen akan dicapai jika pemerintah menerapkan
Simultan kebijakan jaminan harga berupa peningkatan Harga Pembelian
Pemerintah (HPP), sedangkan surplus konsumen akan dicapai jika
pemerintah menerapkan kebijakan peningkatan subsidi input berupa
kredit pertanian dan subsidi pupuk serta peningkatan produktivitas
areal.  Untuk meningkatan surplus produsen dan konsumen secara
merata maka perlu diterapkan paket kebijakan yang merupakan
kombinasi dari kebijakan subsidi pupuk dan kebijakan HPP.
Muhammad Radinal Aceh Analisis fungsi Adapun berdasarkan hasil analisis fungsi produksi cobb-douglass
(2020) Cobb-Douglas menunjukkan pupuk subsidi jenis Urea dan NPK yang
penggunaannya mempengaruhi produktivitas padi dikarenakan
realisasinya yang tinggi yaitu 58,6% dan 66,5%.
Ramadhani (2020) Jember Analisis Regresi Hasil analisis secara simultan menunjukkan bahwa Variabel Pupuk,
Linear Berganda Obat, tenaga kerja, luas lahan berpengaruh signifikan terhadap
produksi padi di Desa Pancakarya Kecamatan Ajung Kabupaten
Jember. 
2.4 Kerangka Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis program ketahanan pangan yang dilakukan
Pemerintah, terutama dalam hal kebijakan belanja pemerintah. Penelitian ini dibatasi pada
wilayah Propinsi Jawa Barat dan lima anggaran belanja pemerintah yang bersumber dari
anggaran Kementerian Pertanian RI. Alasan memilih provinsi Jawa Barat karena merupakan
penghasil komoditas padi terbesar di Indonesia. Investasi publik yang bersumber dari Pemerintah
Daerah tidak dimasukkan sebagai variabel independen dengan pertimbangan bahwa alokasi
belanja daerah relative sangat kecil dan beragam jenis programnya. Begitu juga dengan investasi
swasta, tidak disertakan dalam variabel independen karena investasi swasta sangat kecil pada
budi daya usaha padi dan lebih banyak dialokasikan untuk sektor perkebunan. Jumlah belanja
pemerintah dan pengaruhnya terhadap produksi padi dilakukan analisa secara deskriptif
berdasarkan data grafik dari sisi sosial, ekonomi, dan politik. Belanja pemerintah tersebut terbagi
ke dalam empat jenis belanja, yaitu belanja sosial, belanja subsidi, belanja investasi publik, dan
belanja lainnya. Keempat jenis bentuk belanja tersebut dicerminkan dari lima program utama
yang memiliki alokasi belanja yang cukup besar di Kementerian Pertanian, yaitu subsidi pupuk,
bantuan benih unggul, rehabilitasi irigasi tersier, bantuan permodalan PUAP (pemberdayaan
usaha agribisnis pedesaan), dan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT).

Ketahanan Pangan

Peningkatan Produksi Pangan Utama

Analisis Model Panel Statis

Sekolah Lapang

Rehabilitasi Irigasi
Tersier
Bantuan Benih Unggul
 
Bantuan Modal PUAP

Subsidi Pupuk

 
Investasi Belanja Sosial Subsidi Program

Misinvestment Underinvestmen
t
3. SUMBER DAN JENIS DATA
Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder berasal dari data yang dikeluarkan
oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dan Kementerian Pertanian RI, Dinas Pertanian Propinsi Jawa
Barat, Dinas Pertanian Kabupaten/Kota wilayah Propinsi Jawa Barat, serta studi pustaka. Data
sekunder yang dianalisis adalah data jumlah anggaran belanja pemerintah untuk program
peningkatan padi dan data produksi padi di 26 Kabupaten/Kota di wilayah Propinsi Jawa Barat
selama kurun waktu tahun 2007 – 2020.

4. PEMBAHASAN

Salah satu instrumen Pemerintah dalam melaksanakan program-program pembangunan


adalah pengaturan kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal berupa belanja pemerintah ini merupakan
cerminan dari implementasi kebijakan politik pembangunan sebuah negara. Penguatan
pembangunan suatu sektor setidaknya dapat terlihat pada seberapa besar alokasi belanja
pemerintah pada sektor tersebut. Sektor pertanian yang memberikan kontribusi tenaga kerja
paling besar di Indonesia selama hampir dua dekade ini cenderung terabaikan jika dilihat dari
alokasi belanja pemerintah yang diberikan. Sebagai contoh, anggaran Kementerian Pertanian
pada tahun 2019 (tertinggi selama 10 tahun terakhir) hanya sebesar Rp 18 triliun atau kurang dari
1% total APBN. Jika ditambah dengan subsidi pupuk sebesar Rp 17 triliun, maka persentase
alokasi belanja sektor pertanian kurang dari 2% total APBN. Angka ini terasa sangat timpang
apabila dibandingkan dengan porsi anggaran pendidikan sebesar 20% ataupun anggaran subsidi
energi yang hampir mencapai 17%. Dengan jumlah anggaran tersebut, wajar apabila banyak
pihak mengatakan bahwa sektor pertanian semakin lama menjadi semakin terabaikan, terutama
jika dilihat dari kecilnya jumlah investasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah (underinvestment).
Investasi Pemerintah yang relatif kecil pada sektor pertanian diharapkan dapat membiayai
berbagai program, terutama pada program peningkatan produksi pangan. Dari sekian banyak
program yang dibiayai oleh belanja pemerintah, belum tentu semuanya efektif berpengaruh
terhadap target dan sasaran yang ditetapkan. Semua pihak tentu berharap agar investasi yang
kecil dapat secara optimal berpengaruh terhadap target pembangunan, bukan sebaliknya, terjadi
ketidaktepatan dalam penempatan belanja pemerintah (misinvetsment). Untuk itu, diperlukan
kajian mengenai besarnya pengaruh masing-masing program terhadap sasaran dan target
pembangunan pertanian. Salah satu hal yang menarik untuk dicermati terkait ketepatan dan
efektivitas investasi pemerintah adalah hubungan antara belanja pemerintah dengan peningkatan
produksi padi. Selain faktor produksi yang dimiliki oleh unit usaha budi daya padi (lahan, tenaga
kerja, kapital) setiap petani, diperlukan dukungan yang nyata dari Pemerintah guna
meningkatkan produksi pangan. Pada kurun waktu 2004-2020, terdapat perbedaan tren kenaikan
ataupun penurunan produksi padi dan belanja pemerintah sub sektor tanaman pangan. Tabel 1
memperlihatkan bahwa produksi padi Indonesia tidak selalu naik setiap tahun. Pada tahun 2011,
produksi padi nasional lebih rendah dibanding tahun 2010. Hal ini berkebalikan dengan jumlah
anggaran sub sektor tanaman pangan yang mengalami kenaikan sekitar 300% pada tahun 2011
dibandingkan tahun 2010 (Tabel 2)

Produksi Padi Nasional (2004-2020)


90000000
80000000
Produksi Padi (Ton) 70000000
60000000
50000000
40000000
30000000
20000000
10000000
0
04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

Tahun

Gambar 2: Produksi Padi Indonesia (2004-2020)


Sumber : BPS (2004-2020), diolah

Anggaran Subsektor Tanaman Pangan


6000

5000
Anggaran (Milyar)

4000

3000

2000

1000

0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Tahun

Gambar 3: Anggaran Subsektor Tanaman Pangan (2008-2018)


Sumber : Biro Perencanaan Kementan 2018, diolah

Dari gambar 1 dan gambar 2 dapat dilihat bahwa persentase kenaikan atau penurunan
belanja pemerintah tidak sama dengan persentase kenaikan atau penurunan produksi padi.
Sebagai contoh, produksi padi pada tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 3.21%, sedangkan
belanja pemerintah justru mengalami penurunan sebesar 11.06%. Pada tahun 2011, jumlah
belanja pemerintah hampir tiga kali lipat dibanding jumlah belanja tahun 2010, sedangkan
jumlah produksi padi justru menurun sebesar 1.6%. Pada tahun 2012, belanja pemerintah
mengalami kenaikan sebesar 59.28% dan produksi padi naik sebesar 5.61%. Pada tahun 2013,
produksi padi mengalami kenaikan sebesar 3.21%, sedangkan belanja pemerintah justru
mengalami penurunan sebesar 30.6%. Berdasarkan tren angka belanja pemerintah sub sektor
tanaman pangan dan produksi padi kurun waktu tahun 2008-2018 tersebut, muncul pertanyaan
mengenai sejauh mana sebenarnya belanja pemerintah mampu meningkatkan produksi tanaman
pangan khususnya padi?
Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi nasional. Sebagai salah
satu sentra produsen padi, keberadaan Jawa Barat sebagai wilayah pengembangan sektor
pertanian sangat strategis dalam upaya pencapaian ketahanan pangan. Pada Tabel 4 dapat dilihat
bahwa produksi padi di Propinsi Jawa Barat (26 Kabupaten/Kota) mengalami penurunan pada
tahun 2006, kemudian berturut-turut meningkat pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, dan
kembali turun pada tahun 2011 dan 2012. Selanjutnya, produksi padi Propinsi Jawa Barat
kembali meningkat pada tahun 2013 dan terus menurun hingga tahun 2019 meski kemudian naik
kembali pada tahun 2020.

Produksi Padi Jawa Barat 2004-2020


14000000
12000000
10000000
8000000
6000000
Ton

4000000
2000000
0
04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

Tahun

Gambar 4 : Produksi Padi (dalam ton) di Jawa Barat


Sumber : BPS 2020, diolah

Hal ini berbeda dengan tren alokasi anggaran belanja pemerintah (irigasi tersier, bantuan
modal, subsidi pupuk, sekolah lapang, dan bantuan benih). Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa
jumlah belanja pemerintah secara konstan mengalami kenaikan dari mulai tahun 2007 sampai
dengan tahun 2009, selanjutnya turun pada tahun 2010, dan mengalami kenaikan signifikan pada
tahun 2011 dan 2012. Pada tahun 2013, kembali terjadi penurunan belanja pemerintah. Hal yang
kontradiktif antara kenaikan dan penurunan anggaran dengan produksi padi terjadi pada 2010,
2011, 2012, dan tahun 2013. Pada tahun 2010, terjadi penurunan belanja pemerintah dibanding
tahun 2009, namun produksi padi secara total naik dari 11.3 juta ton menjadi 11.7 juta ton.
Demikian juga pada tahun 2011, pada saat belanja pemerintah dinaikkan menjadi Rp. 2.3 triliun
(naik sebesar Rp. 1.17 triliun) dibanding tahun 2010, justru terjadi penurunan padi sebesar
hampir 100 ribu ton. Pada tahun 2012, anggaran kembali mengalami kenaikan sebesar Rp. 1.16
triliun dibanding tahun 2009, namun produksi turun hampir 500 ribu ton dibanding tahun 2009.
Pada tahun 2013, belanja pemerintah mengalami penurunan sebesar Rp. 570 miliar dibanding
tahun 2012, namun produksi padi mengalami kenaikan sebesar 750 ribu ton pada tahun 2013.
Hal yang kontradiktif antara produksi padi dan jumlah belanja pemerintah pusat yang berbeda ini
menarik untuk di analisis penyebabnya.
40
35
30
25
20
15
10
5
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Belanja Produksi Padi

Gambar 5 : Belanja Pemerintah Sub Sektor Tanaman Padi dan Produksi Padi di Provinsi Jawa
Barat
Sumber : Kementrian Pertanian 2019, diolah

Dari Gambar 5 dapat dilihat perbedaan tren kenaikan maupun penurunan garis grafik.
Apabila dilihat secara deskriptif, sulit untuk menemukan jawaban yang tepat mengenai hubungan
antara belanja pemerintah terhadap produksi padi Propinsi Jawa Barat. Jika dilihat dari evaluasi
pencapaian pembangunan pertanian akhir tahun 2010, penurunan produksi padi selama tahun
2010 untuk level nasional terjadi karena musim kemarau yang cukup panjang akibat adanya
perubahan iklim. Namun, produksi padi untuk wilayah Jawa Barat tetap mengalami kenaikan
produksi karena kemarau yang cukup panjang tidak merubah pola tanam padi. Artinya, terjadi
kemarau panjang atau tidak, tidak merubah kebiasaan petani Jawa Barat yang memang
membiarkan lahan sawah mereka menganggur pada bulan Mei-September. Hal ini berbeda
dengan kebiasaan petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang tetap mengelola lahan sawah
mereka apabila terdapat air walaupun masuk dalam musim kemarau Mei – Oktober.
Jika dilihat hubungan antara produksi padi dengan masing-masing jenis belanja pemerintah, dari
Gambar 6 dan Gambar 7 nampak bahwa tren produksi padi linier dengan tren masing-masing
belanja pemerintah pada kurun waktu tahun 2007-2017. Pada Gambar 6, dapat dilihat bahwa
ketiga jenis belanja pemerintah (sekolah lapang SL-PTT, permodalan PUAP, dan irigasi)
memiliki tren yang sama. Pada tahun 2011-2012, ketiga jenis belanja pemerintah mengalami
peningkatan yang cukup besar, sedangkan produksi padi justru mengalami penurunan.
14000000 300

12000000 250

10000000
200
8000000
Gambar 6 : Tren
150 produksi padi, belanja
6000000 SL-PTT, PUAP, dan
100 Irigasi
4000000
Sumber : Kementrian
50
2000000 Pertanian 2019, diolah

0 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Hal yang
Tahun Padi SL-PTT PUAP Irigasi
menarik justru dapat
dilihat pada Gambar
7. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa tren produksi padi linier dengan variabel belanja benih
selama kurun waktu tahun 2007-2017. Sedangkan untuk tren produksi padi dan belanja pupuk
tidak linier hanya pada tahun 2012. Sedangkan tahun yang lainnya, semua memiliki hubungan
yang linier. Variabel pupuk dan benih merupakan input langsung produksi padi. Dengan
demikian, semakin luas areal tanam padi, maka semakin bertambah kebutuhan terhadap
penggunaan benih dan pupuk.

400

350

300

250

200

150

100

50

0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Padi (Ratus Ribu Ton) Belanja Pupuk (Ratus Milyar)


Belanja Benih (Ratus Milyar)
Gambar 7: Tren produksi padi, belanja pupuk dan belanja benih
Sumber : Kementrian Pertanian 2019, diolah

Pupuk dan benih unggul dilihat secara tren terbukti berperan signifikan dalam produksi
padi. Namun, apakah model penyaluran melalui skema subsidi dan bantuan sosial sudah tepat
untuk kedua variabel ini masih menjadi pertanyaan yang perlu dijawab. Pertanyaan tersebut
penting karena selama ini masih banyak terdapat kebocoran dalam jenis belanja subsidi dan
bantuan sosial. Sebagai contoh, subsidi pupuk masih bocor ke penggunaan lain. Selain itu,
penggunaan yang over dosis juga menyebabkan penggunaan pupuk subsidi enjadi inefisien.
Begitu juga halnya penyaluran bantuan benih unggul. Seringkali hasil tender pengadaan benih
bermasalah sehingga menyebabkan keterlambatan penyaluran ataupun rendahnya kualitas benih
unggul yang disalurkan. Dari berbagai temuan lapang, hal tersebut menjadikan program
penyediaan input produksi tidak memenuhi unsur tepat sasaran, tepat wilayah, tepat jumlah,
maupun tepat waktu. Hal ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian yang menyebutkan bahwa
subsidi dan belanja sosial lebih kecil pengaruhnya dibanding investasi sarana publik dan riset
teknologi. Armas et al. (2010), menyebutkan bentuk belanja pemerintah untuk fasilitas umum
seperti irigasi berperan nyata dalam meningkatkan angka pertumbuhan GDP sektor pertanian
Indonesia. Sebaliknya, bentuk belanja dalam hal subsidi pupuk justru berperan negatif terhadap
angka pertumbuhan GDP sektor pertanian. Berbagai laporan organisasi riset ekonomi pertanian
juga merekomendasikan bahwa belanja pemerintah dalam bentuk investasi publik sebaiknya
diperbesar dengan mengurangi bentuk belanja subsidi ataupun bantuan sosial. Perubahan bentuk
belanja subsidi dan bantuan sosial menjadi investasi publik yang berpengaruh dalam jangka
panjang perlu dirumuskan secara komprehensif.
Ketimpangan antara subsidi pertanian dengan subsidi energi yang hampir berbeda 17 kali
lipat juga menjadi pekerjaan rumah Pemerintah. Artinya, menjadi tidak adil apabila subsidi di
sektor pertanian dihapuskan sementara subsidi energi tidak dicabut. Dengan berbagai kondisi
lapang dan temuan kurangnya efektivitas penyaluran serta berbagai hasil penelitian yang ada,
belanja pemerintah dalam hal penyediaan benih dan pupuk dapat dikaji lebih mendalam
mengenai pola dan skema penyalurannya. Jika skema dan pola penyaluran dapat dibuat seefektif
mungkin, maka pengaruh kedua belanja pemerintah ini terhadap produksi padi akan semakin
besar. Dengan demikian, belanja pemerintah yang kecil di sektor pertanian dapat dioptimalkan
dan tidak terjadi kesalahan investasi.
Disisi lain respon yang kurang bagus dari rehabilitasi irigasi secara tren dimungkinkan oleh
beberapa hal. Pertama, rehabilitasi irigasi memerlukan waktu jeda untuk memberikan pengaruh
terhadap produksi. Pembangunan irigasi pada tahun berjalan tidak langsung berpengaruh pada
produksi tahun yang sama karena adanya dukungan yang sifatnya bertahap. Kedua, pelaksanaan
rehabilitasi irigasi tersier seringkali dilakukan pada akhir semester kedua pada anggaran tahun
berjalan. Akibatnya, perbaikan tersebut lebih banyak berpengaruh pada satu kali musim tanam
pada tahun berjalan atau justru pada tahun berikutnya. Ketiga, perbaikan rehabilitasi irigasi
tersier bersifat perbaikan di sisi hilir. Apabila dilihat dari struktur belanja pemerintah dalam hal
rehabilitasi irigasi tersier, bentuk pembangunan infrastruktur yang hanya memperbaiki saluran
tersier diduga tidak berpengaruh terhadap penambahan luas tanam atau penamabahan indeks
pertanaman (IP) pada tahun berjalan (short run).
Kegiatan jaringan irigasi tingkat usaha tani ataupun pembangunan embung hanya
memperbaiki pasokan air di lokasi hilir yang sifatnya menghalangi kehilangan air akibat
kerusakan jaringan dan bukan menambah pasokan air secara besar. Artinya, meskipun sarana
tersier dibangun, hal tersebut hanya membantu pengairan sedikit pada wilayah yang sudah eksis
dan tidak menambah jumlah air yang disimpan sehingga pada akhirnya tidak menambah luas
tanam padi. Dengan kondisi tersebut, maka tidak terjadi peningkatan luas tanam secara
signifikan dan menyebabkan pengaruhnya tidak terlalu signifikan. Hal ini berbeda dengan pupuk
maupun benih, dengan adanya ketersediaan pupuk dan benih, dapat membantu pertumbuhan
tanaman secara optimal secara langsung. Perlu ada waktu jeda bagi irigasi tersier dalam
memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi padi.
Udoh (2011) juga mendapatkan kesimpulan mengenai studi pengaruh permodalan, foreign
direct investment, dan Belanja pemerintah terhadap produksi pertanian, bahwa investasi modal
berpengaruh sangat nyata terhadap produksi pertanian. Penambahan 1% investasi modal
menyebabkan kenaikan pada produksi pertanian sebesar 0.69%. Kecilnya pengaruh bantuan
permodalan dalam penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh skema bantuan permodalan yang
diberikan. Bantuan permodalan diberikan kepada satu kelompok tani per desa dengan nominal
Rp. 100 juta. Secara rasio, jumlah satu kelompok tani per desa dengan jumlah total kelompok
tani secara keseluruhan sangatlah kecil. Tanpa modal pun, petani masih tetap berusaha untuk
melakukan budidaya padi, baik dengan cara berhutang ataupun menggunakan tabungan mereka.
Di sisi lain, penggunaan dana bantuan modal PUAP tidak hanya terbatas pada sub sektor
tanaman padi, tapi juga untuk sub sektor tanaman lain. Bahkan, banyak temuan penyimpangan
penggunaan dana PUAP oleh oknum untuk hal-hal diluar kegiatan pertanian. Dengan demikian,
kesimpulan secara deskriptif diperkuat dengan temuan lapangan bahwa bantuan permodalan
PUAP memang tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi padi dan memperkuat asumsi
bahwa program PUAP merupakan jenis investasi Pemerintah yang salah (misinvestment).

5. KESIMPULAN
Penelitian ini masih harus dilanjutkan dengan meneliti pengaruh jeda (time lag) dari beberapa
variabel independen yang diduga memiliki pengaruh dalam jangka panjang (long run) dengan
menggunakan analisis ekonometrika panel data dinamis. Mengenai hasil analisis deskriptif
beberapa hal yang dapat disarankan kepada pengambil kebijakan anggaran Pemerintah
diantaranya jika dilihat dari tren nya subsidi pupuk dan benih cukup berperan dalam peningkatan
produksi padi di Jawa Barat. Untuk itu, perlu penyempurnaan mekanisme penyaluran yang tepat
agar menghasilkan output yang lebih optimal dibanding saat ini. Rehabilitasi irigasi tersier juga
berperan dalam peningkatan produksi padi di Jawa Barat. Hal ini terjadi karena perbaikan irigasi
tidak hanya berpengaruh dalam jangka pendek, tapi juga jangka panjang. Untuk itu, diperlukan
realisasi rehabilitasi di awal tahun agar memberikan pengaruh terhadap produksi padi pada tahun
yang sama. Selain itu, perlu dikembangkan skema pembangunan irigasi primer dan sekunder
yang lebih besar di masa datang agar dapat menambah luas tanam dan luas panen. Sedangkan
untuk bantuan modal PUAP tidak terlalu berpengaruh dalam peningkatan produksi padi di Jawa
Barat. Bantuan modal hanya mencukupi sebagian kecil kelompok tani yang ada. Untuk itu,
bantuan permodalan berupa PUAP sebaiknya ditiadakan dan direalokasi kepada program yang
lain, atau dapat diganti dengan skema permodalan yang lain seperti kredit ketahanan pangan atau
Bank Pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, S., Badiane, O., Sene, L., & Ulimwengu, J. (2014). Government expenditures,
health outcomes and marginal productivity of agricultural inputs: The case of Tanzania. Journal
of Agricultural Economics, 65(3), 637-662.
Bielik, P. (2014). Agricultural development and government expenditures in the new EU
countries. APSTRACT: Applied Studies in Agribusiness and Commerce, 8(1033-2016-84118),
21-36.
Diakosavvas, Dimitris. "Government Expenditure On Agriculture And Agricultural
Performance In Developing Countries: An Empirical Evalution." Journal of Agricultural
Economics 41, no. 3 (1990): 381-389.
Elías, V. J. (1985). Government expenditures on agriculture and agricultural growth in
Latin America (Vol. 50). Intl Food Policy Res Inst.
Fuglie, K. O. (2004). Productivity growth in Indonesian agriculture, 1961–2000. Bulletin
of Indonesian Economic Studies, 40(2), 209-225.
Kaur R, Sharma M. 2012. Agricultural Subsidies in India : Boon or Curse. IOSR
Journal of Humanities and Social Science. 2(4): 40-46
Kautsar, M. R., Sofyan, S., & Makmur, T. (2020). Analisis Kelangkaan Pupuk Bersubsidi
dan Pengaruhnya Terhadap Produktivitas Padi (Oryza sativa) di Kecamatan Montasik Kabupaten
Aceh Besar. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, 5(1), 97-107.
Rigi, N., Raessi, S., & Azhari, R. (2019). Analisis Efektivitas Kebijakan Pupuk
Bersubsidi Bagi Petani Padi Di Nagari Cupak Kecamatan Gunung Talang Kabupaten
Solok. JOSETA: Journal of Socio-economics on Tropical Agriculture, 1(3).
Rostaliana P. 2011. Penggunaan Benih Varietas Unggul Padi dalam Upaya Peningkatkan
Produksi Untuk Mendukung Ketahanan Pangan yang Berwawasan Lingkungan di Kota
Bengkulu. Bengkulu (ID): Dewan Riset Daerah Bengkulu
Royda, R., & Melvani, F. N. (2018). PENGARUH BELANJA PEMERINTAH UNTUK
PENDIDIKAN, KESEHATAN, INFRASTRUKTUR SERTA PERTANIAN TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI SUMATERA
SELATAN. Adminika, 4(1), 73-84.
Selvaraj, K. N. (1993). Impact of government expenditure on agriculture and
performance of agricultural sector in India. Bangladesh Journal of Agricultural
Economics, 16(2), 1-13.

Anda mungkin juga menyukai