Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah populasi manusia yang
banyak. Hal ini terjadi karena meningkatnya produktifitas dalam setiap keluarga.
Seyogyanya hal ini dapat memberikan kontribusi bagi kekuatan Indonesia sendiri, yang para
generasi inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan negara. Akan tetapi di satu sisi
dengan bertambah banyaknya jumlah penduduk di Indonesia mengakibatkan beban
pemerintah dalam mengatur dan memberikan pelayanan yang baik berupa pendidikan,
lapangan pekerjaan, kesejahteraan bagi mereka tidak maksimal. Dengan keterbatasan ini
akan menimbulkan banyaknya tindak kriminalitas yang cenderung merusak moralitas.
Pada Tahun 1970 Pemerintah mulai memperkenalkan istilah Keluarga Berencana (KB)
yaitu gerakan untuk membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera dengan membatasi
kelahiran. Meski demikian, penerapan KB ini tidak bisa dengan mulus diterima karena
Indonesia sebagai Negara dengan penganut Agama Islam terbesar di Dunia selalu
menjadikan Alquran dan Hadis sebagai pandangan hidup.
Tidak diragukan lagi, bahwa tujuan pokok perkawinan ialah menjaga kelangsungan
hidup generasi manusia. Sedang kelangsungan jenis manusia ini hanya mungkin dapat
dilakukan dengan berlangsungnya keturunan. Islam sendiri sangat suka terhadap banyaknya
keturunan dan memberkati setiap anak, baik laki-laki ataupun perempuan. Namun dibalik
itu Islam juga memberi kemudahan kepada setiap muslim untuk mengatur keturunannya itu
apabila didorong oleh alasan kuat.
Agama Islam merupakan Rahmatal lil‘alamin, dengan adanya kemajuan teknologi dan
ilmu pengetahuan yang pesat di kalangan masyarakat Islam ini, Islam mengajukan untuk
tetap berpegang teguh pada Sumber Hukum Islam yaitu Alquran dan Hadis. Masyarakat
Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, ia tidak dapat melepaskan diri
dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan. Persoalan-
persoalan baru yang status hukumnya sudah jelas dan tegas dinyatakan secara eksplisit
dalam Alquran dan Hadis, yang diyakini tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan
masyarakat Islam. Akan tetapi, bagi persoalan-persoalan yang belum jelas status hukumnya
dalam kedua sumber hukum Islam itu. Di sinilah ijtihad berperan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum yang baru tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut :
1. Apa itu Keluarga Berencana atau Family Planning?
2. Bagaimana dasar hukum KB dalam pandangan Islam?
3. Bagaimana pandangan ulama tentang KB?
4. Apa saja alat kontrasepsi KB dan hukum mengunakan alat konstrasepsi tersebut?

C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam pembahasan ini diantaranya
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa makna dari Keluarga Berencana atau Family Planning.
2. Untuk mengetahui hukum mengikuti program KB dalam pandangan Islam.
3. Untuk mengetahui bagaimana saja pandangan dari para ulama tentang KB.
4. Untuk alat-alat kontrasepsi apa saja yang digunakan dalam program KB dan
mengetahui hukum menggunakan alat kontrasepsi.

BAB II PEMBAHASAN
PANDANGAN ULAMA TENTANG KB DAN ALAT KONTRASEPSI
(STERILISASI DAN IUD)

A. Pengertian KB
Program keluarga berencana adalah tindakan yang membantu pasangan suami istri
untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang
diinginkan, mengatur jarak interval kehamilan, merencanakan waktu kelahiran yang tepat
dalam kaitanya dengan umur istri, serta menentukan jumlah anak dalam keluarga.
Pengertian keluarga di sini adalah suatu kesatuan sosial terkecil di dalam masyarakat
yang diikat oleh jalinan perkawinan yang sah yang lazim disebut dengan keluarga inti atau
nuclear family, yang terdiri dari suami istri dan anakanak, dan bukan extended family atau
keluarga besar yang mencakup keluarga lain terdekat. KB dalam istilah inggris disebut
dengan family planning atau birth control ada juga yang menyebutnya dengan planning
parenthood. Sedangkan padanan Arabnya disebut, ‫ النسل تحديد‬atau juga disebut ‫ النسل تنظيم‬atau
‫ النسل تقليل‬Menurut WHO (World Health Organization).
Dalam istilah arab KB juga memiliki arti yang sama dengan tanzhim alnasl, yaitu
pengaturan keturunan atau kelahiran. Bukan tahdid al-nasl, birth control, atau pembatasan
kelahiran. Menurut Syaltut, jika program Keluarga Berencana (KB) itu dimaksudkan sebagai
usaha pembatasan anak dalam jumlah tertentu, misalnya hanya 3 (tiga) anak untuk setiap
keluarga dalam segala situasi dan kondisi tanpa terkecuali, maka hal tersebut bertentangan
dengan syariat islam, alam dan hikmah Allah menciptakan manusia agar berkembang biak
dan dapat memanfaatkan karunia Allah untuk kesejahteraan hidupnya.
Menurut Zuhairini dalam bukunya “Pendidikan Islam dalam Keluarga,” menjelaskan
bahwa keluarga adalah satu-satunya jamaah yang berdasarkan hubungan darah atau
hubungan perkawinan. Karena itu pengertian keluarga dalam arti sempit (pure family
system) adalah suatu bentuk masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-
anaknya. Sedangkan pengertian keluarga dalam arti luas (extended system) adalah meliputi
ayah, ibu, nenek, kakek, saudara atau kerabat-kerabat yang dekat.
KB adalah tindakan yang membantu individu atau pasutri untuk mendapatkan objektif-
objektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang
diinginkan, mengatur interval di antara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam
keluarga. Mahmud Syaltut mendefinisikan KB sebagai pengaturan dan penjarangan
kelahiran atau usaha mencegah kehamilan sementara atau bahkan untuk selama-lamanya
sehubungan dengan situasi dan kondisi tertentu, baik bagi keluarga yang bersangkutan
maupun untuk kepentingan masyarakat dan negara.
Jadi keluarga di sini adalah keluarga inti, dimana dalam istilah Jawa disebut dengan batih
atau dalam bahasa Inggris disebut nuclear family, yang terdiri dari suami, istri dan anak-
anaknya. Bukan extended family atau keluarga luas yang terdiri dari keluarga inti yang
ditambah dengan anggota keluarga dekat lain dari garis keturunan ayah atau ibu, saudara
sekandung maupun yang ada hubungan perkawinan seperti mertua atau ipar. Sedangkan
istilah berencana berasal dari kata “rencana” yang memperoleh awalan ber dan mempunyai
arti berencana, tersusun, terprogram, dan secara umum tambahan ber itu bermakna
dilakukan dengan sengaja.

B. Hukum KB dalam Islam


Dasar hukum KB yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits.
Islam sebagai agama secara substansial telah menawarkan konsep HAM di dalam
ajarannya. Imam al-Ghazali, merumuskan bahwa ada 5 (lima) hak dasar yang melekat dalam
diri manusia yang disebut al-Kulliyyat al-Khamsah, lima hak dasar yang meliputi: hak atas
kesanggupan hidup (hifzh al-nafs), hak atas kepemilikan harta benda (hifzh almal), hak atas
kebebasan berpikir (hifzh alaql), hak atas keberlajutan anak keturunan (hifzh al-nasl), serta
hak atas kebebasan beragama (hifzh al-din). Lima hak ini merupakan penjabaran dari cita
kemaslahatan (mashlahah). Jika lima hak ini terakomodasi dengan baik dan layak, maka
berarti kemaslahatan masyarakat telah terpenuhi. Sebaliknya, jika belum, apalagi tidak ada
sama sekali, berarti belum ada kemaslahatan dalam kehidupan publik. Al-Ghazali
menegaskan, setiap hal yang mengandung perlindungan atas kelima hal ini adalah
kemaslahatan, dan setiap yang menegasikannya adalah kerusakan (mafsadah), dan menolak
kemafsadatan adalah bentuk perwujudan dari cita kemaslahatan itu sendiri.
Pada zaman Rasulullah SAW tidak ada seruan luas untuk ber-KB atau mencegah
kehamilan di tengah-tengah kaum muslimin. Tidak ada upaya dan usaha yang serius untuk
menjadikan al-‘azl sebagai amalan yang meluas dan tindakan yang populer di tengah-tengah
masyarakat.
Sebagian sahabat Rasulullah SAW yang melakukannya pun tidak lebih hanya pada
kondisi darurat, ketika hal itu diperlukan oleh keadaan pribadi mereka.Oleh karena itu, Nabi
Muhammad SAW tidak menyuruh dan tidak melarang ‘azl. Pada masa sekarang ini, manusia
banyak menciptakan alat untuk mencegah dan menghentikan kehamilan.
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim:
Dari Abu Sa'id Al Khudri RA, dia berkata, "Seseorang mengucapkan 'Azl di hadapan Nabi
SAW, lalu beliau bertanya, 'Apa yang kalian maksudkan? Para sahabat berkata, 'Seorang laki-
laki mempunyai istri yang sedang menyusui, lalu laki-laki itu menyetubuhinya tetapi tidak
menginginkan istrinya hamil" (maka ia melakukan 'Azl). Juga seorang laki-laki yang memiliki
budak perempuan, lalu laki-laki tersebut menyetubuhinya, tetapi ia tidak ingin budak
perempuannya hamil (maka ia melakukan Azl.' Rasulullah SAW Bersabda, 'Jangan kalian
melakukan hal itu, karena kehamilan itu adalah takdir'" Kata ibnu "Aun, "Aku ceritakan hal
itu kepada Al Hasan, lalu ia berkata, 'Demi Allah! Hal seperti ini adalah sebagai peringatan
keras. Muslim 4/159.
Dari Abu Sai'd Al Khudri, ia berkata, "Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW
mengenai'azl?" maka Rasulullah SAW bersabda, "Apakah kalian melakukan itu? Tidak ada
(halangan) atas kalian untuk tidak melakukannya, sesungguhnya tidak ada satu jiwa pun
yang telah Allah takdirkan untuk ada, melainkan ia akan ada." Shahih: Ar-Raudh (999),
AdabAz-Zafaf (56), Shahih Abu Daud (1886 dan 1888): MuttafaqunAlaih.
Dari Jabir, ia berkata, "Kami melakukan 'azl pada masa Rasulullah Saw, dan Alquran tengah
turun." Shahih: Al Adab (51): MuttafaqAlaih.
Pada hakikatnya, KB tidak bertujuan untuk membatasi kehamilan dan kelahiran yang
dipandang sangat bertentangan dengan eksistensi dan esensi perkawinan itu sendiri,
melainkan hanya mengatur kehamilan dan kelahiran anak. Sehingga bila dilihat dari fungsi
dan manfaat KB yang dapat melahirkan kemaslahatan dan mencegah kemadharatan, maka
tidak diragukan lagi kebolehannya dalam Islam.
Dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang berkaitan dengan KB diantaranya:
a. Q. S. An-Nisa’ ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”.
Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas: “Ayat ini berkenaan dengan seorang laki-laki
yang meninggal, kemudian seseorang mendengar ia memerintahkan wasiat yang
membahayakan ahli warisnya, maka Allah Swt memerintahkan orang yang mendengarnya
untuk bertakwa kepada Allah Swt serta membimbing dan mengarahkannya pada kebenaran.
Maka hendaklah ia berusaha menjaga ahli waris orang tersebut, sebagaimana ia senang
melakukannya kepada ahli warisnya sendiri apabila ia takut mereka disia-siakan.
Demikianlah pendapat Mujahid dan para ulama lainnya.
b. Q. S. Al-Qashash ayat 77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.”
c. Q. S. Al-Baqarah ayat 233: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan.”
Dari ayat-ayat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa petunjuk yang perlu
dilandaskan dalam KB antara lain, menjaga kesehatan istri, mempertimbangkan
kepentingan anak, memperhitungkan biaya hidup berumah tangga. Sedangkan dasar hukum
yang bersumber dari Hadis yaitu:
“Telah bercerita kepada kami Abu Nu'aim telah bercerita kepada kami Sufyan dari Sa'ad
bin Ibrahim dari 'Amir bin Sa'ad dari Sa'ad bin Abi Waqosh radliallahu 'anhu berkata:
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam datang menjengukku (saat aku sakit) ketika aku berada
di Makkah". Dia tidak suka bila meninggal dunia di negeri dimana dia sudah berhijrah
darinya. Beliau bersabda; "Semoga Allah merahmati Ibnu 'Afra'". Aku katakan: "Wahai
Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku". Beliau bersabda:
"Jangan". Aku katakan: "Setengahnya" Beliau bersabda: "Jangan". Aku katakan lagi:
"Sepertiganya". Beliau bersabda: "Ya, sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak.
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik
daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu mengemis kepada
manusia dengan menengadahkan tangan mereka. Sesungguhnya apa saja yang kamu
keluarkan berupa nafkah sesungguhnya itu termasuk shadaqah sekalipun satu suapan
yang kamu masukkan ke dalam mulut istrimu. Dan semoga Allah mengangkatmu dimana
Allah memberi manfaat kepada manusia melalui dirimu atau memberikan madharat
orangorang yang lainnya". Saat itu dia (Sa'ad) tidak memiliki ahli waris kecuali seorang
anak perempuan.”
Hadits ini menjelaskan bahwa suami istri harus mempertimbangkan tentang kebutuhan
rumah tangga ketika keduanya masih hidup, jangan sampai anak-anak akan menjadi beban
bagi orang lain. Dengan demikian pengaturan kelahiran anak hendaknya dipikirkan bersama.
Adapun menurut Hamid Laonso dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam menjelaskan
bahwa pelaksanaan KB yang mendapat legitimasi dari syariat Islam jika aktifitas tersebut
berorientasi pada konteks menjarangkan, bukan membatasi keturunan. Karena dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Menghawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu, namun kekhawatiran ini
harus dilaksanakan berdasarkan indikasi dari dokter yang dapat dipercaya. Hal ini
sesuai dengan firman Allah Swt. QS alBaqarah ayat 195. “Dan belanjakanlah (harta
bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik.”
b. Mengkhawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran anak
terlalu dekat. Kebolehan melakukan KB antara lain karena untuk menjaga kesehatan
istri, mempertimbangkan kepentingan anak, mempertimbangkan biaya hidup
berumah tangga.
Di dalam Alquran dan Hadis, yang merupakan sumber pokok hukum Islam dan yang
menjadi pedoman hidup bagi umat Islam tidak ada nash yang shohih yang melarang
ataupun yang memerintahkan ber-KB secara eksplisit. Oleh karena itu, hukum ber-KB harus
dikembalikan kepada kaidah hukum Islam (kaidah fiqhiyah) yang menyatakan:
‫اَلصل ِف اَلشياء واَلفعال اَلِبحة ِحت يدل الدليل على َت َريها‬
“Pada dasarnya segala sesuatu perbuatan itu boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan
keharamannya.”

C. Pandangan Ulama tentang KB


Pandangan ulama tentang hukum KB hingga kini masih ada 2 kubu antara yang
membolehkan dan yang menolak KB. Pandangan Majelis Ulama Indonesia menjelaskan
bahwa ajaran islam membenarkan keluarga berencana. Diantara dalil yang digunakan para
ulama yang membolehkan KB yaitu pada QS; An-Nisa ayat 9 yang artinya: ”dan hendaklah
takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-
anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang benar”.
a. Pandangan Yusuf Al-Qaradhawi
Melalui bukunya Halal dan Haram mengungkapkan, tujuan perkawinan salah satunya
adalah lahirnya keturunan. Dengan adanya keturunan, menopang kelangsung jenis manusia.
Islam menyukai banyaknya keturunan di kalangan umatnya. Namun, Islam pun mengizinkan
kepada setiap Muslim untuk mengatur keturunan apabila didorong oleh alasan kuat. Hal
yang masyhur digunakan pada zaman Rasulullah untuk mengatur kelahiran adalah dengan
azl, yaitu mengeluarkan sperma di luar rahim ketika akan keluar. Dalam hadis yang
diriwayatkan Imam Muslim dijelaskan, para sahabat menyatakan bahwa mereka biasa
melakukan azl pada masa Nabi Muhammad SAW. Ketika informasi itu sampai kepada
Rasulullah, beliau tidak melarangnya. Di sisi lain ada bantahan terhadap cerita-cerita
tentang orang Yahudi bahwa azl merupakan pembunuhan kecil.
Menurut Al-Qaradhawi, ada alasan-alasan yang menjadi pijakan untuk berkeluarga
berencana. Di antaranya, adanya kekhawatiran kehidupan atau kesehatan ibu bila hamil
atau melahirkan. Ini setelah penelitian dan pemeriksaan dokter yang dapat dipercaya. Ia
mengutip Q.S Al-Baqarah ayat 195, agar seseorang tak menjatuhkan diri dalam kebinasaan.
Alasan lainnya adalah kekhawatiran munculnya bahaya terhadap urusan dunia yang tak
jarang mempersulit ibadah. Pada akhirnya, hal itu membuat seseorang mau saja menerima
barang haram atau menjalankan pekerjaan terlarang demi memenuhi kebutuhan anak-
anaknya. Persoalan kesehatan dan pendidikan juga menjadi faktor yang menjadi
pertimbangan dalam memutuskan berkeluarga berencana. Keharusan melakukan azl karena
khawatir terhadap keadaan perempuan yang sedang menyusui kalau hamil atau melahirkan
anak lagi. Rasulullah, kata Al-Qaradhawi, selalu berusaha demi kesejahteraan umatnya.
Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan umatnya berbuat hal yang melahirkan
maslahat dan tak mengizinkan sesuatu yang menimbulkan bahaya. Menurut Al-Qaradhawi,
di masa kini sudah ada beragam alat kontrasepsi yang dapat dipastikan kebaikannya. Hal
inilah yang diharapkan oleh Rasulullah.
b. Pandangan Muhammadiyah
Sementara itu, Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui
fatwafatwa tarjih menjelaskan, surah An-Nisa ayat 9. Ayat tersebut berbunyi, “Hendaklah
takut kepada Allah orangorang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah
di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu,
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur
kata yang benar”. Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid, Islam menganjurkan agar kehidupan
anak-anak jangan sampai telantar sehingga menjadi tanggungan orang lain. Ayat tersebut
mengingatkan agar orang tua selalu memikirkan kesejahteraan jasmani dan rohani
anakanaknya.
c. Pendapat Sayyid Sabiq dan Al Ghazali
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah menjelaskan, dalam keadaan tertentu Islam
tidak menghalangi pembatasan kelahiran melalui penggunaan obat pencegah kehamilan
atau caracara lainnya. “Pembatasan kelahiran diperbolehkan bagi lakilaki yang beranak
banyak dan tak sanggup lagi menanggung biaya pendidikan anaknya dengan baik,”
tambahnya.
Demikian pula jika keadaan istri sudah lemah, mudah hamil, serta suaminya dalam
kondisi miskin. Dalam keadaan semacam ini, ujar Sabiq, diperbolehkan membatasi
kelahiran. Sejumlah ulama menegaskan pembatasan kelahiran tak sekadar diperbolehkan
bahkan dianjurkan.
Imam Al-Ghazali membolehkan hal itu jika istri merasa khawatir akan rusak
kecantikannya. Dalam kondisi tersebut, suami dan istri berhak memutuskan untuk
melakukan pembatasan. Ada pula ulama yang mengatakan pembatasan bisa dilakukan
tanpa syarat apa pun yang mendasarinya.
d. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
MUI adalah suatu lembaga yang mewadahi para ulama, zu‟ama, dan cendekiawan
muslim di Indonesia untuk membimbing, membina, dan mengayomi kaum muslimin di
Indonesia. Salah satu fungsi MUI adalah mengeluarkan fatwa halal-haram tentang sesuatu
hal. Dalam persoalan KB ini, MUI termasuk ulama yang membolehkan KB. Menurut MUI
ajaran Islam membenarkan Keluarga Berencana. Adapun dalil utamanya adalah firman Allah
Swt. dalam surat an-Nisa ayat 9.
Pada dasarnya, agama Islam memperbolehkan manusia melakukan pengaturan
kelahiran anak dengan tujuan yang positif seperti untuk menjaga kesehatan ibu dan anak
serta dilakukan dengan cara-cara yang baik dan tidak menimbulkan bahaya. Pemandulan
dengan melakukan Vasektomi (pemotongan/penutupan saluran air mani laki-laki) atau
Tubektomi (pemotongan/penutupan saluran telur pada wanita) dengan tujuan untuk
membatasi kelahiran anak adalah perbuatan haram. Tubektomi dapat dilakukan
berdasarkan pertimbangan medis dari dokter yang profesional yang bersifat amanah, bahwa
apabila yang bersangkutan hamil atau melahirkan akan membahayakan jiwanya dan atau
anaknya.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat kami simpulkan bahwa : Dalam Islam,
melaksanakan program keluarga berencana tidak dihukumi apapun, tidak dianjurkan, dan
tidak pula dilarang. Dan jika tidak ada dalil yang melarang ataupun dalil yang menganjurkan,
maka hukum pelaksanakan pekerjaan tersebut menjadi mubah (boleh-boleh saja). Selain itu,
musyawarah MUI tahun 1983 tentang kependudukan, kesehatan dan pembangunan, telah
mengeluarkan fatwa bahwa ber-KB tidak dilarang dalam agama Islam, termasuk
penggunaan berbagai jenis alat kontrasepsi selain vasektomi dan tubektomi. Karena dalam
surat an-Nisa’ tersebut kita dapat melihat, bahwasanya kesehatan ekonomi dan kesehatan
fisik juga menjadi hal yang patut dipertimbangkan oleh sebuah keluarga. Karena jika tidak,
bukan tidak mungkin neraca kemiskinan akan bertambah lagi.
Jika kita mengetahui dan memahami betul maksud dan hikmah Islam di balik pemberian
keringanan atas pelaksanaan hubungan pada berbagai kondisi darurat adalah karena
terinspirasi dari pemahaman yang sempurna bahwa seorang anak menjadi tanggung jawab
yang sangat besar, dan wajib dipelihara dengan pemeliharaan yang sempurna dan
kepedulian tinggi.

D. Alat Kontrasepsi (Sterilisasi dan IUD) dan Hukum Menggunakannya.


Berbicara mengenai keluarga berencana tentunya tidak terlepas dari kontrasepsi, dan
kontrasepsi itu sendiri dapat diartikan secara ringkas sebagai upaya mencegah terjadinya
kehamilan. Segala macam bentuk dan cara kontrasepsi dapat dibenarkan oleh islam selama
tidak dipaksakan, tidak menggugurkan (aborsi), tidak membatasi jumlah anak, dan tidak
mengakibatkan pemandulan abadi. Mengenai alat kontresepsi yang sering digunakan dalam
ber-KB, ada yang dibolehkan dan adapula yang diharamkan oleh islam. Alat kontrasepsi yang
dibolehkan adalah, untuk wanita: IUD (ADR), Pil, Obat Suntik, Susuk/Implan dan cara-cara
tradisional dan metode yang sederhana, misalnya minum jamu dan metode kalender.
Sedangkan untuk pria adalah Kondom dan Coitus Interruptus (Azl menurut Islam). Keluarga
muslim diizinkan mengatur dan merencanakan jarak kehamilan istri dengan menggunakan
alat pencegah kehamilan.
Hampir semua pasangan suami istri memerlukan perencanaan kehamilan dan sekaligus
membatasi jumlah anak. Karena itu dibutuhkan alat kontrasepsi.Alasan penggunaan
kontrasepsi bisa macam-macam, dari menunda kehamilan, menjarangkan jarak kehamilan,
sampai memberhentikan kehamilan. Seperti kita ketahui ada begitu banyak alat kontrasepsi.
Namun disini kami hanya akan membehas mengenai Alat Kontrasepsi yang kita kenal
dengan Sterililasi dan IUD (Intraurinedevice).
1. Sterilisasi
Menurut Guno Samekto, ahli bedah, dalam buku yang berjudul Vasektomi menguraikan
bahwa "Sterilisasi ialah setiap tiadakan pada kedua saluran mani yang mengakibatkan orang
atau pasangan 2 yang bersangkutan tidak akan hamil lagi". Sedangkan Masjfuk Zuhdi
mengatakan bahwa "Sterilisasi ialah memandulkan lelaki atau wanita dengan jalan operasi
(pada umumnya) supaya tidak dapat menghasilkan keturunan". Dari kedua pendapat
tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa sterilisasi itu ialah suatu tindakan atau
operasi yang dilakukan terhadap wanita atau laki-laki dengan maksud supaya yang
bersangkutan tidak akan mempunyai keturunan lagi.
Sterilisasi ada dua macam, yaitu :
 sterilisasi untuk wanita yang lazim disebut dengan tubektomi.

 sterilisasi untuk pria yang biasa pula disebut dengan vasektomi.

Tubektomi pada wanita atau vasektomi pada pria ialah setiap tindakan (pengikatan atau
pemotongan) pada kedua saluran telur (tuba fallopi) wanita atau saluran vas deferens pria
yang mengakibatkan orang/ pasangan yang bersangkutan tidak akan mendapat keturunan
lagi. Kontrasepsi itu hanya dipakai untuk jangka panjang, walaupun kadang-kadang masih
dapat dipulihkan kembali atau reversibel.
- Hukum
Para ulama sepakat mengharamkannya karena selama ini yang terjadi adalah
pemandulan, meski ada keterangan medis bahwa penggunanya masih bisa dipulihkan.
Namun kenyataan lapangan menunjukkan bahwa para penggunanya memang tidak bisa lagi
memiliki keturunan selamanya. Pada titik inilah para ulama mengharamkannya.

2. IUD (Intraurinedevice) / SPIRAL


Alat ini istilahnya adalah Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) dan sering juga disebut
IUD. AKDR bisa dianggap tubuh sebagai benda asing menimbulkan reaksi radang setempat,
dengan sebutan leukosit yang dapat melarutkan blastosis atau sperma. AKDR yang dililiti
kawat tembaga, tembaga dalam konsentrasi kecil yang dikeluarkan dalam rongga uterus
selain menimbulkan reaksi radang seperti pada IUD biasa, juga menghambat khasiat
anhidrase karbon dan fostafase alkali. IUD yang mengeluarkan hormon juga menebalkan
lendir serviks sehingga menghalangi pasase sperma. Secara teknik Insersi IUD hanya bisa
dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis karena harus dipasang dibagian dalam
kemaluan wanita.
Efek samping: nyeri pada waktu pemasangan, keluar bercak-bercak darah setelah 1-2
hari pemasangan, perubahan siklus haid (haid lebih lama dan banyak serta nyeri),
komplikasi, merasakan sakit atau kejang setelah 3-5 hari 52 pemasangan dan pendarahan
berat waktu haid yang memungkinkan akibat anemia.
- Hukum
Telah diputuskan oleh Majma’ Al Fiqhi Al Islami (Divisi Fiqih OKI) dalam rapat tahunan ke
V yang berlangsung di Kuwait: “Boleh mengontrol kehamilan yang bersifat sementara,
dengan tujuan menjarakkan masa hamil, atau menghentikannya untuk masa tertentu,
apabila ada alasan yang sesuai dengan syariat, dengan syarat hasil kesepakatan suami dan
istri, serta tidak mengakibatkan mudharat dan dengan cara yang sesuai syariat”.
Hal tersebut dibolehkan dengan 3 syarat :
- Penggunaan alat KB ini dengan persetujuan kedua belah pihak, karena keduanya
memiliki hak, maka tidak boleh tanpa izin dari keduanya.
- Adanya kemashlahatan yang sesuai dengan syariat untuk menggunakan alat KB.
- Tidak boleh menggunakan alat KB karena takut miskin, atau sebab-sebab lainnya
yang tidak sesuai syariat.
Telah diputuskan oleh Majma’ Al Fiqhi Al Islami (Rabithah Al ‘Alam Al Islami) dalam rapat
tahunan yang ke III di Mekah : “Tidak boleh menggunakan alat KB karena takut miskin,
karena Allah yang Maha Pemberi Rezeki yang Maha Kuat. Tidak ada mudharat dalam
menggunakan alat KB ini, baik bagi laki-laki maupun perempuan, sementara kebanyakan
alat-alat KB yang ada sekarang ada efek sampingnya.
Akan tetapi kalau kita perhatikan spiral berbeda dengan alat-alat KB lainnya. Karena
spiral bekerja secara kontraksi pada rongga ovarium dan rahim yang menolak sel telur dari
sistem reproduksi, sehingga sel telur mati sebelum pembuahan. Namun terkadang spiral
baru dapat menolak sel telur dari rahim setelah pembuahan, akan tetapi kontraksi ini
mencegah menempelnya telur yang telah dibuahi di dinding rahim.
Oleh karena itu, sebagian peneliti mengatakan haram menggunakan spiral, karena cara
kerjanya sama dengan aborsi dini. Tetapi tampaknya perkataan yang mengharamkan tidak
benar, karena hal berikut ini:
- Karena asal cara kerja spiral adalah mencegah pembuahan. Adapun terjadinya
pembuahan sangat jarang menurut penelitian, kaidah yang telah ditetapkan oleh
syariat : “sesungguhnya hukum mayoritas sama dengan hukum keseluruhan”.
- Bahwa sel telur yang telah dibuahi tetapi belum menempel di rahim bukanlah janin,
sebagaimana firman Allah “Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)” (Al Mu’minun : 13). Oleh karena itu
melepaskannya dari rahim bukanlah aborsi. Al Qurthubi berkata : “Secara pasti
sperma tidak mempunyai hukum apa-apa, dan tidak mengapa jika perempuan
membuangnya (mengeluarkannya), selama belum bergabung dengan rahim”.
Bahwa sel telur yang telah dibuahi tidak mempunyai hukum sebelum ia menempel di
rahim. Telah diputuskan oleh OKI, divisi kedokteran tahun 1408 H : “Sel telur yang telah
dibuahi tidak mempunyai hukum apa-apa sebelum menempel di dinding rahim”.
Sebagaimana juga telah dilakukan penelitian tahun 1413-1415 H maka diputuskan badan
ilmu kesehatan islami Yordania: “Sel telur yang telah dibuahi mulai memiliki kehidupan
setelah menempel di dinding rahim, antara hari keenam atau ketujuh setelah pembuahan.
Oleh karena itu mengunakan spiral untuk mencegah menempelnya sel telur yang telah
dibuahi di dinding rahim adalah boleh “.
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
KB adalah tindakan yang membantu individu atau pasutri untuk mendapatkan objektif-
objektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang
diinginkan, mengatur interval di antara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam
keluarga. Jadi keluarga di sini adalah keluarga inti, dimana dalam istilah Jawa disebut
dengan batih atau dalam bahasa Inggris disebut nuclear family, yang terdiri dari suami, istri
dan anak-anaknya.
Pada zaman Rasulullah SAW tidak ada seruan luas untuk ber-KB atau mencegah
kehamilan di tengah-tengah kaum muslimin. Tidak ada upaya dan usaha yang serius untuk
menjadikan al-‘azl sebagai amalan yang meluas dan tindakan yang populer di tengah-tengah
masyarakat
Pandangan ulama tentang KB sendiri, memberikan jawaban yang berbeda. Beberapa
ulama tidak membolehkan dengan alasan yang kuat berdasarkan dalil Alquran QS. Al-Isra’
ayat 31. Sebagian ulama membolehkan jika memang dalam keadaan yang membahayakan
nyawa seseorang. Hendaknya slogan Keluarga Berencana ini bisa tetap kita jalankan guna
menjaga keutuhan dalam keluarga.

Daftar Pustaka
Lusiana, Gina. 2019. “Keluarga Berencana Perspektif Ulama Hadis (Family Planning
Perspectives on Ulama Hadith)”. file:///C:/Users/62878/Downloads/10452-29000-1-PB.pdf.
Diakses 18 Maret 2021.
Sari, Email. 2018. “Keluarga Berencana Perspektif Ulama Hadis”.
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/view/10452. Diakses 18 Maret 2021.
Abdussalam, M. Iqbal. 2020. “Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Tokoh NU
dan LDII Tentang Program Keluarga Berencana (KB)”.
http://repository.radenintan.ac.id/11957/1/PERPUS%20PUSAT.pdf. Diakses 19 Maret 2021.
Tjindarsari, Njimas Intan. 1981. “Sterilisasi Ditinjau Dari Hukum Islam”.
http://repository.unair.ac.id/12265/1/2.pdf. Diakses 18 Maret 2021.
Tarmizi, Erwandi. 2012. “Bolehkah Menggunakan Spiral IUD?”.
https://erwanditarmizi.com/blog/2012/07/29/bolehkah-mengunakan-spiral-iud/. Diakses 18
Maret 2021.
Suteja, Amar. 2012. “Pandangan Ulama tentang KB”.
http://amarsuteja.blogspot.com/. Diakses 18 Maret 2021.

Anda mungkin juga menyukai