KESEHATAN REPRODUKSI
A. PENGANTAR
Hari/tanggal :
Jam :
Waktu :
Tempat :
D. METODE
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
E. MEDIA
Power Point
F. MATERI
Telampir
G. KEGIATAN PEMBELAJARAN
KegiatanPenyuluhan
No. TahapandanWaktu Keterangan
Pelaksanaan Sasaran
H. Materi
1. PERNIKAHAN DINI
Menikah adalah sebuah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum dan ajaran agama. Sedangkan dini dapat diartikan sebelum waktunya. Jadi dapat kita
artikan pernikahan dini adalah ikatan (akad) perkawinan sesuai ketentuan hukum dan agama
sebelum waktu yang ditetapkan, atau dibawah umur yang ditetapkan undang-undang.
Hasil penelitian UNICEF di Indonesia (2002), menemukan angka kejadian pernikahan anak
berusia 15 tahun berkisar 11%, sedangkan yang menikah di saat usia tepat 18 tahun sekitar
35%. Selanjutnya Menurut hasil penelitian yang dilakukan BKKBN pada tahun 2014, 46% atau
setara dengan 2,5 juta pernikahan yang terjadi di setiap tahun di Indonesia. Rata-rata mempelai
perempuannya berusia antara 15 sampai 19 tahun. Bahkan 5% diantaranya melibatkan mempelai
perempuan yang berusia di bawah 15 tahun. Dari hasil survey menunjukkan bahwa pernikahan
dini marak terjadi Indonesia. Tingginya angka pernikahan usia anak, menunjukkan bahwa
pemberdayaan law enforcement dalam hukum perkawinan masih rendah.
Hal ini dikarenakan masih adanya peluang untuk melegalkan pernikahan tersebut. Ada juga
beberapa faktor yang membuat maraknya kasus pernikahan dini yang terjadi di Indonesia, salah
satunya ekonomi harapan tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah menikah
menyebabkan banyak orang tua menyetujui pernikahan usia dini, Rendahnya tingkat
pendidikan maupun pengetahuan orang tua dan anak yang menyebabkan adanya kecenderungan
mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur. Faktor adat juga berpengaruh terhadap
perkawinan usia muda karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga
segera dikawinkan. Selanjutnya adalah kehamilan diluar pernikahan dikarenakan pergaulan
bebas atau kasus pemerkosaan
Pernikahan usia dini memberi resiko yang lebih besar pada remaja perempuan khususnya
pada aspek kesehatan reproduksinya. Di tinjau dari segi kesehatan, Dokter spesialis kebidanan
dan kandungan dari Rumah Sakit Balikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SPOG
mengatakan, perempuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak risiko,
sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid. Dampak medis yang ditimbulkan oleh
pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungannya, penyakit kandungan yang banyak
diderita wanita yang menikah usia dini, antara lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut
rahim. Hal ini terjadi karena terjadinya masa peralihan sel anak-anak ke sel dewasa yang terlalu
cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang tumbuh pada anak-anak baru akan
berakhir pada usia 19 tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, rata-rata penderita terinfeksi HIV,
penyakit menular seksual, infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah wanita yang
menikah di usia dini atau dibawah usia 19 atau 16 tahun. Untuk risiko kebidanan, wanita yang
hamil di bawah usia 19 tahun dapat berisiko pada kematian ibu dan janin, selain kehamilan di
usia 35 tahun ke atas. Risiko lain, lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan terjadinya
pendarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa kehamilan. Selain itu, risiko
meninggal dunia akibat keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang melahirkan
di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan ini adalah tekanan darah tinggi atau
hipertensi.
Selanjutnya dampak pernikahan dini terhadap anak-anak yaitu bagi wanita yang
melangsungkan pernikahannya dibawah umur 17 tahun akan mengalami gangguan-
gangguan pada kandungannya yang dapat membahayakan kesehatan si anak. Selain hal itu
juga banyak mereka yang sudah mempunyai anak tidak menyadari pentingnya kesehatan
bagi si anak dimana banyak sekali dari anak mereka yang jarang dimunisasi setiap ada
posyandu. Hal ini akibat dari pengetahuan mereka tentang kesehatan yang masih kurang.
Dampak lain pernikahan dini pada suami istri adalah tidak bisa memenuhi atau tidak
mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal tersebut timbul karena
belum matangnya mental mereka yang notabene emosinya masih labil sehingga
keduanya cenderung memiliki sifat keegoisan yang tinggi. Selain itu akan menimbulkan
berbagai persoalan rumah tangga seperti pertengkaran, percekcokan, bentrokan antar
suami istri yang dapat mengakibatkan perceraian.
Selain itu, pernikahan dengan pasangan yang terpaut jauh usianya meningkatkan risiko
keluarga menjadi tidak lengkap akibat perceraian, atau menjanda karena pasangan
meninggal dunia. Faktor lain penyebab sering terjadinya pertengkaran dengan pasangan
adalah karena mereka masih belum memahami betul tugas dan tanggung jawab mereka
sebagai suami dan isteri. Sehingga sering sekali terjadi salah paham antar mereka yang
berujung pada pertengkaran.
Pernikahan anak usia dini memberikan dampak juga terhadap derajat pendidikan anak
tersebut. Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang
dicapai oleh sang anak. Pernikahan anak usia dini seringkali menyebabkan anak tidak
lagi bersekolah, karena sekarang ia mempunyai tanggung jawab baru, yaitu sebagai
isteri dan calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah, yang diharapkan berperan
lebih banyak mengurus rumah tangga maupun menjadi tulang punggung keluarga dan
keharusan mencari nafkah. Pola lainnya yaitu karena biaya pendidikan yang tidak
terjangkau, anak berhenti sekolah dan kemudian dinikahkan untuk me ngalihkan beban
tanggung jawab orangtua menghidupi anak tersebut kepada pasangannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat pendidikan dan
usia saat menikah, semakin tinggi usia anak saat menikah maka pendidikan anak relatif
lebih tinggi dan demikian pula sebaliknya. Berdasarkan hasil penelitian UNICEF,
pernikahan dini berhubungan pula dengan derajat pendidikan yang rendah. Sehingga
menunda usia pernikahan merupakan salah satu cara agar anak dapat mengenyam
pendidikan lebih tinggi (UNICEF 2006). Sejalan dengan hasil penelitian UNICEF
tersebut, secara empiris hasil penelitian yang kami lakukan terhadap sikap masyarakat
tentang remaja yang menikah di usia dini apakah dapat memikirkan pendidikan anak atau
tidak, secara signifikan, sebagian besar masyarakat (sekitar 30 orang atau 60% responden)
menyatakan bahwa remaja yang menikah di usia dini tidak dapat memikirkan pendidikan
anaknya. Hal ini disebabkan, pasangan yang menikah usia dini sudah tidak lagi
bersekolah, sehingga pola pikir mereka kurang berkembang, hanya mengutamakan tugas
dan tanggung jawabnya sebagai orang tua tanpa memikirkan bagaimana pendidikan anak
mereka.
Pasangan yang menikah pada usia dini di Dusun Pereng Ampel cenderung tidak peduli
dengan kesehatan anak mereka. Hal ini terbukti sekitar 40% responden tidak mengetahui
tentang posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) dan hal ini juga didukung oleh sekitar 79% atau
39 orang masyarakat yang menyatakan bahwa pasangan yang menikah usia dini tidak akan
memperhatikan kesehatan ana k-anaknya. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian
kami di lapangan yaitu pasangan yang menikah pada usia dini juga tidak mengetahui tentang
imunisasi, yang notabene sangat penting terhadap kesehatan anak mereka. Sehingga secara
langsung, ketidaktahua n mereka terhadap Posyandu dan imunisasi akan mempengaruhi
kualitas anak atau generasi penerus mereka. Menurut UNICEF (2006) keadaan seperti ini
bisa terjadi karena erat kaitannya dengan keterbatasan finansial dan keterbatasan mobilitas,
sehingga ibu -ibu muda ini seringkali tidak mendapatkan layanan kesehatan yang
dibutuhkannya dan hal ini bisa meningkatkan risiko komplikasi maternal dan
mortalitas (kematian).
Tetapi ada beberapa Dampak positif salah satunya yaitu dukungan emosional. Dengan
dukungan emosional maka dapat melatih kecerdasan emosional dan spiritual dalam diri setiap
pasangan. Selanjutnya dukungan keuangan, dengan menikah di usia dini dapat meringankan
beban ekonomi menjadi lebih menghemat. Belajar memikul tanggung jawab di usia dini juga
merupakan salah satu dampak positif dari adanya pernikahan dini. Banyak pemuda yang waktu
masa sebelum nikah kurang memiliki rasa tanggung jawab dikarenakan ada orang tua mereka,
disini mereka harus dapat mengatur urusan mereka tanpa bergantung pada orang tua. Dan yang
terakhir adalah terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina.
Masalah masalah hukum yang timbul dari pernikahan dini harus segera diatasi, salah
satunya adalah dengan pembentukan Kelompok Masyarakat Sadar Hukum (Kadarkum).
Berdasarkan Undang-Undang No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Pasal 1 (1)
dinyatakan bahwa Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan
Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.
Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat
memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yang menghadapi masalah hukum. Sedangkan
dalam Pasal 27 SEMA No 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum
dinyatakan bahwa yang berhak mendapatkan jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah orang yang
tidak mampu membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak-anak serta penyandang
disabilitas, sesuai pertauran perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Pembinaan dan penyuluhan tentang pembentukan generasi berkualitas dan
dampak dari pernikahan dini dari instansi terkait dengan program-program kegiatan
penyuluhan, diskusi-diskusi agar mereka dapat mengerti dan paham tentang arti penting
membangun rumah tangga yang sakinah dan sejahtera. Perlu ditumbuh kembangkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya membangun keluarga yang sejahtera. Selama ini
konsentrasi pembinaan terhadap keluarga yang dilakukan pemerintah jika dicermati dari
tahun ke tahun terkesan bahwa program-program dasar pembinaan tentang kesejahteraan
keluarga mulai dari program kesehatan seperti perencanaan kelahiran (KB), Pos Pelayanan
Terpadu (POSYANDU), pelayanan kesehatan gratis dan sosialisasi tentang Undang-Undang
Perkawinan masih sifatnya jalan di tempat tid ak menyeluruh.
1. Pengertian PHBS
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan
atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di
bidang kesehatan dan dapat berperan aktif dalam kegiatan – kegiatan kesehatan dan berperan
aktif dalam kegiatan–kegiatan kesehatan di masyarakat (Depkes RI, 2007). PHBS adalah upaya
memberikan pengalaman belajar bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan
membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi, guna meningkatkan
pengetahuan, sikap dan perilaku, melalui pendekatan Advokasi, Bina Suasana (Social Support)
dan Gerakan Masyarakat (Empowerment) sehingga dapat menerapkan cara-cara hidup sehat,
dalam rangka menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat (Depkes RI 2011).
Pemberdayaan masyarakat harus dimulai dari rumah tangga atau keluarga, karena rumah tangga
yang sehat merupakan asset atau modal pembangunan di masa depan yang perlu dijaga,
ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Beberapa anggota rumah tangga mempunyai masa
rawan terkena penyakit menular dan penyakit tidak menular, oleh karena itu untuk mencegah
penyakit tersebut, anggota rumah tangga perlu diberdayakan untuk melaksanakan PHBS.
2. Tujuan PHBS
3. Tatanan PHBS
Tatanan Perilaku Hidup Bersih Sehat PHBS berada di lima tatanan yakni :
f. Tidak merokok.
c. Jamban sehat.
e. Olahraga teratur.
4. Indikator PHBS di Tatanan Tempat Umum :
d. Tidak merokok.
4. Kesehatan Masyarakat
5. Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kebutuhan hidup
yang layak dalam memelihara kesehatannya.
5. Manfaat PHBS
PHBS di Tempat kerja adalah kegiatan untuk memberdayakan para pekerja agar tahu dan
mau untuk melakukan perilaku hidup bersih dan sehat dan berperan dalam menciptakan tempat
kerja yang sehat. manfaat PHBS di tempat kerja yaitu para pekerja mampu meningkatkan
kesehatannya dan tidak mudah sakit, meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan citra
tempat kerja yang positif .
Terdapat beberapa indikator PHBS pada tingkatan rumah tangga yang dapat dijadikan acuan
untuk mengenali keberhasilan dari praktek perilaku hidup bersih dan sehat pada tingkatan rumah
tangga. Berikut ini 10 indikator PHBS pada tingkatan rumah tangga :
1. Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan.
Persalinan yang mendapat pertolongan dari pihak tenaga kesehatan baik itu dokter, bidan
ataupun paramedis memiliki standar dalam penggunaan peralatan yang bersih, steril dan
juga aman. Langkah tersebut dapat mencegah infeksi dan bahaya lain yang beresiko bagi
keselamatan ibu dan bayi yang dilahirkan.
Selain PHBS dalam tatanan rumah tangga, masih terdapat tatanan lain yang tidak kalah
penting seperti PHBS di sekolah dan juga PHBS di tempat kerja. Keseluruhan dari materi
PHBS bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan individu dan masyarakat yang terlibat
pada setiap tatanan.
Sekolah yang sehat dengan anggota komunitas tingkat sekolah yang berperilaku hidup bersih
dan sehat dapat mencegah sekolah menjadi titik penularan atau sumber berbagai penyakit.
Demikian pula dengan PHBS di tempat kerja dimana keamanan dan kesehatan menjadi sesuatu
yang tidak kalah penting.
Perilaku hidup bersih dan sehat yang berasal dari implementasi materi PHBS dapat menjadi
kunci untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Menjalankan praktek indikator
– indikator PHBS di berbagai tatanan dapat menjadi sebuah gerakan untuk memasyarakatkan
perilaku hidup bersih dan sehat dimanapun dan juga kapanpun.