PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara
subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang.
Badan kesehatan dunia, yaitu WHO, mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta
kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai
600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.1
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam
tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6%
dengan 12 provinsi yang memiliki prevalensi diatas angka nasional, yaitu: Provinsi
Nangroe Aceh Darusalam, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan,
Gorontalo, Papua Barat dan Papua.3
Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya
dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung
dengan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang
1
pun tersedia dalam berbagai pilihan, antara lain : kultur darah, kultur agar darah,
identifikasi biokimia, aglutinasi antibodi,dsb. Pada intinya, segala jenis pemeriksaan
tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam tifoid, yaitu
Salmonella enterica subsp. enterica serotipe Typhi (Salmonella Typhi).1
Pemeriksaan serologi yang paling tua ialah uji Widal, yang mengandalkan
reaksi aglutinasi antara serum pasien dengan substrat yang dibuat dari kuman utuh
yang telah dimatikan. Uji ini memiliki banyak kelemahan dan dipengaruhi banyak
faktor, diantaranya gangguan pembentukan antibodi pada pasien, konsumsi antibiotik,
kesalahan saat pengambilan darah, endemisitas wilayah sehingga terdapat variasi nilai
cut- off, reaksi silang dengan organisme lain, serta dipengaruhi oleh vaksinasi.
American Academy of Paediatrics bahkan sudah tidak merekomendasikan
pemeriksaan Widal.4 Begitu pula WHO, WHO juga sudah tidak merekomendasikan
Widal sebagai uji diagnostik untuk demam tifoid. Untuk uji Serologis, WHO lebih
merekomendasikan penggunaa TUBEX dan Typhidot sebagai ujia serologis yang
lebih sensitif dan spesifik. Namun dikatakan bahwa diagnosis definitif terbaik tetap
menggunakan teknik isolasi kuman. 4,5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara
subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang.
WHO mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di
seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka
kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.1 Surveilans Departemen Kesehatan
RI mencatat frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1994
meningkat hingga 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di
Indonesia tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8%, yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.6
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam
tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6%.3
Gambar 1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi, 1990-
2002.5
3
Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih
secara merata yang belum memadai, serta sanitasi lingkungan terutama cara
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan ligkungan.7
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995, demam tifoid tidak
termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.8
4
Gambar 2. Struktur antigenik Salmonellae. 10
5
fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika.11
6
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara
intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh
karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-β,
INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.11
Di dalam plak Peyer, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan
saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi usus.11
7
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai
ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern,
dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41 o C) serta dapat pula bersifat ireguler
terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan
tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian
belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit
makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm,
berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli
kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di
daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama
dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada
demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1
– 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung
pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam
ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.15,19,29
8
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,
bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung
jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan
aneosinofilia dan limfositosis.13 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan
bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai
nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai
dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya
leukopenia dan limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.14
9
Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.17
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-90%
dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga.12,17 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio
darah dengan media kultur yang dipakai.20
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%)
hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif
setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode yang
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-
95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah
negatif sebelumnya.17,20 Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan
hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya
risiko aspirasi terutama pada anak. 13,16,17
a. Uji serologis
1) Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman
Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik
terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid,
orang yang pernah tertular Salmonella Typhi, dan orang yang pernah
mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji
Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang sudah dimatikan dan diolah
di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.11,22
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai
muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai muncul pada hari ke 10-12
dihitung sejak hari timbulnya demam. Semakin tinggi titer aglutininnya,
semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam
10
tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan pada selang waktu minimal 5 hari.
Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid.22,26
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
11
IgM terhadap antigen O9 LPS yang sangat spesifik terhadap bakteri
Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat normalnya tidak memiliki IgM anti-
O9 LPS.23,27
Gambar 5. Prinsip dari tes Tubex®. Bagian atas, hasil negatif; bagian bawah, hasil positif.27
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan
gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi
demam tifoid yang sangat kuat.27
d. Uji Typhidot®
Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi
oleh Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai
positif apabila didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau
12
lebih besar dari reaksi kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah
disiapkan. Tes ini memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes
harus diulang setelah 48 jam.28
Gambar 6. Prinsip dari tes Typhidot®. Bagian atas, prosedur tes; bagian bawah, interpretasi
hasil tes.28
e. Identifikasi kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat
adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella
Typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi
DNA.
F. Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis
dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia,
13
shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis,
leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.15
14
hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha
menurunkannya begitu juga sebaliknya.21
2. Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,
sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna
yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na
yaitu antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :15,19,29
15
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara
antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai
48 jam.
16
Tabel 1. Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010.30
1. Cuci tangan.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada
yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah
dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan
sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak
segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk
mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C
beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi.
Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari
membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid,
berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa
0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2
dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek
samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan
nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam,
hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak
beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan
yang pendek.
Vaksin polisakarida
2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK, Agtini
MD, et al. WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and
implications for controls.
3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
4. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran
Indonesia. 2012; XXXVIII (08).
5. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et al.
Bull. World Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7.
6. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits for
Diagnosis of Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan 2007; 45(1):
246–247.
20. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
21. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada
pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No01_08_2012.pdf. 23 Desember
2020 .
28. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever. IDL Botech, 2008.
29. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
30. KONAS PETRI Bali 2010. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid. Bali. 2010.