Anda di halaman 1dari 40

Pengaruh Discharge Planning yang Dilakukan oleh Perawat terhadap.

Kesiapan Pasien Pasca Bedah Akut Abdomen Menghadapi.

Pemulangan di RSUD Kayen Pati.

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :

ANA MUAWWANAH

1020183057

METODELOGI PENELITIAN

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Pengaruh Discharge Planning yang
Dilakukan oleh Perawat terhadap.Kesiapan Pasien Pasca Bedah Akut Abdomen
Menghadapi. Pemulangan di RSUD Kayen Pati.ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak
Tri Suwarno, S. Kep., Ns, M. Kep pada Mata Kuliah Metodologi Penelitian. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Pengaruh Discharge Planning
yang Dilakukan oleh Perawat terhadap.Kesiapan Pasien Pasca Bedah Akut Abdomen
Menghadapi. Pemulangan di RSUD Kayen Pati bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Tri Suwarno, S. Kep., Ns, M. Kep ,
selaku Dosen Metodologi Penelitian yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan Proposal Penelitian ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan Proposal
Penelitian ini.

Kudus, 05 April 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Kesehatan merupakan kebutuhan setiap manusia dalam menjalani kehidupan. Sehat


merupakan keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas
dari penyakit maupun kecacatan (WHO, 2015). Pengaruh globalisasi di segala bidang dapat
merubah perilaku dan gaya hidup sehat masyarakat. Akibat dari seseorang yang tidak bisa
menjaga kesehatan dapat menimbulkan penyakit akut abdomen.

Menurut Aulawi (2014), akut abdomen merupakan kondisi yang tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 24 jam yang menimbulkan gejala nyeri dan dapat terjadi karena
masalah bedah dan non bedah. Penyakit akut abdomen biasanya menyerang sistem pencernaan.
Menurut Mardalena (2018) sistem pencernaan merupakan sistem organ yang menerima
makanan, mencerna makanan untuk dijadikan energi dan nutrien, serta mengeluarkan sisa dari
proses tersebut. Penyakit yang menyerang sistem pencernaan akibat dari akut abdomen salah
satunya adalah ileus obstruktif.

Ileus atau obstruksi usus adalah suatu gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal
isi usus sepanjang saluran usus.Intestinal obstruction terjadi ketika isi usus tidak dapat
melewati saluran gastrointestinal (Diyono dan Mulyanti, 2013).Hal ini dapat disebabkan
karena kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau benda asing diluar usus yang menekan,
serta kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang dapat menyebabkan nekrosis pada
segmen usus (Indrayani,2013).

Kejadian ileus obstruktif di tahun 2011 mencapai 16% dari populasi dunia. Laporan
data dari Nepal menyebutkan presentase penderita ileus obstruksi sebesar 5.32% dari tahun
2005-2006 (Mukherjee, 2012 dalam Sari, 2015). Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus
paralitik dan ileus obstruktif yang dirawat setiap tahunnya (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2010). Data di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kayen pasien penderita ileus
obstruktif pada tahun 2016 tercatat 29 kasus, tahun 2017 ada 14 kasus, pada tahun 2018 ada 24
kasus dan pada tahun 2019 ada 40 kasus ( Medical Record RSUD Kayen, 2020).
Penyebab tersering ileus obstruktif yaitu tumor ganas dan volvulus yang terjadi pada
usia pertengahan dan orang tua, kanker kolon merupakan penyebab dari 90% ileus obstruksi
yang terjadi.Hasil Hasil Penelitian Bankole (2018) di Nigeria ada 105 kasus penyebab ileus
obstruksi yang diantaranya disebabkan penelitian oleh 15.2% karena hernia eksternal, 48.5%
karena adhesi, 25.7 karena tumor, 1.9% karena infeksi granula, 5.7% karena volvulus, 1.9%
karena intususpensi dan 0.9% karena hernia internal.

Pada pasien ileus obstruktif tindakan pembedahan merupakan cara yang paling
rasional. Menurut Syamsuhidajat & Jong (2010) pembedahan merupakan tindakan pengobatan
invasif melalui sayatan atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani dan diakhiri
dengan penutupan atau penjahitan luka. Berdasarkan data yang didapatkan World Health
Organization (WHO) ditahun 2011 sebanyak 140 juta pasien di seluruh rumah sakit di dunia
telah menjalankan tindakan operasi. Tindakan pembedahan yang biasanya dilakukan pada
pasien ileus obstruktif yaitu dengan laparatomi. Menurut Padila (2012) tindakan laparatomi
adalah pembedahan pada area perut hingga selaput perut. Berdasarkan tabulasi nasional
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2010), tindakan laparatomi mencapai 32% dari
seluruh tindakan bedah yang ada di Indonesia. Untuk laporan kasus laparatomi di RSUD
Kayen pada tahun 2016 sebanyak 28 kasus, di tahun 2017 terdapat 26 kasus, di tahun 2018
terdapat 75 kasus dan di tahun 2019 meningkat menjadi 87 kasus. (Medical Record RSUD
Kayen, 2020).

Tindakan laparatomi memiliki resiko dan komplikasi. Komplikasi dari tindakan post
laparatomi yaitu gangguan integritas kulit, gangguan perfusi jaringan dan infeksi luka
(Jitowiyono, 2010). Selain itu, tindakan laparatomi juga mengakibatkan masalah keperawatan
nyeri. Nyeri timbul karena proses insisi kulit pada prosedur laparatomi menstimulasi
hipersensitivitas sistem saraf pusat setelah tindakan dilakukan (Syamsuhidajat & Jong, 2010).

Nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori yang tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan secara aktual maupun potensial (Judha, Sudarti dan Fauziah,
2012). Mubarak, Indrawati dan Susanto (2015) menjelaskan bahwa nyeri akut berdurasi
singkat yaitu kurang dari 6 bulan dan akan menghilang setelah area yang rusak pulih kembali.
Nyeri menimbulkan respon fisik dan psikis. Respon fisik meliputi keadaan umum, respon
wajah dan perubahan tanda-tanda vital, sedangkan respon psikis yaitu dapat merangsang
respon stress sehingga mengurangi sistem imun dalam peradangan dan penghambat
penyembuhan (Majid, 2011)..

Menurut Smeltzer & Bare (2012), untuk menurunkan intensitas nyeri dapat dilakukan
dengan strategi penatalaksanaan secara farmakologi maupun non- farmakologi.
Penatalaksanaan nyeri secara farmakologi dapat menggunakan. obat analgetik, sedangkan
menurut Tamsuri (2012) penatalaksanaan non-farmakologi bisa menggunakan sentuhan aktif,
sentuhan terapeutik, akupresur, hypnosis, kompres dingin atau hangat, TENS (Transcutaneus
Electrical Nervestimulation), relaksasi benson, distraksi serta teknik relaksasi.

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik seseorang dari ketegangan dan stress
(Potter & Perry, 2010). Hasil penelitian Rampengan (2014) menunjukan bahwa teknik
relaksasi dan distraksi dapat berpengaruh terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post
operasi.

Teknik relaksasi yang dapat dilakukan dalam metode menurunkan nyeri adalah dengan
teknik pernapasan. Teknik pernapasan dapat mengontrol rasa tidak nyaman atau nyeri, stress
fisik dan emosi karena nyeri (Smeltzer & Bare, 2012). Berdasarkan hasil penelitian Suriana,
dkk (2014) menyatakan bahwa pasien pasca laparatomi yang melaksanakan teknik relaksasi
pernapasan mengalami penurunan nyeri.

Berdasarkan dari uraian diatas, penulis tertarik untuk membuat proposal penelitian tentang
Pengaruh Discharge Planning yang Dilakukan oleh Perawat terhadap.Kesiapan Pasien Pasca
Bedah Akut Abdomen Menghadapi. Pemulangan di RSUD Kayen Pati.

II. Tujuan Penelitian


1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi Pengaruh Discharge Planning


yang Dilakukan oleh Perawat terhadap.Kesiapan Pasien.Pasca Bedah Akut Abdomen
Menghadapi. Pemulangan di RSUD Kayen Pati.

2. Tujuan Khusus

Penelitian ini memiliki tujuan khusus untuk mengidentifikasi:


1. Tingkat kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan sebelum
dilakukan discharge planning oleh perawat.
2. Tingkat kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan setelah
dilakukan discharge planning oleh perawat.
3. Perbedaan tingkat kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan
dengan pemberian discharge planning oleh perawat.
3. Manfaat Penelitian
1. Bagi Praktek Keperawatan
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan akan digunakan oleh perawat di ruangan
untuk melakukan discharge planning dalam mempersiapkan pasien menghadapi
pemulangan, dalam artian bahwa pasien mampu melakukan perawatan berkelanjutan di
rumah.
2. Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan akan digunakan oleh pendidikan keperawatan agar
memberikan materi tentang discharge planning kepada mahasiswa.
3. Bagi Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan akan dipergunakan sebagai bahan masukan untuk
penelitian selanjutnya, untuk meneliti pengaruh discharge planning yang dilakukan
oleh perawat untuk mempersiapkan pasien menghadapi pemulangan khususnya pada
pasien yang non-operatif.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. KERANGKA TEORI

Beberapa aspek yang terkait dalam penelitian ini dipaparkan sebagai


berikut :
1. Akut Abdomen

1.1 Definisi

Akut abdomen adalah suatu kondisi abdomen yang terjadi secara


mendadak pada umumnya.diikuti nyeri perut akibat dari radang, luka,
penyumbatan (obstruksi), kerusakan organ (ruptur), sehingga memerlukan
tindakan bedah darurat (Ardy, 2017). Agor (2015) mengatakan bahwa akut
abdomen merupakan sebuah terminologi yang menunjukkan adanya
keadaan darurat dalam abdomen yang dapat berakhir dengan kematian bila
tidak ditanggulangi dengan pembedahan.
Sedangkan Ali (2018) mengatakan.bahwa gawat abdomen
menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang
biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama..Keadaan
ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah,
misalnya pada perforasi, perdarahan intra abdomen, infeksi, obstruksi dan
strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan
kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah
peritonitis. Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen
(misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus
gastroduodenal), ruptur saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi
kimiawi, atau akibat luka tembus abdomen. Keputusan untuk melakukan
tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan
menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas.


1.2 Etiologi Akut Abdomen

Banyak kondisi yang dapat menimbulkan akut abdomen, apapun


penyebabnya gejala utama yang menonjol adalah nyeri akut pada daerah
abdomen (Agor, 2015). Maudy (2017) menyebutkan bahwa. penyebab akut
abdomen tersering antara lain :
1.2.1 Kelainan traktus gastrointestinal, misalnya nyeri non-spesifik,
appendisitis, infeksi usus halus dan usus besar, hernia strangulata,
perforasi ulkus peptik, perforasi usus, divertikulitis Meckel,
sindrom Boerhaeve, kelainan inflamasi usus, sindrom Mallory
Weiss, gastroenteritis, gastritis akut, adenitis mesenterika.
1.2.2 Kelainan pankreas, misalnya pankreatitis akut, yaitu. terjadinya
inflamasi akut pada pankreas.
1.2.3 Kelainan traktus urinarius, misalnya kolik renal atau ureteral,
pielonefritis akut, sistitis akut, infark renal.
1.2.4 Kelainan hati, limpa, dan traktus biliaris, misalnya kolesistitis akut,
kolangitis akut, abses hati, ruptur tumor hepar, ruptur spontan
limpa, infark limpa, kolik bilier, hepatitis akut.
1.2.5 Kelainan ginekologi, misalnya kehamilan ektopik. terganggu, tumor
ovarium terpuntir, ruptur kista folikel ovarium, salpingitis akut,
dismenorea, endometriosis.
1.2.6 Kelainan vaskuler, misalnya ruptur aneurisma aorta dan viseral,
iskemia kolitis akut, trombosis mesenterika.
Kelainan peritoneal,misalnya abses intra abdomen, peritonitis
primer, peritonitis TBC.

1.2.7 Kelainan retroperitoneal, misalnya perdarahan retroperitoneal akibat


ruptur aneurisma pada aorta abdominal, dan perdarahan akut
pankreatitis.
1.3 Tanda dan Gejala Akut Abdomen

Tanda dan gejala akut abdomen menurut Kosasi (2016) antara


lain : nyeri persisten abdomen, nyeri tajam; mual, muntah, refluks, atau
anoreksia; perubahan pola defekasi; distensi abdomen, hiperaktif atau
hipoaktif peristaltik usus; abdomen terjaga, bising usus; demam, pucat,
takipnea; dehidrasi; kejadian trauma tumpul atau tajam, serta melalui bau
feses atau drainase lambung.
1.4 Komplikasi Pasca Bedah

Tindakan pembedahan dapat menimbulkan berbagai macam resiko/


ancaman. Berikut adalah komplikasi pembedahan menurut Romadhon
(2018), yaitu : syok (tanda-tanda : pucat, kulit dingin, basah, pernafasan
cepat, sianosis pada bibir, gusi dan lidah, nadi cepat, lemah dan bergetar,
penurunan tekanan darah, urine pekat), perdarahan trombosis vena
profunda (komplikasi serius yang bisa ditimbulkan adalah embolisme
pulmonari dan sindrom pasca flebitis), retensi urin, infeksi luka operasi
(dehisiensi, evicerasi, fistula, nekrose, abses), sepsis (dapat menyebabkan
kematian bagi pasien karena dapat menyebabkan kegagalan multi organ),
embolisme pulmonal (mengakibatkan pasien merasa nyeri seperti ditusuk-
tusuk dan sesak nafas, cemas dan sianosis), serta komplikasi
gastrointestinal (obstruksi intestinal, nyeri dan juga distensi abdomen).
Sedangkan Moris (2016) mengatakan bahwa komplikasi luka
bedah yang mungkin timbul antara lain : perdarahan primer (perdarahan
yang dijumpai segera sesudah pembedahan selesai), perdarahan sekunder
(perdarahan yang terjadi beberapa hari setelah pembedahan akibat erosi
pembuluh darah akibat infeksi, atau akibat nekrosis tekan), infeksi luka,
dehisensi luka (rusaknya sebagian atau keseluruhan luka dan dapat
berhubungan atau tidak berhubungan dengan dengan infeksi luka),
terbentuknya sinus, terbentuknya fistula, serta terjadi hernia insisional.
1.5 Faktor-faktor yang Memperlambat Penyembuhan Luka Pembedahan
Pasien yang beresiko terhadap perlambatan penyembuhan luka adalah
pasien dengan masalah kesehatan seperti malnutrisi, merokok, obesitas,
anemia, diabetes atau kanker, terapi kortikosteroid, insufisiensi ginjal,
hipovolemia, hipoksia, defisiensi zat besi, tembaga atau magnesium,
durasi pembedahan lebih daripada 3 jam, pembedahan malam atau
darurat, serta adanya gangguan imunitas.
1.6 Anjuran Nutrisi pada Pasien Pasca Bedah

Masukan nutrisi harian ya.ng dibutuhkan secara optimal pada


pasien pasca bedah mencakup peningkatan masukan protein dan
karbohidrat; vitamin A, B, B2, B6, B12, C, D, E, dan niasin; masukan mineral
adekuat (seng, magnesium, kalsium, tembaga).
Kebutuhan nutrisi harian adalah berkisar 2500-3000 kalori per hari.
Dan 100-250. gram protein yang sumber-sumbernya. antara lain produk
susu, daging, unggas, ikan, dan padi-padian. Sumber vitamin B kompleks
yaitu daging, kacang-kacangan, dan sereal diperkaya. Kebutuhan vitamin C
sebesar 75-100 mg yang bersumber dari sayuran hijau dan buah jeruk.
Kebutuhan fosfor, magnesium, dan vitamin D ya.ng bersumber dari
multivitamin.

2. Discharge Planning

2.1 Defenisi

Surya (2017) mendefenisikan discharge planning sebagai proses


mempersiapkan pasien untuk meninggalkan satu unit pelayanan kepada unit
yang lain di dalam atau di luar suatu agen pelayanan kesehatan umum.
Sedangkan Jackson (1994, dalam The Royal Marsden Hospital, 2004)
menyatakan bahwa discharge planning merupakan proses mengidentifikasi
kebutuhan pasien dan perencanaannya dituliskan untuk memfasilitasi
keberlanjutan suatu pelayanan kesehatan dari suatu lingkungan ke
lingkungan lain. Romadhon (2018) mendefenisikan discharge planning
sebagai merencanakan kepulangan pasien dan memberikan informasi
kepada klien dan keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari dan
dilakukan sehubungan dengan kondisi/penyakitnya pasca bedah.
Discharge planning sebaiknya dilakukan sejak pasien diterima di
suatu agen pelayanan kesehatan, terkhusus di rumah sakit dimana rentang
waktu pasien untuk men.ginap semakin diperpendek. Discharge planning
yang efektif seharusnya mencakup pengkajian berkelanjutan untuk
mendapatkan informasi yang kom.prehensif tentang kebutuhan pasien yang
berubah-ubah, pernyataan diagnosa keperawatan, perencanaan untuk
memastikan kebutuhan pasien sesuai dengan apa ya.ng dilakukan oleh
pemberi layanan kesehatan (Surya, 2017).
2.2 Pemberi Layanan Discharge planning

Proses discharge planning harus dilakukan secara komprehensif


dan melibatkan multidisiplin, mencakup semua pemberi layanan kesehatan
yang terlibat dalam memberi layanan kesehatan kepada pasien (Perry &
Potter, 2006). Discharge planning tidak hanya melibatkan pasien tapi juga
keluarga, teman-teman, serta pemberi layanan kesehatan dengan catatan
bahwa pelayanan kesehatan dan sosial bekerja sama (Nixon et al, 1998
dalam The Royal Marsden Hospital, 2004).
Seseorang yang merencanakan pemulangan atau koordinator
asuhan berkelanjutan (continuing care coordinator) adalah staf rumah sakit
yang berfungsi sebagai konsultan untuk proses discharge planning
bersamaan dengan fasilitas kesehatan, menyediakan pendidikan kesehatan,
dan memotivasi staf rumah sakit untuk merencanakan dan
mengimplementasikan discharge planning (Discharge Planning
Association, 2008).

2.3 Penerima Discharge Planning

Semua pasien yang dihospitalisasi memerlukan discharge planning


(Discharge Planning Association, 2008). Namun ada beberapa kondisi yang
menyebabkan pasien beresiko tidak dapat memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan yang berkelanjutan setelah pasien pulang, seperti pasien yang
menderita penyakit terminal atau pasien dengan kecacatan permanen (Rice,
1992 dalam Perry & Potter, 2005). Pasien dan seluruh anggota keluarga
harus mendapatkan informasi tentang semua rencana pemulangan (Medical
Mutual of Ohio, 2008).
2.4 Tujuan Discharge Planning

Discharge planning bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan


spesifik untuk mempertahankan. atau mencapai fungsi. maksimal setelah
pulang. Juga bertujuan memberikan pelayanan terbaik untuk menjamin
keberlanjutan asuhan berkualitas antara rumah sakit dan komunitas dengan
memfasilitasi komunikasi yang efektif (Discharge Planning Association,
2008).
The Royal Marsden Hospital (2004) menyatakan bahwa tujuan
dilakukannya discharge planning antara lain untuk mempersiapkan pasien
dan keluarga secara fisik dan psikologis untuk di transfer ke rumah atau ke
suatu lingkungan yang dapat disetujui, menyediakan informasi tertulis dan
verbal kepada pasien dan pelayanan kesehatan untuk mempertemukan
kebutuhan mereka dalam proses pemulangan, memfasilitasi proses
perpindahan yang nyaman dengan memastikan semua fasilitas pelayanan
kesehatan yang diperlukan telah dipersiapkan untuk menerima pasien,
mempromosikan tahap kemandirian yang tertinggi kepada pasien, teman-
teman, dan keluarga dengan menyediakan, memandirikan aktivitas
perawatan diri.
2.5 Prinsip Discharge Planning

Ketika melakukan discharge planning dari suatu lingkungan ke


lingkungan yang lain, ada beberapa prinsip yang harus diikuti/diperhatikan.
Berikut ini adalah beberapa prinsip yang dikemukakan oleh The Royal
Marsden Hospital (2004), yaitu :
2.5.1 Discharge planning harus merupakan proses multidisiplin, dimana
sumber-sumber untuk mempertemukan kebutuhan pasien dengan
pelayanan kesehatan ditempatkan pada satu tempat.
2.5.1 Prosedur discharge planning harus dilakukan secara konsisten dengan
kualitas tinggi pada semua pasien
2.5.3 Kebutuhan pemberi asuhan (care giver) juga harus dikaji.

2.5.4 Pasien harus dipulangkan kepada suatu lingkungan yang aman dan
adekuat.
2.5.5 Keberlanjutan perawatan antar lingkungan harus merupakan hal yang
terutama.
2.5.6 Informasi tentang penyusunan pemulangan harus diinformasikan
antara tim kesehatan dengan pasien/care giver, dan kemampuan
terakhir disediakan dalam bentuk tertulis tentang perawatan
berkelanjutan.
2.5.7 Kebutuhan atas kepercayaan dan budaya pasien harus
dipertimbangkan ketika menyusun discharge planning.
2.6 Proses Pelaksanaan Discharge Planning

Proses discharge planning mencakup kebutuhan fisik pasien,


psikologis, sosial, budaya, dan ekonomi. Perry dan Potter (2006) membagi
proses discharge planning atas tiga fase, yaitu akut, transisional, dan
pelayanan berkelanjutan. Pada fase akut, perhatian utama medis berfokus
pada usaha discharge planning. Sedangkan pada fase transisional,
kebutuhan pelayanan akut selalu terlihat, tetapi tingkat urgensinya semakin
berkurang dan pasien mulai dipersiapkan untuk pulang dan merencanakan
kebutuhan perawatan masa depan. Pada fase pelayanan berkelanjutan,
pasien mampu untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan
aktivitas perawatan berkelanjutan yang dibutuhkan setelah pemulangan.
Perry dan Potter (2005) menyusun format discharge planning

sebagai berikut :

2.6.1 Pengkajian

1). Sejak pasien masuk, kaji kebutuhan pemulangan pasien dengan


menggunakan riwayat keperawatan, berdiskusi dengan pasien dan
care giver; fokus pada pengkajian berkelanjutan terhadap
kesehatan fisik pasien, status fungsional, sistem pendukung sosial,
sumber-sumber finansial, nilai kesehatan, latar belakang budaya
dan etnis, tingkat pendidikan, serta rintangan terhadap perawatan.
2). Kaji kebutuhan pasien dan keluarga terhadap pendidikan
kesehatan berhubungan dengan bagaimana menciptakan terapi di
rumah, penggunaan alat-alat medis di rumah, larangan sebagai
akibat gangguan kesehatan, dan kemungkinan terjadinya
komplikasi. Kaji cara pembelajaran yang lebih diminati pasien
(seperti membaca, menonton video, mendengarkan petunjuk-
petunjuk). Jika materi tertulis yang digunakan, pastikan materi
tertulis yang layak tersedia. Tipe materi pendidikan yang berbeda-
beda dapat mengefektifkan cara pembelajaran yang berbeda pada
pasien.
3). Kaji bersama-sama dengan pasien dan keluarga terhadap setiap
faktor lingkungan di dalam rumah yang mungkin menghalangi
dalam perawatan diri seperti ukuran ruangan, kebersihan jalan
menuju pintu, lebar jalan, fasilitas kamar mandi, ketersediaan alat-
alat yang berguna (seorang perawat perawatan di rumah dapat
dirujuk untuk membantu dalam pengkajian).
4). Berkolaborasi dengan dokter dan staf pada profesi lain (seperti
dokter pemberi terapi) dalam mengkaji kebutuhan untuk rujukan
kepada pelayanan perawatan rumah yang terlatih atau fasilitas
perawatan yang lebih luas.
5). Kaji persepsi pasien dan keluarga terhadap keberlanjutan
perawatan kesehatan di luar rumah sakit. Mencakup pengkajian
terhadap kemampuan keluarga untuk mengamati care giver dalam
memberikan perawatan kepada pasien. Dalam hal ini sebelum
mengambil keputusan, mungkin perlu berbicara secara terpisah
dengan pasien dan keluarga untuk mengetahui kekhawatiran yang
sebenarnya atau keragu-raguan diantara keduanya.
6). Kaji penerimaan pasien terhadap masalah kesehatan berhubungan
dengan pembatasan.
7). Konsultasikan tim pemberi layanan kesehatan yang lain tentang
kebutuhan setelah pemulangan (seperti ahli gizi, pekerja sosial,
perawat klinik spesialis, perawat pemberi perawatan kesehatan di
rumah). Tentukan kebutuhan rujukan pada waktu yang berbeda.
2.6.2 Diagnosa Keperawatan

Penentuan diagnosa keperawatan secara khusus bersifat


individual berdasarkan kondisi atau kebutuhan pasien. Adapun
diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan antara lain :
1). Kecemasan.

Hal ini dapat menginterupsi proses keluarga.

2). Tekanan terhadap care giver.

Hal yang menyebabkannya adalah ketakutan.

3). Kurang pengetahuan terhadap pembatasan perawatan di rumah.

Pasien mengalami defisit perawatan diri dalam hal : makan,

Toileting, berpakaian, mandi/kebersihan.

4). Stres sindrom akibat perpindahan.

Hal ini berhubungan dengan upaya meningkatkan


pertahanan/pemeliharaan di rumah.
2.6.3 Perencanaan

Hasil yang diharapkan jika seluruh prosedur telah lengkap


dilakukan adalah sebagai berikut :
1). Pasien atau keluarga sebagai care giver mampu menjelaskan
bagaimana keberlangsungan pelayanan kesehatan di rumah (atau
fasilitas lain), penatalaksanaan atau pengobatan apa yang
dibutuhkan, dan kapan mencari pengobatan akibat masalah yang
timbul.
2). Pasien mampu mendemonstrasikan aktivitas perawatan diri (atau
anggota keluarga mampu melakukan aturan perawatan).
3). Rintangan kepada pergerakan pasien dan ambulasi telah diubah
dalam setting rumah. Hal-hal yang dapat membahayakan pasien
akibat kondisi kesehatannya telah diubah.
2.6.4 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu


penatalaksanaan yang dilakukan sebelum hari pemulangan, dan
penatalaksanaan yang dilakukan pada hari pemulangan.
1). Persiapan sebelum hari pemulangan pasien

a). Menganjurkan cara untuk merubah keadaan rumah demi


memenuhi kebutuhan pasien.
b). Mempersiapkan pasien dan keluarga dengan memberikan
informasi tentang sumber-sumber pelayanan kesehatan
komunitas. Rujukan dapat dilakukan sekalipun pasien masih
di rumah.
c). Setelah menentukan segala hambatan untuk belajar serta
kemauan untuk belajar, mengadakan sesi pengajaran dengan
pasien dan keluarga secepat mungkin selama dirawat di rumah
sakit (seperti tanda dan gejala terjadinya komplikasi,
kepatuhan terhadap pengobatan, kegunaan alat-alat medis,
perawatan lanjutan, diet, latihan, pembatasan yang disebabkan
oleh penyakit atau pembedahan). Pamflet, buku-buku, atau
rekaman video dapat diberikan kepada pasien. Pasien juga
dapat diberitahu tentang sumber-sumber informasi yang ada di
internet.
d). Komunikasikan respon pasien dan keluarga terhadap
penyuluhan dan usulan perencanaan pulang kepada anggota
tim kesehatan lain yang terlibat dalam perawatan pasien.
2). Penatalaksanaan pada hari pemulangan

Jika beberapa aktivitas berikut ini dapat dilakukan sebelum


hari pemulangan, perencanaan yang dilakukan akan lebih efektif.
Adapun aktivitas yang dilakukan pada hari pemulangan antara
lain :
a). Biarkan pasien dan keluarga bertanya dan diskusikan isu-isu
yang berhubungan dengan perawatan di rumah. Kesempatan
terakhir untuk mendemonstrasikan kemampuan juga
bermanfaat.
b). Periksa instruksi pemulangan dokter, masukkan dalam terapi,
atau kebutuhan akan alat-alat medis yang khusus. (Instruksi
harus dituliskan sedini mungkin) Persiapkan kebutuhan dalam
perjalanan dan sediakan alat-alat yang dibutuhkan sebelum
pasien sampai di rumah (seperti tempat tidur rumah sakit,
oksigen, feeding pump).
c). Tentukan apakah pasien dan keluarga telah dipersiapkan dalam
kebutuhan transportasi menuju ke rumah.
d). Tawarkan bantuan untuk memakaikan baju pasien dan
mengepak semua barang milik pasien. Jaga privasi pasien
sesuai kebutuhan.
e). Periksa seluruh ruangan dan laci untuk memastikan barang-
barang pasien. Dapatkan daftar pertinggal barang-barang
berharga yang telah ditandatangani oleh pasien, dan
instruksikan penjaga atau administrator yang tersedia untuk
menyampaikan barang-barang berharga kepada pasien.
f). Persiapkan pasien dengan prescription atau resep pengobatan
pasien sesuai dengan yang diinstruksikan oleh dokter.
Lakukan pemeriksaan terakhir untuk kebutuhan informasi atau
fasilitas pengobatan yang aman untuk administrasi diri.
g). Berikan informasi tentang petunjuk untuk janji follow up ke
kantor dokter.
h). Hubungi kantor agen bisnis untuk menentukan apakah pasien
membutuhkan daftar pengeluaran untuk kebutuhan
pembayaran. Anjurkan pasien dan keluarga mengunjungi
kantornya.
i). Dapatkan kotak untuk memindahkan barang-barang pasien.
Kursi roda untuk pasien yang tidak mampu ke mobil
ambulans. Pasien yang pulang dengan menggunakan
ambulans diantarkan oleh usungan ambulans.
j). Bantu pasien menuju kursi roda atau usungan dan gunakan
sikap tubuh dan teknik pemindahan yang sopan. Dampingi
pasien memasuki unit dimana transportasi yang dibutuhkan
sedang menunggu. Kunci roda dari kursi roda. Bantu pasien
pindah ke mobil pribadi atau kendaraan untuk transportasi.
Bantu keluarga menempatkan barang-barang pribadi pasien ke
dalam kendaraan.
k). Kembali ke bagian, dan laporkan waktu pemulangan kepada
departemen pendaftaran/penerimaan. Ingatkan bagian
kebersihan untuk membersihkan ruangan pasien.
2.6.5 Evaluasi

1). Minta pasien dan anggota keluarga menjelaskan tentang penyakit,


pengobatan yang dibutuhkan, tanda-tanda fisik atau gejala yang
harus dilaporkan kepada dokter.
2). Minta pasien atau anggota keluarga mendemonstrasikan setiap
pengobatan yang akan dilanjutkan di rumah.
3). Perawat yang melakukan perawatan rumah memperhatikan
keadaan rumah, mengidentifikasi rintangan yang dapat
membahayakan bagi pasien, dan menganjurkan perbaikan.
2.7 Unsur-Unsur Discharge Planning

2.7.1 Discharge Planning Association (2008) mengatakan bahwa unsur-


unsur yang harus ada pada sebuah form perencanaan pemulangan
antara lain :
1). Pengobatan di rumah, mencakup resep baru, pengobatan yang
sangat dibutuhkan, dan pengobatan yang harus dihentikan.
2). Daftar nama obat harus mencakup nama, dosis, frekuensi, dan efek
samping yang umum terjadi.
3). Kebutuhan akan hasil test laboratorium yang dianjurkan, dan
pemeriksaan lain, dengan petunjuk bagaimana untuk memperoleh
atau bilamana waktu akan diadakannya.
4). Bagaimana melakukan pilihan gaya hidup dan tentang perubahan
aktivitas, latihan, diet makanan yang dianjurkan dan
pembatasannya.
5). Petunjuk perawatan diri (perawatan luka, perawatan kolostomi,
ketentuan insulin, dan lain-lain).
6). Kapan dan bagaimana perawatan atau pengobatan selanjutnya
yang akan dihadapi setelah dipulangkan. Nama pemberi layanan,
waktu, tanggal, dan lokasi setiap janji untuk control.
7). Apa yang harus dilakukan pada keadaan darurat dan nomor
telepon yang bisa dihubungi untuk melakukan peninjauan ulang
petunjuk pemulangan.
8). Bagaimana mengatur perawatan lanjutan (jadwal pelayanan di
rumah, perawat yang menjenguk, penolong, pembantu jalan;
walker, kanul, oksigen, dan lain-lain) beserta dengan nama dan
nomor telepon setiap institusi yang bertanggung jawab untuk
menyediakan pelayanan.
2.7.2 Osya (2020) menyatakan bahwa informasi yang harus diketahui oleh
pasien pasca bedah abdomen dan orang terdekat sebelum pemulangan
antara lain :
1). Obat-obatan, meliputi na.ma obat, tujuan, dosis, jadwal, tindakan
pencegahan, interaksi obat/obat dan makanan/obat, dan potensial
efek samping.
2). Pentingnya penatalaksanaan diet untuk meningkatkan
pemeliharaan nutrisi dan cairan. Diet yang dianjurkan antara lain :
diet normal yang mengikuti semua empat kelompok makanan
(daging, telur, dan ikan; buah dan sayuran; susu dan keju; sereal
dan roti) dan minum cairan yang adekuat (sedikitnya 2-3 L/hari).
Ingatkan pasien untuk menghindari kacang-kacangan, buah beri,
dan makanan dengan biji.
3). Perawatan insisi, penggantian balutan, dan izin untuk mandi atau
mandi pancuran jika jahitan sudah diangkat.
4). Pembatasan aktivitas pasca bedah sesuai petun.juk: biasanya
mengangkat benda yang berat (> 4 kg), mendorong, menarik, dan
mengedan dikontraindikasikan selama kira-kira 6 minggu untuk
mencegah terjadinya herniasi insisi. Antisipasi kembali bekerja
dalam 2 minggu untuk pekerja kantor, dan 6 minggu untuk
pekerja buruh. Waspadalah terhadap dan istirahat setelah gejala
kelelahan, beristirahatlah semaksimal mungkin, meningkatkan
aktivitas secara bertahap sesuai toleransi.
5). Pentingnya melaporkan tanda dan gejala terjadinya infeksi luka :
kemerahan menetap, bengkak, drainase purulen, hangat lokal, bau
busuk, dan nyeri.
6). Pentingnya perawatan lanjutan dengan dokter atau perawat,
pastikan tanggal dan waktu perjanjian berikutnya.
2.8 Cara Mengukur Discharge Planning

Sebuah discharge planning dikatakan baik apabila pasien telah


dipersiapkan untuk pulang, pasien telah mendapatkan penjelasan-
penjelasan yang diperlukan, serta instruksi-instruksi yang harus dilakukan,
serta apabila pasien diantarkan pulang sampai ke mobil atau alat
transportasi lainnya (The Royal Marsden Hospital, 2004).
Kesuksesan tindakan discharge planning menjamin pasien mampu
melakukan tindakan perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah
meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006). Hal ini
dapat dilihat dari kesiapan pasien untuk menghadapi pemulangan, yang
diukur dengan kuesioner.

3. Kesiapan Pasien Menghadapi Pemulangan

3.1 Defenisi dan Komponen Kesiapan

Menurut Susilo (2017), ada dua. komponen utama dari kesiapan


yaitu kemampuan dan keinginan. Kemampuan adalah pengetahuan,
pengalaman, dan keterampilan yang dimiliki seorang ataupun
kelompok untuk melakukan kegiatan atau tugas tertentu. Sedangkan
keinginan berkaitan dengan keyakinan, komitmen, dan motivasi untuk
menyelesaikan tugas atau kegiatan tertentu. Kesiapan merupakan
kombinasi dari kemampuan dan keinginan yang berbeda yang ditunjukkan
seseorang pada tiap-tiap tugas yang diberikan.
Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan
pasien menghadapi pemulangan adalah kemampuan yang mencakup
pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan serta keinginan yang
mencakup keyakinan, komitmen, dan motivasi pasien pasca bedah akut
abdomen untuk melakukan aktifitas atau kegiatan yang diajarkan serta
dianjurkan oleh perawat dan klinisi lain.
Pasien dinyatakan siap menghadapi pemulangan apabila pasien
mengetahui pengobatan, tanda-tanda bahaya, aktivitas yang dilakukan, serta
perawatan lanjutan di rumah (The Royal Marsden Hospital, 2004).
3.2 Kriteria Pemulangan

Sebelum pulang pasien pasca bedah dan keluarga akan mampu


menggambarkan pembatasan aktivitas di rumah, menggambarkan
penatalaksanaan luka dan nyeri di rumah, mendiskusikan kebutuhan cairan
dan nutrisi untuk pemulihan luka, menyebutkan tanda dan gejala yang
harus dilaporkan pada tenaga kesehatan, serta menggambarkan perawatan
lanjutan yang diperlukan. Sedangkan Perry dan Potter (2005) mengatakan
bahwa pada saat pulang, pasien harus mempunyai pengetahuan,
keterampilan, dan sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi perawatan
dirinya.
Kesuksesan tindakan discharge planning menjamin pasien mampu
melakukan tindakan perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah
meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006). Oleh
karena itu pasien dinyatakan siap menghadapi pemulangan apabila pasien
mengetahui pengobatan, tanda-tanda bahaya, aktivitas yang dilakukan, serta
perawatan lanjutan di rumah (The Royal Marsden Hospital, 2004). Pasien
dan keluarga memahami diagnosa, antisipasi tingkat fungsi, obat-obatan
dan tindakan pengobatan untuk kepulangan, antisipasi perawatan tindak
lanjut, dan respons yang diambil pada kondisi kedaruratan (Perry & Potter,
2005).
3.3 Tingkat Kesiapan

Susilo (2017) membagi tingkat. kesiapan berdasarkan kuantitas


keinginan dan kemampuan bervariasi. dari sangat tinggi hingga sangat
rendah, antara lain :
3.3.1 Tingkat kesiapan 1 (R1)

1). Tidak mampu dan tidak ingin, yaitu tingkatan tidak mampu dan
hanya memiliki sedikit komitmen dan motivasi.
2). Tidak mampu dan ragu, yaitu tingkatan tidak mampu dan hanya
memiliki sedikit keyakinan.
3.3.2 Tingkat kesiapan 2 (R2)

1). Tidak mampu tetapi berkeinginan, yaitu tingkatan yang memiliki


sedikit kemampuan tetapi termotivasi dan berusaha.
2). Tidak mampu tetapi percaya diri, yaitu tingkatan yang hanya
memiliki sedikit kemampuan tetapi tetap merasa yakin.
3.3.3 Tingkat kesiapan 3 (R3)

1). Mampu tetapi ragu, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan


untuk melaksanakan suatu tugas tetapi tidak yakin dan khawatir
untuk melakukannya sendiri.
2). Mampu tetapi tidak ingin, tingkatan yang memiliki kemampuan
untuk melakukan suatu tugas tetapi tidak ingin menggunakan
kemampuan tersebut.
3.3.4 Tingkat kesiapan 4 (R4)

1). Mampu dan ingin, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan


untuk melakukan tugas seringkali menyukai tugas tersebut.
2). Mampu dan yakin, yaitu tingkatan yang memiliki kemampuan
untuk melaksanakan tugas dan yakin dapat melakukannya seorang
diri.

4. Model Keperawatan Dorothea Orem

Model konseptual Dorothea Orem (2001, dalam Alligood & Tomey, 2006)
terdiri dari tiga teori yang saling berhubungan, yaitu teori perawatan diri yang
menggambarkan mengapa dan bagaimana manusia merawat dirinya sendiri,
teori defisit perawatan diri yang menggambarkan dan menjelaskan mengapa
manusia dapat dibantu melalui keperawatan, dan teori sistem keperawatan yang
menggambarkan dan menjelaskan hubungan yang harus dibawa dan
dipertahankan agar keperawatan dapat dihasilkan.
4.1. Teori Perawatan Diri
Perawatan diri sendiri adalah perilaku yang diperlukan secara
pribadi dan berorientasi pada tujuan yang berfokus pada kapasitas individu
yang bersangkutan untuk mengatur dirinya dan lingkungan dengan cara
sedemikian rupa sehingga ia tetap bisa hidup, menikmati kesehatan dan
kesejahteraan, dan berkontribusi dalam perkembangannya sendiri (Orem,
1985 dalam Basford, 2006). Perawatan diri sendiri dibutuhkan oleh setiap
manusia, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. Ketika perawatan
diri tidak dapat dipertahankan, akan terjadi kesakitan atau kematian.
4.2 Teori Defisit Perawatan Diri

Orem (2001, dalam Alligood & Tomey, 2006) mengatakan bahwa


defisiensi perawatan diri adalah kesenjangan antara kebutuhan perawatan
diri terapeutik individu dan kekuatan mereka sebagai agen perawat diri
yang mana unsur pokok perkembangan kemampuan perawatan diri tidak
berjalan atau tidak adekuat untuk mengetahui atau mempertemukan
sebagian atau semua komponen yang ada atau membangun kebutuhan
perawatan diri terapeutik. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa jika
seseorang tidak cukup mampu untuk merawat dirinya sendiri berkaitan
dengan kesehatannya maka ia dikatakan menderita defisit perawatan diri
(Orem, 1985 dalam Basford, 2006).
Oleh karena itu diperlukan perawat yang bertindak sebagai agen
keperawatan yang berhak membangun hubungan interpersonal untuk
melakukan, mencari tahu, dan membantu pasien untuk mempertemukan
kebutuhan perawatan diri terapeutik mereka dan meregulasi
perkembangan atau melatih kemampuan mereka sebagai agen perawatan
diri sendiri (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2006).
4.3 Teori Sistem Keperawatan

Orem (1985, dalam Basford, 2006) menjelaskan sistem


keperawatan sebagai “Serangkaian tindakan kontinu yang dihasilkan ketika
perawat menghubungkan satu atau sejumlah cara membantu pasien dengan
tindakannya sendiri atau tindakan seseorang di bawah perawatan yang
diarahkan untuk memenuhi tuntutan perawatan diri terapeutik orang
tersebut atau untuk mengatur perawatan diri mereka”.
Sebagai agen keperawatan, perawat menerapkan sistem
keperawatan yang merupakan tindakan praktek keperawatan yang
dilakukan secara berkesinambungan dan bertahap dengan berkoordinasi
dengan pasien untuk mengetahui dan memenuhi komponen kebutuhan
perawatan diri terapeutik pasien mereka dan melindungi dan meregulasi
latihan atau perkembangan kemampuan pasien sebagai agen perawat diri
sendiri (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomey, 2006).
Untuk mengetahui apakah pasien dapat berkontribusi dan
kontribusi apa yang harus diberikan perawat, Orem (1985, dalam Basford,
2006) membedakan tiga system keprawatan, yaitu :
4.3.1 Suportif-edukatif, yaitu jika pasien mampu melakukan atau belajar
tentang perawatan diri, maka intervensi keperawatan harus dibatasi
misalnya hanya pada pemberian dukungan dan pendidikan.
4.3.2 Kompensasi parsial, yaitu pasien memiliki beberapa kemampuan
untuk melakukan perawatan diri tetapi tidak dapat mencapai
perawatan diri total jika tidak dibantu, dan perawat harus membantu
pasien dalam melakukan tugas-tugas tersebut.
4.3.3 Kompensasi total, yaitu jika pasien secara totoal tidak dapat
melakukan perawatan diri sendiri, dan perawat harus melakukan
semua tugas-tugas tersebut untuk pasien, bahkan dalam hal
kebutuhan perawatan diri umum seperti memandikan dan memberi
makan pasien.
BAB III
KERANGKA PENELITIAN
A. HIPOTESIS

Berdasarkan masalah penelitian, maka hipotesa penelitian ini adalah :


Ha = Terdapat pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap
kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan.
Ho = Tidak terdapat pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat
terhadap kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan.
Hasil penelitian ini didapati bahwa penelitian ini menolak H0 dan menerima Ha yaitu
ada pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pasca
bedah akut abdomen menghadapi pemulangan.

B. KERANGKA KONSEP
Penelitian ini memiliki tuj.uan utama un.tuk mengidentifikasi penga.ruh discharge
planning ya.ng dilakukan oleh pera.wat terhadap kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen
dalam menghadapi pemulangan. Pen.elitian ini men.ggunakan model konseptual berdasarkan
konsep Orem sebagai pa.nduan dalam penelitian untuk melihat penga.ruh discharge planning
yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen da.lam
menghadapi pemulangan.
Orem mengatakan bahwa jika seseorang tidak cukup mampu untuk merawat dirinya
sendiri berkaitan dengan kesehatannya maka ia dikatakan menderita defisit perawatan diri.
Pasien pasca bedah akut abdomen mengalami defisit perawatan diri setelah menjalani
pembedahan akibat kelemahan tubuhnya sehingga memerlukan bantuan perawat sebagai agen
keperawatan yang melakukan sistem keperawatan, dalam hal ini discharge planning untuk
membantu pasien memenuhi komp.onen kebutuhan per.awatan diri terapeutiknya, dan
memba.ntu pasien agar mampu menjadi agen pera.watan diri sendiri sebelum menghadapi
pemulangan.
Sebelum dilakukan intervensi, peneliti melakukan test awal (pre test) untuk mengukur
tingkat kesi.apan pasien menghadapi pem.ulangan. Setelah itu dilakukan discha.rge planning
kepada kelompok unt.uk mempersiapkan pasien menghadapi pemulangan. Dan akh.irnya
setelah dilakukan intervensi maka peneliti melakukan test akhir (post test) untuk kembali
mengukur tingkat kesiapan pasien menghadapi pemulangan.
Kerangka penelitian diatas tersebut bisa di gambarkan :
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. VARIABEL BEBAS DAN TERIKAT


Variabel pene.litian yang akan digunakan dalam penelitian ini bertujuan. untuk
mengu.ngkapkan kemungkina.n adanya pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh
pera.wat terhadap kesiapan pasien pasca bedah akut abdo.men menghadapi pemu.langan.
Rancangan penelitian yang digun.akan yaitu one group pre and posttest design, ya.ng
melibatkan satu kelompok su.byek serta melakukan penguk.uran tingkat ke.siapan pasien
menghadapi pemulangan seb.elum pemberian intervensi yang memu.n.gkinkan pen.eliti dapat
menguji perubahan- perub.ahan yang terj.adi setelah adanya intervensi (discharge planning)
(Endang, 2015).
Analisa deskriptif statistik digunakan untuk menyajikan data-data tentang jenis
kelamin, usia, status pernikahan, suku bangsa, pendidikan terakhir, pekerjaan, diagnosa
penyakit, post op hari keberapa, data pengalaman hospitalisasi dan operasi sebelumnya, serta
jenis obat yang diberikan saat pasien pulang. Analisa deskriptif statistik ini juga digunakan
untuk menyajikan data tentang kesiapan pasien menghadapi pemulangan sebelum dan
sesudah dilakukan discharge planning. Data-data tersebut disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi dan persentase.
Untuk menganalisis pengaruh discharge planning terhadap kesiapan pasien pasca
bedah akut abdomen menghadapi pemulangan, maka dilakukan dengan analisa statistik non
parametrik yaitu sign rank test (Wilcoxon).
Data yang diperoleh dari kuesioner merupakan hasil pengukuran tingkat kesiapan
pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan
discharge planning. Hasil pengukuran tersebut dibandingkan untuk menguji hipotesa
penelitian sehingga dapat diketahui pengaruh discharge planning yang dilakukan oleh
perawat terhadap kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan. H0
ditolak bila nilai t lebih kecil atau sama dengan nilai t yang terdapat di dalam tabel (Budi,
2012).
B. POPULASI
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien akut abdomen yang telah
menjalani pembedahan dan sedang menjalani rawat inap di RSUD Kyen Pati, pada bulan
Desember 2020 – Januari 2021. Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, diketahui
bahwa jumlah rata-rata pasien yang menjalani pembedahan akut abdomen di RSUD Kayen
Pati selama 3 bulan terakhir (Agustus-Oktober 2020) adalah sebanyak 10 orang per bulan.
C. SAMPLE
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling,
yaitu menetapkan sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi. Adapun yang menjadi kriteria
inklusi sampel dalam penelitian ini antara lain : pasien pasca bedah akut abdomen, telah
menjalani perawatan di ruang rawat inap lebih dari 2 hari, pria/wanita berusia 18-50 tahun,
memiliki kesadaran penuh sehingga tidak memiliki halangan untuk belajar, tidak memiliki
penyakit komplikasi, dan bersedia menjadi responden penelitian.
Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan formula penentuan jumlah
sampel yang dikemukakan oleh Endang (2015). Berdasarkan formulasi tersebut, jika
diketahui jumlah populasi 10 orang, dengan tingkat kepercayaan yang diinginkan sebesar 0,05
maka didapatkan jumlah sampel yang diperlukan dalam penelitian ini sebanyak 9 orang.
Namun sampai batas waktu dan izin penelitian yang telah ditetapkan, peneliti hanya
memperoleh 10 pasien pasca bedah akut abdomen. Dari 10 pasien tersebut, terdapat 3 orang
termasuk dalam kriteria eksklusi karena 1 orang melebihi batas usia, 3 orang meninggal, dan
2 orang pindah ruangan akibat kondisi penyakitnya. Sehingga didapatkan hanya 5 orang yang
menjadi sampel dalam penelitian ini.
D. DEFINISI OPERASIONAL VARIABLE
Defenisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut :
1. Discharge Planning
Discharge planning merupakan tindakan yang dilakukan oleh perawat dalam
mempersiapkan pasien menghadapi pemulangan berkaitan dengan pengetahuan pasien
tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipatuhi pasien setelah berada di rumah,
seperti obat-obatan, tanda-tanda bahaya, perawatan di rumah, aktivitas di rumah, diet
di rumah, serta perawatan lanjutan sesuai dengan protokol discharge planning.
2. Kesiapan Pasien Menghadapi Pemulangan
Kesiapan pasien menghadapi pemulangan dalam penelitian ini adalah kemampuan
pasien pasca bedah akut abdomen untuk menyebutkan pengetahuan (tindakan
pengobatan di rumah, tanda-tanda bahaya, perawatan luka, aktivitas di rumah, diet di
rumah, serta perawatan lanjutan) sebelum pasien dipulangkan, yang diukur dengan
kuesioner kesiapan pasien pasca bedah akut abdomen menghadapi pemulangan dan
dinyatakan dalam empat tingkatan kesiapan, yaitu tingkat kesiapan 1 (R1) jika skornya
28-48; tingkat kesiapan 2 (R2) jika skornya 49-69; tingkat kesiapan 3 (R3) jika
skornya 70-90; serta tingkat kesiapan 4 (R4) jika skornya 91-112.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Karakteristik responden penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah
responden (57,1%) berusia dewasa madya dengan rentang 41-50 tahun. Lebih dari setengah
responden adalah perempuan (57,1%) dengan status pernikahan semua responden (100%)
telah menikah. dengan pendidikan tertinggi adalah SMP (57,1%). Lebih dari setengah
responden (57,1%) tidak memiliki pekerjaan (Ibu Rumah Tangga).
Berkaitan dengan diagnosa penyakit responden, masing-masing responden memiliki
riwayat diagnosa kesehatan yang berbeda-beda yaitu post explorasi laparatomi atas indikasi
hernia incisional, post explorasi laparatomi sigmoidectomi atas indikasi obstruksi ileus
berhubungan dengan Ca recti, post explorasi laparatomi berhubungan dengan diffuse
peritonitis berhubungan dengan liver absess rupture, post apendiktomi berhubungan dengan
apendisitis akut, post explorasi laparatomi atas indikasi diffuse peritonitis, post explorasi
laparatomi berhubungan dengan gastric perforation, serta post explorasi laparatomi +
apendiktomi. Responden terbanyak merupakan responden dengan hari rawat post-op hari ke
3-5 (71,4%) dan lebih dari setengah responden (57,1%) tidak pernah mengalami hospitalisasi.
Untuk terapi farmakologis, jenis terapi antibiotik yang paling sering diresepkan pada
responden adalah ciprofloxacin (42,9%) dan umumnya memakai asam mefenamat (85,7%)
sebagai analgesiknya. Lebih dari setengah responden (57,1%) mengkonsumsi vitamin B
complex dan umumnya diberikan anti ulkus jenis ranitidin (87,1%).
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian maka penting dilakukan rekomendasi kepada berbagai pihak yaitu
:
1.1 Bagi Praktek Keperawatan

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh discharge


planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pasca
bedah akut abdomen menghadapi pemulangan. Oleh karena itu, sebaiknya
perawat di ruangan melakukan discharge planning kepada semua pasien
dengan tujuan untuk mempersiapkan pasien menghadapi pemulangan
dimana pasien mampu melakukan perawatan berkelanjutan di rumah.
1.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh discharge


planning yang dilakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien pasca
bedah akut abdomen menghadapi pemulangan, oleh karena itu diharapkan
pendidikan keperawatan akan menekankan memberikan materi tentang
discharge planning kepada mahasiswa.
1.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Dalam penelitian ini jumlah pasien masih dirasakan kurang


memadai, oleh karena itu pada penelitian selanjutnya perlu menambah
jumlah responden dan menggunakan kelompok kontrol sehingga dapat
dilihat seberapa besar perbedaan kesiapan yang dihasilkan dengan adanya
discharge planning dibandingkan pada kelompok kontrol.
Discharge planning dilakukan sebaiknya sejak pasien diterima di
suatu agen pelayanan kesehatan dengan melakukan pengkajian
berkelanjutan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang
kebutuhan pasien yang berubah-ubah, namun penelitian ini hanya
mengambil suatu keadaan pasca bedah, oleh karena itu sebaiknya pada
penelitian selanjutnya discharge planning dilakukan sejak pasien
memasuki suatu fasilitas kesehatan tertentu.
Proses discharge planning harus dilakukan secara komprehensif dan melibatkan multidisiplin
mencakup semua pemberi layanan kesehatan yang terlibat dalam memberi layanan kesehatan
kepada pasien, namun penelitian ini hanya terbatas pada perawat sendiri sehingga diharapkan
pada penelitian selanjutnya diharapkan discharge planning yang dilakukan melibatkan semua
disiplin ilmu yang terkait (ahli rongent, ahli gizi, ahli fisioterapi, perawat, dll) sehingga
informasi yang diterima oleh pasien lebih spesifik sehingga pasien benar-benar siap ketika
menghadapi pemulangan.
C. KUESIONER
1. Data Demografi
Terdiri dari jenis kelamin, usia, status pernikahan, suku bangsa,
pendidikan terakhir, pekerjaan, diagnosa penyakit, post op hari
keberapa, pengalaman hospitalisasi dan operasi sebelumnya, serta
jenis obat yang diberikan saat pasien pulang. Data demografi ini
bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden dan
mendeskripsikan distribusi frekuensi dan persentase demografi
responden.
1.1.1 Data Kesiapan Pasien Pasca Bedah Akut Abdomen Menghadapi
Pemulangan Pre dan Post Discharge Planning
Kuesioner ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat
kesiapan pasien menghadapi pemulangan pre dan post discharge
planning, dengan menggunakan pernyataan sebanyak 28 buah yang
meliputi obat-obatan (1-6), tanda-tanda bahaya (7-9), perawatan
luka di rumah (10-14), aktivitas di rumah (15-21), diet di rumah (22-
27), dan perawatan lanjutan (28).
Kuesioner penelitian ini berbentuk skala likert dimana
setiap pernyataan akan diberi skor 1 hingga 4. Skor 4
mengindikasikan bahwa pasien sangat setuju dengan pernyataan,
skor 3 pasien setuju, skor 2 tidak setuju, dan skor 1 sangat tidak
setuju.
Total skor tertinggi dalam instrumen ini adalah 112 sedangkan skor terendah adalah 28.
Selanjutnya total skor akan dirangking ke dalam 4 rangking (Martinsusilo, 2007), yaitu
tingkat yakin melakukan kegiatan yang diajarkan setelah pasien berada di rumah kesiapan 1
(R1) jika skornya 28-48 artinya bahwa pasien tidak mampu dan tidak ingin atau tidak mampu
dan ragu untuk menghadapi pemulangan, tingkat kesiapan 2 (R2) jika skornya 49-69 artinya
bahwa pasien tidak mampu tetapi berkeinginan atau tidak mampu tetapi percaya diri
menghadapi pemulangan, tingkat kesiapan 3 (R3) jika skornya 70-90 artinya bahwa pasien
mampu tetapi ragu atau mampu tetapi tidak ingin melakukan kegiatan yang diajarkan setelah
pasien berada di rumah, dan tingkat kesiapan 4 (R4) jika skornya 91- 112 artinya bahwa
pasien mampu.

D. REFERENSI
Alligood, M. R. & Tomey, A. M. (2016). Nursing Theorist and Their Work.Edisi 6. St.
Louis, Missouri : Mosby Inc.

Alspach, J. G. (2016). Core Curriculum for Critical Care Nursing. 6 th edition. St. Louis,
Missouri : Elsevier Inc.

Andra (2017). Peritonitis, Pedih dan Sulit Diobati. Diakses dari http://majalah-
farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=403 pada tanggal 8 April 2021

Arikunto, S. (2016). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi revisi


6.Jakarta : PT Rineka Cipta

Basford, L., et al. (2016). Teori dan Praktik Keperawatan : Pendekatan Integral pada
Asuhan Pasien. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai