Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRESENTASI KASUS BESAR

Topik:

DIABETES MELITUS

Disusun oleh:
dr. Rheza Rizaldy

Pendamping:
dr. Yoseph Chandra, M.Kes
dr. Nur Endah, M.M

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RS PANTI WILASA DR. CIPTO SEMARANG
PERIODE SEPTEMBER 2020- JUNI 2021
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,


ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin,
defek kerja insulin atau keduanya.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366
juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia
dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada
tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi,
hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur. 2
Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh
meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus.
Berbagai penelitian prospektif menunjukkan meningkatnya penyakit akibat
penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati
maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga
pembuluh darah tungkai bawah. Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes
dan komplikasi vaskularnya menjadi penting untuk diketahui dan dimengerti 3

BAB II

LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. P
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Kagok, Semarang
No. RM : 461582
Tanggal masuk : 23 Oktober 2020
Ruangan : Gamma III-A

2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD RS. Panti Wilasa dr. Cipto Semarang dengan
keluhan lemas ±1 jam SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa ke IGD RS. Panti Wilasa dr. Cipto Semarang dengan
keluhan Lemas dirasakan sejak ± 3 hari SMRS. Lemas di rasakan terus
menerus dan semakin hari semakin memberat serta tidak membaik dengan
istirahkeluhan lemas. Lemas dirasakan sejak ± 3 hari SMRS. Lemas di
rasakan terus menerus dan semakin hari semakin memberat serta tidak
membaik dengan istirahat.Pasien juga mengeluhkan sering merasa lapar,
sering merasa haus, dan sering buang air kecil terutama pada malam hari.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat hipertensi tetapi tidak rutin minum obat.
Riwayat penyakit jantung (-), DM (-), stroke (-), hiperkolesterol (-), alergi
obat (-).

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga tidak ada yang menderita keluhan serupa, hipertensi (-),
stroke (-), penyakit jantung (-), diabetes melitus (-).

Riwayat Sosial dan Ekonomi


Pasien tinggal di lingkungan perumahan dengan pencahayaan dan
sirkulasi udara yang cukup. Pasien bekerja sebaga staff bagian rehabilitasi
medik . Pasien bukan seorang perokok. Pasien menggunakan BPJS
Kesehatan non-PBI

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Kesadaran : Sopor (GCS : E4 M6 V5)
Kesan sakit : Tampak sakit berat
Kesan Gizi : Tampak gizi cukup

Tanda Vital
Tekanan darah : 200/120 mmHg
Pernapasan : 20 kali/menit
Sp02 : 98 %
Nadi : 100x/menit, reguler
Suhu : 36,7 0C

Status Generalis
Pemeriksaan Fisik Hasil Pemeriksaan
Kepala Bentuk kepala normocephal, rambut putih tipis, distribusi
merata dan tak mudah dicabut
Mata Visus : Tidak dinilai
Sklera ikterik : -/-
Konjungtiva anemis : -/-
Exophtalmus : -/-
Enophtalmus : -/-
Lensa jernih : +/+
Refleks cahaya : +/+
Pupil : Bulat, isokor, 3 mm/ 3mm
Hidung Napas cuping hidung : -/-
Deformitas : -/-
Sekret/perdarahan : -
Telinga Bentuk : Normotia
Ruam merah : -/-
Liang telinga : Lapang
Serumen : -/-
Cairan/perdarahan : -/-
Tuli : Tidak dinilai
Bibir Bibir kering : -
Sianosis : -
Posisi : Simetris
Mulut Trismus : -
Oral hygiene : Baik
Halitosis : -
Mukosa gusi : Merah muda
Lidah Ukuran : Normoglossia
Mukosa : Merah muda
Hiperemis : -
Atrofi papil : -
Tremor : -
Lidah kotor : -
Leher Kaku kuduk : -
Edema : -
Pembesaran KGB : Tidak tampak membesar
Pulmo Inspeksi : Hemithorax kanan kiri
simetris, statis dan dinamis, tak
tampak kelainan kulit
Palpasi : Tidak teraba adanya massa
ataupun benjolan, tidak
terdapat nyeri tekan, vokal
fremitus dan taktil simetris
kanan dan kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang
paru kanan dan kiri, depan –
belakang, peranjakan paru (+)
Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas jantung kanan ICS V
linea midclavicula dextra
Batas jantung kiri ICS V 2 cm
ke medial dari linea
midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung ICS III
linea parasternal sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler,
gallop (-), murmur (-)
Abdomen Inspeksi : Datar, tidak membuncit, tidak
ada kelainan kulit
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Terdengar suara timpani di
seluruh kuadran abdomen,
dullness (-), nyeri ketok CVA
(-/-)
Palpasi : Supel (+), tidak terdapat nyeri
tekan, pembesaran hepar, lien,
ginjal, kandung kemih tak
teraba, undulasi (-)
Ekstemitas CRT : 2’’
Akral hangat : +/+
Edema : -/-
Sianosis : -/-

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hematologi (Tanggal 23/11/2020)

CBC Hasil Nilai normal

Hemoglobin 14,4 g/dL 13,2-17,3

Hematokrit 40% 40-52

Leukosit 5,8/ul 4,0-10,0

Trombosit 238.000 150-400

Eritrosit 5,1 juta/ul 3,80-5,20

MCV 80 fl 80-100

MCH 28 pg 26-34

MCHC 36 g/dL 32-36

KIMIA KLINIK

GDS 315 mg/dl 70-150

Ureum 26,3 mg/dl <50

Creatinin 1,06 mg/dl 0,45-0,75

SGOT 27,3 0-35

SGPT 22,6 U/L 0-35

ELEKTROLIT
Kalium 3,50 mmol/L 3,5-50

Natrium 137,0 mmol/L 135-147

Chlorida 101 mmol/L 95-105

Foto Thorax

Hasil pemeriksaan foto thorax AP


Jantung : CTR <50%
Paru : Tak tampak bercak/kesuraman di kedua paru
Corakan bronkovaskular normal
Kedua apex tenang
Sinus kostofrenikus dan diafragma baik
KESAN :
- COR TAK MEMBESAR
- PULMO TAK TAMPAK KELAINAN
EKG

Kesan: Irama sinus normal

2.5 DIAGNOSIS UTAMA


Hiperglikemi

2.6 DIAGNOSIS SEKUNDER


Krisis Hipetensi
2.7 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana awal di IGD :
- Inj. NaCl loading 1 L
- ISDN 5 mg sublingual
- Inj. Omeprazole 1 amp iv
- Inj. Citicholin 500 mg iv

Rawat inap :
- IVFD NaCl 20 tpm
- ISDN 2 x 5 mg PO
- Candesartan 1 x 16 mg PO
- Nifedipin 3 x 10 mg PO
- Aspirin 1 x 80 mg PO
- Clonidin 2 x 25 mg
- Inj. Norvask 10-0-10 subcutan

2.8 PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : dubia
Quo Ad Functionam : dubia
Quo Ad Sanationam : dubia

2.9 OBSERVASI

Waktu S O A P
23/10/2020 Lemas TD : 150/95 DM tipe II IVFD NaCl 20 tpm
Jam 6.00 (+) mmHg Hipertensi ISDN 2 x 5 mg PO
N : 90 x/menit Candesartan 1 x 16 mg
Di ruang T : 36,7 C PO
Gamma RR : 16 x/menit Nifedipin 3 x 10 mg
SpO2 : 98% PO
Aspirin 1 x 80 mg PO
Clonidin 2 x 25 mg
Inj. Norvask 10-0-10
subcutan
24/10/2020 Lemas TD : 155/95 DM tipe II IVFD NaCl 20 tpm
Jam 6.00 (+) mmHg Hipertensi ISDN 2 x 5 mg PO
N : 87 x/menit Candesartan 1 x 16 mg
Di ruang T : 36,5 C PO
Gamma RR : 20 x/menit Nifedipin 3 x 10 mg
SpO2 : 98% PO
Aspirin 1 x 80 mg PO
Clonidin 2 x 25 mg
Metformin 500 mg 0-
1-0
Inj. Norvask 10-0-10
subcutan

25/10/2020 Tak ada TD : 144/82 DM tipe II IVFD NaCl 20 tpm


Jam 6.00 keluhan mmHg Hipertensi ISDN 2 x 5 mg PO
N : 83 x/menit Candesartan 1 x 16 mg
Di ruang T : 36,8 C PO
Gamma RR : 20 x/menit Nifedipin 3 x 10 mg
SpO2 : 99% PO
Aspirin 1 x 80 mg PO
Clonidin 2 x 25 mg
Acarbose 2x 50 mg
Inj. Norvask 10-0-10
subcutan

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai suatu
kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah
faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin. 4

2.2 Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association


(ADA), 2005,

yaitu1 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing
(terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita
DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia
muda dan memerlukan insulin seumur
hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar
insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk
metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah
tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II
ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia
30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi

4. DM Gestasional

2.3 Prevalensi

World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalensi diabetes melitus


melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta
tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia
i
dalam hal Organization
Health jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat.
Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan
pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta.
Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara
teratur.2

2.4 Patogenesis
2.4.1 Diabetes mellitus tipe 1
Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel
pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun,
meskipun rinciannya masih samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya
adalah: pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua,
keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme
pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis,
sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T
teraktivasi. Tahap keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel
asing. Tahap kelima adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang
dianggap sebagai sel asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja sama
dengan mekanisme imun
seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan diabetes.5
2.4.2 Diabetes Melitus Tipe 2
Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin
abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target).
Abnormalitas yang utama tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali
pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun
terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase kedua,
resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin
meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan.
Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun,
menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.5
2.5 Manifestasi Klinik
Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan
mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan,
Polidipsi dengan poliuri, juga
keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit 1.
Kriteria diagnostik :
 Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah
sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu
makan terakhir, atau
Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat
kalori
tambahan sedikit nya 8 jam, atau Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200
mg/dl. TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air.8 Gejala
tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal 2x.3
Dengan cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO ’94
 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
air putih tanpa gula tetap diperbolehkan. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) ,
dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam 5 menit. Berpuasa kembali
sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum
larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa Selama proses
pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat Apabila hasil pemeriksaan
tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke
dalamkelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa darah
puasa terganggu) dari hasil yang diperoleh TGT : glukosa darah plasma 2 jam
setelah pembenanan antara 140-199 mg/dl GDPT : glukosa darah puasa antara
100-125 mg/dl

2.6 Komplikasi
a. Penyulit akut
1. Ketoasidosis diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan penningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin,
kortisol dan hormon pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan
produksi glukosa hati meningkat dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh
menurun dengan hasil akhir hiperglikemia. Berkurangnya insulin
mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-A bebas
akan meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam kreb
cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang
kemudian di oksidasi untuk menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang
kekurangan glukosa akan mengakibatkan end produk berupa benda keton
yang bersifat asam. Disamping itu glukoneogenesis dari protein dengan
asam amino yang mempunyai ketogenic effect menambah beratnya KAD.
Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH <7,35, HCO 3 rendah,
anion gap tinggi dan keton serum (+). Biasanya didahului gejala berupa
anorexia, nausea, muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas
adalah pernapasan kussmaul dan berbau aseton.
2. Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari
600 mg% tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350
mosm. Keadaan ini jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes
tipe non insulin dependen karena pada keadaan ini pasien akan jatuh
kedalam kondisi KAD, sedang pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darah
nya masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak
dapat mencegah keadaan hiperglikemia sehingga tidak timbul
hiperketonemia
3. Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala
klinis atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium
parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak
ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan kognitif sementara. Stadium
simpatik, gejala adrenergik yaitukeringat dingin pada muka, bibir dan
gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak berat, gejala
neuroglikopenik : pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa
kejang.
b. Penyulit menahun
1. Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis

• Retinopati Diabetik
retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan
inkompetens vasa. Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol
seperti titik-titik mikroaneurisma dan vena retina mengalami dilatasi dan
berkelok-kelok. Bahayanya dapat terjadi perdarahan disetiap lapisan retina.
Rusaknya sawar retina darah bagian dalam pada endotel retina
menyebabkan kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan
sekitarnya menyebabkan edema yang membuat gangguan pandang. Pada
retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang
merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-protein
serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi
ke bagian dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat
berkontraksi maka bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat penurunan
penglihatan mendadak. Dianjurkan penyandang diabetes memeriksakan
matanya 3 tahun sekali sebelum timbulnya gejala dan setiap tahun bila
sudah mulai ada kerusakan mikro untuk mencegah kebutaan. Faktor utama
adalah gula darah yang terkontrol memperlambat progresivitas
kerusakan retina.
• Nefropati Diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit
pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi
proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat
glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication
product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan
mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi
peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan
inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan berubah
menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang
menjadi chronic kidney disease.9
• Neuropati diabetik
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan
amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diangnosis DM
ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi
adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana,
dengan monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun.6
2. Makroangiopati
• Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak
Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan
terutama

untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi seperti riwayata keluarga PJK
atau DM
• Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya
terjadi dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa
gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.9
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan kualitas
hidup dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol sehingga
sama dengan orang normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari :
1. Edukasi
Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan

masyarakat.
2. Terapi gizi medis
Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik yang
sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada
prinsipnya melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status
gizi diabetes dan melakukan
modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :
1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal
a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl
c) Kadar HbA1c < 7%
2. Tekanan darah <130/80
3. Profil lipid :
a) Kolesterol LDL <100 mg/dl
b) Kolesterol HDL >40 mg/dl
c) Trigliserida <150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9

Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan


pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,,
status kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia. Selain itu ada beberapa
faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan
pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan infeksi berat dimana
terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian
nutrisi khusus. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah
status ekonomi, lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang
bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :

Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah Karbohidrat 60-70%,


Lemak 20- 25% dan Protein 10-15%.
KARBOHIDRAT (1 gram=40 kkal)

 Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat lebih


ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan jenis karbohidrat itu sendiri. Total
kebutuhan kalori perhari, 60-70 % diantaranya berasal dari sumber karbohidrat
Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi maka jumlah karbohidrat maksimal
70% dari total kebutuhan perhari Jumlah serat 25-50 gram/hari. Penggunaan
alkohol dibatasi dan tidak boleh lebih dari 10 ml/hari. Pemanis yang tidak
meningkatkan jumlah kalori sebagai penggantinya adalah pemanis buatan
seperti sakarin, aspartam, acesulfam dan sukralosa. Penggunaannya pun dibatasi
karena dapat meningkatkan resiko kejadian kanker. Fruktosa tidak boleh lebih
dari 60 gr/hari Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
PROTEIN

 Kebuthan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari. Pada keadaan
kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi
konsentrasi glukosa darah . Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak
terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg BB/hari . Pada gangguan
fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampa 0,85 gr/kg BB/hari dan
tidak kurang dari 40 gr. Jika terdapat komplikasi kardiovaskular maka sumber
protein nabati lebih dianjurkan dibandingkan protein hewani.
LEMAK

 Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal


10% dari total kebutuhan kalori perhari. Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl,
asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori
perhari. Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL
≥100 mg/dl, maka maksimal kolesterol yag dapat dikonsumsi 200 mg perhari.
B. Kebutuhan Kalori

Menetukan kebutuhan kalori basa yang besarnya 25-30 kalori/ kg BB ideal


ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu jenis kelamin,
umur, aktivitas, berat badan dan lain-lain.

PENENTUAN KEBUTUHAN KALORI

Kebutuhan basal :

Laki-laki = berat badan ideal (kg) x 30 kalori Wanita = berat badan ideal
(kg) x 25 kalori

Koreksi :

umur

• 40-59 th : -5%

• 60-69 : -10%

• >70% : -20
aktivitas
• Istirahat : +10%

• Aktivitas ringan : +20%


• Aktivitas sedang : +30%
• Aktivitas berat : +50% berat badan
• Kegemukan : - 20-30%
• Kurus : +20-30%
• Stress metabolik : + 10-30%
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi 20%, makan siang
30% dan makan malam 25%, serta 2-3 porsi ringan 10-15% diantara porsi besar.
Berdasarkan IMTdihitung berdasarkan berat badan (kg) dibagi dengan
tinggi badan kuadrat (m2).

Kualifikasi status gizi :

BB kurang : < 18,5


BB normal : 18,5 – 22,9
BB lebih : 23 – 24,9

3. Latihan Jasmani
Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena mengurangi
resiko kejadian kardiovaskular dimana pada diabetes telah terjadi
mikroangiopati dan peningkatan lipid darah akibat pemecahan berlebihan
yang membuat vaskular menjadi lebih rentan akan penimbunan LDL
teroksidasi subendotel yang memperburuk kualitas hidup penderita. Dengan
latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa meningkat dan ini akan
menurunkan kadar gula darah.
Aktivitas latihan :

✓ 5-10 menit pertama : glikogen akan dipecah menjadi glukosa


✓ 10-40 menit berikutnya : kebutuhan otot akan glukosa akan
meningkat 7-20x.

Lemak
juga akan mulai dipakai untuk pembakaran sekitar 40%
✓ > 40 menit : makin banyak lemak dipecah ±75-90% .
Dengan makin banyaknya lemak dipecah, makin banyakk pula benda keton
yang terkumpul dan ini menjadi perhatian karena dapat mengarah ke
keadaan asidosis. Latihan berat hanya ditujukan pada penderita DM ringan
atau terkontrol saja, sedangkan DM yang agak berat, GDS mencapai > 350
mg/dl sebaiknya olahraga yang ringan dahulu. Semua latihan yang
memenuhi program CRIPE : Continous, Rhythmical, Interval, Progressive,
Endurance. Continous maksudnya berkesinambungan dan dilakukan terus-
menerus tanpa berhenti. Rhytmical artinya latihan yang berirama, yaitu otot
berkontraksi dan relaksi secara teratur. Interval, dilakukan selang-seling
antara gerak cepat dan lambat. Progresive dilakukan secara bertahap sesuai
kemampuan dari intensitas ringa sampai sedang hingga 30-60 menit.
Endurance, latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan
kardiopulmoner seperti jalan santai, jogging dll.
4. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai degan pengaturan makanan dan latihan jasmani.
1. obat hipoglikemik oral
a. insulin secretagogue :
sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Merupakan obat
pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurangm namun masih
boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.
Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya hipoglikemia.
Contohnya : repaglinid,
nateglinid.
b. insulin sensitizers
Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin
endogen pada target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan
glukosa di perifer
meningkat. Agonis PPARγ yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.
c. glukoneogenesis inhibitor
Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga
memperbaiki uptake
glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.
Kontraindikasi pada pasien dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan
kecendrungan hipoksemia.
d. Inhibitor absorbsi glukosa
α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi glukosa di usus
halus sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Obat ini tidak

menimbulkan efek hipoglikemi


Hal-hal yang harus diperhatikan :

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai respon
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal.sulfonilurea generasi I
dan II 15-30 menit sebelum makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan.
Repaglinid, Nateglinid sesaat/sebelum makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum
makan. Penghambat glukosidase
α bersama makan suapan pertama. Thiazolidindion tidak bergantung jadwal makan.
2. Insulin
✓ Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi insulin
prandial.

Terapi insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang fisiologis.
✓ Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa, insulin prandial
atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia
pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi nsulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah
makan.
✓ Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang

terjadi.
✓ Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat
(rapid insulin),
kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau insuli
campuran tetap (premixed insulin)
Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia yang berta disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia
hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan
kombinasi OHO dengan dosis yang hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik,
operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/DM Gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi hepar atau ginjal yang
berat, kontraindikasi atau alergi OHO.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk
kemudian diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (kerja menengah atau kerja lama) yang divberikan pada
malam hari atau menjelang tidur. Dengan
pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah
6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar gula darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara
seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO
dihentikan dan diberikan insulin
PENCEGAHAN

• Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi
untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan
meliputi program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani dan
menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan ini
tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini,
pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya
pencegahan primer6.
• Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan
dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini
penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan
terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan
selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet
dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada
penyandang Diabetes.
• Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang
telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
menlanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada
pasien dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat
dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi
pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap,
misalnya pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk mengurangi
dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai
disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi,
rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang
keberhasilan pencegahan tersier

DAFTAR PUSTAKA
1. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu
penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV.
Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857.
2. Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu Diabetes.2008
3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan
strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI,
2006; 1906.
4. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di
Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
5. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
6. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta.
2006
7. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan
Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu
Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920
8. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1873
9. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc
Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia.
Jakarta;2005; hal.1259

Anda mungkin juga menyukai