Anda di halaman 1dari 16

PERAN HAKIM DALAM KONSEP HUKUM ROSCOE POUND TENTANG

SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

MAKALAH

Oleh :
DWI PUTRI DESRI LANA
197005103

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Hukum Sociological Jurisprudence ............................ 3


B. Penemuan Hukum Oleh Hakim ................................................ 6
C. Peran Hakim Dalam Konsep Sociological Jurisprudence ....... 8
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................... 10
B. Saran ......................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Penyusunan makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Hukum.

Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan

tentang Teori Hukum secara luas. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS. selaku dosen pengasuh mata kuliah Teori

Hukum yang telah memberikan arahan kepada penulis agar dapat menyelesaikan

makalah ini. Akhirnya, penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menerima

kritik dan saran agar penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Dengan

demikian, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat memberi

manfaat bagi pembaca.

Medan, 7 Oktober 2019

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesulitan pertama yang banyak dialami dalam memahami hukum yaitu

berfikir mengenai hukum dengan cara yang telah ditentukan dalam ilmu hukum,

mengaitkan satu sebab dengan sebab lainnya dan hal yang timbul karenanya. Alam

berfikir hukum adalah berfikir khas, dengan karakteristik yang tidak ditemui dalam

cara-cara berfikir yang lain.

Positivisme hukum atau disebut juga mazhab formalistik, mencoba

menjawab masalah-maasalah hukum melalui sistem-sistem norma, aturan-aturan,

bagi aliran ini alam berfikir hukum adalah berfikir normatif bahkan cenderung

legisme. Aliran sosiologis mengemukakan cara yang bisa dikatakan sangat bertolak

belakang dengan cara positivisme hukum, yaitu mencoba melihat konteks,

memfokuskan cara pandang hukum terhadap pola kelakuan/tingkah laku masyarakat,

sehingga cenderung menolak aturan-aturan formal dengan bentuk peraturan

perundang-undangan.

Konsep Sociological Jurispurdence sebagai salah satu pemikiran filsafat

hukum menitikberatkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat yang

menghendaki bahwa dalam proses pembentukan pembaharuan hukum harus

1
memperhatikan kesadaran masyarakat dan emperhatikan nilai-nilai hukum yang

hidup dalam masyarakat. Tokoh mazhab yang mengemukakan aliran ini salah satunya

adalah Roscoe Pound.

Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan

hukum yang hidup di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara

hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law).

Singkatnya yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar

memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis

maupun tidak tertulis. Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum

yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu seorang hakim harus terjun ditengah-tengah

masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah yang akan

dibahas pada makalah ini adalah :

1. Apa yang dimaksud dari konsep hukum Sociological Jurisprudence?

2. Bagaimana hakim dalam hal menemukan hukum?

3. Mengapa peran hakim diperlukan dalam konsep Sociological Jurisprudence?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Hukum Sociological Jurisprudence

Roscoe Pound merupakan tokoh Sociological Jurisprudence populer di

berbagai belahan dunia atas kecermatannya mereduksi “hukum otonom” ke dalam

hukum yang harus mengalami pembaharuan. Roscoe Pound mengemukakan konsep

yang sangat terkenal bahwa “the main problem to which sociological jurists are

addressing them selves today is to enable and to compel law making, and also

interpretation and application of legal rules, to make more account, and more

intelligent account, of the social fact upon which law must proceed and to which it is

to be applied.”

Jadi, Pound memandang bahwa problema utama hukum dewasa ini menjadi

perhatian utama dari para yuris sosiologis adalah untuk memungkinkan dan untuk

mendorong pembuatan hukum, dan juga untuk menafsirkan dan menerapkan aturan-

aturan hukum, serta untuk membuat lebih berharganya fakta-fakta sosial di atas mana

hukum harus berjalan dan untuk mana hukum itu diterapkan.1

Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological

Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada “Kenyataan Hukum”

1
Achmad Ali. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. (Jakarta: Yarsif Watampone.
1998), Hlm. 10.

3
daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada

dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in

books. Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara

hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian

hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap

pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.2

Pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah

hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata “sesuai”

diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam

masyarakat. Menurut Lili Rasjidi, Sociological Yurisprudence menggunakan

pendekatan hukum kemasyarakatan, sementara sosiologi hukum menggunakan

pendekatan dari masyarakat ke hukum. Menurut Sociological Yurisprudence hukum

yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum

yang hidup dalam masyarakat (living law). Aliran ini timbul sebagai akibat dari

proses dialektika antara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah.

Sebagaimana diketahui, Positivisme Hukum memandang tiada hukum kecuali

perintah yang diberikan penguasa (law is a command of law givers), sebaliknya

2
Munir Fuadi, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Kencana
Prennamdeia Group, 2013), Hlm. 248.

4
Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan

masyarakat.

Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses

(law in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis (law in the books).

Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif,

maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang

ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan. Ajaran-ajaran tersebut dapat

diperluas lagi sehingga juga mencakup masalah-masalah keputusan-keputusan

pengadilan serta pelaksanaannya, dan juga antara isi suatu peraturan dengan efek-

efeknya yang nyata.

Singkatnya yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat

agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik

tertulis maupun tidak tertulis. Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan

adalah Undang-Undang, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak tertulis disini

adalah hukum adat yang dimana hukum ini adalah semulanya hanya sebagai

kebiasaan yang lama kelamaan menjadi suatu hukum yang berlaku dalam adat

tersebut tanpa tertulis.

Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam

masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-

nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu hakim harus terjun ditengah-

5
tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

B. Penemuan Hukum Oleh Hakim

Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum

oleh hakim yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa

hukum yang konkrit.3

Ada beberapa teori tentang bagaimana cara yang digunakan untuk

melakukan penemuan hukum tersebut, diantaranya adalah metode interpretasi

(penafsiran) atau disebut juga metode yuridis. Ajaran tentang penafsiran ini telah ada

dari abad ke-19 yang sangat dipengaruhi oleh Von Savigny. Hakim memberi batasan

tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang tersimpul dalam undang-

undang. Metode penafsiran sejak semula dibagi menjadi 4, yaitu penafsiran

gramatikal, sistematis, historis dan teleologis.4

Hakim dalam perannya di Pengadilan mendasarkan tindakannya pada

maksud yang sesungguhnya dari pembuat undang-undang yaitu mens atau sententia

legisnya atau maksud dari aturan hukum. Penciptaan hukum oleh hakim berbeda

dengan penciptaan hukum melalui proses legislasi. Hukum ciptaan hakim berupa

putusan dan hanya berlaku mengikat khusus bagi pihak berperkara, sedangkan hukum

3
Sudikno Mertokusumo, dan A. Pitlo, Bab – Bab Tentang Penemuan Hukum, cet. I,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), Hlm. 4.
4
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebagai Pengantar, (Liberty, Yogyakarta,
1996). Hlm. 56.

6
produk legislasi berlaku umum. Bagaimanapun juga, penemuan hukum maupun

penciptaan hukum oleh hakim dilakukan untuk mempertimbangkan relevansi

perundang-undangan terhadap nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam

masyarakat.5

Mempertahankan pola yang bersumber pada kebiasaan dan yurisprudensi ini

memperoleh legitimasi di dalam Undang-undang No. 48 tahun 2009 pasal 5 yang

menyebutkan “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa hakim memiliki kebebasan dalam

memutus suatu perkara. Hakim dalam memutus suatu perkara tidak semata-mata

berpandangan legalistik, maka hakim harus menafsirkan undang-undang dengan

progresif, sehingga keadilan yang dihasilkan juga akan progresif.6 Keadilan

dihasilkan dari suatu proses yang sangat bergantung pada bagaimana hakim

menafsirkan dan menerapkan hukum yang ada, baik hukum formal maupun hukum

materiil.7

Pada hakikatnya, dengan titik tolak ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maka tugas hakim

5
Roscoe Pound, Law Finding Through Experience and Reason : Three Lectures,
(University of Georgia Press, Athens, 1960), Hlm. 1.
6
Harifin A. Tumpa, Kekuasaan Kehakiman Dimaknai Menegakkan Hukum, Keadilan,
http://www.ditjenmiltun.net/index.php/component/content/article/114-umum/1410-harifin-kekuasaan-
kehakiman-dimaknai-menegakkan-hukum-keadilan.html, di akses pada tanggal 27 September 2019.
7
Ibid.

7
untuk mengadili perkara berdimensi menegakkan keadilan dan menegakkan hukum.

Dalam konteks hakim menegakkan keadilan maka berdasarkan ketentuan Pasal 2

ayat (4), Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ditentukan,

“peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Konsekuensi aspek ini maka hakim dalam memutus perkara tidak boleh

hanya bersandar pada Undang-Undang semata, akan tetapi juga harus sesuai dengan

hati nuraninya.

C. Peran Hakim dalam Konsep Sociological Jurisprudence

Kehidupan hukum sebagai social control terletak pada praktek pelaksanaan

atau penerapan hukum tersebut. Peran hakim dalam menerapkan hukum tidak melulu

dipahami sebagai upaya pengendalian sosial (social control) yang bersifat formal

dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendesain penerapan hukum itu

sebagai upaya rekayasa sosial (social engineering).

Tugas yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-

undang terhadap peristiwa konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai

sekedar corong undang-undang (boncha de la loi) tetapi juga sebagai penggerak

social engineering. Para penyelenggara hukum harus memperhatikan aspek

fungsional dari hukum yakni untuk mencapai perubahan, dengan melakukan

perubahan hukum selalu dengan menggunakan segala macam teknik penafsiran.

8
Putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di

Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsur

yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan) dan folosofis

(keadilan).

Kemudian dalam konteks hakim sebagai penegak hukum hendaknya hakim

dalam mengadili perkara selain bersandar kepada Undang-Undang juga bertitik tolak

kepada norma-norma yang hidup (living law) dalam masyarakat sehingga putusan

yang dihasilkan berdimensi keadilan.

Hakim tidak dapat memaksakan suatu norma yang tidak lagi relevan

diterapkan dalam suatu masyarakat maka hakim harus dapat menggali nilai-nilai

hukum yang hidup (living law) dalam suatu masyarakat. Apabila seorang hakim

dalam mengadili suatu kasus konkret tetap memaksakan menerapkan suatu norma

yang tidak lagi relevan maka akan timbul ketidakadilan.

Pada akhirnya, hakim dalam isi putusan suatu perkara, selama hakim

memegang independensinya, maka suatu putusan selalu dapat

dipertanggungjawabkan sehingga putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa

keadilan masyarakat.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological

Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada “Kenyataan Hukum”

daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Sociological

Jurisprudence adalah aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar

memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis

maupun tidak tertulis.

Penciptaan hukum oleh hakim berbeda dengan penciptaan hukum melalui

proses legislasi. Hukum ciptaan hakim berupa putusan dan hanya berlaku mengikat

khusus bagi pihak berperkara, sedangkan hukum produk legislasi berlaku umum.

Bagaimanapun juga, penemuan hukum maupun penciptaan hukum oleh hakim

dilakukan untuk mempertimbangkan relevansi perundang-undangan terhadap nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam konteks hakim sebagai

penegak hukum hendaknya hakim dalam mengadili perkara selain bersandar kepada

Undang-Undang juga bertitik tolak kepada norma-norma yang hidup (living law)

dalam masyarakat sehingga putusan yang dihasilkan berdimensi keadilan.

10
Peran hakim dalam menerapkan hukum tidak melulu dipahami sebagai

upaya pengendalian sosial (social control) yang bersifat formal dalam menyelesaikan

konflik, tetapi sekaligus mendesain penerapan hukum itu sebagai upaya rekayasa

sosial (social engineering). Hakim yang merupakan perumus dan penggali dari nilai-

nilai hukum yang hidup dalam masyarakat memiliki peran penting untuk hakim harus

terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu

menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim

tidak dapat memaksakan suatu norma yang tidak lagi relevan diterapkan dalam suatu

masyarakat maka hakim harus dapat menggali nilai-nilai hukum yang hidup (living

law) dalam suatu masyarakat. Apabila seorang hakim dalam mengadili suatu kasus

konkret tetap memaksakan menerapkan suatu norma yang tidak lagi relevan maka

akan timbul ketidakadilan.

B. Saran

Penting rasa keadilan dan hati nurani yang adil yang perlu ditanamkan pada

setiap insan hakim. Kalau menurut keyakinan seorang hakim dan menurut rasa

keadilan hati nurani dan hukumnya telah sesuai dengan Demi Keadilan Berdasarkan

Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya aparat penegak hukum khususnya

hakim harus mengetahui bahwa putusan Pengadilan merupakan suatu yang sangat

diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan

sengketa mereka dengan sebaik-baiknya sebab dengan putusan tersebut pihak-pihak

yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam

11
perkara yang mereka hadapi dan mereka betul-betul merasa mendapatkan keadilan

yang diharapkan para pencari keadilan tersebut.

Diharapkan kepada para penegak hukum bahwa di dalam proses

pembentukan hukum dan proses penemuan hukum agar dapat mengkaji dan menggali

nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar dapat tercapai tujuan hukum.

12
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ali, Achmad, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, Jakarta: Yarsif


Watampone, 1998.

Fuadi, Munir, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta: Kencana
Prennamdeia Group, 2013.

Pound, Roscoe, Law Finding Through Experience and Reason : Three Lectures,
University of Georgia Press, Athens, 1960.

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab – Bab Tentang Penemuan Hukum, cet. I,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.

___________, Penemuan Hukum Sebagai Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996.

Website:

Harifin A. Tumpa, Kekuasaan Kehakiman Dimaknai Menegakkan Hukum, Keadilan,


http://www.ditjenmiltun.net/index.php/component/content/article/114-
umum/1410-harifin-kekuasaan-kehakiman-dimaknai-menegakkan-hukum-
keadilan.html, di akses pada tanggal 27 September 2019.

Anda mungkin juga menyukai