Abstrak
Salah satu penyakit kronis yang termasuk dalam prolanis adalah diabetes mellitus. Setelah dokter menegakkan
diagnosis, penentuan kode diagnosis berdasarkan ICD-10 idealnya dilakukan oleh petugas rekam medis karena
hal itu merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang petugas rekam medis. Dengan
demikian, kode yang diperoleh diharapkan akurat. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, penentuan kode diagnosis
penyakit di Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta dilakukan oleh dokter dan perawat. Hal ini menyebabkan
kode diagnosis kasus diabetes mellitus yang dipilih tidak akurat dan cenderung berubah-ubah dalam setiap
episode perawatan. Tujuan Mengkaji penentuan kode diagnosis kasus diabetes mellitus dan faktor penyebab
inkonsistensi kode kasus diabetes mellitus pasien prolanis di Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Subyek penelitian ini adalah
coder (dokter dan perawat) sedangkan obyeknya adalah data kasus diabetes mellitus dan kode ICD-10 pasien
prolanis. Pengambilan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Teknik
analisis data menggunakan analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengodean diagnosis
penyakit di Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta dilakukan oleh dokter dan perawat pada SIMPUS. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa data kode kasus diabetes mellitus tiap pasien dari bulan Januari hingga Desember
2017 pada 65 pasien prolanis di Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta tidak kontinyu/konsisten. Ada
beberapa faktor penyebab ketidakkonsistensian kode diagnosis di Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta
yaitu ketidaksesuaian kualifikasi SDM, ketidaklengkapan data diagnosis dan kode ICD-10 di dalam database
SIMPUS, tidak optimalnya penggunaan ICD-10, belum adanya SOP yang mengatur tatacara coding diagnosis,
serta petugas tidak mengecek riwayat hasil pemeriksaan pasien sebelumnya.
Kata kunci: kode ICD-10, diabetes mellitus, prolanis
PENDAHULUAN
Penderita diabetes mellitus meningkat dari 108 juta Indonesia telah mencanangkan program pengelolaan
orang pada tahun 1980 menjadi 422 juta orang pada penyakit kronis (prolanis) yang merupakan suatu
tahun 2014 (Mathers & Loncar, 2006). Jika tidak sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif
ditangani dengan baik, berbagai macam komplikasi yang dilaksanakan secara terintegrasi. Program ini
yang disebabkan oleh diabetes dapat muncul seperti melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS
gagal ginjal, penyakit jantung, stroke, penyakit Kesehatan untuk program pemeliharaan kesehatan
gangguan pembuluh darah, amputasi alat gerak bagi peserta BPJS Kesehatan yang menderita penyakit
bawah, kebutaan, dan lain-lain (Chawla et al., 2016; kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal
World Health Organization, 2017). Jenis penyakit dengan biaya pelayanan kesehatan yang efektif dan
yang paling banyak diderita sebagai komplikasi dari efisien. Diabetes mellitus merupakan salah satu
penyakit diabetes adalah hipertensi (Lubis dan diagnosis yang masuk dalam prolanis. Pasien yang
Susilawati, 2017). Indonesia menempati posisi ke terdaftar sebagai anggota prolanis setiap bulannya
tujuh di dunia untuk prevalensi penderita diabetes mendapatkan fasilitas pemeriksaan status kesehatan,
(International Diabetes Federation, 2015). pemeriksaan gula darah puasa, gula darah post-
ISBN: 978-602-6363-47-3 47
PROSIDING:
SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN
Standar Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis
48 ISBN: 978-602-6363-47-3
PROSIDING:
SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN
Standar Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis
Ket: * = kode konsisten; / = kunjungan berulang dalam sebulan; kotak kosong = pasien tidak berkunjung ke puskesmas
Hasil observasi menunjukkan bahwa proses Tahapan input data rekam medis pada SIMPUS
pengkodean diagnosis penyakit sudah oleh perawat dimulai dengan membuka
dilaksanakan di Puskesmas Gondomanan Kota modul klinik tujuan. Perawat selanjutnya akan
Yogyakarta. Namun, kegiatan pengkodean mencari data pasien dengan memasukkan nama
belum dilengkapi dengan peraturan/kebijakan atau nomor rekam medis pasien sesuai dengan
yang mengatur mengenai proses pengkodean berkas rekam medis. Setelah itu, perawat akan
diagnosis penyakit. Petugas yang melakukan memilih jendela “diagnosa” untuk menginput
pengkodean adalah dokter dan perawat. Setelah data diagnosis. Untuk menginput, perawat harus
memeriksa pasien, dokter akan menuliskan masukkan keyword berupa kode diagnosis atau
pelayanan yang diberikan kepada pasien ke istilah diagnosis pada kolom yang tersedia
dalam berkas rekam medis termasuk diagnosis dan (Gambar 1 dan Gambar 2). Dengan demikian,
kodenya. Dokter mengkode diagnosis secara sistem akan memunculkan database diagnosis
langsung dengan menuliskannya pada berkas yang sesuai dengan keyword. Pada kasus diabetes
rekam medis tanpa merujuk pada buku ICD-10. mellitus, keyword “e1” akan memunculkan 34
Setelah berkas rekam medis selesai digunakan data kode diagnosis sedangkan keyword “diabet”,
dalam pemberian layanan kesehatan, isi berkas sistem akan memunculkan 27 data kode
rekam medis akan diinput kedalam sistem informasi diagnosis. Masing-masing data dapat dipilih
manajemen puskesmas (SIMPUS) oleh perawat. langsung sebagai kode final tanpa
Pada saat proses penginputan ini, bila ditemukan pengecekan lanjutan apakah kode tersebut
diagnosis yang belum ditentukan kodenya oleh merupakan kode 3-digit kategori yang masih
dokter maka perawat yang akan menentukan dilengkapi dengan kode digit ke-4
kode diagnosis dan langsung menginputkannya (subkategori).
pada SIMPUS tanpa menuliskannya pada berkas
Apabila diagnosis sudah ditemukan, perawat
rekam medis. Perawat pun tidak merujuk pada
akan memilih kode yang paling tepat dengan
buku ICD-10 dalam penentuan kode diagnosis
mengklik tombol “pilih” dan menentukan jenis
meski buku ICD- 10 telah tersedia di Puskesmas
kasus dilanjutkan dengan mengklik tombol
Gondomanan Kota Yogyakarta.
“tambah diagnosa” untuk menyimpan pilihan
ISBN: 978-602-6363-47-3 49
PROSIDING:
SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN
Standar Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis
kode diagnosis tersebut. Selain diagnosis, dilakukan, pengobatan yang diberikan, dan
perawat juga harus memasukkan data hasil status pulang pasien sesuai dengan yang tertera
anamnesis, pemeriksaan, tindakan yang pada berkas rekam medis.
50 ISBN: 978-602-6363-47-3
PROSIDING:
SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN
Standar Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan (Tabel hasil kode diagnosis tidak akurat. Dampaknya akan
2), dapat diketahui bahwa belum ada petugas yang berpengaruh pada pelaporan diagnosis yang tidak
bertugas secara khusus sebagai coder. Pelaksanaan valid.
pengkodean diagnosis di Puskesmas Gondomanan
Hsia (2009) menyebutkan bahwa 61,7% kesalahan
Kota Yogyakarta dilakukan bukan oleh perekam medis
pengodean yang terjadi di pelayanan kesehatan tersebar
sebagaimana idealnya. Padahal, puskesmas sudah
pada dokter dan petugas administrasi rumah sakit yang
mempunyai seorang petugas yang berlatar belakang
bertugas menangani kegiatan pengodean. Santosa &
lulusan rekam medis. Petugas yang melaksanakan
Malek (2011) menyatakan bahwa salah satu faktor
kegiatan pengkodean diagnosis adalah dokter, perawat,
yang mempengaruhi kualitas pelayanan di puskesmas
dan/atau bidan. Selain melaksanakan kegiatan
adalah sumber daya manusia, meliputi dokter,
pemeriksaan terhadap pasien, dokter, perawat, dan/
perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lain sehingga
atau bidan juga bertugas untuk menginput isi berkas
perlu adanya peningkatan profesionalisme dari
rekam medis ke dalam SIMPUS. Ketidaksesuaian
sumber daya tersebut. Peningkatan profesionalisme
kompetensi petugas dalam pengkodean menyebabkan
ISBN: 978-602-6363-47-3 51
PROSIDING:
SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN
Standar Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis
dapat dilakuakn dengan metode pelatihan. Menurut SOP yang mengatur pengodean diagnosis, database
Mathis dan Jackson (2006), pelatihan (training) dapat diagnosis dan kode ICD-10 yang ada di SIMPUS
memberikan karyawan pengetahuan dan keterampilan tidak lengkap, tidak digunakannya buku ICD-10
yang spesifik. dalam kegiatan coding, jaringan LAN tidak stabil,
dan kurang kondusifnya lingkungan kerja. Penelitian
Sebagai alat bantu dalam mengkode diagnosis, buku
Saputro dan Nuryati (2015) juga menunjukkan bahwa
ICD-10 sudah tersedia di Puskesmas Gondomanan.
faktor-faktor yang menyebabkan ketidakakuratan kode
Meskipun sudah diterbitkan Surat Keputusan Kepala
diagnosis penyakit adalah kegiatan klasifikasi dan
Puskesmas yang menyebutkan bahwa standar kode
kodefikasi penyakit yang dilakukan oleh profesi yang
klasifikasi diagnosis dan terminologi yang digunakan
tidak memiliki kompetensi sebagai seorang coder
berdasarkan ICD-10, penggunaan ICD-10 dalam proses
dan entry kode diagnosis dilakukan secara fleksibel,
pengkodean belum maksimal. Petugas lebih memilih
kurang lengkapnya kode yang tersedia, istilah yang
menggunakan daftar kode-kode penyakit yang sering
digunakan dalam database SIMPUS belum sesuai
muncul di Puskesmas Gondomanan yang dibuat sendiri
dengan istilah medis yang baku, penentuan kode
oleh petugas dan dikenal sebagai buku pintar. Hal ini
yang hanya mengacu pada daftar tabulasi penyakit
tidak sejalan dengan Hatta (2011) yang menegaskan
yang sering terjadi dan belum dibuat SOP terkait
bahwa kegiatan pengkodean harus mengacu pada
pengkodean.
standar klasifikasi yang berlaku (ICD-10).
Pelaksanaan kegiatan coding di Puskesmas
Gondomanan Kota Yogyakarta tidak dilengkapi KESIMPULAN
dengan SOP terkait sehingga petugas tidak memiliki
Adanya inkonsistensi pada penentuan kode diagnosis
acuan standar. Padahal, SOP dapat memberikan
pasien prolanis di Puskesmas Gondomanan Kota
pelayanan juga membantu mengurangi kesalahan
Yogyakarta disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor
dan pelayanan di bawah standar dengan memberikan
penyebabnya adalah pengkodean diagnosis penyakit di
langkah-langkah yang sudah diuji dan disetujui dalam
Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta dilakukan
melaksanakan berbagai kegiatan (Komisi Akreditasi
oleh tenaga kesehatan yang bukan berlatar belakang
Rumah Sakit, 2001).
lulusan rekam medis dengan tanpa mengikuti kaidah
Kode diagnosis yang ada di dalam database SIMPUS coding sesuai ICD-10. Penyebab lainnya adalah
masih belum lengkap dan detail. Sebaliknya, database diagnosis dan kode ICD-10 yang ada di
SIMPUS hanya menyediakan kode diagnosis yang SIMPUS belum lengkap dan belum tersedianya SOP
belum spesifik (berupa kategori penyakit) namun yang mengatur kegiatan pengkodean. Untuk itu,
dapat dipilih yang berakibat petugas sering memilih sebagai langkah perbaikan, Puskesmas Gondomanan
diagnosis tersebut sebagai diagnosa akhir. Kode yang Kota Yogyakarta harus segera membuat SOP dan
belum spesifik (kategori penyakit) merupakan kode kebijakan mengenai proses coding yang isinya juga
ICD-10 dengan 3 digit alfanumerik yang sebenarnya telah mengatur tentang penyesuaian tupoksi dengan
masih mempunyai digit ke-4 (subkategori) yang kompetensi SDM. Selanjutnya, pelatihan mengenai
menyatakan spesifikasi dari penyakit terkait. Sebagai coding atau penggunaan ICD-10 bagi SDM juga perlu
contoh, petugas menentukan kode diagnosis diabetes dilaksanakan. Hal yang tidak kalah penting adalah
mellitus dengan tipe II dengan gangrene hanya dikode terkait pembaruan database klasifikasi penyakit pada
E11. Padahal, kode yang lebih akurat berdasarkan SIMPUS yang dibutuhkan agar kode yang dipilih
ICD-10 adalah E11.5. menjadi tepat. Dengan adanya perbaikan untuk
pengeliminasian faktor penyebab inkonsistensi kode
Hasil penelitian ini hampir serupa dengan penelitian diagnosis tersebut, data laporan yang dibuat diharapkan
sebelumnya. Menurut Pramono dan Nuryati (2013), akan menjadi lebih valid. Dengan demikian, informasi
ada beberapa faktor penyebab ketidakakuratan kode yang disajikan dapat mencerminkan kondisi kesehatan
diagnosis di Puskesmas Gondokusuman II Kota yang sesungguhnya sehingga akan mendukung proses
Yogyakarta yaitu tidak sesuainya kualifikasi SDM pengambilan keputusan yang lebih efektif dan efisien.
yang melaksanakan kegiatan coding, tidak adanya
52 ISBN: 978-602-6363-47-3
PROSIDING:
SEMINAR NASIONAL REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN
Standar Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis
ISBN: 978-602-6363-47-3 53