Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara
subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang.
Badan kesehatan dunia, yaitu WHO, mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta
kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai
600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.1

Berdasarkan studi epidemiologis yang dilakukan oleh WHO pada 441.435


sampel di 5 negara Asia, yaitu: Pakistan, India, Indonesia, Vietnam dan Cina,
didapatkan adanya perbedaan yang cukup signifikan. Insiden demam tifoid lebih
tinggi di negara-negara Asia Selatan (Pakistan dan India) dibandingkan dengan
negara-negara di Asia Timur (Indonesia, Vietnam, Cina).WHO memperkirakan
jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600
ribu kematian tiap tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang
dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena
demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di
hampir semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia
5-19 tahun.2

WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam
tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6%
dengan 12 provinsi yang memiliki prevalensi diatas angka nasional, yaitu: Provinsi
Nangroe Aceh Darusalam, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan,
Gorontalo, Papua Barat dan Papua.3

Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya
dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung
dengan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang

1
pun tersedia dalam berbagai pilihan, antara lain : kultur darah, kultur agar darah,
identifikasi biokimia, aglutinasi antibodi,dsb. Pada intinya, segala jenis pemeriksaan
tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam tifoid, yaitu
Salmonella enterica subsp. enterica serotipe Typhi (Salmonella Typhi).1

Pemeriksaan serologi yang paling tua ialah uji Widal, yang mengandalkan
reaksi aglutinasi antara serum pasien dengan substrat yang dibuat dari kuman utuh
yang telah dimatikan. Uji ini memiliki banyak kelemahan dan dipengaruhi banyak
faktor, diantaranya gangguan pembentukan antibodi pada pasien, konsumsi antibiotik,
kesalahan saat pengambilan darah, endemisitas wilayah sehingga terdapat variasi nilai
cut- off, reaksi silang dengan organisme lain, serta dipengaruhi oleh vaksinasi.
American Academy of Paediatrics bahkan sudah tidak merekomendasikan
pemeriksaan Widal.4 Begitu pula WHO, WHO juga sudah tidak merekomendasikan
Widal sebagai uji diagnostik untuk demam tifoid. Untuk uji Serologis, WHO lebih
merekomendasikan penggunaa TUBEX dan Typhidot sebagai ujia serologis yang
lebih sensitif dan spesifik. Namun dikatakan bahwa diagnosis definitif terbaik tetap
menggunakan teknik isolasi kuman. 4,5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara
subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang.
WHO mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di
seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka
kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.1 Surveilans Departemen Kesehatan
RI mencatat frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1994
meningkat hingga 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di
Indonesia tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8%, yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.6
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam
tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6%.3

Gambar 1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi, 1990-
2002.5

Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berhubungan


dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 10.000 penduduk.

3
Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih
secara merata yang belum memadai, serta sanitasi lingkungan terutama cara
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan ligkungan.7
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995, demam tifoid tidak
termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.8

B. Etiologi Demam Tifoid


Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella
memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella
enterica terbagi dalam enam subspesies, yaitu : I. Salmonella enterica subsp.
enterica; II. Salmonella enterica subsp. salamae; IIIa. Salmonella enterica subsp.
arizonae; IIIb. Salmonella enterica subsp.diarizonae; IV. Salmonella enterica subsp.
hotenae; V. Salmonella enterica subsp. indica. 9
Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454 serotipe,
beberapa diantaranya adalah : Salmonella Choleraesuis, Salmonella Dublin,
Salmonella Enteritis, Salmonella Gallinarum, Salmonella Hadar, Salmonella
Heidelberg, Salmonella Infantis, Salmonella Paratyphi, Salmonella Typhi,
Salmonella Typhimurium, dan Salmonella Genrus.9
Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi adalah bakteri penyebab demam
tifoid. Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil,
berkapsul dan mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di
alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 66O Cselama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi.10

4
Gambar 2. Struktur antigenik Salmonellae. 10

Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 11


1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini
tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi
tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.

C. Patogenesis Demam Tifoid


Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus
dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel usus dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel

5
fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika.11

Gambar 3. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .12

Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag


ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang
asimptomatik) kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Dengan periode waktu yang bervariasi antara 1-3 minggu,
kuman bermultiplikasi di organ- organ ini kemudian meninggalkan makrofag dan
kemudian berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.11

6
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara
intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh
karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-β,
INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.11
Di dalam plak Peyer, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan
saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi usus.11

D. Manifestasi klinis demam tifoid


Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi
bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau
tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak,
terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun
tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai
korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status
imunologis penderita.15,19,29
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
 Demam satu minggu atau lebih.
 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.

7
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai
ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern,
dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41 o C) serta dapat pula bersifat ireguler
terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan
tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian
belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit
makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm,
berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli
kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di
daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama
dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada
demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1
– 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung
pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam
ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.15,19,29

E. Diagnosis Demam Tifoid

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang


diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan
berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk
mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid
secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah
tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji
serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.12
1. Pemeriksaan darah tepi

8
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,
bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung
jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan
aneosinofilia dan limfositosis.13 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan
bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai
nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai
dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya
leukopenia dan limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.14

2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
Salmonella Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang.
Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal
penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. 12,16 Hasil
biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor,
seperti : (1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu
sedikit (diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu
sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau
menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan
bakteremia sehingga biakan darah dapat negatif; dan (4) Waktu pengambilan
darah yang dilakukan setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin
meningkat. 10,12
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL.17 Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.18 Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih
sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini
mendukung teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. 12,19 Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Salmonella Typhi adalah media empedu dari sapi. Media
ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella Typhi dan

9
Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.17
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-90%
dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga.12,17 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio
darah dengan media kultur yang dipakai.20
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%)
hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif
setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode yang
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-
95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah
negatif sebelumnya.17,20 Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan
hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya
risiko aspirasi terutama pada anak. 13,16,17
a. Uji serologis
1) Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman
Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik
terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid,
orang yang pernah tertular Salmonella Typhi, dan orang yang pernah
mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji
Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang sudah dimatikan dan diolah
di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.11,22
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai
muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai muncul pada hari ke 10-12
dihitung sejak hari timbulnya demam. Semakin tinggi titer aglutininnya,
semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam

10
tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan pada selang waktu minimal 5 hari.
Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid.22,26
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :

 Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi


akut.

 Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah


mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.

 Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.


b. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi. 13 Uji ini sering dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen O9 LPS, antibodi IgG
terhadap antigen flagela d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi.
Chaicumpa dkk mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah,
73% pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum tulang. 1,24
1) Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella Typhi
dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen
Salmonella Typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen
yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
4,25,29
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila
dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap
30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%.25,30
c. Uji Tubex®
Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh
IDL Biotech, Broma, Sweden.27 Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan
waktu 5-10 menit, sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi

11
IgM terhadap antigen O9 LPS yang sangat spesifik terhadap bakteri
Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat normalnya tidak memiliki IgM anti-
O9 LPS.23,27

Gambar 5. Prinsip dari tes Tubex®. Bagian atas, hasil negatif; bagian bawah, hasil positif.27

Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan


cara membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color
scale yang tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling
merah) hingga nilai 10 (warna paling biru).27
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL
Biotech 2008: 11,27
 Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
 Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan
ulang.
 Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
 Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).4

Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan
gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi
demam tifoid yang sangat kuat.27
d. Uji Typhidot®
Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi
oleh Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai
positif apabila didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau

12
lebih besar dari reaksi kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah
disiapkan. Tes ini memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes
harus diulang setelah 48 jam.28

Gambar 6. Prinsip dari tes Typhidot®. Bagian atas, prosedur tes; bagian bawah, interpretasi
hasil tes.28
e. Identifikasi kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat
adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella
Typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi
DNA.

F. Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis
dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia,

13
shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis,
leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.15

G. Penatalaksanaan Demam Tifoid


1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.19
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid,
basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada
infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu
tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan
memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika
reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor
mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer.
Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla
oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior
sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat),
diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan
normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden
(2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di

14
hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha
menurunkannya begitu juga sebaliknya.21
2. Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,
sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna
yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na
yaitu antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :15,19,29

1) Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi


tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-
anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian
intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari
atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan
infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh,
dan carier.

2) Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika


trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang
diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama
2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah
terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,

15
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara
antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.

3) Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah


dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun
untuk anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih
lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

4) Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),


merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih
dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap
Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100
mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-
7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi
dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan
Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai
48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-


kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.

16
Tabel 1. Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010.30

H. Komplikasi Demam Tifoid


Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :29
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut
dengan tanda – tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan
bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan
terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang
dibuat dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul
pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah
abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka
penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam
batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek
dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara
lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok
tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui
urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat
juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada
10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3
minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme
memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi
menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia
dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal,
seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam
waktu yang lama.

Gambar 7. Perforasi ileum akibat infeksi S. Typhi

I. Pencegahan Demam Tifoid


Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:18

1. Cuci tangan.

Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan


demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau
mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih
tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.
2. Hindari minum air yang tidak dimasak.

Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik


tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar
botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di
dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak
menelan air di pancuran kamar mandi.

3. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.

Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada
yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah
dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan
sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak
segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk
mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.

4. Pilih makanan yang masih panas.

Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C
beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi.
Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari
membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid,
berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

1. Sering cuci tangan.


Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran
infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian
gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet.
2. Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.
3. Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa
anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas
kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan
anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
4. Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci
dengan menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi


Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan
mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan
sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan
itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi
merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.15,18
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:
 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral
tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan
pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam,
sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada
anak berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)

Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa
0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2
dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek
samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan
nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam,
hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak
beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan
yang pendek.

 Vaksin polisakarida

Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.


Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5
tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25
mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara
intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam,
dan anak kecil 2 tahun.
I. Prognosis Demam Tifoid
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada
anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari
seluruh pasien demam tifoid.15
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella
typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk
ke saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal.
Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam,
gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih dari
7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala
gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa
didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin
disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik,
biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi
penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.
Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang dapat
menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal, atau
pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.
Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan
tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan
Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman Salmonella
typhi.
DAFTAR PUSTAKA

1. [WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid


fever.World Health Organization; 2003: 17-18.

2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK, Agtini
MD, et al. WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and
implications for controls.
3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
4. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran
Indonesia. 2012; XXXVIII (08).
5. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et al.
Bull. World Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7.
6. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits for
Diagnosis of Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan 2007; 45(1):
246–247.

7. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. Examination of The Immunoglobulin M


Anti Salmonella in Diagnosis of Typhoid Fever. E-Jurnal Medika Udayana 2.6; 2013:
1080-1090.
8.Aru W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006:
1774.
9. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al. Salmonella
Typhi, the causative agent of typhoid fever. Infect Genet Evol. 2002 Oct;2(1):39-45.
10. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III.
Jakarta : Interna Publishing. 2009:2797-2800.
11. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever. New
England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782
12. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi –
Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang :
IDAI Jawa Timur, 2005:37-50.
13. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of
Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.
14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
15. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.

16. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan


Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta :
BP FKUI, 2001:65-73.
17. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis,
treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.
18. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Dik
etahui.html. 23 Desember 2020.
19. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.

20. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
21. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada

pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota

Gorontalo. 2012. Diunduh dari http:// journal.ung.ac.id /filejurnal/

JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No01_08_2012.pdf. 23 Desember

2020 .

22. [DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan Republik


Indonesia. Mei 2006.
23. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2011.

24. repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf. [23 Desember 2020]


25.Drive, Nancy R. 2009. A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA.
26. Gasem MH, Smits HL, Goris MG, Dolmans WM. Evaluation of a simple and rapid
dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol 2002;
51:173-177.
27. Sherwal BL, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M . A
Comparative Study of Typhoid and Widal Test in Patient of Typhoid Fever. JIACM
2004; 5(3) : 244.

28. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever. IDL Botech, 2008.
29. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.

30. KONAS PETRI Bali 2010. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid. Bali. 2010.

Anda mungkin juga menyukai